Diskusi Pasien merupakan neonatus kurang bulan (usia gestasi 34 minggu, berat lahir 1805 gram) yang mengalami distres napas saat lahir dan tersangka SNAD. Neonatus kurang bulan (NKB) didefinisikan sebagai neonatus yang lahir sebelum usia gestasi 37 minggu terhitung sejak hari pertama menstruasi terakhir.1 Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa angka kelahiran NKB di Indonesia adalah 11,1%.2 Prematuritas merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok usia di bawah 5 tahun dan penyebab kematian yang utama pada bulan pertama kehidupan. Dari tahun 1990 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan angka kejadian persalinan prematur dan Indonesia berada di peringkat kelima dalam deretan 10 negara yang berkontribusi dalam 60% persalinan prematur di dunia.3 Data dari laporan fetomaternal 2009 menunjukkan angka kelahiran neonatus kurang bulan di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebesar 25%.4 Penyebab kelahiran prematur sulit ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh satu faktor, tetapi sebagian besar merupakan akibat interaksi beberapa faktor. Persalinan prematur dapat dipicu oleh beberapa mekanisme, termasuk infeksi, inflamasi, iskemia atau perdarahan uteroplasenta, distensi uterus, stres, dan proses imunologis lain.5 Pada kasus ini, bedah kaisar dilakukan atas indikasi gawat janin dan infeksi intrapartum pada ibu. Infeksi intrapartum pada ibu ditandai dengan demam 7 hari, takikardi, ketuban pecah 28 jam dan berbau, serta keputihan dalam jumlah banyak. Permasalahan yang timbul pada NKB merupakan akibat dari imaturitas berbagai sistem organ. Imaturitas neurologis meningkatkan risiko perdarahan intraventrikuler dan apnu prematuritas, imaturitas surfaktan bermanifestasi sebagai distres napas serta imaturitas sistem imun meningkatkan risiko infeksi. Imaturitas sistem organ lainnya dapat mencakup sistem kardiovaskular, sistem hematopoesis, masalah metabolik seperti hiperbilirubinemia dan hipoglikemia, gangguan penglihatan dan pendengaran, serta masalah tumbuh kembang.6 Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.6 Berdasarkan patofisiologinya, sepsis neonatorum dibagi menjadi dua kategori yaitu sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan awitan lambat (SNAL). Sepsis neonatorum awitan dini adalah sepsis dengan waktu awitan kurang dari usia 72 jam dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari jalan lahir. Sepsis awitan dini seringkali merupakan salah satu faktor yang menimbulkan distres napas pada bayi baru lahir.7 Selain distres napas, bayi dapat diduga mengalami sepsis jika ditemukan penurunan kesadaran (letargis dan iritabilitas), instabilitas suhu (hipotermi atau hipertermi), gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi, pemanjangan CRT, sianosis, mottling, pucat), gangguan pernafasan (distres pernafasan, takipnu, apnu pada usia kurang dari 24 jam), gangguan metabolik (hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis metabolik), ikterus dan toleransi minum yang buruk.8 Faktor Risiko untuk terjadinya SNAD adalah: prematuritas, kolonisasi Group B Streptococcus pada jalan lahir, ketuban pecah dini lebih dari 18 jam dan gejala korioamnionitis pada ibu. Gejala korioamionitis sangat mungkin bila ibu demam (S>38 C) disertai 2 dari gejala-gejala berikut: leukosit ibu > 15.000 sel; ibu takikardi (HR> 100 x/mnt); janin takikardi (HR > 160 x/mnt); ketuban hijau, kental dan berbau serta nyeri di daerah rahim. [9. Risk factors for early-onset group B streptococcal disease in neonates: a population-based case–control study] Pada kasus ini, pasien menunjukkan gejala letargi, distres napas, dan ikterik yang sesuai dengan gambaran klinis sepsis. Faktor risiko sepsis neonatal pada pasien ini adalah prematuritas sedangkan faktor risiko infeksi dari ibu yaitu adanya korioamnionitis yang didukung oleh data klinis dan laboratorium. Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa darah perifer lengkap (melihat jumlah leukosit dan trombosit), hitung rasio netrofil imatur dibandingkan total (rasio I/T), CRP, dan prokalsitonin, serta kultur darah. Pemeriksaan penunjang pada pasien menunjukkan hemoglobin 13,6 g/dL, leukosit 11250/uL, rasio IT 0,07 (hari pertama), CRP 0,1 mg/L dan peningkatan petanda infeksi yaitu prokalsitonin 0,16 ng/mL (usia 3 hari). Prokalsitonin merupakan petanda sepsis yang lebih baik daripada CRP, rasio I/T, maupun hitung leukosit. Sensitivitas PCT untuk mendeteksi sepsis 92,8%, dan spesifisitas 75%, lebih tinggi dibandingkan CRP (sensitivitas 50%, spesifisitas 69,4 %), rasio I/T (sensitivitas 14,25%), dan hitung leukosit (sensitivitas 14,25%).9 Biakan darah pada pasien menunjukkan hasil steril. Studi yang dilakukan di suatu ruamh sakit tersier di India terhadap hasil biakan darah pada pasien sepsis neonatorum menunjukkan bahwa dari seluruh subjek hanya didapatkan 42% biakan darah yang positif, namun pasien tetap didiagnosis sebagai sepsis neonatorum. [10. Bacteriological Analysis of Blood Culture Isolates from Neonates in a Tertiary Care Hospital in India]. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pasien yang memiliki faktor risiko dan tanda infeksi yang jelas tetapi tidak tumbuh koloni pada biakan darah. Tata laksana sepsis neonatorum meliputi tata laksana antibiotik dan suportif. Tata laksana antibiotik bertujuan untuk mengeliminasi kuman penyebab. Sebelum mikroorganisme penyebab diketahui dari biakan darah, terapi empiris diberikan sesuai pola kuman dan resistensi. Terapi definitif ditentukan selanjutnya berdasarkan hasil biakan.10,11 Penggunaan antibiotika pada neonatus sebaiknya dilanjutkan selama 48-72 jam sambil menunggu hasil biakan darah pada pasien tersangka sepsis. Sampai adanya bukti, rekomendasi pemberian antibiotika selama 10-14 hari dapat digunakan bila didapatkan sepsis dengan biakan darah positif tanpa meningitis.12 Pasien pada kasus ini mendapatkan antibiotika lini ke-3 sejak awal yaitu meropenem karena tanda-tanda infeksi intra uterin yang sudah jelas. Durasi pemberian antibiotika untuk kuman gram positif dianjurkan 10-14 hari sedangkan untuk kuman gram negatif minimal 21 hari.10,11 Untuk bayi prematur dengan hasil biakan steril, waktu penghentian antibiotik masih kontroversial. Keputusan untuk mengganti atau menambah antibiotik harus mempertimbangkan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan penunjang sebagai alat bantu. Variasi mikroorganisme penyebab dan kepekaan terhadap antibiotika dapat berbeda pada setiap NICU dan dapat berubah seiring berjalannya waktu pada unit yang sama. Untuk itu diperlukan surveilans pasien yang terinfeksi dan kepekaan antibiotik terhapa mikroorganisme penyebab untuk menentukan regimen antibiotik empiris. Mikroorganisme penyebab infeksi neonatus tersering di RSCM berdasarkan data biakan darah Januari-Juni 2011 adalah: Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloaca, Kandida tropicalis, Klebsiela pneumoniae. Mikroorganisme tersebut memiliki kesamaan dengan senter tersier di Turki dan India.