case report evans syndrome in 24 years old women laporan kasus

advertisement
CASE REPORT
EVANS SYNDROME IN 24 YEARS OLD WOMEN
Made Gita Ratnasari, Sianny Herawati, I Wayan Putu Sutirta Yasa, Anak Agung
Wiradewi Lestari
Departement of Clinical Pathology, Medical Faculty of Udayana University
Sanglah Hospital Denpasar
ABSTRACT
Evans syndrome is a rare case, a condition which occurs with simultaneously or
sequentially Autoimmune Hemolytic Anemias (AIHA) and Idiopathic Trombocytopenias
Purpura (ITP) and sometimes together with neutropenia, in the absence of etiology.
This syndrome may be associated with other autoimmune or lymphoproliferative
diseases. Course of the disease is very serious and, in rare cases, can even be lifethreatening. First-line treatment consists of steroids and or immunoglobulin. We
reported a woman, 24 years old came with complaints of weakness for 1 week,
sometimes feel dizziness, jaundice, colour of urine is like tea. Of a complete blood
count showed hemoglobin decreased, equal to 3,8 g/dL, and a decrease in platelets that
is equal to 56x103/μl. Physical examination did not reveal any organ enlargement. The
patient was given WRC (washed red cell) transfusion, TC (trombosit consentrate)
transfusion, and methylprednisolone. In addition, patient were also given supportive
theraphy such as fluid therapy IVFD NaCl 0,9% and oxygen therapy. Patient was
hospitalized to establish diagnosis and was discharged after ten day of hospitalization.
Prognosis is good, where no complication such as bleeding or sepsis.
Keywords : Evans syndrome, Autoimmune disease, AIHA, ITP
LAPORAN KASUS
EVANS SYNDROME PADA WANITA USIA 24 TAHUN
Made Gita Ratnasari, Sianny Herawati, I Wayan Putu Sutirta Yasa, Anak Agung
Wiradewi Lestari
Bagian/SMF Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Sindrom Evans adalah kasus langka, yaitu kondisi dimana terjadi Autoimmune
Hemolitic Anemias (AIHA) dan Idiopathic Trombocytopenias Purpura (ITP) secara
simultan atau berurutan dan terkadang bersama-sama dengan neutropenia, dengan tidak
adanya etiologi. Sindrom ini mungkin berkaitan dengan penyakit autoimun atau
lymphoproliferative lainnya. Perjalanan penyakit ini sangat serius dan, dalam kasus
yang jarang bahkan dapat mengancam jiwa. Pengobatan lini pertama terdiri dari steroid
dan atau immunoglobulin. Kami melaporkan terdapat seorang perempuan, 24 tahun
datang dengan keluhan badan lemas selama 1 minggu, kadang merasa pusing, sakit
kuning, BAK (buang air kecil) seperti teh. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan
hasil hemoglobin menurun yaitu 3,8 g/dL, dan penurunan trombosit yaitu sebesar
1
56x103/μl. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran organ. Terapi
yang diberikan yaitu transfusi WRC (washed red cell), tranfusi TC (trombosit
consentrate), dan metilprednisolon. Selain itu pasien juga diberikan terapi suportif
berupa terapi cairan IVFD NaCl 0,9% dan terapi oksigen. Pasien masuk rumah sakit
untuk diagnosis dan dipulangkan setelah sepuluh hari perawatan. Prognosis pasien baik,
dimana tidak terjadi komplikasi seperti pendarahan ataupun sepsis.
