LAPORAN KASUS PANJANG Neonatus Kurang Bulan Sesuai Masa Kehamilan dengan Atresia Duodenum, Pneumonia Aspirasi, Sepsis Neonatorum Awitan Lambat, dan Gagal Tumbuh Nama Kandidat Abdullah Reza Evaluasi Nasional Terpusat Semarang, 20-21 Februari 2016 KOLEGIUM ILMU KESEHATAN ANAK INDONESIA `0 DIAGRAM WAKTU PEMERIKSAAN 8 Januari 2016 Pasien mulai dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Bayi RS I 9 Januari 2016 16 Januari 2016 21 Februari 2016 Pemeriksaan dan pemantauan awal oleh kandidat dimulai Pemeriksaan dan pemantauan akhir oleh kandidat selesai Pelaporan hasil pemeriksaan dan pemantauan oleh kandidat `1 STATUS PASIEN EVALUASI NASIONAL Minggu, 21 Februari 2016 Nama peserta ujian: Abdullah Reza IDENTITAS PASIEN IDENTITAS ORANG TUA Nama : By. A Nama ayah : Tn. B Jenis kelamin : Lelaki Usia ayah : 48 tahun Usia : 11 hari Pendidikan : SMA Tanggal lahir : 29 Desember 2015 Pekerjaan : Sopir Angkot Alamat : Kota C Nama ibu : Ny. D No. Rekam Medis : 40E-F8-2G Usia : 25 tahun Tanggal masuk RS : 8 Januari 2016 Pendidikan : SD Lama rawat : 31 Hari Pekerjaan : Pedagang Makanan Biaya Pengobatan : Jaminan Kesehatan Nasional Pasien diterima oleh peserta tanggal 9 Januari 2016 ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan ibu pasien, Bidan J dan rekam medis RS H) Keluhan Utama Muntah hijau berulang sejak usia dua hari. Riwayat Penyakit Sekarang Sebelas hari sebelum masuk RS, pasien lahir spontan di Bidan J dari ibu G3P2A0. Berat lahir (BL) 2600 gram, panjang lahir (PL) 45 cm, lingkar kepala (LK) 30 cm, usia gestasi (UG) berdasarkan skor Ballard sesuai dengan 34 minggu, dengan nilai skor APGAR 9 dan 10 (menit pertama dan menit ke lima). Saat lahir pasien langsung menangis kuat, dilakukan perawatan rutin, penyuntikan vitamin K dan inisiasi menyusui dini (IMD). Air ketuban dikatakan jernih, jumlah cukup. Tidak ditemukan riwayat ketuban pecah dini, serta demam sebelum melahirkan, keputihan yang berbau dan banyak pada ibu sebelum bersalin. Pasien Buang Air Kecil (BAK) usia pada 12 jam dan Buang Air Besar (BAB) pada usia 24 jam. Pasien minum air susu ibu (ASI) dengan menetek langsung, setiap menetek 15-20 menit, dan selalu menetek setiap 2-3 jam. `2 Sejak usia 2 hari, terdapat muntah, muncul saat menetek, muntah berwarna kehijauan. Dalam satu hari, muntah berulang tiap 4 – 6 jam, berwarna kehijauan, setelah menetek?. Pasien BAB 2-3 kali perhari dan BAK 4-5 kali perhari. Pasien tetap aktif, menyusu baik, dan menangis kuat. Perut pasien tidak tampak semakin besar, dan tidak teraba tegang. Usia 4 hari, keluhan muntah semakin sering, selalu berwarna kehijauan, BAB tidak ada, dan BAK 3-4 kali perhari berwarna kuning pekat. Perut pasien tampak membesar dan teraba tegang. Terdapat demam, namun suhu tidak diukur, pasien tampak lebih gelisah, menurut ibu napas tidak terlihat cepat dan tidak cekung pada dada ketika pasien bernapas. Orangtua membawa pasien ke rumah sakit (RS) H. Pemeriksaan fisis di RS H menunjukkan pasien terdapat dehidrasi (berat badan turun menjadi 2.400 gram, ubun-ubun besar cekung), sesak, dan demam (suhu 38,7 C). Pemeriksaan Rontgen baby gram yang dilakukan menunjukkan gambaran double bubble dan udara usus tidak sampai distal. Pasien didiagnosis dengan atresia duodenum. Pasien dipuasakan dan dilakukan pemasangan pipa orogastrik (OGT) untuk dekompresi. Pasien mendapatkan terapi rehidrasi dengan NaCl 0,9%, diberikan oksigen nasal kanul 2 lpm, antibiotik intravena amoksisilin-klavulanat dan gentamisin, serta nutrisi melalui total parenteral nutrition (TPN). Pasien dirawat di RS H sampai berusia 11 hari. Selama perawatan sesak pasien berkurang, muntah kehijauan tidak ada, cairan OGT masih berwarna kehijauan (produksi 5-10 mL/hari), BAB tidak ada, dan BAK 3-5 mL/kg/jam. Pasien direncanakan untuk mendapatkan protein dan lipid pada cairan TPN, namun orangtua menolak karena alasan belum memiliki asuransi kesehatan, akhirnya pasien hanya mendapatkan cairan dekstrosa 10% dengan total cairan akhir 150 mL/kg/hari. Pada usia 11 hari, setelah memiliki asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pasien dirujuk ke dari RS H ke RS I, dengan waktu tempuh 4 jam menggunakan ambulans. Pasien dipindahkan menggunakan metode transport kangguru, tidak menggunakan oksigen, dan menggunakan akses vena perifer. Selama di perjalanan, akses vena perifer terlepas dan pasien muntah. `3 Setibanya di RS I, pasien tampak sesak dengan skor Downe 4 (napas cepat 70 kali