REFERAT Gambaran Adenocarcinoma Duodenum Pada Gastrointestinal Contrast Study dan CT Scan Oleh : dr. Indri Haryuni NIM: 12/343357/PKU/13568 Pembimbing : dr. Bambang Purwanto Utomo, Sp.Rad BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015 1 BAB I PENDAHULUAN Adenocarcinoma merupakan primary malignant tumor yang paling sering terjadi pada duodenum. Adenocarcinoma duodenum merupakan malignant neoplasma yang sangat jarang terjadi dan biasanya di regio periampullary sebagai polypoid mass maupun sebagai lesi irregular annular constricting dengan mural thickening (ketebalan > 1cm) yang menyebabkan deformitas lumen 1,2,3,4,5,6. Insidensi sekitar 0,035%1. Adenocarcinoma duodenum terjadi sekitar 0,3% dari semua ca traktus gastrointestinal dan sekitar 45% dari small bowel cancer. Walaupun panjang duodenum < 10% dari total panjang usus halus, tapi duodenum merupakan lokasi cancer usus halus sebanyak 25-45%7. Adenocarcinoma duodenum biasanya terdiagnosa pada advanced stage2. Puncak prevalensi terjadi pada dekade ketujuh3. Gejala yang timbul bervariasi dan terkait dengan komplikasi (duodenal stenosis dan atau obstruksi common bile duct)5,6. Karena memiliki presentasi klinis yang tidak khas, adenocarcinoma duodenum sering terlambat didiagnosa sehingga prognosisnya pun buruk karena sudah pada stadium lanjut saat terdiagnosa3. Pemeriksaan radiologi dapat membantu penegakan diagnosa adenocarcinoma duodenum. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan untuk membantu penegakan diagnosis adalah upper gastrointestinal contrast study, USG, CT scan, dan MRI. Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui gambaran radiologis pada upper gastrointestinal contrast study dan pada pemeriksaan abdominal CT scan. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Primary adenocarcinoma duodenum diduga berasal dari Lieberkuhn epithelium dari mukosa duodenum. Crypt Lieberkuhn merupakan lanjutan ductus glandula yang menembus muscularis mucosa7. Epidemiologi Adenocarcinoma merupakan primary malignant neoplasma yang paling sering terjadi di duodenum. Adenocarcinoma duodenum terjadi sekitar 0,3% dari semua keganasan gastrointestinal dan sekitar 50-70% dari small bowel adenocarcinomas yang terjadi pada duodenum maupun jejunum proksimal. Karena jarangnya, kasus adenocarcinoma duodenum sering dilaporkan bersama dengan tumor jejunum dan ileum sebagai small bowel cancer, atau pada beberapa kasus dilaporkan dengan periampullary malignancy, bersama dengan pankreatic ca, ampullary ca, distal bile duct ca. Masih sedikit penelitian yang fokus mengenai adenocarcinoma duodenum8,9,10. Adenocarcinoma cenderung berkembang di duodenum daripada di bagian lain usus halus mungkin karena dekat dengan ampulla Vateri7. Adenocarcinoma duodenum dapat tumbuh dari duodenal polyps pada familial polyposis atau Gardener’s syndrome maupun yang terkait dengan celiac disease8,9,10. Prevalensi puncak adenocarcinoma duodenum terjadi pada dekade ketujuh. Lebih dari 50% pasien telah mengalami metastasis pada saat terdiagnosa adenocarcinoma duodenum3,11,12,13,14,15. Lokasi Adenocarcinoma duodenum biasanya terletak di duodenum bagian distal (pars III dan IV) sekitar 45%, di duodenum pars II sekitar 40%, dan di duodenum pars I sekitar 15%3. 3 Anatomi Duodenum merupakan bagian dari usus halus. Nama duodenum yang berarti dua ditambah sepuluh, karena panjang dari duodenum diperkirakan sama dengan lebar 12 jari16. Duodenum memiliki panjang sekitar 8 inch. Duodenum merupakan lanjutan dari gaster10. Duodenum tidak memiliki mesenterium dan hanya sebagian yang tertutup peritoneum. Duodenum memiliki panjang sekitar 25-30 cm dan dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama (superior) duodenum memanjang dari pylorus ke collum vesica fellea dan terutama tersusun atas bulbus duodeni. Bagian kedua (descending) duodenum memanjang dari collum vesica fellea ke genu, biasanya level setinggi vertebra lumbal IV. Abnormalitas pada bagian ini terutama karena kondisi patologis struktur di sekitarnya, termasuk pankreas dan sistem bilier. Bagian ketiga (horizontal) duodenum memanjang dari level setinggi vertebra lumbal IV ke level setinggi aorta. Pars ketiga duodenum ini terletak retroperitoneal dan lebih dekat ke spine. Bagian keempat (ascending) duodenum memanjang dari level setinggi aorta ke ligament of Treitz16. Pars I duodenum merupakan bagian yang mobile dengan panjang sekitar 5 cm. Bagian proksimal duodenum sekitar 2 cm sering disebut sebagai duodenal “cap” karena sering terlihat pada foto polos abdomen sebagai isolated triangular gas shadow di paravertebra dextra lumbal II-III. Duodenum pars I terletak di sebelah anterior dari arteri gastroduodenal, common bile duct, dan vena porta, dan terletak di anterosuperior dari caput pankreas. Perbatasan dari duodenum pars I dan pars II terletak posterior dari collum vesica fellea. Duodenum pars II panjangnya sekitar 8-10 cm dan ditutupi peritoneum pada permukaan upper