View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja mulai dari
bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan tanpa tambahan cairan atau
tambahan makanan padat. Bayi yang berumur 0 sampai 6 bulan mutlak
memerlukan ASI karena memenuhi 100% kebutuhan bayi akan zat gizi,
setelah berumur 6 bulan bayi memerlukan lebih banyak zat gizi dan ASI
hanya menopang 60-70% kebutuhan gizi kepada bayi sehingga bayi
memerlukan makanan pendamping lain. Pada usia 0-6 bulan sebaiknya
bayi juga tidak diberi makanan apapun karena makanan tambahan
mempunyai resiko terkontaminasi yang sangat tinggi. Selain itu dengan
memberikan makanan tambahan pada bayi, akan mengurangi produksi
ASI, karena bayi menjadi jarang menyusu (Muchtadi, 1996).
Meskipun kini susu formula telah dibuat dengan komponen yang
sangat mirip ASI, namun beberapa manfaat ASI tak bisa tergantikan.
Faktor penting yang terkandung dalam ASI, yaitu zat antibodi yang
berguna untuk kekebalan tubuh dan berbagai enzim yang terkandung
dalam ASI untuk membantu penyerapan seluruh zat gizi tidak bisa
didapatkan anak dari susu formula (www.conectique.com).
1
ASI mengandung zat-zat itu juga dilengkapi dengan enzim
untuk penyerapan, yaitu; lipase. Enzim inilah yang tidak terkandung
dalam susu formula, karena enzim ini akan rusak bila dipanaskan. Kondisi
inilah yang menyebabkan ibu dianjurkan memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan pada bayinya, sekalipun ia sudah kembali beraktivitas
seperti biasa (www.conectique.com)
Pemberian ASI eksklusif berpengaruh pada kualitas kesehatan
bayi. Semakin sedikit jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif, maka
kualitas kesehatan bayi dan anak balita akan semakin buruk, karena
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak benar menyebabkan
gangguan
pencernaan
yang
selanjutnya
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan AKB. Salah satu
faktor penyebab tingginya AKB adalah rendahnya gizi bayi. Angka
kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator kesehatan yang
sensitif, pada tahun 2003 AKB di Indonesia tercatat 35 per 1000 kelahiran
hidup, meskipun di Indonesia AKB tidak mengalami perbaikan tetapi
keadaan jauh lebih buruk, sedangkan dilihat dari data ASEAN Statistik
Pocketbook di negara Asia bagian timur dan tengah, AKB di Vietnam 18,
Thailand 17, Filipina 26, Malaysia 5,6, dan Singapura 3 per 1000 kelahiran
hidup (Khairunniyah dalam Handayani, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Rulina tahun 2002 kasus Gizi buruk
pada balita dari berbagai Propinsi di Indonesia masih tinggi dari 11,7 %
gizi buruk tersebut tedapat pada bayi berumur kurang dari 6 bulan. Hal ini
2
tidak perlu terjadi jika ASI diberikan secara baik dan benar, karena
menurut penelitian dengan pemberian ASI saja dapat mencukupi
kebutuhan gizi selama enam bulan (Handayani, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Ghana menunjukkan 22 persen
kematian bayi yang baru lahir yaitu kematian bayi yang terjadi dalam satu
bulan pertama dapat dicegah bila bayi disusui oleh ibunya dalam satu jam
pertama kelahiran. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka
diperkirakan program “Menyusu Dini” dapat menyelamatkan sekurangnya
30.000 bayi Indonesia yang meninggal dalam bulan pertama kelahiran.
Dengan pemberian ASI dalam satu jam pertama, bayi akan mendapat zatzat gizi yang penting dan mereka terlindung dari berbagai penyakit
berbahaya pada masa yang paling rentan dalam kehidupannya. Untuk itu,
Inisiasi Dini menjadi tema “Pekan ASI se-Dunia”, sesuai dengan ketetapan
yang dikeluarkan oleh Asosiasi ASI Dunia (Sutjiningsih dalam Sumami,
2008).