Kata kunci: Sindrom Evans, Penyakit Autoimun, AIHA, ITP
PENDAHULUAN
Sindrom Evans didefinisikan
sebagai
kombinasi
baik
secara
bersamaan
atau
berurutan
dari
Autoimmune
Hemolytic
Anemias
(AIHA)
dan
Idiopathic
Trombocytopenias Purpura (ITP), dan
terkadang
bersama-sama
dengan
neutropenia, dengan tidak adanya
etiologi yang mendasari.1,2 Sindrom
Evans adalah penyakit langka dimana
hanya 0,8% - 3,7% yang terdiagnosis
dari pasien yang menderita ITP dan
AIHA. Kejadian familial jarang
ditemukan.3
Di Malaysia tahun 1992,
sindrom Evans ditemukan pada 12 dari
220 pasien dewasa dengan ITP dan 102
dengan AIHA.2 Sebuah penelitian oleh
Silverstein dan Heck di Amerika,
sebanyak 399 kasus AIHA dan 367
kasus ITP pasien dewasa, hanya enam
dari 766 pasien ini mengalami sindrom
Evans.1 Sindrom ini dominan terjadi
pada ras kulit putih, dari 42 pasien yang
dilaporkan dalam survei nasional
terdapat 29 berkulit putih, 7 hitam, dan
6 memiliki latar belakang ras lainnya.
Tidak ada predileksi pada sindrom
Evans, pada suatu studi yang dilakukan
oleh Liliana di Rumania tahun 2012
menyebutkan
sindrom
ini
mempengaruhi anak laki-laki lebih
sering daripada perempuan dengan rasio
1,4:1.4 Dan dalam suatu penelitian oleh
Genty di Prancis tahun 2002, sebanyak
67% kasus sindrom evans terjadi pada
wanita. Sindrom Evans terjadi pada
individu dari segala usia. Dalam sebuah
survei tahun 1997 di Amerika Utara,
melaporkan rata-rata usia saat diagnosis
adalah usia 7,7 tahun.2
Etiologi sindrom Evans masih
belum diketahui. Autoantibodi bereaksi
terhadap antigen spesifik untuk sel
darah merah, trombosit, atau neutrofil,
tetapi autoantibodi ini tidak bereaksi
silang.4
Sindrom
Evans
adalah
diagnosis eksklusi. Gangguan seperti
infeksi, penyakit rematologi, dan
keganasan harus dikesampingkan. Hasil
pemeriksaan darah lengkap dapat
dijumpai anemia, trombositopenia,
neutropenia, atau sitopenia pada pasien
dengan sindrom Evans.1,2
Terapi lini pertama yang paling
umum digunakan adalah kortikosteroid
dan atau imunoglobulin intravena
(IVIG).1,2 Sindrom Evans kadangkadang fatal dan memiliki tingkat
kematian sebesar 7%. Penyebab
kematian terutama disebabkan oleh
perdarahan dan sepsis.4
ILUSTRASI KASUS
Seorang perempuan dengan
inisial Sr, 24 tahun berasal dari Tuban –
Badung, masuk Rumah Sakit (RS.)
Sanglah pada tanggal 18 November
2013 dengan nomor rekam medis
13029842. Pasien datang dengan
keluhan badan lemas selama satu
minggu, lemas badan dirasakan seperti
tidak bertenaga, terkadang merasa
pusing dan tidak dapat berjalan, jantung
dirasakan berdebar, dan telinga
2
mendenging. Satu minggu sebelumnya
pasien berobat ke dokter swasta
didiagnosis anemia dan sakit kuning
lalu diberikan vitamin. Sehari sebelum
pasien datang ke RS. Sanglah, pasien
berobat ke RS. Swasta. Kadar
hemoglobin saat itu adalah 3,8 g/dL,
dan kadar trombosit
56x103/µl.
Akhirnya RS. Swasta tersebut merujuk
pasien ke RS. Sanglah. Dari hasil
anamnesis didapatkan pasien mengeluh
lemas, terdapat riwayat panas badan,
tidak ada riwayat ke wilayah timur,
BAK (buang air kecil) dikatakan seperti
teh, serta tidak terdapat rambut rontok.
