penurunan kadar lignin dari tandan kosong kelapa

advertisement
1
PENURUNAN KADAR LIGNIN DARI TANDAN KOSONG
KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PEMECAHAN MATERIAL
SELULOSA UNTUK PEMBENTUKAN GLUKOSA DENGAN
PROSES FUNGAL TREATMENT
*1)
Aldino J.G 1, Fanandy K 1, S.R. Juliastuti *1,Nuniek H 1, Sumarno 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya, 60111 Indonesia
Phone : 031-5940374, Fax : 031-5999282
*
Email : [email protected]
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah
padat terbesar dari pabrik minyak CPO. Komponen utama
TKKS adalah lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang umum
disebut lignoselulosa. Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi
industri yang berbahan baku selulosa. Produksi glucose dari
TKKS melalui cara konvensional mebutuhkan biaya yang tinggi.
Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi
TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi
Tricodherma harzianum (TH) dan Phanerochaete chrysosporium
(PC) pada proses degradasi lignin, kemudian dilanjutkan proses
degradasi cellulose dan hemicellulose yang menggunakan
penambahan fungi Aspergillus niger (AN) dan Tricodherma viride
(TV). Metode penelitian ini menggunakan 2 tahap utama yaitu
fungal treatment 1 dan fungal treatment 2. Bahan baku yang
digunakan adalah TKKS, sedangkan jamur yang digunakan
adalah jamur Phanaerochaete chrysosporium, Tricodherma
harzianum, Aspergillus niger dan Tricodherma viride. Proses
fungal treatment dilakukan pada suhu 37 oC dan pH 4 – 6 disertai
dengan pengadukan sebesar 50 rpm. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan didapatkan proses fungal treatment terbaik
terdapat pada fungal treatment 2 dengan ratio PC:TH = 2:1,
dengan penurunan lignin sebesar 84,72%, penurunan
hemiselulosa sebesar 16,209%, penurunan selulosa sebesar
13,328% dan kenaikan glukosa sebesar 119,95%.
Kata Kunci— Aspergillus niger, Phanaerocaete chrysosporium,
Tandan Kosong Kelapa Sawit, Tricodherma
harzianum, Tricodherma viride.
I. PENDAHULUAN
K
elapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah
satu komoditas perkebunan andalan bagi perekonomian
Indonesia. Kualitas dan tingkat produksi Crude Palm
Oil (CPO) yang tinggi merupakan keunggulan dari
komiditas ini. Data Ditjen Perkebunan menyebutkan
pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia mencapai 5.358.423 hektar dengan total
produksi minyak hingga 10.683.756 ton (Ditjenbun,
2008). Dalam proses produksi CPO dihasilkan banyak
limbah yang masih belum dimanfaatkan secara
maksimal sehingga berpotensi mencemari lingkungan.
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan
limbah padat terbesar dari pabrik minyak CPO.
Komponen utama TKKS adalah lignin, selulosa, dan
hemiselulosa yang umum disebut lignoselulosa
(Darnoko, 1992).
Kandungan lignin yang tinggi pada TKKS dan bagas tebu
menyebabkan kendala dalam pemanfaatan selulosa murni bagi
industri yang berbahan baku selulosa seperti industri pulp dan
kertas ataupun industri pembuatan papan serat. Salah satu cara
untuk mengatasi masalah ini menggunakan mikroorganisme
dalam rangka biodelignifikasi. Mikroorganisme yang berperan
penting dalam biodelignifikasi adalah Fungi Pelapuk Putih
(FPP) dari kelas Basidiomycetes. Kemampuan FPP melakukan
biodelignifikasi disebabkan oleh enzim ligninolitik
ekstraselular yang dihasilkannya (Kirk & Chang 1990). Enzim
ligninolitik ekstraselular tersebut adalah lakase, lignin
peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase (MnP) (Gold &
Alic 1993). Produksi enzim ligninolitik dari limbah
lignoselulosa mempunyai arti penting karena selain dapat
mengatasi masalah limbah organik lignoselulosa, juga dapat
memberi nilai tambah dari limbah tersebut.
