BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah filsafat ada saat-saat yang dianggap penting sebagai patokan sesuatu era, karena selain punya ciri khas pada zamannya, suatu aliran filsafat bisa meninggalkan pengaruh yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Abad pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran di Eropa sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Setiap ajaran filsafat harus diuji sejauh mana tidak bertentangan dengan ajaran agama dan interpretasi yang dikembangkan dalam lingkungan gereja dan biara. Dalam lingkungan ini ditegaskan pendirian, bahwa tindakan keimanan (act of faith) harus dibedakan secara tegas dari tindakan penalaran (act of reason). Apabila terjadi perbedaan atau pertentangan antara keduanya, maka keimanan harus diunggulkan di atas penalaran.1 Ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut teosentris. Para filsuf pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Dengan demikian, pemikiran filsafat terlalu seragam, bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebelumnya.2 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah sejarah filsafat pada abad pertengahan? 2. Apa yang menjadi karakteristik dan ciri filsafat pada abad pertengahan? 3. Bagaimana periodisasi filsafat pada abad pertengahan? 4. Bagaimana perkembangan filsafat pada abad pertengahan? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada abad pertengahan. 1 2 Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, cet.2, 2001), hlm.53 Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung : Pustaka Setia , 2010), hlm.61-62 1 2. Untuk mengetahui karakteristik dan ciri filsafat pada abad pertengahan. 3. Untuk mengetahui periodisasi filsafat pada abad pertengahan. 4. Untuk mengetahui perkembangan filsafat pada abad pertengahan. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Filsafat pada Abad Pertengahan Filsafat abad pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17.3 Namun, ada yang mengatakan pada abad ke-2 sampai abad ke14.4 Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476 M, yakni masa berakhirnya kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma, dan munculnya kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel sebagai data awal zaman abad pertengahan dan tahun 1492 sebagai data akhirnya.5 Runtuhnya kerajaan Yunani sejak wafatnya Alexander disusul oleh kebangkitan Romawi yang kekuasaannya meliputi kawasan lebih luas dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Yunani. Tidak terbayangkan wilayah Yunani yang semula terbentang dari Laut Tengah hingga Persia akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi kebangkitan kekaisaran Romawi. Mengingat begitu luasnya kekuasaan Romawi, maka pantaslah berlaku sebutan Imperium Romanum. Wilayah yang dikuasai Imperium Romanum meliputi benua Eropa, wilayah Timur Tengah, dan Afrika Utara. Bersamaan dengan meluasnya wilayah Imperium Romanum itu meningkat pula peran gereja sebagai pusat spiritual yang mengembangkan filsafat sesuai dengan ajaran agama. Filsafat dijadikan sebagai pendukung teologi; ajaran agama harus dijadikan tolak ukur kebanaran; kegiatan penalaran dan filsafat tidak boleh menghasilkan kesimpulan yang menggoyahkan keimanan, apalagi bertentangan dengan tafsiran resmi yang diajarkan berdasarkan wibawa gereja.6 Pengembangan penalaran tidak dilarang, namun usaha tersebut harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan beragama. Meskipun dalam kurun 3 Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm.102 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet.2, 2007), hlm.12 5 Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.cit, hlm.102 6 Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54 4 3 waktu itu mulai dilakukan penerjemahan karya-karya Yunani, Arab, dan Yahudi ke dalam bahasa Latin, sehingga terjangkau khalayak pembaca yang semakin meluas, namun kegiatan filsafat ini banyak dilakukan oleh tokohtokoh terkemuka di lingkungan gereja serta terpusat pada biara-biara, dan baru kemudian beralih ke kalangan perguruan tinggi yang masih amat terbatas jumlahnya. Sejak akademi