anterior. Common bile duct dan ductus pancreaticus dinding medial dari duodenum pars II secara obliq dan biasanya bergabung membentuk common hepatopancreatic ampulla. Ujung distal yang sempit 4 membuka pada puncak dari major duodenal papilla yang disebut ampulla vateri yang terletak pada dinding posteromedial, sekitar 8-10 cm di distal dari pylorus. Duodenum pars III panjangnya sekitar 10 cm. Terletak posterior dari colon transversum, mesenterium usus halus, dan pembuluh darah mesenterica superior7. Duodenum pars III terletak di anterior dari ureter kanan, musculus psoas kanan, pembuluh darah gonadal kanan, vena cava inferior dan aorta abdominalis. Duodenum pars III terletak di inferior dari caput pankreas. Duodenum pars IV panjangnya sekitar 2,5 cm, ditutupi oleh peritoneum pada permukaan superior dan inferior, digantung oleh ligament of Treitz, yang dimulai pada duodenojejunal flexure. Pada ujung lateral kiri, duodenum pars IV ditutupi oleh peritoneum pada permukaan superior dan inferior. Pembuluh darah yang menyuplai duodenum adalah arteri pancreaticoduodenal superior dan inferior. Duodenum pars I dan II juga menerima suplai dari arteri gastrica dextra, arteri supraduodenal, arteri gastroepiploica dextra, arteri hepatica, dan arteri gastroduodenal. Draining vena ke dalam vena porta melalui vena pancreaticoduodenal superior dan inferior. Duodenal lymphatic menuju nodus pancreaticus anterior dan posterior yang terletak di sulcus anterior dan posterior antara caput pankreas dan duodenum: draining nodus tersebut menuju suprapyloric, infrapyloric, hepatoduodenal, common hepatic, dan superior mesenteric nodes7. Duodenum diinervasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Preganglionic sympathetic axons berasal dari columna inferomediolateral dari grey matter pada segmen vertebra thoracal V-XII. Saraf simpatis merupakan vasoconstrictor duodenal vasculature dan inhibitor duodenal musculature. Preganglionic parasympathetic dibawa oleh vagal axons yang didistribusikan via celiac plexus dan bersinaps pada neuron di dinding duodenum. Parasimpathetic supply merupakan secretomotor pada mukosa duodenum dan motor pada duodenal musculature7. 5 Mukosa duodenum berupa lipatan plicate yang disebut valvulae conniventes. Adanya lipatan-lipatan mukosa ini memperbesar area absorbsi. Pada mukosa terdapat villi yang ditutupi simple columnar epithelium dan menjadi microvilli. Di dalam columnar epithelium terdapat sel goblet yang memproduksi mukus7,16. Gambar 1 menunjukkan anatomi duodenum. Gambar 2 menunjukkan gambaran duodenum normal pada pemeriksaan dengan bahan kontras barium. Gambar 3 menunjukkan duodenum pada pemeriksaan dengan CT scan. Fisiologi Duodenum Duodenum memiliki fungsi absorbsi yang sangat kecil dan menetralisir asam dari gaster sebelum masuk ke jejunum. Secara histologi terdapat mucus secreting glands. Glandula submucosal yang dikenal sebagai Brunner’s glands membantu produksi mukus. Sekresi mukus ini untuk melindungi mukosa duodenum dan menetralisir asam lambung dan chyme. Glandula submukosa terbanyak di duodenum pars proksimal dan jumlahnya menurun pada bagian yang mendekati jejunum. pH duodenum berkisar 1-2 pada bagian proksimal dan sekitar 7-8 mendekati jejunum7. Ampulla Vateri terletak di dinding duodenum pars II dimana empedu dan enzim pankreas mulai mendigesti dan menghancurkan chyme. Bisa terjadi absorbsi. Meningkatnya area permukaan pada duodenum pars III dan IV meningkatkan kapasitas absorbsi7. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi untuk terjadinya epithelial neoplasma pada duodenum dapat dibagi 2 kelompok, yaitu Inflammatory Disorders seperti Crohn’s disease dan Genetic Disorders, familial adenomatous polyposis (FAP) maupun hereditary non-polyposis colon cancer (HNPCC)7. Pasien dengan familial adenomatous polyposis dan Gardner syndrome memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengidap duodenal cancer. Pasien dengan duodenal polyps tanpa riwayat 6 keluarga yang memiliki faktor predisposisi, juga memiliki faktor resiko yang tinggi untuk menderita adenocarcinoma duodenum3. Faktor resiko lain yaitu rokok dan alkohol pada beberapa penelitian dapat meningkatkan resiko terjadinya adenocarcinoma duodenum, sedangkan pada penelitian yang lain menyebutkan bahwa rokok dan alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya adenocarcinoma duodenum7. Molecular Pathogenesis Beberapa teori telah dipostulasikan untuk menjelaskan proteksi relatif usus halus dari perkembangan carcinoma. Usulan faktor protektif secara umum ada 2 konsep. Yang pertama, rapid turnover dari sel usus halus menghasilkan epithelial cell shedding sebelum akumulasi genetic damage critical yang mengarah ke carcinogenesis. Yang kedua, paparan bahan karsinogenik dari makanan kita ke usus halus terbatas karena cepatnya waktu transit di usus halus, kurangnya bacterial degradation activity, dan lingkungan yang bersifat alkaline. Lesi premaligna disebabkan perubahan genetic