Sebagian besar bayi di Indonesia (81,02%) disusui sampai 6
bulan atau lebih. Probabilitas kumulatif ketahanan hidup bayi menurut
durasi pemberian ASI adalah sebagai berikut: pemberian ASI 0 bulan
ketahanan hidupnya adalah 71%, pemberian ASI 1-2 bulan ketahanan
hidupnya adalah 91%, 3 bulan adalah 95%, 4 bulan adalah 94%, 5 bulan
adalah 96%, dan 6 bulan atau lebih adalah 99%. Artinya jika bayi yang
lahir kemudian diberi ASI minimal sampai 6 bulan maka bayi tersebut
3
akan memiliki kesempatan 99% untuk merayakan ulang tahun pertamanya
(Besral, 2008).
Peningkatan penggunaan ASI telah menjadi global action sejak
diadakannya pertemuan di Italia (Innocenti Declaration on The Protection
Promotion and Suport of Breastfeeding, 1990) yang dihadiri oleh para
pembuat keputusan dari beberapa Negara, telah disepakati bahwa setiap
negara pada tahun 1995 dapat dinaikkan persentase bayi mendapat ASI
eksklusif sebesar 50% dari keadaan saat itu (Sulhana dan Sukarman,
2001).
Pada tahun 2001 WHO merevisi rekomendasi global mengenai
pemberian ASI yang harus dilakukan sesegera mungkin, yaitu dalam
waktu satu jam setelah bayi lahir dan dianjurkan memberikan ASI
eksklusif selam 6 bulan (Umniyati dalam merdekawati, 2005).
Berdasarkan data UNICEF hanya 3% ibu yang memberikan ASI
eksklusif dan menurut SDKI 2002 cakupan ASI eksklusif di Indonesia
baru mencapai 55 %, sedangkan di Jawa Barat pemberian ASI eksklusif
pada bayi dibawah umur 4 bulan mencapai 49% (Muchtar dalam
Handayani, 2007).
Data dari Prof Rulina Suradi, SpA (K) IBCLC, konsultan
neonatology RSCM menunjukkan bahwa jumlah ibu yang memberikan
ASI eksklusif tidak lebih dari dua persen dari jumlah total ibu melahirkan.
Kondisi ini lebih rendah dari prediksi Unicef yang sekitar tiga persen.
Rata-rata ibu menyusui anaknya hanya selama 1,7 bulan. Tentu saja hal
4
ini dapat mereduksi potensi anak baik dari segi fisik, intelektual juga
psikis (Paramitita, 2010).
Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2006-2007, data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi
di bawah usia dua bulan hanya mencakup 67 persen dari total bayi yang
ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi,
yaitu 54% pada bayi usia 2-3 bulan dan 19 persen pada bayi usia 7-9 dan
yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi
susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan
tambahan (Setiawirawan, 2009).
Menurut data Depkes tahun 2001, hampir semua balita pernah
diberi ASI (97%), namun proporsi bayi umur 0-3 bulan yang hanya
mendapatkan ASI Eksklusif hanya 47,5 %, masih jauh dari target (80%)
dan pada umur 45 bulan turun menjadi 14%. Bila dibandingkan dengan
data SKRT 1992 dimana ASI Esklusif untuk anak umur 0-3 bulan
mencapai 63,7% terlihat adanya penurunan (Supraptini, 2003).
Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan tahun
2008 cakupan pemberian ASI eksklusif pada tahun 2006 yaitu 57,48% dan
pada tahun 2007 yaitu 57,05%, dan pada tahun 2008 cakupan pemberian ASI
eksklusif meningkat menjadi 77,18 %.
Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep
tahun 2009, menunjukkan bahwa dari 6.190 jumlah bayi yang terdaftar di
seluruh puskesmas wilayah Kabupaten Pangkep, terdapat 5.017 atau
5
81,05%, jumlah seluruh bayi, baik usia 6 bulan sampai dengan satu tahun
yang diberi ASI Eksklusif. Sedangkan untuk wilayah kerja Puskesmas
Bonto Perak 310 dari
jumlah bayi yang terdaftar, terdapat 251 atau
80,97% jumlah bayi yang diberi ASI Eksklusif.
Menurut penelitian Kamalia tahun 2005 di wilayah kerja
Puskesmas Kedungwini Kota Semarang, mengemukakan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara bayi yang mendapat ASI eksklusif
minimal 4 bulan dengan bayi yang hanya diberi susu formula. Bayi yang
diberikan susu formula biasanya mudah sakit dan sering mengalami
masalah kesehatan yang memerlukan pengobatan sedangkan bayi yang
diberikan ASI biasanya jarang sakit.
