Berdamai dengan Diri Sendiri

advertisement
Berdamai dengan Diri Sendiri..!

Orang yang sehat secara mental lebih mudah berdamai dengan diri
sendiri. Untuk bisa berdamai dengan diri sendiri, kita sendirilah yang
harus menciptakan caranya. Bisa dimulai dengan berusaha selalu
bersyukur, menghitung keberuntungan, dan introspeksi.
Damai itu indah! Slogan yang tertulis pada spanduk-spanduk besar itu terbentang di berbagai
tempat umum sekitar setahun belakangan ini. Jika tidak pernah mengalami titik balik, boleh jadi
Berlian akan mencemooh slogan itu karena sulit baginya membayangkan apa itu damai.
Namun, jauh sebelum spanduk itu ada, Berlian sudah tahu apa itu damai. Baginya damai adalah
perasaan tenang dan tenteram karena bisa menerima kenyataan atau keadaan sebagaimana
adanya.
Masalah Bertubi-Tubi
Wanita berusia 45 tahun ini pernah kehilangan rasa damai itu sejak ia mendapati suaminya
berselingkuh dengan wanita yang sangat dipercayainya, sehingga dia lantas memilih menyingkir
dan hidup bersama tiga anaknya. Sulit bagi Berlian untuk bisa mengerti bahwa hal itu terjadi
pada dirinya. "Apa kekurangan saya? Kurang baik apa saya pada suami dan perempuan itu?
Mengapa mereka mengkhianati kepercayaan saya?" itulah pertanyaan-pertanyaan yang selama
beberapa tahun menghantuinya. Belum selesai dia dengan masalah perselingkuhan itu, anaknya
kedapatan sakit kanker getah bening dan tiga bulan kemudian meninggal. Mengapa, mengapa,
dan mengapa adalah pertanyaan yang terus menggelayut dalam dirinya. Bila itu cobaan, Berlian
tidak rela mengapa harus bertubi-tubi yang menimpa dirinya. Kalau itu disebut berkah, mengapa
berkah terasa begitu keji baginya karena sebelum itu ia sendiri telah kehilangan payudaranya
akibat kanker juga. Maka selama beberapa tahun hari-hari wanita pengusaha ini dipenuhi dengan
air mata, rokok, minuman beralkohol, dan protesnya pada keadaan. Sampai pada suatu saat
Berlian bertemu seorang ustad muda yang dengan kata-kata sederhananya mampu
menjungkirbalikkan logika, argumentasi, dan perasaan wanita yang lama tinggal di Australia ini.
Sejak itulah Berlian bisa menerima keadaan. Ia kini hidup bahagia, tenang, damai. Bahkan ia
mampu membawa damai itu bagi keluarga besarnya dan menjadi perekat bagi mereka yang
semula tercerai berai akibat kehidupan yang berorientasi pada materi. Berlian telah menjadi
manusia baru yang memandang hidup tidak secara sempit.
Belajar Mensyukuri

Sikap perdamaian terhadap orang lain dan lingkungan memang sulit
diwujudkan bila kita belum mampu berdamai dengan diri sendiri,
seperti yang terjadi pada Berlian. Yang dimaksud dengan berdamai
dengan diri sendiri adalah kesanggupan menerima keadaan atau
kenyataan yang semula menimbulkan konflik dalam diri seseorang.
Menurut konsultan psikologi Dra. Mira Laksmi Amiretno Rumeser, kemampuan berdamai dengan
diri sendiri ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sehat, terutama secara mental.
Menerima serta mensyukuri keadaan diri, menurut Mira, merupakan langkah yang sangat penting
agar manusia bisa sehat secara mental.
"Bila hal itu dilakukan dengan sepenuh hati, maka Anda bisa berdamai dengan diri sendiri,"
katanya.
Ketenangan dan kenyaman hidup yang sejati baru bisa terasa bila seseorang sanggup berdamai
dengan diri sendiri. Dan idealnya, setiap saat manusia harus bisa berdamai dengan diri.
"Terutama saat mengalami kekecewaan, kegagalan, maupun cobaan berat," tambahnya.
Memang tidak mudah menerapkannya. Juga tak ada resep yang berlaku untuk umum agar orang
bisa berdamai dengan dirinya sendiri. "Masing-masing orang harus mencari sendiri jalannya,"
ucapnya.
Menghitung Keberuntungan