Dari riwayat penyakit dahulu,
pasien mengatakan tidak pernah
menderita hipertensi, kencing manis,
penyakit jantung, asthma, stroke, liver,
ginjal TBC Paru. Riwayat keluhan yang
sama dalam keluarga disangkal. Tidak
ada
riwayat
penyakit
jantung,
hipertensi, kencing manis dan asthma di
keluarga pasien. Tidak ada kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum
baik, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi
100 kali/menit, respirasi 22 kali/menit,
suhu aksila 37,8C.
Pada
pemeriksaan
mata
ditemukan tanda anemia serta ikterus,
refleks pupil normal, dan tidak
ditemukan adanya edema palpebral.
Pemeriksaan THT dan leher dalam
batas
normal,
tidak
ditemukan
pembesaran kelenjar dan kaku kuduk.
Torak terlihat simetris, paru serta
jantung berada dalam batas normal,
suara jantung S1S2 tunggal reguler, serta
tidak ditemukan murmur, rhonki, dan
‘wheezing’. Pada pemeriksaan abdomen
tidak ditemukan adanya kelainan seperti
distensi, meteorismus, ascites, nyeri
tekan, dan tidak ada pembesaran organ.
Pada keempat ekstremitas teraba hangat
serta tidak ditemukan edema.
Hasil pemeriksaan darah dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Dimana
hasilnya
yaitu
terjadi
peningkatan
WBC
(leukositosis),
penurunan HGB disertai peningkatan
MCV
dan
retikulosit
(anemia
hemolitik), dan ditemukan juga
penurunan trombosit (trombositopenia).
Dari hasil tes fungsi ginjal tidak
didapatkan kelainan, sedangkan pada
tes fungsi hati didapatkan kelainan
berupa peningkatan bilirubin dan
SGOT.
Tabel. 1 Hasil Tes Darah Lengkap
Tes
WBC
Neu#
Lym#
Mono#
Eos#
Baso#
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
Hasil
13,26
9,61
2,67
0,44
0,02
0,16
1,13
3,8
12,3
108,7
34,1
31,3
33,0
Rentang Normal
4,10-11,0
2,50-7,50
1,00-4,00
1,00-1,20
0,00-0,500
0,00-0,100
4,00-5,20
12,0-16,0
36,0-46,0
80,0-100,0
26,0-34,0
31,0-36,0
11,6-14,8
Unit
3
10 /µL
103/µL
103/µL
103/µL
103/µL
103/µL
106/µL
g/dL
%
fL
Pg
g/dL
%
3
PLT
MPV
Reticc#
Reticc%
56
12,5
386,5
34,29
140,0-440,0
6,80-10,0
22-139
0,5-2,5
103/µL
fL
103/µL
%
Tabel. 2 Hasil tes Kimia Darah
Pemeriksaan
Faal Ginjal :
- Urea
- Creatinin
- Uric acid
Faal Hati
- Total Protein
- Albumin
- Globulin
- Bilirubin total
- Bilirubin direk
- Bilirubin indirek
- SGPT
- SGOT
- Alkali phosphatase
- Gamma GT
Secara
radiologis,
kondisi
jantung dan paru tidak tampak adanya
kelainan. Dari hasil hapusan darah tepi
didapatkan
eritrosit
normokromik
normositik,
polikromasia
dan
normoblast
meningkat.
Leukosit
jumlahnya meningkat (leukositosis),
differensial count normal, blast
menurun.
Trombosit
jumlahnya
menurun
(trombositopenia)
dan
bergerombol
(clamping).