yang termasuk expansi monoclonal dari sel, maupun oleh faktor lingkungan seperti infeksi virus, yang termasuk expansi polyclonal sel. Akumulasi perubahan genetic terjadi pada satu atau beberapa premalignan sel dan sel berubah menjadi maligna dan menghasilkan tumor primer. Pada tahap awal dari expansi tumor primer, sel tidak invasif dan metastatic. Kemudian klon yang baru dengan kemampuan invasif dan metastatic muncul sebagai hasil akumulasi perubahan pada sel7. Pathology Adenocarcinoma duodenum dapat berupa napkin ring appearance dan polypoidal fungatining mass. Secara umum, lesi dapat dibagi menjadi protruded type dan superficial type. Protruded type dapat berupa pedunculated, subpedunculated, dan sessile. Sedangkan superficial type dapat berupa flat elevated, flat, dan depressed. Gambar 2 menunjukkan tipe lesi neoplasma. 7 Presentasi Klinis Kebanyakan presentasi klinis pada adenocarcinoma duodenum adalah tidak spesifik. Keluhan yang paling umum dirasakan pasien adalah nyeri abdomen atas dan kehilangan berat badan. Pada fase lanjut, variasi presentasi klinis yang terjadi dapat berupa gejala akibat obstruksi intestinal proksimal, jaundice, haematemesis, melena, darah yang tersembunyi pada feses, nyeri pinggang bawah, gangguan defekasi, teraba massa, dan lain – lain3. Bremer dan Brown mendeskripsikan 4 gejala yaitu obstruksi duodenum, ulserasi dengan perdarahan, penetrasi yang menyebabkan nyeri, dan obstruksi bilier17. Umumnya, pasien adenoca duodenum mengalami microcytic iron deficiency anaemia dengan gejala terkait lelah dan lemah7. Diagnosa Sering sulit untuk mendiagnosa adenocarcinoma duodenum pada stadium awal karena presentasi klinis yang tidak khas dan tersembunyi. Diagnostic work up dapat berlangsung lama, mahal, dan dapat melibatkan tindakan invasive. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala klinis yang tidak khas berupa nyeri abdomen yang tidak khas, lemah, letih, jaundice, dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium juga menunjukkan hasil yang tidak khas, yaitu bisa didapatkan anemia mikrositik, fungsi hepar yang terganggu bila sudah ada metastase, bilirubin meningkat, dan lain-lain. Pemilihan investigasi diagnostik tergantung pada gejala yang ada. Bila terdapat obstructive symptoms maka dilakukan investigasi secara radiologi. Bila terdapat anemia defisiensi besi, dilakukan pemeriksaan endoscopy16. Pemeriksaan Penunjang Fluoroscopy Fluoroscopy traktus gastrointestinal bagian atas merupakan modalitas yang efektif untuk membantu penegakan diagnosa small-bowel carcinoma. Fluoroscopy traktus gastrointestinal bagian atas dapat menunjukkan mucosal 8 pattern distortion, obliterasi, dan penyempitan. Delayed images dapat menunjukkan tertahannya barium pada lokasi lesi. Diagnosa tepat dengan pemeriksaan barium hanya sekitar 50% kasus7. Hal ini disebabkan sering terjadi overlapping segmen sehingga lesi bisa tidak terdeteksi7. Gambar 5-8 menunjukkan adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan barium. Oesophagus-gastro-duodenoscopy (OGD) Upper gastrointestinal endoscopy telah menjadi pemeriksaan lini pertama untuk duodenal cancer related symptoms. Penggunaan magnifying endoscope selama chromoendoscopy membuat analisis permukaan yang detail dari lesi. Efikasi dari magnifying chromoendoscopy (MCE), tidak hanya membedakan antara epithelial neoplastic dan lesi non-neoplastic, tapi juga secara akurat menentukan dalamnya invasi dari early cancer. Kelemahan MCE adalah operator-dependent, labour-intensive, memerlukan staining solutions, spraying catheters, water rinses7. Ultrasound Lesi tampak sebagai massa hypoechoic yang irreguler. Ultrasonography dapat mendiagnosa dan menilai vaskularisasi lesi yang lebih besar tapi tumor yang lebih kecil dapat tidak terdeteksi. CT Scan CT scan abdomen dengan kontras oral dan intravena dapat mengidentifikasi tumor jinak dan ganas pada duodenum dan melihat perluasan tumor. CT Scan merupakan modalitas pilihan untuk staging dengan identifikasi tumor primer, menilai penyebaran lokal, nodal, dan penyebaran jauh3. Pada CT scan, bisa terlihat massa soft tissue solid intraluminal16. 9 Visualisasi lesi dengan bahan kontras negatif (air) dapat menunjukkan massa intrinsik dengan segmen pendek dari penebalan dinding usus3. Selain itu CT scan dapat juga melihat invasi retroperitoneal fat planes, duktus pancreaticus, ductus biliaris, vascular encasement, limfonodi, dan metastase jauh3. Gambaran adenocarcinoma duodenum pada CT scan mirip dengan adenocarcinoma colon yaitu dapat berupa filling defects dan massa polypoid. Gambar 9-14 menunjukkan adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan CT scan. Staging Staging menggunakan TNM system dari American Joint Committee on Cancer (AJCC). Staging system menjelaskan penyebaran cancer melalui lapisan dinding usus halus. AJCC/TNM system menjelaskan luas tumor primer (T), ada tidaknya metastase melalui limfonodi (N), dan ada tidaknya metastase jauh (M). Tabel 1 dan 