Kasus Panjang

advertisement
LAPORAN KASUS PANJANG
Neonatus Kurang Bulan Sesuai Masa Kehamilan dengan Atresia Duodenum,
Pneumonia Aspirasi, Sepsis Neonatorum Awitan Lambat, dan Gagal Tumbuh
Nama Kandidat
Abdullah Reza
Evaluasi Nasional Terpusat
Semarang, 20-21 Februari 2016
KOLEGIUM ILMU KESEHATAN ANAK INDONESIA
`0
DIAGRAM WAKTU PEMERIKSAAN
8 Januari 2016
Pasien mulai
dirawat di
Instalasi Gawat
Darurat (IGD)
Bayi RS I
9 Januari 2016
16 Januari 2016
21 Februari 2016
Pemeriksaan dan
pemantauan awal
oleh kandidat
dimulai
Pemeriksaan dan
pemantauan akhir
oleh kandidat
selesai
Pelaporan hasil
pemeriksaan
dan
pemantauan
oleh kandidat
`1
STATUS PASIEN EVALUASI NASIONAL
Minggu, 21 Februari 2016
Nama peserta ujian: Abdullah Reza
IDENTITAS PASIEN
IDENTITAS ORANG TUA
Nama
: By. A
Nama ayah
: Tn. B
Jenis kelamin
: Lelaki
Usia ayah
: 48 tahun
Usia
: 11 hari
Pendidikan
: SMA
Tanggal lahir
: 29 Desember 2015
Pekerjaan
: Sopir Angkot
Alamat
: Kota C
Nama ibu
: Ny. D
No. Rekam Medis
: 40E-F8-2G
Usia
: 25 tahun
Tanggal masuk RS
: 8 Januari 2016
Pendidikan
: SD
Lama rawat
: 31 Hari
Pekerjaan
: Pedagang Makanan
Biaya Pengobatan : Jaminan Kesehatan Nasional
Pasien diterima oleh peserta tanggal 9 Januari 2016
ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan ibu pasien, Bidan J dan rekam medis RS H)
Keluhan Utama
Muntah hijau berulang sejak usia dua hari.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelas hari sebelum masuk RS, pasien lahir spontan di Bidan J dari ibu G3P2A0. Berat lahir
(BL) 2600 gram, panjang lahir (PL) 45 cm, lingkar kepala (LK) 30 cm, usia gestasi (UG)
berdasarkan skor Ballard sesuai dengan 34 minggu, dengan nilai skor APGAR 9 dan 10
(menit pertama dan menit ke lima). Saat lahir pasien langsung menangis kuat, dilakukan
perawatan rutin, penyuntikan vitamin K dan inisiasi menyusui dini (IMD). Air ketuban
dikatakan jernih, jumlah cukup. Tidak ditemukan riwayat ketuban pecah dini, serta demam
sebelum melahirkan, keputihan yang berbau dan banyak pada ibu sebelum bersalin. Pasien
Buang Air Kecil (BAK) usia pada 12 jam dan Buang Air Besar (BAB) pada usia 24 jam.
Pasien minum air susu ibu (ASI) dengan menetek langsung, setiap menetek 15-20 menit, dan
selalu menetek setiap 2-3 jam.
`2
Sejak usia 2 hari, terdapat muntah, muncul saat menetek, muntah berwarna kehijauan. Dalam
satu hari, muntah berulang tiap 4 – 6 jam, berwarna kehijauan, setelah menetek?. Pasien BAB
2-3 kali perhari dan BAK 4-5 kali perhari. Pasien tetap aktif, menyusu baik, dan menangis
kuat. Perut pasien tidak tampak semakin besar, dan tidak teraba tegang.
Usia 4 hari, keluhan muntah semakin sering, selalu berwarna kehijauan, BAB tidak ada, dan
BAK 3-4 kali perhari berwarna kuning pekat. Perut pasien tampak membesar dan teraba
tegang. Terdapat demam, namun suhu tidak diukur, pasien tampak lebih gelisah, menurut ibu
napas tidak terlihat cepat dan tidak cekung pada dada ketika pasien bernapas. Orangtua
membawa pasien ke rumah sakit (RS) H. Pemeriksaan fisis di RS H menunjukkan pasien
terdapat dehidrasi (berat badan turun menjadi 2.400 gram, ubun-ubun besar cekung), sesak,
dan demam (suhu 38,7 C). Pemeriksaan Rontgen baby gram yang dilakukan menunjukkan
gambaran double bubble dan udara usus tidak sampai distal. Pasien didiagnosis dengan
atresia duodenum. Pasien dipuasakan dan dilakukan pemasangan pipa orogastrik (OGT)
untuk dekompresi. Pasien mendapatkan terapi rehidrasi dengan NaCl 0,9%, diberikan
oksigen nasal kanul 2 lpm, antibiotik intravena amoksisilin-klavulanat dan gentamisin, serta
nutrisi melalui total parenteral nutrition (TPN).
Pasien dirawat di RS H sampai berusia 11 hari. Selama perawatan sesak pasien berkurang,
muntah kehijauan tidak ada, cairan OGT masih berwarna kehijauan (produksi 5-10 mL/hari),
BAB tidak ada, dan BAK 3-5 mL/kg/jam. Pasien direncanakan untuk mendapatkan protein
dan lipid pada cairan TPN, namun orangtua menolak karena alasan belum memiliki asuransi
kesehatan, akhirnya pasien hanya mendapatkan cairan dekstrosa 10% dengan total cairan
akhir 150 mL/kg/hari.
Pada usia 11 hari, setelah memiliki asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pasien
dirujuk ke dari RS H ke RS I, dengan waktu tempuh 4 jam menggunakan ambulans. Pasien
dipindahkan menggunakan metode transport kangguru, tidak menggunakan oksigen, dan
menggunakan akses vena perifer. Selama di perjalanan, akses vena perifer terlepas dan pasien
muntah.
`3
Setibanya di RS I, pasien tampak sesak dengan skor Downe 4 (napas cepat 70 kali permenit,
air entry terganggu, retraksi epigastrium ringan, merintih dapat didengar dengan stetoskop,
tidak tampak sianosis), saturasi oksigen 80%-84%, laju nadi 190 kali per menit, reguler, isi
kurang, perfusi yang memanjang lebih dari 2 detik dan suhu aksila 36,9 OC. Berat badan saat
datang 1.600 gram. Pasien dihangatkan, diposisikan dan dilakukan pembersihan jalan napas,
kemudian diberikan suplementasi oksigen continuous positive airway pressure (CPAP) nasal
prong dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) 7 mmHg dan fraksi oksigen inspirasi
(FiO2) 30 %, bolus inisial NaCl 0,9% sebanyak 2 kali 10 mL/kg/kali .
Setelah stabil, pasien sadar dengan laju nadi 135 kali per menit (reguler, isi cukup), laju napas
44 kali per menit (tidak didapatkan retraksi), saturasi oksigen 95% dan suhu aksila 36,8°C.
Kepala tidak memiliki deformitas dan ubun-ubun besar (UUB) datar. Pada pemeriksaan
jantung, paru, tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan abdomen tampak membuncit lemas.
Perfusi perifer pada keempat ekstremitas cukup. Skor Ballard sesuai usia gestasi 34 minggu.
Hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) 105 mg/dL.
Pasien didiagnosis sebagai neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB SMK,
gestasi 34 minggu, BL 2.600 gram), sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL), pneumonia
neonatal, gizi buruk, syok hipovolemik, dan ileus obtruktif letak tinggi. Pasien dipuasakan,
antibiotik diganti menjadi piperasilin-tazobaktam dan amikasin dosis sepsis intravena,
dipasang selang orogastrik (OGT), dan diberikan nutrisi parenteral total. Pemberian
suplementasi oksigen dengan CPAP PEEP 7 FIO2 30% dilanjutkan.Dilakukan rontgen
thoraks dengan hasil perselubungan di paru kanan atas
Pasien diterima oleh kandidat pada hari kedua perawatan (usia 12 hari). Saat diterima, pasien
aktif, tidak didapatkan instabilitas suhu, sesak berkurang, nutrisi parenteral, produksi OGT
kehijauan 7 mL, BB 1800 g, diuresis normal. Pasien direncanakan laparotomi eksplorasi
dalam anestesi umum. Pasien diberikan TPN lengkap yang terdiri dari karbohidrat, protein,
dan lipid dengan total cairan setiap harinya 150 mL/kg/hari.
`4
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kelahiran prematur disangkal.

Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.

Riwayat asma dan atopi disangkal.

Riwayat hamil lebih besar dari biasanya disangkal.
Kesan: riwayat kelahiran prematur dan polihidramnion tidak ditemukan.
Riwayat Kehamilan
Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari kehamilan yang direncanakan. Ibu pasien
rutin memeriksakan kehamilannya setiap bulan ke Bidan J. Hari pertama haid terakhir ibu
pasien pada bulan 15 April 2015 sedangkan taksiran partus jatuh pada bulan 22 Februari
2016. Selama hamil hanya mengonsumsi obat-obatan berupa vitamin yang diberikan oleh
bidan. Asupan nutrisi selama kehamilan terkesan cukup, kenaikan BB ibu 13 kg sampai akhir
kehamilan. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) di dokter spesialis kandungan pada usia
kehamilan 22 minggu menunjukkan polihidramnion, namun karena tanpa kelainan struktural
janin dan tanpa risiko komplikasi saat kelahiran, ibu pasien dirujuk balik untuk melahirkan di
Bidan J.
Kesan: Ibu pasien memiliki risiko lahir prematur berupa polihidramnion.
Riwayat Nutrisi
Sejak lahir pasien minum air susu ibu (ASI) setiap 3 sampai 4 jam, setiap menetek 15-20
menit, namun terdapat muntah setiap 4-6 jam. Selama perawatan di RS H, pasien
mendapatkan nutrisi parenteral berupa larutan dektrosa 10% sebanyak 280 mL/harI (120
mL/kg/hari) -420 mL/hari (175 mL/kg/hari), dengan 40 kalori/kg/hari – 60 kalori/kg/hari,
tanpa protein dan lipid.