Direct
Coombs Test (DCT) positif dimana
ditemukan adanya Auto Immune
Antibody juga ditemukan IgG dan C3
yang terikat pada sel darah merah
penderita. Indirect Coombs Test (ICT)
positif yaitu ditemukan adanya Ireguller
Allo Antibody yang bebas di dalam
Hasil
Rentang
Normal
8
0,63
5,1
6 - 20
0,5 – 0,9
2,4 – 5,7
mg/dl
mg/dl
mg/dl
6,7
3,9
2,8
4,2
0,7
3,5
15
72
45
14
6,4 – 8,3
3,4 – 4,8
1,8 – 3,5
0 – 1,1
0 – 0,30
0 – 0,8
0 - 34
0 – 27
42 – 98
< 39
g/dl
g/dl
g/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
U/L
U/L
U/L
U/L
Satuan
serum penderita pada suhu 200C dan
suhu 370C. Dari hasil tes urinalisis
didapatkan pH 6,5 (Normal: 7,35 –
7,45), Leukosit (+) 25 leuco/µL, Protein
(+) 25 mg/dL, Urobilinogen (+) 1
mg/dl, Eritrosit (+) 50 ery/µL, dimana
normalnya pada urin tidak ditemukan
leukosit, protein, urobilinogen, dan
eritrosit.
Dari
hasil
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, maka
pasien ini didiagnosis menderita
sindrom Evans dimana terjadi AIHA
dan ITP secara bersamaan.
Terapi yang diberikan yaitu
transfusi WRC (washed red cell),
tranfusi TC (trombosit consentrate), dan
methilprednisolon. Respon hemoglobin
4
terhadap metilprednisolon dan transfusi
WRC dapat dilihat pada Gambar 1.
Dimana hasilnya terjadi peningkatan
hemoglobin setiap harinya selama 10
hari
perawatan
sehingga
dapat
dikatakan AIHA berespon baik terhadap
pemberian terapi metilprednisolon dan
transfusi WRC. Respon trombosit
terhadap pemberian metilprednisolon
dan transfusi TC dapat dilihat pada
Gambar 2. Dimana hasilnya pada awal
terapi trombosit mengalami penurunan
akan tetapi pada hari ke enam trombosit
mulai mengalami peningkatan, sehingga
dapat dikatakan ITP berespon baik
terhadap
pemberian
terapi
metilprednisolon dan transfusi TC.
Selain itu pasien juga diberikan terapi
suportif berupa terapi cairan IVFD
NaCl 0,9% dan terapi oksigen.
Gambar 1. Respon Hemoglobin
terhadap pemberian metilprednisolon
dan transfusi WRC selama 10 hari.
Gambar 2. Respon Trombosit terhadap
pemberian
metilprednisolon
dan
transfusi TC selama 10 hari.
DISKUSI
Pada tahun 1951, Evans dan rekan
menggambarkan sindrom Evans dengan
sekelompok pasien yang secara klinis
ditandai dengan Autoimmune Hemolytic
Anemias (AIHA) dan Idiopathic
Trombocytopenias Purpura (ITP).
Anemia dan trombositopenia bervariasi
dalam hal onset dan durasi. Meskipun
sindrom Evans tampaknya menjadi
gangguan regulasi imun, patofisiologi
yang tepat tidak diketahui.2 Sindrom
Evans dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu primer (idiopatik) dan
sekunder
(berhubungan
dengan
beberapa penyakit). Ada laporan kasus
Sindrom Evan berhubungan dengan
SLE, incomplete lupus, sindrom
antifosfolipid primer, sindrom Sjogren,
defisiensi IgA, B dan T sel limfoma
Hodgkins non ganas dan leukemia
limfositik kronis.5
Sindrom
Evans
berisiko
berkembang menjadi masalah autoimun
lainnya, hipogammaglobulinemia, dan
58% dari anak-anak dengan sindrom
Evans memiliki sel T CD4-/CD8- yang
merupakan prediktor kuat untuk
mengalami sindrom limfoproliferatif
autoimun.4 Kebanyakan pasien dengan
sindrom Evans mengalami penurunan
tingkat serum IgG, IgM, IgA dan
penurunan sintesis in vitro dari IgG dan
atau IgM. Terjadi penurunan limfosit T
-helper dan peningkatan limfosit T supresor yang mirip dengan anemia
hipoplasia
kongenital
dan
trombositopenia
amegakaryocytic.