TKKS mengandung Hemiselulosa sebanyak 28 persen. Dari
28 persen tersebut mengandung xilosa sebanyak 33 persen
(Kwei Nam-Law, 2010). Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa limbah TKKS memilki potensi yang besar
jika dimanfaatkan untuk industri glucose. Potensi ini ditunjang
dengan fakta bahwa glucose memiliki manfaat di berbagai
bidang industri seperti makanan, obat-obatan, alkohol, aseton
– butanol atau biopolimer dan sudah dipakai secara luas di
hampir seluruh negara di dunia, seperti Eropa, Amerika, serta
Asia, sehingga glucose mempunyai peluang besar untuk
komoditi ekspor yang unggul. (Darnoko, 1992)
Produksi glucose dari TKKS melalui cara konvensional
memang memerlukan biaya yang cukup tinggi karena selain
diperlukan energi yang tinggi juga bahan baku utamanya
adalah cellulose murni, serta glucose yang dihasilkan pun
masih memerlukan proses pemurnian untuk memenuhi standar
pada industri obat dan makanan yang menyebabkan
meningkatnya biaya produksi . Maka diperlukan proses
bioteknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk
mengganti proses produksi kimia yang diharapkan lebih
ekonomis.
Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi
TKKS menjadi glucose dengan menggunakan kombinasi fungi
Tricodherma harzianum dan Phanerochaete chrysosporium
2
pada proses degradasi lignin, kemudian dilanjutkan proses
degradasi cellulose dan hemicellulose dengan fungi
Aspergillus niger dan Tricodherma viride
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan
Bahan – bahan yang digunakan yaitu Tandan kosong kelapa
sawit (TKKS), Potatoes Dextrose Agar (PDA), Tricodherma
harzianum, Phanerochaete chrysosporium, Tricodherma
viride, Aspergillus niger, Asam/basa (H2SO4 dan CH3COOH /
NaOH), glukosa, agar.
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan yaitu waterbath,
peralatan gelas, autoclave, incase, incubator.
hingga beratnya konstan. Berat ditimbang (berat c). Residu
kering ditambahkan 100 mL H2SO4 72% dan direndam pada
suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N
dan direfluk pada suhu 100 oC dengan water bath selama 1 jam
pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan H2O
sampai netral (400 mL). Residu kemudian dipanaskan dengan
oven dengan suhu 105oC sampai beratnya konstant dan
ditimbang (berat d). Selanjutnya residu diabukan dan
ditimbang (berat e)
Kadar Air (% berat)
=
Kadar Hemiselulosa (%berat) =
Kadar Selulosa (% berat)
=
Kadar Lignin (% berat)
=
Kadar Abu (% berat)
=
agitator,
C. Cara Kerja
Pretreatment Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
TKKS dicuci untuk menghilangkan debu dan pengotor
lainnya. Lalu TKKS dipotong menjadi potongan-potongan
kecil. Kemudian TKKS tersebut direbus / dimasak. Setelah
dikeringkan, potongan TKKS tersebut digiling menjadi serbuk
dan diayak sampai dengan ukuran 20 mesh. Setelah itu
dilakukan analisa kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan
glukosa dalam TKKS.
Fungal Treatment
Tricodherma harzianum, Aspergillus niger, Tricodherma
viride, dan Phanerochaete chrysosporium dibiakkan pada
Potato Dextrose Agar (PDA). Jumlah jamur dihitung
menggunakan mikroskop (counting chamber). Konsentrasi
jamur yang diperlukan pada Tricodherma harzianum adalah 5
x 106 sel/mL, pada Aspergillus niger adalah 5 x 106 sel/mL,
pada Tricodherma viride adalah 5 x 106 sel/mL, dan pada
Phanerochaete chrysosporium adalah 5 x 106 sel/mL. (Pada
kondisi log phase masing-masing jamur). Bubur TKKS dibuat
dengan menambahkan air ke TKKS dengan rasio berat TKKS
: Air = 3:5 (w/w). Delignifikasi dan proses hidrolisis pada
TKKS dilakukan dengan menambahkan jamur Tricodherma
harzianum, Phanerochaete chrysosporium, dan dibiakkan
selama 5 hari sebagai proses fungal treatment 1. Aspergillus
niger, dan Tricodherma viride dengan konsentrasi tertentu
(sesuai variable), ditambahkan pada hari ke-5, dan fungal
treatment dilanjutkan sampai hari ke-9 sebagai proses fungal
treatment 2. Kondisi operasi proses fungal treatment dijaga
37oC pada pH 4-6 disertai pengadukan 50 rpm.
