POLA PENGELOLAAN BIROKRAT YANG BERORIENTASI PADA PELAYANAN PUBLIK Abstrak Pendahuluan Terdapat model pelayanan publik yang baik dimana hanya dapat terwujud apabila terdapat (1) sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa, (2) kultur pelayanan dalam organisasi penyelenggara pelayanan dan (3) sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa. Dalam teori manajemen terdapat dua pendekatan diantaranya pendekatan yang berorientasi kontrol dengan cirinya top-down, pyramidal, hirarkhial, mekanistik dan birokratis. Pendekatan kedua adalah pendekatan komitmen atau pendekatan berorientasi pelibatan (involvement). Dalam kaitannya dengan manajemen pelayanan, khususnya pengelolaan petugas pelayanan yang berorientasi klien, pendekatan kontrol disebut juga “production line approach to service.” Sedangkan pendekatan yang berorientasi involvement dalam teori manajemen pelayanan disebut sebagai “employee empowerment approach to service.” Pendekatan yang Berorientasi Kontrol Model ini menggunakan asumsi bahwa hubungan vertikal dan hierarkial adalah cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas. Ciri dari pendekatan ini menurut Weber diantaranya : 1. Pegawai adalah orang yang sangat mumpuni di bidangnya, digaji dan hanya bekerja sebagai pegawai negeri 2. Hirarki atas bawah sangat jelas 3. Aturan tentang kompetensi dan spesialisasi tegas 4. Kedinasan dan pribadi dipisahkan 1 5. Aturan ditaati dengan kaku 6. Kegiatan administrasi serba tertulis dan terdokumentasikan Dalam model kontrol ini, pekerja atau birokrat mendapatkan perintah yang sangat rinci, sedangkan yang harus berpikir, melakukan koordinasi dan mengawasi adalah top manajer. Menurut levitt, pelayanan akan berjalan efisien apabila : 1. Diadakan simplifikasi pekerjaan/ tugas 2. Dirumuskan pembagian pekerjaan yang jelas 3. Sebanyak mungkin peran pekerja digantikan dengan peralatan 4. Pekerja sesedikit mungkin diberi kesempatan untuk mengambil keputusan Contoh yang sangat tepat organisasi yang sukses mengaplikasikan pendekatan ini adalah Mc.Donald, dimana semua pekerjaan distandarisasikan dengan peralatan-peralatan dan prosedur yang standar, sehingga pekerja akan dapat dilatih dengan cepat dan segera siap kerja. Pendekatan yang Berorientasi Involvement Asumsi yang dibangun dari pendekatan ini adalah pekerja atau birokrat juga memiliki kemampuan untuk berpikir, melakukan koordinasi dan pengawasan sebagaimana yang dapat dilakukan oleh manajer. Pendekatan ini sangat menekankan self-control dan self-management. Dalam pendekatan ini para pekerja diminta dan diberi wewenang untuk memecahkan masalah dengan cara yang kreatif dan efektif. Para pekerja pun sering diminta saran dalam kaitannya dengan pengembangan produk atau jasa layanan yang baru. Model ini diharapkan dengan sangat berhasil di organisasi American Express yang bergerak di bidang perbankan dan dikenal sebagai organisasi yang sangat menghargai pelanggan. Berbeda dengan Mc.Donald, di American Express hampir tidak ada standarisasi tugas, karena tugas-tugas memang spesifik dan sejauh mungkin mengikuti keinginan pelanggan. Terdapat beberapa keuntungan dengan diterapkannya pendekatan ini diantaranya : 2 1. Kebutuhan pelangan/ klien dapat direspon dengan cepat 2. Para pekerja atau birokrat akan lebih merasa percaya diri 3. Para pekerja atau birokrat akan berinteraksi dengan konsumen secara lebih antusias dan besifat hangat 4. Ide-ide inovatif tentang pelayanan yang lebih baik akan muncul 5. Ini juga merupakan salah satu media promosi “mouth to mouth” yang sangat efektif, karena pelanggan yang puas akan menceritakannya pada orang lain 6. Survey menunjukkan bahwa pendekatan ini berhasil menaikkan produktivitas dan efektivitas organisasi Disisi lain, kerugian yang harus dibayar dengan diterapkannya pendekatan ini adalah sebagai berikut : 1. Dibutuhkan dana yang besar khususnya untuk melakukan seleksi dan pelatihan pegawai 2. Dibutuhkan upah/ gaji yang lebih tinggi bagi para karyawan 3. Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelenggarakan suatu pelayanan 4. Ada kemungkinan karyawan/ birokrat mengambil keputusan yang tidak tepat Kedua pendekatan di atas merupakan kontinum, artinya pendekatan yang satu merupakan kebalikan atau mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan pendekatan yang lainnya. Dengan demikian kelebihan pada pendekatan yang satu adalah merupakan kekurangan atau kelemahan bagi pendekatan yang lainnya, demikian juga sebaliknya. 3 Tabel 1 Pendekatan Kontingensi dalam Manajemen Karyawan Kontingensi Pendekatan yang Pendekatan yang Berorientasi Kontrol Berorientasi Involvement Strategi bisnis utama Rendah harga, tinggi volume Diferensiasi, personal Ikatan dengan klien Transaksi, jangka pendek Hubungan, jangka panjang Teknologi Rutin, sederhana Tidak rutin, kompleks Lingkungan bisnis Dapat diramalkan, tidak ada kejutan Jenis orang yang terlibat Manajer tipe X, pekerja yang kebutuhan pertumbuhannya rendah, rendah kebutuhan sosal dan kemampuan interpersonal rendah hampir Tidak menentu, kejutan banyak Manajer tipe Y, pekerja dengan kebutuhan pertunbuhan dan kebutuhan sosial tinggi serta kemampuan interpersonal tinggi Sumber : Bowen & Lawyer sebagaimana dalam Glynn & Barnes (1995:287) Dalam terminologi Walton, pendekatan dalam manajemen pegawai disebut sebagai model manajemen. Walton sebagaimana dikutip oleh Carnall (1999) menyebutkan pendekatan yang berorientasi kontrol sebagai model manajemen kontrol, dan pendekatan yang berorientasi involvement sebagai model manajemen komitmen. Selanjutnya Walton sebagaimana dikutip oleh Carnall (1999) juga menyatakan bahwa untuk mengubah model manajemen kontrol menjadi model manajemen komitmen harus dilakukan melalui model manajemen transisional. Perbedaan di antara tiga model menajemen ini didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut (Carnall, 1999: 41-43) : 1. Prinsip dalam mendesain pekerjaan 2. Harapan atas kinerja 4 3. Organisasi dan manajemen : struktur, sistem dan gaya 4. Sistem intensif 5. Pandangan terhadap pekerja 6. Keterbukaan informasi 7. Hubungan manajemen – pekerja 8. Filosofi manajemen yang dipergunakan Adapun ciri-ciri model manajemen kontrol, model manajemen transisional secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel 2 di bawah ini : Tabel 2 Perbandingan Karakteristik Tiga Model Manajemen Karakteristik Model Manajemen Model Transisional Ruang lingkup responsibilitas individu diperluas untuk meningkatkan kinerja organisasi dengan cara pemecahan masalah yang partisipatoris Model Kontrol Perhatian individu terbatas hanya pada pekerjaan individual Prinsip dalam mendesain pekerjaan Harapan atas kinerja Desain pekerjaan mereduksi keterampilan dan kemampuan berpikir pegawai Tidak ada perubahan dalam mendesain pekerjaan dan mendesain akuntabilitas Model Komitmen Responsibilitas individu diperluas untuk meningkatkan kinerja organisasi Desain pekerjaan meningkatkan keterampilan dan kemampuan berpikir pegawai Akuntabilitas didasarkan pada pekerjaann individual yang dirumuskan secara baku Akuntabilitas difokuskan pada pekerjaan tim yang dirumuskan secara luwes sesuai dengan tuntutan situasi Pengukuran standar didefinisikan sebagai kinerja minimal yang harus Penekanan diberikan pada pencapaian tujuan yang lebih tinggi 5 dicapai yang bersifat dinamis dan berorientasi pada tuntutan penyesuaian atas perubahan lingkungan Struktur cenderung berlapis-lapis dengan kontrol yang bersifat top-down Organisasi dan metoda : Struktur, sistem dan gaya Pada prinsipnya tidak ada perubahan atas struktur kontrol dan otoritas Struktur organisasi datar dengan sistem pengaruh yang bersifat mutual Koordinasi dan kontrol dilakukan atas dasar peraturan dan prosedur Koordinasi dan kontrol dilakukan atas dasar nilainilai, tradisi dan