Temuan ini telah menimbulkan
spekulasi bahwa sitopenia pada sindrom
Evans mungkin berhubungan dengan
kelainan sel T. Peran imunisasi anak
dalam pengembangan sindrom Evans
telah diteliti, namun asosiasi tertentu
belum dilaporkan.2
Dalam sebuah survei nasional
oleh Mathew di Amerika dan Kanada,
sebanyak 76% pasien dengan sindrom
Evans memiliki trombositopenia dan
5
67% dari pasien memiliki anemia.
Selain itu, 24% pasien memiliki
neutropenia
dan
14%
memiliki
2
pansitopenia.
Kriteria untuk diagnosis sindrom
Evans, yaitu: (1) anemia hemolitik
dengan tes Coombs direk positif; (2)
trombositopenia yang terjadi baik secara
simultan maupun secara berurutan; dan
(3) tidak adanya etiologi mendasari
yang dikenal.6 Presentasi klinis sindrom
Evans mencakup fitur biasa anemia
haemolitik seperti pucat, kelelahan,
pusing, lesu, sakit kuning, gagal
jantung. Selain itu ditemukan juga
tanda-tanda trombositopenia termasuk
purpura, peteki, ekimosis, memar,
perdarahan
mucocutaneous.
Pemeriksaan
fisik
dapat
mengungkapkan
limfadenopati,
hepatomegali dan atau splenomegali.1,2
Pemeriksaan darah lengkap dan
jumlah retikulosit mengungkapkan
anemia, trombositopenia, neutropenia,
atau sitopenia pada pasien dengan
sindrom Evans. Hapusan darah tepi
harus diperiksa untuk menyingkirkan
diagnosis lain yang mendasarinya
seperti keganasan, anemia hemolitik
mikroangiopati, hemolitik kongenital
dan kondisi-kondisi trombositopenia.
Pasien dengan AIHA pada hapusan
darah tepi ditemukan polychromasia
dan spherocytes (Gambar 3). Normal
atau peningkatan jumlah megakariosit
mengkonfirmasi bahwa trombositopenia
disebabkan
oleh
meningkatnya
kehancuran dalam darah.1,2
Gambar 3. Spherocyte pada hapusan
darah tepi.11
Tanda hemolisis harus dicari
termasuk
peningkatan
jumlah
retikulosit,
hiperbilirubinemia
tak
terkonjugasi
dan
penurunan
haptoglobin. Pada kasus anemia
hemolitik sebaiknya pasien diperiksa uji
antiglobulin langsung (DAT), juga
dikenal sebagai tes Coombs direk, yang
bertujuan untuk menunjukkan adanya
antibodi
atau
komplemen
pada
permukaan sel darah merah dan
merupakan ciri khas hemolisis terutama
untuk anemia hemolitik autoimun.3 Uji
antiglobulin langsung/Tes Coombs
direk hampir selalu positif dan mungkin
positif untuk IgG, komplemen (C3),
atau keduanya. Hasil tes antiglobulin
tidak langsung mungkin juga positif
dalam 52-83 % pasien. Berbagai
antibodi yang bereaksi terhadap sel
darah merah dan trombosit (misalnya
antieritrosit, antineutrofil, antibodi
antitrombosit) terjadi dalam hubungan
dengan sindrom Evans. Pengujian
autoantibodi trombosit dan granulosit
mungkin positif, tetapi hasil negatif
tidak mengecualikan diagnosis.1,2
Aspirasi sumsum tulang dapat
diindikasikan ketika pasien awalnya
hadir dengan pansitopenia. Pemeriksaan
sumsum tulang dapat dilakukan pada
pasien di atas usia 60 dan mereka yang
tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan konvensional, atau ketika
diagnosis diragukan. Aspirasi sumsum
tulang membantu dalam mengevaluasi
morfologi dan biasanya diindikasikan
pada pasien yang hadir dengan
pansitopenia untuk mengecualikan