Pengolahan Data Hasil Penelitian
Metode Chesson (Datta 1981)
Satu gram sampel kering (berat a) ditambahkan 150 mL
H2O dan direfluk pada suhu 100 oC dengan water bath selama
1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas 300
mL. Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai
beratnya konstan dan kemudian ditimbang (berat b). Residu
ditambah 150 mL H2SO4 1 N, kemudian direfluk dengan water
bath selama 1 jam pada suhu 100 oC. Hasilnya disaring dan
dicuci sampai netral (300 mL) dan residunya dikeringkan
Dengan :
Massa A
Massa B
Massa C
Massa D
Massa E
= Oven dry weight (ODW) awal
sampel biomassa lignoselulosa
= Oven dry weight (ODW) residu
sampel direfluk dengan air panas
= Oven dry weight (ODW) residu
sampel setelah direfluk dengan 1
N H2SO4
= Oven dry weight (ODW) residu
sampel setelah direndam H2SO4
72% dan ditambah H2SO4 1 N
kemudian direfluk
= Abu dari residu sampel
Dinitrosalisilat (DNS)
A. Prosedur Pembuatan Larutan Standar Glukosa
Sebelum analisa DNS dilakukan perlu membuat
larutan standar glukosa terlebih dahulu. Langkah yang
pertama dilakukan ialah membuat larutan persediaan
dengan cara mencampurkan 0,9 g glukosa dalam 100 mL
aquadest. Membuat larutan standar glukosa dengan
mengencerkan larutan persediaan (1) dengan pengenceran
1 : 1 (tanpa pengenceran), 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4 dan 1 : 5.
B. Prosedur Pembuatan Larutan DNS
Selanjutnya untuk membuat larutan DNS yang
pertama dilakukan ialah melarutkan 16 g NaOH dalam
200 mL aquades, kemudian ditambahkan 10 g larutan
DNS dan diaduk menggunakan stirrer sampai benar-benar
larut. Melarutkan 30 g NaK-tartrat dan 8 g Nametabisulfit kedalam 500 ml aquadest. Mencampurkan
larutan (1) dengan (2) dan ditambahkan aquades sampai
1000 mL.
C. Prosedur Pembuatan Kurva Standar Glukosa
Setelah membuat larutan standar glukosa dan larutan
DNS, selanjutnya membuat kurva standar glukosa yang
nanti akan digunakan untuk menganalisa sampel proses
fermentasi-ekstraktif. Langkahnya adalah mencampurkan 2
3
mL larutan persediaan yang mengandung glukosa dengan 3
mL larutan DNS. Memanaskan campuran dalam air
mendidih selama 15 menit. Lalu mendinginkan campuran
menggunakan es atau air mengalir. Mengulangi langkah
sebelumnya untuk konsentrasi larutan glukosa berbeda.
Mengukur
dan
mencatat
absorbansi
pada
spektrophotometer dengan panjang gelombang 540 nm.
Membuat grafik dengan memplot antara kadar glukosa
sebagai gula reduksi dengan absorbansi.
D. Prosedur Pembuatan Larutan Blanko
Untuk menganalisa perlu larutan blanko. Pembuatan
larutan blanko dilakukan dengan mencampurkan 2 mL
aquades dengan 3 mL larutan DNS. Memanaskan
campuran dalam air mendidih selama 5 menit.
Mendinginkan campuran tersebut menggunakan es atau air
mengalir.
E. Prosedur Analisa Sampel
Untuk menganalisa sampel hasil fermentasi-ekstraktif,
prosedurnya ialah mencampurkan 2 mL larutan sampel
yang telah diencerkan 50 kali menggunakan aquades
dengan 3 mL larutan DNS. Memanaskan campuran dalam
air mendidih selama 15 menit. Mendinginkan campuran
tersebut menggunakan es atau air mengalir. Mengulangi
langkah tersebut untuk sampel yang berbeda. Mengukur
dan mencatat absorbansi pada spektrofotometer dengan
panjang gelombang 540 nm. Mensubstitusi absorbansi yang
diperoleh dengan persamaan dari kurva standar glukosa.
Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa Fungal treatment 2
pada setiap variabel run menunjukkan penurunan kadar lignin
dalam TKKS lebih besar dari Fungal treatment 1. Hal ini
disebabkan karena pada fungal treatment 2 terdapat
penambahan jamur A.niger (AN) dan T.viride (TV) pada hari
ke-5 dimana AN memiliki kemampuan mendegradasi lignin
sebagai sumber karbonnya sedangkan TV tidak dapat
menggunakan karbon pada lignin sebagai sumber karbonnya
karena TV hanya bekerja secara spesifik terhadap karbon pada
selulosa.