Kesan: Nutrisi enteral dan parenteral pada pasien jauh dari kebutuhan tumbuh kembang.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan
Pasien lahir dengan BL 2600 gram, PL 45 cm. Pada usia 4 hari, BB 2400 gram. Pada usia 12
hari, berat badan (BB) 1800 gram, panjang badan (PB) 46 cm.
`5
Kesan: Terdapat gagal tumbuh.
Perkembangan
Kesan: Perkembangan belum dapat dinilai.
Riwayat Imunisasi
Saat lahir pasien mendapat imunisasi Hepatitis B dan Polio.
Kesan: Sudah mendapatkan imunisasi sesuai jadwal.
Riwayat Sosial Ekonomi dan Kondisi Lingkungan
Ibu berusia 25 tahun, beragama Islam, suku Jawa, berpendidikan sekolah dasar (SD) dan
seorang pedagang makanan. Ayah berusia 48 tahun, beragama Islam, suku Padang,
berpendidikan sekolah menengah atas (SMA) dan bekerja sebagai sopir angkot. Keluarga
pasien berasal dari golongan ekonomi rendah. Penghasilan perbulan antara dua juta rupiah
sampai dengan empat juta rupiah.
Biaya pengobatan awalnya menggunakan biaya pribadi saat di Bidan J dan RS H, saat ini
menggunakan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Pasien tinggal dalam sebuah rumah kontrakan, ukuran 6 x 8 meter dengan dua kamar tidur
dan satu kamar mandi. Terdapat satu jendela di depan rumah sebagai ventilasi dan sumber
masuk cahaya matahari dan dua pintu di depan dan belakang rumah. Lantai terbuat dari ubin
keramik, dinding dari tembok dan atap genting. Sumber air bersih untuk MCK berasal dari
sumur di luar rumah sedangkan air minum berasal dari air kemasan galon isi ulang. Fasilitas
listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Akses dari rumah ke pelayanan kesehatan
terdekat dapat ditempuh dengan waktu 30 menit dengan kendaraan umum.
Kesan: Keluarga pasien termasuk golongan sosioekonomi yang rendah. Tempat tinggal
memiliki ventilasi dan pencahayaan cukup. Sarana kesehatan mudah dijangkau.
PEMERIKSAAN FISIS
(Ruang IGD Bayi RS I, 9 Januari 2016 Pukul 10:00)
Tanda Vital
Aktif, menangis kuat, tidak terdapat sianosis, tidak ada retraksi, tidak tampak kuning
`6
Nadi
: 134 kali permenit, regular, isi cukup
Pernapasan
: 48 kali per menit, kedalaman cukup, regular
Suhu
: 36,90C (aksila)
Saturasi O2
: 96% dengan oksigen CPAP PEEP 7 FiO2 20%.
Status gizi dan antropometri
BB = 1800 g (Bawah P3 kurva Fenton)
TB ayah
: 158 cm
PB = 46 cm (P10-P50 kurva Fenton)
TB ibu
: 155 cm
LK = 31 cm(P10-P50 kurva Fenton)
Tinggi potensi genetik: 154,5 – 171,5 cm
Kesan: gagal tumbuh
Pemeriksaan fisis persistem
Sistem
Deskripsi
Kulit
Sawo matang, tidak ada kutis mormorata, tidak tampak kuning.
Kepala
Tidak didapatkan deformitas tidak ada, ubun-ubun besar terbuka dengan
diameter 2 x 2 cm, Lingkar Kepala 32 cm (normosefal), tidak cekung dan
tidak membonjol, tidak ada hematom.
Rambut
Rambut hitam, tipis, tidak mudah dicabut
Wajah
Simetris, tidak tampak dismorfik, dan tidak tampak paresis saraf kranialis.
Mata
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, tidak terdapat injeksi
konjungtiva dan injeksi sklera. Tidak terdapat edema palpebra bilateral.
Pupil bulat isokor dengan diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya langsung dan
tidak langsung baik,
dolls
eye movement
positif.
Tidak tampak
hipertelorisme.
Hidung
Tidak tampak napas cuping hidung, menggunakan Nasal Prong CPAP
Telinga
Tidak terdapat serumen dan sekret, membran timpani sulit dinilai. Tidak
tampak low-set ear.
Mulut
Mukosa bukal, faring, dan palatum lembab, terpasang OGT yang dialirkan
dengan produksi cairan berwarna kehijauan. Refleks hisap baik.
Dada
Bentuk dan pergerakan simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, tidak
terdapat retraksi epigastrium, tidak tampak iga gambang.
Paru
Pergerakan simetris, suara napas vesikular di kedua lapang paru, terdapat
ronki basah halus pada paru kanan dan tidak ada mengi di kedua paru.
`7
Jantung
Iktus kordis tidak tampak, teraba di sela iga IV-V linea midklavikularis kiri.
Bunyi jantung I dan II normal, tidak didapatkan bising jantung maupun
irama derap.
Abdomen
Buncit, lemas, tampak gambaran usus (darm contour) pada area abdomen
atas, tampak gerakan usus (darm steifung) dari abdomen atas kiri ke
abdomen atas kanan, tidak terdapat venektasi maupun hernia, bising usus
terdengar 4-5 kaliper menit, perkusi timpani, tidak terdapat shifting dullness,
hati teraba 1 cm bawah arkus kosta, 1 cm bawah prosesus xifoideus dengan
permukaan rata, konsistensi kenyal, dan tepi tajam. Tidak teraba pembesaran
limpa maupun massa intraabdomen. Turgor kulit baik. Lingkar perut 30 cm.
Punggung
Tidak terdapat kelainan anatomis, tidak terlihat posisi sandifer. Tidak tampak
sacral dimple atau anal dimple.
Bokong, anus Tidak terdapat kelainan pada anus, tidak terdapat baggy pants, ada wasting.
Colok Dubur
Tonus sfingter ani normal, ampula kolaps, mukosa licin, massa tidak teraba.
Pada sarung tangan feses ada berwarna hijau gelap, darah tidak. Tidak ada
BAB menyemprot setelah colok dubur dilakukan
Genital
Lelaki, testis teraba di dalam kantung skrotum bilateral, orifisium uretra
eksterna tidak kemerahan.
Ekstremitas
Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik. Tidak
terdapat edema. Tidak tampak jari tabuh. Tonus otot normal di keempat
ekstremitas. Tidak terdapat deformitas. Gerakan kaki bebas. Tidak tampak
simian crease.
KGB
Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Ruang IGD Bayi RS I, 9 Januari 2016)
Pemeriksaan Laboratorium Darah (Sampel: Darah Vena)
`8
Variabel
Hb (g/dL)
MCV (fL)
MCH (pg)
MCHC (g/dL)
Ht (%)
Leukosit (/µL)
Trombosit(/µL)
Rasio IT
CRP (mg/L)
Prokalsitonin (ng/mL)
Ureum (mg/dL)
Kreatinin (mg/dL)
Albumin (g/dL)
Bilirubin total (U/L)
Bilirubin direk (U/L)
Bilirubin indirek (U/L)
GDS (mg/dL)
PT (detik)
APTT (detik)
Nilai
15,5
102
36,7
35
39,9
27.900
300.000
0,54
2,7
4
3
0,9
3,84
1.02
0.96
1.06
124
12
30
Batas Normal
15-24
99-115
33-39
32-36
32-36
9.100-34.000
150.000-400.000
0,00-0,2
0,00-0,2
<0,1
3-25
0,3-1
3-3,9
<15
48-150
10,6-16,2
27,5-79,4
Pemeriksaan Laboratorium Darah (Sampel: Arteri radialis kanan dalam CPAP PEEP 7
FiO2 20%)
Variabel
Nilai
7,32
40
88
22
-1
97
135
5,1
108
Ph
pCO2 (mmHg)
pO2 (mmHg)
HCO3
BE
Saturasi oksigen (%)
Natrium (mEq/L)
Kalium ( mEq/L)
Klorida (mEq/L)
Batas Normal
7.350-7.450
35.00-45.00
75.00-100.00
21.00-25.00
(-2.50)-2.50
95-98
132-147
3,3-5,4
94-111
Pemeriksaan Rontgen Toraks (9 Januari 2016 RS I)
Tampak perselubungan homogen pada paru atas kanan, jantung tidak membesar.
Rontgen polos abdomen (5 Januari 2016 RSIA H)
Tampak tanda double bubble, udara tidak sampai distal.
RESUME
Pasien bayi lelaki usia 11 hari dengan keluhan utama muntah hijau berulang sejak usia dua
hari. Bayi lahir spontan di bidan dari G3P2A0, dari ibu polihidramnion, BAK sejak usia 12
`9
jam, mulai BAB setelah usia 24 jam, frekuensi BAB rata-rata 2-3 kali sehari dan BL 2600
gram.
Usia 4 hari pasien, muntah hijau semakin sering, BAB mulai tidak ada, BAK 3-4 kali/hari,
pasien tampak sesak, dan gelisah. Perut tampak semakin membesar dan tegang. Pasien
mengalami penurunan BB menjadi 2400 gram. Pemeriksaan fisis dan penunjang mencurigai
adanya infeksi dan ileus obstruksi pada pasien. Pasien menjalani perawatan di RS, mendapat
TPN hanya dekstrosa 10% karena alasan finansial orang tua. Pasien mendapatkan oksigen,
antibiotik amoksisilin-klavulanat dan gentamisin. Selama di perawatan pasien sesak
perbaikan namun OGT tetap hijau. Rencana rujuk ke RS I setelah JKN selesai.
Usia 11 hari pasien, setelah memiliki JKN, pasien dirujuk dari RS H ke RS I menggunakan
metoda transport kangguru. Selama perjalanan suhu tubuh pasien dapat terjaga, namun
hemodinamik dan pernapasan tidak dapat terjaga. Selama perjalanan 4 jam, terdapat episode
muntah, sesak dan terlepasnya akses vena perifer.
Pasien tiba ke RS I dalam kondisi sesak dan perfusi memanjang, dilakukan stabilisasi dengan
pemberian CPAP, dan bolus inisial NaCl 0,9%. Pasca stabilisasi, pasien kembali aktif, BB
turun menjadi 1800 gram, dan produksi OGT berwarna kehijauan. Pasien disiapkan untuk
operasi, antibiotik diganti menjadi piperasilin-tazobaktam dan amikasin, serta pemberian
TPN lengkap (protein, lemak, karbohidrat).