proses infiltratif. Pemeriksaan sumsum
tulang
dapat
mengungkapkan
hiperplasia eritroid dan kadang-kadang
hypoplasia jika anemia hemolitik
autoimun (AIHA) adalah temuan yang
dominan. Pada pemeriksaan sumsum
tulang
dapat
diamati
adanya
peningkatan produksi megakaryocytes
disertai inti banyak (multinuclearity)
seperti yang terlihat pada Gambar 4. 2
6
Gambar 4. Megakaryocytes
sumsum tulang.12
pada
Pemeriksaan imunologi juga
diperlukan untuk melihat adanya
antitrombosit IgG pada permukaan
trombosit atau dalam serum. Sebanyak
91% dari pasien yang terkena sindrom
Evans ditemukan antibodi antitrombosit
sementara sekitar 81% menunjukkan
antibodi anti-neutrofil.7 Yang lebih
spesifik adalah antibodi terhadap
gpIIb/IIIa atau gpIb untuk mendiagnosis
ITP.8
Pada
kasus
dilakukan
pemeriksaan
LDH
(lactic
dehydrogenase)
dimana
terjadi
peningkatan LDH yaitu 2048H U/L,
normalnya 240 – 480H U/L. Hal
tersebut dilakukan untuk mendeteksi
adanya hemolisis, dimana hemolisis
intravaskuler menyebabkan sumsum
tulang merespon dengan mengaktifkan
proses
eritropoesis,
yang
mengakibatkan beredarnya sel darah
merah yang imatur. Sel darah merah
imatur ini mudah mengalami destruksi,
dan mengeluarkan isoenzim eritrosit.
Isoenzim ini akan terikat dengan plasma
LDH. Peningkatan kadar LDH tanpa
disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT
menunjukkan
terjadinya
hemolisis.9
Selain
peningkatan
LDH,
kerusakan dari sel darah merah
intravaskuler menyebabkan hemoglobin
keluar dari intravaskuler. Lepasnya
hemoglobin ini akan terikat dengan
haptoglobin,
dimana
kompleks
hemaglobin-haptoglobin
akan
dimetabolisme di hepar dengan cepat.
Hemoglobin
bebas
pada
sistim
retikuloendotel akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin
menunjukkan terjadinya hemolisis.9 Hal
tersebut ditunjukkan dari hasil tes
bilirubin pada kasus ini yaitu 4,2 mg/dl
(normal 0 – 1,1 mg/dl).
Sindrom Evans adalah diagnosis
eksklusi dan menurut definisi gangguan
pengganggu lainnya tidak harus hadir.
Sebelum menerima diagnosis sindrom
Evans penyebab lain dari cytopenia
acquired immune harus singkirkan,
khususnya SLE (systemic lupus
erythematosis), defisiensi IgA, CVID,
acquired immunodeficiency syndrome
dan ALPS karena semua memerlukan
manajemen yang berbeda. Kondisi lain
yang menyebabkan anemia hemolitik
dan trombositopenia bersamaan dan
dapat meniru sindrom Evans termasuk
paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
(PNH).3 Oleh karena itu untuk
menyingkirkan SLE harus dicari dengan
mengukur antibodi antinuclear (ANA),
double-stranded DNA (dsDNA) dan
faktor rheumatoid. Yang paling penting
adalah perbedaan dengan ALPS
(Autoimmune
Lymphoproliferative
Syndrome), maka pengukuran darah
perifer subset sel - T dengan sitometri
sangat penting dalam semua kasus
sindrom Evans.1,2
Kebanyakan pasien memerlukan
pengobatan meskipun remisi spontan
sesekali terjadi. Pengobatan awal
biasanya terdiri dari administrasi
kortikosteroid, sekelompok obat yang
menekan sistem kekebalan tubuh.
Dalam
situasi
yang
mendesak,
deksametason atau metilprednisolon
melalui intravena dapat digunakan.