Selain itu juga lama waktu 9 hari pada Fungal treatment 2
memungkinkan jamur PC, TH, AN, dan TV mencapai fasa
pertumbuhan logaritmiknya yang menyebabkan PC secara
optimal menghasilkan enzim pendegradasi lignin berupa
lakase, LiP dan MnP sedangkan TH menghasilkan lakase
dimana enzim tersebut merupakan enzim yang mampu
mendegradasi lignin. LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin
melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation
yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus
ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin
lignin dan reaksi lain (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 2001).
MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ (Hofrichter 2002).
Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin
fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti
dengan dekomposisi lignin secara spontan (Hatakka 2001,
Hofrichter 2002). Laccase mengoksidasi cincin fenolik lignin
menjadi radikal fenoksil (Hatakka 2001)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses fungal treatment dilakukan dengan dua tahapan,
fungal treatment 1 dilakukan dari hari ke-0 hingga hari ke-5
dengan menggunakan jamur Phanaerochaete chrysosporium
dan Tricodherma harzianum dengan variabel perbandingan
1:1, 2:1, dan 1:2 (%v/v), kemudian dilanjutkan fungal
treatment 2 dari hari ke-5 hingga hari ke-9 dengan
penambahan jamur Aspergillus niger dan Tricodherma viride
sebesar 2:1 (%v/v). Besar perubahan kandungan lignin,
selulosa dan glukosa ditampilkan pada gambar 1, 2, 3, 4 dan 5.
Gambar. 1.
treatment.
Grafik kadar lignin yang hilang setelah proses Fungal
Gambar. 2.
treatment.
Grafik kadar selulosa yang hilang setelah proses Fungal
Gambar. 3. Grafik kadar hemiselulosa yang hilang setelah proses Fungal
treatment.
4
Gambar 2 dan 3 dapat dilihat bahwa penurunan kadar
hemiselulosa dan selulosa lebih efektif pada proses fungal
treatment 2. Hal ini disebabkan dari struktur TKKS yang
merupakan lignoselulotic material yang sebagian besar terdiri
dari lignin. Keberadaan lignin disini adalah sebagai dinding
yang melapisi selulosa, sehingga jika ingin mendapatkan
selulosa maka lignin harus didegradasi terlebih dahulu seperti
pada Fungal treatment 2 dimana proses ini merupakan
lanjutan dari fungal treatment 1 yang bertujuan untuk
mendegradasi lignin dengan menggunakan P.chrysosporium
dan T.harzianum kemudian dilanjutkan dengan proses Fungal
treatment 2 dengan penambahan A.niger dan T.viride guna
menguraikan hemiselulosa dan selulosa yang terdapat didalam
TKKS.
Gambar. 4. Grafik kadar glukosa yang terbentuk setelah Fungal treatment.
Gambar. 5. Grafik persen pembentukan glukosa setelah proses Fungal
treatment pada FT 2 terhadap FT 1
Gambar 5 menunjukkan bahwa terdapat kenaikan
pembentukan glukosa pada proses fungal treatment 2 terhadap
proses fungal treatment 1 untuk masing – masing variabel.
Persen pembentukan glukosa tertinggi sebesar 119,95% oleh
Fungal treatment 2 dengan perbandingan PC:TH = 2:1
terhadap proses fungal treatment 1. Sedangkan pada treatment
yang lain diperoleh % pembentukan glukosa sebesar 109,96%
(pada Fungal treatment 2 dengan ration PC:TH = 1:1) dan
118,04% (pada Fungal treatment 2 dengan ration PC:TH =
1:2). Hal ini disebabkan karena adanya jamur P.chrysosporium
dan T.harzianum yang mampu mendegradasi lignin pada saat
proses fungal treatment 1 sehingga proses hidrolisa selulosa
menjadi glukosa oleh A.niger dan T.viride pada fungal
treatment 2 berjalan secara efektif dan glukosa yang dibentuk
lebih banyak. Sedikitnya kenaikan glukosa pada fungal
treatment 2 terhadap fungal treatment 1 disebabkan oleh
sedikitnya waktu yang diberikan pada campiran AN dan TV
pada saat proses fungal treatment yang hanya memakan waktu
4 hari dibandingkan dengan campuran fungi PC dan TH yang
sudah ada selama 9 hari didalam reaktor.