Hasil penelitian oleh Rostia tahun 2006, menunjukkan bahwa
pemberian ASI Eksklusif hanya 9,3%. Cakupan ini masih sangat jauh dari
standar nasional yang telah ditetapkan yaitu 80%. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara promosi susu
formula dengan pemberian ASI Eksklusif pada bayi 6 - 11, serta tidak ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu, sosial ekonomi,
pekerjaan ibu dan KIE petugas kesehatan dengan pemberian ASI Eksklusif
pada bayi 6- 11 bulan (p > 0.05).
Berdasarkan penelitian Suyatno tahun 1997, menunjukkan
bahwa faktor pengetahuan, sikap, motivasi, serta kondisi tempat kerja
mempunyai korelasi positif bermakna (p < 0,05) dengan lama pemberian
ASI secara eksklusif. Faktor motivasi dan lama pemberian ASI secara
6
eksklusif berkorelasi positif bermakna (p < 0,05) dengan lama menyusui
(usia penyapihan).
Penelitan oleh Afifah tahun 2007 melalui studi kualitatif
menunjukkan bahwa subjek yang tinggal serumah dengan ibu (nenek)
mempunyai peluang sangat besar untuk memberikan MP-ASI dini pada
bayi. Karena mereka beranggapan bahwa jika bayi tidak mengalami
gangguan maka pemberian MP-ASI dapat dilanjutkan.
Berdasarkan hasil penelitian Sathri tahun 2010, ibu yang
menyusui dengan jumlah anak yang 1 – 2 adalah sebesar 75,6% dan ibu
yang memiliki jumlah anak
≥ 3 orang sebesar 24,4%. Persentase
responden yang menyusui ≥ 2 tahun dan memiliki paritas yang banyak
yakni 63,6% ternyata lebih besar dibandingkan dengan persentase
responden yang memiliki paritas sedikit yakni 47,1%. Artinya dari hasil
tersebut jumlah anak yang banyak, cukup memberikan pengaruh terhadap
lamanya menyusui.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI adalah
faktor sosial budaya ekonomi (pendidikan formal ibu, pendapatan
keluarga, dan status kerja ibu), faktor fisiologis, (takut kehilangan daya
tarik sebagai wanita, tekanan batin), faktor fisik ibu (ibu yang sedang
sakit, misalnya mastitis, dan sebagainya), faktor kurangnya petugas
kesehatan sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau
dorongan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif (Soetjaningsih dalam
Sathri, 2010).
7
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan pemberian
ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Bonto Perak Kabupaten
Pangkep tahun 2010 karena tingginya angka cakupan ASI eksklusif di
wilayah kerja puskesmas Bonto Perak bila dibandingkan dengan standar
nasional pencapaian ASI eksklusif, yaitu 80%.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemberian ASI
eksklusif?
b. Apakah ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI
eksklusif?
c. Apakah ada hubungan antara peran anggota keluarga dengan
pemberian ASI eksklusif?
d. Apakah ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan
pemberian ASI eksklusif?
e. Apakah ada hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk
memperoleh
informasi
tentang
beberapa
faktor
yang
berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja
Puskesmas Bonto Perak tahun 2010.
8
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan
pemberian ASI eksklusif.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu dengan
pemberian ASI eksklusif.
c. Untuk mengetahui hubungan antara peran anggota keluarga dengan
pemberian ASI eksklusif.
d. Untuk mengetahui hubungan antara peran petugas kesehatan
dengan pemberian ASI eksklusif.
e. Untuk mengetahui hubungan antara paritas dengan pemberian ASI
eksklusif.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini Merupakann informasi yang penting yang
dibutuhkan sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi instansi
terkait dalam menentukan kebijakan dan program perencanaan
selanjutnya, dalam rangka peningkatan dan pengembangan pemberian
ASI eksklusif khususnya di Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.
9
2. Manfaat Pada Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan Merupakann bahan bacaan dan sumber informasi
bagi peneliti lain.
3. Manfaat Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah pengalaman,
memperluas wawasan dan menambah pengetahuan peneliti tentang
ASI eksklusif.
10
Download