INTERAKSI SISWA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI) DALAM MEMAKNAI SIMBOLITASNYA Sylvia Anggreni Siagian ABSTRAK Interaksi sosial merupakan alat dalam kehidupan sosial yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, membutuhkan simbol-simbol tertentu serta melibatkan suatu pertukaran simbol. Sistem pendidikan yang bertumpu pada program RSBI ternyata membawa berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi murid murid di SMA Negeri I Medan. interaksi yang terjalin diantara para siswa kelas plus dan reguler pada kenyataannya kurang baik. Para siswa RSBI Plus berupaya menunjukkan identitas diri dan status sosial mereka dengan menggunakan berbagai simbol-simbol sosial, seperti cara berpakaian yang modis, fashionable, dan juga gadget yang canggih. Kompetisi yang terjadi diantara siswa bukanlah secara intelektual tetapi gaya hidup. Perlakuan khusus yang diberikan oleh para guru terhadap siswa kelas plus ternyata berdampak terhadap hubungan yang terjalin diantara para guru dan murid, dimana yang terbentuk adalah pola interaksi guru yang bersifat permisif dimana maksudnya dalam pengelolaan kelas guru memberi kebebasan pada siswa untuk melakukan berbagai aktifitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal ini berdampak pada kurangnya wibawa para guru dihadapan muridmuridnya. Dan program RSBI ini kental berbau privatisasi pendidikan pada sekolah negeri. Padahal sekolah negeri seharusnya menjadi wadah utama bagi peserta didik dari semua kalangan masyarakat menimba ilmu tanpa diskriminasi dan kastanisasi. PENDAHULUAN Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan manusia, oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan manusia (Soekanto, 1985 : 54). Interaksi antarindividu melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari "petunjuk" mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Simbol misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai bersifat dinamis dan unik. Sebelum bertindak manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada dunianya sesuai dengan skema-skema interpretasi yang telah disampaikan kepadanya melalui proses-proses sosial. Baik kelakukan sendiri maupun kelakuan orang lain senantiasa disesuaikan dan diserasikan dengan arti-arti tertentu (Bachtiar, 2006: 248). Makna tersebut tersebut muncul atau berasal dari interaksi seseorang dengan sesamanya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan dalam menanggapi interaksi sosial masyarakat, yaitu pendekatan interaksionisme simbolik yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan ini bersumber dari pemikiran George Herbert Mead. Menurut Mead (Sunarto, 2004:50), simbol merupakan sesuatu yang dinilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah pertukaran simbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol dan memberi makna atas simbol tersebut. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antara individu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Salah satu yang menjadi sarana untuk berinteraksi bagi masyarakat adalah pada lingkungan pendidikan formal, yaitu sekolah. Sekolah adalah sebagai salah satu sistem sosial yang bukan hanya sekedar suatu kumpulan yang terdiri dari guru, murid, dan stafstaf lainnya, tetapi juga terdapat suatu pola interaksi yang menentukan apa yang terjadi di sekolah. Salah satu interaksi tersebut adalah interaksi antar siswa. Interaksi di sekolah akan membentuk suatu kelompok yang tidak jauh berbeda dengan pembentukan kelompok yang terjadi pada kehidupan sosial yang lebih luas. Salah satu penyebab terjadinya pembentukan kelompok di antara siswa-siswa adalah perbedaan kelas antara para siswa itu sendiri. Kelas sosial di sekolah juga dapat mempengaruhi pembentukan klik dan kegiatan belajar. Faktor perbedaan latar belakang kelas sosial menjadi pendorong bagi anak-anak dari kalangan kelas sosial menengah dan ke atas, dan sebaliknya merupakan penghambat bagi anak-anak dari kalangan kelas sosial menengah dan ke bawah. Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat. Salah satu bentuk reaksi terhadap perkembangan iptek dan era globalisasi, pemerintah Indonesia menyelenggarakan program Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat (3), yaitu "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional". Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional juga disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 61 Ayat (1), yaitu: Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional. Pemerintah melalui Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran harus disampaikan secara bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) sebagai salah satu indikator kinerja penjaminan mutu penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional). Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah untuk semua (education for all). Oleh karena itu harus bisa diikuti oleh seluruh bangsa Indonesia, murah dan berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi dalam implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, tidak mewujudkan adanya unsur pemerataan pendidikan. Pendidikan seharusnya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai sila kelima Pancasila. Sekolah pemerintah yang mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak boleh ada kastanisasi, diskriminasi, dan ketidakadilan, akan tetapi RSBI telah menciptakan ketidakadilan. Sebagaimana ide awal pendidikan yang hendak mencerahkan tentunya menjadi kontra produktif jika akhirnya sekolah sebagai institusi pendidikan malah menyebabkan segregasi dalam masyarakat. Ini semua membuat siswa dari keluarga kurang mampu pasti berpikir seribu kali untuk masuk ke RSBI. Mereka khawatir tetap akan dikenai pungutan mahal di sekolah itu. Siswa yang kurang dalam hal ekonomi bukan berarti tak mampu secara intelektual untuk mengikuti pelajaran di RSBI. Para pemangku kepentingan hendaknya menghilangkan segregasi sosial yang terdapat di dalam sistem pendidikan kita, dimana RSBI bukanlah ajang untuk komersialisasi pendidikan, melainkan ajang untuk menciptakan SDM Indonesia berkualitas, sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua kalangan masyarakat untuk dapat menikmati sistem RSBI tersebut. Program RSBI ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa yang RSBI dan yang non-RSBI. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya yang tinggi pada pesertanya. Akibatnya siswa yang miskin menjadi tak mampu mengikuti program ini.. Adanya kelas RSBI ini dilapangan ternyata telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Sementara itu RSBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial. Komersialisasi pendidikan inilah yang kemudian menyebabkan hanya anakanak orang kaya saja yang bisa memasuki kelas RSBI tersebut. Pembagian kelas antara siswa RSBI dan non-RSBI menimbulkan segregasi antara siswa kaya pada satu sisi dan siswa miskin di sisi lain. Pemerintah dianggap menciptakan sistem pendidikan yang tidak adil bagi siswa miskin. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya label yang digunakan oleh siswa kelas RSBI dalam penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial mereka. Pemaknaan tentang label dan alasan tentang label yang melekat pada diri siswa kelas RSBI akan berpengaruh pada penggunaan simbol dalam interaksi sosial mereka, dimana SMA Negeri 1 Medan mempunyai siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda yang menyebabkan terjadinya pembagian kelas diantara mereka, yakni seperti terdapatnya kelas RSBI ini. Permasalahan Penelitian adalah : simbol-simbol social apa sajakah yang digunakan oleh siswa RSBI Plus di SMA Negeri I Medan; bagaimanakah pemaknaan symbol interaksi tersebut dan kaitannya dengan status social dan bagaimanakah symbol tersebut mempengaruhi interaksi di kalangan siswa SMA Negeri I serta bagaimanakah struktur social yang terbentuk melalui interaksi social yang terjadi. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui symbol symbol yang digunakan, pemaknaan atas symbol interaksi tersebut serta untuk mengetahui struktur social yang terbentuk melalui interaksi social yang terjadi. Manfaat Penelitian adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan dan orangtua dalam upaya memperbaiki interaksi yang terjadi di lingkungan sekolah dalam hal ini sekolah yang mengusung program RSBI. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Penentuan informan menggunakan teknik purposive, yakni dengan memenuhi kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi foto. Jumlah informan adalah yang terdiri dari siswa 11 orang dan guru 4 orang. Data akan diiterpretasikan dengan menggunakan teori yang digunakan, dengan tahapan menetapkan satuan dan kategori serta penafsiran data temuan. TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Sosial Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Homans (dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Thibaut dan Kelley, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. Interaksi sosial merupakan proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam tindakan maupun pikiran (Zainul, 1997 : 98). Charles P. Loomis mencantumkan 4 ciri-ciri penting dari interaksi sosial, yaitu j umlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih, adanya komunikasi antara para pelaku dengan menggunkan simbol-simbol, adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung serta adanya suatu tujuan tertentu (Alvin L. Bertran, 1980: 28). Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Diantara berbagai pendekatan yang digunakan dalam menanggapi interaksi sosial masyarakat, pendekatan interaksionisme simbolik juga dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Pemaknaan Sosial Seperti dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner (dalam Taneko, 1990: 110), interaksi itu adalah suatu aksi diantara orang-orang, dengan tidak memperdulikan baik itu berhadapan muka secara langsung ataukah melalui simbol-simbol, seperti tulisan yang dikirimkan melalui jarak ribuan kilometer. Semua itu tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan adanya suatu bentuk respon. Salah satu faktor penting dalam interaksi adalah dengan adanya komunikasi. Arti penting komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah, atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang-orang dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lain. Komunikasi dapat diwujudkan dengan pembicaraan, gerak-gerak fisik, ataupun perasaan. Selanjutnya, dari sini timbul sikap atau ungkapan perasaan, seperti senang, ragu-ragu, takut atau menolak, bersahabat, dan sebagainya, yang merupakan reaksi atas pesan yang diterima. Saat ada aksi dan reaksi itulah terjadi komunikasi. Dan dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain (Soekanto,1982:60-61). Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya reaksi belaka dari tindakan orang lain, tapi didasarkan atas "makna" yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Interaksi antar individu, diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Sistem RSBI di SMA Negeri 1 Medan Dalam konteks ini, seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Medan, dapat dikatakan sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) adalah citra (objek) yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup, baik dalam hal identitas diri maupun status Sosial. Di sisi lain gaya hidup harus dipertontonkan di ruang publik agar orang lain mengetahuinya. Maka dapat dikatakan sekolah RSBI dalam kenyataannya tidak hanya terkait dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, tetapi berhubungan pula dengan aktivitas kepenontonan. Artinya, orang tua siswa menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah RSBI tidak semata-mata agar anaknya pintar dan cerdas, tetapi juga ingin mempertontonkan citra diri ataupun gaya hidup dalam konteks status sosial lengkap dengan berbagai simbol-simbolnya, seperti pakaian yang fashionable, handphone dengan segala kecanggihannya, mobil mewah, dan lainnya. Hal ini terkait pula dengan ciri budaya tontonan, yakni kepuasan hidup manusia tidak saja melakukan aktivitas menonton, tetapi juga ditonton oleh orang lain. Komersialisasi pendidikan dalam realitasnya berhubungan pula dengan keberadaan citra (image) dan gaya hidup (life style). Bertolak dari pemikiran ini maka pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang berlabel RSBI tidak bisa dilepaskan dari citra dan gaya hidup. Berkaitan dengan kebutuhan media belajar RSBI, tingginya biaya pendidikan yang dialokasikan untuk RSBI baik bantuan pemerintah maupun iuran orang tua siswa dikaitkan dengan alasan mahalnya fasilitas dan media belajar yang dibutuhkan dalam proses belajar dan mengajar untuk anak - anak yang dikatakan kecerdasannya di atas ratarata ini. Fasilitas ini seperti ruangan harus ber AC biar nyaman dan teknologi multimedia yang mesti ada dan ICT yang menjadi suatu hal yang wajib mereka miliki. Program RSBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program RSBI menjadikan sekolah yang menerapkan sistem tersebut, salah satunya SMA Negeri 1 Medan, menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat SMA Negeri 1 Medan menjadi semakin sulit untuk dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah, sehingga memgakibatkan kesenjangan sosial di sekolah, dimana siswa kelas RSBI Plus ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, dimana seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Medan, yakni terpisahnya siswa menjadi dua kelompok yaitu siswa RSBI Plus dan Reguler. Pemisahan kedua kelompok tersebut menimbulkan terjadinya pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana yang diartikan sebagai segregasi. Program RSBI ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa RSBI Plus dan Reguler. Program RSBI menjadi begitu elitis dan eksklusif sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa mengikutinya karena sekolah memang mengenakan biaya yang tinggi pada pesertanya. Akibatnya siswa yang miskin menjadi tak mampu mengikuti program ini. bersifat menghina atau merendahkan, baik dalam segi fisik maupun dalam sifat atau tingkah laku. Besarnya biaya sekolah menimbulkan implikasi lainnya berupa terbatasnya golongan masyarakat yang dapat bersekolah di sekolah RSBI. Hanya siswa dari kalangan mampu secara ekonomi yang dapat menikmati pendidikan bertaraf internasional. Terjadi sebuah ketidakmerataan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu antara siswa yang mampu dan yang tidak mampu dalam hal ekonomi. Karena jika hal ini terus dilaksanakan, maka RSBI akan condong pada praktek kapitalisasi dalam pendidikan. Pada kapitalisasi pendidikan, hanya orang dari golongan mampu yang bisa menikmati fasilitas pendidikan. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 1 yang mengemukakan bahwa tiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan. Praktek kapitalisme harus dibebaskan dalam hak dasar manusia, salah satunya adalah pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, RSBI mengundang pro dan kontra, ada yang berpendapat bahwa RSBI hanya mementingkan kognitif sehingga corak pendidikan yang dikembangkan bersifat materialistik. Ada pula yang menilai RSBI hanya menciptakan kastanisasi pendidikan, yang terlihat dengan adanya pengelompokan antara siswa cerdas dengan kurang cerdas, antara si kaya dengan si miskin. Ironisnya lagi, RSBI yang dikembangkan secara bertahap tersebut seperti yang ada di SMA Negeri 1 Medan yang membagi kelasnya menjadi 2, yakni RSBI Plus, dan Reguler, tentu saja menyebabkan para siswa kelas reguler tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan kelas RSBI Plus, terutama dari fasilitas kelasnya. Penyelenggaraan RSBI telah membawa implikasi negatif bagi terbukanya kesempatan dan pemerataan perolehan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akibat liberalisasi pendidikan, pendidikan akan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Sebagaimana ide awal pendidikan yang hendak mencerahkan tentunya menjadi kontra produktif jika akhirnya sekolah sebagai institusi pendidikan malah menyebabkan segregasi dalam masyarakat. Simbol-Simbol Sosial Siswa RSBI Plus Setiap siswa SMA Negeri 1 Medan memiliki simbol-simbol sosial yang mereka pergunakan dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam lingkungan sekolah. Para siswa-siswi SMA Negeri 1 Medan memiliki simbol atau logo siswa RSBI Plus yang melekat di baju seragam mereka, dan juga memiliki penampilan yang lebih bergaya dan mewah juga mengikuti perkembangan jaman. Tak hanya cukup dengan penampilan fisik mereka saja, para siswa kelas plus juga identik dengan menggunakan gadget untuk eksistensi mereka di lingkungan sekolah, yakni dengan membawa barang-barang elektronik mereka ke sekolah. Serta dalam penampilannya para siswa plus senang memakai barang-barang yang dapat menunjang penampilannya, dimana melihat hampir semua siswa dari kelas plus bergaya mengikuti trend jaman sekarang, salah satu contohnya adalah dengan menggunkan behel (kawat gigi) yang berwarna-warni padahal mereka sudah memiliki gigi yang bagus, dan diakui hanya untuk gaya saja. Juga dengan menggunakan barang-barang bermerk ke sekolah, seperti lain: jam tangan, dompet, tas, dan sepatu, dengan merk terkenal, seperti: Guess, Gucci, Crocodile, dan juga gadgetgadget terbaru. Salah satu bentuk perbedaan yang sangat menonjol dari sistem pendidikan RSBI yang diterapkan di SMA Negeri 1 Medan adalah terbaginya siswa menjadi dua kelas yakni RSBI Plus dan Reguler, sehingga tentunya diantara kedua kelas tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang sama. Fasilitas yang didapatkan kelas Plus jauh berbeda dengan fasilitas yang didapatkan oleh siswa kelas reguler. Kelas Plus yang dilengkapi dengan segala fasilitas yang dikatakan bertujuan untuk menunjang pembelajaran mereka, yakni dengan adanya peralatan yang canggih dan mutakhir di dalam kelas, sepert