Ada banyak penyebab orang kehilangan kedamaian dalam dirinya.
Kegagalan, kekalahan, ketersingkiran, keirihatian, adalah beberapa
hal yang bisa disebutkan.
Orang bisa langsung menyalahkan diri sendiri, atau bahkan menuduh orang lain sebagai sumber
keadaan buruk yang tidak diinginkan dan direncanakan itu.
Bagi Mira, yang pernah mengalami cobaan dahsyat dalam hidupnya, setiap cobaan adalah
pesan dari Tuhan. Ia pernah didera penyakit kanker payudara dan stroke.
"Saya percaya bahwa tidak mungkin sesuatu terjadi kalau Allah tidak mengizinkan itu terjadi.
Kalau Allah mengizinkan itu, artinya ada pesan dari Dia," ucapnya.
Dalam kasus Mira, pesan yang dirasakannya adalah bahwa selama ini ia lupa mensyukuri nikmat
kesehatan yang telah diberikan Tuhan. "I take it for granted," katanya.
Penyakit yang dirasanya mengandung pesan Tuhan itu kemudian mengubahnya. Ia merasa
disadarkan untuk menjalani hidup secara lebih sehat
Apa yang bisa dilakukan bila ingin berdamai dengan diri sendiri? Menurut Dra. Dienaryati
Tjokrosuprihatono, M.Psi, Wakil Dekan IV Fakultas Psikologi UI, langkah pertama adalah
melakukan introspeksi diri. Mencari tahu apa penyebab terjadinya masalah. Kemudian, menerima
keadaan yang sudah telanjur terjadi.
"Toh, tetap ada hal-hal baik yang pernah Anda lakukan atau terjadi pada diri Anda. Jangan
menyalahkan kondisi atau lingkungan di sekitar. Kedamaian yang sudah melingkupi diri Anda ini
selanjutnya akan menjadi awal yang baik untuk berusaha lagi," ujar Dini Tjokro, begitu ia biasa
dipanggil.
Jangan Berpikir Buruk

Selain menerima dengan sepenuh hati, Mira menyarankan untuk
selalu melihat sisi positif atau hikmah di balik semua cobaan itu.
Kebanyakan orang, menurutnya selalu melihat ketidakberuntungan.
"Jarang sekali orang yang menghitung keberuntungannya. Coba kita ubah itu. Count your
blessing," paparnya.
Sebagai contoh, untuk stroke yang dialaminya, Mira masih bisa bersyukur. Untung, fungsi
luhurnya tidak terganggu. Untung, kemampuan bicaranya tetap normal. Dukungan keluarga dan
teman juga dirasanya sebagai salah satu bentuk keberuntungan yang ia miliki.
Hal senada juga diutarakan Dini, yang menyarankan untuk selalu melihat sisi positif atas
keadaan buruk yang terjadi. "Dengan berpikir positif, sikap serta perilaku kita juga akan menjadi
positif. Sebaliknya, bila berpikiran negatif, pengaruhnya pun akan buruk terhadap diri sendiri.
Pikiran itu seperti doa. Apa yang dipikirkan jelek, akan benar menjadi jelek," ujar Dini.
Pada akhirnya, keadaan buruk yang seharusnya tidak terjadi malah bertambah banyak. Keadaan
itu bisa menimbulkan ketakutan dan ketegangan, yang selanjutnya bisa membuat harga diri ikut
hilang. Tanpa harga diri akan membuat hidup seseorang justru semakin berat.
Itu sebabnya, Mira dan Dini kerap menyarankan untuk bisa memaafkan diri, serta menerima diri.
"Tuhan saja Maha Pemaaf, masak kita tidak bisa memaafkan diri kita sendiri?" terang Dini.
Kalau merasa tidak mampu melakukannya, ia menyarankan untuk meminta tolong kepada teman
atau berkonsultasi dengan ahli. "Bukan membantu memaafkan, tapi membantu untuk membuat
kita berpikir dari sisi pandang yang lain sehingga kita bisa memaafkan diri sendiri," tambahnya.
Tidak Menikmati Hidup

Apa yang akan terjadi bila seseorang tidak bisa berdamai dengan diri
sendiri? "Bisa timbul stres yang tinggi, depresi, dan menyebabkan
sakit," ujar Mira Rumeser.
Bukan tidak mungkin orang ini menjadi pasien psikiater. Belum lagi ia akan kehilangan teman,
pasangan, ataupun keluarga. "Harga yang harus dibayar sangat mahal. Dan itu bisa merusak diri
sendiri. Yang paling fatal, ia tidak akan bisa menikmati hidup, karena hidupnya selalu berisi
ketakutan dan perasaan bersalah. Kalau sampai depresi, akhirnya jadi pasien psikiatri atau
psikologi klinis," tambah Dini.
Orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi cenderung tidak sulit untuk berdamai dengan diri
sendiri. Sebaliknya, orang yang tidak percaya diri selalu tidak yakin dan tak mampu memaafkan
diri. "Orang yang pede akan lebih mudah membagi-bagi masalah. Ia paham kalau memaafkan
diri akan mendapatkan lebih banyak daripada tidak memaafkan diri. Tapi, bagi yang tidak pe-de,
sangat sulit," tegasnya.
Itu sebabnya pada orang seperti ini, dukungan dari sahabat, keluarga, maupun orang-orang
dekat di sekelilingnya sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar wawasannya terbuka.
Dengan begitu, akan lebih mudah untuk menerima keadaan dirinya. @ Diana Yunita Sari
Tetaplah Berpikir Realistis..!

