REFERAT Gambaran Adenocarcinoma Duodenum Pada

advertisement
REFERAT
Gambaran Adenocarcinoma Duodenum Pada
Gastrointestinal Contrast Study dan CT Scan
Oleh :
dr. Indri Haryuni
NIM: 12/343357/PKU/13568
Pembimbing :
dr. Bambang Purwanto Utomo, Sp.Rad
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Adenocarcinoma merupakan primary malignant tumor yang paling sering
terjadi pada duodenum. Adenocarcinoma duodenum merupakan malignant
neoplasma yang sangat jarang terjadi dan biasanya di regio periampullary sebagai
polypoid mass maupun sebagai lesi irregular annular constricting dengan mural
thickening (ketebalan > 1cm) yang menyebabkan deformitas lumen 1,2,3,4,5,6.
Insidensi sekitar 0,035%1. Adenocarcinoma duodenum terjadi sekitar 0,3% dari
semua ca traktus gastrointestinal dan sekitar 45% dari small bowel cancer.
Walaupun panjang duodenum < 10% dari total panjang usus halus, tapi duodenum
merupakan lokasi cancer usus halus sebanyak 25-45%7.
Adenocarcinoma
duodenum biasanya terdiagnosa pada advanced stage2. Puncak prevalensi terjadi
pada dekade ketujuh3. Gejala yang timbul bervariasi dan terkait dengan
komplikasi (duodenal stenosis dan atau obstruksi common bile duct)5,6.
Karena memiliki presentasi klinis yang tidak khas, adenocarcinoma
duodenum sering terlambat didiagnosa sehingga prognosisnya pun buruk karena
sudah pada stadium lanjut saat terdiagnosa3. Pemeriksaan radiologi dapat
membantu penegakan diagnosa adenocarcinoma duodenum. Pemeriksaan
radiologi yang dapat dikerjakan untuk membantu penegakan diagnosis adalah
upper gastrointestinal contrast study, USG, CT scan, dan MRI.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui gambaran
radiologis pada upper gastrointestinal contrast study dan pada pemeriksaan
abdominal CT scan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Primary adenocarcinoma duodenum diduga berasal dari Lieberkuhn
epithelium dari mukosa duodenum. Crypt Lieberkuhn merupakan lanjutan ductus
glandula yang menembus muscularis mucosa7.
Epidemiologi
Adenocarcinoma merupakan primary malignant neoplasma yang paling
sering terjadi di duodenum. Adenocarcinoma duodenum terjadi sekitar 0,3% dari
semua keganasan gastrointestinal dan sekitar 50-70% dari small bowel
adenocarcinomas yang terjadi pada duodenum maupun jejunum proksimal.
Karena jarangnya, kasus adenocarcinoma duodenum sering dilaporkan bersama
dengan tumor jejunum dan ileum sebagai small bowel cancer, atau pada beberapa
kasus dilaporkan dengan periampullary malignancy, bersama dengan pankreatic
ca, ampullary ca, distal bile duct ca. Masih sedikit penelitian yang fokus
mengenai adenocarcinoma duodenum8,9,10.
Adenocarcinoma cenderung berkembang di duodenum daripada di bagian
lain usus halus mungkin karena dekat dengan ampulla Vateri7.
Adenocarcinoma duodenum dapat tumbuh dari duodenal polyps pada
familial polyposis atau Gardener’s syndrome maupun yang terkait dengan celiac
disease8,9,10.
Prevalensi puncak adenocarcinoma duodenum terjadi pada dekade
ketujuh. Lebih dari 50% pasien telah mengalami metastasis pada saat terdiagnosa
adenocarcinoma duodenum3,11,12,13,14,15.
Lokasi
Adenocarcinoma duodenum biasanya terletak di duodenum bagian distal
(pars III dan IV) sekitar 45%, di duodenum pars II sekitar 40%, dan di duodenum
pars I sekitar 15%3.
3
Anatomi
Duodenum merupakan bagian dari usus halus. Nama duodenum yang
berarti dua ditambah sepuluh, karena panjang dari duodenum diperkirakan sama
dengan lebar 12 jari16. Duodenum memiliki panjang sekitar 8 inch. Duodenum
merupakan lanjutan dari gaster10. Duodenum tidak memiliki mesenterium dan
hanya sebagian yang tertutup peritoneum. Duodenum memiliki panjang sekitar
25-30 cm dan dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama (superior) duodenum
memanjang dari pylorus ke collum vesica fellea dan terutama tersusun atas bulbus
duodeni. Bagian kedua (descending) duodenum memanjang dari collum vesica
fellea ke genu, biasanya level setinggi vertebra lumbal IV. Abnormalitas pada
bagian ini terutama karena kondisi patologis struktur di sekitarnya, termasuk
pankreas dan sistem bilier. Bagian ketiga (horizontal) duodenum memanjang dari
level setinggi vertebra lumbal IV ke level setinggi aorta. Pars ketiga duodenum ini
terletak retroperitoneal dan lebih dekat ke spine. Bagian keempat (ascending)
duodenum memanjang dari level setinggi aorta ke ligament of Treitz16.
Pars I duodenum merupakan bagian yang mobile dengan panjang sekitar 5
cm. Bagian proksimal duodenum sekitar 2 cm sering disebut sebagai duodenal
“cap” karena sering terlihat pada foto polos abdomen sebagai isolated triangular
gas shadow di paravertebra dextra lumbal II-III.
Duodenum pars I terletak di sebelah anterior dari arteri gastroduodenal,
common bile duct, dan vena porta, dan terletak di anterosuperior dari caput
pankreas.
Perbatasan dari duodenum pars I dan pars II terletak posterior dari collum
vesica fellea.
