1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang diciptakan di dunia sebagai makhluk sosial, sejak kelahirannya manusia membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup, manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain di dalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Pada awalnya, manusia berhubungan dengan orang tuanya dengan semakin meningkatnya umur, maka semakin luas pula daya cakup pergaulannnya dengan manusia lain di dalam masyarakat tersebut. Pada dasarnya manusia mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas dan berlaku bagi dirinya sendiri baik laki-laki atau perempuan. Berdasarkan lingkungannya, manusia mulai menyadari dan mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan orang lain dari masyarakat itu dia bebas, namun tidak boleh berbuat semaunya dengan kata lain bebas bertanggung jawab. Dari ayah, ibu, saudara-saudaranya serta lingkungan masyarakat manusia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang (Soerjono Soekanto, 1988 : 1). Berdasarkan hal di atas, kehidupan di dalam suatu masyarakat pada dasarnya berpedoman pada suatu aturan yang telah lama berlaku dalam masyarakat tersebut dan oleh sebagian masyarakat dipatuhi dan ditaati karena merupakan pegangan baginya, jadi sejak dilahirkan manusia telah sadar bahwa 2 mereka bagian dari satu kesatuan manusia yang lebih luas lagi dan kesatuan tadi memiliki kebudayaan. Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang di inginkannya dengan mudah, dibutuhkan usaha dan kerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat dan berkembang dalam kehidupan dewasa ini memunculkan bermacam cara dalam usaha pemenuhannya, tidak terkecuali kebutuhan biologis guna terciptanya regenerasi. Sudah menjadi kodrat alam pula, bahwa pada tiap-tiap manusia yang normal terdapat hasrat untuk melanjutkan jenisnya dengan mengadakan keturunan. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan orang seorang, hasrat itu menjadi dorongan untuk adanya bentuk hidup suami isteri salah satunya dengan cara yang formal yaitu dengan mengadakan hubungan perkawinan. Mengingat arti pentingnya perkawinan di dalam masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang menyatakan bahwa : “ perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. Dari definisi tersebut di dapatkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Di sinilah awal peran ganda dari seorang 3 perempuan, di samping sebagai isteri diharapkan dapat menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya di kemudian hari. Berdasarkan kodrat sebagai perempuan untuk mewujudkan kesempurnaan hidup menjadi seorang ibu diawali dengan melalui proses kehamilan dan di lanjutkan proses kelahiran pada saatnya, proses yang begitu panjang dan penuh dengan harapan bagi calon ibu dan keluarga. Harapan akan kehidupan baru untuk menjadi seorang ibu dalam keluarganya. Suatu proses yang memberikan dampak terhadap program-program pelayanan kesehatan ibu dan anak baik pra maupun pasca melahirkan, adanya program-program tersebut di harapkan efektif di dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dan mengurangi angka kematian pada ibu dan anak. Dimana hal tersebut harus didukung oleh semua pihak-pihak terkait baik pusat, daerah maupun swasta. Dalam rangka mewujudkan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berdasarkan Pasal 46 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab VI pada bagian kesatu berbunyi sebagai berikut : Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Hal ini senada dengan Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1992 yang berbunyi " kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, 4 kecil, bahagia, dan sejahtera ", sedangkan Ayat 2 menyatakan bahwa kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya. Mencerrnati hal tersebut di atas, hak-hak perempuan/istri harus mendapatkan suatu pengakuan dan perlindungan berupa peraturan-peraturan atau pun perundangundangan. Di dunia internasional pengakuan hak-hak perempuan pertama kali muncul dari adanya piagam PBB yaitu Komisi Kedudukan Perempuan atau Commision on the Status of Women (CSW) yang dibentuk pada tahun 1964. Konvensi CEDAW merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi ini sering digambarkan sebagai "international bill of rights for women". Konvensi ini merupakan satusatunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi perempuan. Komitmen dan perkembangan yang terjadi secara internasional tersebut berpengaruh pula pada langkah yang dilaksanakan di Indonesia dalam menangani masalah hak-hak perempuan terutama pada masalah kematian ibu. Pada tahun 1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan kelanjutan konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahun sebelumnya. Lokakarya bertujuan mengemukakan betapa kompleksnya masalah kematian ibu, sehingga penanganannya perlu dilaksanakan di berbagai sektor dan pihak terkait ( Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 4 ). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 angka kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100 5 ribu kelahiran. Tingginya angka kematian ibu dan bayi sebesar 307 per 100 ribu kelahiran hidup menjadi salah satu indikatornya buruknya pelayanan kesehatan ibu dan anak. Masalah kematian ibu adalah masalah yang kompleks, meliputi hal-hal nonteknis seperti status wanita dan pendidikan, walaupun masalah tersebut perlu diperbaiki sejak awal, namun kurang realistis bila mengharapkan perubahan drastis dalam tempo singkat. Karena itu diperlukan intervensi yang mempunyai dampak nyata dalam waktu relatif pendek ( Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 5 ). Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa strategi dan aktivitas untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA) antara lain melalui peningkaian program upaya kesehatan perorangan, program upaya kesehatan masyarakat, program pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program promosi kesehatan. Di dalam Rencana Strategik Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010 di sebutkan bahwa dalam konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010, visi MPS adalah " kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi di lahirkan hidup dan sehat. Sedangkan misi MPS adalah menurunkan kesakitan dan kematian maternal dan neonatal. Melalui pemantapan sistem kesehatan untuk menjamin akses terhadap intervensi yang cost effective berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas, memberdayakan wanita, keluarga dan masyarakat melalui kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Dan menjamin agar kesehatan maternal dan neonatal dipromosikan dan dilestarikan sebagai prioritas program pembangunan nasional. (Sarwono Prawirohardjo, 2002:1). Masalah gizi pada kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak juga perlu mendapatkan perhatian yang sama. Hal ini disebabkan karena sekitar 54% 6 kematian bayi dan balita terkait dengan kondisi gizi yang kurang. Oleh sebab itu, peningkatan program perbaikan gizi dengan sendirinya akan berdampak pada penurunan angka kematian bayi dan balita. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:6). Demikian pula dengan penyakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan. Melihat pada penyebab langsung kematian ibu yang sangat terkait dengan kualitas prosedur klinis, maka jelas dukun tidak dapat diharapkan untuk menangani masalah perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Oleh sebab itu, saat ini peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat mendesak. Peningkatan akses mutu tenaga kesehatan memerlukan berbagai pelatihan disamping upaya yang menjamin bahwa mereka bekerja berdasarkan standar sehingga memenuhi kinerja mutu yang diharapkan ( Majalah Info Forum Parlemen, 2006 : 5 ). Dalam rangka menunjang peningkatan pelayanan kesehatan dibutuhkan anggaran pembangunan kesehatan, anggaran pembangunan bidang kesehatan dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan namun masih belum sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa pembiayaan pembangunan minimal 5-15% dari pendapatan negara. Anggaran pembangunan kesehatan oleh Pemerintah, Pemda Propinsi, dan Kabupaten/Kota masih belum ada sinkronisasi antara Pusat dan Daerah dimana desentralisasi masih belum sesuai dengan harapan, karena masih rendahnya dukungan dan kepedulian Pemda akan arti pentingnya kesehatan. Di Indonesia, desentralisasi kesehatan yang dimulai tahun 2001 diharapkan dapat mendorong kebijakan dan program kesehatan yang lebih 7 berorientasi kepada kebutuhan prioritas masyarakat, namun masih menjadi suatu pertanyaan sejauh mana harapan desentralisasi tersebut telah terwujud. Banyak faktor baik institusi dan non-institusi mempengaruhi langsung dan tidak langsung proses dan konteks kebijakan kesehatan (Majalah Info Forum Parlemen, 2006 : 9). Berdasarkan pasal 1 ayat,(7) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi "Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia". Sesuai dengan sistem desentralisasi, bahwa kewenangan pusat telah dilimpahkan kepada daerah, dan oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan yang bersifat menyeluruh guna meningkatkan kesehatan terutama bagi ibu dan anak di seluruh daerah-daerah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banyumas. Kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada data dan bukti dengan mempertimbangkan norma sosial budaya menghadapi tantangan banyak faktor. Sementara banyak pihak sepakat pentingnya kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada informasi akurat dari lapangan, diperlukan suatu mekanisme pengumpulan dan pelaporan data yang lebih baik untuk pembelajaran kebijakan. Guna tercapainya hasil yang maksimal dalam pelaksanakan program-program kesehatan dalam kaitannya terhadap kesehatan ibu dan anak. Upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi ini diharapkan peran aktif dari semua pihak-pihak terkait baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun peranan dari pihak-pihak swasta. Dengan adanya Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang desentralisasi maka pemerintah daerah memegang 8 peran penting dalam alokasi dana daerah guna mendukung program-program kesehatan, disamping itu diharapkan pemerintah daerah mampu memanfaatkan semaksimal mungkin semua sumber daya yang ada pada daerah tersebut dalam upaya untuk mendukung program tersebut. Anggaran pembangunan bidang kesehatan dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan namun masih belum sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa pembiayaan pernbangunan kesehatan minimal 5-15% dari PDB. Sedang standar WHO untuk sebuah negara dengan kondisi layanan kesehatan yang baik minimal adalah 15 persen dari GDP. Adapun ketentuan besarnya anggaran kesehatan bersifat relatif tergantung kepada kemampuan keuangan negara, anggaran kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat secara normatif dapat dilihat dari UU APBN. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:13). Berkaitan dengan hal di atas, pada Pasal 171 ayat (1) UU No. 36 tentang kesehatan yang berbunyi “Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatn dan belanja negara di luar gaji”. Ayat (2) “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”. Bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan harus dilaksanakan ataupun diselenggarakan secara berkeseinambungan baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun oleh masyarakat termasuk swasta. Anggaran pembangunan kesehatan oleh Pemerintah, Pemda Propinsi, dan Kabupaten/Kota masih belum ada sinkronisasi antara pusat dan 9 daerah dimana desentralisasi masih belum sesuai dengan harapan, karena masih rendahnya dukungan dan kepedulian Pemda akan arti pentingnya kesehatan khususnya kesehatan ibu dan anak tak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut dan merumuskan dalam judul, "Kesehatan Ibu dan Anak (Studi Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Peningkatan Kesehatan lbu dan Anak di Kabupaten Banyumas)". B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah yang di kaji adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas ? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas; 2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. 10 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak ; b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis yang akan datang dan sekaligus sebagai pembanding terhadap penelitian-penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya. 2. Kegunaan praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input (mandat) bahan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kebijakan peningatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan (input) bagi pembuat, perencana kebijakan di bidang kesehatan ibu dan anak dalam rangka menekan angka kematian ibu, meningkatkan kualitas kekurangan gizi anak serta peningkatan kesadaran tentang arti pentingnya kesehatan bagi masyarakat. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HUKUM DAN MASYARAKAT 1. Definisi Hukum Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, interaksi tersebut menyebabkan manusia untuk berhubungan dan saling membutuhkan. Oleh karenanya diperlukan adanya suatu aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditaati oleh semua anggota masyarakat, mempunyai sanksi yang tegas, dan berlaku tetap. Untuk mengatur dan memberikan batasan- batasan dalam hubungannya manusia satu dengan yang lain di dalam kehidupan bermasyarakat. Kumpulan dari suatu norma, sanksi, dan peraturan yang membentuk suatu sistem dan saling mempengaruhi dapat disebut dengan suatu hukum. Hukum memaksa karena memiliki sanksi yang tegas. Dalam melindungi masyarakatnya negara menggunakan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan yang ada di dalam suatu negara. Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh negara atau aparat penyelenggara negara. Hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia, hukum dapat di bagi dalam dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis 12 dituangkan dalam bentuk pasal-pasal, dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Tentunya terdapat fungsi dari hukum tersebut, diantaranya sebagai fungsi sarana pembaharuan masyarakat. Di samping itu maka hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan yang terencana tersebut. Dari hal tersebut, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa hukum sebagai alat perubahan masyarakat (a tool social engineering). Hukum adalah pengendali utama kegiatan kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Menurut Leon Duguit : “ Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu “. Sedangkan menurut Prof. Mr. E.M. Meyers dalam bukunya “ De Algemene Begrippen van het Burgelijk Recht “ memberikan definisi hukum sebagai berikut “ Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang 13 menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya “ (C.S.T Kansil, 1986:36). Lon Fuller menyatakan bahwa hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu. Penekanan di sini adalah pada usaha, maka dengan sendirinya mereka mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan, intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu (Satjipto Raharjo, 1986:77). Di dalam kehidupan bermasyarakat peristiwa-peristiwa hukum dapat menyebabkan adanya interaksi, kontak atau hubungan satu sama lain. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau hubungan yang menimbulkan pertentangan atau konflik. Mengingat akan banyaknya kepentingan manusia, maka tidak mustahil dapat memunculkan konflik atau bentrokan karena kepentingan tersebut. Hal ini terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengupayakan pemenuhan kepentingan tersebut seseorang merugikan orang lain. Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan manusia, pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjadi peperangan, seandainya 14 hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian (C.S.T Kansil, 1984:42). Hukum mempertahankan perdamaian dengan memperhatikan kepentingan yang bertentangan itu sendiri secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika hukum tersebut menuju peraturan yang adil. Keadilan tidak dipandang sama arti dengan pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dan tentunya hukum itu harus bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum-hukum yang berlaku. 15 2. Azas-azas Hukum Pembentukan suatu kehidup bersama yang baik di dalam masyarakat hukum dituntut pertimbangan tentang azas atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup bersama. Dengan demikian, azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum, azas-azas itu dapat juga disebut titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interprestasi undangundang tersebut. Oleh karena itu azas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum karena merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada azas hukumnya. Azas hukum ini disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui azas-azas hukum yang ada didalamnya. Oleh karena itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada azas-azas hukumnya. Azas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum. Azaz hukum itu bersifat dinamis, namun menurut Scholten ada azas hukum yang bersifat universal yang berlaku kepada siapa saja dan dimana saja tidak terpengaruh waktu dan tempat. Disebutnya ada lima azas hukum universal yaitu : azas kepribadian, azas persekutuan, azas 16 kesamaan, azas kewibaan, dan azas pemisahan antara baik dan buruk. Empat azas hukum universal yang pertama dalam setiap sistem hukum, tidak ada sistem hukum yang tidak mengenal ke empat azas-azas hukum universal tersebut. Ada kecenderungan dari ke empat azas hukum universal yang pertama itu untuk menuju dan mendesak yang lain, ada suatu masyarakat atau massa tertentu yang menghendaki azas hukum universal yang satu daripada yang lain. Keempat azas universal tersebut yang pertama di dukung oleh pikiran bahwa dimungkinan memisahkan antara baik dan buruk (azas hukum yang kelima), kaedah hukum adalah pedoman tentang apa yang seyogyannya dilakukan dan apa yang seyogyannya tidak dilakukan. Ini berarti pemisahan antara yang baik dan buruk (Sudikno Mertokusumo, 1996:9). Azas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturam hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada azas-azas tersebut. Kecuali disebut landasan, azas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, azas hukum ini tidak akan kehilangan kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, dan akan tetap ada serta akan menghasilkan peraturan-peraturan selanjutnya. Hukum bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka, hal ini disebabkan oleh karena azas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena azas hukum mengandung tuntutan etis, maka azas hukum merupakan jembatan 17 antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Paul Scholten menyatakan bahwa azas hukum dengan tuntutan etisnya itu terdapat di dalam hukum positif tetapi sekaligus melampaui hukum positif dengan menunjuk kepada suatu penilaian etis. Bagaimana azas hukum itu bisa memberikan penilaian etis terhadap hukum positif apabila tidak langsung berada di luar hukum tersebut. Keberadaan di luar hukum positif ini adalah untuk menunjukkan betapa azas hukum itu mengandung nilai etis yang self evident bagi yang mempunyai hukum positif (Satjipto Rahardjo, 1986:89). Mengenai batasan pengertian azas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, diantaranya Van Eikema Hommes mengatakan bahwa azas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada azas-azas hukum tersebut. Dengan kata lain azas hukum ialah dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Menurut Scholten, bahwa azas hukum adalah kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifatsifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. 