[11,12] Kombinasi golongan penisilin dan gentamisin dapat dipilih sebagai antibiotik lini pertama pada infeksi yang dipikirkan berasal dari komunitas. Pada unit perawatan dengan tingkat resistensi yang tinggi seperti RSCM, mikroorganisme seperti Klebsiella, basil gram negatif dan pseudomonas seringkali ditemukan. Untuk itu pemakaian kombinasi golongan piperasilin-tazobaktam dan amikasin memberikan luaran yang baik. Golongan sefalosporin masih memiliki sensitivitas yang baik terhadap Klebsiella tetapi jarang digunakan karena mudah menimbulkan mikroorganisme extended spectrum beta-lactamase (ESBL). Meropenem merupakan antibiotika lini ketiga yang sensitif terhadap mikroorganisme Gram negatif dan positif, termasuk methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Meropenem sebaiknya diberikan berdasarkan hasil biakan darah tetapi pada pasien tetap diberikan sebagai terapi de-eskalasi. Terapi ini adalah mekanisme pemberian antibiotik lini tertinggi sebagai terapi awal, biasanya karena sepsis berat, sementara menghindari pemakaian antibiotik yang tidak dibutuhkan dan berisiko meningkatkan resistensi. Antibiotik akan diganti dengan spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil uji sensitivitas antibiotik dan reson klinis serta akan segera dihentikan apabila klinis perbaikan dan hasil biakan steril. [13,14] Antibiotika pada pasien ini telah diberikan selama 6 hari dan ditambahkan dengan amikasin karena terdapat perburukan klinis berupa instabilitas suhu, muntah dan perdarahan merah segar dari OGT. Tata laksana suportif yang diberikan pada pasien meliputi asuhan nutrisi, transfusi tukar dan transfusi albumin. Pada bayi sepsis dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, nutrisi diberikan secara parenteral total. Pemberian nutrisi parenteral total harus mempertimbangkan kebutuhan kalori, akses pemberian, jenis preparat dan pemantauan. Transfusi tukar Sindrom gawat napas (SGN) merupakan diagnosis klinis pada bayi prematur dengan distres napas, meliputi takipneu (>60x/menit), retraksi dada, dan sianosis pada udara ruangan yang menetap atau progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan, dan ditandai oleh gambaran radiologis yang khas (pola retikulogranular dan peripheral air bronchogram). Perjalanan penyakit bergantung pada ukuran bayi, beratnya penyakit, penggunaan terapi pengganti surfaktan, adanya infeksi, derajat pirau aliran darah pada duktus arteriosus persisten, dan adanya penggunaan alat bantu ventilasi saat awal.6 Faktor predisposisi untuk terjadinya SGN yaitu prematuritas, kelahiran secara bedah kaisar, asfiksia, diabetes maternal, hipertensi maternal, familial disposition, kehamilan multipel, hipotermi, malnutrisi, hemolytic disease of the newborn. Diagnosis banding dari SGN yaitu transient tachypneu of the newborn (TTN), yaitu sindrom distres napas pada neonatus cukup bulan atau mendekati cukup bulan akibat gangguan bersihan cairan paru janin setelah lahir yang dapat membaik sendiri. Gejalanya meliputi takipneu, hipoksia ringan dan distres pernapasan. Umumnya membaik dalam 72-96 jam.13 Pada kasus ini didapatkan faktor risiko yaitu prematuritas, kelahiran secara bedah kaisar, dan faktor risiko infeksi pada ibu. Kondisi distres napas pada kasus berangsur membaik dalam waktu 8 jam setelah pemberian CPAP, dan pada gambaran ronsen toraks tidak ditemukan adanya infiltrat maupun gambaran yang mengarah pada RDS, sehingga diagnosis distres napas pada pasien lebih sesuai untuk TTN. Hiperbilirubinemia adalah keadaan yang umum terjadi pada bayi, dengan insidens 60–80%. Sumber bilirubin yang utama adalah penghancuran hemoglobin. Neonatus late preterm seperti pada kasus ini memiliki faktor risiko 5,7 kali mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan neonatus dengan umur kehamilan 39-49 minggu.14 Pada bayi prematur peningkatan bilirubin disebabkan oleh jumlah eritrosit yang lebih banyak dan umur eritrosit yang lebih singkat, sedangkan proses ambilan bilirubin oleh sel hati dan proses konjugasi belum matur. Proses penghancuran sel darah merah yang cepat, diperberat dengan kondisi infeksi, hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hemolisis, menyebabkan produksi bilirubin meningkat tanpa diimbangi dengan kemampuan ekskresi yang baik. Puasa pada awal kehidupan bayi prematur juga meningkatkan siklus enterohepatik sehingga ikut berkontribusi pada kondisi hiperbilirubinemia.6 Pada pasien ini faktor risiko yang mungkin menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia adalah prematuritas dan infeksi. Pasien tampak ikterik sejak usia 48 jamdan saat itu hasil pemeriksaan bilirubin total 7,7 mg/dL, lebih tinggi dari ambang batas terapi sinar (panduan pemberian terapi sinar dapat dilihat pada tabel 4), namun saat itu belum dilakukan terapi sinar. Pada usia 4 hari kuning tampak bertambah (Kramer III) dan diputuskan untuk melakukan terapi sinar sambil dilakukan pemeriksaan bilirubin ulang (terapi sinar blind). Didapatkan peningkatan kadar bilirubin saat itu (bilirubin total 13,5 mg/dL). Tabel 1. Rekomendasi terapi hiperbilirubinemia pada bayi prematur yang sehat dan sakit6[AAP] Usia (Jam) Kadar Bilirubin serum (mg/dL) BL < 1500 gram BL 1500-2000 gram BL > 2000 gram < 24 jam 4 4 5 24-48 jam 5 7 8 49-72 jam 7 9 12 > 72 jam 8 10 14 Penilaian ikterus secara visual seringkali digunakan untuk memutuskan terapi sinar pada pasien padahal akurasi metode tersebut belum terbukti. Sebuah studi di Spanyol15 menunjukkan korelasi antara indeks Kramer dengan bilirubin serum namun penelitian lain oleh Szabo menunjukkan Kramer tidak akurat untuk memperkirakan kadar bilirubin serum karena banyak dipengaruhi faktor subjektivitas, terang/gelapnya ruangan saat menilai ikterus, warna kulit, dan sebagainya.15 Jika fasilitas laboratorium tersedia, bilirubin serum sebaiknya diperiksa untuk mendapatkan kadar bilirubin serum yang sebenarnya sebelum terapi sinar dimulai, dan untuk evaluasi pasca-terapi. Hingga saat ini fototerapi masih merupakan terapi utama pada kasus ikterus neonatorum. Fototerapi dengan panjang gelombang 400-500 nm dengan sinar biru dianggap paling efektif dalam menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum.6,16 Serum albumin merupakan plasma protein terbanyak dan disintesis secara esklusif di hati. Albumin memiliki banyak fungsi termasuk mempertahankan tekanan koloid osmotik, sebagai buffer, transpor dari bilirubin, toksin uremik, forfirin, asam lemak, logam, kortisol, tiroksin, endotoksin, obat-obatan, dan nitric oxide endogen. Lebih lanjut lagi, albumin merupakan antioksidan yang memiliki peranan penting dan memiliki peranan dalam kesintasan neuron saat perkembangan. Albumin merupakan protein pengikat utama pada neonatus. Fungsi ini sangat vital pada bayi kurang bulan dengan sakit kritis. Rendahnya produksi albumin akan menurunkan transpor dan kapasitas ikatan. Hal ini terutama ditemukan pada bayi prematur, dimana ikatan terhadap produk yang memiliki potensial toksik seperti bilirubin dan antibiotik. Sintesis albumin meningkat seiring dengan meningkatnya usia gestasi dan berat badan. Bayi kurang bulan menunjukkan nilai normal serum sebesar 2 g/dL yang akan meningkat sebesar 15% dalam 3 minggu pertama kehidupan. Pada penelitian Bunt dkk, didapatkan kapasitas sintesis hati sudah terbentuk baik pada