2 menunjukkan staging dari adenocarcinoma duodenum7. Diagnosa Banding Gastrointestinal Stromal Tumors (GIST). Gastrointestinal stromal tumors merupakan spindle cell, epitheloid, dan pleomorphic mesenchimal tumors pada traktus gastrointestinal yang pada immunohistochemistry menunjukkan KIT protein (CD-117). GIST diduga berasal dari sel Cajal (ICCs). GIST dapat berasal dari traktus gastrointestinal maupun di luar traktus gastrointestinal yaitu pada mesenterium maupun omentum18,19. Lokasi tersering terjadinya GIST adalah gaster (60% dari semua kasus), diikuti oleh usus halus (30%), colon dan rectum (5%), dan esophagus (< 5%). GIST juga dapat berkembang sebagai tumor primer pada omentum, mesenterium, maupun retroperitoneum. Kejadian GIST sekitar 1% - 3% dari semua gastric neoplasm, 20% dari semua tumor usus halus, dan 0,2% - 1% dari semua tumor colorectal19. GIST terjadi pada umur sekitar 40-70 tahun dengan kejadian pada laki – laki hampir sama dengan perempuan. 10 Gejala klinis GIST adalah perdarahan gastrointestinal, sering dengan episode akut nyeri abdomen, kehilangan berat badan, obstructive jaundice, distensi abdomen, mual, dan muntah18. Pada pemeriksaan barium menunjukkan sebagian besar massa intramural dengan potential exophytic components, tepi biasanya licin dengan ulserasi. En face, permukaan intraluminal sering memiliki batas yang tegas. Gambar 15-16 menunjukkan duodenal GIST pada pemeriksaan kontras barium. Pada gambaran CT scan, GIST dapat memberikan gambaran exophytic tumor dengan heterogeneous contrast-enhancement, permukaan irregular, batas tak tegas, invasi ke jaringan, bisa terdapat hepatal metastase maupun peritoneal dissemination, bisa terdapat area kistik dan nekrosis18. Ukuran tumor < 5 cm cenderung jinak, sedangkan bila ukuran tumor > 5 cm cenderung ganas. CT scan merupakan modalitas untuk melihat perluasan endoluminal dan exophytic dari tumor. Gambar 17-19 menunjukkan adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan dengan CT scan. Terapi untuk GIST adalah radical surgical excision dan kemoterapi. Setelah mendapatkan kemoterapi, metastase hepar dan metastase mesenteric menjadi hypovascular bahkan kistik. Kasus GIST yang recurrence menunjukkan metastase hepar yang hipodens dan metastase peritoneal yang heterogen dan luas18,19. Duodenal Lymphoma Lymphoma merupakan malignant neoplasma dengan karakteristik berupa proliferasi cells native sampai jaringan lymphoid, yaitu lymphocytes, histocytes, beserta prekursor dan derivatives nya. Faktor resiko terjadinya lymphoma yaitu celiac disease, Chron’s disease, SLE, kondisi immunocompromised, riwayat kemoterapi, dan extra-intestinal lymphoma. Secara umum lymphoma diklasifikasikan menjadi Hodgkin’s Lymphoma (HL) dan Non Hodgkin’s Lymphoma (NHL)20. 11 Lymphoma merupakan tumor primer usus halus terbanyak. Usus halus merupakan lokasi kedua tersering pada traktus gastrointestinal yang terlibat lymphoma dan merupakan 20-30% dari semua primary gastrointestinal lymphomas. Duodenum merupakan lokasi yang paling jarang untuk lymphoma. Sekitar 12% dari semua malignant duodenal neoplasia adalah duodenal lymphoma21. Gejala klinis pada pasien dengan gastrointestinal lymphoma adalah muntah, nyeri abdomen, kehilangan berat badan, dan demam. Bisa juga terdapat gejala peptic ulceration, hematemesis, melena, anemia, maupun gejala yang tidak khas seperti hilang nafsu makan22. Kriteria untuk mendiagnosa lymphoma traktus gastrointestinal adalah tidak teraba limfadenopati superficial, tidak adanya pembesaran limfonodi mediastinum pada foto rontgen thorax, lekosit dan hitung jenis normal, lesi predominat di traktus gastrointestinal dengan hanya keterlibatan limfonodi regional, dan tidak adanya keterlibatan hepar maupun lien. Pada upper gastrointestinal study, tampak dilatasi duodenum dengan fold thickening23. Gambar 20 menunjukkan duodenal lymphoma pada pemeriksaan dengan kontras barium. Pada pemeriksaan CT scan, lymphoma tampak sebagai lesi hipodens bila dibandingkan dengan parenkim di sekitarnya. Bila diberikan bahan kontras intravena, lesi akan mengalami mild enhancement dan uniform. Bisa terjadi nekrosis sentral yang memberikan gambaran heterogen pada gambaran yang enhance maupun tidak enhance. Duodenal lymphoma dapat berupa massa endoexoenteric dengan circumferential dengan dilatasi aneurysmal23. homogenous enhancement Lymphoma dan/atau cenderung pembesaran limfonodi18. Lymphoma dapat berupa thick walled infiltrating mass, dinding irreguler, dengan dilatasi aneurismal tanpa obstruksi. Dilatasi aneurismal karena terdapat destruksi pada dinding usus dan myenteric nerve plexus. Gambar 21-22 menunjukkan duodenal lymphoma pada pemeriksaan dengan CT scan. 12 Lymphoma pada traktus gastrointestinal dapat berupa nodular, polypoid, infiltrative, aneurysmal atau cavitary, ulcerative, dan campuran23. Pada yang bentuk nodular, terdapat penebalan berbentuk nodular pada segmen yang terlibat, dengan ukuran nodul yang bervariasi. Nodular