18 Azas-azas hukum menurut Theo Huijbers ada tiga macam, yaitu sebagai berikut : a. Azas-azas hukum objektif yang bersifat moral. Prinsip-prinsip itu telah ada pada pemikir zaman klasik dan abad pertengahan. b. Azas-azas hukum objektif yang bersifat rasional, yaitu prinsip-prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip ini juga telah diterima sejak dahulu, tetapi baru diungkapkan secara nyata sejak mulainya zaman modern, yakni sejak timbulnya negara-negara nasional dan hukum yang dibuat oleh kaum yuris secara profesional. c. Azas-azas hukum subyektif yang bersifat moral maupun rasional, yakni hak-hak yang ada pada manusia dan yang menjadi titik tolak pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling tampak pada bidang ini (Ishaq, 2007:76). Selanjutnya azas hukum menurut Sudikno Mertokusumo, dibagi menjadi dua yaitu : a. Azas hukum umum ialah azas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti azas restitution in integrum, azas lex posteriori derogate legi priori, azas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus oleh hakim. b. Azas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya yang 19 sering merupakan penjabaran dari azas hukum umum, sering merupakan penjabaran dari azas hukum umum, seperti azas pacta sunt survenda, azas konsensualisme, azas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa azas hukum itu bukanlah norma hukum yang konkret, karena hal tersebut adalah dasar pemikiran yang umum, abstrak dan mendasari lahirnya setiap peraturan hukum. Dengan demikian, perbedaan antara azas dan norma adalah : a. Azas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan norma merupakan peraturan yang riil. b. Azas adalah suatu ide atau konsep, sedangkan norma adalah penjabaran dari ide tersebut. c. Azas hukum tidak punya sanksi, sedangkan norma mempunyai sanksi (Ishaq, 2007:77). 3. Unsur-unsur hukum Di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan dengan, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara tidak didasarkan kepada kekuatan kekuasaan semata tetapi didasarkan kepada hukum, dalam arti cita hukum (rechtsidee) yang di dalamnya mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia. Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang 20 Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Di Negara Republik Indonesia hukum bersumber kepada Pancasila. Hukum yang adil adalah hukum yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan bangsa Indonesia, maupun melindungi kepentingan-kepentingan material dan spiritual dan mampu melindungi kepribadian dan kesatuan bangsa, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mewujudkan citacita nasional. Masalah hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatmasyarakat tertentu, di daerah tertentu dan pada waktu tertentu. Masyarakat adalah masyarakat manusia yang berkedudukan dan berkepribadian. Karena fungsi hukum mengatur hubungan kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai tujuan pula untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Maka dari itu materi hukum di Indonesia harus digali dan dibuat dari nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam masyarakat Indonesia. Baik mengenai kesadaran dan cita-cita hukum, cita-cita moral, kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita-cita politik, sifat bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan dan sebagainya (C.S.T Kansil, 1986:539). 21 Hukum tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum adalah suatu kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum manusia, yang sering memaksa manusia bertindak juga yang bertentangan dengan kehendak atau kecenderungan manusia itu sendiri. Bukan hanya manusia saja yang dibawah perintah oleh hukum, negara pun dibawah perintah oleh hukum itu. Utrecht memberikan batasan hukum sebagai berikut : “ Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu “.(Ishaq, 2007:3). J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto memberikan definisi hukum sebagai berikut : “ Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang diberikan oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu “. Dari beberapa perumusan tentang hukum tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu : a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib; c. Peraturan itu bersifat memaksa; d. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas (C.S.T Kansil, 1986:38-39). 22 Pengertian dan azas itu penting untuk dipahami karena masingmasing mempunyai makna yang berbeda sebagaimana tampak dalam unsur-unsur hukum (gegevens van het recht) yang terdiri dari unsur ideal dan unsur riil. Unsur ideal, karena sifatnya yang sangat abstrak yang tidak dapat diraba dengan panca indera tetapi kehadirannya dapat dirasakan. Unsur ini bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa cipta, karsa dan rasa. Unsur cipta harus diasah, yang dilandasi logika dari beraspek kognitif, yakni mempunyai metodik, sistematik dan pengertian. Unsur ini menghasilkan ilmu tentang pengertian. Unsur karsa harus diasuh, yang dilandasi etika dan beraspek konatif. Adapun unsur rasa harus diasih, yang dilandasi estetika dan beraspek efektif. Karsa (etika) dan rasa (estetika) menghasilkan nilai, azas, dan kaedah (Ishaq, 2007:4). Nilai dan azas menjadi objek kajian filsafat hukum, sedangkan kaedah menjadi objek kajian ilmu tentang kaedah. Di samping itu, unsur riil karena sifatnya yang konkret bersumber pada manusia, alam, dan kebudayaan yang akan melahirkan ilmu tentang kenyataan. Unsur ini mencakup aspek ekstern sosial dalam pergaulan hidup dalam masyarakat. Di bagian lain untuk memahami hubungan ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif (tertulis) perlu ditinjau sejenak tentang adanya unsur-unsur hukum. Unsur-unsur hukum tersebut mencakup unsur idiil serta unsur riil. Unsur idiil tersebut mencakup hasrat susila dan rasio manusia; hasrat susila menghasilkan azas-azas hukum (rechtsbeginzelen, misalnya : tidak ada hukuman tanpa kesalahan), sedangkan rasio manusia 23 menghasilkan pengertian-pengertian hukum (rechtsbegrippen, misalnya : subyek hukum, hak dan kewajiban, dan seterusnya). Unsur riil terdiri dari manusia, kebudayaan materiil dan lingkungan alam. Apabila unsur idiil kemudian menghasilkan kaedah-kaedah hukum melalui filsafat hukum dan ” normwissenschaft atau sollenwissenshaft “, maka unsur ini rill kemudian menghasilkan tata hukum (Soerjono Soekanto, 1986:4). 4. Hubungan Hukum Dengan Masyarakat Manusia mempunyai hasrat untuk hidup bersama semenjak dilahirkan, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu berbedabeda tingkatannya, misalnya hubungan suami-istri dalam rumah tangga, keluarga, suku bangsa dan negara. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama tersebut lazim disebut masyarakat. Jadi masyarakat itu terbentuk apabila dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan bahwa yang seorang dan yang lain saling kenal mengenal dan pengaruh mempengaruhi. Masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan sejumlah manusia, melainkan tersusun pula dalam pengelompokan-pengelompokan dan pelembagaan-pelembagaan. Kepentingan para anggota masyarakat tidaklah senantiasa sama, namun kepentingan yang sama mendorong timbulnya pengelompokan pengelompokan-pengelompokan diantara itu mereka timbul itu. pula Disamping pelembagaan- 24 pelembagaan yang menunjukkan adanya suatu usaha bersama untuk menangani suatu bidang persoalan di masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1986:95). Keanekaragaman persoalan anggota masyarakat tersebut memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Untuk menjamin hubungan-hubungan itu diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan kesadaran tiap-tiap anggota masyarakat, peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, sehingga terdapat keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Hukum sebagai perangkat ide diwujudkan melalui berbagai kelembagaan di dalam masyarakat. Dalam rangka melihat hukum dari sudut pengorganisasian sosialnya tidak membatasi bekerjanya lembaga hukum itu hanya melihat apa yang ditentukan secara normatif, misalnya saja mengenai pengadilan dengan mendasarkan pada undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek informal suatu organisasi. Artinya, keseluruhan dari jalinan hubungan yang tidak ditentukan dalam pengaturan organisasi tersebut, baik di antara anggota organisasi maupun dalam hubungan antara organisasi dengan dunia luarnya. 25 Hukum tidak hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun juga mengatur kehidupan manusia secara luas dan menyeluruh. Baik dalam lapangan yang sifatnya individual (privat) maupun yang bersifat komunal atau umum (public). Seluruh aspek kehidupan manusia di masyarakat saat ini tidak akan lepas dari hukum dalam upaya penyelesaiannya. Dan barangsiapa yang mencoba untuk menyelesaikan masalahnya melalui jalur lain di luar jalur hukum maka akan melekat padanya suatu statement buruk yang dikenal sebagai eigenrichting yang diterjemahkan sebagai main hakim sendiri. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan (Ishaq, 2007:248). Apabila kita memperhatikan, bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah masyarakat. Tetapi hal ini masih memerlukan penjelasan lebih lanjut, yang dimaksud masyarakat disini adalah hubungan individu dengan individu dengan masyarakat dalam kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum disini sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup 26 kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus mengalirkan aturan-aturan hidup (kaedah-kaedah hidup) yang adil dan sesuai dengan perasaan atau kesadaran masyarakat yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena kepentingan mereka diperhatikan (dilindungi) (C.S.T Kansil, 1986:540). Setiap gangguan atau pelanggaran peraturan hukum yang ada di masyarakat, akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang pelanggaran hukum yang dilakukannya. Akan tetapi walaupun hukum itu tidak dapat kita lihat namun sangat penting berlaku bagi kehidupan masyarakat, karena hukum itu mengatur hubungan antara anggota masyarakat seorang dengan yang lain serta hubungan antara anggota masyarakat itu dengan masyarakatnya. Artinya, hukum itu mengatur hubungan antara manusia perseorangan dengan masyarakat. Jelaslah bahwa dalam rumusan yang sederhana, dalam masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Hukum memberikan suatu peta atau bagan bagi hubungan-hubungan yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat satu terhadap yang lain. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 27 Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, yang mengarah kepada peningkatan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 5. Fungsi Hukum Hukum bekerja dengan cara mengatur perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pengaturannya maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergalulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalahmasalah yang timbul. Fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu : a. Pengawasan/pengendali sosial (social control) Pengendalian sosial dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu (Ishaq, 2007:10). 28 Fungsi hukum yang telah banyak diketahui oleh umum ini adalah fungsi hukum sebagai suatu mekanisme pengendalin sosial. Mekanisme pengendalian sosial merupakan suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar supaya mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku. b. Penyelesaian sengketa (dispute settlement) Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Persengketaan atau perselisihan dapat dengan mudah terjadi di dalam masyarakat, antara keluarga yang dapat meretakkan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Sengketa atau perselisihan pastinya memerlukan suatu penyelesaian. Cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yaitu pengadilan dan ada juga yang diselesaikan dengan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan orang yang ada di sekitarnya. Hal ini telah dijelaskan oleh T.O. Ihromi, yaitu “ dalam masyarakat manapun sebenarnya banyak sengketa diselesaikan sendiri oleh orangorang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam proses penyelesaian sengketa terutama di daerah 29 pedesaan, sering terdapat beberapa tokoh yang diakui pengaruhnya oleh orang-orang sekitarnya dan yang mempunyai peranan yang lebih penting dibandingkan dengan orang-orang lain. Mereka itu pimpinan informal, dan diakui oleh masyarakat sekitarnya sebagai juru bicara, yang di dapat menyuarakan norma yang berlaku sehingga dapat mengukur sampai berapa jauh terjadi pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali “ (Ishaq, 2007:12). c. Rekayasa Sosial (Social Engineering) Hukum sebagai sarana rekayasa sosial menurut Satjito Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. lagi Dengan demikian, hukum dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, dan kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan yang terencana tersebut. Masyarakat yang keadaannya tenang dan tentram biasanya lebih berhasil mempergunakan hukum sebagai sarana pengendali sosial. Dengan 30 demikian, maka pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara stabilitas dengan perubahan di dalam masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dengan pengendalian sosial adalah suatu kedamaian melalui keseimbangan antara kepastian hukum dengan kesebandingan. Maka, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, atau bahkan keduanya. Preventif merupakan suatu pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dengan fleksibilitas, sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang pernah mengalami gangguan (Soerjono Soekanto, 1988:180). Berdasarkan hal di atas memang benar bahwa hukum merupakan sarana pengendalian sosial, akan tetapi di lain pihak hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk mempelancar proses interaksi sosial (”law as a facilitation of human interaction”). Mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan kadang-kadang kedua fungsi tadi berkaitan dengan eratnya, sehingga sulit untuk dibedakan secara tegas. Akan tetapi adalah kurang tepat dengan menyatakan bahwa kedua adalah penting, semata-mata untuk mengatasi masalah. Fungsi hukum nasional kita adalah pengayoman. Hukum dengan aturan-aturan hukum yang bersumber pada rasa keadilan (bagi bangsa 31 Indonesia adalah Pancasila), melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, masyarakat Indonesia dan individu-individu, terhadap pelaksanaan pembangunan (hukum harus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan menyeluruh). Karena fungsi hukum yang mengatur hubungan kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai tujuan pula untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dapat dilakukan dengan : 1. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. 2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing. 3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum. 4. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintahan ke arah penegakan hukum, keadilan terhadap perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undangundang Dasar 1945 (C.S.T Kansil, 1986:547). Hukum tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum adalah suatu kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum 32 manusia yang sering memaksa manusia bertindak juga yang bertentangan dengan kehendak atau kecenderungan manusia itu sendiri. Bukan hanya manusia saja yang dibawah perintah oleh hukum, negara juga dibawah perintah hukum itu. Hukum berdaulat, yaitu di atas segala sesuatu termasuk negara. Oleh karena itu menurut Krabbe, negara yang baik adalah negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan negara harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum. B. KEBIJAKAN PUBLIK 1. Definisi Kebijakan Publik Istilah policy seringkali penggunaanya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undangundang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar.menurut perserikatan bangsa-bangsa, kebijakan itu di artikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (Solichin Abdul W, 1997:2). Istilah kebijaksanaan dewasa ini lebih sering dan secara luas di pergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatankegiatan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Dalam kaitan 33 inilah maka mudah dipahami jika kebijaksanaan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik, menurut Carl Friedrich menyatakan bahwa kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan (Solichin Abdul W, 1997:3). Di dalam masyarakat yang sederhana sejumlah kecil orang dapat memutuskan segala urusan dan mengetahui semuanya yang terjadi. Akan tetapi, di dalam masyarakat yang lebih kompleks suatu keputusan di konsultasikan bersama (to be shared) di delegasikan dan di lembagakan dalam saluran-saluran yang rutin. Proses kebijakan publik adalah berhubungan dengan lembaga elit dan pengikut-pengikutnya yang mempunyai ketidaksamaan satu sama lain. Suatu usaha untuk membedakan antara pembuatan kebijaksanaan dengan pembuatan keputusan pada umumnya dan pembuatan keputusan pemerintahan pada khususnya sering dilakukan dengan tanpa memberikan kepuasan. Banyak orang menapsiri bahwa public policy adalah hasil dari suatu pemerintahan dan administrasi negara adalah sarana untuk mempengaruhi terjadinya hasil-hasil tersebut. Dengan demikian, public policy lebih diartikan sebagai apa yang di kerjakan oleh pemerintah dibandingkan daripada bagaimana proses hasil-hasil itu di buat. Proses pembuatan kebijaksanaan atau public policy itu tidak mudah. Ia 34 memerlukan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi dan suatu kemauan untuk mengambil inisiatif dan resiko. Jarang orang-orang bisa memahami mengapa dan bagaimana suatu keputusan itu dibuat (Miftah Thoha, 1984:54-55). Policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan baik untuk mendamaikan claim dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk menciptakan incentive bagi tindakan bersama bagi pihak-pihak yang ikut menciptakan tujuan, tetapi mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha bersama tersebut. Dengan demikian, jika ada pihak-pihak yang konflik usaha untuk mengatasinya antara lain dihasilkan suatu policy. Bentuk lain jika terjadi beberapa pihak yang bersama-sama ikut menentukan tujuan yang ingin dicapai bersama, akan tetapi dalam perjalanan ada pihak-pihak yang mendapatkan perlakuan yang tidak sama dan tidak rasional. Maka, diciptakan suatu tindakan yang berupa policy yang dapat mendorong agar diciptakan situasi yang rasional. Policy semacam ini merupakan dorongan atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah sepakat menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional. Public policy menurut Thomas R. Dye adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do). Dalam pengertian seperti ini, maka pusat perhatian dari public policy tidak hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak 35 dilakukan oleh pemerintah. Justru dengan apa yang tidak dilakukan pemerintah ini mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Dapat dibayangkan betapa besar pengaruhnya terhadap masyarakat jika pemerintah mendiamkan atau tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap kejahatan yang semakin merajalela dalam masyarakat, dengan demikian tindakan tidak melakukan apa-apa merupakan policy yang diambil pemerintah. (Miftah Thoha, 1984:62). 2. Azas-azas Kebijakan Publik Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh para pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Hakikat kebijaksanaan negara sebagai jenis tindakan yang mengarah pada tujuan akan dapat dipahami lebik baik lagi apabila kebijaksanaan itu diperinci dalam beberapa kategori yakni, policy demand (tuntutan kebijaksanaan), policy decisions (keputusan kebijaksanaan), policy statement (pernyataan kebijaksanaan), policy outputs (keluaran kebijaksanaan), dan policy comes (hasil akhir kebijaksanaan). (Solichin Abdul W, 1997:8). 