ILMU SOSIAL SERING KALI LEBIH RUMIT KETIMBANG SAINS Streotype yang berkembang di tengah masyarakat kita adalah bahwa ilmu-ilmu eksakta adalah jenis ilmu yang sulit. Karenanya yang layak mempelajari ilmu-ilmu jenis ini hanyalah orang-orang yang pintar atau cerdas. Ilmu-ilmu sosial atau humaniora kerap dipandang sebagai ilmu kelas dua, ilmu yang statusnya lebih rendah. Karena statusnya yang dianggap lebih bergengsi, maka orang-orang yang mempelajari Sains atau ilmu-ilmu eksakta kerap dipandang lebih terhormat ketimbang mereka yang belajar ilmu-ilmu sosial. Di beberapa perguruan tinggi, sebagian mahasiswa yang mengambil jurusan sosial, adalah mereka yang gagal masuk ke jurusan eksakta. Tak pelak, kasus-kasus semacam ini semakin membuat status ilmu sosial semakin terpuruk berhadapan dengan ilmu-ilmu eksakta. Tapi, benarkan ilmu-ilmu eksakta lebih sulit dibanding ilmu-ilmu sosial? Benarkah ilmuilmu sosial, karenanya, menjadi kurang penting dibanding Sains? Jika Anda ajukan pertanyaan itu kepada Jared Diamond, jawabannya mengejutkan. Ilmuwan yang memulai karir akademisnya di bidang Fisika dan Kimia ini, pernah menulis sebuah artikel yang kalau judulnya diterjemahkan, kurang lebih seperti judul di atas: “Soft Sciences are Often Harder than Hard Sciences.” Jared Diamond bukanlah ilmuwan sembarangan. Reputasinya dikenal luas dan punya otoritas yang kokoh untuk berbicara tentang perbandingan disiplin ilmu. Dia menggeluti dua disiplin yang selama ini selalu dipertentangkan. Secara akademis, Diamond menekuni bidang ilmu eksakta, tapi dalam banyak penelitiannya, dia menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan banyak menulis buku yang menjadi rujukan para sarjana dan mahasiswa dari beragam disiplin ilmu. Bukunya yang terkenal, Guns, Germs, and Steel (1997), menjadi best-seller dan mendapatkan Hadiah Pulitzer. Bukunya yang lain, Collapse (2005) juga banyak dibeli orang dan mengilhami sebuah film dokumenter yang diputar di kanal National Geographic. Dalam banyak karyanya, Diamond kerap menggabungkan dua pendekatan dalam ilmu sosial dan eksakta. Artikel Diamond itu ditulis pada tahun 1987 dan diterbitkan di sebuah majalah ilmiah terkenal, Discover. Kendati sudah agak lama, artikel itu sering dijadikan rujukan oleh banyak sarjana, khususnya oleh para dosen yang mengajar metodologi riset. Saya juga menggunakan artikel ini pada mata kuliah Research Methods in International Relations yang saya ajarkan pada setiap dua semester di School of Diplomacy, Universitas Paramadina. Apa argumen Diamond sehingga dia mengatakan seperti itu? Apa alasannya menulis sebuah artikel yang sepintas seperti “membesarkan hati” dan “membela” para ilmuwan sosial itu? Artikel itu ditulis Diamond sebagai refleksi (atau reaksi) dia terhadap perdebatan panas yang melibatkan dua ilmuwan garda depan Amerika Serikat, yakni Samuel Huntington, seorang profesor Ilmu Politik di Universitas Harvard dan Serge Lang, seorang profesor Matematika di Universitas Yale. Perdebatan itu dipicu oleh kritik pedas Serge Lang terhadap karya-karya Huntington yang dianggapnya sebagai “pseudo-sains” dan karenanya tak layak dianggap sebagai karya ilmiah. Lang tak berhenti hanya sampai di situ. Dia memperluas ring permusuhannya dengan menolak nominasi penulis buku The Clash of Civilizations itu menjadi anggota National Academy of Sciences (NAS), lembaga bergengsi di Amerika yang menaungi para ahli dari beragam latar belakang ilmu pengetahuan. Akibat kritik dan serangan Lang, Huntington dua kali berturut-turut (1986 dan 1987) gagal menjadi anggota NAS. Lang sendiri adalah anggota NAS. Menurut Diamond, perseteruan Lang dan Huntington adalah contoh terbaik bagaimana brutalnya persaingan Ilmu Sosial dan Ilmu Eksakta. Kontroversi itu diliput selama berminggu-minggu oleh Time, the New York Times, dan koran-koran terkemuka di Amerika. Mengikuti perdebatan seputar sengketa Lang dan Huntington yang terekam dalam beragam link di Google, saya jadi teringat dengan pertikaian sengit antara para pengikut Sunni dan Syiah