Kandidat menerima pasien pada perawatan hari kedua di RS I (Usia 12 Hari), pasien kondisi
aktif, instabilitas suhu tidak ada, sesak berkurang, produksi OGT kehijauan, tanda vital
normal, dan diuresis baik. Pasien direncanakan operasi laparotomi eksploratif dalam anestesi
umum dengan perawatan pasca-operasi di ruang rawat intensif yang memiliki fasilitas
ventilator.
DAFTAR MASALAH
1. Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan
2. Obstruksi usus letak tinggi akibat e.c atresia duodenum (d.d stenosis duodenum)
3. Pneumonia aspirasi
4. Sepsis neonatorum awitan lambat
5. Gagal tumbuh
`10
DIAGNOSIS KERJA
1. Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan (ICD 10: P07.38)
2. Atresia duodenum (ICD-10: Q41.0)
3. Pneumonia aspirasi neonatal (ICD-10: P24.81)
4. Sepsis neonatorum awitan lambat (ICD-10: P36.9)
5. Gagal tumbuh (ICD 10: R62.51)
TATA LAKSANA
Rawat inap di Inkubator, jaga suhu 36,5-37,5 OC
1. Neonatus 34 Minggu, Sesuai Masa Kehamilan
Diagnostik
 Rencana pemeriksaan skrining morbiditas bayi risiko tinggi,
seperti skrining penglihatan, pendengaran, USG kepala, anemia
akibat prematuritas, dan osteopenia akibat prematuritas
 Pemantauan berkala berat badan dan panjang badan
Terapeutik
 Pemberian TPN lengkap dengan kalori 110-120 kal/kgBB/hari
 Mengatasi kelainan yang ditemukan saat skrining
2. Atresia Duodenum
Diagnostik
 Rontgen abdomen AP dan lateral
Terapeutik
 Dipuasakan
 Dekompresi lambung
 Laparotomi untuk koreksi
Edukasi

Penjelasan mengenai rencana laparotomi, dan prognosis.
3. Pneumonia Aspirasi Neonatal
Diagnostik
 Rontgen Thoraks AP
 Analisa Gas Darah
 Kultur sputum (tidak lumrah dilakukan), cara pengambilan sample
bagaimana? MAUDYYYYYY INI BENER DIPAKE? KL
DIHAPUS SAJA BAGAIMANA?
`11
Terapeutik
 CPAP PEEP 7 cmH2O FIO2 30%
 Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (intravena)
 Amikasin 3 x 15 mg (intravena)
Edukasi

Penjelasan mengenai pneumonia aspirasi, kemungkinan etiologi,
komplikasi yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana,
dan prognosis.
4. Sepsis Neonatorum Awitan Lambat
Diagnostik
 Pemeriksaan petanda infeksi (DPL, CRP, IT, prokalsitonin)
 Kultur darah
Terapeutik
 Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (intravena)
 Amikasin 3 x 15 mg (intravena)
Edukasi

Penjelasan mengenai sepsis, kemungkinan etiologi, komplikasi
yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana, dan
prognosis
 Pencegahan infeksi nosokomial
5. Gagal Tumbuh
Diagnostik
 Evaluasi berat badan
 Evaluasi tinggi badan
 Evaluasi lingkar kepala
Terapeutik
 Pemberian nutrisi parenteral yang mengandung makronutrien dan
mikronutrien yang lengkap, sesuai kebutuhan kalori dan kebutuhan
harian, diberikan selama kondisi pasien belum stabil danterdapat
kontraindikasi diet enteral.
Mengandung 110 kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:180
Protein (3,5g/kgBB/hari) dan dekstrosa 11% GIR 12 mg/kg/min.
Lipid 20% (3g/kgBB/hari).
 Pemberian nutrisi enteral sesegera mungkin dan sedikit demi
sedikit sesuai toleransi pasien, setelah koreksi atresia duodenum
dan kondisi pasien stabil serta sudah tidak ada kontraindikasi
pemberian diet enteral, ASI adalah yang paling utama akan
diberikan.
`12
Edukasi

Penjelasan mengenai gagal tumbuh, kemungkinan etiologi,
komplikasi yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana,
dan prognosis.

Pemberian motivasi dan edukasi mengenai pemberikan ASI dan
penyimpanan ASI.
PEMANTAUAN
Usia 13-16 Hari (10-13 Januari 2016)
S
 Tidak terdapat instabilitas suhu.
 Muntah tidak ada, produksi OGT kehijauan, pasien dipuasakan
 Pasien sesak berkurang
 Pasien aktif
 Belum mendapat ruang rawat intensif pasca operasi
O
Pasien tampak aktif, tidak pucat, tidak sesak maupun sianosis, tidak tampak ikterik.
Frekuensi denyut jantung 140-154 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak
terdapat retraksi, maupun napas cuping hidung, suhu tubuh 36,7 - 37,3oC
Balans cairan negatif 4,8 - 5,2 ml, diuresis 3 - 4 mL/kg/jam, produksi OGT 2 - 3 mL/hari
Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol
Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak cekung atau edema
Mulut mukosa lembab - Jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen Buncit, lemas, tampak darm contour dan darm steifung, bising usus terdengar
4-5 kali per menit, Lingkar perut 30 cm.
Akral hangat, gerak aktif, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, tidak edema
BB 1820 g  1830 g 1850 g 1860 g
USG Kepala: Tidak tampak kelainan anatomis, tidak tampak perdarahan
Rontgen abdomen sinar horizontal  tidak ada gambaran udara bebas
A
1.
2.
3.
4.
5.
Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan
Atresia duodenum
Pneumonia aspirasi neonatal
Sepsis neonatorum awitan lambat
Gizi kurang perawakan normal dengan gagal tumbuh
P
 Rawat di inkubator, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C.
`13
 Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420 mL/hari).
 Oksigen: CPAP PEEP 7 FIO2 30%  PEEP 6 FIO2 21%
 Oral: nothing peroral.
 IVFD: (mengandung 110 kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:180)
 Protein (3,5g/kgBB/hari)
 Dekstrosa 11% GIR 12 mg/kg/min
 Lipid 20% (3g/kgBB/hari)
 Obat:
 Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (Intravena)
 Amikasin 3 x 15 mg (Intravena).
 Monitoring keadaan umum, tanda vital, balans cairan
 Mencari ruang intensif post operasi dengan ventilator
 Edukasi orangtua bahwa kondisi sesak sudah perbaikan.
Usia 17 Hari (14 Januari 2016)
S
 Pasien dilakukan operasi koreksi, secara intoto, tampak atresia duodenum tipe satu.
 Dilakukan koreksi definitif dengan sambungan end to end.
 Dilakukan pemasangan Naso Jejunal Tube (NJT) dan OGT.
 Anak tampak pucat pasca operasi, perdarahan intra operasi banyak.
 Anestesi umum, penyapihan ventilator pasca operasi gagal.
 Demam?
O
Pasien tampak letargis, pucat, tidak sesak maupun sianosis, tampak ikterik hingga kaki.
Skor Nyeri: Skor Pain Assesment Tools (PAT) = 3
Frekuensi denyut jantung 170-184 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak
terdapat retraksi, maupun nafas cuping hidung, suhu tubuh 36,7-37,3oC.
Dalam Ventilator Pressure Control (PC) RR 60 IT0,3 FIO2 25% Press 22/5 cmH20
Balans cairan selama operasi negatif 1 ml, diuresis 4,5 mL/kg/jam, Perdarahan: 30 mL
BB = ...... kg
Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol.
Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak edema.
Mulut mukosa lembab. Jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen datar, lemas, perkusi timpani, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus
`14
negatif. Lingkar perut 31 cm. Tampak luka post op horizontal abdomen bawah.
Akral hangat, waktu pengisian kapiler <2 detik.
Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya.
Variabel
Nilai
Batas Normal
Hb (g/dL)
8,9
15-24
MCV (fL)
106
99-115
MCH (pg)
37,7
33-39
MCHC (g/dL)
35
32-36
Ht (%)
26,9
44-70
Leukosit (/µL)
39.900
9.100-34.000
Trombosit(/µL)
200.000
150.000-400.000
IT ratio
0,94
< 0,6
CRP (mg/L)
10,7
0,00-0,2
Prokalsitonin (ng/mL)
9
<0,1
Kreatinin (mg/dL)
1,0
0,3-1
Albumin (g/dL)
1,84
3-3,9
Bilirubin total (U/L)
8.0
<15
Bilirubin direk
1.0
Bilirubin indirek
7.0
<1,4
GDS (mg/dL)
114
48-150
pH
7,35
7.350-7.450
pCO2 (mmHg)
46
35.00-45.00
pO2 (mmHg)
98
75.00-100.00
HCO3
22
21.00-25.00
Base excess
0
(-2.50)-2.50
Saturasi oksigen (%)
97
95-98
Natrium (mEq/L)
135
132-147
Kalium ( mEq/L)
4,1
3,3-5,4
Klorida (mEq/L)
108
94-111
Glukosa darah (mg/dL)
105
0-200
Kultur Darah (9 Jan 2016)
Tidak Tumbuh
Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan
Atresia duodenum tipe 1
Pneumonia aspirasi neonatal
Sepsis neonatorum awitan lambat
Gagal tumbuh
Hipoalbuminemia
Anemia normositik normokrom e.c perdarahan intraoperasi
A
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
P
 Rawat di infant warmer, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C.
 Oksigen: Ventilator Pressure Control (PC) RR 60 IT 0,3 FIO2 25% Press 22/5
cmH2O
 Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420mL/hari).
 Oral: nothing peroral.
 IVFD: (mengandung 90kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:150)
`15
 Protein (3,5g/kgBB/hari) dengan dekstrosa 11% GIR 8.
 Lipid 20% (3g/kgBB/hari)
 Transfusi PRC 20 mL/kg (60 mL)
 Transfusi Albumin 25% 10 mL (hari ke 1).