permenit, air entry terganggu, retraksi epigastrium ringan, merintih dapat didengar dengan stetoskop, tidak tampak sianosis), saturasi oksigen 80%-84%, laju nadi 190 kali per menit, reguler, isi kurang, perfusi yang memanjang lebih dari 2 detik dan suhu aksila 36,9 OC. Berat badan saat datang 1.600 gram. Pasien dihangatkan, diposisikan dan dilakukan pembersihan jalan napas, kemudian diberikan suplementasi oksigen continuous positive airway pressure (CPAP) nasal prong dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) 7 mmHg dan fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 30 %, bolus inisial NaCl 0,9% sebanyak 2 kali 10 mL/kg/kali . Setelah stabil, pasien sadar dengan laju nadi 135 kali per menit (reguler, isi cukup), laju napas 44 kali per menit (tidak didapatkan retraksi), saturasi oksigen 95% dan suhu aksila 36,8°C. Kepala tidak memiliki deformitas dan ubun-ubun besar (UUB) datar. Pada pemeriksaan jantung, paru, tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan abdomen tampak membuncit lemas. Perfusi perifer pada keempat ekstremitas cukup. Skor Ballard sesuai usia gestasi 34 minggu. Hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) 105 mg/dL. Pasien didiagnosis sebagai neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB SMK, gestasi 34 minggu, BL 2.600 gram), sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL), pneumonia neonatal, gizi buruk, syok hipovolemik, dan ileus obtruktif letak tinggi. Pasien dipuasakan, antibiotik diganti menjadi piperasilin-tazobaktam dan amikasin dosis sepsis intravena, dipasang selang orogastrik (OGT), dan diberikan nutrisi parenteral total. Pemberian suplementasi oksigen dengan CPAP PEEP 7 FIO2 30% dilanjutkan.Dilakukan rontgen thoraks dengan hasil perselubungan di paru kanan atas Pasien diterima oleh kandidat pada hari kedua perawatan (usia 12 hari). Saat diterima, pasien aktif, tidak didapatkan instabilitas suhu, sesak berkurang, nutrisi parenteral, produksi OGT kehijauan 7 mL, BB 1800 g, diuresis normal. Pasien direncanakan laparotomi eksplorasi dalam anestesi umum. Pasien diberikan TPN lengkap yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lipid dengan total cairan setiap harinya 150 mL/kg/hari. `4 Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat kelahiran prematur disangkal. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal. Riwayat asma dan atopi disangkal. Riwayat hamil lebih besar dari biasanya disangkal. Kesan: riwayat kelahiran prematur dan polihidramnion tidak ditemukan. Riwayat Kehamilan Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari kehamilan yang direncanakan. Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya setiap bulan ke Bidan J. Hari pertama haid terakhir ibu pasien pada bulan 15 April 2015 sedangkan taksiran partus jatuh pada bulan 22 Februari 2016. Selama hamil hanya mengonsumsi obat-obatan berupa vitamin yang diberikan oleh bidan. Asupan nutrisi selama kehamilan terkesan cukup, kenaikan BB ibu 13 kg sampai akhir kehamilan. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) di dokter spesialis kandungan pada usia kehamilan 22 minggu menunjukkan polihidramnion, namun karena tanpa kelainan struktural janin dan tanpa risiko komplikasi saat kelahiran, ibu pasien dirujuk balik untuk melahirkan di Bidan J. Kesan: Ibu pasien memiliki risiko lahir prematur berupa polihidramnion. Riwayat Nutrisi Sejak lahir pasien minum air susu ibu (ASI) setiap 3 sampai 4 jam, setiap menetek 15-20 menit, namun terdapat muntah setiap 4-6 jam. Selama perawatan di RS H, pasien mendapatkan nutrisi parenteral berupa larutan dektrosa 10% sebanyak 280 mL/harI (120 mL/kg/hari) -420 mL/hari (175 mL/kg/hari), dengan 40 kalori/kg/hari – 60 kalori/kg/hari, tanpa protein dan lipid. Kesan: Nutrisi enteral dan parenteral pada pasien jauh dari kebutuhan tumbuh kembang. Riwayat Tumbuh Kembang Pertumbuhan Pasien lahir dengan BL 2600 gram, PL 45 cm. Pada usia 4 hari, BB 2400 gram. Pada usia 12 hari, berat badan (BB) 1800 gram, panjang badan (PB) 46 cm. `5 Kesan: Terdapat gagal tumbuh. Perkembangan Kesan: Perkembangan belum dapat dinilai. Riwayat Imunisasi Saat lahir pasien mendapat imunisasi Hepatitis B dan Polio. Kesan: Sudah mendapatkan imunisasi sesuai jadwal. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kondisi Lingkungan Ibu berusia 25 tahun, beragama Islam, suku Jawa, berpendidikan sekolah dasar (SD) dan seorang pedagang makanan. Ayah berusia 48 tahun, beragama Islam, suku Padang, berpendidikan sekolah menengah atas (SMA) dan bekerja sebagai sopir angkot. Keluarga pasien berasal dari golongan ekonomi rendah. Penghasilan perbulan antara dua juta rupiah sampai dengan empat juta rupiah. Biaya pengobatan awalnya menggunakan biaya pribadi saat di Bidan J dan RS H, saat ini menggunakan jaminan kesehatan nasional (JKN). Pasien tinggal dalam sebuah rumah kontrakan, ukuran 6 x 8 meter dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Terdapat satu jendela di depan rumah sebagai ventilasi dan sumber masuk cahaya matahari dan dua pintu di depan dan belakang rumah. Lantai terbuat dari ubin keramik, dinding dari tembok dan atap genting. Sumber air bersih untuk MCK berasal dari sumur di luar rumah sedangkan air minum berasal dari air kemasan galon isi ulang. Fasilitas listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Akses dari rumah ke pelayanan kesehatan terdekat dapat ditempuh dengan waktu 30 menit dengan kendaraan umum. Kesan: Keluarga pasien termasuk golongan sosioekonomi yang rendah. Tempat tinggal memiliki ventilasi dan pencahayaan cukup. Sarana kesehatan mudah dijangkau. PEMERIKSAAN FISIS (Ruang IGD Bayi RS I, 9 Januari 2016 Pukul 10:00) Tanda Vital Aktif, menangis kuat, tidak terdapat sianosis, tidak ada retraksi, tidak tampak kuning `6 Nadi : 134 kali permenit, regular, isi cukup Pernapasan : 48 kali per menit, kedalaman cukup, regular Suhu : 36,90C (aksila) Saturasi O2 : 96% dengan oksigen CPAP PEEP 7 FiO2 20%. Status gizi dan antropometri BB = 1800 g (Bawah P3 kurva Fenton) TB ayah : 158 cm PB = 46 cm (P10-P50 kurva Fenton) TB ibu : 155 cm LK = 31 cm(P10-P50 kurva Fenton) Tinggi potensi genetik: 154,5 – 171,5 cm Kesan: gagal tumbuh Pemeriksaan fisis persistem Sistem Deskripsi Kulit Sawo matang, tidak ada kutis mormorata, tidak tampak kuning. Kepala Tidak didapatkan deformitas tidak ada, ubun-ubun besar terbuka dengan diameter 2 x 2 cm, Lingkar Kepala 32 cm (normosefal), tidak cekung dan tidak membonjol, tidak ada hematom. Rambut Rambut hitam, tipis, tidak mudah dicabut Wajah Simetris, tidak tampak dismorfik, dan tidak tampak paresis saraf kranialis. Mata Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, tidak terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi sklera. Tidak terdapat edema palpebra bilateral. Pupil bulat isokor dengan diameter 2 mm/2 mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung baik, dolls eye movement positif. Tidak tampak hipertelorisme. Hidung Tidak tampak napas cuping hidung, menggunakan Nasal Prong CPAP Telinga Tidak terdapat serumen dan sekret, membran timpani sulit dinilai. Tidak tampak low-set ear. Mulut Mukosa bukal, faring, dan palatum lembab, terpasang OGT yang dialirkan dengan produksi cairan berwarna kehijauan. Refleks hisap baik. Dada Bentuk dan pergerakan simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, tidak terdapat retraksi epigastrium, tidak tampak iga gambang. Paru Pergerakan simetris, suara napas vesikular di kedua lapang paru, terdapat ronki basah halus pada paru kanan dan tidak ada mengi di kedua paru. `7 Jantung Iktus kordis tidak tampak, teraba di sela iga IV-V linea midklavikularis kiri. Bunyi jantung I dan II normal, tidak didapatkan bising jantung maupun irama derap. Abdomen Buncit, lemas, tampak gambaran usus (darm contour) pada area abdomen atas, tampak gerakan usus (darm steifung) dari abdomen atas kiri ke abdomen atas kanan, tidak terdapat venektasi maupun hernia, bising usus terdengar 4-5 kaliper menit, perkusi timpani, tidak terdapat shifting dullness, hati teraba 1 cm bawah arkus kosta, 1 cm bawah prosesus xifoideus dengan permukaan rata, konsistensi kenyal, dan tepi tajam. Tidak teraba pembesaran limpa maupun massa intraabdomen. Turgor kulit baik. Lingkar perut 30 cm. Punggung Tidak terdapat kelainan anatomis, tidak terlihat posisi sandifer. Tidak tampak sacral dimple atau anal dimple. Bokong, anus Tidak terdapat kelainan pada anus, tidak terdapat baggy pants, ada wasting. Colok Dubur Tonus sfingter ani normal, ampula kolaps, mukosa licin, massa tidak teraba. Pada sarung tangan feses ada berwarna hijau gelap, darah tidak. Tidak ada BAB menyemprot setelah colok dubur dilakukan Genital Lelaki, testis teraba di dalam kantung skrotum bilateral, orifisium uretra eksterna tidak kemerahan. Ekstremitas Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik. Tidak terdapat edema. Tidak tampak jari tabuh. Tonus otot normal