Salah satu yang menjadi penyebab banyak orang tidak bisa
berdamai dengan diri sendiri adalah karena merasa gagal. Wajar bila
setiap orang menginginkan sukses, dan ukuran kesuksesan itu
berbeda-beda.
Ada yang mengukur sukses dari pendidikan, yang lain dari kepemilikan mobil atau rumah, yang
lain lagi dari jabatan. "Itu alami dan manusiawi," ucap Dra. Mira Rumeser, konsultan psikologi.
Menurutnya hal ini berkaitan dengan budaya di Indonesia. Selama ini kita dicekoki dengan berita
yang menyatakan orang berhasil itu adalah orang yang motivasinya tinggi. Orang yang punya
ambisi.
"Ambisi itu bagus. Sama seperti pepatah menggantungkan cita-cita setinggi langit. Menjadi tidak
bagus kalau itu tidak membuat Anda menjadi realistis," ujarnya. Mira lantas memberi contoh, citacita setinggi langit bagi orang dengan IQ 50 tidak sama dengan yang IQ-nya lebih dari 150.
Artinya kita harus mengenali sejauh mana diri sendiri bisa berupaya secara optimal. "Siapa sih
yang tidak mau kaya raya? Tapi, saya harus realistis. Saya bukan konglomerat, suami saya juga
bukan. Jadi saya merasa baik-baik saja dengan keadaan ini," tuturnya memberi contoh. Dan
itulah batasan di mana ia bisa melakukan sesuatu secara optimal.
Mengukur kemampuan diri merupakan keharusan. Dengan itu kita bisa tahu seberapa besar
harus melakukan sesuatu. Memakai istilah Dra. Dienaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi, "Kita harus
menganalisis SWOT diri sendiri." SWOT yang ia maksud adalah kekuatan, kelemahan, peluang,
serta ancaman yang ada pada diri sendiri.
Dengan menganalisis diri, kita bisa mematok keinginan yang bisa dicapai. Alangkah baiknya bila
dalam setiap patokan keinginan juga dibuat tujuan antara. "Misalnya, Anda ingin jadi profesor.
Tidak mungkin lulus langsung jadi profesor. Nah, di situlah kita buat patokan antara. Seperti
harus mengajar, mengadakan penelitian, membuat tesis, disertasi, sampai akhirnya kita sampai
di sana," papar Dini. Dari sini kita juga bisa mengevaluasi tujuan tersebut setiap saat.
Bagaimana jika kita tidak puas atas sebuah pencapaian juga bisa terjadi? Kata Dini, "Selalu tidak
puas bukan berarti tidak bisa berdamai dengan diri sendiri. Dia punya kemauan yang kuat dan
selalu ingin meningkatkan diri. Banyak orang seperti itu."
Segi positifnya, apa yang dilakukan akan lebih baik dari kemarin. Namun, sisi negatifnya, orang
menjadi cepat lelah karena ambisinya terlalu meluap-luap. Bila hal tersebut terus terjadi, bisa
timbul stres. "Apa saja, bagi dia tidak cukup," kata Mira.
Itu sebabnya, dikatakan Dini, sebaiknya pada saat mencapai sesuatu harus disyukuri dan
dinikmati. Setelah itu baru berusaha lagi. "Jadi kita bisa merasakan nikmatnya. Dalam agama
pun juga diajarkan seperti itu," terang Dini.
Orang yang memiliki landasan agama kuat, lebih mudah menerima kegagalan. Apalagi agama
mengajarkan untuk bersikap pasrah atas setiap usaha. "Anda berusaha, tapi hasil akhirnya
bukan Anda yang menentukan. Ada yang lebih berkuasa. Jadi berusahalah semampunya. Kalau
yang didapat tidak sesuai dengan harapan, harus bisa terima karena porsinya memang segitu,"
ujarnya.
Mencoba untuk menerima, bersyukur dan menikmati apa yang telah didapat akan menimbulkan
kenyamanan diri. "Dan kita akan lebih damai," tandas Dini. @
Ukur Kelebihan dan Kekurangan Diri

Mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri bukan perkara
mudah. Orang cenderung lebih tahu akan kelebihan dirinya, meski
ada pula yang merasa diri selalu penuh dengan kekurangan.
Paham akan kekurangan diri sebetulnya mempermudah Anda untuk mencari pemecahannya.
Jika Anda merasa sulit untuk mengetahui kelebihan, kekurangan, atau mengukur kemampuan
diri, ada baiknya meminta bantuan teman terdekat, keluarga, atau orang yang menurut Anda
objektif dalam menilai. Bila masih kesulitan, berkonsultasilah pada ahli, seperti psikolog misalnya.
Ada beberapa cara yang menurut Dra. Mira Rumeser maupun Dra. Dienaryati Tjokrosuprihatono,
M.Psi, yang bisa dilakukan untuk mengukur kemampuan diri:

Jujur pada diri sendiri. Apa kelebihan Anda? Perhatikan hal itu sejak masa sekolah
hingga saat ini. Kalau selalu meraih juara terakhir, kemungkinan Anda tidak terlalu
pandai. Walau sudah berusaha maksimal, tetap golongan Anda adalah rata-rata.
Memang IQ bukan satu-satunya kunci keberhasilan, karena masih ada emotional
intelligence atau social skills.

Buat bagan yang menunjukkan siapa Anda. Bagan ini memperlihatkan segala
kekurangan maupun kelebihan yang Anda miliki. Bila lebih banyak keluar sisi negatif,
bisa jadi Anda kurang percaya diri. Hal ini tidak baik karena bila ada masalah berat, Anda
sulit untuk bisa menerima diri sendiri. Cobalah berpikir positif. Anggap kesalahan sebagai
sesuatu yang parsial untuk kemudian diperbaiki dan diatasi.

Akui kekurangan diri. Mengakui kekurangan diri merupakan hal yang sulit, tapi Anda
harus tetap melakukannya dan mendata kekurangan yang ada (stock opname).

Periksa ulang kelebihan maupun kekurangan yang ada. Entah itu dengan teman,
pasangan, ataupun orangtua. Intinya, Anda bisa mengetahui segala hal tentang diri Anda
dari orang yang benar-benar tahu tentang Anda. Dan tentunya bisa Anda percaya.

Mencari pemecahan atas kekurangan diri. Apa yang harus dibenahi dan diperbaiki.
Misalnya Anda orang yang tidak mudah bergaul, berarti harus mencoba mengatasi
dengan melatih diri untuk bersosialisasi. Lain halnya dengan IQ. Itu merupakan sesuatu
yang terberi, tapi Anda tetap bisa mengatasinya dengan banyak belajar dan membaca.
Ada beberapa hal yang sifatnya tidak bisa dilatih. Jika demikian, cobalah untuk menerima
apa adanya. Jangan melakukan kesalahan yang sama. Belajarlah dari kesalahan yang
telah diperbuat.

Pemeriksaan psikologis. Hal ini sebenarnya untuk mengukur kemampuan diri, dalam hal
ini IQ. Selain itu EI juga sebetulnya bisa diukur, yakni dengan cara mengenali diri sendiri.
@
Dekatkan Diri pada Tuhan
Bila kemampuan diri sudah diketahui, cobalah:

Selalu melakukan yang terbaik. Do the best! Namun, perlu dipertimbangkan faktor X
yang mungkin timbul. Bila sesuatu tidak tercapai sesuai harapan, jangan menyalahkan
diri sendiri. Bisa jadi, itu bukan porsi yang harus Anda terima.

Berusaha mengakui dan menerima setiap keadaan yang terjadi. Jika tidak, Anda akan
selalu berada dalam keadaan tidak puas. Dan setiap kali merasa tidak puas, Anda tidak
akan bisa berdamai dengan diri sendiri.

Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Itu salah satu
caranya. Berdoa sampai berbusa-busa, tapi hati tidak menerima apa yang terjadi dalam
diri Anda, tidak akan berarti sama sekali. Percayalah, bahwa apa yang diberikan Tuhan
adalah baik. Tuhan tahu kebutuhan Anda daripada diri Anda sendiri.

Melakukan meditasi. Saat rilek daya pikir biasanya akan lebih jernih, juga lebih sensitif
dalam menerima. Rileksasi juga menjadi bagian untuk berdamai. Jadi, lakukan latihan
rileksasi.

Jangan memaksa diri. Hal ini justru akan membuat stres baru bagi Anda.

Rasional. @
Sumber : http://www.kompas.com/kesehatan/news/0212/25/211515.htm
Download