Duodenum pars II panjangnya sekitar 8-10 cm dan ditutupi peritoneum
pada permukaan upper anterior. Common bile duct dan ductus pancreaticus
dinding medial dari duodenum pars II secara obliq dan biasanya bergabung
membentuk common hepatopancreatic ampulla. Ujung distal yang sempit
4
membuka pada puncak dari major duodenal papilla yang disebut ampulla vateri
yang terletak pada dinding posteromedial, sekitar 8-10 cm di distal dari pylorus.
Duodenum pars III panjangnya sekitar 10 cm. Terletak posterior dari colon
transversum, mesenterium usus halus, dan pembuluh darah mesenterica superior7.
Duodenum pars III terletak di anterior dari ureter kanan, musculus psoas kanan,
pembuluh darah gonadal kanan, vena cava inferior dan aorta abdominalis.
Duodenum pars III terletak di inferior dari caput pankreas.
Duodenum pars IV panjangnya sekitar 2,5 cm, ditutupi oleh peritoneum
pada permukaan superior dan inferior, digantung oleh ligament of Treitz, yang
dimulai pada duodenojejunal flexure. Pada ujung lateral kiri, duodenum pars IV
ditutupi oleh peritoneum pada permukaan superior dan inferior.
Pembuluh
darah
yang
menyuplai
duodenum
adalah
arteri
pancreaticoduodenal superior dan inferior. Duodenum pars I dan II juga menerima
suplai dari arteri gastrica dextra, arteri supraduodenal, arteri gastroepiploica
dextra, arteri hepatica, dan arteri gastroduodenal. Draining vena ke dalam vena
porta melalui vena pancreaticoduodenal superior dan inferior.
Duodenal lymphatic menuju nodus pancreaticus anterior dan posterior
yang terletak di sulcus anterior dan posterior antara caput pankreas dan
duodenum:
draining
nodus
tersebut
menuju
suprapyloric,
infrapyloric,
hepatoduodenal, common hepatic, dan superior mesenteric nodes7.
Duodenum diinervasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Preganglionic
sympathetic axons berasal dari columna inferomediolateral dari grey matter pada
segmen vertebra thoracal V-XII. Saraf simpatis merupakan vasoconstrictor
duodenal vasculature dan inhibitor duodenal musculature. Preganglionic
parasympathetic dibawa oleh vagal axons yang didistribusikan via celiac plexus
dan bersinaps pada neuron di dinding duodenum. Parasimpathetic supply
merupakan secretomotor pada mukosa duodenum dan motor pada duodenal
musculature7.
5
Mukosa duodenum berupa lipatan plicate yang disebut valvulae
conniventes. Adanya lipatan-lipatan mukosa ini memperbesar area absorbsi. Pada
mukosa terdapat villi yang ditutupi simple columnar epithelium dan menjadi
microvilli. Di dalam columnar epithelium terdapat sel goblet yang memproduksi
mukus7,16. Gambar 1 menunjukkan anatomi duodenum. Gambar 2 menunjukkan
gambaran duodenum normal pada pemeriksaan dengan bahan kontras barium.
Gambar 3 menunjukkan duodenum pada pemeriksaan dengan CT scan.
Fisiologi Duodenum
Duodenum memiliki fungsi absorbsi yang sangat kecil dan menetralisir
asam dari gaster sebelum masuk ke jejunum. Secara histologi terdapat mucus
secreting glands. Glandula submucosal yang dikenal sebagai Brunner’s glands
membantu produksi mukus. Sekresi mukus ini untuk melindungi mukosa
duodenum dan menetralisir asam lambung dan chyme. Glandula submukosa
terbanyak di duodenum pars proksimal dan jumlahnya menurun pada bagian yang
mendekati jejunum.
pH duodenum berkisar 1-2 pada bagian proksimal dan sekitar 7-8
mendekati jejunum7.
Ampulla Vateri terletak di dinding duodenum pars II dimana empedu dan
enzim pankreas mulai mendigesti dan menghancurkan chyme. Bisa terjadi
absorbsi. Meningkatnya area permukaan pada duodenum pars III dan IV
meningkatkan kapasitas absorbsi7.
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi untuk terjadinya epithelial neoplasma pada duodenum
dapat dibagi 2 kelompok, yaitu Inflammatory Disorders seperti Crohn’s disease
dan Genetic Disorders, familial adenomatous polyposis (FAP) maupun hereditary
non-polyposis colon cancer (HNPCC)7. Pasien dengan familial adenomatous
polyposis dan Gardner syndrome memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengidap duodenal cancer. Pasien dengan duodenal polyps tanpa riwayat
6
keluarga yang memiliki faktor predisposisi, juga memiliki faktor resiko yang
tinggi untuk menderita adenocarcinoma duodenum3.
Faktor resiko lain yaitu rokok dan alkohol pada beberapa penelitian dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenocarcinoma duodenum, sedangkan pada
penelitian yang lain menyebutkan bahwa rokok dan alkohol tidak meningkatkan
resiko terjadinya adenocarcinoma duodenum7.
Molecular Pathogenesis
Beberapa teori telah dipostulasikan untuk menjelaskan proteksi relatif usus
halus dari perkembangan carcinoma. Usulan faktor protektif secara umum ada 2
konsep. Yang pertama, rapid turnover dari sel usus halus menghasilkan epithelial
cell shedding sebelum akumulasi genetic damage critical yang mengarah ke
carcinogenesis. Yang kedua, paparan bahan karsinogenik dari makanan kita ke
usus halus terbatas karena cepatnya waktu transit di usus halus, kurangnya
bacterial degradation activity, dan lingkungan yang bersifat alkaline. Lesi
premaligna disebabkan perubahan genetic yang termasuk expansi monoclonal dari
sel, maupun oleh faktor lingkungan seperti infeksi virus, yang termasuk expansi
polyclonal sel. Akumulasi perubahan genetic terjadi pada satu atau beberapa
premalignan sel dan sel berubah menjadi maligna dan menghasilkan tumor
primer.