Pada gambar 2, 3 dan 4 dapat diketahui bahwa jumlah
glukosa yang terbentuk tidak sama dengan jumlah selulosa dan
hemiselulosa yang terurai, hal ini terjadi karena pada hidrolisa
selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa melalui reaksi
secara enzimatis selulosa tidak langsung terhidrolisa menjadi
glukosa tetapi menjadi selubiosa terlebih dahulu dan dalam
penelitian ini, jumlah selubiosa yang terbentuk tidak dianalisa
(Chen ming dkk, 2007). Tidak hanya itu hidrolisa selulosa
menjadi glukosa dimungkinkan berlanjut menjadi ethanol yang
kemudian hilang karena terjadi penguapan pada saat proses
fermentasi. Selain itu faktor kelembaban (moisture) juga
berpengaruh terhadap jumlah karbon yang terkonsumsi. Fungi
jenis Tricodherma harzianum dan Phanaerochaete
chrysosporium umumnya baik hidup pada kelembaban 100 –
200%, sehingga pada kelembaban tersebut karbon yang
dikonsumsi lebih banyak. (keller et al, 2003)
Dari gambar 1, 2.3, 4 dan 5 dapat dilihat bahwa dari ketiga
variabel Run 1 dengan perbandingan PC dan TH sebesar 1:1,
Run 2 dengan 2:1, dan Run 3 dengan 1:2 dapat diketahui
bahwa Fungal treatment 2 Run 2 dengan perbandingan PC dan
TH sebesar 2:1 (%v/v) memiliki tingkat efektifitas yang paling
baik. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya kadar lignin,
hemiselulosa dan selulosa yang hilang pada gambar 1 sebesar
84,72%, gambar 2 sebesar 13,328% dan gambar 3 sebesar
16,209% sedangkan besar kenaikan glukosa yang dihasilkan
ditunjukkan pada gambar 5 yaitu sebanyak 119,95% untuk
metode DNS dan 134,826% untuk metode HPLC. Hal ini
disebabkan karena jamur P.chrysosporium lebih dominan
daripada T.harzianum, dimana P.crysosporium ini tidak hanya
mampu mendegradasi lignin dengan 3 enzim lignoselulotik
seperti lakase, LiP, dan MnP yang mampu mendegradasi lignin
secara optimal juga mampu menghasilkan enzim selulotik
berupa xylanase dan selulase yang dapat menhidrolisa selulosa
menjadi glukosa sedangkan T.harzianum hanya menghasilkan
enzim lakase saja yang berfungsi untuk mendegradasi lignin.
Adanya T.harzianum ini berfungsi sebagai biokontrol terhadap
bakteri penganggu mengingat sifat dari jamur ini patogen
terhadap mikroorganisme. Sehingga jalannya proses fungal
treatment menjadi lebih optimal.
Adanya penambahan A.niger dan T.viride menjadikan
proses degradasi lignin dan hidrolisa selulosa menjadi glukosa
semakin efektif. Karena jamur A.niger selain menghasilkan
enzim yang dapat menghidrolisa selulosa menjadi glukosa juga
mampu mendegradasi lignin. Sedangkan T.viride hanya
menghasilkan
selulotik
termasuk
endoglukanase,
eksoselobiohidrolase, dan b-glikosidase. Ketiga enzim ini
bekerja secara sinergis dalam mendegradasi selulosa menjadi
glukosa. Sehingga glukosa yang terbentuk pada Fungal
treatment 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Fungal treatment
1.
Lain halnya dengan Run 3 dengan perbandingan PC dan
TH sebesar 1:2. Pada variabel ini baik penurunan lignin,
selulosa dan hemiselulosa maupun kenaikan glukosa yang
dihasilkan memiliki nilai yang paling rendah daripada variabel
5
yang lain yakni sebesar 45,91% untuk lignin, 7,905% untuk
selulosa dan 8,581% untuk hemiselulosa sedangkan untuk
kenaikan glukosa FT 2 terhadap FT 1 hanya sebesar 118,04%.
Hal ini disebabkan karena sifat dari T.harzianum yang bersifat
patogen terhadap mikroorganisme lain. Dengan komposisi
yang dominan menyebabkan kinerja dari bakteri lain
terhambat. Sehingga proses fermentasi degradasi lignin dan
hidrolisa selulosa menjadi tidak berjalan dengan baik.
IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Proses fungal treatment terbaik terdapat pada fungal
treatment 2 dengan ratio PC:TH = 2:1, dengan penurunan
lignin sebesar 84,72%, penurunan hemiselulosa sebesar
16,209%, penurunan selulosa sebesar 13,328% dan kenaikan
glukosa sebesar 119,95%.
UCAPAN TERIMA KASIH
[12]. Erickson K.E.L., Blanchette R.A., Ander P. 1990. Microbiol and
Enzymatic Degradation of Wood and Wood Component. Berlin:
Spinger-Verlag..
[13]. Fan, L. T., Y. H. Lee dan M. M. Gharpuray. 1982. The nature of
lignocellulosics and their pretreatments for enzymatic hydrolysis.
Adv. Biochem. Eng. 23: 158-187.
[14]. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, ReaksiReaksi. Diterjemaahkan oleh Sastrohamidjojo, H. Terjemahan dari :
Wood : Chemical, Ultrastructure, Reactions. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
[15]. Gold M.H. and M. Alic. 1993. Molecular biology of the lignindegrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Microbiol.
Rev. 57:605-622.
[16]. Hammel K.E. 1996. Extracellular free radical biochemistry of
ligninolytic fungi. New J Chem 20:195-198.
[17]. Hammel K.E. 1997. Fungal Degradation of Lignin. Di Dalam: Cadisch
G, Giller KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And
Decompostion. London: CAB International. hlm. 33-45.
[18]. Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbüchel A. [ed]
Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany:
Wiley VCH. pp. 129-180.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. Petrokimia
Gresik yang telah membantu dalam menyediakan bahan baku
berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit dan fungi yang
digunakan dalam penelitian ini.
[19]. Hatakka A. 1994. Lignin-modifying enzymes from selected white-rot
fungi: production and role in lignin degradation. FEMS Microbiol.
Rev. 13: 125-135.
DAFTAR PUSTAKA
[21]. Highley T.I, T.K Kirk. 1979. Mechanisme of Wood Decay an The
Unique Features of Heartrots. Symposium on Wood Decay J. 69 : 1151
– 1157.
[1].
Adaskaveg, J.E., R.L. Gilbertson and M.R. Dunlap. 1995. Effects of
incubation time and temperature on in vitro seceltive delignification
of silver leaf oak by Ganoderma colossum. Appl. Environ. Microbiol.
61:138-144.
[2].
Alexopoulos C.J., Mims C.W., Blackwell M. 1996. Introductory
Mycology. Ed. Ke-4. New York: John Willey and Sons Inc.
[3].
Arif W, Ferry, Musmuriadi. 2004. Jurnal : Pengaruh Berbagai
Konsentrasi Mediator Pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim
Kasar Lignin Peroksidase. Teknik Kimia ITS, Surabaya.
[20]. Herliyana E.N. 1997. Studi Pertumbuhan Fungi White-Rot
Phanerochaete chrysosporium Pada Berbagai Macam Suhu, pH Media
dan Sumber N. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[22]. Higley T.L, Dashek W.V. 1998. Biotechnology in the Study of Brown
and White rot Decay. Di dalam : Bruce A, Palfreyman JW, editor.
Forest Products Biotechnology. Taylor & Francis Ltd, London. hlm.
15 – 36.
[23]. Hofrichter M. 2002. Review: Lignin conversion by manganese
peroxidase (MnP). Enzyme Microbiol. Technol.30:454-466.
[24]. Howard, R.T., Abotsi, E., Jansen van Rensburg, E.L and Howard, S.,
2003, Lignocellulose Biotechnology : Issue of Bioconversion and
Enzymes Production, African Journal of Biotech., 2. 602-619
[4].
Bajpai S.M and Anantharaman, N., 2006, Activity Enhancement of
Ligninolytic Enzymes of Trametes versicolor with Bagasse Powder,
African Journal of Biotech.,5, 189-194
[5].
Blanchette R.A. 1995. Degradation of lignocellulose complex in wood.
Can. J. Bot. 73 (Suppl. 1):S999-S1010.
[25]. Johjima T., N. Itoh, M. Kabuto, F. Tokimura, T.Nakagawa. H. Wariishi
and H. Tnaka. 1999. Directinteraction of lignin and lignin peroxidase
fromPhanerochaete chrysosporium. Proc. Natl. Acad. Sci. 96:19891994.