 Obat: Meropenem 2 x 80 mg (intravena, hari 1)
 Lab: Kultur darah, kultur sputum, kultur swab luka operasi
 Monitoring keadaan umum, tanda vital, reaksi transfusi.
Usia 18 dan 19 Hari (15 dan 16 Januari 2016)
S
 Pasien tidak mengalami instabilitas suhu
 Luka operasi tidak ada perdarahan
 Residu NJT berwarna kehijauan dan OGT sudah bening
 Anak sudah aktif, telah dilakukan ekstubasi
O
Pasien tampak aktif, tidak pucat, tidak sesak maupun sianosis, tidak tampak ikterik.
Frekuensi denyut jantung 150-154 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak
terdapat retraksi, maupun nafas cuping hidung, suhu tubuh 36,7 - 37,3oC.
CPAP Nasal Prong PEEP 6 cmH2O FIO2 25% Skor PAT : 3-4
Balans cairan positif 9-10 ml, diuresis 4-5 mL/kg/jam, produksi OGT: 2-5 mL/hari
BB 1920 g  1950 g, PB 47 cm, LK 32 cm
Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol.
Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak edema.
Mulut mukosa lembab. Jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen datar, lemas, perkusi timpani, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus 2-3
kali per menit. Lingkar perut 31 cm. Tampak luka post op horizontal abdomen bawah,
tidak ada rembesan darah.
Akral hangat, waktu pengisian kapiler <2 detik, gerak aktif pada keempat ekstrimitas
Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya.
A
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan
Atresia duodenum tipe 1
Pneumonia aspirasi neonatal
Sepsis neonatorum awitan lambat
Gizi kurang perawakan normal dengan gagal tumbuh
Hipoalbuminemia
Anemia normositik normokrom e.c perdarahan intraoperasi
`16
 Rawat di infant warmer, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C.
P
 Oksigen: CPAP PEEP 5 cmH2O FIO2 25%
 Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420mL/hari).
 Oral: nothing peroral
 IVFD: (mengandung 90kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:150)
 Protein (3,5g/kgBB/hari) dengan dekstrosa 11% GIR 8 mg/kg/min
 Lipid 20% (3g/kgBB/hari)
 Transfusi Albumin 25% 10 mL (hari ke 2 & 3).
 Obat: Meropenem 2 x 80 mg (intravena, hari ke 2-3)
 Monitoring keadaan umum, tanda vital, reaksi transfusi.
 Edukasi orangtua: Kemajuan pengobatan dan prognosis.
PROGNOSIS

Ad vitam: dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam: dubiaad bonam
`17
SKEMA PERJALANAN PENYAKIT
28 Desember 2015
Usia 1 - 3 hari
Usia 4-11 hari
(usia 2 bulan)
• Ibu G3P2A0
• ANC Bidan J teratur
• USG
• Polihidramnion
• Anatomi baik
• BB naik 13 kg
• Klinis baik
• Lab normal
• Lahir spontan
• Skor Ballard
~ UG 34 minggu
• Skor APGAR: 9/10
• BL 2600 gram
Usia 11 hari
 Rawat bersama Ibu
o Menetek baik
o BAK usia 12 jam
o BAB usia 24 jam
o Muntah hijau usia
48 jam
 Kondisi pulang baik
 Imunisasi oleh Bidan J
o Hepatitis B
o Polio
Usia 12 hari
• Keluhan di rumah
• Muntah hijau (+)
• BAB tidak ada
• BAK sedikit
• Gelisah
• Rumah Sakit H
• BB 2400 g (turun)
• Dehidrasi, Sesak
• Perut membuncit
• TPN  Dekstrosa
• “Double Bubble”
• Diagnosis?
• Amoksisilinklavulanat dan
Gentamisin
Usia 13-16 hari
(usia 2 bulan)
•
•
RS H rujuk RS I
• Waktu 4 jam
• Mobil ambulans
• Metode kangguru
• Akses vena lepas
• Muntah dan
Sesak
o Pemeriksaan fisis
 Bayi aktif
 Sesak berkurang
 BB 1800 g
Tim Jaga RS I
• BB 1600 gram
• CPAP
• Bolus NaCl 0,9%
• PiperasilinTazobaktam dan
Amikasin.
• Rencana operasi
o Rencana operasi
Laparotomi
o Produksi OGT
7 mL, Kehijauan
`18
• Peningkatan BB
• 1820 gram
• 1830 gram
• 1850 gram
• 1860 gram
• Operasi menunggu
ruang pasca operasi
• Klinis
• Demam tidak
• Bayi aktif
• Sesak berkurang
• Produksi OGT hijau
Usia 17 hari
Usia 18-19 hari
(usia 2 bulan)
•
Laparotomi
• Atresia duodeni
• Perdarahan
• Pakai ventilator
•
Laboratorium
• Kultur darah
(Steril)
• Hb 8,9 g/dL
(Transfusi PRC)
• Alb 1,84 g/dL
(Albumin 25%)
• Prokalsitonin 9
(Meropenem)
o Pemeriksaan fisis
 Bayi aktif
 Sesak berkurang
o Peningkatan BB
 1920 gram
 1950 gram
o OGT bening
o NJT kehijauan
`19
SKEMA ANALISA KASUS
Masalah
By A , 11 hari
Prematur 34 minggu
BL 2600 g
Diagnosis
Tera
NKB SMK
Bilirubin, albumin, ROP, USG kepala, OAE, DPL,
Hipoalbuminemia
Muntah hijau
BAK sedikit
Mekonium 24 am
K
al
Re
an
en
Atresia
duodenum
Foto abdomen, foto
Pneumona aspirasi
O
C
Gizi kurang perawakan normal
Gagal tumbuh
T
Sw
po
Pe
pe
SNAL
CRP,IT rasio, kultur darah, kultur
sputum, UL, kultur urin
`20
A
ANALISIS KASUS
Pasien merupakan neonatus kurang bulan (usia gestasi 34 minggu, berat lahir 2600 gram)
yang mengalami muntah berwarna hijau sejak berusia dua hari. Keluhan muntah hijau
disebabkan karena obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi yang dimaksud pada pasien
ini adalah atresia duodenum. Muntah pada pasien memiliki risiko untuk aspirasi ke dalam
paru-paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi.
Neonatus kurang bulan (NKB) didefinisikan sebagai neonatus yang lahir sebelum
usia gestasi 37 minggu terhitung sejak hari pertama menstruasi terakhir.1 Data riset kesehatan
dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kelahiran NKB di Indonesia adalah
11,1%.2 Prematuritas merupakan penyebab kematian utama pada bulan pertama kehidupan
dan penyebab kedua pada kelompok usia di bawah 5 tahun. Sejak tahun 1990 hingga 2010,
angka kejadian persalinan prematur di dunia kian meningkat. Indonesia menempati peringkat
kelima dalam deretan 10 negara yang berkontribusi dalam 60% persalinan prematur di
dunia.3 Data dari laporan fetomaternal pada tahun 2009 menunjukkan angka kelahiran NKB
di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebesar 25%.4 Penyebab kelahiran prematur
sulit ditentukan dengan pasti karena tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi sebagian
besar merupakan akibat interaksi beberapa faktor. Persalinan prematur dapat dipicu oleh
beberapa mekanisme, termasuk infeksi, inflamasi, iskemia atau perdarahan uteroplasenta,
distensi uterus, stres, dan proses imunologis lain.5 Pada kasus ini, pasien lahir prematur
spontan karena distensi uterus berlebihan yang disebabkan oleh polihidramnion.
Permasalahan yang timbul pada NKB merupakan akibat dari imaturitas berbagai
sistem organ. Imaturitas neurologis meningkatkan risiko perdarahan intraventrikuler dan apnu
prematuritas, imaturitas surfaktan bermanifestasi sebagai distres napas, serta imaturitas
sistem imun meningkatkan risiko infeksi. Imaturitas sistem organ lainnya dapat mencakup
sistem kardiovaskular, hematopoesis, masalah metabolik seperti hiperbilirubinemia dan
hipoglikemia, gangguan penglihatan dan pendengaran, serta masalah tumbuh kembang.
Berbagai masalah tersebut menjadi kondisi yang harus diperhatikan dalam perawatan bayi
prematur.6
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada
kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi
jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila
penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.7
`21
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum sampai saat ini belum diketahui.
Atresia duodenum sering ditemukan bersamaan dengan malformasi neonatus lainnya, yang
menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami
pada awal kehamilan.7 Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan
pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi,
gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan
karena kegagalan proses rekanalisasi.Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan
sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini.8 Pada sepertiga pasien dengan atresia
duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko
yang
signifikan
menyebabkan
terjadinya
atresia
duodenum.
Beberapa
penelitian
menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal menyebabkan polihidramnion.7,8
Ada faktor intrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia
duodenum. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena
kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian
sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan
segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut
dengan atresia duodenum.7,8
Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik.
Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas.
Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan
pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden.
Kondisi ini akan mengakibatkangangguan perkembangan duodenum.7,8
Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I
terjadi pada lebih dari 90% kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen
diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapat windsock deformity, dimana bagian
duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada
tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II,
dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dankolaps pada segmen area distal yand
terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III. memiliki gap pemisah yang nyata antara
duodenal segmen distal dan segmen proksimal.7 Atresia duodenum yang terjadi pasien pasien
adalah atresia duodenum tipe I.
Pasien dengan atresia duodenum memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak
mulai 24 jam setelah kelahiran. Muntah hijau yang terus menerus merupakan yang terus
menerus ditemukan pada 85% pasien.8 Keluhan muntah hijau yang terjadi sejak usia 48 jam
`22
pada pasien merupakan gejala obstruksi usus letak tinggi, yang dapat disebabkan oleh atresia
duodenum.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan
diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya
lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih pekat dibandingkan mekonium
yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal.
Pengeluaran mekonim dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Pada pasien,
mekonium keluar saat usia 24 jam, namun setelahnya terdapat gangguan pengeluaran BAB.
Modalitas pencitraan yang dapat digunakan untuk membedakan atresia duodenum dan
obstruksi letak atas lainnya hingga saat ini belum ada yang memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang baik.9 [Academic Radiology. 2016. Level of evidence: 1]. Pada pasien ini,
USG prenatal yang menyatakan polihidramnion namun tidak ditemukan kelainan anatomis.