form biasanya tersebar luas23. Pada yang infiltrative form, terdapat penebalan berbentuk fokal maupun difuse pada segmen yang terlibat karena perluasan tumor sepanjang submucosal dan muscularis propria. Peristalsis dapat terganggu, dan segmen yang terlibat memiliki bentuk tubelike appearance. Infiltrasi difus dapat menyebabkan destruksi muscularis propria dan autonomic plexus. Segmen yang terlibat menjadi nonperistaltic, dilatasi circumferential, dan dinilai memiliki aneurysmal appearance. Jarang terjadi penyempitan dan obstruksi lumen segmental. Tumor dapat meluas ke mesenterium, menimbulkan cavitated mass. Infiltrasi akibat lymphoma dapat menyebabkan ulserasi mural22. Lymphoma dengan polypoid form dapat memberikan gambaran single maupun multiple filling defect. Lymphoma dengan endoexoenteric form awalnya merupakan massa intraluminal yang meluas, ulserasi, dan perforasi ke mesenterium di sekitarnya menghasilkan abses steril. Pemeriksaan dengan barium dapat memberikan gambaran cavitas luas sepanjang batas mesenteric dari segmen usus yang terlibat. CT dapat menunjukkan bahan kontras extraluminal yang meluas ke bowel cavity, yang sering mengandung cairan, debris, maupun udara. Mesenteric invasive form dari small bowel lymphoma dapat berupa mesenteric mass yang meluas ke mesenteric border dari usus halus. CT dapat menunjukkan derajat dan perluasan tumor23. 13 Prognosis Histological grade, keterlibatan transmural, ukuran tumor, keterlibatan limfonodi, dan metastase jauh dapat mempengaruhi survival pasien adenocarcinoma duodenum7. Prognosis untuk adenocarcinoma duodenum dilaporkan kurang dari 30% untuk five-year survival rate24. Jadi, pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk. Jika adenocarcinoma duodenum ditemukan pada stadium awal, dapat dilakukan endoscopic curative resection. Sehingga, sangat penting untuk mendeteksi adenocarcinoma duodenum pada stadium awal. Long-term survival untuk pasien adenocarcinoma duodenum dapat dicapai dengan surgical procedures yang memberikan negative resection margins. Pancreaticoduodenectomy diperlukan untuk mendapatkan negative resection margins pada hampir semua lesi di D1 dan D2. Segmental resection cocok untuk pasien tertentu, terutama pada pasien dengan lesi di duodenum bagian distal. Adanya nodal metastase, stadium lanjut, dan kehilangan berat badan pre-operative dapat untuk memprediksi survival pasien yang lebih jelek25. Tumor dengan negative margin pada surgical specimen yang terletak pada duodenum pars I dan II memiliki prognosis yang lebih baik14. Tabel 3 menunjukkan survival rate pada pasien adenoca duodenum7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk adenocarcinoma duodenum dapat dilakukan dengan pembedahan, chemotherapy, dan radiotherapy11. Faktor utama yang menentukan pilihan terapi adalah ukuran tumor, lokasi tumor, penyebaran ke limfonodi, liver, tulang, maupun organ lain, dan apakah ada kondisi medis lain yang serius. Untuk tumor yang terletak di duodenum pars I dan II, dilakukan pembedahan dengan Whipple’s procedure berupa reseksi radikal tumor dan 14 lymphatic drainage nya. Untuk tumor pada duodenum pars III dan IV dilakukan reseksi segmental duodenum dengan lymphadenectomy yang tepat14. 15 BAB III PEMBAHASAN Cancer pada usus halus termasuk jarang dibandingkan cancer pada traktus gastrointestinal lainnya26. Jenis cancer pada usus halus yang paling sering terjadi adalah adenocarcinoma, lymphoma, sarcoma, dan carcinoids. Duodenum merupakan lokasi tersering terjadinya adenocarcinoma pada usus halus yaitu sekitar 55%, diikuti oleh jejunum (18%) dan ileum (13%)13. Gejala klinis yang timbul biasanya asimptomatik dan baru menimbulkan gejala bila ukurannya semakin membesar. Obstruksi parsial pada duodenum, dengan gejala terkait seperti nyeri kram pada perut atas setelah makan, mual dan muntah, merupakan gejala yang paling sering timbul. Karena gejalanya yang tidak spesifik, adenocarcinoma duodenum sering terlambat didiagnosis. Periampullary tumors dapat menyebabkan obstructive jaundice dan pancreatitis. Pemeriksaan diagnostic image biasanya menggunakan barium contrast study, upper gastrointestinal tract endoscopy, dan computed tomography. Biopsi sering diperlukan untuk mendapatkan final diagnosis. Diagnosis pasti menggunakan pemeriksaan histopatologi. Barium meal, upper gastrointestinal endoscopy, dan biopsi merupakan cara menegakkan pre-operative diagnosis. Bila mengerjakan barium meal pada pasien anemia, perlu dipastikan bahwa seluruh duodenum dilapisi kontras dan screening dilakukan paling tidak sampai duodenojejunal flexure1. Sekitar 50% dari adenocarcinoma usus halus berasal dari duodenum. Sekitar 45% adenocarcinoma duodenum berasal dari duodenum pars III dan IV19. Walaupun kebanyakan kasus adalah sporadik, telah dilaporkan adenocarcinoma duodenum pada Crohn’s disease, celiac disease, Peutz-Jeghers syndrome, dan familial adenomatous polyposis (FAP). Adenocarcinoma duodenum merupakan tumor