36 Pembuat kebijakan publik adalah para pejabat-pejabat publik termasuk pegawai senior pemerintah (public bueruecrats) yang tugasnya tidak lain adalah untuk memikirkan dan memberikan pelayanan demi kebaikan publik/kemaslahatan umum (public good ). Dalam hal ini Fisterbusch (1983) memakai kebaikan dalam lima (5) unsur, keamanan (security), hukum dan ketertiban umum (law and order), keadilan (justice), kebebasan (liberty), dan kesejahteraan (welfare). (Solichin Abdul W, 1997:47). Menurut Gerald Caiden merumuskan bahwa ruang lingkup kebijakan public meliputi hal-hal berikut ini : a. Adanya Partisipasi Masyarakat (Public Participation) Kebijakan publik merupakan suatu bidang yang seharusnya semua pihak ikut memikirkan dan semua orang percaya bahwa mereka mempunyai sesuatu yang berharga yang patut disumbangkan sebagai kewajiban warga negara. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang mempunyai kelebihan dibandingkan yang lainnya, kebutuhan-kebutuhan ini disumbangkan berdasarkan tanpa adanya interest, objektivitas, beeralasan kebenaran, kesungguhan penelitian, dan kejujuran. Partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara-cara yang baik untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat, tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak public policy kurang bermakna. Partisipasi dalam public policy merupakan aktivitas yang 37 dilakukan oleh warga negara baik secara pribadi ataupun berkelompok, partisipasi adakalanya dilakukan secara mandiri dan adakalanya dilakukan dengan mobilisasi. Partisipasi mandiri adalah suatu usaha berperan serta yang dilakukan sendiri oleh pelakunya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat, sedangkan partisipasi mobilisasi adalah keikutsertaan rakyat dalam berperan serta untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dengan cara dimobilisasikan oleh pihak lain. (Miftah Thoha, 1984:75). b. Adanya Kerangka Kerja Policy (Policy Framework) Kerangka kerja di sini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian yang dilakukan oleh public policy. Batas ini hendaknya mampu mendorong untuk mengkonstruksi semua faktor-faktor yang potensial dalam proses pembuatan policy, kesemuanya ini hendaknya dipertimbangkan oleh pembuat policy. Kerangka kerja ini merupakan checklist yang memberikan dasar untuk mengkaji secara empiris, membangun kerangka teori, dan memperlakukan masa berlakunya (validation). c. Adanya Strategi-strategi Policy (Policy Strategies) Public policy pada masa-masa terakhir ini tampaknya mulai banyak memperhitungkan ke komplekan dan saling ketergantungannya beberapa faktor yang mempengaruhi public policy. Suatu masalah sosial yang tampil ke permukaan public policy tidak lagi dipandang 38 berasal dari satu bidang kajian saja, masalah tersebut saling kaitmengkait dengan bidang kajian lainnya. Pembuat kebijaksanaan harus mampu mengamati kesemuanya itu secara jeli sebelum menetapkan strategi yang dapat diandalkan. Sungguh policy yang terbaik itu adalah policy yang berlandaskan akan strategi yang tepat, yang pemecahannya bergayutan dengan wilayah persoalannya, dan yang sama sekali tidak menghilangkan struktur kekuasaan dan instrumen-instrumen inovatif yang ada untuk pelaksanaan public policy. d. Adanya Kejelasan Tentang Kepentingan Masyarakat (Public Interst) Persoalan-persoalan masyarakat senantiasa tumbuh dan cenderung jarang terselesaikan dengan tuntas karena persoalan yang satu berkaitan dengan lainnya. Semua persoalan-persoalan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat belum tentu mencerminkan kepentingan-kepentingan masyarakat pada umumnya. Adakalanya persoalan-persoalan tersebut merupakan pencerminan dari kepentingan masyarakat kalau persoalan tersebut mempunyai pengaruh yang luas dan diangkat kepermukaan oleh masyarakat pada umumnya. Teori public interest dalam satu sistem demokrasi tidaklah hanya merupakan ikhtisar dari kepentingan-kepentingan pribadi dan melibatkan kepentingan orang lain karena orang lain simpati. Akan tetapi, public interest lebih merupakan objek kepentingan yang setiap orang merasa memberikan andil bersama-sama dengan orang lain dalam 39 suatu negara tertentu. Pengertian public interest seperti yang dikemukakan tadi dalam wujudnya misalnya dapat berupa penentuan tujuan negara yang menjamin adanya keamanan dan harta milik individu, kebebasan dan keadilan. (Miftah Thoha, 1984:82). e. Adanya Pelembagaan Lebih Lanjut Dari Kemampuan Public Policy Beberapa studi yang dilakukan di bidang public policy menyatakan bahwa struktur lembaga-lembaga yang telah ada tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan kontemporer yang timbul dan tidak mampu mengatasi halangan-halangan institusional untuk mendapatkan policy yang lebih baik. Pada saatnya perlulah dibentuk suatu lembaga riset mengenai policy yang bersifat independen. Lembaga ini nantinya diharapkan mampu menganalisa implikasi jangka panjang dari sesuatu policy dengan cara menggambarkan pernyataan-pernyataan gambaran masa depan yang realistis, menciptakan unit-unit baru pembuat kebijaksanaan, merancang kembali organisasi-organisasi yang menangani program dan persoalanpersoalan pokok, penilaian dan evaluasi dari kebijaksanaan- kebijaksanaan, sistem anggaran yang inovatif, dan sistem sensorsif yang agak retak, dan lain sebagainya. Dengan demikian lembaga semacam ini sangat bermanfaat untuk menutup kesenjangan antara teori dan praktik. Selain itu, dapat pula dipergunakan sebagai recevoir untuk melatih analisa-analisa kebijaksanaan yang nantinya mampu merencanakan dan mengevaluasi 40 policy, proses, dan teknik membuat kebijaksanaan, dan kebutuhankebutuhan policy pada masyarakat. f. Adanya Isi Policy dan Evaluasi Proses pembuatan public policy didasarkan atas kebijaksanaan yang nyata (actual policies). Public policy antara lain : 1. Penelitian mengenai permainan kekuasaan; 2. Partisipasi-partisipasi dalam public policy; 3. Pelaku-pelaku pembuat kebijaksanaan yang menjelaskan variabelvariabel policy. Sekarang ini isi public policy banyak mengamati pelaku-pelaku public policy, hubungan-hubungan di antara mereka, strategi-strategi public policy, dan hasil-hasil yang dapat mempengaruhi sistem sosial dan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Keduanya baik isi public policy dahulu maupun yang sekarang telah Memberikan andilnya dalam menciptakan proses pembuatan public policy dan kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah yang lebih baik. (Miftah Thoha, 1984:85). 3. Tujuan Kebijakan Publik Sebagaimana diketahui bahwa sesuatu masyarakat itu tumbuh dan berkembang mulai dari kelompok kecil ke kelompok yang lebih luas, dari suku bangsa dan berkembang ke suatu masyarakat internasional. Pada akhirnya timbul suatu maasyarakat yang aturannya tidak bisa di hindari oleh setiap orang, tidak ada satu orang pun yang mampu lari dari keputusan orang lain. Perluasan dan perkembangan suatu masyarakat 41 tersebut telah menimbulakan adanya suatu proses pengambilan kebijaksanaan yang semakin kompleks. Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin bertambah. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia yang merupakan salah satu anggota masyarakat kebutuhanya semakin meningkat, kebutuhan yang bertambah ini akan membawa persoalan dalam pemenuhannya kalau sumber-sumber tersedia kebutuhan itu akan mudah terpenuhi akan tetapi jika sumber-sumber tersebut langka tersedia manusia ditantang untuk mengusahakan dalam pemenuhanya. Persoalan-persoalan hidup manusia itu akan mengkomulasi sebagai persoalan masyarakat dan persoalan itu lalu mengkristal sebagai persoalan Negara, barulah orang menyadari bahwa persoalan tersebut memerlukan suatu tindakan pemecahan yang serius. Birokrat pemerintahan harus berperan aktif untuk berpikir, menganalisa, dan mengajukan mis-premis pemecahan.pada saatnya pemecahan permasalahan tersebut tercapai dibutuhkan tindak lanjut dan seterusnya tindak lanjut ini membutuhkan pengawasan. Policy merupakan suatu tindakan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang atau sejumlah orang berkenaan dengan adanya masalah atau permasalahan tertentu yang dihadapi. Konsep ini mendalilkan bahwa dalam mempelajari kebijaksanaan negara ini seyogianya diarahkan pada 42 apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Konsep tersebut membedakan secara tegas antara kebijaksanaan (policy) dan keputusan (decision), yang mengandung arti pemilihan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Pemerintah dapat melakukan banyak hal lewat proses pengambilan kebijaksanaan. Pemerintah dapat mengatur konflik yang tersedia di dalam masyarakat dan menata birokrasi untuk melaksanakan konflik tersebut, pemerintah juga dapat melakukan distribusi aneka simbol-simbol penghargaan dan bantuan pelayanan materi terhadap anggota masyarakat. Public policy mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku, mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula pada penarikan pajak-pajak anggota masyarakat. Kebijaksanaan negara, paling tidak dalam bentuknya yang positif pada umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu. Para warga masyarakat dengan demikian menerima sebagai sesuatu yang absah bahwa hasil dari kebijaksanaan itu harus dilaksanakan oleh warga masyarakat. Kebijaksanaan negara sebagai demikian, memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan (community as a whole) dan memiliki daya paksa tertentu yang tidak dimiliki oleh kebijaksanaan yang dibuat oleh organisasi-organisasi swasta. (Solichin Abdul W, 1991:7). 43 4. Hubungan Antara Kebijakan Publik Dengan Otonomi Daerah Jalan menuju ke arah suatu perwujudan kebijakan yang baik bukanlah jalan yang mudah dan mulus. Implementasi, sebagaimana halnya dengan pembuatan kebijakan publik itu sendiri melibatkan berbagai macam kepentingan apalagi untuk sebuah kebijaksanaan yang membawa implikasi perubahan yang begitu besar sebagaimana diharapkan oleh kebijakan otonomi daerah yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Desentralisasi atau otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijaksanaan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijaksanaan yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan bangsa, karena dengan otonomi akan kembali memperkuatikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warg bangsa ini. Implementasi merupakan salah satu langkah yang sangat menentukan apakah kebijaksanaan publik dalam sebuah negara berhasil mencapai tujuanya atau tidak. Di negara kita ada gejala yang sangat memprihatinkan tentang kesenjangan antara kebijaksanaan dan implementasi dari kebijaksanaan tersebut. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah supervisi dari pemerintah dalam hal implementasi kebijaksanaan otonomi daerah. Pemerintah pusat harus jelas dan tegas 44 memberikan supervisi kepada daerah apa yang dapat dilaksanakan, bukan menimbulkan persoalan baru. Dengan demikian daerah tahu secara jelas apa yang akan mereka lakukan dalam rangka menyelenggarakan otonomi di daerahnya. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:287). C. OTONOMI DAERAH 1. Definisi Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintah kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat antara lain: hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan, serta perahanan dan keamanan. (Winarna Surya A, 2002:1). Desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Pada mekanisme ini pemerintah nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintah dan masyarakat setempat atau lokal untuk di selenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat. Mission yang sangat kental dari otonomi daerah yang dicanangkan melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 adalah penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi baik ditingkat lokal maupun nasional, pengembalian martabat, dan harga diri 45 masyarakat daerah yang sudah sekian lama dimarginalkan, bahkan dinaifkan Pemerintah di pusat. Kekuasaan yang hegemonistik yang dinikmati oleh pemerintah dan masyarakat di pusat menjadi terganggu. Kekuasaan dengan segala atributnya kemudian harus dibagi dengan masyarakat di daerah. Tentu saja tidak mudah bagi Pemerintah pusat untuk merelakan kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagi, sementara itu kata kunci dari desentralisasi dan otonomi adalah “devolusi” kekuasaan kepada daerah. Pengertian otononomi daerah dalam Pasal 1 huruf c UndangUndang No. 5 tahun 1974 yang berbunyi : “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi, selain aspek hak dan kewajiban, juga aspek wewenang ada di dalamnya walaupun sebenarnya wewenang itu sebenarnya merupakan konsekuensi dari hak dan kewajiban tersebut. Aspek wewenang merupakan derivat bagi aspek hak dan kewajiban. Bahwa aspek hak di sebut lebih dulu, itu tidak berarti lebih penting dari aspekaspek lain yang disebut kemudian. (Sujamto, 1991:3 ). Makna otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1974 juga dapat di simak lebih lanjut dari tujuan pemberiannya, yang dalam penjelasan umum Undang-Undang tersebut antara lain dijelaskan sebagai berikut: “Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus 46 rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan”. 2. AzasAzas Otonomi Daerah Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah di daerah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 5/1974, masih tetap sahih (valid) dan perlu dipertahankan terus. Persoalan yang sering timbul adalah kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip tersebut. Untuk jelasnya prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya; b. Pemberian otononomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab; c. Azas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan azas dekonsentrasi dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan azas tugas pembantuan; d. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan disamping aspek pendemokrasian; e. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap 47 masyarakat serta untuk pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Kecenderungan yang pernah terjadi di masa lalu, dengan otonomi seluas-luasnya yang bermaksud mengabaikan sama sekali azas dekonsentrasi jelas tidak dapat dibenarkan dalam negara kesatua. Peranan pemerintah pusat di daerah, meskipun tidak boleh terlalu menonjol masih tetap diperlukan, Undang-Undang ini juga memungkinkan dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan menurut azas tugas pembantuan (medebewind), yang dahulu juga pernah disebut sebagai azas sertatantra. Mencermati hal di atas, dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 pokok-pokok pemerintahan di daerah yakni azas desentralisasi, azas tentang dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam penjelasan umum butir 3 huruf a yang berbunyi sebagai berikut: di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekwensi dari Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam GBHN, pemerintah wajib melaksanakan azas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam penyelenggaran pemerintah di daerah. Pada azas desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-Undang itu juga diberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut azas tugas pembantuan. Di bagian lain dalam penjelasan umum itu juga, yakni pada butir 1 huruf I (3) dapat dijumpai penegasan yang sama. Bahkan pelaksanaan 48 ketiga azas tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah diangkat sebagai salah satu prinsip dari lima prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Prinsip tersebut berbunyi sebagai berikut: Azas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan azas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan azas pembantuan. (Sujamto, 1991:14). Pengertian tentang azas tersebut dapat di lihat dalam pasal 1 huruf b (desentralisasi), pasal 1 huruf d (tentang tugas pembantuan), dan pasal 1 huruf f (tentang dekonsentrasi). Makna dari ketiga azas tersebut dan konsekuensi-konsekuensi dalam pelaksanaanya dijelaskan lebih jauh dalam penjelasan umum. Penjelasan tentang desentralisasi dapat di lihat pada butir 3 huruf b sebagai berikut: Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan. Demikian pula perangkat pelaksanaanya adalah perangkat daerah itu sendiri, yaitu terutama dinas-dinas daerah Penjelasan tentang makna azas dekonsentrasi dapat di lihat pada penjelasan umum butir 3 huruf c yang berbunyi sebagai barikut: Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan 49 pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat pemerintah di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baik mengenai perencanaan pelaksanaan, maupun pembiayaanya. Unsur pelaksanaanya adalah terutama instansi-instansi vertikal, yang di koordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukanya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. (Sujamto, 1991:15). Mengenai makna azas tugas pembantuan, dijelaskan secara lebih panjang lebar dalam penjelasan umum butir 3 huruf d, yakni sebagai berikut: Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya, jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu oleh perangkat pemerintah pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggung jawabkan apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan oleh perangkatnya di daerah, karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya 50 berbagai macam urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Undang-Undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakanya berbagai urusan pemerintah di daerah menurut azas tugas pembantuan. (Sujamto, 1991:16). 3. Tujuan Otonomi Daerah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerinta Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan wewenang yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya pelimpahan tanggung jawab akan di ikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemberian otonomi kepada daerah merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan- 51 perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang benarbenar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan. Serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. (Sujamto, 1991:80). Tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi tahun 1999 itu adalah di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga terdapat kesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan mikro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:172). Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada daerah, ini akan dengan sendirinya 52 mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Jika dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka di tantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidaklah ringan, tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dari pemerintah daerah. Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yakni: Politik, Ekonomi, serta Sosial dan Budaya. Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Harus di pahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggung jawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yanag 53 memprakarsai kebijakan itu, apa tujuanya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajeman pemerintahaan yang efektif. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di suatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harusa dikelola dengan sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, pada saatnya memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:174). 4. Hubungan Otonomi Daerah dengan Pembangunan Kesehatan Keinginan untuk menciptakan suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan partisipasi masyarakat, efisien dan efektif menuntut diselenggarakanya praktek 54 otonomi daerah dan desentralisasi. Pemerintah merespon dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut membawa implikasi pada perubahan berbagai sektor dalam sistem sosial masyarakat kita, antara lain sektor kesehatan. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 telah menyadarkan kepada kita semua bahwa pembangunan kesehatan bukanlah sekedar urusan teknis belaka. Arti penting krisis tersebut adalah timbulnya implikasi negatif yaitu berupa turunnya derajat pemenuhan kebutuhan dasar secara drastis yang dialami oleh masyarakat. Jika hal ini dibiarkan begitu saja dan tidak ditangani secara serius maka akan tercipta suatu kondisi yang disebut sebagai the lost generation. Berangkat dari fenomena tersebut maka sudah seharusnya menjadi kewajiban kita semua tidak hanya para dokter dan tenaga medis lainnya untuk peduli terhadap pembangunan kesehatan. Wacana pembangunan kesehatan bertolak dari paradigma yang dijadikan landasan untuk mengatur dan mengendalikan pembangunan kesehatan. Salah satu paradigma yang popular adalah healt for all, atau kesehatan untuk semua. Artinya adalah pembangunan sebagai jasa publik harus bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya lapisan masyarakat menengah ke atas. 55 Konsekuensi logis dari prakik healt for all sejalan dengan prinsipprinsip yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah yaitu keadilan, demokrasi, partisipasi, efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu, praktik penyelenggaraan otonomi luas dan desentralisasi merupakan langkah konkrit untuk mewujudkan pembangunan kesehatan masyarakat. Desentralisasi kesehatan juga menjadikan sektor kesehatan sebagai urusan pemerintah daerah yang harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat (public accountability). Dengan demikian pembangunan kesehatan adalah salah satu ukuran dalam menilai kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat. (Mardiasmo, 2002:74). Desentralisasi di sektor kesehatan menimbulkan perubahanperubahan dalam sistem kesehatan nasional. Bentuk desentralisasi di sektor kesehatan meliputi : a. Struktur otoritas kesehatan Kejelasan struktur otoritas kesehatan. Perlu adanya kejelasan wewenang dan yang bertanaggung jawab mengurusi masalah kesehatan apakah propinsi atau kabupaten, apakah kepala dinas kesehatan atau kepala departemen kesehatan. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah hal tersebut sudah jelas. b. Jaringan dan fungsi-fungsi penting Jaringan dan fungsi-fungsi penting. Berdasarkan PP No. 45 tahun 1992 terdapat perbedaan fungsi yang jelas berkenaan dengan 56 fungsi pemerintah propinsi dan kabupaten. Pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk urusanurusan sebagai berikut : 1. Kepentingan yang melibatkan lebih dari satu kabupaten. 2. Pengaruhnya kecil terhadap pembangunan dan pertumbuhan daerah. 3. penerapannya akan lebih efisien dan efektif jika dikerjakan oleh pemerintah propinsi. Karena tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diberikan kepada pemerintah daerah, maka pengelolaan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah dipegang oleh kantor wilayah. Dalam bidang urusan-urusan tersebut dalah petunjuk teknis dan pengawasan yang meliputi perencanaan pembangunan kesehatan, standarisasi perijinan, pengendalian dan evaluasi. Petunjuk teknis dan pengawasan terhadap puskesmas dan rumah sakit daerah, akademi kesehatan dan keperawatan diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. c. Tanggung jawab dan wewenang yang didelegasikan Tanggung jawab dan wewenang yang didelegasikan. Berdasarkan PP No. 7 tahun 1987 urusan-urusan kesehatan dan fasilitas yang dilaksanakan dan dimiliki pemerintah daerah menjadi tanggung jawabnya sendiri. Pasal 3 menyatakan bahwa, pemerintah daerah diberi hak untuk menyediakan pelayanan kesehatan dasar 57 termasuk pelayanan kesehatan utama. Berdasarkan pasal 4 urusanurusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut, antara lain ; kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, perbaikan gizi, sanitasi dan higienis, kesehatan lingkungan, pengawasan dan pencegahan penyakit, kesehatan sekolah, perawatan kesehatan umum, kesehatan mulut dan gigi, laboratorium sederhana, penelitian terhadap penyakit, pengembangan peran serta masyarakat, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan dan pengobatan, keperawatan, kesehatan utama, penyediaan obat-obatan dan pelayanan kesehatan. Sehubungan dengan hal di atas, pemerintah daerah juga diberi wewenang untuk mengatur masalah pegawai kesehatan, pendidikan, pelatihan pegawai kesehatan, pengawasan tarif pelayanan kesehatan, dan pemberian ijin sementara kepada sektor swasta untuk bergerak dalam sektor kesehatan. Sedangkan tanggung jawab dan wewenang yang didelegasikan kepada pemerintah propinsi adalah sebagai berikut, antara lain ; perencanaan urusanurusan kesehatan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan mempertimbangkan seluruh sumber dana dan dilaksanakan secara integral dengan melibatkan rumah sakit dan unit-unit teknis pelaksanaan kesehatan pemerintah daerah, pengawasan dan monitoring pelaksanaan urusan-urusan kesehatan kesehatan secara integral yang dijalankan oleh rumah sakit dan unit pelaksana teknis 58 lainnya, perijinan, standarisasi tarif pelayanan, pendirian dan pemeliharaan kesehatan, pelaksanaan kerjasama dalam bidang kesehatan sesuai dengan arahan Menteri Kesehatan. (Mardiasmo, 2002:77). Tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten pada dasarnya serupa tetapi berbeda dalam jangkauan daerah administrasi yaitu sebatas wilayah kabupaten atau kota. Peranan pemerintah dalam pembangunan kesehatan pada dasarnya bertanggung jawab kepada perbaikan kesehatan masyarakat, dengan tugas-tugas sebagai berikut : 1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang dapat di distribusikan kepada masyarakat. 2. Mengatur, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan kesehatan. 3. Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan dan membiayai usaha-usaha kesehatan tanpa melupakan fungsi sosial. 4. Pengaturan aset-aset pemerintah yang berhubungan dengan tugas-tugas rutin administrasi pemerintah dan usaha-usaha pembangunan di sektor kesehatan. 5. Pengawasan pemerintahan pelaksanaan dan tugas-tugas usaha-usaha rutin pembangunan administrasi di sektor kesehatan yang berada di bawah kebijakan umum yang 59 digariskan presiden dan peraturan-peraturan yang berlaku. (Mardiasmo, 2002:78). d. Akuntabilitas Ada beberapa jenis pengawasan yang menjamin akuntabilitas administrasi pemerintah secara rutin dan usaha-usaha pembangunan, antara lain sebagai berikut : 1. Pengawasan integral Pengawasan integral adalah pengawasan yang dijalankan oleh pengawas terhadap bawahannya dalam unit kerjanya. Pencapaian tujuan organisasi dan pelaksanaanya atau gambaran tentang organisasinya adalah tanggung jawab pemimpin organisasi. Demikian juga masalah-masalah yang dihadapi organisasi atau kualitas sumber daya manusia organisasi. Setiap pimpinan lembaga pemerintah atau unit kerja struktural dan fungsional seperti project team, komitmen, dan kelompok kerja memiliki tanggung jawab seperti di atas, sehingga jika mereka melakukan tindakan akan selalu mempertimbangkan good performance. 2. Pengawasan fungsional Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang kewajiban utamanya adalah mengawasi seperti Unit Pengawas Internal, Inspektorat Propinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota, Inspektorat Jendral 60 Pembangunan (Irjenbang), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 3. Pengawasan legislatif Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dijalankan oleh DPR dan DPRD. Berdasarkan UUD 1945, DPR memiliki kewajiban untuk menjalankan pengawasan terhadap pemerintah. 4. Pengawasan masyarakat Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat seperti media massa, LSM, Ormas, dan lain-lain. Pengawasan masyarakat harus dikembangkan dengan alasan-alasan sebagai berikut : i. Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan atas prinsipprinsip demokrasi, dimana kekuasaan berada di tangan raakyat. Pegawai-pegawai pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai aparat negara tetapi juga pelayan masyarakat. ii. Keberhasilan menciptakan good governance dan clean government tergantung dari partisipasi masyarakat untuk mengawasi negara. iii. Pembangunan adalah dari, oleh dan untuk masyarakat. Oleh karena itu masyarakat memiliki kewajiban untuk mengawasi agar praktek pembangunan sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat. 61 5. Pengawasan hukum Pengawasan hukum adalah pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung memiliki wewenang dan kewajiban untuk menjalankan pengawasan atas pemerintah dalam bidang perundang-undangan. (Mardiasmo, 2002:79). Pelaksanaan desentralisasi kesehatan yang bentuknya telah diuraikan dimuka adalah adanya perubahan-perubahan penting dalam sistem kesehatan nasional. Perubahan itu secara garis besar terdiri atas dua hal sebagai berikut : a. Perubahan dalam sistem dan proses organisasional. b. Keadilan, efisien dan kualitas pelayanan. Perubahan dalam sistem dan proses organisasional meliputi : a) Pembangunan kebijakan kesehatan (healt policy development). b) Kebutuhan penghitungan dan informasi (needs assessment and information). c) Perencanaan dan alokasi sumber daya (planning and resource allocation). d) Pembiayaan dan manajemen keuangan (financing and financial management). e) Perencanaan dan manajemen sumber daya manusia (human resource planning and management). f) Koordinasi antar sektoral (intersectoral coordination). g) Partisipasi masyarakat (public participation). 62 Kebijakan desentralisasi mengakibatkan proses pembuatan kebijakan kesehatan di distribusikan sesuai dengan wewenang yang di pegang oleh setiap unit. Pemerintah pusat adalah Menteri Kesehatan yang membuat kebijakan nasional berupa : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan (SK) bersama, SK Menteri dan petunjuk-petunjuk teknis eselon satu, sedangkan di daerah hanya Kanwil Depkes yang berada di tingkat propinsi. Pemerintah daerah membuat kebijakan operasional yang berhubungan dengan unit-unit kesehatan tersebut, kebijakan ini dijalankan oleh Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan lain-lain. Desentralisasi kesehatan bagi pemerintah daerah memerlukan mekanisme penghitungan kebutuhan kesehatan beserta segala informasi kebutuhan kesehatan, hal ini diperlukan untuk membuat perencanaan pelayanan kesehatan di daerah agar efisien dan efektif. Desentralisasi kesehatan menuntut agar perencanaan dan alokasi sumber daya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja tetapi melalui suatu proses dialog yang sejajar atau horizontal communication yang terdiri atas Bappeda, Dinas Kesehatan, LSM, perguruan tinggi, Ormas, dan lain-lain. Dampaknya adalah bahwa alokasi sumber daya di usahakan untuk tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak. (Mardiasmo, 2002:81). 63 Desentralisasi kesehatan menuntut perbaikan sistem pembiayaan dan manajemen keuangan daerah. Masalah pembiayaan selalu menjadi hambatan utama dalam mewujudkan otonomi daerah termasuk sektor kesehatan. Permasalahan kedua adalah pemerintah daerah kabupaten pada umumnya memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, oleh karena itu pemerintah daerah kabupaten/kota perlu melakukan usaha-usaha sebagai berikut : meninjau Perda yang berhubungan dengan tarif yang tidak sesuai lagi, memperbaiki fasilitas-fasilitas pelayanan umum agar menarik masyarakat untuk menggunakannya, meningkatkan kegiatan komunikasi dan pendidikan (seperti, pendidikan kesehatan untuk masyarakat), dan memperbaiki pengawasan atas manajemen keuangan daerah. Desentalisasi kesehatan berdampak juga pada manajemen dan perencanaan sumber daya manusia daerah yaitu daerah memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menentukan jumlah pegawai tetap kesehatan, jumlah pegawai tidak tetap (PTT). Desentralisasi kesehatan akan memacu kerjasama dan koordinasi antar sektor meskipun dalam tingkat yang berbedabeda untuk setiap daerah. Bentuk dari koordinasi dan kerjasama berupa pembentukan kelompok dan pembuatan SK (Surat Keputusan) Bersama. 64 Dampak desentralisasi yang selanjutnya adalah partisipasi masyarakat. Pada level teknis dapat berupa kaderkader kesehatan dan pelayanan kesehatan yang tergabung dalam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada level makro adalah keterlibatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) baik dalam bidang pelaksanaan maupun proses pembuatan kebijakan. Peran masyarakat yang lain adalah sektor swasta dalam bentuk penyediaan obat-obatan, bahan-bahan kimia, perlengkapan kantor, percetakan, konstruksi, pemeliharaan, dan lain-lain. (Mardiasmo, 2002:82). Keadilan, efisien dan kualitas pelayanan kesehatan sebagai akibat desentralisasi kesehatan ditentukan oleh faktorfaktor sebagai berikut : 1. Sumber daya keuangan sektor publik. 2. Pola alokasi sumber daya secara keseluruhan (nasional). 3. Distribusi sumber daya manusia. 4. Pemanfaatan pelayanan. 5. Jangkauan dan ketersediaan pelayanan. 6. Perubahan dalam sistem-sistem pendukung. 7. Ketersediaan obat-obatan dasar. 65 D. PEMBANGUNAN KESEHATAN 1. Definisi Hukum Kesehatan Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai, dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggaraan upaya kesehatan penerima pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum dibidang pelayanan kesehatan atau pemeliharaan kesehatan dan beserta studi ilmiahnya dan kaitanya dengan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Secara sederhana hukum kesehatan dapat diartikan sebagai keseluruhan 66 kumpulan peraturan yang mengataur tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Harmien Hadiati Koeswadji menyatakan pada dasarnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar sosial (the right to healt care) yang ditopang oleh dua hak dasar individual yang terdiri dari : hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Sejalan degan hal tersebut Roscam Abing menentukan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaanya. (Jurnal Hukum Kesehatan, 2008:2). Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hukum kesehatan menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun penyelenggara pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan mencakup mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan lainnya, yaitu hukum kedokteran atau kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum rumah sakit, hukum farmasi klinik, hukum kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan. 67 Dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat perlu adanya hukum kesehatan yaitu, rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik. Sedangkan yang dimaksud kesehatan adalah suatu keadaaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental), serta sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. (C. S. T Kansil, 19991:1). Secara umum dari ruang lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung di dalamnya pada dasarnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Menurut Jayasuriya, bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada lima fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan. (Jurnal Hukum Kesehatan, 2008:2). 2. Tujuan Hukum Kesehatan Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Berdasarkan Pasal 3 Bab II Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 menyatakan 68 bahwa ”Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kasadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”. Hukum kesehatan bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan di bidang kesehatan. Terlaksananya semua ketentuan perundang-undanggan dengan baik dan saling pengertian diantara pelaku profesi dalam setiap bagian yang mendukung terlaksananya upaya kesehatan, maka akan tercipta ketertiban dan keseimbangan dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing profesi. 3. Asas-asas Kesehatan Berdasarkan Pasal 2 Bab II Undang-Undang No. 36 tahun 2009 menyatakan bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia diselenggarakan berasaskan : a. Perikemanusian yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Azas perikemanusian yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa. 69 b. Manfaat Azas manfaaat berarti memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. c. Usaha bersama dan kekeluargaan Azas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan di jiwai oleh semangat kekeluargaan. d. Adil dan merata Azas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. e. Perikehidupan dalam keseimbangan Azas perikehidupan dalan keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. f. Serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri Azas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada 70 kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi seluas-luasnya. E. KESEHATAN IBU DAN ANAK 1. Definisi Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan adalah keadaan sejahtera dan badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan ibu dan anak adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Kesehatan dan keselamatan ibu dan anak merupakan hal yang penting tidak saja bagi pemenuhan hak asasi mereka, tetapi juga sangat penting bagi pemecahan masalah ekonomi, sosial, dan pembagunan yang lebih luas. Hal ini senada dengan Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang berbunyi :”Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu”. Di perjelas lagi dalam Pasal 126 ayat (2) :”Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif”. Upaya peningkatan kesehatan anak diperlukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang khas pada masa perkembangan anak sejak masih dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia 71 sekolah. Dalam mengatasai permasalahan kesehatan anak dapat dilakukan upaya antara lain dengan : pencegahan penyakit dengan cara pemberian pengebalan/imun, upaya peningkatan gizi, dan upaya bimbingan lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang menyatakan bahwa :”Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditunjukkan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak”. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 132 ayat (3) yaitu :“Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi”. Pemeliharaan kesehatan dan perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Hal ini senada dengan Pasal 131 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 yaitu, “Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun”. Ayat (3) “Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah”. 