Salah satu penelitian yang menunjukkan bawa USG prenatal yang menunjukkan
polihidramnion tanpa menunjukkan kelainan anatomis tidak menyingkirkan kelaianan
terjadinyanya malformasi kongenital.10 [Pediatrics. 2015. Level of evidence: 3]
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan atresia duodenum dengan
penanganan yang tidak adekuat adalah aspirasi pneumonia, perforasi gaster, dehidrasi berat,
sampai dengan syok. Pada pasien dtemukan dua komplikasi, yang memang umumnya terjadi
pada 30% kasus, yaitu pneumonia aspirasi dan syok hipovolemik karena dehidrasi.
Penanganan yang baik, mulai dari pra operasi hingga pasca operasi meningkatkan harapan
hidup dari pasien yang menderita atresia duodenuum hingga 90-95%. Namun sebuah meta
analisis yang melakukan penelitian pada beberapa 895 anak menunjukkan bahwa 23% pasien
dengan riwayat operasi kelainan non jantung (termasuk atresia duodenum) menunjukkan
gangguang kognitif fan gangguan perkembangan motorik.11[Pediatrics. 2016. Level of
evidence: 1]
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik, disertai bakteremia yang
terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.6 Berdasarkan patofisiologinya, sepsis
neonatorum dibagi menjadi dua kategori yaitu sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan
awitan lambat (SNAL). Sepsis neonatorum awitan dini adalah sepsis dengan waktu awitan
kurang dari usia 72 jam dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari jalan lahir. Sepsis
awitan dini seringkali merupakan salah satu faktor yang menimbulkan distres napas pada bayi
baru lahir.12 Selain distres napas, bayi dapat diduga mengalami sepsis jika ditemukan
penurunan kesadaran (letargis dan iritabilitas), instabilitas suhu (hipotermi atau hipertermi),
gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi, pemanjangan waktu pengisian kapiler, sianosis,
`23
mottling, pucat), gangguan pernafasan (distres pernafasan, takipnu, apnu pada usia kurang
dari 24 jam), gangguan metabolik (hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis metabolik),
ikterus dan toleransi minum yang buruk.13 Faktor risiko SNAD adalah prematuritas,
kolonisasi Streptokokus grup B pada jalan lahir, ketuban pecah dini lebih dari 18 jam, dan
gejala korioamnionitis pada ibu. Gejala korioamionitis sangat mungkin bila ibu demam (suhu
>38 C) disertai dua dari gejala-gejala berikut yaitu leukosit ibu >15.000 /μL; ibu takikardi
(denyut nadi >100 x/mnt); janin takikardi (denyut nadi >160 x/mnt); ketuban hijau, kental
dan berbau serta nyeri di daerah rahim.14 [Can Med Assoc J. 2003. Level of evidence: 3]
Pada kasus ini, pasien menunjukkan gejala letargis, dan distres napas yang sesuai
dengan gambaran klinis sepsis. Faktor risiko sepsis neonatal awitan dini yang terjadi pada
saat dirawat di RSIA H pada pasien hanyalah prematuritas sedangkan faktor risiko infeksi
dari ibu tidak didukung oleh data klinis dan laboratorium. Faktor risiko sepsis neonatal
awitan lambat pada pasien ini saat dalam pengawasan adalah riwayat penggunaan akses vena
pada pasien di RSIA H dan adanya aspirasi muntah yang dibuktikan dari foto rontgen dada.
Untuk menegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang dilakukan berupa darah perifer lengkap
(melihat jumlah leukosit dan trombosit), hitung rasio netrofil imatur dibandingkan total (rasio
I/T), CRP, dan prokalsitonin, serta kultur darah. Pemeriksaan penunjang pada pasien
menunjukkan peningkatan IT dan CRP. Selain CRP, Prokalsitonin merupakan petanda sepsis
yang lebih baik daripada CRP, rasio I/T, maupun hitung leukosit. Sensitivitas prokalsitonin
untuk mendeteksi sepsis 92,8%, dan spesifisitas 75%, lebih tinggi dibandingkan CRP
(sensitivitas 50%, spesifisitas 69,4 %), rasio I/T (sensitivitas 14,25%), dan hitung leukosit
(sensitivitas 14,25%).15[J Clin Diag Res. 2012. Level of evidence: 3] Penelitian di Italia pada
bayi cukup bulan dan prematur menunjukkan bahwa bayi prematur memiliki respon CRP
yang lebih rendah dan lebih pendek dibandingkan bayi cukup bulan. Pada bayi prematur,
nilai prokalsitonin sebesar 0,07 (0,01-0,56) µg/L saat lahir, meningkat secara cepat menjadi
6,5 (0,9-48,4) µg/L pada usia 21-22 jam dan turun bertahap menjadi 0,10 (0,01-0,8) µg/L
pada usia 5 hari.16 [Clinica Chim Acta. 2011. Level of evidence: 2] Biakan darah pada
pasien menunjukkan hasil steril. Studi yang dilakukan di suatu rumah sakit tersier di India
terhadap hasil biakan darah pada pasien sepsis neonatorum menunjukkan bahwa dari seluruh
subjek hanya didapatkan 42% biakan darah yang positif, namun pasien tetap didiagnosis
sebagai sepsis neonatorum.17 Hal tersebut sesuai dengan kondisi pasien yang memiliki faktor
risiko dan tanda infeksi yang jelas tetapi tidak tumbuh koloni pada biakan darah.
Tata laksana sepsis neonatorum meliputi tata laksana antibiotik dan suportif. Tata
laksana
antibiotik
bertujuan
untuk
mengeliminasi
`24
kuman
penyebab.
Sebelum
mikroorganisme penyebab diketahui dari biakan darah, terapi empiris diberikan sesuai pola
kuman dan resistensi. Terapi definitif ditentukan selanjutnya berdasarkan hasil biakan.18,19
Diagnosis sepsis secara klinis pada neonatus tidaklah mudah karena berbagai tanda sepsis
yang tidak spesifik dan menyerupai kondisi non-infeksi lainnya. Walaupun pemeriksaan fisis
normal merupakan bukti bahwa tidak ada sepsis, bakteremia tetap dapat terjadi tanpa adanya
gejala klinis. Pemeriksaan penunjang yang tersedia tidak membantu untuk memutuskan
seorang neonatus membutuhkan terapi empiris antibiotika tetapi dapat membantu untuk
menentukan apakah terapi akan dilanjutkan atau tidak.18 Penggunaan antibiotika pada
neonatus sebaiknya dilanjutkan selama 48-72 jam sambil menunggu hasil biakan darah pada
pasien tersangka sepsis. Sampai adanya bukti, rekomendasi pemberian antibiotika selama 1014 hari dapat digunakan bila didapatkan sepsis dengan biakan darah positif tanpa
meningitis.20 Pasien pada kasus ini mendapatkan antibiotika piperasilin tazobaktam dan
amikasin sejak masuk RS I karena tanda-tanda infeksi semakin bertambah berat walaupun
sebelumnya telah mendapatkan antibiotik amoksisilin klavulanat dan gentamisin. Durasi
pemberian antibiotika untuk kuman gram positif dianjurkan 10-14 hari sedangkan untuk
kuman gram negatif minimal 21 hari.18,19 Untuk bayi prematur dengan hasil biakan steril,
waktu penghentian antibiotik masih kontroversial. Keputusan untuk mengganti atau
menambah antibiotik harus mempertimbangkan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
penunjang sebagai alat bantu.
Variasi mikroorganisme penyebab dan kepekaan terhadap antibiotika dapat berbeda
pada setiap NICU dan dapat berubah seiring berjalannya waktu pada unit yang sama. Untuk
itu diperlukan surveilans pasien yang terinfeksi dan kepekaan antibiotik terhadap
mikroorganisme penyebab untuk menentukan regimen antibiotik empiris. Mikroorganisme
penyebab infeksi neonatus tersering di RSCM berdasarkan data biakan darah Januari-Juni
2011 adalah: Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloaca, Kandida tropicalis, Klebsiela
pneumoniae. Mikroorganisme tersebut memiliki kesamaan dengan senter tersier di Turki dan
India.20,21 Kombinasi golongan penisilin dan gentamisin dapat dipilih sebagai antibiotik lini
pertama pada infeksi yang dipikirkan berasal dari komunitas. Pada unit perawatan dengan
tingkat resistensi yang tinggi seperti RSCM, mikroorganisme seperti Klebsiella, basil gram
negatif dan pseudomonas seringkali ditemukan. Untuk itu pemakaian kombinasi golongan
piperasilin-tazobaktam dan amikasin memberikan luaran yang baik. Golongan sefalosporin
masih memiliki sensitivitas yang baik terhadap Klebsiella tetapi jarang digunakan karena
mudah
menimbulkan
mikroorganisme
extended
spectrum
beta-lactamase
(ESBL).
Meropenem merupakan antibiotika lini ketiga yang sensitif terhadap mikroorganisme Gram
`25
negatif dan positif, termasuk methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Meropenem sebaiknya diberikan berdasarkan hasil biakan darah. Meropenem merupakan
antibiotika lini ketiga yang sensitif terhadap mikroorganisme Gram negatif dan positif,
termasuk methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Meropenem sebaiknya
diberikan berdasarkan hasil biakan darah. Namun data pola kuman dan sensitivitas antibiotik
di Unit Perinatologi RSCM tahun 2011 menunjukkan bahwa sensitivitas antibiotik lini
pertama terhadap gram negatif < 50% .22 Perburukan klinis yang ditandai dengan instabilitas
suhu, peningkatan leukosit, CRP, dan prokalsitonin serta penurunan trombosit menunjukkan
ada infeksi yang berat dan berdasarkan data pola kuman serta sensitivitas antibiotika di kamar
operasi IGD RS I menjadi alasan penggunaan meropenem pada pasien ini.
Pada bayi sepsis dengan kondisi hemodinamik tidak stabil atau terdapat sumbatan
pada saluran pencernaan makan nutrisi enteral adalah kontra indikasi mutlak dan nutrisi wajib
diberikan
secara
parenteral
total.