Pada tahap awal dari expansi tumor primer, sel tidak invasif dan
metastatic. Kemudian klon yang baru dengan kemampuan invasif dan metastatic
muncul sebagai hasil akumulasi perubahan pada sel7.
Pathology
Adenocarcinoma duodenum dapat berupa napkin ring appearance dan
polypoidal fungatining mass. Secara umum, lesi dapat dibagi menjadi protruded
type dan superficial type. Protruded type dapat berupa pedunculated, subpedunculated, dan sessile. Sedangkan superficial type dapat berupa flat elevated,
flat, dan depressed. Gambar 2 menunjukkan tipe lesi neoplasma.
7
Presentasi Klinis
Kebanyakan presentasi klinis pada adenocarcinoma duodenum adalah
tidak spesifik. Keluhan yang paling umum dirasakan pasien adalah nyeri abdomen
atas dan kehilangan berat badan. Pada fase lanjut, variasi presentasi klinis yang
terjadi dapat berupa gejala akibat obstruksi intestinal proksimal, jaundice,
haematemesis, melena, darah yang tersembunyi pada feses, nyeri pinggang
bawah, gangguan defekasi, teraba massa, dan lain – lain3.
Bremer dan Brown mendeskripsikan 4 gejala yaitu obstruksi duodenum,
ulserasi dengan perdarahan, penetrasi yang menyebabkan nyeri, dan obstruksi
bilier17. Umumnya, pasien adenoca duodenum mengalami microcytic iron
deficiency anaemia dengan gejala terkait lelah dan lemah7.
Diagnosa
Sering sulit untuk mendiagnosa adenocarcinoma duodenum pada stadium
awal karena presentasi klinis yang tidak khas dan tersembunyi. Diagnostic work
up dapat berlangsung lama, mahal, dan dapat melibatkan tindakan invasive. Dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala klinis yang tidak khas berupa
nyeri abdomen yang tidak khas, lemah, letih, jaundice, dan lain-lain. Pemeriksaan
laboratorium juga menunjukkan hasil yang tidak khas, yaitu bisa didapatkan
anemia mikrositik, fungsi hepar yang terganggu bila sudah ada metastase,
bilirubin meningkat, dan lain-lain. Pemilihan investigasi diagnostik tergantung
pada gejala yang ada. Bila terdapat obstructive symptoms maka dilakukan
investigasi secara radiologi. Bila terdapat anemia defisiensi besi, dilakukan
pemeriksaan endoscopy16.
Pemeriksaan Penunjang
Fluoroscopy
Fluoroscopy traktus gastrointestinal bagian atas merupakan modalitas
yang efektif untuk membantu penegakan diagnosa small-bowel carcinoma.
Fluoroscopy traktus gastrointestinal bagian atas dapat menunjukkan mucosal
8
pattern
distortion,
obliterasi,
dan
penyempitan.
Delayed
images
dapat
menunjukkan tertahannya barium pada lokasi lesi.
Diagnosa tepat dengan pemeriksaan barium hanya sekitar 50% kasus7. Hal
ini disebabkan sering terjadi overlapping segmen sehingga lesi bisa tidak
terdeteksi7. Gambar 5-8 menunjukkan adenocarcinoma duodenum
pada
pemeriksaan barium.
Oesophagus-gastro-duodenoscopy (OGD)
Upper gastrointestinal endoscopy telah menjadi pemeriksaan lini pertama
untuk duodenal cancer related symptoms. Penggunaan magnifying endoscope
selama chromoendoscopy membuat analisis permukaan yang detail dari lesi.
Efikasi dari magnifying chromoendoscopy (MCE), tidak hanya membedakan
antara epithelial neoplastic dan lesi non-neoplastic, tapi juga secara akurat
menentukan dalamnya invasi dari early cancer.
Kelemahan
MCE
adalah
operator-dependent,
labour-intensive,
memerlukan staining solutions, spraying catheters, water rinses7.
Ultrasound
Lesi tampak sebagai massa hypoechoic yang irreguler. Ultrasonography
dapat mendiagnosa dan menilai vaskularisasi lesi yang lebih besar tapi tumor
yang lebih kecil dapat tidak terdeteksi.
CT Scan
CT
scan
abdomen
dengan
kontras
oral
dan
intravena
dapat
mengidentifikasi tumor jinak dan ganas pada duodenum dan melihat perluasan
tumor.
CT Scan merupakan modalitas pilihan untuk staging dengan identifikasi
tumor primer, menilai penyebaran lokal, nodal, dan penyebaran jauh3. Pada CT
scan, bisa terlihat massa soft tissue solid intraluminal16.
9
Visualisasi lesi dengan bahan kontras negatif (air) dapat menunjukkan
massa intrinsik dengan segmen pendek dari penebalan dinding usus3. Selain itu
CT scan dapat juga melihat invasi retroperitoneal fat planes, duktus pancreaticus,
ductus biliaris, vascular encasement, limfonodi, dan metastase jauh3. Gambaran
adenocarcinoma duodenum pada CT scan mirip dengan adenocarcinoma colon
yaitu dapat berupa filling defects dan massa polypoid. Gambar 9-14 menunjukkan
adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan CT scan.
Staging
Staging menggunakan TNM system dari American Joint Committee on
Cancer (AJCC). Staging system menjelaskan penyebaran cancer melalui lapisan
dinding usus halus. AJCC/TNM system menjelaskan luas tumor primer (T), ada
tidaknya metastase melalui limfonodi (N), dan ada tidaknya metastase jauh (M).
Tabel 1 dan 2 menunjukkan staging dari adenocarcinoma duodenum7.
Diagnosa Banding
Gastrointestinal Stromal Tumors (GIST).