tujuan milik bersama Manajemen menekankan pentingnya hak prerogatif dan otoritas berdasar jabatan Manajemen menekankan pentingnya pemecahan masalah, informasi yang relevan dan keahlian Simbol status dipergunakan untuk memperkuat hirarki Mulai dilakukan perubahan, misalnya dengan mengembangkan partisipasi Simbol-simbol status diminimalisasi untuk memperpendek hirarki Jika memang dimungkinkan diusahakan untuk mengembangkan sistem insentif yang bersifat individual Biasanya tidak ada perubahan dalam konsep insentif Insentif didasarkan atas kinerja demmi untuk mengembangkan kebersamaan dan pencapaian kelompok (bagian keuntungan) Sistem insentif Sistem indentif disesuaikan dengan evaluasi atas pekerjaan Sistem insentif bersifat individual sesuai dengan keahlian dan kinerja 6 Pandangan terhadap pekerja Keterbukaan informasi Hubungan manajemen-pekerja Filosofi manajemen yang dipergunakan Jika terjadi penurunan profit pengurangan insentif didasarkan atas sistem penggajian Pengurangan dilakukan secara adil dengan didasarkan atas kontribusi diantara kelompokkelompok pegawai Pengurangan dilakukan secara adil dengan didasarkan atas komitmen dan pencapaian hasil Pekerja atau pegawai diangggap sebagai biaya dalam proses produksi Di sini sangat ditekankan pentingnya ipartisipasi Di sini ada komitmen yang sangat tinggi terhadap pekerja. Ada priorita yang besar untuk mengembangkan pegawai Informasi yang diberikan kepada pegawai sangat dibatasi Ada perluasan informasi yang diberikan tapi beum untuk semua pegawai Informasi diberikan kepada semua pegawai dengan harapan akan tercipta partisipasi yang luas dalam segala hal Informasi bisnis atau dinas yang diberikan terbatas kepada pegawai yang dianggap benar-benar memerlukannya Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas konflik kepentingan Informasi bisnis atau dinas mulai disebarkan secara terbatas Informasi bisnis atau dinas disebarkan secara luas kepada semua pegawai Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas tujuan-tujuan bersama dan untuk kepentingan perubahan program kerja Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas kepentingan mutual diantara keduanya. Mereka dapat membuat perencanaan bersama dan mengembangkan peran mereka secara bersama-sama Filosofi manajemen ditekankan kepada pentingnya kewajiban terhadap Filosofi manajemen ditekankan kepada pentingnya kewajiban semata Ada tim ad hoc untuk menentukan skala prioritas 7 terhadap pemegang saham stakeholders Sumber : Carnall (1999 : 41-43) Kebijakan Manajemen SDM Kebijakan manajemen SDM di pegawai negeri Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok kepegawaian. Kebijakan makronya dapat dilihat dalam pasal 12 dan pasal 13 yang dikutip seperti dibawah ini : Pasal 12 (1) Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. (2) Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja Pasal 13 (1) Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum (2) Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam ayat (1), berada pada Presiden selaku Kepala Pemerintahan (3) Untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk Komisi Kepegawaian Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden 8 (4) Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terdiri dari 2 (dua) Anggota tetap yang berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi, serta 3 (tiga) Anggota Tidak Tetap yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (5) Ketua dan Sekretaris Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), secara ex officio menjabat sebagai Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (6) Komisi Kepegawaian Negara mengadakan sidang sekurang-kurangnya sekali dalam satu bulan. Berdasarkan undang-undang tersebut di atas dalam Bab I, ayat 1, butir 8, dituliskan bahwa fungsi manajemen pegawai negeri sipil mencakup delapan hal, yaitu : 1. Perencanaan 2. Pengadaan 