bayi dengan berat lahir rendah dan pemberian kortikosteroid cenderung meningkatkan sintesis albumin. Penurunan kenaikan berat badan dalam uterus memiliki efek terhadap sintesis protein post-natal.4 Pemberian albumin intravena diindikasikan untuk mengatasi oliguria dan edema atau hiperbilirubinemia pada bayi dengan sakit kritis dengan kadar plasma lebih rendah dari 1-2 g/dL. Kadar plasma albumin tidak hanya dipengaruhi oleh volume plasma dan kecepatan keluaran transkapiler, namun juga dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Rendahnya kecepatan sintesis pada bayi prematur dengan sakit kritisdapat berasal dari imaturitas jalur sintesis hepatik, status nutrisi suboptimal, dan terbatasnya substrat yang tersedia.4 Pemberian albumin dengan dosis 1 g/kg berat badan disarankan sebelum tindakan transfusi tukar, terutama pada kadar albumin rendah ( < 3 g/dL), namun saat ini belum ada bukti kuat untuk mendukung terapi ini. Terdapat perhatian terutama pada bayi prematur terhadap pemberian albumin, antara lain peningkatan volume intravaskular, peningkatan kebocoran alveolar dan gangguan kardiopulmoner.1 Pada kondisi sepsis, trauma atau operasi besar, kadar albumin dapat menurun menjadi sebesar 1-1,5 g/dL dalam 3-7 hari. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan perpindahan albumin dari ruang intravaskular ke ruang interstisial dan merupakan peran penting terjadinya hipoalbuminemia. Saat ini kurang bukti yang mendukung terhadap pemberian albumin secara rutin pada bayi prematur yang memiliki nilai albumin rendah.4 Tabel 1. Konsentrasi serum albumin menurut usia gestasi5 Kadar normal albumin pada bayi prematur sebaiknya dinilai berdasarkan usia gestasi. Pada penelitian sebelumnya dianjurkan pemberian albumin pada bayi dengan kadar albumin kurang dari 2 g/dL, namun saat ini direkomendasikan untuk lebih berhati-hati dalam memberikan albumin karena dapat membahayakan bayi. Pemberian albumin intravena berhubungan dengan penurunan berat badan pada bayi baru lahir secara signifikan, namun tidak terdapat hubungan dengan perubahan status respirasi. Kelebihan (overload)cairan merupakan efek samping lainnya terhadap pemberian albumin, serta albumin meruakan produk darah sehingga dapat memberikan risiko potensial terhadap terjadinya infeksi dan reaksi transfusi. Kadar albumin rendah berhubungan dengan kejadian distres napas, retinopathy of prematurity, dan apneu of prematurity.5 Tidak ada bukti bahwa pemberian albumin menurunkan risiko mortalitas pada anak dengan sakit kritis dengan luka bakar dan hipoalbuminema.6 Saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung pemberian albumin secara rutin pada bayi prematur dengan kadar albumin rendah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta tidak ada bukti bahwa pemberian albumin berhubungan dengan efek samping signifikan.3 Daftar Pustaka 1. Bhutani KV, Wong JR. Bilirubin neurotoxicity in preterm infants: risk and prevention. J Clin Neonatol. 2013;2: 61–69. 2. Boldt J. Use of albumin: an update. Br J Anaesth. 2010;104:276–84. 3. Jardine LA, Marsh JS, Davies WM. Albumin infusion for low serum albumin in preterm newborn infants. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(3):CD004208;5. 4. Bunt JE, Rietveld T, Schierbeek H, Wattimena D, Zimmermann LJ, Goudoever JB. Albumin synthesis in preterm infants on the first day of life studied with [1-13C] leucine. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 207;292:G1157–161. 5. Lee M, Youn S, Lim BK, Kim JS. Seru albumin concentration and clinical disorders by gestational ages in preterm babies. Korean J Pediatr. 