Kortikostreroid (Prednison 1-2 mg / kg,
biasanya dibagi dua kali atau tiga kali
sehari) yang paling sering digunakan
terapi lini pertama, efektif untuk
mengontrol episode akut, meskipun
kekambuh mungkin terjadi ketika
7
pasien terbebas dari prednison.4 Pada
kasus,
pasien
telah
diberikan
methiprednisolon 2 x125 mg IV. Hal ini
bertujuan untuk menurunkan ikatan
immunoglobulin ke reseptor permukaan
sel dan menghambat sintesis dan atau
pelepasan interleukin, sehingga Tlimfosit blastogenesis menurun dan
mengurangi perluasan respon immun
primer.10
Imunoglobulin intravena (IVIG)
dapat
membantu
pasien
yang
bergantung pada steroid. Terapi lain
yang efektif dalam seri kecil termasuk
danazol, siklosporin, azathioprine,
cyclophosphamide, dan vincristine.
Baru-baru ini, rituximab (antibodi
monoklonal yang menargetkan CD20
pada limfosit B) telah digunakan dalam
pengelolaan
pasien
refrakter.
Tanggapan bervariasi, dalam suatu
penelitian penggunaan rituximab pada
18 pasien (usia 0,3-65 tahun) hasilnya
menggembirakan,
dengan
remisi
lengkap
selama
17
bulan.
Pertimbangkan splenektomi dalam
kasus-kasus refrakter. Splenektomi
dapat mengurangi kebutuhan steroid,
walaupun kekambuhan biasanya terjadi
dalam
waktu
1-2
bulan
4
postsplenektomi.
Dalam
pengaturan
akut,
transfusi darah dan transfusi trombosit
mungkin diperlukan untuk mengurangi
gejala, walaupun penggunaannya harus
diminimalkan. Pada kasus pasien
diberikan transfusi WRC (washed red
cell) yang diperoleh dengan mencuci
eritrosit pekat 2-3 kali dengan NaCl
fisiologis dalam jumlah yang sama.
Keuntungan transfusi sel darah merah
adalah tidak membebani sirkulasi, tidak
memperberat fungsi ginjal, dan sedikit
mengurangi reaksi alergi karena tidak
disertai pemberian plasma yang tinggi
protein. Sediaan ini aman bagi resipien
yang alergi terhadap plasma manusia,
anemia hemolitik yang didapat, dan
transfusi pada transplantasi ginjal.10
Pada kasus, setelah pemberian WRC
mulai hari ke pertama, hemoglobin
pasien mengalami peningkatan setiap
harinya. Transfusi trombosit juga dapat
digunakan dalam pendarahan parah
dengan jumlah trombosit yang sangat
rendah. Pada kasus, tidak ditemukan
tanda-tanda pendarahan akan tetapi
trombosit pasien 18x103/uL pada oleh
karena itu pada hari keempat diberikan
transfusi berupa TC (Trombosit
consentrate). TC biasanya digunakan
untuk
mengatasi
keadaan
10
trombositopenia berat.
Sindrom Evans kadang-kadang
fatal. Pengobatan sesekali memberikan
resolusi lengkap. Dalam survei nasional
yang dilakukan Mathew di Amerika dan
Canada tahun 1997 melaporkan 2
pasien meninggal karena perdarahan
gastrointestinal
dan
satu
pasien
meninggal
karena
perdarahan
intrakranial
akut.
Mathew
juga
melaporkan infeksi invasif di 29%
pasien, termasuk pneumonia, sepsis,
dan meningitis dengan Streptococcus
pneumoniae,
abses
lokal,
dan
osteomyelitis. Satu pasien meninggal
karena diduga sepsis dan gagal hati
setelah
sembilan
tahun
postsplenektomi. Pada pasien diikuti
selama rentang rata-rata 3-8 tahun,
angka kematian berkisar 7-36%.
Penyebab
kematian
terutama
disebabkan oleh perdarahan atau
sepsis.2
KESIMPULAN
Seorang perempuan, 24 tahun
datang dengan keluhan badan lemas
selama 1 minggu, kadang merasa
pusing, sakit kuning, BAK seperti teh.