Pemberian
nutrisi
parenteral
total
harus
mempertimbangkan kebutuhan kalori, akses pemberian, jenis preparat dan pemantauan.
Asupan nutrisi yang adekuat sangat diperlukan oleh bayi berat lahir rendah karena lahir
dengan cadangan energi yang rendah dan di saat yang bersamaan sedang terjadi pertumbuhan
yang sangat cepat. Imaturitas dari saluran cerna pada bayi prematur dapat menimbulkan
komplikasi bila diberikan nutrisi secara enteral. Dengan demikian, nutrisi parenteral
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga dapat terjadi tumbuh kejar
ekstrauterin. Jumlah pemberian asam amino dan lipid intravena tergantung berat lahir dan
usia bayi. Asam amino parenteral dapat dimulai dari 1-2 g/kgBB/hari, sementara lipid dapat
dimulai dari 1 g/kgBB/hari. Pemberian dini asam amino menyebabkan balans nitrogen positif
pada bayi preterm dengan berat lahir rendah dalam keadaan sakit berat. Pemberian dini lipid
bersamaan dengan asam amino tersebut akan lebih meningkatkan asupan kalori sehingga
akan meningkatkan efek sparing nitrogen.27-29 Pada perawatan pasiem di RS H, pasien hanya
mendapatkan dektrosa, tanpa makronutrien protein maupun lemak. Hal inilah yang menjadi
pencetus penurunan berat badan pada pasien yang berlebihan hingga muncul gagal tumbuh.
Pada perawatan pasien di RS I, nutrisi parenteral segera diberikan setelah kondisi stabil
dengan asam amino atau protein sampai dengan 3,5 g/kgBB/hari dan lipid 3 g/kgBB/hari, dan
N:NPC 1:150 hingga 1:250. Pemberian protein dan lipid pada pasien sudah ditingkatkan
untuk mencukupi kebutuhan kalori pasien 100-110 kkal/kgBB/hari. Kalori yang didapatkan
secara parenteral diharapkan dapat mencukupi kebutuhan tumbuh pasien dan mencegah
terjadi malnutrisi.
`26
Gagal Tumbuh didefinisikan sebagai pertumbuhan yang tidak adekuat atau tidak
dapat mempertahankan pertumbuhan pada awal masa anak. Pada tahun 2006, World Health
Oragnization (WHO) dengan kurva Weight Velocity, mendefinisikan jika seorang anak
mengalami peningkatan kurang dari persentil lima maka dapat dikatakan mengalami gagal
tumbuh. Pasien adalah bayi prematur, sulit menggunakan definisi yang dicanangkan WHO
ini karena kurva venton tidak memiliki kurva Weight Velocity. Oleh karena itu pada pasien
digunakan kriteria gagal tumbuh lain, yaitu penurunan berat badan melewati lebih dari dua
persentil. Pasien dengan riwayat gagal tumbuh, selain mengurangi dari tingkat kecerdasan,
juga terbukti memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan anakn
yang tidak mengalami gagal tumbuh,30 [Pediatrics. 2015. Level of evidence: 3]
Serum albumin merupakan plasma protein terbanyak dan disintesis secara esklusif di
hati. Albumin memiliki banyak fungsi termasuk mempertahankan tekanan koloid osmotik,
sebagai buffer, transpor dari bilirubin, toksin uremik, forfirin, asam lemak, logam, kortisol,
tiroksin, endotoksin, obat-obatan, dan nitric oxide endogen. Lebih lanjut lagi, albumin
merupakan antioksidan yang memiliki peranan penting dan memiliki peranan dalam
kesintasan neuron saat perkembangan. Albumin merupakan protein pengikat utama pada
neonatus. Fungsi ini sangat vital pada bayi kurang bulan dengan sakit kritis. Rendahnya
produksi albumin akan menurunkan transpor dan kapasitas ikatan. Hal ini terutama
ditemukan pada bayi prematur, dimana ikatan terhadap produk yang memiliki potensial
toksik seperti bilirubin dan antibiotik. Sintesis albumin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia gestasi dan berat badan. Bayi kurang bulan menunjukkan nilai normal
serum sebesar 2 g/dL yang akan meningkat sebesar 15% dalam 3 minggu pertama kehidupan.
Kapasitas sintesis hati sudah terbentuk baik pada bayi dengan berat lahir rendah dan
pemberian kortikosteroid cenderung meningkatkan sintesis albumin. Penurunan kenaikan
berat badan dalam uterus memiliki efek terhadap sintesis protein post-natal. Pemberian
albumin intravena diindikasikan untuk mengatasi oliguria, edema dan hiperbilirubinemia
pada bayi dengan sakit kritis. Rendahnya kecepatan sintesis pada bayi prematur dengan sakit
kritis dapat berasal dari imaturitas jalur sintesis hepatik, status nutrisi suboptimal, dan
terbatasnya substrat yang tersedia.37 Kadar albumin rendah berhubungan dengan kejadian
distres napas, retinopathy of prematurity, dan apneu of prematurity7
Pada kondisi sepsis, trauma atau operasi besar, kadar albumin dapat menurun menjadi
sebesar 1-1,5 g/dL dalam 3-7 hari. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
vaskular yang menyebabkan perpindahan albumin dari ruang intravaskular ke ruang
interstisial dan merupakan peran penting terjadinya hipoalbuminemia. Ikatan protein
`27
merupakan faktor yang memengaruhi volume distribusi dan klirens obat. Kondisi
hipoalbumin seperti pada pasien sepsis akan menurunkan konsentrasi obat yang diikat oleh
albumin dan akan memengaruhi farmakokinetik obat tersebut.38 Perhatian terutama pada bayi
prematur terhadap pemberian albumin adalah peningkatan volume intravaskular, peningkatan
kebocoran alveolar dan gangguan kardiopulmoner.39 Kadar normal albumin pada bayi
prematur sebaiknya dinilai berdasarkan usia gestasi.
Konsentrasi serum albumin menurut usia gestasi7
Usia Gestasi (Minggu)
Jumlah
23-24
25-26
27-28
29-30
31-32
33-34
35-36
>36
7
26
28
21
28
34
32
32
Rerata (g/dL)
2,36
2,26
2,53
2,82
2,86
3,24
3,43
3,43
95% interval kepercayaan
Batas bawah Batas atas
2,97
1,74
2,42
2,09
2,67
2,4
2,96
2,68
3,02
2,71
3,35
3,13
3,55
3,32
3,56
3,32
Tidak ada bukti bahwa pemberian albumin menurunkan risiko mortalitas pada anak dengan
sakit kritis dengan luka bakar dan hipoalbuminema.40 Saat ini tidak ada bukti kuat yang
mendukung pemberian albumin secara rutin pada bayi prematur dengan kadar albumin
rendah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta tidak ada bukti bahwa pemberian
albumin berhubungan dengan efek samping signifikan.40 Pada pasien ini pemberian transfusi
albumin bertujuan untuk membantu transportasi obat pada kondisi sepsis dan memperbaiki
kondisi hiperbilirubinemia.
Pada saat lahir, nilai normal hemoglobin dari vena sentral pada bayi dengan usia
gestasi >34 minggu adalah 14-20 g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL. Bayi prematur
memiliki nilai hemogolobin yang lebih rendah. Pada bayi cukup bulan yang sehat, nilai
hemoglobin akan bertahan sampai usia tiga minggu kehidupan, dan kemudian akan menurun
hingga mencapai nilai 11g/dL pada usia 8-12 minggu. Hal ini dikenal sebagai anemia
fisiologis pada bayi. Pada bayi prematur, penurunan terlihat lebih cepat, mencapai nilai 7-9
g/dL pada usia 4-8 minggu. Anemia pada bayi prematur ini berkaitan dengan kombinasi
antara penurunan jumah sel darah merah saat lahir, kehilangan darah secara iatrogenik saat
pengambilan sampel darah, waktu hidup sel darah merah yang lebih singkat, produksi
eritropoetin yang inadekuat, serta pertumbuhan badan yang cepat.41-43 Oleh karena penurunan
yang cepat dari kadar hemoglobin yang terjadi pada banyak bayi prematur berkaitan dengan
`28
kondisi dan gejala klinis yang abnormal, anemia pada bayi prematur tidak dianggap sebagai
kondisi yang fisiologis. Beberapa studi melaporkan bahwa kadar hemoglobin antara 6-8 g/dL
pada bayi prematur berkaitan dengan penurunan berat badan, apnu, peningkatan denyut
jantung dan frekuensi napas, dan peningkatan konsumsi oksigen.
Pedoman pemberian transfusi pada bayi prematur dengan anemia masih kontroversial
dan bervariasi sesuai dengan kebijakan setempat. Pemberian transfusi berulang sedapat
mungkin dihindari untuk mencegah terjadinya efek samping terkait transfusi. Efek samping
tersebut berupa infeksi, kelebihan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, hemolisis,
gangguan metabolik, kadar besi yang berlebih, dan peningkatan stres oksidatif (dapat
menyebabkan retinopati). Sebagian besar klinisi menggunakan kriteria Shannon sebagai
pedoman transfusi sel darah merah pada bayi prematur yaitu:42

Bayi dengan kebutuhan FiO2 > 35% dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan
positif dengan mean airway pressure lebih dari 6 cm H2O.

Bayi dengan kebutuhan FiO2 < 35 % dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan
positif dengan mean airway pressure kurang dari 6 cm H2O, disertai apnu dan brakikardi,
takikardi (>180xper menit), frekuensi napas > 80xper menit, peningkatan berat badan <
10g/hari selama 4 hari, atau sepsis.

Hematokrit < 20%.
Anemia pada pasien ini dipikirkan karena adanya proses infeksi, prematuritas,
iatrogenik pada saat pembedahan. Diagnosis yang paling mungkin sebagai penyebab anemia
pada pasien ini adalah karena perdatahan intra operasi karena anemia pada pasien terjadi
tepat setekah dilakukan operasi. Penurunan hemoglobin dalam waktu singkat yaitu dari 19
g/dL menjadi 9 g/dL dan adanya kondisi sepsis merupakan indikasi pemberian transfusi darah
pada pasien. Eksplorasi untuk mencari sumber perdarahan lain dilakukan dengan melakukan
ultrasonografi (USG) kepala. Hasil USG kepala pada pasien tidak didapatkan gambaran
perdarahan.