Laptop, Proyektor, Wifi, dan bahkan lengkap dengan AC dan juga toilet khusus bagi para siswa kelas plus, bahkan bangku yang berbeda dengan siswa reguler dimana siswa reguler memiliki bangku dari kayu sedangkan siswa plus memiliki bangku busa serta meja pribadi dan loker, serta dinding kelas yang lebih enak dipandang mata karena dihiasi dengan Wallpaper. Sekolah RSBI menjadi sebuah alat sebagai pengungkapan citra (objek) bagi para siswa RSBI Plus di SMA Negeri 1 Medan yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup mereka, yakni dalam hal pembentukan identitas diri dan status sosial mereka. Mereka senantiasa mempertontonkan gaya hidup mereka di ruang publik, terutama dalam hal ini adalah di dalam lingkungan sekolah. Seseorang masuk menjadi siswa RSBI Plus tidak semata-mata untuk menjadi pintar, tetapi juga ingin mempertontonkan citra diri dan gaya hidup sesuai dengan status sosial mereka dengan menggunakan berbagai simbol-simbol sosial. Perbedaan asilitas juga menyebabkan timbulnya permasalahan diantara para siswa. Hal ini memperlihatkan bahwa sekolah nampaknya lebih mementingkan alat dan fasilitas daripada proses. Padahal pendidikan adalah lebih mengutamakan proses daripada segala fasilitas dan peralatan. Dan dalam hal ini, internasionalisasi pendidikan lebih dipandang dari segi fasilitasnya bukan prosesnya. Pemaknaan Simbol Sosial Bagi Siswa Setiap siswa yang ada di SMA Negeri 1 Medan memiliki pendapat serta pemaknaan yang berbeda-beda mengenai simbol-simbol sosial yang dipergunakannya tersebut. Salah satu simbol yang paling dasar yang dimiliki oleh para siswa kelas plus adalah simbol logo siswa RSBI Plus yang menempel di baju mereka yang memberikan suatu keleluasaan bagi para siswa kelas plus untuk melakukan segala aktivitasnya, seperti untuk keluar masuk sekolah. Simbol sebagai seorang siswa RSBI plus juga membawa para siswa kelas plus kearah yang memudahkan mereka dalam meneruskan jenjang pendidikannya, yakni untuk melanjutkan pendidikan keluar negeri dengan adanya kurikulum internasional serta ijasah yang diakui di dunia internasional. Sedangkan bagi para siswa, penggunaan simbol-simbol sosial juga memiliki makna tersendiri bagi mereka, yakni sebagai simbol aktualisasi diri mereka di dalam kehidupannya sehari-hari, terutama di dalam lingkungan sekolah di SMA Negeri 1 Medan. Kompetisi yang terjadi di dalam lingkungan sekolah yang menerapkan program RSBI ini, yakni seperti yang ada di SMA Negeri 1 Medan adalah bukan lagi persaingan yang murni secara intelektual, tetapi lebih menjurus kepada persaingan gaya hidup para siswanya. Sarana maupun fasilitas di RSBI memang harus diperhatikan, namun lebih penting lagi adalah kualitas dari penopang sekolah itu sendiri yaitu kepala sekolah dan tentu saja guru. Dalam kenyataan di lapangan, RSBI lebih menonjolkan kemewahan fasilitas, ketimbang rangsangan meningkatkan kualitas. Program kelas RSBI Plus ini di lapangan ternyata menciptakan terjadinya kesenjangan sosial diantara para siswa yang berbeda kelas. Program ini menyebabkan para siswa yang tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih eksklusif, dan hal ini berdampak terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri 1 Medan, dikarenakan untuk menjadi siswa kelas plus hanya bisa dimasuki oleh para siswa yang berasal dari kelas menengah ke atas, hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan. Tingginya biaya pendidikan yang dikenakan pada orangtua dari siswa kelas plus di SMA Negeri 1 Medan menyebabkan tidak semua anak dapat memasuki kelas tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial di sekolah, dimana para siswa kelas plus merasa sebagai kelompok elit yang berbeda dengan siswa dari kelas reguler. Hal tersebut terlihat dari sikap para siswa kelas plus yang menggunakan simbol-simbol sosial dari cara berpenampilan dan penggunaan barang-barang bermerk untuk menunjukkan kelas sosialnya kepada siswa lainnya. Dan adanya pembedaan diantara kedua kelas tersebut juga tentunya dimanfaatkan oleh para siswa kelas plus untuk mempermudah aktivitasnya di sekolah, yakni untuk mempermudahnya keluas masuk kelas dan sekolah apabila ingin melakukan suatu hal penting, yakni hanya dengan menunjukkan simbol atributnya sebagai seorang siswa kelas plus. Pelaksanaan kelas RSBI tersebut juga berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, dimana seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Medan, dimana pemisahan antara siswa kelas plus dan reguler tersebut