di keempat ekstremitas. Tidak terdapat deformitas. Gerakan kaki bebas. Tidak tampak simian crease. KGB Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) PEMERIKSAAN PENUNJANG (Ruang IGD Bayi RS I, 9 Januari 2016) Pemeriksaan Laboratorium Darah (Sampel: Darah Vena) `8 Variabel Hb (g/dL) MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL) Ht (%) Leukosit (/µL) Trombosit(/µL) Rasio IT CRP (mg/L) Prokalsitonin (ng/mL) Ureum (mg/dL) Kreatinin (mg/dL) Albumin (g/dL) Bilirubin total (U/L) Bilirubin direk (U/L) Bilirubin indirek (U/L) GDS (mg/dL) PT (detik) APTT (detik) Nilai 15,5 102 36,7 35 39,9 27.900 300.000 0,54 2,7 4 3 0,9 3,84 1.02 0.96 1.06 124 12 30 Batas Normal 15-24 99-115 33-39 32-36 32-36 9.100-34.000 150.000-400.000 0,00-0,2 0,00-0,2 <0,1 3-25 0,3-1 3-3,9 <15 48-150 10,6-16,2 27,5-79,4 Pemeriksaan Laboratorium Darah (Sampel: Arteri radialis kanan dalam CPAP PEEP 7 FiO2 20%) Variabel Nilai 7,32 40 88 22 -1 97 135 5,1 108 Ph pCO2 (mmHg) pO2 (mmHg) HCO3 BE Saturasi oksigen (%) Natrium (mEq/L) Kalium ( mEq/L) Klorida (mEq/L) Batas Normal 7.350-7.450 35.00-45.00 75.00-100.00 21.00-25.00 (-2.50)-2.50 95-98 132-147 3,3-5,4 94-111 Pemeriksaan Rontgen Toraks (9 Januari 2016 RS I) Tampak perselubungan homogen pada paru atas kanan, jantung tidak membesar. Rontgen polos abdomen (5 Januari 2016 RSIA H) Tampak tanda double bubble, udara tidak sampai distal. RESUME Pasien bayi lelaki usia 11 hari dengan keluhan utama muntah hijau berulang sejak usia dua hari. Bayi lahir spontan di bidan dari G3P2A0, dari ibu polihidramnion, BAK sejak usia 12 `9 jam, mulai BAB setelah usia 24 jam, frekuensi BAB rata-rata 2-3 kali sehari dan BL 2600 gram. Usia 4 hari pasien, muntah hijau semakin sering, BAB mulai tidak ada, BAK 3-4 kali/hari, pasien tampak sesak, dan gelisah. Perut tampak semakin membesar dan tegang. Pasien mengalami penurunan BB menjadi 2400 gram. Pemeriksaan fisis dan penunjang mencurigai adanya infeksi dan ileus obstruksi pada pasien. Pasien menjalani perawatan di RS, mendapat TPN hanya dekstrosa 10% karena alasan finansial orang tua. Pasien mendapatkan oksigen, antibiotik amoksisilin-klavulanat dan gentamisin. Selama di perawatan pasien sesak perbaikan namun OGT tetap hijau. Rencana rujuk ke RS I setelah JKN selesai. Usia 11 hari pasien, setelah memiliki JKN, pasien dirujuk dari RS H ke RS I menggunakan metoda transport kangguru. Selama perjalanan suhu tubuh pasien dapat terjaga, namun hemodinamik dan pernapasan tidak dapat terjaga. Selama perjalanan 4 jam, terdapat episode muntah, sesak dan terlepasnya akses vena perifer. Pasien tiba ke RS I dalam kondisi sesak dan perfusi memanjang, dilakukan stabilisasi dengan pemberian CPAP, dan bolus inisial NaCl 0,9%. Pasca stabilisasi, pasien kembali aktif, BB turun menjadi 1800 gram, dan produksi OGT berwarna kehijauan. Pasien disiapkan untuk operasi, antibiotik diganti menjadi piperasilin-tazobaktam dan amikasin, serta pemberian TPN lengkap (protein, lemak, karbohidrat). Kandidat menerima pasien pada perawatan hari kedua di RS I (Usia 12 Hari), pasien kondisi aktif, instabilitas suhu tidak ada, sesak berkurang, produksi OGT kehijauan, tanda vital normal, dan diuresis baik. Pasien direncanakan operasi laparotomi eksploratif dalam anestesi umum dengan perawatan pasca-operasi di ruang rawat intensif yang memiliki fasilitas ventilator. DAFTAR MASALAH 1. Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan 2. Obstruksi usus letak tinggi akibat e.c atresia duodenum (d.d stenosis duodenum) 3. Pneumonia aspirasi 4. Sepsis neonatorum awitan lambat 5. Gagal tumbuh `10 DIAGNOSIS KERJA 1. Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan (ICD 10: P07.38) 2. Atresia duodenum (ICD-10: Q41.0) 3. Pneumonia aspirasi neonatal (ICD-10: P24.81) 4. Sepsis neonatorum awitan lambat (ICD-10: P36.9) 5. Gagal tumbuh (ICD 10: R62.51) TATA LAKSANA Rawat inap di Inkubator, jaga suhu 36,5-37,5 OC 1. Neonatus 34 Minggu, Sesuai Masa Kehamilan Diagnostik Rencana pemeriksaan skrining morbiditas bayi risiko tinggi, seperti skrining penglihatan, pendengaran, USG kepala, anemia akibat prematuritas, dan osteopenia akibat prematuritas Pemantauan berkala berat badan dan panjang badan Terapeutik Pemberian TPN lengkap dengan kalori 110-120 kal/kgBB/hari Mengatasi kelainan yang ditemukan saat skrining 2. Atresia Duodenum Diagnostik Rontgen abdomen AP dan lateral Terapeutik Dipuasakan Dekompresi lambung Laparotomi untuk koreksi Edukasi Penjelasan mengenai rencana laparotomi, dan prognosis. 