Gastrointestinal stromal tumors merupakan spindle cell, epitheloid, dan
pleomorphic mesenchimal tumors pada traktus gastrointestinal yang pada
immunohistochemistry menunjukkan KIT protein (CD-117). GIST diduga berasal
dari sel Cajal (ICCs). GIST dapat berasal dari traktus gastrointestinal maupun di
luar traktus gastrointestinal yaitu pada mesenterium maupun omentum18,19. Lokasi
tersering terjadinya GIST adalah gaster (60% dari semua kasus), diikuti oleh usus
halus (30%), colon dan rectum (5%), dan esophagus (< 5%). GIST juga dapat
berkembang sebagai tumor primer pada omentum, mesenterium, maupun
retroperitoneum. Kejadian GIST sekitar 1% - 3% dari semua gastric neoplasm,
20% dari semua tumor usus halus, dan 0,2% - 1% dari semua tumor colorectal19.
GIST terjadi pada umur sekitar 40-70 tahun dengan kejadian pada laki –
laki hampir sama dengan perempuan.
10
Gejala klinis GIST adalah perdarahan gastrointestinal, sering dengan
episode akut nyeri abdomen, kehilangan berat badan, obstructive jaundice,
distensi abdomen, mual, dan muntah18.
Pada pemeriksaan barium menunjukkan sebagian besar massa intramural
dengan potential exophytic components, tepi biasanya licin dengan ulserasi. En
face, permukaan intraluminal sering memiliki batas yang tegas. Gambar 15-16
menunjukkan duodenal GIST pada pemeriksaan kontras barium.
Pada gambaran CT scan, GIST dapat memberikan gambaran exophytic
tumor dengan heterogeneous contrast-enhancement, permukaan irregular, batas
tak tegas, invasi ke jaringan, bisa terdapat hepatal metastase maupun peritoneal
dissemination, bisa terdapat area kistik dan nekrosis18. Ukuran tumor < 5 cm
cenderung jinak, sedangkan bila ukuran tumor > 5 cm cenderung ganas. CT scan
merupakan modalitas untuk melihat perluasan endoluminal dan exophytic dari
tumor.
Gambar
17-19
menunjukkan
adenocarcinoma
duodenum
pada
pemeriksaan dengan CT scan.
Terapi untuk GIST adalah radical surgical excision dan kemoterapi.
Setelah mendapatkan kemoterapi, metastase hepar dan metastase mesenteric
menjadi hypovascular bahkan kistik. Kasus GIST yang recurrence menunjukkan
metastase hepar yang hipodens dan metastase peritoneal yang heterogen dan
luas18,19.
Duodenal Lymphoma
Lymphoma merupakan malignant neoplasma dengan karakteristik berupa
proliferasi cells native sampai jaringan lymphoid, yaitu lymphocytes, histocytes,
beserta prekursor dan derivatives nya. Faktor resiko terjadinya lymphoma yaitu
celiac disease, Chron’s disease, SLE, kondisi immunocompromised, riwayat
kemoterapi,
dan
extra-intestinal
lymphoma.
Secara
umum
lymphoma
diklasifikasikan menjadi Hodgkin’s Lymphoma (HL) dan Non Hodgkin’s
Lymphoma (NHL)20.
11
Lymphoma merupakan tumor primer usus halus terbanyak. Usus halus
merupakan lokasi kedua tersering pada traktus gastrointestinal yang terlibat
lymphoma dan merupakan 20-30% dari semua primary gastrointestinal
lymphomas. Duodenum merupakan lokasi yang paling jarang untuk lymphoma.
Sekitar 12% dari semua malignant duodenal neoplasia adalah duodenal
lymphoma21.
Gejala klinis pada pasien dengan gastrointestinal lymphoma adalah
muntah, nyeri abdomen, kehilangan berat badan, dan demam. Bisa juga terdapat
gejala peptic ulceration, hematemesis, melena, anemia, maupun gejala yang tidak
khas seperti hilang nafsu makan22.
Kriteria untuk mendiagnosa lymphoma traktus gastrointestinal adalah
tidak teraba limfadenopati superficial, tidak adanya pembesaran limfonodi
mediastinum pada foto rontgen thorax, lekosit dan hitung jenis normal, lesi
predominat di traktus gastrointestinal dengan hanya keterlibatan limfonodi
regional, dan tidak adanya keterlibatan hepar maupun lien.
Pada upper gastrointestinal study, tampak dilatasi duodenum dengan fold
thickening23. Gambar 20 menunjukkan duodenal lymphoma pada pemeriksaan
dengan kontras barium.
Pada pemeriksaan CT scan, lymphoma tampak sebagai lesi hipodens bila
dibandingkan dengan parenkim di sekitarnya. Bila diberikan bahan kontras
intravena, lesi akan mengalami mild enhancement dan uniform. Bisa terjadi
nekrosis sentral yang memberikan gambaran heterogen pada gambaran yang
enhance maupun tidak enhance. Duodenal lymphoma dapat berupa massa
endoexoenteric
dengan
circumferential
dengan
dilatasi
aneurysmal23.
homogenous
enhancement
Lymphoma
dan/atau
cenderung
pembesaran
limfonodi18. Lymphoma dapat berupa thick walled infiltrating mass, dinding
irreguler, dengan dilatasi aneurismal tanpa obstruksi. Dilatasi aneurismal karena
terdapat destruksi pada dinding usus dan myenteric nerve plexus. Gambar 21-22
menunjukkan duodenal lymphoma pada pemeriksaan dengan CT scan.
12
Lymphoma pada traktus gastrointestinal dapat berupa nodular, polypoid,
infiltrative, aneurysmal atau cavitary, ulcerative, dan campuran23.
Pada yang bentuk nodular, terdapat penebalan berbentuk nodular pada
segmen yang terlibat, dengan ukuran nodul yang bervariasi. Nodular form
biasanya tersebar luas23.