periampullary yang jarang 6 terjadi . Manifestasi yang paling sering terjadi adalah anemia defisiensi besi. Barium meal follow-through dan esophago-gastro-duodenoscopy dilanjutkan 16 dengan biopsi merupakan cara efektif untuk mendiagnosa tumor duodenum bila ditemukan gejala yang mengarah kepada keadaan patologis di duodenum6. Lesi pada duodenum distal dapat susah dideteksi dengan endoscopy sehingga kadang diperlukan endoscopy ulang. CT scan dapat memvisualisasikan lesi patologis pada traktus gastrointestinal karena CT scan dapat memvisualisasikan lumen, dinding dan struktur extramural yang terkait6. CT scan merupakan metode yang dapat memprediksi duodenal tumour resectability. Primary duodenal adenocarcinoma memiliki resectability yang rendah terutama tumor duodenum distal yang less curable dengan reseksi karena invasi small bowel mesentry. Long-term survival pada pasien dengan adenocarcinoma duodenum dapat dicapai dengan pembedahan yang menghasilkan batas reseksi negatif6. Presentasi klinis pada adenoca duodenum tergantung pada obstruksi yang ditimbulkan oleh lesi, apakah obstruksi parsial atau obstruksi komplet, biasanya disertai dengan persistent bilious vomiting dan nyeri abdomen atas. Pasien juga sering mengalami penurunan berat badan dan anemia dengan hemoccult-positive stool. Akurasi diagnostik dari duodenojejunal growth dengan barium study sekitar 83%. Upper gastro intestinal endoscopy memiliki peran terbatas dalam mendiagnosa tumor karena prosedur biasanya dihentikan sebelum mencapai lokasi lesi. Capsule endoscopy dan double balloon enteroscopy (DBE) merupakan modalitas diagnostik yang lebih baru. CT scan memiliki akurasi tinggi dalam mendeteksi metastase untuk staging penyakit tapi CT scan memiliki peran terbatas dalam mendiagnosa tumor primer12. Pada pemeriksaan fluroscopy dengan bahan kontras barium, bisa terlihat gambaran yang bervariasi yaitu adanya massa intraluminal yang menyempitkan lumen duodenum, ada yang berbentuk fungating, ada yang berbentuk polypoid mass, bisa berupa massa villous yang besar, ulcerated mass, annular constricting “apple-core lesion”, dan lain – lain. Bisa terlihat adanya striktur pada lumen duodenum. 17 Sedangkan pada CT scan,dapat ditemukan discrete mass, focal unilocular, circumferential mass, penebalan dinding duodenum yang irreguler dengan penyempitan lumen yang concentric, shoulder sign, pre-stenotic dilatation, moderate enhancement, dan local lymphadenopathy. Tumor dapat menyebabkan obstruksi intestinal dan bisa terjadi metastase baik ke hepar maupun ke peritoneum26,27. Bila tumor berbentuk polypoid mass, dapat terjadi intususepsi. Kejadian sarcoma sekitar 11% dari keganasan usus halus. Sarcoma merupakan mesenchymal neoplasm dari traktus gastrointestinal yang diduga berasal dari interstitial cell of Cajal, pacemaker cell yang mengatur peristalsis dari traktus digestivus. Sarcoma juga dikenal sebagai gastrointestinal stromal tumors (GISTs). Pada pemeriksaan radiologi, wall-circumscribed submucosal mass extending exophytically dari traktus gastrointestinal merupakan gambaran yang sering terjadi pada GIST28. Tidak seperti adenocarcinoma, pada GIST jarang terjadi obstruksi karena GIST tidak melibatkan circumferential bowel wall. Pada GIST, metastase hepar biasanya hipervascular dan bisa terlewatkan pada single portal venous phase CT, dan jarang terdapat lymphadenopathy. Pada GIST, metastase maupun omental umumnya terjadi pada kasus recurrent dibanding pada presentasi awal. Hal ini diduga karena adanya spill dari tumor saat dilakukan operasi. Metastase ini bisa terlewatkan karena memiliki low density center. Kejadian lymphoma sekitar 14% dari keganasan usus halus. Pada upper gastrointestinal series, duodenal lymphoma dapat berupa massa submukosa yang licin atau loculated pada gaster bagian distal dan duodenum22. Bulky hypovascular soft tissue mass yang menginfiltrasi submucosa gaster dan duodenum dapat dilihat dengan contrast – enhanced CT. Lymphoma pada CT scan dapat ditemukan lymphadenopathy retroperitoneal maupun lymphadenopathy mesenteric yang besar sekali dan splenomegali. Gambaran tersebut yang dapat sebagai salah satu pedoman untuk membedakan lymphoma dengan adenocarcinoma. Pada adenocarcinoma jarang terdapat lymphadenopathy yang sangat besar. Pada adenocarcinoma yang sering terjadi adalah infiltrasi ke mesenteric fat22,26. 18 BAB IV KESIMPULAN Adenocarcinoma duodenum merupakan keganasan neoplasma yang jarang dan memiliki gejala klinis yang tidak khas sehingga sering terlambat didiagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat membantu dalam penegakan diagnosis diantaranya dengan pemeriksaan barium dan CT scan. Gambaran adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan barium adalah massa intraluminal yang menyempitkan lumen duodenum, bisa berbentuk fungating, polypoid mass, massa villous yang besar, ulcerated mass, annular constricting “apple-core lesion”, striktur lumen duodenum, dan lain-lain. Gambaran adenocarcinoma duodenum pada pemeriksaan CT scan adalah discrete mass, focal unilocular, circumferential mass, penebalan dinding duodenum yang irreguler dengan penyempitan lumen yang concentric, shoulder sign, pre-stenotic dilatation, moderate enhancement dan local lymphadenopathy. 