Plato dan berbagai perguruan filsafat yang berkembang di Yunani dibubarkan atas perintah kaisar Justinianus pada tahun 529 M, banyak sekali sumber belajar filsafat yang hilang, apalagi karena perintah penutupan pusat-pusat belajar, selain itu juga karena adanya larangan atas beredarnya naskah-naskah peninggalannya.7 Pada saat itu, agama Kristen dijadikan sebagai agama negara dalam kekaisaran Romawi Timur oleh Kaisar Theodosius I pada tahun 391 M. Dengan demikian, agama Kristen mendapat dukungan yang sedemikian rupa dan gereja sendiri menjadi kekuatan politik. Dalam perkembangan selanjutnya, gereja memperoleh peluang besar untuk menentukan jalan hidup manusia sebagai individu maupun sebagai warga negara.8 Sehingga pada saat itu dalam usaha penalaran pun harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan beragama. Hal inilah yang mengawali munculnya filsafat abad pertengahan dengan ciri khas bahwa alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama.9 B. Karakteristik dan Ciri Filsafat pada Abad Pertengahan Ciri yang mendasar pada filsafat abad pertengahan ialah filsafat lebih bercorak “Theosentris”, artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu karya filsafat dinilai benar jika tidak menyimpang dari ajaran agama.10 7 Ibid, hm.53 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum :Problematika Ketertiban yang Adil, (Bandung : Mandar Maju, 2011), hlm.45 9 Fuad Hasan, Op.cit, hlm.53 10 Rizal Mustansyir, Opc.cit, hlm.12 8 4 Dengan kata lain, filsafat abad pertengahan ditandai dengan adanya hubungan yang erat antara agama Kristen dan filsafat.11 Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedan itu terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang diajarkan oleh nabi Isa AS pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Agama Kristen menjadi problem kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Karena mereka belum mengenal adanya wahyu.12 Filsafat abad pertengahan juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirnya. Para ahli pikir saat itu juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiranpemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama dan gereja. Siapapun orang yang mengemukakannya akan mendapat hukuman yang berat. Pihak gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan pada ketentuan gereja akan mendapat larangan yang ketat. Yang berhak mengadakan penelitian terhadap agama adalah gereja. Walaupun demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang yang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi). Pengejaran terhadap orang-orang murtad ini mencapai puncaknya saat di bawah pimpinan Paus Innocentius III di akhir abad XII.13 Abad pertengahan ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupan/sistem 11 Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.cit, hlm.102 Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : PT Bumi Aksara, cet.5, 2010), hlm.85 13 Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Ar-Ruzz Media, 2010), hlm.99 12 5 kepercayaan yang fanatik, dengan menerima ajaran gereja yang membabi buta. Karena itulah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Masa ini penuh dengan dominasi gereja yang tujuannya membimbing umat ke arah hidup yang baik. Tetapi di sisi lain, dominasi gereja ini dilakukan tanpa diselaraskan dengan memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang mempunyai perasaan, pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa depannya sendiri.14 Adapun ciri pemikiran filsafat pada abad pertengahan ialah : 1. Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja. 2. Berfilsafat dalam lingkungan ajaran Aristoteles. 3. Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus.15 C. Periodisasi Filsafat pada Abad Pertengahan Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menadi dua zaman atau periode yakni periode patristik dan periode skolastik. 