menimbulkan terjadinya pemisahan yang dapat menimbulkan kelompok sebagaimana yang diartikan sebagai segregasi. Program ini telah membuat segregasi yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi pada siswa yang RSBI Plus dan reguler, dimana kelas RSBI Pus memang mengenakan biaya yang tinggi pada para siswanya, akibatnya siswa yang kurang mampu tidak dapat masuk menjadi siswa kelas plus. Diskriminasi tersebut terjadi akibat adanya prasangka sosial di dalam masyarakat yang menciptakan munculnya stereotype di dalam dunia pendidikan, dimana stereotype yang berkembang di dalam masyarakat adalah sekolah RSBI merupakan sekolah "tempat orang kaya" sehingga mereka yang sebenarnya mampu bersaing dalam hal intelektual tetapi kurang mampu secara financial merasa minder untuk masuk RSBI. Seperti yang terjadi pada para siswa SMA Negeri 1 Medan, para siswa kelas reguler di menganggap bahwa para siswa yang berada di kelas plus merupakan kumpulan dari siswa-siswa yang memiliki ekonomi menengah ke atas, sehingga mereka kerap merasa berbeda dengan mereka, karena muncul anggapan bahwa kelas sosial dari para siswa kelas plus lebih tinggi dari siswa reguler. Kesadaran Terhadap Status Sosial Siswa Dengan adanya label yang dimilikinya mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Sekolah memungut dengan berbagai alasan, misalnya untuk membiayai kegiatan dalam rangka peningkatan sarana prasarana sekolah, peningkatan kualitas tenaga pengajar termasuk kesejahteraan tenaga pengajar, penyediaan sarana pembelajaran berbasis multi media, dan sebagainya. Dan celakanya, terkadang besaran dana sumbangan ini dapat menentukan, sebagai salah satu pertimbangan bagi sekolah dalam diterima/tidaknya calon siswa baru. Hal ini tentu menuntut biaya yang cukup besar, baik dari operasional sekolah maupun individu siswa, sehingga biaya yang dikeluarkan siswa cukup tinggi, bahkan untuk kelas RSBI Plus di SMA Negeri 1 Medan biaya per bulan mencapai satu rupiah. Fasilitas penunjang yang diperlukan juga harus dipenuhi, seperti laptop untuk tiap siswa, buku pelajaran standar nasional dan standar internasional, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, kelas RSBI dinilai hanya mampu melayani bagi kalangan menengah atas. Penyelenggaraan program RSBI ternyata membawa dampak negatif bagi terbukanya kesempatan dan hak setiap kalangan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Pembagian kelas yang ada di SMA Negeri 1 Medan menimbulkan segegasi dalam hal kualitas pendidikan. Dimana menyebabkan terjadinya dualisme penetapan standart pendidikan, yakni nasional dan internasional. Dengan diberlakukannya program RSBI ini, berbagai persoalan yang berhubungan dengan status sosial para siswa muncul, mulai dari pembiayaan yang harus ditanggung orangtua karena mahalnya biaya pendidikan, sampai kepada adanya pelabelan terhadap RSBI tersebut. Sistem RSBI memunculkan kasta diantara para siswa di SMA Negeri 1 Medan. Pendidikan bukan lagi bertujuan mensejajarkan seluruh masyarakat tanpa memandang status ekonomi tetapi justru menimbulkan terjadinya kelas sosial. Interaksi Dan Jarak Sosial Antara Siswa Yang menjadi faktor penghambat interaksi siswa antara lain, dikarenakan oleh sulitnya waktu yang dimiliki oleh para siswa kelas plus untuk bertemu dengan temantemannya dari kelas reguler dikarenakan oleh padatnya jadwal belajar mereka. Interaksi antara siswa juga dihambat oleh adanya pandangan negatif oleh siswa reguler kepada para siswa dari kelas plus, yang membuat hubungan diantara mereka tidak dapat berjalan dengan harmonis. Sedangkan untuk interaksi siswa dengan teman sesamanya, atau interaksi antar sesama siswa kelas plus tidaklah terdapat hambatan sama sekali, dikarenakan oleh waktu, lokasi, serta segala sistem pembelajaran yang mereka dapatkan memiliki kesamaan. Simbol-simbol sosial yang dipergunakan oleh para siswa timbul akibat adanya kesadaran terhadap status sosial yang mereka miliki, dan hal tersebut kemudian memberikan pengaruh terhadap pembentukan jarak dalam hubungan yang terjalin diantara siswa. Jarak sosial yang terlihat dengan adanya penggunaan simbol tersebut, antara lain menyebabkan terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dimana para siswa hanya mau menjalin hubungan dengan teman-teman yang sama dengannya, terutama dalam hal status sosial ekonominya. Bahkan untuk bergaul di luar sekolah saja juga terlihat jurang pemisah diantara kedua siswa berbeda kelas tersebut. Struktur Sosial yang Terbentuk Melalui