Bayi prematur dan BBLR merupakan bayi risiko tinggi. Bayi risiko tinggi
didefinisikan sebagai bayi yang secara klinis belum menunjukkan hambatan perkembangan
tapi berpotensi untuk mengalami perkembangan akibat faktor risiko biomedik, lingkungan
psikososial, maupun sosial ekonomi yang dialami sejak masa konsepsi sampai masa
neonatal.8,44 Ada empat kategori untuk menentukan apakah seorang bayi termasuk berisiko
tinggi atau tidak, yaitu bayi prematur, bayi yang memerlukan bantuan alat teknologi, bayi
dengan masalah dalam keluarganya, serta bayi dengan kondisi kesehatan yang tidak dapat
`29
diperbaiki dan dapat menyebabkan kematian.46 Pasien merupakan bayi risiko tinggi karena
mempunyai faktor risiko yang dapat memengaruhi tumbuh kembang, yaitu berat lahir rendah,
sepsis, nutrisi parenteral, status sosioekonomi keluarga rendah, sehingga dibutuhkan
pemantauan berkala terhadap pertumbuhan dan perkembangannya.
Tujuan pemantauan bayi risiko tinggi adalah melakukan deteksi dini penyimpangan
pertumbuhan, perkembangan, dan perilaku, serta memfasilitasi tata laksana dan intervensi
bayi risiko tinggi sesuai dengan indikasi. Pemantauan pertumbuhan bayi prematur dilakukan
dengan mengukur BB, PB, dan LK, dan memasukkan hasilnya ke dalam kurva Fenton.
Pertumbuhan BBLR perlu dipantau setiap bulan pada tahun pertama.45
Secara fisiologis, BB bayi baru lahir menurun 10-15% pada 1 minggu pertama
kehidupan karena penurunan cairan ekstravaskular dan asupan yang kurang. Penurunan lebih
bermakna pada bayi prematur. Bayi sehat akan mencapai berat lahirnya atau lebih setelah 2
minggu pertama kehidupan. Hal ini tidak terjadi pada bayi sakit yang membutuhkan
perawatan, baik karena asupan nutrisi yang kurang maupun karena kondisi medis yang
berat.46 Pasien didapatkan penurunan BB 11,1% dalam minggu pertama yang masih
merupakan rentang fisiologis.
Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai kecenderungan mengalami retinopati
prematuritas (retinopathy of prematurity/ROP), gangguan ketajaman penglihatan, strabismus,
defek penglihatan warna, dan defek lapang pandang visual. American Academy of Pediatrics,
American Academy of Ophtalmology, dan American Association for Pediatric Ophtalmology
and Strabismus merekomendasikan pemeriksaan mata untuk skrining ROP pada bayi dengan
berat lahir <1500 g atau usia gestasi ≤32 minggu, bayi dengan berat lahir 1500-2000 g, dan
usia gestasi ≥32 minggu dengan klinis tidak stabil (memerlukan bantuan suportif untuk organ
kardiorespirasi). Divisi Perinatologi RSCM melakukan skrining ROP pada bayi dengan berat
lahir ≤1500 g dan/atau usia gestasi <37 minggu dengan faktor risiko. Skrining pertama
dilakukan pada umur kronologis 2 minggu atau usia gestasi 32-33 minggu dan secara klinis
stabil. Evaluasi pemeriksaan mata selanjutnya dilakukan pada usia 1-2 tahun, 3-4 tahun, 4-5
tahun, dan 5-6 tahun.46 Pasien dengan UG 34 minggu dan memiliki faktor risiko sehingga
direncanakan untuk skrining ROP pada usia kronologis 2 minggu.
Bayi risiko tinggi mempunya risiko gangguan pendengaran 10-20 kali lebih besar dari
bayi normal. Risiko gangguan pendengaran dialami oleh bayi dengan riwayat keluarga
gangguan pendengaran sensorineural, anomali telinga dan kraniofasial, infeksi intrauterin
berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella,
sitomegalovirus, herpes, sifilis), stigmata lain yang berhubungan dengan sindrom dengan
`30
gangguan pendengaran sensorineural seperti sindrom Down, BL <1500 g, nilai APGAR yang
rendah (0-3 pada menit ke-5, 0-6 pada menit ke-10), kondisi penyakit yang membutuhkan
perawatan di NICU selama 48 jam, distres napas, ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih,
hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar, meningitis bakterial, dan
terapi obat ototoksik (misalnya gentamisin) yang diberikan >5 hari atau digunakan sebagai
kombinasi dengan loop diuretic. Faktor risiko yang didapatkan pada pasien ini yaitu distress
napas, sehingga pasien memerlukan uji skrining pendengaran. Pemeriksaan gangguan
pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak antara lain timpanometri, otoacoustic
emission (OAE), dan automated auditory brainstem response (BERA).47 Pasien sudah akan
dilakukan pemeriksaan OAE pada usia kronologis 1 bulan.
Bayi dengan BL rendah rentan mengalami gangguan neurologis. Palsi serebri dialami
oleh 6-28% dan 21-36% bayi kurang bulan mengalami distonia transien Pemeriksaan
neurologis meliputi penilaian fungsi motor kasar, tonus otot, refleks, fungsi sensorik, fungsi
serebelar, saraf kranial, dan bahasa. Penilaian neuromotor bayi dilakukan setelah 2 bulan bayi
keluar dari RS, dan evaluasi selanjutnya dilakukan pada usia koreksi 4, 8, 12, 18 bulan, 2 dan
3 tahun. Selain pengukuran LK, serial USG kepala digunakan untuk mengidentifikasi risiko
kelainan neurologis dan perkembangan pada bayi prematur, yaitu kerusakan white matter,
perdarahan intrakranial yang berlanjut menjadi hidrosefalus yang merupakan prediktor
terjadinya palsi serebral dan keterlambatan perkembangan. Pemeriksaan USG kepala
dilakukan pada usia 1-4 hari, di evaluasi pada usia 5-14 hari, usia 15 hari, sampai usia koreksi
40 minggu. Pada pasien ini telah dilakukan USG kepala dan didapatkan hasil normal.
Perkembangan bayi risiko tinggi dipengaruhi berbagai faktor yaitu usia gestasi, nutrisi,
adanya penyakit penyerta, stimulasi, dan dukungan emosi. Pemantauan dilakukan secara
periodik dengan menggunakan berbagai jenis alat skrining seperti Denver II atau Bailey
Infant Neurodevelopmental Status (BINS). 49
Imunisasi hepatitis B dan polio telah langsung diberikan sepulang dari Bidan karena
saat itu karena kondisinya stabil. Pasien direncanakan untuk pemberian imunisasi selanjutnya
saat kondisi stabil kembali dan ibu diberikan penjelasan mengenai pentingnya imunisasi serta
melanjutkan pemberian imunisasi lain sesuai jadwal saat pasien rawat jalan.
Proporsi kematian neonatus pada kelahiran prematur sangat besar, yaitu sekitar 7580% dengan 28% kematian pada 7 hari pertama kehidupan bayi prematur yang bukan
disebabkan oleh kelainan kongenital.50 Pada pasien ini terdapat perbaikan klinis, operasi
atresia duodenum berlangsung tanpa komplikasi, dan berat badan mengalami peningkatan
`31
yan signifikan. sehingga prognosis pasien ini ad vitam, ad functionam dan ad sanationam
adalah dubia ad bonam.
`32
DAFTAR SINGKATAN
A
AGD
APTT
ASI
B
BAB
BAK
BB
BE
BL
C
CPAP
CRP
CRP
D
dL
F
FiO2`
G
g
GCS
GDS
H
Hb
HCO3
Ht
I
IGD
IM
IMD
IT
IV
J
JKN
K
Kg
KGB
L
Leu
LK
M
M
MCK
: analisa gas darah
: Activated Partial
Tromboplastin Time
: Air Susus Ibu
: Buang Air Besar
: Buang Air Kecil
: Berat Badan
: Base Excess
: Berat Lahir
: Continous Positive Airway
Pressure
: C Reactive Protein
: C Reactive Protein
: desi Liter
: Fraksi Oksigen
: gram
: Glasgow Coma Scale
: Gula Darah Sewaktu
: Hemoglobin
: Bikarbonat
: Hematokrit
: Instalasi Gawat Darurat
: Intra Muskular
: Inisiasi Menyusui Dini
: Immature to Total neutrophil
: Intravena
N
N:NPC
calorie
NaCl
NJT
NKB
O
OGT
P
PAT
PB
PEEP
Pressure
PICU
PL
PLN
PRC
PT
R
RisKesDas
RS
S
SD
SMA
SMK
T
TPN
Tr
U
UG
USG
USG
UUB
W
WHO
: Jaminan Kesehatan Nasional
: Kilogram
: Kelenjar Getah Bening
: Luekosit
: Lingkar Kepala
: Meter
: Mandi Cuci Kakus
`33
: Nitrogen : non nitrogen
: Natrium Klorida
: Naso Jejunal Tube
: Neonatus Kurang Bulan
: Oro Gastric Tube
: Pain Assesment Tool
: Panjang Badan
: Positive End Expiratory
: Pediatric Intensive Care Unit
: Panjang Lahir
: Perusahaan Listrik Negara
: Pack Red Cell
: Protrombin Time
: Riset Kesehatan Dasar
: Rumah Sakit
: Sekolah Dasar
: Sekolah Menengah Atas
: Sesuai Masa Kehamilan
: Total Parenteral Nutrition
: Trombosit
: Usia Gestasi
: Ultrasonografi
: Ultrasonografi
: Ubun-ubun besar
: World Health Organization
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoll BJ, Chapman IA. The high risk infant. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.
Philadelphia: Saunders; 2004. h.705-9.
2. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2010.
3. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard MZ, Say L, Moller AB, dkk. 15 million
preterm births priorities for action based on national, regional and global estimates.
Dalam: World Health Organisation, penyunting. Born too soon, the global action report
on preterm birth. Edisi ke-Geneva: WHO press; 2012. h.16-32.