1. Periode Patristik (100-700 M) Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti bapak-bapak gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen.16 Di dunia Barat, agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka mempergunakan filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan,dan sifat Tuhan.17 Pada periode ini ahli-ahli agama Kristen itu berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran yang dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran-ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikirpemikir kafir. Tulisan-tulisan bapak gereja merupakan suatu sumber 14 Ibid, hlm.99-100 Loc.cit. 16 Surajiyo, Op.cit, hlm.85 17 Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Bumi Aksara, cet.3, 1995), hlm.191 15 6 yang kaya dan luas.18 Filsuf yang terkenal pada periode Patristik ini ialah Tertualianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354430).19 2. Periode Skolastik Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama, yaitu ajaran atau sekolahan.20 Periode ini ditandai dengan diajarkannya filsafat pada sekolah-sekolah biara dan universitasuniversitas dengan mempergunakan kurikulum yang tetap yang berisi tentang hubungan hakikat Tuhan, antropologi, etika, dan politik.21 Secara garis besar, periode skolastik pada abad pertengahan dibagi menjadi dua, yaitu periode skolastik Kristen dan periode skolastik Islam.22 D. Perkembangan Filsafat pada Abad Pertengahan Tokoh gereja yang menonjol pada awal abad pertengahan ialah Aurelius Agustinus (354-430), yang kemudian juga terkenal sebagai Santa Agustinus. Dialah yang meletakkan dasar untuk memperpadukan filsafat degan teologi.23 Menurutnya, dalam hal terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan. Artinya, Tuhan lah yang menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan material (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga diambil dalam bagian kebaikan Tuhan. Dengan kata lain, alam material mempunyai bentuk kebaikan sendiri. Tuhan menciptakan alam semesta serta waktu dari keabadian, gagasan penciptaan tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab 18 Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), hlm.268 19 Burhanuddin Salam, Op.cit, hlm.191 20 Ahmad Sadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm.81 21 Rustam E. Tamburaka, Op.cit, hlm.268 22 Ali Maksum, Op.cit, hlm.97 23 Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54 7 suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula, tetapi filsafat tidak mampu membuktikan hal itu. Seperti halnya filsafat juga tidak bisa membuktikan bahwa alam semesta tidak berawal mula.24 Agustinus menghasilkan sejumlah besar karya yang selama berabad-abad membekaskan pengaruhnya terhadap para filsuf dari lingkungan gereja, tanpa adanya pertentangan dari lingkungan lain. Baru ketika pada awal abad ke-12 bermunculan lingkungan belajar yang bersifat pendidikan tinggi (cikal-bakal universitas), berbagai interpretasi dan tesis yang diwariskan oleh Agustinus menghadapi ujian. Di Paris, para cendekiawan bergabung dalam suatu perhimpunan yang disebut Universitas Magistrorum et Scholarium. Otonomi perhimpunan ini dikukuhkan berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja (Paus) dan dengan demikian perguruan tinggi mendapat keleluasaan untuk menyelenggarakan pelajaran dan pengembangan pemikiran dalam lingkungannya. Itu sebabnya mengapa Paris dianggap sebagai kota universitas pertama. Paris dipandang sebagai Athena-nya abad pertengahan. Kemudian nama Universitas Magistrorum et Scholarium diubah menjadi Universitas Literarum, yang secara harfiah artinya perguruan tinggi kesusastraan, namun dalam arti luasnya juga meliputi filsafat. Dalam lingkungan ini diterapkan Studium Generale sebagai cara mengajar. Akan tetapi karena semakin banyaknya bidang khusus yang menjadi sasaran pembahasan, maka tersusunlah pengelompokkan yang lebih terbatas dan terdiri atas orang-orang yang sesama berminat terhadap bidang tertentu, sehingga terbentuklah apa yang disebut collegium. Berbeda dengan universitas yang memiliki kurikulum untuk berbagai bidang studi dan masa belajarnya diakhiri dengan ujian dan pemberian gelar, kurikulum collegium terbatas pada satu bidang studi khusus dan tidak menyelenggarakan ujian akhir maupun pemberian gelar. Collegium juga melaksanakan studi generalia sesuai