72 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan anak maka perlu memperhatikan beberapa faktor berikut ini : a. Angka Kematian Ibu Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat proses reproduktif per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu merupakan kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yaitu kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain. Pada jumlah kematian ibu dapat diubah menjadi rasio kematian ibu dan dinyatakan per 100.000 kelahiran hidup, dengan membagi angka kematian dengan fertilitas umum. Angka kematian ibu (AKI) menurut Survei demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia, kedua penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANCE) yang memadai. Dalam kaitannya terhadap kesehatan ibu dan anak, dipengaruhi juga oleh halhal nonteknis yang masuk dalam kategori penyebab mendasar. Hal non teknis ini ditangani oleh sektor terkait di luar sektor kesehatan, 73 sedangkan sektor kesehatan lebih memfokuskan intervensinya untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung dari kematian ibu. Sebagai realisasi dalam menjalankan fokus intervensinya itu maka Departeman Kesehatan perlu adanya kebijakan dalam upaya mempercepat penururnan Angka Kematian Ibu (AKI). Hal ini perlu mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Matherhood”. (Sarwono Prawirohardjo, 2006:5). - Pilar pertama ; Program Keluarga Berencana - Pilar kedua ; Akses terhadap pelayanan antenatal - Pilar ketiga ; Persalinan yang aman - Pilar keempat ; Cakupan pelayanan obsteri esensial Dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), keterlibatan sektor lain disamping kesehatan juga sangat diperlukan. Bebrapa bentuk keteribatan lintas sektoral dalam upaya penurunan AKI seperti, Gerakan Sayang Ibu (GSI), kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan anak, Gerakan Reproduksi Keluarga sehat (GRKS). Selain ketiga lintas sektor tersebut, masih ada berbagai kegiatan lain yang dilaksanakan pihak-pihak terkait seperti, organisasi profesi yaitu : POGI, IBI, Perinsai PKK dan pihak lain sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Mengukur Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai dampak indicator secara berkala dalam waktu kurang dari 5-10 tahun tidak realistis, pakar 74 dunia menganjurkan pemakaian indikator praksis atau indikator outcome yaitu : - Cakupan penanganan kasus obstetri, - Case fatality rate, kasus obsteri yang ditangani, - Jumlah kematian absolute, - Penyebaran fasilitas pelayanan obstetri yang mampu PONEK dan PONED, - Presentase bedah besar terhadap seluruh persalinaan di suatu wilayah. Penyebab kematian ibu berantai mulai dari penyebab paling langsung sampai penyebab tidak langsung. Penyebab medis atau obstetrik merupakan penyebab paling langsung, sedangkan penyebab ditingkat masyarakat merupakan penyebab tidak langsung atau determinan. Determinan yang terkait dengan kualitas pelayanan obstetrik merupakan determinan dekat, sedangkan determinan yang lebih jauh terkait dengan standar hidup. Dalam hal yang terakhir ini, kesehatan ibu yang buruk dianggap sebagai produk ketimpangan sosial di masyarakat. b. Program Air Susu Ibu (ASI) Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak sebagai generasi penerus bangsa, bayi dan anak perlu dijamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan berbagai macam program peningkatan kesehatan bayi/anak. Program tersebut antara lain pemberian Air Susu 75 Ibu (ASI) sejak lahir, bahwa air susu ibu adalah makanan yang paling baik dan tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi bayi dan anak. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan atau cairan hidup yang terdiri dari zat kekebalan dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Tidak ada satu pun makanan yang dapat menyamai ASI dalam kandungan gizi dan anti infeksi sehingga ASI merupakan makanan alamiah terbaik yang sangat tepat untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. Menyusui adalah cara pemberian makanan bayi yang normal dan alamiah untuk memberikan gizi yang optimal, perlindungan imun, dan pemenuhan kebutuhan emosional ibu dan bayi. Kasih sayang yang ditunjukkan pada saat seorang ibu menyusui bayinya tidak akan diperoleh pada pemberian makanan jenis lain dengan menyusui akan membangun hubungan intim dan hangat antara ibu dan bayinya, hal ini mempunyai dampak penting bagi perkembangan psikologis yang sehat dari sang bayi. Menyusui merupakan suatu anugerah ilahi yang merupakan karunia seorang perempuan. Tidak di ragukan lagi bahwa menyusui adalah cara pemberian makan bayi yang paling baik dan utama, menyusui suatu cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Menyusui merupakan standar emas untuk pemberian makanan bayi sejak lahir 76 sampai berumur 2 (dua) tahun. Menyusui bayi berarti menberikan awal kehidupan yang baik kepada seorang anak. c. Kesehatan reproduksi Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangaan secara fisik dapat dilihat dengan jelas adanya beberapa perubahan pada tubuh mereka, proses ini diseratai adanya resiko-resiko kesehatan reproduksi dalam diri mereka yang dapat menimbulkan gangguan karna masih terbatasnya pengetahuan mereka tentang perihaal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan sosial terhadap remaja menjadi perhatian di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari adanya rekomendasi dari hasil International conference on population and Development (ICPD) tahun 1994 atau yang lebih dikenal dengan Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan. Banyak organisasi di berbagai negara telah menciptakan program agar lebih dapat memenuhi kebutuhan para remaja di bidang kesehatan reproduksi. Gerakan Reproduksi Keluarga Sehat (GRKS) dimulai oleh BKKBN sebagai tindak lanjut dari Gerakan Ibu Sehat Sejahtera. Gerakan ini intinya merupakan promosi untuk mendukung terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya mengupayakan kesehatan reproduksi. Diantara masalah yang dikemukakan adalah masalah kematian ibu, karena itu promosi yang dilakukan melalui GRKS juga 77 termasuk promosi untuk kesejahteraan ibu (Sarwono Prawirohardjo, 2002:8). 3. Kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak masih merupakan masalah utama di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat bahwa dalam setiap jam dua ibu meninggal terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan, sementara pada bayi baru lahir terdapat sepuluh yang meninggal. Hal yang sama terjadi pada 18 bayi dan 24 anak balita yang meninggal pada jam yang sama, ironisnya sebagian besar penyebab kematian ibu, bayi baru lahir serta anak balita itu sebenarnya dapat dicegah hanya dengan teknologi sederhana yang tersedia di Puskesmas dan jaringan-jaringan yang mendukung pelayanan kesehatan masyarakat tersebut. Hanya sedikit yang memerlukan penanganan dengan biaya mahal dan teknologi tinggi. Mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi saat sekitar proses persalinan dan ada kurang lebih 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obsteri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, maka dari hal tersebut Kebijakan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah dengan mengupayakan agar : a. Setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan. b. Pelayanan obsteri sedekat mungkin kepada semua ibu hamil. Program jangka menengah Departemen Kesehatan (2005-2009) bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu serta angka kematian bayi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Departemen Kesehatan telah 78 menyiapkan empat strategi utama yaitu : (1) Menggerakkan dan memperdayakan masyarakat untuk hidup sehat, (2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, (3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring, dan informasi kesehatan, (4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:5). Di bagian lain masalah mengenai kebijakan dalam rangka untuk menurunkan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) di atur juga dalam dalam Undang-Undang Kesehatan, antara lain dalam Pasal 133, 134, dan 135. Bahwa pemerintah, pemerinyah daerah, dan masyarakat adalah bertanggung jawab atas penyelenggaraan dalam upaya kesehatan ibu dan anak, melalui program-program kesehatan ibu dan anak yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di seluruh wilayah Indonesia. Terdapat dua program dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan anak. Pertama, peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan mencakup peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan, penanganan kegawatdaruratan obsteri dan neonatal, pencegahan kehamilan yang tidak di inginkan dan penanggulangan aborsi, penanganan balita sakit dan pembinaan tumbuh kembang, pemantapan kerjasama lintas sektor serta peningkatan partisipasi keluarga dan masyarakat. Program ke dua, peningkatan kapasitas manajemen pengelolaan program yang mencakup 79 peningkatan perencanaan yang berbasis data akurat, peningkatan fasilitas, supervisi, pemantauan dan evaluasi peningkatan metode penelitian. Kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada data dan bukti dengan mempertimbangkan norma sosial budaya menghadapi tantangan banyak faktor. Sementara banyak pihak sepakat pentingnya kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada informasi akurat dari lapangan, diperlukan suatu mekanisme pengumpulan dan pelaporan data yang lebih baik untuk pembelajaran kebijakan. Disamping itu, pertimbangan konteks lokal perlu dijamin mengingat variasi besar profil geografis, sosial dan ekonomi dari berbagai kabupaten/kota. Kurangnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses kebijakan kesehatan perlu di koreksi di semua tingkatan supaya dihasilkan kebijakan implementasi kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:11). 80 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi dalam mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Menurut Moch. Nasir, penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip, suatu penyidikan amat cerdik untuk menetapkan sesuatu. (Moch. Nasir, 1999:13). Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa metode penelitian, antara lain : A. Metode Pendekatan Dalam rangka membahas masalah yang terdapat dalam skripsi ini digunakan pendekatan secara yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang menekankan pada pencarian-pencarian, keajegan-keajegan (empirical regularistis) karena mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri. Di dalam praktek konsekuensinya adalah apabila tahap pengumpulan data sudah dikerjakan yang dikumpulkan bukan hanya yang disebut hukum tertulis saja, akan tetapi diadakan observasi terhadap tingka laku yang benar-benar terjadi. (Rony Hanitijo S, 1988:35). Metode pendekatan kualitatif di sini digunakan untuk meneliti objek pada kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Metode kualitatif juga dimaksudkan sebagai upaya yang sistematis dalam penelitian hukum, termasuk di dalamnya kaidah dan teknik, untuk kajian penelitian pada suatu gejala sosial yuridis 81 dalam menemukan kebenaran dan memperoleh pengetahuan. (Rony Hanitijo S, 1988:40). Pendekatan kualitatif, data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka. Data dalam kata verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data kata verbal yang beragam tersebut pula diolah agar menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawancara, atau rekaman, mengedit, mengklarifikasi, mereduksi, dan menyajikan. (Noeng Muhadjir, 1996:29). Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk menemukan fakta atau realita. Di samping itu juga metode penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran hubungan antara aspek hukum dan non hukum. Dalam penelitian ini, perhatian peneliti akan terfokus pada faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. (Noeng Muhadjir, 1996:45). Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran seuatu yang realitas yang terjadi di lapangan tentang faktor-faktor 82 pelaksanaan peningkatan kebijakan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di daerah Kabupaten Banyumas. Lokasi tersebut diambil karena pertimbangan sebagai berikut : 1. Untuk dapat memberikan gambaran nyata dalam upaya pemerintah daerah Banyumas meningkatkan kesehatan ibu dan anak. 2. Mengefisiensikan biaya dan waktu karena peneliti bertempat tinggal di kota Purwokerto, terkait objek penelitian yang dikaji peneliti. D. Informan Penelitian Informan penelitian adalah petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas Kabid Yankes, Kasi KIA, Kabid Promkes, Programmer Ibu, Programer Anak, Petugas Puskesmas, Ibu dan Anak, serta pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. E. Metode Pengambilan Informan Purposive sampling yaitu salah satu strategi pengambilan informan nonacak yaitu, semua anggota atau objek penelitian tidak mempunyai peluang yang sama untuk dipilih sebagai informan. Purposive sampling digunakan dengan tujuan mendapatkan informan yang benar-benar mengetahui dan memiliki wewenang dalam bidangnya. Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat informan yang 83 sudah diketahui sebelumnya. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode-metode sebagai berikut : 1. Metode angket dengan instrumen kuisioner yang disebarkan kepada seluruh responden sebagai sample; 2. Metode interview dengan instrumen yang berupa outline interview yang diajukan kepada responden tertentu, bila mana data tidak diperoleh dengan angket; 3. Metode dokumenter dengan instrumen yang berupa blanko dokumentasi yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang bersifat sekunder. F. Jenis Data dan Sumber Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah : 1. Data Primer Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan penelitian. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang lebih dulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang diluar peneliti sendiri. Data ini diperlukan untuk melengkapi data primer. Data sekunder ini terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki suatu otoritas mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundangan, catatan resmi lembar negara 84 penjelasan, putusan hakim dan yurisprudensi. Pada penelitian ini digunakan bahan hukum yang berkaitan seperti, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi, UndangUndang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literaturliteratur, surat edaran, dan sumber lain yang akan diteliti. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. G. Metode Pengumpulan Data Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian di Dinas Kesehatan Kabupaaten Banyumas, yaitu : 1. Metode Wawancara (interview) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.(Lexy J Moleog, 2008:86). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawacara semi terstruktur yaitu wawancara campuran antara wawancara terstruktur yang 85 untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti memiliki panduan wawancara, dan wawancara tak terstruktur dimana wawancara berjalan mengalir sesuai topik atau dikatakan wawancara terbuka. Pemilihan wawancara semi terstruktur ditujukan untuk mendapatkan informasi yang lengkap selain informasi dari wawancara yang menggunakan panduan. 2. Observasi Observasi yang digunakan adalah observasi tak terlibat (non participant observation) berperan atau keterlibatan pasif dalam penelitian ini dilakukan oleh peniliti ketika peneliti tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamati, jadi peneliti hanya mengamati saja. Observasi dimaksudkan untuk meneliti gejala-gejala, aktivitas dan hal lain yang dapat mendukung metode wawancara. (Rony Hanitijo S, 1982:32). H. Instrumen Penelitian a. Instrumen penelitian yang utama adalah penelitian karena penelitilah yang berperan aktif dilapangan yang ditunjang oleh instrumen lainnya seperti tape recorder, dan alat dokumentasi lainnya. Moleong menyebutkan bahwa manusia adalah sebagai instrumen penelitian karena didasarkan pada manusialah yang menentukan semua tahapan penelitian. (Lexy J Moleong, 2009:163). b. Metode interview dengan instrumen berupa outline interview yang diajukan kepada informan tertentu. Kemudian digunakan pula form pengamatan, kamera, dan catatan lapangan. 86 c. Studi kepustakaan, adalah pengumpulan data dengan memanfaatkan buku-buku untuk memperoleh data sekunder yang menunjang kelengkapan penelitian. Dalam studi kepustakaan digunakan instrumen dokumentasi, kartu perpustakaan, katalog dan lainnya. I. Metode Pengolahan Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan, oleh karenanya reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, atau mengorganisasi data dengan sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik diverifikasi. Pada tahap reduksi data, data dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicaari tema dan polanya. (Rony Hanitijo S, 1982:16). Display data merupakan cara analisis lapangan dengan membuat berbagai macam matriks, grafik, network, dan chart, agar dapat diperoleh gambaran keseluruhan bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Kemudian tahap berikutnya adalah tahap penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi akhir dari tahapan analisis. Tahapan pengolahan data kemudian memasuki tahap kategorisasi data. Kategorisasi data adalah proses mengorganisasikaan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema atau inti dari suatu data. (Rony Hanitijo S, 2008:97-98). 87 Pada tahap data collection peneliti mengumpulkan semua data baik primer maupun sekunder dengan teknik pengumpulan data, kemudian data direduksikan yaitu dipilah dan diabstraksikan sehingga didapatkan suatu konsep mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Setelah tahap reduksi data ditampilkan melalui penyajian data yaitu dengan suatu matriks, kemudian diambil suatu kesimpulan dan dikategirisasikan sehingga dapat ditemukan tema atau inti dari semua data. J. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang diperoleh akan diuhubungkan data sekunder yang di dapat serta dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Hasil penelitian disajikan pula dalam matriks data, data yang diperoleh akan disajikan secara sistematis dan terperinci sehingga dapat menggambarkan dengan jelas pokok penelitian secara utuh dan menyeluruh. K. Metode Analisa Data Bahan-bahan hukum yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, kemudian akan dianalisis secara kuantitatif dengan model statistik sederhana terutama distribusi frekuensi analitis, yang berfungsi untuk menyederhanakan data penelitian yang besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dipahami dan model tabel silang analitis. Di samping 88 itu juga digunakan metode analisis kualitatif dengan model komperatif analisis (analisis perbandingan) yang memungkinkan peneliti untuk menguji apakah hubungan yang diamati memang betul terjadi karena adanya hubungan sistematis antara variabel-variabel yang diteliti atau hanya terjadi secara kebetulan. (Masri Singarimbun, 1995:263). Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas digunakan model interpretasi dan diskusi, dimana data di dialogkan dengan teori-teori sehingga mengambil keputusan yang menyimpang dapat dihindari. 89 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan kesehatan masyarakat yang optimal. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelakasanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. 90 Sistem informasi kesehatan merupakan suatu tatanan yang mencakup komponen masukan (input) yang berupa data tentang kesehatan dan yang terkait, komponen proses dan komponen keluaran (output). Informasi kesehatan yang terkait digunakan sebagai bahan dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam manajemen kesehatan dilakukan untuk perumusan kebijakan, perencanaan strategis, manajemen operasional dan manajemen transaksi. Data dan informasi kesehatan semakin dibutuhkan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat semakin peduli dengan situasi kesehatan sebagai hasil pembangunan kesehatan yang telah dilakukan oleh pemerintah terutama terhadap masalah-masalah kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan mereka, sebab kesehatan menyangkut hajat hidup masyarakat luas dan semua orang butuh untuk sehat. Kepedulian masyarakat akan informasi kesehatan memberikan nilai positif bagi peningkatan pembangunan kesehatan, di samping itu harus bisa menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan masyarakat dengan penyajian yang sistematik, informatif, lengkap dan tepat waktu. Berdasarkan rumusan pemikiran di atas, maka pemerintah disini perlu membangun dan meningkatkan program-program peningkatan kesehatan ibu dan anak yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan kesehatan nasional dalam jangka panjang. Kesehatan merupakan suatu program nasional yang harus segera di wujudkan dan di aplikasikan sebagai 91 program utama dalam rangka mewujudkan peningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Banyumas khususnya. Situasi dan perubahan sistem politik menentukan proses dan pelaksananan kebijakan, termasuk kebijakan dalam bidang kesehatan. Sebelum tahun 1997, sistem politik di Indonesia bersifat otoriter di mana pemerintah mendominasi pengambilan keputusan di semua tingkatan. Di sektor kesehatan, pemerintah pusat mengendalikan kebijakan, perancangan dan pelaksanaan program. investasi besar sektor kesehatan dan pendidikan dilakukan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an, tetapi akuntabilitas rendah dan masyarakat sipil kurang terlibat dalam politik dan proses kebijakan dalam bidang kesehatan. Kondisi pemerintah saat ini telah mengalami perubahan dimana terdapat pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah. Pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 yang formalnya dimulai pada tahun 2001 berimplikasi terhadap desentralisasi wewenang perancangan dan pelaksanaan program pembangunan, termasuk kesehatan, pendidikan, pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, kepada pemerintah kabupaten/ kota. Desentralisasi menyebabkan perubahan mendasar dalam tatanan pemerintah. Perubahan yang besar ini mengharuskan adanya perubahan peran 92 dan fungsi birokrasi di semua tingkat administrasi. Namun demikian, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masih perlu diikuti pengembangan berbagai kebijakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Kesehatan untuk mendukung keberhasilan penerapan disentralisasi. Kebijakan ini diperlukan dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menjamin eksternalitas, akuntabilitas dan efisien urusan kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan kesehatan untuk tingkat Kabupaten/Kota di dasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan untuk sebagian besar pelaksanaan kebijakan-kebijakanya, begitu juga untuk di Kabupaten Banyumas khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Keputusan-keputusan tersebut antara lain, Kepmenkes Nomor 004/MENKES/SK/X/2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, Kepmenkes Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Perubahan yang mendasar sepantasnya melalui proses transisi yang kompleks. Untuk itu, dibutuhkan upaya khusus untuk mendukung keberhasilan proses transisi tersebut. Dirasakan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan sinergi antara unit utama dan antar program. Pertukaran informasi tentang inovasi baru dilaksanakan sehingga dapat di capai kesamaan pemahaman tentang situasi yang di hadapi. Beberapa pedoman telah 93 ditetapkan antara lain Kepmenkes Nomor 004/MENKES/SK/X/2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, Kepmenkes Nomor 1419/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penatalaksanaan Tenaga Pendamping Desentralisasi Kesehatan, Kepmenkes Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, serta Kepmenkes Nomor 1247/SK/VIII/2005 Tentang Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2003-2009. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 004/MENKES/SK/I/2003 telah ditetapkan tujuan desentralisasi di bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah unruk kepentingan daerah dan prioritas nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010. Guna mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan beberapa kebijakan desentralisasi bidang kesehatan, yaitu : 1. Desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan didasarkan kepada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. 3. Desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di kabupaten dan kota, sedangkan desentralisasi bidang kesehatan di provinsi bersifat terbatas. 94 4. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan daerah otonom. Pemerintah pusat berkewajiban menfasilitasi pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah dengan meningkatkan kemampuan daerah dalam pengembangan sistem kesehatan dan manajemen daerah. 6. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik dalam hal fungsi legislasi. Fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran. 7. Sebagai pelengkap desentralisasi bidang kesehatan, dilaksanakan pula dekonsentrasi bidang kesehatan yang diletakkan di daerah provinsi sebagai wilayah administrasi. 8. Untuk mendukung desentralisasi bidang kesehatan dimungkinkan pula dilaksanakan tugas pembantuan di bidang kesehatan, khususnya dalam hal penanggulangan kejadian luar biasa, bencana, dan masalah-masalah kegawatdaruratan kesehatan lainnya. Pencapaian keberhasilan pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan, telah dirumuskan pula dalam 5 (lima) tujuan strategis, yaitu : 1. Terbangunnya komitmen antara pemerintah daerah, legislatif, masyarakat dan stakeholder lainnya guna kesinambungan pembangunan kesehatan; 2. Meningkatnya kapasitas sumberdaya manusia; 95 3. Terlindunginya kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin, kelompok rentan dan daerah miskin; 4. Terwujudnya komitmen nasional dan global dalam program kesehatan daerah; 5. Tertatanya manajemen kesehatan di era desentralisasi. Keberhasilan pembangunan di daerah khususnya di kabupaten dan kota sangat ditentukan oleh kualitas dan sumberdaya manusia dan peran aktif masyarakat sebagai pelaku pembangunan tersebut. Oleh karena itu dalam pertemuan Nasional Bupati dan Walikota se-Indonesia dalam rangka Desentralisasi di bidang kesehatan telah disepakati bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah merupakan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas Dinas Teknis yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dengan nama Dinas Kesehatan Kabupaten /Dati II Banyumas. Dinas ini berkantor di Jl. Wiryaatmadja No. 4 Purwokerto, seiring dengan berkembangnya waktu dan pergantian dari Bupati Banyumas yang baru pada tahun 2008 maka, berdasarkan Perda No. 11 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas pada Bagian ke tiga pasal 8 menerangkan “Dinas kesehatan mempunyai tugas melaksanakan teknis operasional pemerintah daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Berdasarkan pasal tersebut 96 bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan maka perlu adanya program-program untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Pelaksanaan dari pada program-program tersebut akan menentukan arah kebijakan Pemerintah Banyumas terhadap peningkatan kesehatan. Keberhasilan pengelolaan dan penanganan rencana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas diharapkan mampu meningkatkan pembangunan kesehatan yang mencakup disegala sektor program-program kesehatan termasuk pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak. Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Banyumas. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah-masalah kesehatan ibu dan anak yang ada dan akan ada dapat diatasi. Mendasarkan pada hal tersebut di atas, dan di hubungkan dengan masalah penelitian maka dapat di interprestasikan bahwa, pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan peningkatan kesehatan masyarakat di Kabupaten Banyumas dapat dikaji dengan parameter-parameter yang dapat dirumuskan dari ketentuan Undang-Undang, teori maupun kebijakan/kebijakan atau program-program Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, dalam hal ini Dinas Kesehatan yang dapat di fokuskan pada pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak. 97 Berbagai pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak tersebut yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas tersebut dapat dilihat melalui program-programnya antara lain: 1. Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak; 2. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak; 3. Kebijakan peningkatan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi (ibu dan anak). Dengan adanya kesesuaian antara rencana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas melalui Dinkes dalam upaya pembangunan kesehatan dengan pelaksanaan kebijakannya dilakukan dan dimasukkan ke dalam program kerja Dinkes sehingga dapat terealisasikan dengan baik. Bilamana parameter-parameter tersebut dapat diaplikasikan ke dalam permasalahan penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan, bagaimanakah pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak. Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian dalam masyarakat. Di samping itu kejadian kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembanguanan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survey dan penelitian. Telah disadari bahwa untuk menurunkan angka kematian ibu haruslah memperhatikan baik penyebab langsung, maupun penyebab tidak langsung 98 yang memberi kontribusi terhadap kematian ibu. Hal ini sangat relevan mengingat kondisi masyarakat dan infrastruktur pelayanan kesehatan yang masih belum maksimal. Penyebab langsung kematian ibu sering disebut sebagai TRIAS yaitu; perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Sedangkan dengan istilah ‘tiga terlambat’ dan ‘empat terlalu’. Tiga terlambat adalah: 1. Terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan; 2. Terlambat mencapai fasilitas kesehatan; 3. Terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan. Adapun empat terlalu adalah: 1. Terlalu tua punya anak. 2. Terlalu muda punya anak. 3. Terlalu banyak melahirkan. 4. Terlalu rapat jarak melahirkan. Melihat pada penyebab langsung kematian ibu yang sangat terkait dengan kualitas prosedur klinis, maka jelas dukun tidak dapat diharapkan untuk menangani masalah perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Oleh sebab itu, saat ini peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat mendesak. Peningkatan akses mutu tenaga kesehatan memerlukan berbagai pelatihan disamping upaya yang menjamin bahwa mereka bekerja berdasarkan standar sehingga memenuhi kinerja mutu yang diharapkan dalam programprogram Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Kematian ibu dalam kehamilan dan persalinan dapat terjadi diberbagai tempat. Dapat terjadi di rumah, dalam perjalanan pencarian pertolongan dan di 99 fasilitas kesehatan (khususnya Rumah Sakit). Oleh sebab itu, upaya penurunan angka kematian ibu harus dilakukan secara komprehensif, dengan melakukan peningkatan pada sisi pemberi pelayanan (supply), sisi penerimaan pelayanan (demand) dan sisi manajemen. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak ini dapat dilihat dari kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak, yang menitik beratkan pada perencanaan, realisasi, hasil dan makna kebijakan yang dilakukan. Hal ini dapat di lihat dari wawancara dan observasi informan sebagaimana di sajikan dalam matriks di bawah ini ; Matriks 1. Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak. Kode Informan Rencana Kebijakan Pemda/Dinkes Realisasi Kebijakan Hasil Kebijakan Makna Kebijakan 01/KABID 02/KASI 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/ …”Perencanaan persalinan dan pecegahan komplikasi pada ibu hamil…” …”Memberikan layanan ANC dengan T7, semua persalinan dengan TK, komplikasi harus tertangani, persediaan P3K di gunakan dengan benar, keikutsertaan suami dan keluarga dalam pemeriksaan ibu hamil sampai persalinan dalam pengawasan dan perlidungannya…” …”Komplikasi dalam persalinan ataupun kehamilan teratasi sehingga bahaya kematian pun batal terjadi, ibu hamil tidak merasa takut dengan segala resiko yang mungkin terjadi karena ada yang melindungi, agar tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan…” …”Kebijakan terkait dengan angka kematian ibu terlaksana dan berjalan sesuai dengan program yang direncanakan oleh Pemda Banyumas/Dinkes meskipun hasilnya belum maksimal karena kurang transformasi pengetahuan tentang kehamilan sehat, banyaknya penyakit degeneratif…” 03/PROG IBU …”Menurunkan angka tempat bersalin di rumah bagi ibu hamil..” …”Dampak yang terjadi pada persalinan di rumah, perbandingan antara keuntungan dan kerugian persalinan di rumah dengan di …”Ibu bersalin/keluarga paham dengan: efisien waktu, kelengkapan alat, kebersihan tempat, aman dari keramaian lingkungan sekitar, ibu bersalin/keluarga bisa …”Kebijakan terkait dengan penurunan tempat bersalin di rumah dapat terlaksana dengan baik, kesadaran dari ibu hamil/keluarga terhadap manfaat 100 04/PROG ANAK sarana kesehatan, promosikan kegiatan sayang ibu sudah diberlakukan di tempat layanan tenaga kesehatan pemerintah ataupun swasta..” mempertimbangkan yang terbaik, ibu bersalin nyaman karena memiliki hak penuh sesuai dengan keinginannya…” dan hasil dari bersalin di sarana kesehatan dengan bantuan tenaga medis…” …”Pemeriksaan kesehatan ibu hamil…” …”Pemeriksaan kehamilan secara rutin, rencanakan melahirkan dengan pertolongan bidan atau dokter di fasilitas kesehatan…” …”Ibu hamil/keluarga dapat mengetahui kondisi kesehatan ibu dan bayi sebelum proses kelahiran, penanganan yang dilakukan pihak yang profesional mampu memberikan rasa nyaman pada ibu hamil/keluarga…” ...”Semua proses kebijakan dapat di laksanakan dan di harapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan terhadap kesadaran dan pengetahuan ibu hamil/keluarga untuk lebih memperhatikan kondisi kesehatan…” …”Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir…” …”Cegah infeksi kuman pada bayi begitu bayi lahir, jaga kebersihan selama persalinan, pemberian vitamin dan imunisasi pada bayi, pemberian ASI eksklusif…” …”Tujuan itu memberikan hasil dan makna terhadap keberhasilan program penurunan kematian bayi yang telah direncanakan Pemda Banyumas/Dinkes… ” …”Pemberian vitamin dan imunisasi pada bayi…” …”Berikan vitamin K1 untuk mencegah perdarahan pada bayi, pencegahan infeksi kuman pada bayi dengan salep anti biotik untuk matanya, imunisasi hepatitis B sebelum bayi berumur 24 jam…” …”Harapan bayi berlangsung hidup terjamin dan terjaga, bayi baru lahir mendapatkan pelayanan kesehatan dari bidan/perawat/dokter, ASI mencegah perdarahan pada ibu nifas…” …”ASI mencegah perdarahan pada ibu nifas, ASI bermanfaat, sehat, praktis, tidak butuh biaya serta menjalin kasih sayang ibu dan anak, imunisasi mencegah anak dari penyakit dan cacat…” …”Semua proses pelaksanaan kebijakan tersebut dapat mencegah dan mengurangi angka kematian pada bayi/anak…” Sumber : Data Primer yang diolah Berdasarkan pada matriks di atas dapat dijelaskan bahwa, pelaksanaan kebijakan yang telah dijalankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 101 dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan penurunan angka kematian ibu dan anak berkaitan dengan perencanaan yang dilakukan, realisasi kebijakan, hasil nyata yang sudah terwujud atas kebijakan dan makna kebijakan yang terkandung dalam proses pelaksanaan penurunan angka kematian ibu dan anak dapat dilaksanakan sesuai dengan programprogram dan arah kebijakan yang diharapkan. Kebijakan yang telah direncanakan dan selanjutnya untuk dilaksanakan memiliki suatu upaya dan tujuan untuk mencegah serta mengurangi perilaku dan pengetahuan masyarakat mengenai terbatasnya kesadaran warga masyarakat dalam pelaksanaan program-program penurunan kematian ibu dan anak di Banyumas. Mencermati hal di atas, berlaku suatu teori yang dikemukakan oleh Carl I Frederich “mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu. (D. Riant Nugroho, 2003:4). Hasil penelitian dalam matriks, di kaitkan dengan teori di atas dapat di interprestasikan bahwa perencanaan kebijakan pemerintah daerah dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dalam upaya untuk melakukan perencanaan, realisasi, hasil dan makna yang diberikan terhadap penurunan angka kematian ibu dan anak di 102 Banyumas dengan kesesuaian program yang dijalankan, pengawasan yang dilakukan, dana yang disediakan, pencegahan dari ibu/keluarga maka tujuan dari kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Kenyataan tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian yang dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa pegawai kesehatan Kabupaten Banyumas yang pada garis besarnya menyatakan bahwa: 1. “...perencanaan dari kebijakan pemerintah daerah terhadap penurunan angka kematian ibu dan anak telah sesuai dengan program yang diusulkan oleh pihak Dinas Kesehatan dengan sebelumnya telah melihat/melakukan survey di lapangan yang strategis terhadap situasi dan kondisi yang ada pada warga masyarakat Banyumas dengan dukungan dari semua pihak terkait. 2. “…pelaksanaan kebijakan dalam rangka penurunan angka kematian ibu dan anak sangat bermanfaat dan berhasil guna dalam ikut mensukseskan program pembangunan kesehatan. 3. “…penurunan angka kematian ibu dan anak merupakan program penting untuk segera direalisasikan pelaksanaanya dan sangatlah tepat dilakukan dengan didukung adanya kebijakan kesehatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. 4. “…lebih meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang peningkatan kesehatan ibu dan anak, melalui program-program yang ada dan yang telah dilaksanakan. 103 Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dapat di lihat dalam rencana kebijakan Dinkes. Pelaksanaan kebijakan ini secara rinci dapat disajikan dalam matriks di bawah ini : Matriks 2. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Kode Informan Rencana Kebijakan Pemda/Dinkes Realisasi Kebijakan Hasil Kebijakan Makna Kebijakan 01/KABID YANKES 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/KABID PROMKES …”Peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui pelayanan K-4. …”Ibu hamil lebih intensive mendapat pelayanan K-4, standar pelayanan minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil...” …”Kegiatankegiatan dalam rangka pelayanan K-4 ibu hamil sudah dilaksanakan melalui PuskesmasPuskesmas…” 02/KASI KIA …”Pertolongan ibu hamil dan bayi oleh tenaga kesehatan (Nakes)…” …”Penurunan komplikasi dan pertolongan dini pada ibu maternal dan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan yang profasional…” …”Pengembangan Pondok Bersalin Desa(Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) di desadesa, sosialisasi persalinan sehat dan aman…” …”Kebijakan peningkatan pelayanan K-4 ibu hamil sudah mulai terlaksana namun begitu hasilnya masih belum memenuhi standar pelayanan minimal yang di harapkan…” …”Target standar pelayanan minimal untuk pertolongan persalinan oleh nakes Kabupaten Banyumas sudah memenuhi standar pelayanan. 104 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK …”Kebijakan pelayanan Keluarga Berencana…” …”Mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, suami/istri lebih diprioritaskan. …”Terjadi kenaikan Pasangan Usia Subur (PUS), peningkatan program peserta KB baru…” 01/KABID YANKES 02/KASI KIA 05/KABID PROMKES …”Peningkatan pelayanan kesehatan Puskesmas, Rumah Sakit sebagai rujukan…” …”Jumlah kunjungan pasien, kunjungan jalan dan inap…” …”Peningkatan jumlah kunjungan baru pada Puskesmas, peningkatan kunjungan rawat jalan, pemanfaatan rawat inap…” 01/KABID YANKES 05/KABID PROMKES …”Kebijakan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular…” …”Pencegahan dan pemberantasan polio, pencegahan dan pemberantasan TB Paru, pencegahan dan pemberantasan penyakit ISPA…” baru target rawat rawat ..”Standar pelayanan minimal kasus Acute Flacid Paralysis (AFP), tingkat kesadaran masyarakat TB paru dalam kepatuhan berobat, penegakan diagnosa pneumonia balita. …”Secara keseluruhan program peserta KB baru dan peserta KB aktif sedikit mengalami penurunan…” …”Kebijakan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit dalam penggunaan fasilitas kesehatan telah memenuhi target…” …”Kebijakan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular telah dilaksanakan dengan hasil Standar Pelayanan sudah memenuhi target. Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa pelaksanaan kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas di laksanakan melalui berbagai rencana kebijakan, antara lain : peningkatan pelayanan ibu hamil, pertolongan ibu hamil dengan Nakes dan peningkatan pelayanan kesehatan Puskesmas, Rumah Sakit sebagai rujukan.Untuk terlaksananya rencana-rencana program tersebut, maka perlu diadakannya kegiatan-kegiatan nyata pada masyarakat dengan di dukung dan ditunjang dari pemberlakuan kebijakan yang telah disahkan, dana/biaya anggaran yang tersedia/telah digunakan, maksud dan tujuan diselenggarakan pelayanan peningkatan kesehatan tersebut. 