2005;48: 148-153. 6. Roberts I, Blackhall K, Alderson P, Bunn F, Schierhout G. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev. 2011;(11):CD001208. Pada saat lahir, nilai normal hemoglobin dari vena sentral pada bayi dengan usia gestasi >34 minggu adalah 14-20 g/dL, dengan nilai rata-rata 17g/dL. Bayi prematur memiliki nilai hemogolobin yang lebih rendah. Pada bayi cukup bulan yang sehat, nilai hemoglobin akan bertahan sampai usia tiga minggu kehidupan, dan kemudian akan menurun hingga mencapai nilai 11g/dL pada usia 8-12 minggu. Hal ini dikenal sebagai anemia fisiologis pada bayi. Pada bayi prematur, penurunan terlihat lebih cepat, mencapai nilai 7-9 g/dL pada usia 4-8 minggu. Anemia pada bayi prematur ini berkaitan dengan kombinasi antara penurunan jumah sel darah merah saat lahir, kehilangan darah secara iatrogenik saat pengambilan sampel darah, waktu hidup sel darah merah yang lebih singkat, produksi eritropoetin yang inadekuat, serta pertumbuhan badan yang cepat.6,17,18 Oleh karena penurunan yang cepat dari kadar hemoglobin yang terjadi pada banyak bayi prematur berkaitan dengan kondisi dan gejala klinis yang abnormal, anemia pada bayi prematur tidak dianggap sebagai kondisi yang fisiologis. Beberapa studi melaporkan bahwa kadar hemoglobin antara 6-8 g/dL pada bayi prematur berkaitan dengan penurunan berat badan, apnu, peningkatan denyut jantung dan frekuensi napas, dan peningkatan konsumsi oksigen. Pedoman pemberian transfusi pada bayi prematur dengan anemi masih kontroversial dan bervariasi sesuai dengan kebijakan setempat. Pemberian transfusi berulang sedapat mungkin dihindari untuk mencegah terjadinya efek samping terkait transfusi. Efek samping tersebut berupa infeksi, kelebihan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, hemolisis, gangguan metabolik, kadar besi yang berlebih, dan peningkatan stres oksidatif (dapat menyebabkan retinopati). Sebagian besar klinisi menggunakan kriteria Shannon sebagai pedoman transfusi sel darah merah pada bayi prematur yaitu: Bayi dengan kebutuhan FiO2 > 35% dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan positif dengan mean airway pressure lebih dari 6 cm H2O. Bayi dengan kebutuhan FiO2 < 35 % dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan positif dengan mean airway pressure kurang dari 6 cm H2O, disertai apne dan brakikardi, takikardi (>180x/menit), frekuensi napas > 80x/menit, peningkatan berat badan < 10g/hari selama 4 hari, atau sepsis. Hematokrit < 20%. Sumber: [Tata laksana bayi prematur di ruang perawatan intensif, PKB] Pada kasus ini anemia ditandai dengan penurunan Hb dari 13 g/dL menjadi 8 g/dL dan adanya kondisi sepsis sehingga dilakukan pemberian transfusi darah untuk menangani anemia Infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi premature. Asam lambung merupakan mekanisme pertahanan non imun utama untuk melawan infeksi. Terapi dengan penghambat sekresi asam lambung menyebabkan ketidakmampuan untuk eliminasi berbagai pathogen yang tertelan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat ini memfasilitasi onset terjadinya infeksi pada anak dan dewasa. Terdapat bukti ilmiah penggunaan histamine-2 reseptor bloker (H2 bloker) dan proton pump inhibitor pada neonates meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan enterokolitis nekrotikans (NEC). Aktivasi reseptor H2 memicu produksi sitokin inflamasi dan mengganggu keseimbangan Th1-Th2, yang memicu ketidakmampuan untuk mengontrol infeksi dan inflamasi pada area intestinal. Indikasi tersering penggunaan inhibitor asam lambung