atau Ahmadiyah di negara-negara Muslim. Apakah Huntington layak masuk NAS sama seperti pertanyaan apakah Syiah atau Ahmadiyah layak disebut Muslim. Bedanya, Prof. Lang yang terhormat itu tidak melakukan kekerasan fisik terhadap Huntington, seperti yang kerap menimpa warga Ahmadiyah di negeri ini. Dari perseteruan Lang-Huntington, Jared Diamond mengaku mendapatkan pelajaran yang berharga tentang bagaimana para ilmuwan (baik yang sosial maupun eksakta) sebaiknya memahami karakter sebuah ilmu dan bagaimana para sarjana sebaiknya menyikapi disiplin pengetahuan. Diamond mengkritik para Saintis yang kerap arogan dan cenderung merendahkan ilmuwan sosial. Dia setuju dengan Lang bahwa ilmuan sosial harus lebih hati-hati dalam menggunakan metode “ilmiah” yang kerap diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta. Identifikasi metode ilmu sosial yang berlebihan dengan metode ilmu eksakta bisa membuat kacau –dan membingungkan– dalam memahami fenomena sosial, yang sepenuhnya tidak ajek, seperti obyek penelitian ilmu-ilmu eksakta. Kritik Lang terhadap Huntington bisa dipahami ketika dia mengatakakan “bagaimana Huntington mengukur sesuatu seperti frustasi sosial? Apakah dia punya meteran pengukur frustasi sosial?” Dalam beberapa karyanya, Huntington memang menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengukur kondisi “psikologis” suatu masyarakat. Studi-studi mutakhir Ilmu Politik yang berkembang di Amerika kerap menggunakan metode kuantitatif untuk mengukur perilaku politik orang. Tapi, mempersalahkan Huntington dan metode kuantitatif yang dikembangkan dalam Ilmu Sosial bukanlah tindakan yang bijak. Mengatakan bahwa Huntington atau para ilmuwan sosial menggunakan “pseudo-sains” semata-mata karena mereka mensaintifikasi penelitian dan obyek studi mereka adalah sebuah reduksi terhadap makna “Sains.” Sains, kata Diamond, berasal dari bahasa Latin, scientia, yang artinya ilmu pengetahuan. Kita kerap terperangkap menganggap yang dimaksud Sains hanyalah ilmu eksakta, padahal makna sesungguhnya dari Sains adalah lebih luas dari itu. Sains tidak boleh dibatasi oleh ruang- ruang desimal atau eksperimen-eksperimen yang terkontrol saja. Sains adalah enterprise yang menjelaskan dan memprediksi fenomena alam, dengan terus-menerus menguji suatu teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Dunia ini terlalu kompleks jika hanya diringkus dengan angka. Alam kita sangat kaya dengan beragam peristiwa ekologi, evolusi, ekonomi, sejarah, dan politik. Beragam fenomena yang dihadapi oleh para ilmuwan sosial ini sangat rumit, jauh lebih rumit ketimbang mengoleksi bilangan. Kita tidak bisa membawa revolusi atau demonstrasi ke dalam sebuah lab, seperti para ilmuwan mengamati tikus. Ada banyak sekali fenomena di dunia ini yang tidak bisa diatasi dengan Sains. Bahkan ada beberapa fenomena yang sepintas tampak harus ditangani oleh sains murni (pure science) tapi justru lebih efektif didekati dengan cara-cara yang biasa digunakan oleh ilmuwan sosial. Diamond merujuk pada kasus-kasus penanganan pasien kanker yang lebih efektif ditangani dokter yang menggunakan cara-cara seperti Huntington memperlakukan obyek penelitiannya, ketimbang Lang memperlakukan angka-angka. Dengan kata lain, sebaiknya seorang ilmuwan tidak boleh arogan dan merasa paling benar dengan metode yang dipakainya, apalagi sambil mengecilkan orang lain. Kelemahan Lang, menurut Diamond, adalah sikapnya yang terlalu arogan dan berpretensi seolah-olah mengerti persoalan sosial yang dihadapi Huntington, padahal persis kritiknya menunjukkan bahwa dia tidak mengerti persoalan (ignorant). Akhirnya, dengan berapi-api, Diamond memberi nasehat kepada lembaga ilmu pengetahuan seperti NAS dan kepada ilmuwan siapa saja yang kerap nyinyir terhadap ilmu sosial untuk menyadari bahwa keberlangsungan hidup kita kerap lebih banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan temuan ilmu sosial (yang menjadi dasar keputusan politik dan kebijakan publik) ketimbang memahami bagaimana sebuah obat atau robot bekerja.