dengan bidang studi masing-masing. Bentuk inilah yang didirikan oleh 24 Rustam E. Tamburaka, Op.cit, hlm.268 8 Robert do Sorbon (1201-1274) di Paris pada tahun 1253, yang kemudian menjadi cikal-bakal universitas terkemuka di Prancis.25 Di berbagai kota mulai bermunculan perguruan tinggi, baik yang berbentuk universitas atau collegium. Di antara bentuk universitas yang didirikan sejak abad ke-12 dan bertahan hingga masa kini ialah universitas Paris, Oxford, dan Al-Azhar. Pada umumnya universitas itu semula memusatkan perhatian pada bidang studi filsafat, teologi, hukum, dilanjutkan kemudian dengan bidang lainnya. Dalam lingkungan perguruan tinggi ini ditempuh cara belajar dan mengajar yang khas. Pada pagi hari disajikan lectiones (kuliah) oleh para pengajar, kemudian di sore harinya disusul dengan disputationes (pembahasan) antara pengajar dan murid-muridnya maupun antara sesama murid. Dari bahan perkuliahan dan pembahasan itu bisa saja timbul hal-hal yang harus dirumuskan sebagai quastiones, yaitu berbagai persoalan yang masih perlu dicarikan penyelesaiannya. Dalam suasana otonomi yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi itu, pembahasan berbagai persoalan berlangsung jauh lebih bebas dibandingkan dengan dalam masa sebelumnya, tatkala ajaran agama secara a priori harus diunggulkan di atas kesimpulan atau penafsiran yang dihasilkan berdasarkan penalaran. Dengan berlakunya otonomi dalam lingkungan perguruan tinggi, maka berbagai doktrin keagamaan mendapat tantangan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kemantapan doktrin agama dan wibawa gereja yang selama berabad-abad diandalkan pada karya Agustinus mulai rawan menghadapi perkembangan alam pikiran para cendekiawan dalam lingkungan perguruan tinggi yang memiliki otonomi dengan kebebasan mimbarnya sendiri.26 Dalam suasana baru ini muncul tokoh gereja yang namanya terkait erat dengan perkembangan filsafat dalam masa skolastik, yaitu Thomas Aquinas (1225-1274), yang dijuluki sebagai ‘pangeran masa skolastik’. Jika karya Agustinus terkesan banyak mengacu pada filsafat Plato, maka Thomas 25 26 Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54 Ibid, hlm.55 9 Aquinas tampaknya lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Pada waktu itu karya Aristoteles telah hilang selama berabad-abad. Namun, setelah tersedianya karya-karya Aristoteles dalam bahasa Latin yang didasarkan pada penerjemahan oleh Ibn Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averos) karya Aristoteles kembali menjadi pembahasan yang meluas di lingkungan perguruan tinggi.27 Thomas Aquinas pun tekun dalam mempelajari terjemahan karya-karya Aristoteles. Sesuai dengan pendirian bahwa filsafat harus diabdikan pada kepentingan doktrin agama dan keimanan, maka Thomas Aquinas berusaha mencipta sintesis antara filsafat dan teologi seperti terurai dalam karya utamanya yang berjudul “Summa Theologiae”. Karya yang berjumlah dua puluh dua jilid ini oleh Paus Leo XIII dinyatakan sebagai filsafat resmi yang berlaku dalam lingkungan gereja katolik dan hingga masa kini masih digunakan sebagai sumber acuan pokok. Thomas Aquinas menarik garis batas yang tegas antara teologi dan filsafat. Berbagai dogma dalam teologi tidak perlu dibahas secara rasional oleh filsafat. Dogma adalah masalah teologi yang harus diterima berdasarkan keimanan, karena dogma adalah kebenaran yang diwahyukan (revealed truth) sehingga tidak memerlukan pembuktian melalui penalaran. Thomas Aquinas menerima pemikiran Aristoteles mengenai manusia sebagai makhluk alamiah (natural being), makhluk penalar (rational being), makhluk kemasyarakatan (zoon politikon). Namun, lebih dari semua itu manusia ialah makhluk spiritual (spiritual being). Berbagai tingkat keberadaan manusia itu berpangkal pada tuhan sebagai pencipta dan sumber kebenaran sejati. Keberhasilan Thomas Aquinas memadukan ajaran agamanya dengan berbagai pikiran Aristoteles dapat menjadi pendukung filsafatnya merupakan perwujudan sintesis dalam bad pertengahan.28 Ketika Imperium Romanum menyusut kejayaannya, sebagian besar bangsa Eropa yang tadinya dikuasai sudah menjadi penganut gereja katolik. 