Pada yang infiltrative form, terdapat penebalan berbentuk fokal maupun
difuse pada segmen yang terlibat karena perluasan tumor sepanjang submucosal
dan muscularis propria. Peristalsis dapat terganggu, dan segmen yang terlibat
memiliki bentuk tubelike appearance. Infiltrasi difus dapat menyebabkan
destruksi muscularis propria dan autonomic plexus. Segmen yang terlibat menjadi
nonperistaltic, dilatasi circumferential, dan dinilai memiliki aneurysmal
appearance. Jarang terjadi penyempitan dan obstruksi lumen segmental. Tumor
dapat meluas ke mesenterium, menimbulkan cavitated mass. Infiltrasi akibat
lymphoma dapat menyebabkan ulserasi mural22.
Lymphoma dengan polypoid form dapat memberikan gambaran single
maupun multiple filling defect.
Lymphoma dengan endoexoenteric form awalnya merupakan massa
intraluminal yang meluas, ulserasi, dan perforasi ke mesenterium di sekitarnya
menghasilkan abses steril. Pemeriksaan dengan barium dapat memberikan
gambaran cavitas luas sepanjang batas mesenteric dari segmen usus yang terlibat.
CT dapat menunjukkan bahan kontras extraluminal yang meluas ke bowel cavity,
yang sering mengandung cairan, debris, maupun udara.
Mesenteric invasive form dari small bowel lymphoma dapat berupa
mesenteric mass yang meluas ke mesenteric border dari usus halus. CT dapat
menunjukkan derajat dan perluasan tumor23.
13
Prognosis
Histological grade, keterlibatan transmural, ukuran tumor, keterlibatan
limfonodi,
dan
metastase
jauh
dapat
mempengaruhi
survival
pasien
adenocarcinoma duodenum7.
Prognosis untuk adenocarcinoma duodenum dilaporkan kurang dari 30%
untuk five-year survival rate24. Jadi, pasien dengan stadium lanjut memiliki
prognosis yang buruk. Jika adenocarcinoma duodenum ditemukan pada stadium
awal, dapat dilakukan endoscopic curative resection. Sehingga, sangat penting
untuk mendeteksi adenocarcinoma duodenum pada stadium awal.
Long-term survival untuk pasien adenocarcinoma duodenum dapat dicapai
dengan surgical procedures yang memberikan negative resection margins.
Pancreaticoduodenectomy diperlukan untuk mendapatkan negative resection
margins pada hampir semua lesi di D1 dan D2. Segmental resection cocok untuk
pasien tertentu, terutama pada pasien dengan lesi di duodenum bagian distal.
Adanya nodal metastase, stadium lanjut, dan kehilangan berat badan pre-operative
dapat untuk memprediksi survival pasien yang lebih jelek25.
Tumor dengan negative margin pada surgical specimen yang terletak pada
duodenum pars I dan II memiliki prognosis yang lebih baik14.
Tabel 3 menunjukkan survival rate pada pasien adenoca duodenum7.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk adenocarcinoma duodenum dapat dilakukan
dengan pembedahan, chemotherapy, dan radiotherapy11. Faktor utama yang
menentukan pilihan terapi adalah ukuran tumor, lokasi tumor, penyebaran ke
limfonodi, liver, tulang, maupun organ lain, dan apakah ada kondisi medis lain
yang serius.
Untuk tumor yang terletak di duodenum pars I dan II, dilakukan
pembedahan dengan Whipple’s procedure berupa reseksi radikal tumor dan
14
lymphatic drainage nya. Untuk tumor pada duodenum pars III dan IV dilakukan
reseksi segmental duodenum dengan lymphadenectomy yang tepat14.
15
BAB III
PEMBAHASAN
Cancer pada usus halus termasuk jarang dibandingkan cancer pada traktus
gastrointestinal lainnya26. Jenis cancer pada usus halus yang paling sering terjadi
adalah adenocarcinoma, lymphoma, sarcoma, dan carcinoids. Duodenum
merupakan lokasi tersering terjadinya adenocarcinoma pada usus halus yaitu
sekitar 55%, diikuti oleh jejunum (18%) dan ileum (13%)13. Gejala klinis yang
timbul biasanya asimptomatik dan baru menimbulkan gejala bila ukurannya
semakin membesar. Obstruksi parsial pada duodenum, dengan gejala terkait
seperti nyeri kram pada perut atas setelah makan, mual dan muntah, merupakan
gejala yang paling sering timbul. Karena gejalanya yang tidak spesifik,
adenocarcinoma duodenum sering terlambat didiagnosis. Periampullary tumors
dapat menyebabkan obstructive jaundice dan pancreatitis.
Pemeriksaan diagnostic image biasanya menggunakan barium contrast
study, upper gastrointestinal tract endoscopy, dan computed tomography. Biopsi
sering diperlukan untuk mendapatkan final
diagnosis.
Diagnosis
pasti
menggunakan pemeriksaan histopatologi.
Barium meal, upper gastrointestinal endoscopy, dan biopsi merupakan
cara menegakkan pre-operative diagnosis. Bila mengerjakan barium meal pada
pasien anemia, perlu dipastikan bahwa seluruh duodenum dilapisi kontras dan
screening dilakukan paling tidak sampai duodenojejunal flexure1.
Sekitar 50% dari adenocarcinoma usus halus berasal dari duodenum.
Sekitar 45% adenocarcinoma duodenum berasal dari duodenum pars III dan IV19.
Walaupun kebanyakan kasus adalah sporadik, telah dilaporkan adenocarcinoma
duodenum pada Crohn’s disease, celiac disease, Peutz-Jeghers syndrome, dan
familial adenomatous polyposis (FAP).