19 LAMPIRAN GAMBAR Gambar 1: anatomi duodenum, ventral view. Sobotta, Atlas of Human Anatomy vol 2. Gambar 3: duodenum normal pada pemeriksaan duodenum. Meyers MA, Dynamic Radiology of The Abdomen 20 Gambar 4: CT scan duodenum normal. Panah: arteri gastroduodenal. RadioGraphics 2001; 21:S147– S160 Gambar 4: tipe lesi neoplasma. Tonsi AF. Primary Nonampullary Duodenal Carcinoma. Department of Surgery, University of Verona. 2008 21 Gambar 5: descending duodenal adenocarcinoma (panah). Skucas J.Advanced Imaging of The Abdomen. 2006 Gambar 6: adenoca duodenum. Barium meal menunjukkan striktur pada D2/3 junction dengan obstruksi inkomplet. Hong Kong Med J 2008;14:67-9 22 Gambar 7: adenoca duodenum. Barium meal menunjukkan fungating intraluminal mass di duodenum pars III & IV. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (2): 130-131 Gambar 8: adenoca duodenum. Double contrast barium study menunjukkan large bulky villous mass yang meluas ke dalam lumen duodenum. Freeman, Radiology of The Stomach and Duodenum. 23 Gambar 9: adenoca duodenum. CT scan menunjukkan obstructing mass pada duodenum, tidak melibatkan duktus biliaris maupun pankreas. Hong Kong Med J 2008;14:67-9 Gambar 10: adenoca duodenum. CT scan menunjukkan solid intraluminal soft tissue mass (panah) tanpa invasi transmural maupun retroperitoneal adenopathy. RadioGraphics 2001; 21:S147–S160 24 Gambar 11: adenoca duodenum. Contrast Enhanced CT (CECT) scan potongan coronal menunjukkan dilatasi gaster dan duodenum pars I,II,III dan IV. Jurnalul de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3. Gambar duodenum. CECT menunjukkan penebalan konsentris 12: adenoca duodenum pada duodenojejunal flexure. Jurnalul de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3. 25 Gambar 13: adenoca duodenum pada CT scan potongan axial. Circumferential thickening pada dinding duodenum pars descenden menyebabkan penyempitan lumen yang irreguler. Freeman, Radiology of The Stomach and Duodenum. Gambar 14: CT scan potongan axial pada adenocarcinoma duodenum. Panah besar: small eccentric contrast-enhancing soft tissue lesion pada duodenum perbatasan pars II-III, menyebabkan luminal stenosis. Panah kecil: limfonodi regional. ECR 2013, no poster C-1824. 26 Gambar 15: Multifocal GIST. Pemeriksaan barium menunjukkan massa yang menyempitkan lumen duodenum pars II. http://emedicine.medscape.com/article/369803-overview. Gambar 16: duodenal GIST. Pemeriksaan dengan barium menunjukkan lesi berbatas tegas pada duodenum pars I. Necrotic ulcer crater tampak terisi dengan barium. http://www.radrounds.com/photo/barium-image-of-gist-tumor-in- duodenal-bulb-2 27 Gambar 17: duodenal GIST. CT scan dengan kontras pada potongan axial (a) dan coronal (b) menunjukkan soft tissue mass melibatkan muscularis propria pada duodenum pars II. Di dalam massa terdapat cyst dan kavitas, berhubungan dengan lumen duodenum dan mengandung udara dan air-fluid levels (panah pada (a)). Diagn Interv Radiol 2009; 15:121–126 Gambar 18: duodenal GIST metastasis ke hepar pada CT scan potongan axial. RadioGraphics 2006; 26:481–495 28 Gambar 19: duodenal GIST pada CT scan abdomen potongan axial. Pol J Radiol, 2011; 76(3): 38-48 Gambar 20: duodenal lymphoma pada pemeriksaan kontras dengan barium. Tampak dilatasi duodenum (panah) dan penebalan lipatan (anak panah). Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265 29 Gambar 21: duodenal lymphoma. CT scan potongan axial menunjukkan penebalan dinding antrum (kepala panah) dan massa endoexoenteric dengan dilatasi aneurysmal pada duodenum (panah). Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265 Gambar 22: duodenal lymphoma pada CT scan potongan axial. Tampak penebalan konsentris duodenum yang menekan struktur di sekitarnya, vesica fellea distensi, dan dilatasi duktus biliaris ekstrahepatal. JAPI VOL. 55 JANUARY 2007 30 LAMPIRAN TABEL Tabel 1: Staging adenocarcinoma duodenum berdasar American Joint Committee on Cancer (AJCC) TNM Classification Tx No description of the tumor’s spread is possible because of incomplete information Tis The cancer is only in the epithelium (the top layer of cells of the mucosa) − it has not grown into the deeper tissue layers. This is the earliest stage and is also known as carcinoma in situ (CIS) T1a The cancer has grown from the top layer of cells of the mucosa and into the layer of connective tissue below (the lamina propria) T1b The cancer has grown through the mucosa and into the submucosa T2 T3 T4 Nx The cancer has grown through the mucosa and submucosa into the muscularis propria The cancer has grown through the inner layers of the intestine wall (mucosa, submucosa, and muscularis propria) into