27 28 Ibid, hlm.56 Loc.cit. 10 Hal ini dikarenakan sejak abad ke-5 agama Kristen dinyatakan sebagai agama resmi yang berlaku di seluruh Imperium Romanum. Sejaan dengan itu, meluas pula kehadiran gereja sebagai pusat wibawa di samping kekuasaan kekaisaran. Maka tatkala Imperium Romanum runtuh akibat kegagalannya bertahan menghadapi berbagai serangan musuh dari luar serentak dengan kemunduran kesejahteraan dalam wilayah kekuasaannya, tampillah gereja sebagai pusat wibawa. Filsafat dan pengembangan alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama. Berbagai karya tulis dari zaman Yunani yang memuat ajaran bertentangan dengan pandangan gereja harus dimusnahkan, seperti misalnya politheisme. Berbagai temuan yang dihasilkan oleh kalangan filsafat dan ilmuwan pun harus sesuai atau mendukung pandangan resmi yang dianut oleh gereja. Sebagai pusat wibawa, gereja berhak melaramg beredarnya teori atau interpretasi yang berlawanan dengan ajarannya. Ketentuan bahwa keimanan harus diunggulkan di atas penalaran tetap berlaku sebagai pedoman untuk menguji sesuatu kebenaran. Ketentuan ini bukan saja berlaku terhadap masalah kepercayaan, melainkan juga mengenai dengan temuan-temuan ilmiah. Dalam kaitan ini terkenal peristiwa pertentangan antara geosentrisme dan heleosentrisme. Geosentrisme beranggapan bahwa bumi merupakan pusat yang dikelilingi oleh matahari dan benda angkasa lainnya. Sedangkan heleosentrisme berpendapat bahwa yang menjadi pusat ialah matahari.29 Geosentrisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Ptolomeus di masa Yunani bertahan cukup lama, hingga seorang astronom Polandia, Nicholaus Copernicus (1473-1543) berdasar observasi empirik dan perhitungan matematik sampai pada kesimpulan bahwa mataharilah sebagai pusat yang dikelilingi oleh benda-benda angkasa. Heleosentrisme Copernicus itu jelas berlawanan dengan geosentrisme yang dipertahankan oleh kalangan gereja sebagai ajaran resmi. Maka teori Copernicus dinyatakan sebagai ajaran terlarang, dan hukum exkomunikasi bisa dikenakan pada mereka yang menganutnys. Karena ketakutan terhada ancman hukuman itu, maka 29 Ibid, hlm.58 11 Copernicus tidak menerbitkan karyanya. Namun demikian naskahnya beredar secara sembunyi dan berhasil menggalang sejumlah penganut heleosentrisme yang diajarkannya. Kenyataan ini dianggap dapat menggoyahkan kemantapan ajaran yang resmi berlaku, sehingga dianggap perlu untuk bertindak tegas terhadap para penganut Copernicus. Maka seorang pendeta Dominikan yang menganut ajaran Copernicus, Giordano Bruno (1548-1600) dijatuhi hukuman bakar pada tiang pancang di Roma. Nasib yang sama juga menimpa filsuf Italia yang dituduh atheis, Lucilio Vanini (1585-1619).30 Teori Copernicus ini dinilai sangat revolusioner dan hingga kini pembalikan total terhadap suatu pandangan sering diibaratkan sebagai ‘revolusi Copernican’. Ilmuwan yang juga dijatuhi hukuman ialah Galileo Galilei (1564-1642) yang untuk pertama kalinya berhasil menciptakan teleskop dengan kesanggupan luar biasa guna melakukan observasi terhadap bulan dan sistem perbintangan. Berdasarkan pengamatannya itulah ia secara gigih mempertahankan teori Copernicus. Dia pun akhirnya dihukum. Karyanya dinyatakan terkutuk dan dirinya dikenakan hukuman kurungan seumur hidup.31 30 31 Loc.cit. Loc.cit. 12 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran 13 DAFTAR PUSTAKA Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 2001. Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Hukum :Problematika Ketertiban yang Adil. Bandung : Mandar Maju, 2011. L. Tjahjadi, Simon Petrus Petualangan Intelektual. Yogyakarta : Kanisius, 2004. Maksum, Ali, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Ar-Ruzz Media, 2010. Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Sadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum. Bandung : Pustaka Setia, 1999. Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat. Bandung : Pustaka Setia, 2010. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT Bumi Aksara, 2010. Tamburaka, Rustam E, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek. Jakarta : Rineka Cipta, 1999. 14