Adenocarcinoma duodenum merupakan tumor periampullary yang jarang
6
terjadi . Manifestasi yang paling sering terjadi adalah anemia defisiensi besi.
Barium meal follow-through dan esophago-gastro-duodenoscopy dilanjutkan
16
dengan biopsi merupakan cara efektif untuk mendiagnosa tumor duodenum bila
ditemukan gejala yang mengarah kepada keadaan patologis di duodenum6. Lesi
pada duodenum distal dapat susah dideteksi dengan endoscopy sehingga kadang
diperlukan endoscopy ulang. CT scan dapat memvisualisasikan lesi patologis pada
traktus gastrointestinal karena CT scan dapat memvisualisasikan lumen, dinding
dan struktur extramural yang terkait6. CT scan merupakan metode yang dapat
memprediksi duodenal tumour resectability. Primary duodenal adenocarcinoma
memiliki resectability yang rendah terutama tumor duodenum distal yang less
curable dengan reseksi karena invasi small bowel mesentry. Long-term survival
pada pasien dengan
adenocarcinoma duodenum
dapat
dicapai
dengan
pembedahan yang menghasilkan batas reseksi negatif6.
Presentasi klinis pada adenoca duodenum tergantung pada obstruksi yang
ditimbulkan oleh lesi, apakah obstruksi parsial atau obstruksi komplet, biasanya
disertai dengan persistent bilious vomiting dan nyeri abdomen atas. Pasien juga
sering mengalami penurunan berat badan dan anemia dengan hemoccult-positive
stool.
Akurasi diagnostik dari duodenojejunal growth dengan barium study
sekitar 83%. Upper gastro intestinal endoscopy memiliki peran terbatas dalam
mendiagnosa tumor karena prosedur biasanya dihentikan sebelum mencapai
lokasi lesi. Capsule endoscopy dan double balloon enteroscopy (DBE) merupakan
modalitas diagnostik yang lebih baru. CT scan memiliki akurasi tinggi dalam
mendeteksi metastase untuk staging penyakit tapi CT scan memiliki peran terbatas
dalam mendiagnosa tumor primer12.
Pada pemeriksaan fluroscopy dengan bahan kontras barium, bisa terlihat
gambaran yang bervariasi yaitu adanya massa intraluminal yang menyempitkan
lumen duodenum, ada yang berbentuk fungating, ada yang berbentuk polypoid
mass, bisa berupa massa villous yang besar, ulcerated mass, annular constricting
“apple-core lesion”, dan lain – lain. Bisa terlihat adanya striktur pada lumen
duodenum.
17
Sedangkan pada CT scan,dapat ditemukan discrete mass, focal unilocular,
circumferential mass, penebalan dinding duodenum yang irreguler dengan
penyempitan lumen yang concentric, shoulder sign, pre-stenotic dilatation,
moderate enhancement, dan local lymphadenopathy. Tumor dapat menyebabkan
obstruksi intestinal dan bisa terjadi metastase baik ke hepar maupun ke
peritoneum26,27. Bila tumor berbentuk polypoid mass, dapat terjadi intususepsi.
Kejadian sarcoma sekitar 11% dari keganasan usus halus. Sarcoma
merupakan mesenchymal neoplasm dari traktus gastrointestinal yang diduga
berasal dari interstitial cell of Cajal, pacemaker cell yang mengatur peristalsis dari
traktus digestivus. Sarcoma juga dikenal sebagai gastrointestinal stromal tumors
(GISTs). Pada pemeriksaan radiologi, wall-circumscribed submucosal mass
extending exophytically dari traktus gastrointestinal merupakan gambaran yang
sering terjadi pada GIST28. Tidak seperti adenocarcinoma, pada GIST jarang
terjadi obstruksi karena GIST tidak melibatkan circumferential bowel wall. Pada
GIST, metastase hepar biasanya hipervascular dan bisa terlewatkan pada single
portal venous phase CT, dan jarang terdapat lymphadenopathy. Pada GIST,
metastase maupun omental umumnya terjadi pada kasus recurrent dibanding pada
presentasi awal. Hal ini diduga karena adanya spill dari tumor saat dilakukan
operasi. Metastase ini bisa terlewatkan karena memiliki low density center.
Kejadian lymphoma sekitar 14% dari keganasan usus halus. Pada upper
gastrointestinal series, duodenal lymphoma dapat berupa massa submukosa yang
licin atau loculated pada gaster bagian distal dan duodenum22. Bulky
hypovascular soft tissue mass yang menginfiltrasi submucosa gaster dan
duodenum dapat dilihat dengan contrast – enhanced CT. Lymphoma pada CT
scan
dapat
ditemukan
lymphadenopathy
retroperitoneal
maupun
lymphadenopathy mesenteric yang besar sekali dan splenomegali. Gambaran
tersebut yang dapat sebagai salah satu pedoman untuk membedakan lymphoma
dengan adenocarcinoma. Pada adenocarcinoma jarang terdapat lymphadenopathy
yang sangat besar. Pada adenocarcinoma yang sering terjadi adalah infiltrasi ke
mesenteric fat22,26.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Adenocarcinoma duodenum merupakan keganasan neoplasma yang jarang
dan memiliki gejala klinis yang tidak khas sehingga sering terlambat didiagnosis.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu dalam penegakan diagnosis diantaranya
dengan pemeriksaan barium dan CT scan.
Gambaran adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan barium
adalah massa intraluminal yang menyempitkan lumen duodenum, bisa berbentuk
fungating, polypoid mass, massa villous yang besar, ulcerated mass, annular
constricting “apple-core lesion”, striktur lumen duodenum, dan lain-lain.
Gambaran adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan CT scan adalah
discrete mass, focal unilocular, circumferential mass, penebalan dinding
duodenum yang irreguler dengan penyempitan lumen yang concentric, shoulder
sign, pre-stenotic dilatation, moderate enhancement dan local lymphadenopathy.