4. Divisi Perinatologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Laporan fetomaternal 2009.
RSCM. 2009.
5. Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD. Epidemiology and causes of preterm birth.
Lancet. 2008;371:75-84.
6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures, oncall problems, diseases and drugs. 2009;6. New York, McGraw Hill Lange.
7. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and Duodenal
Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225
8. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. Sonographic Appearance
of Duodenal Atresia in Utero. Am J Roentgenol.2001;131:701-702
9.
Carrol GA, Kvanagh RG, Leidhin CN, Cullinan N M, Lavele LO, Malone D E.
Comparative Effectiveness ofImaging Modalities for the Diagnosis of Intestinal
Obstruction in Neonates. Academic Radiology. 2016;1-10.
10. Yefet E, Spiegel ET. Outcome from polyhidramnion with normal ultrasound. Pediatrics.
2015:137:1-10.
11. Stolwijk LJ, Lemmers PMA, Harmsen M, Groenendaal F, Vries LSD, Zee DCVD,
Benders MJN, et al. Pediatrics. 2016:11-23.
12.
Chacko B, Sohi I. Early onset neonatal sepsis. Indian J Pediatr. 2005;72:26.
13. Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari Pediatri. 2000:96-102.
14. Adair CE, Kowalsky L, Quon H, Ma D, Stoffman J, McGeer A. Risk factors for earlyonset group B streptococcal diseases in neonates a population-based case-control study.
Can Med Assoc J. 2003;169:198-203.
`34
15. Sucilathangam G, Amuthavalli K, Velvizhi G, Ashihabegum NA, Jeyamurugan T,
Palaniappan N. Early diagnosis markers for neonatal sepsis: comparing procalcitonin
(PCT) and C-reactive protein (CRP). J Clin Diag Res. 2012;6:627-31.
16. Chiesa C, Natale F, Pascone R, Osborn JF, Pacifico L, Bonci E. C reactive protein and
procalcitonin: reference intervals for preterm and term newborns during the early natal
period. Clinica Chim Acta. 2011;412:1053-9.
17. Kumhar GD, Ramachandran VG, Gupto P. Bacteriological analysis of blood culture
isolates from neonates in a tertiary care hospital in India. J Health Popul Nutr.
2002;20:343-7.
18. Polin RA, Committee on fetus and newborn. Management of neonates with suspected
or proven early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2012;129:1006-15.
19. Aminullah A. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. h.170-87.
20. Sharma CM, Agrawal RP, Sharan H, Kumar B, Sharma D, Bhatia SS. "Neonatal
sepsis": bacteria & their susceptibility pattern towards antibiotics in neonatal intensive
care unit. J Clin Diagn Res. 2013;7:2511-5.
21. Yalaz M, Cetin H, Akisu M, Aydemir S, Tunger A, Kultursay N. Neonatal nosocomial
sepsis in a level-III NICU: evaluation of the causative agents and antimicrobial
susceptibilities. Turk J Pediatr. 2006;48:13-8.
22. Paramita T, Jasin M, Satari HI, Rohsiswatmo R. Microbial pattern and antibiotic
sensitivity in neonatal unit Cipto Mangunkusumo hospital 2011. Pekan Ilmiah Tahunan
Ilmu Kesehatan Anak V. Pekan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak V. 2013.
23. Falciglia G, Hageman JR, Schreiber M, Alexander K. Antibiotic therapy and early onset
sepsis. Neoreviews. 2012;13:86-93.
24. Gunes T, Koklu E, Byukkayhan D, Kurtoglu M, Patiroglu T. Exchange transfusion or
intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct antibiotics for neonatal sepis in
developing countries: a pilot study. Ann Trop Paediatr. 2006;26:39-42.
25. Sadana S, athur NB, Thakur A. Exchange transfusion in septic neonates with sclerema:
effect on immunoglobulin and complement levels. Indian Pediatr. 1997;34:20-5.
26. Rajput U, Deshmukh LS. Exchange transfusion in neonatal sepsis does not reduces
overall mortality. J Med Dent Sci. 2013;43:8297-301.
27. Chaudari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates. Indian Pediatr.
2006;43:953-64.
`35
28. Clark R, Thomas P, Peabody J. Extrauterine growth restriction remains a serious
problem in prematurely born neonates. Pediatrics. 2003;111:986-90.
29. Sosenko IRS. Effect of early initiation of intravenous lipid administration on the
incidence and severity of chronic lung disease in premature infants. J Pediatr.
1993;123:975-82.
30. Din Zu, Emmett P, Steer C, Emond A. Growth \outcomes of weight faltering in infancy
in ALSPAC. Pediatrics:2013;131:843-52.
31.
Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the newborn. Pediatr Rev. 2011;32:341-9.
32.
Bhutani VK. Late preterm births: najor cause of prematurity and adverse outcomes of
neonatal hyperbilirubinemia. Indian Pediatr. 2012;49:704-5.
33. Subcommittee of hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114:297-316.
34. Acosta-Torres SM, Torres-Espina MT, Coline-Araujo JA, Colina-Chourio JA.
Usefullness of the Kramer's index in the diagnosis of hyperbilirubinemia of the
newborn. Invest Clin. 2012;53:148-56.
35. Maisels MJ, Watchko JF, Bhutani VK, Stevenson DK. An approach to the management
of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35 weeks of gestation. J Perinatol.
2012:1-5.
36. Grunhagen DJ, de Baer MG, deBeaufort AJ. Transepidermal water loss during halogen
spotlight phototherapy in preterm infants. Pediatr Rev. 2002;51:405.
37. Bunt JE, Rietveld T, Schierbeek H, Wattimena D, Zimmermann LJ, Goudoever JB.
Albumin synthesis in preterm infants on the first day of life studied with [1-13C]
leucine. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2007;292:1157-61.
38. Robert JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotic in the critically ill patient.
Crit Care Med. 2009;37:840-51.
39. Bhutani KV, Wong JR. Bilirubin neurotoxicity in preterm infants: risk and prevention. J
Clin Neonatol. 2013;2:61-9.
40. Roberts I, Blackhall K, Alderson P, Bunn F, Schierhout G. Human albumin solution for
resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Sys
Rev. 2011;11:CD001208.
41. Jardine LA, Marsh JS, Davies WM. Albumin infusion for low serum albumin in
preterm newborn infants. Cochrane Database Sys Rev. 2004;3:CD004208;5.
42. Strauss RG. Anemia of prematurity: pathophyiology and treatment. Blood Rev.
2010;24:221-5.
`36
43. Widness JA. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of neonatal anemia.
Neoreviews. 2000;1:61-8.
44. Rundjan L, Chrisella D. Tata laksana bayi prematur di ruang perawatan intensif. Dalam:
Trihono PP, Windiastuti E, Pardede SO, Medise BE, Alatas FS, penyunting. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan LXV. Pelayanan kesehatan anak terpadu. Edisi ke-2013. h.
45. Gopakumar H, Geetha M. Upper gastrointestinal bleeding in neonates. Amrita Journal
of Medicine. 2010;6:1-44.
44. Paton LL. Bleeding and clotting disorder. Dalam: Greenberg MS, Glick M, Ship IA,
penyunting. Burket's oral medicine. Edisi ke-8. 2014. h.454-71.
45. Beck S, Wojdyla D, Say L, Betran AP, Merialdi M, Requejo JH dkk. The worldwide
incidence of preterm birth: a systematic reviews of maternal mortality and morbidity.
World Health Organ. 2010;88:31-8.
46. American Academy of Pediatrics. Hosptal discharge of the highrisk neonate-proposed
guidelines. Pediatrics. 1996;102:411-7.
47. Gunardi H. Pemantauan bayi risiko tinggi dalam praktik sehari-hari. Dalam: Djer MM,
Laksmi E, Citraresmi E, Firmansyah I, penyunting. Pendidikan kedokteran
berkelanjutan: pearl of comprehensive care in pediatrics. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012. h.85-96.
48. Wright CM, Parkinson KN. Postnatal weight loss in term infants: what is "normal" and
do growth charts allow for it? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004;59:254-71.
49. Sekartini R. Pelayanan paripurna bayi risiko tinggi. Dalam: Trihono PP, Windiastuti E,
Pardede SO, Medise BE, Alatas FS, penyunting. Pendidikan kedokteran berkelanjutan
LXV. Pelayanan kesehatan anak terpadu. Edisi ke-Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2013. h.66-77.
50. American Academy of Pediatrics. Hospital discharge of the high-risk neonate-proposed
guidelines. Pediatrics. 1998;102:411-7.
`37
DAFTAR JURNAL
1. Carrol GA, Kvanagh RG, Leidhin CN, Cullinan N M, Lavele LO, Malone D
E.Comparative Effectiveness ofImaging Modalities for the Diagnosis of Intestinal
Obstruction in Neonates. Academic Radiologu. 2016;1-10.
2. Yefet E, Spiegel ET. Outcome from polyhidramnion with normal ultrasound. 2015:137:110.
3. Stolwijk LJ, Lemmers PMA, Harmsen M, Groenendaal F, Vries LSD, Zee DCVD,
Benders MJN, et al. Pediatrics. 2016:11-23.
4. Adair CE, Kowalsky L, Quon H, Ma D, Stoffman J, McGeer A. Risk factors for earlyonset group B streptococcal diseases in neonates a population-based case-control study.
Can Med Assoc J. 2003;169:198-203.
5. Sucilathangam G, Amuthavalli K, Velvizhi G, Ashihabegum NA, Jeyamurugan T,
Palaniappan N. Early diagnosis markers for neonatal sepsis: comparing procalcitonin
(PCT) and C-reactive protein (CRP). J Clin Diag Res. 2012;6:627-31.
6. Din Zu, Emmett P, Steer C, Emond A. Growth \outcomes of weight faltering in infancy in
ALSPAC. Pediatrics:2013;131:843-52.
`38
Lampiran 1. Grafik Lubchencho
Usia Gestasi : 34 minggu
Berat Lahir (P75-P90 Kurva Lubchencho)  sesuai dengan masa kehamilan
`39
Lampiran 2. Kurva Fenton
`40
Download