adalah sebagai profilaksis atau terapi stress ulcers dan refluks gastroesofageal (GERD), namun efikasinya pada neonates masih diperdebatkan. Risiko terjadinya NEC 6,6 kali lebih tinggi pada BBLSR (IK 95% 1,725,0, p=0,003) dibandingkan kelompok subjek. Angka mortalitas yang lebih tinggi secara singnifikan didapatan pada neonates yang menggunakan ranitidine (9,9% vs 1,6% p=0,003). (Loe..) Sehingga penggunaan ranitidine pada bayi premature harus berhati-hati karena adanya risiko untuk terjadinya infeksi yang berat, NEC, dan luaran yang fatal.1 Pada kasus ini perdarahan saluran cerna dipikirkan merupakan bagian dari sepsis, pemikiran ke arah gangguaan koagulasi belum ditemukan ditandai dengan nilai trombosit dalam batas normal. Terapi untuk mengatasi perdarahan saluran cerna yaitu eradikasi infeksi dan pasien dipuasakan. [Terrin G, Passariello A, Curtis MD, Manguso F, Salvia G, Lega L, dkk. Ranitidine is associated with infections, necrotizing enterocolitis, and fatal outcome in newborns. Pediatrics. 2012;129:e40]. Daftar Pustaka 1. Stoll BJ, Chapman IA. The high risk infant. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2004. h.705-9. 2. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010. 2010. 3. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard MZ, Say L, Moller AB, dkk. 15 million preterm births priorities for action based on national, regional and global estimates. Dalam: World Health Organisation, penyunting. Born too soon, the global action report on preterm birth. Edisi ke-Geneva: WHO press; 2012. h.16-32. 4. Divisi Perinatologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Laporan fetomaternal 2009. RSCM. 2009. 5. Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet. 2008;371:75-84. 6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures, oncall problems, diseases and drugs. 2009;6. New York, McGraw Hill Lange. 7. Chacko B, Sohi I. Early onset neonatal sepsis. Indian J Pediatr. 2005;72:26. 8. Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari Pediatri. 2000:96-102. 9. Sucilathangam G, Amuthavalli K, Velvizhi G, Ashihabegum NA, Jeyamurugan T, Palaniappan N. Early diagnosis markers for neonatal sepsis: comparing procalcitonin (PCT) and C-reactive protein (CRP). J Clin Diag Res. 2012;6:627-31. 10. Polin RA, Committee on fetus and newborn. Management of neonates with suspected or proven early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2012;129:1006-15. 11. Aminullah A. Sepsis padabayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h.170-87. 12. Sivanandari S, Soraisham AS, Swamam K. Choice and duration of antimicrobial therapy for neonatal sepsis and meningitis. Int J Pediatr. 2011:1-9. 13. Stroustrup A, Trasande L, Holzman IR. Randomized controlled trial of restrictive fluid management in transient tachypnea of the newborn. J Pediatr. 2012;160:38-43. 14. Bhutani VK. Late preterm births: najor cause of prematurity and adverse outcomes of neonatal hyperbilirubinemia. Indian Pediatr. 2012;49:704-5. 15. Acosta-Torres SM, Torres-Espina MT, Coline-Araujo JA, Colina-Chourio JA. Usefullness of the Kramer's index in the diagnosis of hyperbilirubinemia of the newborn. Invest Clin. 2012;53:148-56. 16. Maisels MJ, Watchko JF, Bhutani VK, Stevenson DK. An approach to the management of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35 weeks of gestation. J Perinatol. 2012:1-5. 17. Widness JA. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of neonatal anemia. Neo Rev. 2000;1:61-8. 18. Strauss RG. Anemia of prematurity: pathophyiology and treatment. Blood Rev. 2010;24:221-5.