19
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1: anatomi duodenum, ventral view. Sobotta, Atlas of Human Anatomy
vol 2.
Gambar 3: duodenum normal pada pemeriksaan duodenum. Meyers MA,
Dynamic Radiology of The Abdomen
20
Gambar
4:
CT
scan
duodenum normal. Panah: arteri gastroduodenal. RadioGraphics 2001; 21:S147–
S160
Gambar 4: tipe lesi neoplasma. Tonsi AF. Primary Nonampullary Duodenal
Carcinoma. Department of Surgery, University of Verona. 2008
21
Gambar
5:
descending
duodenal adenocarcinoma (panah). Skucas J.Advanced Imaging of The Abdomen.
2006
Gambar
6:
adenoca
duodenum. Barium meal menunjukkan striktur pada D2/3 junction dengan
obstruksi inkomplet. Hong Kong Med J 2008;14:67-9
22
Gambar 7: adenoca
duodenum. Barium meal menunjukkan fungating intraluminal mass di duodenum
pars III & IV. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010,
Vol. 20 (2): 130-131
Gambar 8: adenoca duodenum. Double contrast
barium study menunjukkan large bulky villous mass yang meluas ke dalam lumen
duodenum. Freeman, Radiology of The Stomach and Duodenum.
23
Gambar
9:
adenoca
duodenum. CT scan menunjukkan obstructing mass pada duodenum, tidak
melibatkan duktus biliaris maupun pankreas. Hong Kong Med J 2008;14:67-9
Gambar
10:
adenoca
duodenum. CT scan menunjukkan solid intraluminal soft tissue mass (panah)
tanpa invasi transmural maupun retroperitoneal adenopathy. RadioGraphics 2001;
21:S147–S160
24
Gambar 11: adenoca duodenum. Contrast Enhanced CT (CECT) scan potongan
coronal menunjukkan dilatasi gaster dan duodenum pars I,II,III dan IV. Jurnalul
de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3.
Gambar
duodenum.
CECT
menunjukkan
penebalan
konsentris
12:
adenoca
duodenum
pada
duodenojejunal flexure. Jurnalul de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3.
25
Gambar
13:
adenoca
duodenum pada CT scan potongan axial. Circumferential thickening pada dinding
duodenum pars descenden menyebabkan penyempitan lumen yang irreguler.
Freeman, Radiology of The Stomach and Duodenum.
Gambar 14: CT scan
potongan axial pada adenocarcinoma duodenum. Panah besar: small eccentric
contrast-enhancing soft tissue lesion pada duodenum perbatasan pars II-III,
menyebabkan luminal stenosis. Panah kecil: limfonodi regional. ECR 2013, no
poster C-1824.
26
Gambar 15: Multifocal GIST.
Pemeriksaan barium menunjukkan massa yang menyempitkan lumen duodenum
pars II. http://emedicine.medscape.com/article/369803-overview.
Gambar 16: duodenal GIST. Pemeriksaan dengan barium menunjukkan lesi
berbatas tegas pada duodenum pars I. Necrotic ulcer crater tampak terisi dengan
barium.
http://www.radrounds.com/photo/barium-image-of-gist-tumor-in-
duodenal-bulb-2
27
Gambar 17: duodenal GIST. CT scan dengan kontras pada potongan axial (a) dan
coronal (b) menunjukkan soft tissue mass melibatkan muscularis propria pada
duodenum pars II. Di dalam massa terdapat cyst dan kavitas, berhubungan dengan
lumen duodenum dan mengandung udara dan air-fluid levels (panah pada (a)).
Diagn Interv Radiol 2009; 15:121–126
Gambar 18: duodenal GIST metastasis ke hepar pada CT scan potongan axial.
RadioGraphics 2006; 26:481–495
28
Gambar 19: duodenal GIST pada CT scan abdomen potongan axial. Pol J Radiol,
2011; 76(3): 38-48
Gambar 20: duodenal lymphoma pada
pemeriksaan kontras dengan barium. Tampak dilatasi duodenum (panah) dan
penebalan lipatan (anak panah). Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265
29
Gambar
21:
duodenal
lymphoma. CT scan potongan axial menunjukkan penebalan dinding antrum
(kepala panah) dan massa endoexoenteric dengan dilatasi aneurysmal pada
duodenum (panah). Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265
Gambar 22: duodenal lymphoma
pada CT scan potongan axial. Tampak penebalan konsentris duodenum yang
menekan struktur di sekitarnya, vesica fellea distensi, dan dilatasi duktus biliaris
ekstrahepatal. JAPI VOL. 55 JANUARY 2007
30
LAMPIRAN TABEL
Tabel 1: Staging adenocarcinoma duodenum berdasar American Joint Committee
on Cancer (AJCC)
TNM Classification
Tx
No description of the tumor’s spread is possible because of incomplete
information
Tis
The cancer is only in the epithelium (the top layer of cells of the mucosa) −
it has not
grown into the deeper tissue layers. This is the earliest stage and is also
known as
carcinoma in situ (CIS)
T1a The cancer has grown from the top layer of cells of the mucosa and into the
layer of connective tissue below (the lamina propria)
T1b The cancer has grown through the mucosa and into the submucosa
T2
T3
T4
Nx
The cancer has grown through the mucosa and submucosa into the
muscularis propria
The cancer has grown through the inner layers of the intestine wall
(mucosa, submucosa, and muscularis propria) into the subserosa. It has not
started to grow into any nearby organs or tissues
The cancer has grown through the entire wall of the small intestine
(including the serosa). It may be growing into nearby tissues or organs
No information about lymph node involvement is available (often because
no lymph
nodes have been removed)
N0
Lymph nodes near the tumor were checked and do not contain cancer
N1
Cancer cells found in 1 to 3 nearby lymph nodes
N2
Cancer cells are found in 4 or more nearby lymph nodes
M0
No cancer has been found in other organs or tissues
M1
Cancer has been found in other organs or tissues
31
Tabel 2: Stage Grouping
Stage 0
Tis, N0, M0
Stage I
T1 or T2, N0, M0
Stage IIA
T3 or T4, N0, M0
Stage IIB
T4, N0, M0
Stage IIIA
Any T, N1, M0
Stage IIIB
Any T, N2, M0
Stage IV
Any T, Any N, M1
Tabel 3: Survival Rate Pasien Adenocarcinoma (AJCC Staging Manual 7th ed,
2010)
Stage
5-year observed survival
Stage I
55%
Stage IIA
49%
Stage IIB
35%
Stage IIIA
31%
Stage IIIB
18%
Stage IV
5%
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Carragher A, Russel C. Carcinoma of The Duodenum. Postgraduate
Medical Journal (1987) 63, 907-908.