Proses Interaksi Di dalam lingkungan sekolah, hubungan antara guru dan murid menjadi sebuah faktor yang sangat penting untuk dibina keharmonisannya untuk membantu dalam memperlancar proses belajar mengajar. Perlakuan khusus yang diberikan oleh para guru terhadap siswa kelas plus ternyata berdampak terhadap hubungan yang terjalin diantara para guru dan murid, dimana yang terbentuk adalah pola interaksi guru yang bersifat permisif dimana maksudnya dalam pengelolaan kelas guru untuk memberi kebebasan pada siswa untuk melakukan berbagai aktifitas sesuai dengan yang mereka inginkan. Dalam pendekatan ini peran guru adalah meningkatkan kebebasan siswa. Campur tangan guru dilakukan seminimal mungkin dan berperan sebagai pendorong mengembangkan potensi siswa secara penuh. Namun, yang paling utama dalam pendekatan ini adalah apa, kapan dan dimana guru hendaknya membiarkan siswa bertindak bebas sesuai dengan yang diinginkanya. Karena dengan memberikan kebebasan yang berlebihan akan membuat para siswa menjadi malas dan bertindak sesuai dengan keinginan mereka tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang ada. Akan tetapi ada yang berubah saat ini. Ada guru yang justru mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Mereka menjadi kurang dihormati oleh anak didiknya. Mendapatkan perlakuan yang kurang simpatik dari anak didiknya. Tidak diindahkan kata-katanya. Disepelekan nasihat dan saran-sarannya. Serta perlakuan jahil yang dilakukan anak didiknya. Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh tindakan permisif dari para guru, yakni hal tersebut menyebabkan guru cenderung tidak tegas dalam menjalankan peraturan kelas. Label yang diberikan oleh para guru terhadap para siswa kelas plus menyebabkan munculnya perasaan lebih di dalam diri para siswa kelas plus dibandingkan dengan para siswa kelas reguler. Dan hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menjadi penghambat bagi para siswa untuk berinteraksi. Siswa kelas plus merasa memiliki status yang lebih tinggi, sedangkan para siswa kelas reguler merasa lebih rendah dan menjadi minder untuk bergaul dengan para siswa kelas plus. Sehingga tidak terdapat titik temu diantara para siswa, dan hal tersebut terjadi diakibatkan oleh perbedaan perlakuan yang ditunjukkan oleh para guru terhadap kedua kelompok siswa tersebut. Sikap dari para guru yang membedakan menyebabkan para siswa memiliki pandangan negatif terhadap siswa lain, dimana kerap kali muncul rasa iri dari siswa reguler terhadap siswa kelas plus terhadap segala fasilitas dan kenyaman serta perlakuan yang mereka dapatkan dari pihak sekolah. Hal tersebut kemudian berdampak terhadap interaksi mereka sehingga menimbulkan ketidakharmonisan hubungan diantara para siswa kelas plus dan kelas reguler. Perbedaan yang cukup menonjol dari kedua jenis kelompok tersebut adalah pada masalah waktu belajar. Kelas plus memiliki waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan kelas reguler, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya permasalahan yang kedua, yakni hubungan yang kurang baik diantara siswa kelas plus dan kelas reguler dan muncul berbagai pandangan negatif dari siswa reguler kepada siswa kelas plus. Akibat hal tersebut para siswa kelas reguler menganggap para siswa kelas plus bersikap sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka dan juga menganggap para siswa kelas plus sok sibuk, seperti yang terungkap pada hasil wawancara dengan para siswa reguler. Namun, pada kenyataannya hal tersebut dikarenakan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh para siswa kelas. Hal tersebut terjadi karena karakteristik dan tuntutan yang berbeda diantara kedua kelas tersebut dalam sistem pembelajarannya. Peserta didik kelas plus seolah-olah menjadi kelompok eksklusif dan manunjukkan adanya kesenjangan dengan peserta didik reguler. Waktunya banyak digunakan untuk belajar dan sangat sedikit digunakan untuk bersosialisasi dengan siswa maupun kegiatan lain. Penyelenggaraan program RSBI juga memberikan dampak kepada para siswa, diantaranya padatnya tugas- tugas membuat siswa menjadi eksklusif dan kurang bersosialisasi dengan teman-teman reguler , sehingga seolah-oleh terlihat bahwa para siswa kelas plus bersikap asosial, meskipun masih terdapat sebahagian yang masih dapat bermain dengan teman dari reguler. Hal ini menyebabkan kurangnya solidaritas yang terbina diantara para siswa kelas plus dengan siswa reguler. KESIMPULAN Terdapat simbol-simbol sosial yang