the subserosa. It has not started to grow into any nearby organs or tissues The cancer has grown through the entire wall of the small intestine (including the serosa). It may be growing into nearby tissues or organs No information about lymph node involvement is available (often because no lymph nodes have been removed) N0 Lymph nodes near the tumor were checked and do not contain cancer N1 Cancer cells found in 1 to 3 nearby lymph nodes N2 Cancer cells are found in 4 or more nearby lymph nodes M0 No cancer has been found in other organs or tissues M1 Cancer has been found in other organs or tissues 31 Tabel 2: Stage Grouping Stage 0 Tis, N0, M0 Stage I T1 or T2, N0, M0 Stage IIA T3 or T4, N0, M0 Stage IIB T4, N0, M0 Stage IIIA Any T, N1, M0 Stage IIIB Any T, N2, M0 Stage IV Any T, Any N, M1 Tabel 3: Survival Rate Pasien Adenocarcinoma (AJCC Staging Manual 7th ed, 2010) Stage 5-year observed survival Stage I 55% Stage IIA 49% Stage IIB 35% Stage IIIA 31% Stage IIIB 18% Stage IV 5% 32 DAFTAR PUSTAKA 1. Carragher A, Russel C. Carcinoma of The Duodenum. Postgraduate Medical Journal (1987) 63, 907-908. 2. Afridi SP, Mohib Y. Primary Adenocarcinoma of Duodenum. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2010, Vol. 20 (2): 130131 3. Shetty A, Mudgal P. Adenocarcinoma of Duodenum. Radiopaedia.org. Available at http://radiopaedia.org/articles/adenocarcinoma-of-duodenum 4. Freeman AH, Sala E. Radiology of The Stomach and Duodenum. Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2008. 5. Stoker J. MRI of The Gastrointestinal Tract. Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2010. 6. Solej M, D’Amico S, Brondino G, Ferronato M, Nano M. Primary Duodenal Adenocarcinoma. Tumori, 94: 779-786, 2008. 7. Tonsi AF. Primary Nonampullary Duodenal Carcinoma. Department of Surgery, University of Verona. 2008. 8. Burt RW, Berenson MM, Lee RG, Tolman JW et al. Upper Gastrointestinal Polyps in Gardner’s Syndrome. Gastroenterology. (1984); 86: 295 – 301. 9. Homes GKT, Dunn GI, Cockel R, Brookes VS. Adenocarcinoma of The Upper Small Bowel Complicating Coeliac Disease. Gut. (1980); 21: 1010 – 1016. 10. Liang TJ, Wang BW, Liu SI, Chou NH, Tsai CC, Chen IS et al. Number of involved lymph nodes is important in the prediction of prognosis for primary duodenal adenocarcinoma. Journal of the Chinese Medical Association 75 (2012) 573e580. 11. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2014. Atlanta, GA: American Cancer Society; 2014. 33 12. Sahu SK, Singh PK, Singh BP, Raghuvanshi S, Sachan PK. Adenocarcinoma of Duodenum At The Duodenojejunal Flexure. Jurnalul de Chirurgie (Iaşi), 2013, Vol. 9, Nr. 3 13. Hessler PC, Braunstein E. Adenocarcinoma of The Duodenum Arising in A Villous Adenoma. Gastrointest Radio 2, 355-357 (1978). 14. Anastosopoulus G, Marinis A, Konstantinidis C. Adenocarcinoma of the third portion of the duodenum in a man with CREST syndrome. World Journal of Surgical Oncology 2008, 6:106. 15. Takalkar U, Rao GV, Reddy DN. Adenocarcinoma in First and Second Part of Duodenum - a Case Report. Int J Biol Med Res. 2013; 4(2):32373238 16. Jayaraman MV, Movson JS, Dupuy DE, Wallach MT. CT of the duodenum: An Overlooked Segment Gets Its Due. RadioGraphics 2001; 21:S147–S160. 17. Kreel L, Mackintosh C. Carcinoma of The Duodenum. Gut, 1968, 9, 222226. 18. Ashkzaran H, Coenegrachts K, Steyaert L, Verstraete K, Casselman JW. Duodenal Stromal Tumor Detected by CT-Enteroclysis. JBR–BTR, 2006, 89: 306-307. 19. Tocchi A, Mazzoni G, Puma F, et al. Adenocarcinoma of The Third and Fourth Portions of the Duodenum: Results of Surgical Treatment. Arch Surg 2003; 138: 80-85 20. Rahman S, Reyes E, Mehta A, Virk Z, Gintautas J, Cervantes J . Primary Duodenal Lymphoma presenting as Obstructive Jaundice. The Internet Journal of Gastroenterology. 2009;7(2) 21. Bandyopadhyay SK, Moulick A, Dutta A. Primary Duodenal Lymphoma Producing Obstructive Jaundice. JAPI VoL. 55 January 2007. 22. Canelas A, Graca B, Seco MFS, Belo Soares PA, Teixeira L. CT of Lymphoma: Spectrum of Abdominal Disease. ESGAR 2008. 23. Engin G, Korman U. Gastrointestinal Lymphoma: a Spectrum of Fluoroscopic and CT Findings. Diagn Interv Radiol 2011; 17:255–265 34 24. Howe JR, Karnell LH, Menck HR, Scott-Conner C: The American College of Surgeons Commission on Cancer and the American Cancer Society. Adenocarcinoma of The Small Bowel: Review of the National Cancer Data Base, 1985–1995. Cancer 1999, 86:2693–2706 25. Bakaeen FG, Murr MM, Sarr MG, Thompson GB, Farnell MB. What Prognostic Factors Are Important in Duodenal Adenocarcinoma? Arch Surg. 2000; 135: 635-642. 26. Hsueh C, Chen ML, Liao CY, Huang YC, Ho SY. Adenosquamous Carcinoma of the Duodenal Third Portion. J Radiol Sci June 2011 Vol.36 No.2 27. Brenner RL, Brown CH. Primary carcinoma of the duodenum. Gastroenterology 1955, 29: 189-198. 28. Ulusan S, Koc Z. Radiologic findings in malignant gastrointestinal stromal tumors. Diagn Interv Radiol 2009; 15:121–126 35