2. Afridi SP, Mohib Y. Primary Adenocarcinoma of Duodenum. Journal of
the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (2): 130131
3. Shetty A, Mudgal P. Adenocarcinoma of Duodenum. Radiopaedia.org.
Available at http://radiopaedia.org/articles/adenocarcinoma-of-duodenum
4. Freeman AH, Sala E. Radiology of The Stomach and Duodenum.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2008.
5. Stoker J. MRI of The Gastrointestinal Tract. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg 2010.
6. Solej M, D’Amico S, Brondino G, Ferronato M, Nano M. Primary
Duodenal Adenocarcinoma. Tumori, 94: 779-786, 2008.
7. Tonsi AF. Primary Nonampullary Duodenal Carcinoma. Department of
Surgery, University of Verona. 2008.
8. Burt RW, Berenson MM, Lee RG, Tolman JW et al. Upper
Gastrointestinal Polyps in Gardner’s Syndrome. Gastroenterology. (1984);
86: 295 – 301.
9. Homes GKT, Dunn GI, Cockel R, Brookes VS. Adenocarcinoma of The
Upper Small Bowel Complicating Coeliac Disease. Gut. (1980); 21: 1010
– 1016.
10. Liang TJ, Wang BW, Liu SI, Chou NH, Tsai CC, Chen IS et al. Number
of involved lymph nodes is important in the prediction of prognosis for
primary duodenal adenocarcinoma. Journal of the Chinese Medical
Association 75 (2012) 573e580.
11. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2014. Atlanta, GA:
American Cancer Society; 2014.
33
12. Sahu SK, Singh PK, Singh BP, Raghuvanshi S, Sachan PK.
Adenocarcinoma of Duodenum At The Duodenojejunal Flexure. Jurnalul
de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3
13. Hessler PC, Braunstein E. Adenocarcinoma of The Duodenum Arising in
A Villous Adenoma. Gastrointest Radio 2, 355-357 (1978).
14. Anastosopoulus G, Marinis A, Konstantinidis C. Adenocarcinoma of the
third portion of the duodenum in a man with CREST syndrome. World
Journal of Surgical Oncology 2008, 6:106.
15. Takalkar U, Rao GV, Reddy DN. Adenocarcinoma in First and Second
Part of Duodenum - a Case Report. Int J Biol Med Res. 2013; 4(2):32373238
16. Jayaraman MV, Movson JS, Dupuy DE, Wallach MT. CT of the
duodenum: An Overlooked Segment Gets Its Due. RadioGraphics 2001;
21:S147–S160.
17. Kreel L, Mackintosh C. Carcinoma of The Duodenum. Gut, 1968, 9, 222226.
18. Ashkzaran H, Coenegrachts K, Steyaert L, Verstraete K, Casselman JW.
Duodenal Stromal Tumor Detected by CT-Enteroclysis. JBR–BTR, 2006,
89: 306-307.
19. Tocchi A, Mazzoni G, Puma F, et al. Adenocarcinoma of The Third and
Fourth Portions of the Duodenum: Results of Surgical Treatment. Arch
Surg 2003; 138: 80-85
20. Rahman S, Reyes E, Mehta A, Virk Z, Gintautas J, Cervantes J . Primary
Duodenal Lymphoma presenting as Obstructive Jaundice. The Internet
Journal of Gastroenterology. 2009;7(2)
21. Bandyopadhyay SK, Moulick A, Dutta A. Primary Duodenal Lymphoma
Producing Obstructive Jaundice. JAPI VoL. 55 January 2007.
22. Canelas A, Graca B, Seco MFS, Belo Soares PA, Teixeira L. CT of
Lymphoma: Spectrum of Abdominal Disease. ESGAR 2008.
23. Engin G, Korman U. Gastrointestinal Lymphoma: a Spectrum of
Fluoroscopic and CT Findings. Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265
34
24. Howe JR, Karnell LH, Menck HR, Scott-Conner C: The American
College of Surgeons Commission on Cancer and the American Cancer
Society. Adenocarcinoma of The Small Bowel: Review of the National
Cancer Data Base, 1985–1995. Cancer 1999, 86:2693–2706
25. Bakaeen FG, Murr MM, Sarr MG, Thompson GB, Farnell MB. What
Prognostic Factors Are Important in Duodenal Adenocarcinoma? Arch
Surg. 2000; 135: 635-642.
26. Hsueh C, Chen ML, Liao CY, Huang YC, Ho SY. Adenosquamous
Carcinoma of the Duodenal Third Portion. J Radiol Sci June 2011 Vol.36
No.2
27. Brenner RL, Brown CH. Primary carcinoma of the duodenum.
Gastroenterology 1955, 29: 189-198.
28. Ulusan S, Koc Z. Radiologic findings in malignant gastrointestinal stromal
tumors. Diagn Interv Radiol 2009; 15:121–126
35
Download