Pada kasus pemeriksaan darah lengkap
didapatkan hasil hemoglobin menurun
(HGB 3,8 g/dL), MCV meningkat
(108,7 fl),
retikulosit meningkat
(34,29%), bilirubin indirek meningkat
(3,5 mg/dL), pemeriksaan apusan darah
ditemukan polikromasia, DCT positif
untuk IgG dan C3, ICT positif pada
suhu hangat, hal tersebut sudah
8
menunjukkan adanya anemia hemolitik
autoimun tipe hangat. Pemeriksaan
darah lengkap juga mendapatkan hasil
penurunan trombosit yaitu sebesar
56x103/μL hal ini menunjukkan adanya
trombositopenia, dengan tidak adanya
penyakit yang mendasari yang disebut
juga Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (ITP). Dari dua diagnosis di
atas yaitu anemia hemolitik autoimun
(AIHA) dan ITP maka pasien menderita
sindrom Evans. Terapi yang diberikan
yaitu transfusi WRC, tranfusi TC,
methylprednisolone, NaCl 90%, dan
terapi oksigen. Diberikan edukasi
pasien dan keluarga tentang sifat kronis
kondisi ini, yang dapat mencakup
periode remisi dan eksaserbasi. Pasien
dan keluarga juga dijelaskan efek
potensial yang merugikan dari obatobatan, khususnya penggunaan steroid
jangka panjang
DAFTAR PUSTAKA
1. Alice Norton,
Irene Robert.
Management of Evans syndrome.
British journal of Haematology.
2005. 132 : 125-37
2. Prasad Mathew, Gary R Jones, Mary
L Windle, Gary D Crouch, Samuel
Gross, Robert J Arceci, et al. Evans
Syndrome. Diakses 21 November
2013.
Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com
/article/955266-overview.
3. Marc Michel, Valérie Chanet,
Agnès Dechartres, Anne-Sophie
Morin, Jean-Charles Piette, Lorenzo
Cirasino, et al. The Spectrum of
Evans Syndrome in adults : new
insight into the disease based on
analysis of 68 cases. The American
Society of Hematology. 2009. Vol
114, number 15, p 3167-72.
4. Liliana Isacianu, Miron Ingrid,
Tansanu Iroan. Evans Syndrome : A
rare Cause of Hemolysis (And
Thrombocytopenia) in Children.
Fascicula. 2012. Vol. 17, number 1,
p 19-22.
5. Priti Dave, Kavita Krishna, AG
Diwan. Evans Syndrome Revisited.
JAPI. 2012. Vol. 60, p 60-1.
6. Ahmendul Kabir, Jayanta Banik,
Ratan Dasgupta, Robed Amin, AM
Wasiq Faisal, ASM Mafidul Islam,
et. al. Evans Syndrome. J Medicine.
2010. Vol. 11, p 78-82.
7. Manuel Monti, Lucia Stefanecchia,
Manolo Filippucci, Alessio Monti,
Giovanni
Maria
Vincentelli,
Francesco Borbognoni. A Strange
case of Evans Syndrome. Italian
Journal of Medicine. 2012. Vol. 7, p
305-9.
8. Reksodiputro, A.H, Madjid, A.,
Rachman, A.M. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi kedua.
Jakarta. 2007.
9. Bakta, I Made. Hematologi Klinik
Ringkas. Edisi pertama. Jakarta.
2007.
10. Betram G. Katzung. Farmakologi
Dasar dan Kinik. Edisi keenam.
Jakarta : 1997. P 897-98.
11. Gurpreet Dhaliwal, M.D., Patricia
A. Cornett, M.D., and Lawrence M.
Tierney, Jr., M.D. Hemolytic
Anemia.
American
Family
Physician. 2004. Vol 69, number 11.
12. Anonim. Megakaryocytes. diakses
21 November 2013. Di unduh dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/File:W
VSOM_Megakaryocytes.JPG
9
Download