105 Peningkatan pelayanan kesehatan ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelayanan, pemahaman dan arti penting pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak. Oleh karena itulah rencana kebijakan yang dilakukan di dalamnya di rasa sangatlah penting dan berguna untuk segera dilaksanakan secara cepat, tepat dan menyeluruh sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan untuk memberikan hasil yang dapat dinikmati seluruh warga masyarakat. Hasil data yang dituangkan dalam matriks di atas untuk kemudian dianalisa dengan Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Banyumas tentang peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, maka dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak sangatlah tepat dan sesuai, serta telah memenuhi target pelayanan secara menyeluruh dari pelaksanaan perencanaan kebijakan tersebut. Kenyataan ini didukung oleh data penelitian hasil wawancara dengan petugas pelayanan kesehatan ibu dan anak, yang antara lain menyatakan : 1. “…pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui pelayanan K-4 telah dilaksanakan sesuai rencana melalui kegiatan-kegiatan yang di berikan pada warga meskipun pemahaman dan kesadaran dari warga di rasa belum menunjukan hasil yang maksimal namun pelaksanaanya telah memberikan perubahan-perubahan perilaku dan kesadaran warga dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak” 2. ”…proses yang dilaksanakan dalam peningkatan pelayanan kesehatan melalui tenaga kesehatan (Nakes) dalam upaya peningkatan kesehatan ibu 106 dan anak oleh Pemda/Dinkes Banyumas menunjukkan peningkatan serta respon yang positif dari warga masyarakat ini terbukti dengan terpenuhinya standar pelayanan minimal” 3. ”…peningkatan Pasangan Usia Subur (PUS) di Kabupaten Banyumas ditanggapi dengan peningkatan pelayanan kesehatan dengan pelaksanaan program peserta KB baru dan peserta KB aktif di seluruh wilayah Banyumas” 4. ”…untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular Pemda/Dinkes telah melakukan dan memberikan pengobatan dan penyuluhan di seluruh wilayah kecamatan melalui tenaga-tenaga medis dokter, perawat dan bidan yang ada di Puskesmas”. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan manusia seluruhnya. Bahwa dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak sebagai generasi penerus bangsa, bayi dan anak perlu dijamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan cara memberi Air Susu Ibu sejak lahir. Pembahasan “kesehatan anak” diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak, “anak” dalam hal ini dibatasi yaitu bayi dari usia baru lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan. 107 Mendasarkan pada hal di atas, Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa, “Setiap bayi berhak mendapat air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis”. Ayat (2) “Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus”. Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan atau cairan hidup yang terdiri dari zat kekebalan dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Tidak ada satu pun makanan yang dapat menyamai ASI dalam kandungan gizi, enzim, faktor pertumbuhan, hormon, zat imunologik dan anti infeksi sehingga ASI makanan alamiah terbaik yang sangat tepat untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal, berdasarkan berbagai keunggulan ASI tersebut, menyusui merupakan standar emas untuk pemberian makanan bayi sejak lahir sampai berumur 2 (dua) tahun. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh kembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak, memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. 108 Berdasarkan analisa perkembangan situasi perilaku pemberian ASI di Indonesia umumnya dan secara khusus di Kabupaten Banyumas ternyata masih perlu ditingkatkan, hal ini dapat di lihat dari penelitian lembaga yang berwenang melakukan penelitian seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan BKKBN. Langkah pemerintah untuk mendukung kebijakan program tersebut di tetapkan melalui Pasal 129 ayat (1) UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi sebagai berikut : “Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif”. Menindaklanjuti hal di atas, pengaturan tentang ASI eksklusif juga terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi di Indonesia. Maksud dan tujuan pengaturan waktu dalam memberikan ASI yaitu agar bayi dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal melalui pemberian ASI sebagai makanan yang terbaik dan yang mengandung gizi yang sesuai. Dalam pelaksanaan kebijakan di atas, diperlukan sekali peranan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Banyumas untuk dapat mewujudkan tujuan kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan pemberian ASI secara eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak di Kabupaten Banyumas dilakukan melalui program-program kesehatan ibu dan bayi yang dilaksanakan melalui tenaga medis, Puskesmas dan Posyandu-posyandu yang terdapat hampir di seluruh kecamatan/desa di wilayah Kabupaten Banyumas. 109 Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, pelaksanaan kebijakan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak yang berada di seluruh wilayah Banyumas ini dapat berjalan dengan lancar dan baik sebagaimana data yang dituangkan dalam matriks di bawah ini : Matriks 3. Kebijakan Peningkatan Pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi (ibu dan anak) di Kabupaten Banyumas. Kode Informan Rencana Kebijakan Pemda/Dinkes Realisasi Kebijakan Hasil Kebijakan Makna Kebijakan 01/KABID YANKES 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/KABID PROMKES …”Kebijakan pemberian ASI sebagai makanan untuk bayi…” …”Menetapkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dianjurakan untuk dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun…” …”Kebijakan ini mengupayakan terbentuknya kelompok pendukung ASI (KP-ASI)…” 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK …”Perencanaan program pengganti air susu ibu…” 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/KABID PROMKES …”Peningkatan peran tenaga kesehatan dalam pemberian ASI…” …”Pengganti air susu ibu adalah produk makanan yang dipasarkan dan dinyatakan sebagai makanan untuk bayi, makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi…” …”Peningkatan promosi pemberian ASI eksklusif oleh dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang berada di Rumah Sakit, Puskesmas dan Posyandu…” …”Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui sejak bayi lahir, bahwa air susu ibu adalah makanan yang paling baik dan tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi bayi dan anak…” …”Pelaksanaan kegiatan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dari umur 6-23 bulan…” …”Melakukan advokasi dan sosialisasi secara luas akan manfaat dan pentingnya ASI, penyediaan anggaran pelaksanaan kegiatan ASI eksklusif melalui APBD, mengadakan pelatihan dan pendidikan formal …”Kebijakan ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan dan mampu memberikan hasil yang yang lebih baik dalam upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif…” …”Kebijakan ini dimaksudkan agar pemahaman dan pengetahuan ibu hamil dan menyusui tentang MP-ASI meningkat…” 110 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK …”perbaikan gizi ibu dan anak…” …”peningkatan pelayanan pemberian gizi pada anak dan ibu hamil. di bidang advokasi, sosialisasi, dan promosi kesehatan…” …”pemantauan pemberian gizi pada anak da ibu hamil, pelayanan gizi denga pemberian kapsul vitamin A, pemberian tablet besi (Fe) guna mengurangi dampak buruk kekurangan (Fe). …”Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan gizi pada ibu dan anak, meminimalisasi kekurangan vitamin A dan (Fe)…” Sumber : Data Primer yang diolah Berdasarkan pada matriks di atas, dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan kebijakan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi pada ibu dan anak di wilayah kabupaten Banyumas masih perlu diupayakan lebih giat lagi melalui kegiatan-kegiatan promosi dan penyuluhan oleh semua pihak yang berkompeten. Kegiatan tersebut telah dilaksanakan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang ada di seluruh wilayah kabupaten Banyumas melalui Rumah Sakit, Puskesmas dan Posyandu. Fakta tersebut di atas di dukung oleh hasil wawancara kepada beberapa tenaga kesehatan di Kabupaten Banyumas yang antara lain : 1. ”…rencana kebijakan yang dilakukan dalam upaya pemberian ASI eksklusif diwujudkan dalam berbagai kegiatan. Melakukan penyuluhan kepada ibu hamil dan ibu menyusui, melakukan pelatihan dan ketrampilan pada tenaga kesehatan” 2. ”…pelaksanaan kebijakan pemberian makanan pengganti ASI terus di tingkatkan dengan kegiatan-kegiatan promosi mengenai produk yang di pasarkan harus memenuhi kebutuhan zat gizi sebagai pengganti air susu 111 ibu baik sebagian atau selurunya, hal ini harus lebih ditekankan oleh tenaga kesehatan kepada ibu hamil atau menyusui” 3. ”…masih terbatasnya pengetahuan ibu tentang kandungan gizi ASI, belum ada pendidikan dan pelatihan tentang ASI eksklusif 6 bulan di daerah, kerjasama lintas program belum terbina”. 4. “…perbaikan gizi bagi ibu dan anak dengan memberikan kapsul vitamin A dan pemberian tablet Besi (Fe) telah dilaksanakan, di lakukan pula upayaupaya peningkatan kesadaran tentang arti penting perbaikan gizi bagi ibu dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagai upaya dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi ibu dan anak serta masyarakat pada umumnya. Dalam kaitanya dengan peningkatan kesehatan ibu dan anak, pemberian gizi dilakukan agar dapat memantau pertumbuhan gizi anak/balita dan ibu hamil di wilayah Kabupaten Banyumas. Dari kenyataan di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui kebijakan-kebijakan yang telah direncanakan adalah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak sebagaimana telah dipaparkan dalam matriks-matriks di muka merupakan tugas dan wewenang Dinas Kesehatan yang secara yuridis formal menjadi kewajiban hukum yang harus dijalankan sebagai dinas yang menangani dan mengurusi semua kegiatan bidang kesehatan. Oleh karena itu 112 pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat perlu diperhatikan karena pada dasarnya merupakan suatu kewajiban dari kebijakan yang telah direncanakan dan ditetapkan pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu wujud dari pengembangan pembangunan kesehatan dengan harapan menjadi lebih baik. B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, merupakan pengembangan pembangunan kesehatan di daerah untuk menuju perubahan-perubahan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi dari pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut agar terwujud dengan baik dan pemanfaatannya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat Banyumas. Rencana pelaksanaan kebijakan sebagai upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak yang ingin di capai dapat dilihat dengan adanya kebijakan-kebijakan pelaksanaannya, antara lain : yang mempengaruhi dalam 113 Matriks 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Kode Informan Jenis Kebijakan Faktor-faktor yang memepengaruhi 01/KABID 02/KASI 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/KABID PROMKES 1. kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak. 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 2. kebijakan peningkaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak. 01/KABID YANKES 02/KASI KIA 03/PROG IBU 04/PROG ANAK 05/KABID PROMKES 3. kebijakan peningkatan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak. …”terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses pelaksanaan kebijakan mengenai penurunan angka kematian ibu dan anak, seperti: 1. adanya kesesuai dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan; 2. target yang akan di capai; 3. dukungan dan peran aktif warga; 4. anggaran yang disediakan kurang mencukupi; 5. faktor pendidikan dan ekonomi; 6. tingkat morbiditas yang masih tinggi; …”terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses pelaksanaan kebijakan mengenai upaya peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, seperti : 1. telah sesuai dengan kebijakan/program yang telah di tetapkan; 2. untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak; 3. belum maksimalnya pemanfaatan sarana dan tenaga kesehatan; 4. anggaran yang disediakan kurang cukup memenuhi. …”terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kebijakan mengenai peningkatan pemberian ASI eksklusif, seperti : 1. peningkatan promosi ASI eksklusif; 2. terbatasnya alokasi dana dari APBD dan 114 APBN; kerjasama lintas program belum terbina; 4. belum adanya peraturan daerah Kabupaten Banyumas yang secara khusus mengatur tentang program serta pelaksanaan pemberian ASI eksklusif. …”terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kebijakan mengenai peningkatan perbaikan gizi bagi ibu dan anak, seperti : 1. telah sesuai dengan kebijakan/program yang ditetapkan; 2. target yang akan di capai; 3. peningkatan promosi pemberian gizi bagi anak dan ibu; 4. masih rendahnya kesadaran keluarga dan ibu hamil. 3. Sumber : Data Primer yang diolah Berdasarkan pada matriks di atas dapat dijelaskan, bahwa dalam pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak harus diselaraskan dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Banyumas mempunyai peranan yang besar dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut, khususnya melalui Dinas Kesehatan sehingga pelaksanaan tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh di wilayah Kabupaten Banyumas. Mencermati hal diatas, maka dapat diketahui bahwa terdapat faktorfaktor positif yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Banyumas melalui Dinas Kesehatan dilaksanakan untuk lebih 115 meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak. Melalui program-program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh seluruh tingkat pelayanan kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas. Faktor tersebut meliputi : kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak, kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, kebijakan peningkatan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak. Pelaksanaan kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak telah dilaksanakan sesuai dengan program/kebijakan yang ditetapkan. Hal ini dapat di lihat dari kesesuaian kebijakan/program yang ditetapkan, kejelasan dan ketepatan target yang akan di capai, dan adanya dukungan serta peran aktif masyarakat. Di harapkan pelaksanaan kebijakan tersebut dapat memberikan manfaat dan dampak positif bagi peningkatan kesehatan masyarakat Kabupaten Banyumas. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Pelaksanaan kebijakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan perbaikan gizi anak yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Banyumas. Kebijakan pemberian ASI eksklusif ditingkatkan melalui promosi yang dilakukan oleh Dinkes, peningkatan tersebut dilaksanakan melalui penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh tenaga pelayan kesehatan yang ada di Rumah Sakit, Puskesmas, dan Posyandu. Kebijakan perbaikan gizi anak 116 telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan, kejelasan dan ketepatan target yang akan dicapai, dan peningkatan promosi pemberian gizi bagi ibu dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. Terlepas dari faktor-faktor positif sebagaimana disebutkan di atas, terdapat pula faktor-faktor negatif yang mempengaruhi kebijakan pelaksanaan tersebut dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Faktor-faktor tersebut dapat di lihat dari beberapa hal diantaranya faktor pendidikan dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data dari BKCKB di informasikan bahwa tingkat pendidikan paling banyak adalah tamat SD ada sekitar (38,78%), kemudian tidak tamat SD (15,46%), masih tingginya jumlah penduduk yang belum/tidak bekerja yaitu (25, 46%) merupakan faktor yang mempengaruhi untuk dapat menghambat suksesnya pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. (Prifil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008:6). Tingkat morbiditas yang ada di Kabupaten Banyumas juga ikut mempengaruhi pelaksanaan kebijakan ini. Kasus penyakit malaria klinis mengalami kenaikan 729 kasus, jumlah kasus demam berdarah dengue juga terjadi peningkatan. Hal ini dapat dijadikan indikasi masih lemahnya tingkat kesadaran masyarakat Banyumas terhadap kesehatan, diharapkan peran aktif dari masyarakat untuk ikut serta meningkatkan kesehatan guna mencegah suatu wabah penyakit muncul di lingkunganya. Jika peran masyarakat ini tidak berjalan ini akan berpengaruh terhadap kebijakan yang telah direncanakan. 117 Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga menaati hukum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. Misalnya, kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya taat pada saat ada petugas saja. (Soerjono Soekanto, 1983:49). Minimnya anggaran untuk alokasi peningkatan kesehatan ibu dan anak juga merupakan salah satu faktor negatif atau kurang mendukung, telah ditentukan bahwa alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan untuk daerah provinsi, kabupaten/kota minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Pada beberapa kebijakan lain terdapat juga faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan tersebut, yakni belum adanya peraturan daerah yang secara detail mengatur tentang pelaksanaan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi. Peraturan yang ada masih mendasarkan pada Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004. Peran atau peraturan-peraturan yang penting yang harus dibuat pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah Pelaksanaan Kebijakan dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab atas peningkatan sumber daya manusia masyarakat Banyumas. Oleh karena itu, perencanaan dan pelaksanaan suatu kebijakan dalam peningkatan 118 kesehatan ibu dan anak untuk dapat diterapkan yang sesuai dengan peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku mutlak dilaksanakan oleh pemerintah. Didalam pembangunan kesehatan harus merupakan pembangunan yang berencana secara menyeluruh, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial dan kultural. Pelaksanaan suatu pembangunan dan pengembangan kesehatan harus melalui tahap dasar yaitu sebuah perencanaan. Perencanaan tersebut harus mengintegrasikan pembangunan kesehatan ke dalam suatu program pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial dari suatu negara. Di samping itu, rencana tersebut harus mampu memberikan kerangka kerja kebijakan pemerintah, untuk mendorong dan mengendalikan pembangunan dan pengembangan kesehatan. Peranan pemerintah dalam mengembangkan kesehatan dalam garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur tidak hanya dalam bentuk fisik, memperluas berbagai fasilitas, kegiatan koordinasi antara aparatur pemerintah dengan berbagai pihak, pengaturan, dan promosinya. Suatu kenyataan yang tidak dapat di pungkiri bahwa diseluruh wilayah Indonesia berupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak, maka yang perlu diperhatikan juga adalah sarana transportasi, keadaan infrastruktur dan sarana-sarana kesehatan. Kenyataan yang ada di lapangan daerah Banyumas dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak memang sangat perlu mendapat perhatian khusus dan pelaksanaan secepat mungkin oleh pemerintah daerah Banyumas guna mengoptimalkan peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada data dan bukti dengan mempertimbangkan norma 119 sosial budaya menghadapi tantangan banyak faktor. Sementara banyak pihak sepakat pentingnya kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada informasi akurat dari lapangan, diperlukan suatu mekanisme pengumpulan dan pelaporan data yang lebih untuk ‘pembelajaran kebijakan’. Di samping itu, pertimbangan konteks lokal perlu dijamin mengingat variasi besar profil geografis, sosial, dan ekonomi di Kabupaten Banyumas. Masih minimnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses kebijakan kesehatan perlu dikoreksi di semua tingkat supaya dihasilkan kebijakan dan implementasi kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Beberapa hal yang cenderung mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, antara lain : 1. Sumber daya kesehatan di Kabupaten Banyumas; 2. Penyelenggaraan pembiayaan kesehatan untuk Gakin dan masyarakat rentan di Kabupaten Banyumas. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Jumlah sarana 120 pelayanan kesehatan berupa Rumah Sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banyumas sampai dengan 2009 kurang lebih telah ada sebanyak 54 buah. Jumlah sarana kesehatan yang meliputi Rumah Sakit, Puskesmas, dan Pelayanan Kesehatan (Rumah Bersalin) sebanyak 80 buah, semuanya mempunyai kemampuan pelayanan gawat darurat. Sedangkan jumlah Puskesmas yang ada di Kabupaten Banyumas sebanyak 39, yang terdiri dari 14 Puskesmas Perawatan dan 25 Puskesmas Non Perawatan. Memperhatikan jumlah pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan sebesar 0.07% serta kepadatan penduduk sebesar 1.193 jiwa/km persegi maka bisa dimungkinkan untuk pengembangan jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Banyumas untuk lebih meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Banyumas. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Data terakhir tenaga medis baik yang ada di Puskesmas, Rumah Sakit maupun yang ada di institusi lain sebanyak 303 orang, rasio tenaga medis terhadap penduduk sebesar 1,93 per 10.000 penduduk jumlah ini di nilai masih kurang untuk peningkatan kesehatan di Kabupaten Banyumas. Adapun jumlah tenaga medis yang ada di Puskesmas sebanyak 90 orang atau sebesar 0,57 per 10.000 penduduk. Jumlah tenaga perawat dan bidan yang ada di Puskesmas, RS maupun yang ada di institusi yang lain sebanyak 1.346 orang, rasio tenaga perawat dan bidan terhadap penduduk sebesar 8.56 per 10.000 penduduk. Adapun jumlah 121 tenaga perawat dan bidan yang ada di Puskesmas sebanyak 529 orang atau sebesar 3.41 per 10.000 penduduk. (Profil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008:34) Jumlah tenaga farmasi yang ada di Puskesmas, RS maupun yang ada di institusi lain sebanyak 94 orang, rasio tenaga farmasi terhadap penduduk sebesar 0,6 per 10.000 penduduk. Adapun jumlah tenaga farmasi yang ada di Puskesmas sebanyak 7 orang, atau sebesar 0,04 per 10.000 penduduk. Jumlah tenaga gizi di Puskesmas, RS maupun di institusi lain ada sebanyak 38 orang, untuk rasio tenaga gizi terhadap penduduk sebesar 0,24 per 10.000. adapun jumlah tenaga gizi yang ada di Puskesmas sebanyak 19 orang atau sebesar 0,09 per 10.000, jumlah ini tentunya masih kurang sangat dibutuhkan penambahan tenaga gizi terutama untuk yang di Puskesmas-Puskesmas. Sehingga diharapkan mampu memberikan dan meningkatkan kesadaran tentang arti penting manfaat pemenuhan. gizi bagi peningkatan kesehatan. (Profil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008: 34-35). Tenaga teknis medis di Puskesmas, RS maupun di institusi yang lain sebanyak 126 orang. Jumlah tenaga medis yang ada di Puskesmas sebanyak 6 orang, atau sebesar 0,04 per 10.000 penduduk, jumlah yang terlalu sedikit untuk upaya peningkatan kesehatan. Untuk tenaga sanitasi yang ada 61 orang dengan, sedangkan untuk tenaga kesehatan masyarakat ada sebanyak 49 orang, rasio tenaga Kesmas terhadap penduduk sebesar 0,31 per 10.000 penduduk. Sedangkan tenaga Kesmas yang ada di Puskesmas sebanyak 16 orang atau sebesar 0,1 per 10.000 penduduk. (Profil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008:36). 122 Sehubungan dengan hal di atas, berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan, faktor yang cenderung mempengaruhi kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di daerah Banyumas dengan memperhatikan sarana, prasarana dan tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas dituangkan ke dalam bentuk matriks di bawah ini : Matriks. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di lihat dari sarana, prasarana dan tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas. Kode Informan Jenis Kebijakan Jumlah sumber daya kesehatan 01/KABID YANKES 05/KABID PROMKES 1.Kebijakan penyebaran sarana pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas di Kabupaten Banyumas. 01/KABID YANKES 2. Kebijakan penyebaran tenaga medis menurut unit kerja di Kabupaten Banyumas jumlah sarana pelayanan kesehatan yang ada di Banyumas sebagai berikut: Rumah Sakit Umum ada 11 buah, Rumah Sakit Jiwa 0 buah, Rumah Sakit Khusus 4 buah, Puskesmas 39 buah. jumlah tenaga medis yang tersebar di kabupaten Banyumas sebagai berikut : Puskesmas 90 orang, Rumah Sakit 197 orang, Dinas Kesehatan dan Sarana Kesehatan lain 11 orang. Penyebaran tenaga kesehatan perawat dan bidan, sebagai berikut : Puskesmas 576 orang, Rumah Sakit 767 orang, Dinas Kesehatan dan Sarana Kesehatan lain 3 orang. 3. Kebijakan penyebaran tenaga perawat dan bidan menurut unit kerjanya di Kabupaten Banyumas. 4. Kebijakan penyebaran tenaga farmasi menurut unit kerjanya di Kabupaten Banyumas. Penyebaran tenaga kesehatan farmasi, sebagai berikut : Puskesmas 7 orang, Rumah Sakit 81 orang, Dinas Kesehatan 2 orang, dan Sarana Kesehatan lain 4 orang. Sumber : Data Primer yang diolah Berdasarkan matriks di atas dapat dijelaskan bahwa, faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu 123 dan anak dalam sumber daya kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas adalah masih terbatasnya sarana dan tenaga pelayanan kesehatan serta belum dapat terlaksananya penyebaran tenaga pelayanan kesehatan secara menyeluruh menjangkau seluruh daerah-daerah pelosok wilayah Kabupaten Banyumas. Kepastian dan kecepatan penanganan permasalahan senantiasa tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam programprogram pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung secara lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum mencapai tujuannya. (Soerjono Soekanto, 1983:37). Akses kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan masih di rasa belum maksimal. Belum ada suatu mekanisme efektif yang menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat. Kinerja sektor kesehatan diperlemah oleh rendahnya kompetensi dan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Di samping itu, masih terdapat tenaga kesehatan pemerintah yang bekerja tidak resmi di sektor swasta karena alasan pendapatan. Sistem informasi kesehatan terutama informasi puskesmas melemah, sejalan dengan berlangsungnya desentralisasi. Sekarang ini, kurang dari 30% puskesmas yang melaporkan secara teratur data pelayanan ke tingkat 124 administrasi yang lebih tinggi. Kepincangan sistem informasi puskesmas ini membuat survei menjadi sumber utama data untuk perencanaan kebijakan, manajemen dan evaluasi program kesehatan. Data survei ini mempunyai arti penting, tetapi belum mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh situasi pelayanan kesehatan. Pemahaman sempit tentang arti penting ‘kesehatan’ membuat fokus pelayanan lebih kuratif dibanding preventif dengan investasi besar pada rumah sakit dan puskesmas. Anggaran kesehatan yang masih rendah sebagai satu elemen kronis penyebab lemahnya sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak. Sejauh ini sumber swasta menempati 75 sampai 80 % pembiayaan kesehatan. Dari sumber swasta ini, sekitar 72% dari kantong masyarakat, situasi ini membuat pelayanan kesehatan menjadi mahal terlebih bagi masyarakat miskin. Proses dan implementasi kebijakan kesehatan yang memihak kebutuhan masyarakat masih menghadapi banyak tantangan. Proses kebijakan kesehatan belum mendasarkan pada ‘data’ atau ‘bukti’ dan belum melibatkan masyarakat sipil dan aktor kunci lain. Di samping itu, budaya pendekatan ‘proyek’ , kelemahan sistem kesehatan, dan diskoneksi kebijakan pusat-daerah membuat implementasi kebijakan perbaikan pelayanan kesehatan semakin tidak mudah. Penggunaan data dalam proses kebijakan kesehatan masih tantangan. Penggunaan data bagi para pengambilan kebijakan kesehatan belum sebagai suatu budaya. Akibatnya, perencanaan kesehatan sering kurang mendasarkan 125 pada kebutuhan prioritas, dan manajemen program kesehatan kurang didukung dengan monitoring dan evaluasi yang ditunjang dengan data yang memadai. Kurangnya penggunaan data boleh jadi karena data yang tersedia kurang akurat, sebaliknya kurangnya penggunaan data menyebabkan rendahnya motivasi dan upaya memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data kesehatan. Pelaksanaan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi yaitu AKB sebesar 35 persen per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). (Jurnal Hukum Kesehatan, 2009:1). Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak masih menjadi masalah utama di Indonesia. Keadaan menunjukkan bahwa setiap jam, 2 ibu meninggal terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan, sementara pada bayi baru lahir 10 yang meninggal. Hal yang sama terjadi pada 18 bayi dan 24 anak balita yang meninggal pada jam yang sama. Ironisnya, sebagian besar (80%) penyebab kematian ibu, bayi baru lahir serta anak balita itu dapat dicegah dengan teknologi sederhana yang tersedia di Puskesmas dan jaringannya. 126 Hanya sedikit yang memerlukan penanganan dengan biaya mahal dan teknologi tinggi.( Majalah Info Forum, 2006:5). Dalam jangka menengah, Departemen Kesehatan bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 307/100.000 kelahiran hidup menjadi 226/100.000 kelahiran hidup melalui kebijakan Making Pregnancy Safer (MPS), serta menurunkan angka kematian bayi (AKB) dari 35/1000 kelahiran hidup menjadi 26/1000 kelahiran hidup, serta meningkatkan kualitas hidup tumbuh kembang anak. Departemen Kesehatan menyiapkan empat strategi utama untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu; (1) Menggerakkan dan memperdayakan masyarakat untuk hidup sehat, (2) meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, (3) meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan serta (4) meningkatkan pembiayaan kesehatan. Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka masyarakat miskin di luar kuota Jamkesmas pelayananya ditanggung oleh Pemerintah Daerah yang penyelenggaraanya dilaksanakan secara berbedabeda. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan di dalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut di antaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan 127 yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke pelayanan kesehatan. Selama ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam tataran undang-undang dan peraturan yang ada di bawahnya, tetapi semenjak amandeman UUD 1945 perubahan ke dua dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam amandemen UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Mencermati hal di atas, berdasarkan Pasal 170 Ayat (1) UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi sebagai berikut : “Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya”. Ayat (3) berbunyi “Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain”. Departemen kesehatan menetapkan kebijakan untuk lebih memfokuskan perhatian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu. Dasar pemikirannya adalah selain memenuhi 128 kewajiban pemerintah, tetapi juga berdasarkan kajian dan pengalaman bahwa akan terjadi percepatan perbaikan indikator kesehatan apabila lebih memperhatikan dan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu. Saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas sebagai bagian dari pengembangan jaminan secara menyeluruh. Melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) diharapkan dapat meningkatkan umur harapan hidup masyarakat Banyumas, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, menurunkan angka kematian bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran, disamping itu dapat terlayaninya kasus-kasus kesehatan masyarakat Banyumas pada umumnya. Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka masyarakat miskin di luar kuota Jamkesmas pelayanan kesehatannya ditanggung oleh Pemerintah Daerah yang penyelenggaraanya berbeda-beda. Sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah di wajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan. Pada bagian lain tentang pelayanan sistem jaminan sosial tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan 129 Bidang Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewenangan melakukan 1) Pengelolaan penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi, 2) Bimbingan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (tugas pembantuan). Sementara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan melakukan 1) Pengelolaan/Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharan Kesehatan sesuai dengan kondisi lokal, 2) Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (tugas pembantuan). Terdapat beberapa kendala-kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas, kendala utama dalam pengorganisasian adalah masih kurang optimal peran fungsi tim pengelola dan tim koordinasi provinsi/kabupaten/kota. Sosialisasi, advokasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan dalam keuangan serta serta kinerja pelayanan kesehatan masih belum berjalan sebagaimana seharusnya. Karena itu diperlukan komitmen dari Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab pengelolaan Jamkesmas di Kabupaten Banyumas. Pemerintah daerah Kabupaten Banyumas kurang komitmen dalam pendanaan Jaminan Kesehatan masyarakat di luar kuota, sedangkan yang sudah mempunyai pendanaan pengelolaan belum seluruhnya mengikuti mekanisme JAMKESMAS, hal ini menyebabkan menjadi kurang harmonisnya pelaksanaan Jamkesmas yang dibiayai oleh APBN dan pengelolaan yang dibiayai oleh APBD. Adanya indikasi pemerintah daerah memasukkan dana belanja bantuan sosial ini ke dalam PAD, hal ini akan menggangu pelayanan kesehatan bagi orang miskin. 130 Seharusnya dana belanja bantuan sosial sepenuhnya diperuntukan bagi pelayanan kesehatan peserta sebelum menjadi pendapatan Rumah Sakit. Besaran anggaran untuk kesehatan sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 171 ayat (1) di tentukan sebagai berikut “Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji”, ayat (2) “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”. Pada ayat (3) dinyatakan “Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Penyelenggaraan pembiayaan untuk keluarga miskin dan masyarakat rentan di Kabupaten Banyumas dilaksanakan melalui program Jamkesmas, dan dana sehat. Jumlah masyarakat miskin sebesar 658.945 jiwa, yang mendapat pelayanan kesehatan (meliputi rawat inap dan rawat jalan) sebanyak 251.372 (41,77%). Dibandingkan dengan standar pelayanan minimal angka tersebut masih di bawah target yaitu 100%, yang berarti belum semua keluarga miskin tercakup dalam pelayanan kesehatan Gakin dan masyarakat rentan. Akan tetapi hal tersebut bisa juga terjadi karena masyarakat miskin 131 tidak memanfaatkan hak-nya untuk berobat dan mengakses layanana kesehatan yang telah ada. Sebagai dasar hukum pemungutan retribusi pelayanan kesehatan pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas telah di bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, pada Pasal 64 ayat 1 yang berbunyi: pengelolaan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam pembagianya sebagai berikut : a. 80% untuk operasional, pengadaan obat, bahan habis pakai dan peningkatan pelayanan Puskesmas. b. 20% untuk Jasa pelayanan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bupati Banyumas Nomor 47 tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Unit Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Pemungutan retribusi pelayanan kesehatan pada Unit pelaksana Teknis Dinas Kabupaten Banyumas sesuai tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2006 diberlakukan secara bertahap. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bupati Banyumas Nomor 2 Tahun 2009 tanggal 09 Januari 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Banyumas Nomor 47 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Keseahatan Kabupaten Banyumas, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 132 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pasal 34 ayat 1, terhitung mulai tanggal 12 Januari 2009 besarnya retribusi pelayanan di Puskesmas sebesar Rp. 5000 ( lima ribu rupiah ) untuk tiap kali kunjungan. Tarif retribusi pelayanan kesehatan tersebut masih di rasa berat bagi sebagian masyarakat miskin dan masyarakat rentan yang ada di Kabupaten Banyumas. Kebijakan tersebut berpengaruh secara langsung terhadap upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. 133 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas, antara lain : 1) Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak. 2) Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak. 3) Kebijakan peningkatan pemberian Air Susu Ibu eksklusif dan peningkatan gizi ibu dan anak. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas dibagi dalam dua faktor, yaitu faktor positif dan faktor negatif : Faktor positif : - Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan/program, pelaksanaan kebijakan yang di tetapkan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak, peningkatan promosi pemberian ASI secara eksklusif melalui berbagai program, peningkatan perbaikan gizi bagi ibu dan anak melalui pemberian kapsul vitamin A dan tablet besi (Fe). Faktor negatif : - Masih rendahnya sumber daya manusia dan minimnya tingkat kesejahteraan, minimnya anggaran yang ditetapkan, tingginya tingkat morbiditas, belum adanya beberapa Perda/Perbup yang secara khusus dan mendetail mengatur tentang kebijakan peningkatan pemberian ASI secara eksklusif di Kabupaten Banyumas. 134 B. SARAN a. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas melalui Dinas Kesehatan dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui program-program kerja yang telah ditetapkan harus dapat dilaksanakan secara tepat, cepat, dan menyeluruh. Pelayanan kesehatan harus dapat di akses dan dinikmati dengan mudah oleh seluruh warga masyarakat Gakin dan masyarakat rentan. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan diperlukan Perda/Perbup yang komprehensif dan mendetail tentang pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. b. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas agar lebih meningkatkan mutu pelayananan kesehatan warga. Upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. 135 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU LITERATUR Ishaq, 2007, Dasar-dasar ilmu hukum, Sinar Grafika Jakarta. Kansil C.S,T, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta. Moleong, J Lexy, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Noeng, Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitati, PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta Nugroho, D. Riant, 2003, Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta. Prawirohardjo, Sarwono, 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, JNPKKR-POGI, Jakarta. Rahadjo, Satjipto, 1980, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Penerbit Alumni, Bandung. __________. 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. __________. 1984, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1982, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Grafindo Persada, Jakarta. Sujamto, 1991, Cakrawala Otonomi Daerah. Sinar Grafika, Jakarta. Syaukani, Affan, 2003, Otonomi Daeerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta. 136 Thoha, Miftah, 1984, Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wahab, Solichin Abdul., 1997, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, PT. Bumi Aksara. Jakarta. Winarna, S, 2002, Otonomi Daerah Reformasi, Unit Penerbit Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan KEPMENKES No.504/MENKES/SK/X/2003 Desentralisasi Bidang Kesehatan. Tentang Kebijakan Strategi KEPMENKES No. 450/MENKES/SK/IV/2004 Tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif. PERDA No. 3 tahun 2006 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kab. Banyumas PERBUP No. 2 tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah. C. SUMBER LAIN Majalah Info Forum Parlemen, 2006. Jurnal Hukum Kesehatan, 2009. 137 KESEHATAN IBU DAN ANAK (STUDI TENTANG FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN BANYUMAS) SKRIPSI Oleh : BUDI SANTOSO E1E004067 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 138 2010