3. Pengembangan kualitas 4. Penempatan 5. Promosi 6. Penggajian 7. Kesejahteraan 8. Pemberhentian Evaluasi Kebijakan Manajemen SDM Pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan antara lain apabila manajemen sumber daya manusia dilakukan dengan mengedepankan kepentingan pengguna jasa, yaitu dengan menerapkan pendekatan kontingensi dalam mengelola pegawai. Pegawai negeri sebagai penyelenggara jasa pelayanan seharusnya dikelola dengan menggunakan pendekatan ini. Akan tetapi apabila dicermati review kebijakan manajemen SDM pegawai negeri, ternyata manajemen SDM pegawai negeri masih belum berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa. Model manajemen SDM sebagaimana diatur dalam UU No. 43 Tahun 1999 9 sangat kaku dan oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model manajemen SDM pegawai negeri tidak menggunakan pendekatan kontingensi dan tidak berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa. Hal ini dapat dilihat dari indikasi sebagai berikut : 1. Secara makro dalam pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasil guna. Hal ini berarti pegawai negeri lebih diarahkan untuk memenuhi kepentingan Pemerintah daripada kepentingan masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan. Oleh karena itu, ada slogan bahwa pegawai negeri adalah abdi negara. 2. Fungsi perencanaan dan pengadaan juga secara tegas dinyatakan untuk memperlancar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, bukannya untuk kepentingan pelayanan terhadap masyarakat. Janji atau sumpah yang harus diucapkan ketika seseorang diangkat sebagai pegawai negeri juga sangat condong kepada kepentingan Pemerintah dan bukannya kepentingan pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa. 3. Fungsi pengembangan kualitas dan penempatan pegawai negeri adalah merupakan fungsi yang paling berorientasi kepada kepentingan Pemerintah. Dalam kurikulum dan materi pengembangan kualitas sangat sedikit porsi pengembangan pelayanan. Dalam latihan pra jabatan untuk calon PNS misalnya, materi yang diberikan lebih banyak materi umum kewarganegaraan dan baris-berbaris. Bahkan dahulu dalam latihan pra jabatan juga diajarkan cara penggunaan senjata api atau menembak. Materi yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan sama sekali tidak diberikan. Sebagai pembanding, ada salah satu perusahaan penyelenggara jasa layanan yang mewajibkan calon pegawainya mengikuti pelatihan yang salah satu materi dalam pelatihan tersebut adalah tersenyum. 4. Fungsi promosi penggajian dan kesejahteraan dilakukan secara baku dan kaku sehingga tidak memungkinkan dilakukan pendekatan kontingensi. Lebih dari itu kepentingan pengguna jasa juga tidak dijadikan sebagai 10 acuan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Misalnya sistem penggajian tidak dilakukan berdasarkan prestasi tapi dilakukan atas dasar ukuran baku yang kurang mencerminkan prestasi kerja. 5. Fungsi pemberhentian, sama dengan fungsi yang lainnya dimana perumusannya dilakukan secara kaku dan tidak memberi peluang untuk dilakukannya pendekatan kontingensi serta tidak berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa pelayanan. Daftar Pustaka Bowen, David E & Edward E.yer III, 1995, Organizing for Service : Empowerment or Production Line? In Glynn, William J & James G. Barnes (ed) Understanding Services Management, John Wiley & Sons, West Sussex, England. Carnall, Colin A, 1999, Managing Change in Organizations (Third Edition), Prentice Hall Europe, London. Ratminto & Atik Septi, 2007, Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Thoha Miftah, 2005, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Wibawa Samodra, 2005, “Reformasi Administrasi” Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik, Yogyakarta, Gava Media. Peraturan Perundangan Undang-Undang Nmor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok – pokok Kepegawaian. 11