dipergunakan oleh siswa RSBI Plus di SMA Negeri 1 Medan, seperti simbol logo kelas RSBI Plus, cara berpakaian siswa plus yang lebih rapi, bergaya, dan mewah dari siswa reguler, dengan menggunakan barang-barang bermerk, selalu membawa laptop dan gadget yang lebih dari satu, serta transportasi mobil pribadi ke sekolah, serta berbagai fasilitas yang diberikan kepada para siswa. Kelas menjadi sebuah alat sebagai pengungkapan citra (objek) bagi para siswa RSBI Plus di SMA Negeri 1 Medan yang berfungsi sebagai juru bicara gaya hidup mereka, yakni dalam hal pembentukan identitas diri dan status sosial mereka dengan mempertontonkan gaya hidup mereka di ruang public. Hal tersebut terlihat dari sikap para siswa kelas plus yang menggunakan simbol-simbol sosial dari cara berpenampilan dan penggunaan barang-barang bermerk untuk menunjukkan kelas sosial nya kepada siswa lainnya. Kompetisi yang terjadi di dalam lingkungan sekolah yang menerapkan program RSBI ini, yakni seperti yang ada di SMA Negeri 1 Medan adalah bukan lagi persaingan yang murni secara intelektual, tetapi lebih menjurus kepada persaingan gaya hidup para siswanya. Proses interaksi diantara para siswa dan guru menciptakan suatu struktur yang terbentuk diantara mereka, yakni: Hampir setiap siswa kelas plus memiliki teman dari kelas Reguler, begitu pula sebaliknya. Namun, hubungan sosial yang terjalin antara siswa kelas plus dan reguler cenderung kurang baik, yang disebabkan oleh pandangan terhadap status sosial yang mereka miliki dan jam belajar mereka yang berbeda, sehingga waktu yang mereka gunakan sangat sedikit untuk bersosialisasi dengan siswa maupun kegiatan lainnya, yang menyebabkan kurangnya rasa solidaritas yang terbina diantara siswa. Perlakuan khusus yang diberikan oleh para guru terhadap siswa kelas plus ternyata berdampak terhadap hubungan yang terjalin diantara para guru dan murid, dimana yang terbentuk adalah pola interaksi guru yang bersifat permisif yang mengakibatkan berkurangnya wibawa para guru di hadapan siswa. RSBI sebagai sekolah unggulan dengan mengadopsi kurikulum luar negeri nyatanya justru menimbulkan kelas sosial di dalamnya. Program kelas RSBI Plus ini di lapangan ternyata menciptakan terjadinya kesenjangan sosial diantara para siswa yang berbeda kelas. Program ini menyebabkan para siswa yang tergolong kedalamnya menjadi terlihat lebih eksklusif, dan hal ini berdampak terhadap terjadinya kastanisasi di SMA Negeri 1 Medan. Pelaksanaan kelas RSBI berdampak pada terjadinya pengelompokan diantara para siswa, dan pengelompokan tersebut menimbulkan terbentuknya segregasi dalam sistem pendidikan di Negara kita, hal ini telah terjadi di SMA Negeri 1 Medan Saran-Saran Para siswa harus memahami bahwa pada dasarnya setiap siswa di dalam dunia pendidikan memiliki hak dan kedudukan yang sama, jangan memandang rendah siswa lain karena perbedaan status sosialnya dan para guru disarankan agar jangan menjadikan adanya perbedaan kelas antara siswa RSBI Plus dan Reguler ini alasan untuk membedakan perlakuan yang mereka berikan terhadap para siswa. Aspek pemerataan kesempatan dalam RSBI harus mendapat perhatian. Hal ini dimaksudkan agar RSBI tidak bersifat eksklusif, namun semua individu dari berbagai kelas sosial dapat menikmati fasilitas ini. Keberadaan RSBI jangan sampai sekedar simbol status bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya, seperti guru, orang tua serta peserta didik. Aspek pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan juga harus diperhatikan. Pemerintah harus memberikan akses seluas-luasnya kepada siswa dari segala lapisan ekonomi, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik khususnya dengan tingkat RSBI agar tercapainya rasa keadilan dan kesetaraan demi rasa kemanusiaan dan Pemerintah tidak seharusnya memasuki ranah yang dimainkan oleh sekolah swasta karena pemerintah itu sejatinya mengelola sekolah publik yang memang harus berciri publik dan bukan privat. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Bachtiar, Wardi M. S. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Bertrand, Alvin, L. 1980. Sosiologi. Surabaya: Pt. Bina Ilmu. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono. 1985. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers. Soleman, B. Taneko. 1990. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosial. Jakarta: Rajawali. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Zainur, Muhammad. 2007. Moral Pendidikan di Era Global. Malang. Averroes Press.