[6].
Blanchette R.A., K.R. Cease and A.R. Abad. 1991. An evaluation of
different forms of deterioration found in archaeological wood. Int.
Biodeter. 28:3-22.
[26]. Kirk KT, Chang HM. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper
Manufacture. New York: Butterworth-Heinemann.
[7].
Chahal P.S. and D.S. Chahal. 1998. Lignocellulosic Waste: Biological
Conversion. In: Martin, A.M. [eds]. Bioconversion of Waste Materials
to Industrial Products. Ed ke-2. London: Blackie Academic &
Professional. pp. 376-422.
[8].
Darnoko, Z. Poeloengan & I. Anas 1992. Pembuatan pupuk organik
dari tandan kosong kelapa sawit. Buletin Penelitian Kelapa Sawit, 2 ,
89-99.
[9].
Direktorat Jenderal Perkebunan.
Perkebunan
Kelapa
Sawit
www.ditjenbun.go.id.[26 July 2008]
2008. Pendataan Lengkap
Indonesia
Tahun
2008.
[10]. Djumali Mangunwidjaja., Anas M.F., Sukardi., Wagiman. 2009.
Rekayasa Produksi Bioetanol Dari Biomassa Lignoselulosa Tanaman
Jagung Sebagai Energi Terbarukan.
[11]. Dumanauw JF. 2001. Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius.
[27]. Kirk T.K. and R.L. Farrell. 1987. Enzymatic “combustion”:the
microbial degradation of lignin. Ann. Rev. Microbiol. 41,465-505.
[28]. Kuhad, R.C., Singh, A. and Eriksson, K.E.L. (1997) Mi-croorganisms
and enzymes involved in the degradation of plant fiber cell walls.
Advances in Biochemical Engi-neering/Biotechnology, 57, 45-125.
doi:10.1007/BFb0102072
[29]. Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH and I.S. Pretorius. 2002.
Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology.
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577.
[30]. Orth A.B., D.J. Royse, M. Tien. 1993. Ubiquity of lignindegrading
peroxidases among various wood-degrading fungi. Appl Environ
Microbiol 59:4017-4023.
[31]. Perez J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002.
Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose
and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5:53-63.
6
[32]. Purwito dan Firmanti A. 2005. Pemanfaatan Limbah Sawit Untuk
Bahan Pencegah Serangan Rayap Tanah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. 89 hal.
[33]. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Aplikasi Kompos TKS Pada
Kelapa Sawit TM. Publikasi Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
[34]. Rayner A.D.M., Boddy L. 1988. Fungal decomposition of wood. Great
Britain: John Wiley & Sons.
[35]. Richana N, Prastowo B, Purwantana B, Nuralamsyah A. 2011.
Diversifikasi Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Biofuel Generasi 2
dan Reduksi 3 MCPD. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. 106 hal.
[36]. Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit. Yogyakarta: Kanisius.
[37]. Sjöberg, G. 2003. Lignin degradation: Long-term effects of nitrogen
addition on decomposition of forest soil organic matter. [disertasi].
Uppsala: Dep. Soil Sci. Swedish University of Agricultural Sciences.
[38]. Sjostrom, Eero.1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan Edisi
Kedua
[39]. Steffen, K.T. 2003. Degradation of recalcitrant biopolymers and
polycyclic
aromatic
hydrocarbons
by
litter-decomposing
basidiomycetous fungi. [disertasi]. Helsinki: Division of Microbiology
Department of Applied Chemistry and Microbiology Viikki Biocenter,
University of Helsinki
[40]. Sun, Y., dan Cheng, J. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials
for ethanol production: a review. Bioresour. Technol. 83, 1 – 11.
[41]. Syafwina, Honda Y, Watanabe T, Kuwahara M. 2002. Pretreatment of
Oil Palm Empty Fruit Bunch by White Rot Fungi for Enzymatic
Saccharification. Wood Res. 89: 19-20.
[42]. Vähätalo A.V., K. Salonen, M. Salkinoja-Salonen and A. Hatakka.
1999. Photochemical mineralization of synthetic lignin in lake water
indicates rapid turnover of aromatic organic matter under solar
radiation. Biodegradation 10:415-420.
[43]. YSI Model 50B: Dissolver Oxygen Meter Instruction
Download