3. Pneumonia Aspirasi Neonatal Diagnostik Rontgen Thoraks AP Analisa Gas Darah Kultur sputum (tidak lumrah dilakukan), cara pengambilan sample bagaimana? MAUDYYYYYY INI BENER DIPAKE? KL DIHAPUS SAJA BAGAIMANA? `11 Terapeutik CPAP PEEP 7 cmH2O FIO2 30% Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (intravena) Amikasin 3 x 15 mg (intravena) Edukasi Penjelasan mengenai pneumonia aspirasi, kemungkinan etiologi, komplikasi yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana, dan prognosis. 4. Sepsis Neonatorum Awitan Lambat Diagnostik Pemeriksaan petanda infeksi (DPL, CRP, IT, prokalsitonin) Kultur darah Terapeutik Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (intravena) Amikasin 3 x 15 mg (intravena) Edukasi Penjelasan mengenai sepsis, kemungkinan etiologi, komplikasi yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana, dan prognosis Pencegahan infeksi nosokomial 5. Gagal Tumbuh Diagnostik Evaluasi berat badan Evaluasi tinggi badan Evaluasi lingkar kepala Terapeutik Pemberian nutrisi parenteral yang mengandung makronutrien dan mikronutrien yang lengkap, sesuai kebutuhan kalori dan kebutuhan harian, diberikan selama kondisi pasien belum stabil danterdapat kontraindikasi diet enteral. Mengandung 110 kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:180 Protein (3,5g/kgBB/hari) dan dekstrosa 11% GIR 12 mg/kg/min. Lipid 20% (3g/kgBB/hari). Pemberian nutrisi enteral sesegera mungkin dan sedikit demi sedikit sesuai toleransi pasien, setelah koreksi atresia duodenum dan kondisi pasien stabil serta sudah tidak ada kontraindikasi pemberian diet enteral, ASI adalah yang paling utama akan diberikan. `12 Edukasi Penjelasan mengenai gagal tumbuh, kemungkinan etiologi, komplikasi yang dapat terjadi, rencana pemantauan, tata laksana, dan prognosis. Pemberian motivasi dan edukasi mengenai pemberikan ASI dan penyimpanan ASI. PEMANTAUAN Usia 13-16 Hari (10-13 Januari 2016) S Tidak terdapat instabilitas suhu. Muntah tidak ada, produksi OGT kehijauan, pasien dipuasakan Pasien sesak berkurang Pasien aktif Belum mendapat ruang rawat intensif pasca operasi O Pasien tampak aktif, tidak pucat, tidak sesak maupun sianosis, tidak tampak ikterik. Frekuensi denyut jantung 140-154 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak terdapat retraksi, maupun napas cuping hidung, suhu tubuh 36,7 - 37,3oC Balans cairan negatif 4,8 - 5,2 ml, diuresis 3 - 4 mL/kg/jam, produksi OGT 2 - 3 mL/hari Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak cekung atau edema Mulut mukosa lembab - Jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen Buncit, lemas, tampak darm contour dan darm steifung, bising usus terdengar 4-5 kali per menit, Lingkar perut 30 cm. Akral hangat, gerak aktif, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, tidak edema BB 1820 g 1830 g 1850 g 1860 g USG Kepala: Tidak tampak kelainan anatomis, tidak tampak perdarahan Rontgen abdomen sinar horizontal tidak ada gambaran udara bebas A 1. 2. 3. 4. 5. Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan Atresia duodenum Pneumonia aspirasi neonatal Sepsis neonatorum awitan lambat Gizi kurang perawakan normal dengan gagal tumbuh P Rawat di inkubator, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C. `13 Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420 mL/hari). Oksigen: CPAP PEEP 7 FIO2 30% PEEP 6 FIO2 21% Oral: nothing peroral. IVFD: (mengandung 110 kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:180) Protein (3,5g/kgBB/hari) Dekstrosa 11% GIR 12 mg/kg/min Lipid 20% (3g/kgBB/hari) Obat: Piperasilin-tazobaktam 3 x 150 mg (Intravena) Amikasin 3 x 15 mg (Intravena). Monitoring keadaan umum, tanda vital, balans cairan Mencari ruang intensif post operasi dengan ventilator Edukasi orangtua bahwa kondisi sesak sudah perbaikan. Usia 17 Hari (14 Januari 2016) S Pasien dilakukan operasi koreksi, secara intoto, tampak atresia duodenum tipe satu. Dilakukan koreksi definitif dengan sambungan end to end. Dilakukan pemasangan Naso Jejunal Tube (NJT) dan OGT. Anak tampak pucat pasca operasi, perdarahan intra operasi banyak. Anestesi umum, penyapihan ventilator pasca operasi gagal. Demam? O Pasien tampak letargis, pucat, tidak sesak maupun sianosis, tampak ikterik hingga kaki. Skor Nyeri: Skor Pain Assesment Tools (PAT) = 3 Frekuensi denyut jantung 170-184 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak terdapat retraksi, maupun nafas cuping hidung, suhu tubuh 36,7-37,3oC. Dalam Ventilator Pressure Control (PC) RR 60 IT0,3 FIO2 25% Press 22/5 cmH20 Balans cairan selama operasi negatif 1 ml, diuresis 4,5 mL/kg/jam, Perdarahan: 30 mL BB = ...... kg Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol. Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak edema. Mulut mukosa lembab. Jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen datar, lemas, perkusi timpani, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus `14 negatif. Lingkar perut 31 cm. Tampak luka post op horizontal abdomen bawah. Akral hangat, waktu pengisian kapiler <2 detik. Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya. Variabel Nilai Batas Normal Hb (g/dL) 8,9 15-24 MCV (fL) 106 99-115 MCH (pg) 37,7 33-39 MCHC (g/dL) 35 32-36 Ht (%) 26,9 44-70 Leukosit (/µL) 39.900 9.100-34.000 Trombosit(/µL) 200.000 150.000-400.000 IT ratio 0,94 < 0,6 CRP (mg/L) 10,7 0,00-0,2 Prokalsitonin (ng/mL) 9 <0,1 Kreatinin (mg/dL) 1,0 0,3-1 Albumin (g/dL) 1,84 3-3,9 Bilirubin total (U/L) 8.0 <15 Bilirubin direk 1.0 Bilirubin indirek 7.0 <1,4 GDS (mg/dL) 114 48-150 pH 7,35 7.350-7.450 pCO2 (mmHg) 46 35.00-45.00 pO2 (mmHg) 98 75.00-100.00 HCO3 22 21.00-25.00 Base excess 0 (-2.50)-2.50 Saturasi oksigen (%) 97 95-98 Natrium (mEq/L) 135 132-147 Kalium ( mEq/L) 4,1 3,3-5,4 Klorida (mEq/L) 108 94-111 Glukosa darah (mg/dL) 105 0-200 Kultur Darah (9 Jan 2016) Tidak Tumbuh Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan Atresia duodenum tipe 1 Pneumonia aspirasi neonatal Sepsis neonatorum awitan lambat Gagal tumbuh Hipoalbuminemia Anemia normositik normokrom e.c perdarahan intraoperasi A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. P Rawat di infant warmer, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C. Oksigen: Ventilator Pressure Control (PC) RR 60 IT 0,3 FIO2 25% Press 22/5 cmH2O Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420mL/hari). Oral: nothing peroral. IVFD: (mengandung 90kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:150) `15 Protein (3,5g/kgBB/hari) dengan dekstrosa 11% GIR 8. Lipid 20% (3g/kgBB/hari) Transfusi PRC 20 mL/kg (60 mL) Transfusi Albumin 25% 10 mL (hari ke 1). Obat: Meropenem 2 x 80 mg (intravena, hari 1) Lab: Kultur darah, kultur sputum, kultur swab luka operasi Monitoring keadaan umum, tanda vital, reaksi transfusi. Usia 18 dan 19 Hari (15 dan 16 Januari 2016) S Pasien tidak mengalami instabilitas suhu Luka operasi tidak ada perdarahan Residu NJT berwarna kehijauan dan OGT sudah bening Anak sudah aktif, telah dilakukan ekstubasi O Pasien tampak aktif, tidak pucat, tidak sesak maupun sianosis, tidak tampak ikterik. Frekuensi denyut jantung 150-154 kali per menit, laju napas 40-52 kali per menit, tidak terdapat retraksi, maupun nafas cuping hidung, suhu tubuh 36,7 - 37,3oC. CPAP Nasal Prong PEEP 6 cmH2O FIO2 25% Skor PAT : 3-4 Balans cairan positif 9-10 ml, diuresis 4-5 mL/kg/jam, produksi OGT: 2-5 mL/hari BB 1920 g 1950 g, PB 47 cm, LK 32 cm Kepala tidak ada deformitas, UUB terbuka datar, tidak membonjol. Mata konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebra tidak edema. Mulut mukosa lembab. Jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen datar, lemas, perkusi timpani, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus 2-3 kali per menit. Lingkar perut 31 cm. Tampak luka post op horizontal abdomen bawah, tidak ada rembesan darah. Akral hangat, waktu pengisian kapiler <2 detik, gerak aktif pada keempat ekstrimitas Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya. A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Neonatus 34 minggu, sesuai masa kehamilan Atresia duodenum tipe 1 Pneumonia aspirasi neonatal Sepsis neonatorum awitan lambat Gizi kurang perawakan normal dengan gagal tumbuh Hipoalbuminemia Anemia normositik normokrom e.c perdarahan intraoperasi `16 Rawat di infant warmer, jaga suhu tubuh 36,5°C-37,5°C. P Oksigen: CPAP PEEP 5 cmH2O FIO2 25% Kebutuhan cairan 150 mL/kgBB/hari (420mL/hari). Oral: nothing peroral IVFD: (mengandung 90kkal/kgBB/hari, dengan N:NPC=1:150) Protein (3,5g/kgBB/hari) dengan dekstrosa 11% GIR 8 mg/kg/min Lipid 20% (3g/kgBB/hari) Transfusi Albumin 25% 10 mL (hari ke 2 & 3). Obat: Meropenem 2 x 80 mg (intravena, hari ke 2-3) Monitoring keadaan umum, tanda vital, reaksi transfusi. Edukasi orangtua: Kemajuan pengobatan dan prognosis. PROGNOSIS Ad vitam: dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanationam: dubiaad bonam `17 SKEMA PERJALANAN PENYAKIT 28 Desember 2015 Usia 1 - 3 hari Usia 4-11 hari (usia 2 bulan) • Ibu G3P2A0 • ANC Bidan J teratur • USG • Polihidramnion • Anatomi baik • BB naik 13 kg • Klinis baik • Lab normal • Lahir spontan • Skor Ballard ~ UG 34 minggu • Skor APGAR: 9/10 • BL 2600 gram Usia 11 hari Rawat bersama Ibu o Menetek baik o BAK usia 12 jam o BAB usia 24 jam o Muntah hijau usia 48 jam Kondisi pulang baik Imunisasi oleh Bidan J o Hepatitis B o Polio Usia 12 hari • Keluhan di rumah • Muntah hijau (+) • BAB tidak ada • BAK sedikit • Gelisah • Rumah Sakit H • BB 2400 g (turun) • Dehidrasi, Sesak • Perut membuncit • TPN Dekstrosa • “Double Bubble” • Diagnosis? • Amoksisilinklavulanat dan Gentamisin Usia 13-16 hari (usia 2 bulan) • • RS H rujuk RS I • Waktu 4 jam • Mobil ambulans • Metode kangguru • Akses vena lepas • Muntah dan Sesak o Pemeriksaan fisis Bayi aktif Sesak berkurang BB 1800 g Tim Jaga RS I • BB 1600 gram • CPAP • Bolus NaCl 0,9% • PiperasilinTazobaktam dan Amikasin. • Rencana operasi o Rencana operasi Laparotomi o Produksi OGT 7 mL, Kehijauan `18 • Peningkatan BB • 1820 gram • 1830 gram • 1850 gram • 1860 gram • Operasi menunggu ruang pasca operasi • Klinis • Demam tidak • Bayi aktif • Sesak berkurang • Produksi OGT hijau Usia 17 hari Usia 18-19 hari (usia 2 bulan) • Laparotomi • Atresia duodeni • Perdarahan • Pakai ventilator • Laboratorium • Kultur darah (Steril) • Hb 8,9 g/dL (Transfusi PRC) • Alb 1,84 g/dL (Albumin 25%) • Prokalsitonin 9 (Meropenem) o Pemeriksaan fisis Bayi aktif Sesak berkurang o Peningkatan BB 1920 gram 1950 gram o OGT bening o NJT kehijauan `19 SKEMA ANALISA KASUS Masalah By A , 11 hari Prematur 34 minggu BL 2600 g Diagnosis Tera NKB SMK Bilirubin, albumin, ROP, USG kepala, OAE, DPL, Hipoalbuminemia Muntah hijau BAK sedikit Mekonium 24 am K al Re an en Atresia duodenum Foto abdomen, foto Pneumona aspirasi O C Gizi kurang perawakan normal Gagal tumbuh T Sw po Pe pe SNAL CRP,IT rasio, kultur darah, kultur sputum, UL, kultur urin `20 A ANALISIS KASUS Pasien merupakan neonatus kurang bulan (usia gestasi 34 minggu, berat lahir 2600 gram) yang mengalami muntah berwarna hijau sejak berusia dua hari. Keluhan muntah hijau disebabkan karena obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi yang dimaksud pada pasien ini adalah atresia duodenum. Muntah pada pasien memiliki risiko untuk aspirasi ke dalam paru-paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi. Neonatus kurang bulan (NKB) didefinisikan sebagai neonatus yang lahir sebelum usia gestasi 37 minggu terhitung sejak hari pertama menstruasi terakhir.1 Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kelahiran NKB di Indonesia adalah 11,1%.2 Prematuritas merupakan penyebab kematian utama pada bulan pertama kehidupan dan penyebab kedua pada kelompok usia di bawah 5 tahun. Sejak tahun 1990 hingga 2010, angka kejadian persalinan prematur di dunia kian meningkat. Indonesia menempati peringkat kelima dalam deretan 10 negara yang berkontribusi dalam 60% persalinan prematur di dunia.3 Data dari laporan fetomaternal pada tahun 2009 menunjukkan angka kelahiran NKB di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebesar 25%.4 Penyebab kelahiran prematur sulit ditentukan dengan pasti karena tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi sebagian besar merupakan akibat interaksi beberapa faktor. Persalinan prematur dapat dipicu oleh beberapa mekanisme, termasuk infeksi, inflamasi, iskemia atau perdarahan uteroplasenta, distensi uterus, stres, dan proses imunologis lain.5 Pada kasus ini, pasien lahir prematur spontan karena distensi uterus berlebihan yang disebabkan oleh polihidramnion. Permasalahan yang timbul pada NKB merupakan akibat dari imaturitas berbagai sistem organ. Imaturitas neurologis meningkatkan risiko perdarahan intraventrikuler dan apnu prematuritas, imaturitas surfaktan bermanifestasi sebagai distres napas, serta imaturitas sistem imun meningkatkan risiko infeksi. Imaturitas sistem organ lainnya dapat mencakup sistem kardiovaskular, hematopoesis, masalah metabolik seperti hiperbilirubinemia dan hipoglikemia, gangguan penglihatan dan pendengaran, serta masalah tumbuh kembang. Berbagai masalah tersebut menjadi kondisi yang harus diperhatikan dalam perawatan bayi prematur.6 Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.7 `21 Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum sampai saat ini belum diketahui. Atresia duodenum sering ditemukan bersamaan dengan malformasi neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan.7 Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi.Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini.8 Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenum. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal menyebabkan polihidramnion.7,8 Ada faktor intrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia duodenum. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum.7,8 Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkangangguan perkembangan duodenum.7,8 Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada lebih dari 90% kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapat windsock deformity, dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dankolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III. memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.7 Atresia duodenum yang terjadi pasien pasien adalah atresia duodenum tipe I. Pasien dengan atresia duodenum memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak mulai 24 jam setelah kelahiran. Muntah hijau yang terus menerus merupakan yang terus menerus ditemukan pada 85% pasien.8 Keluhan muntah hijau yang terjadi sejak usia 48 jam `22 pada pasien merupakan gejala obstruksi usus letak tinggi, yang dapat disebabkan oleh atresia duodenum. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih pekat dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonim dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Pada pasien, mekonium keluar saat usia 24 jam, namun setelahnya terdapat gangguan pengeluaran BAB. Modalitas pencitraan yang dapat digunakan untuk membedakan atresia duodenum dan obstruksi letak atas lainnya hingga saat ini belum ada yang memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang baik.9 [Academic Radiology. 2016. Level of evidence: 1]. Pada pasien ini, USG prenatal yang menyatakan polihidramnion namun tidak ditemukan kelainan anatomis. Salah satu penelitian yang menunjukkan bawa USG prenatal yang menunjukkan polihidramnion tanpa menunjukkan kelainan anatomis tidak menyingkirkan kelaianan terjadinyanya malformasi kongenital.10 [Pediatrics. 2015. Level of evidence: 3] Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan atresia duodenum dengan penanganan yang tidak adekuat adalah aspirasi pneumonia, perforasi gaster, dehidrasi berat, sampai dengan syok. Pada pasien dtemukan dua komplikasi, yang memang umumnya terjadi pada 30% kasus, yaitu pneumonia aspirasi dan syok hipovolemik karena dehidrasi. Penanganan yang baik, mulai dari pra operasi hingga pasca operasi meningkatkan harapan hidup dari pasien yang menderita atresia duodenuum hingga 90-95%. Namun sebuah meta analisis yang melakukan penelitian pada beberapa 895 anak menunjukkan bahwa 23% pasien dengan riwayat operasi kelainan non jantung (termasuk atresia duodenum) menunjukkan gangguang kognitif fan gangguan perkembangan motorik.11[Pediatrics. 2016. Level of evidence: 1] Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.6 Berdasarkan patofisiologinya, sepsis neonatorum dibagi menjadi dua kategori yaitu sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan awitan lambat (SNAL). Sepsis neonatorum awitan dini adalah sepsis dengan waktu awitan kurang dari usia 72 jam dan biasanya disebabkan oleh mikroorganisme dari jalan lahir. Sepsis awitan dini seringkali merupakan salah satu faktor yang menimbulkan distres napas pada bayi baru lahir.12 Selain distres napas, bayi dapat diduga mengalami sepsis jika ditemukan penurunan kesadaran (letargis dan iritabilitas), instabilitas suhu (hipotermi atau hipertermi), gangguan sirkulasi (takikardi, hipotensi, pemanjangan waktu pengisian kapiler, sianosis, `23 mottling, pucat), gangguan pernafasan (distres pernafasan, takipnu, apnu pada usia kurang dari 24 jam), gangguan metabolik (hipoglikemia atau hiperglikemia, asidosis metabolik), ikterus dan toleransi minum yang buruk.13 Faktor risiko SNAD adalah prematuritas, kolonisasi Streptokokus grup B pada jalan lahir, ketuban pecah dini lebih dari 18 jam, dan gejala korioamnionitis pada ibu. Gejala korioamionitis sangat mungkin bila ibu demam (suhu >38 C) disertai dua dari gejala-gejala berikut yaitu leukosit ibu >15.000 /μL; ibu takikardi (denyut nadi >100 x/mnt); janin takikardi (denyut nadi >160 x/mnt); ketuban hijau, kental dan berbau serta nyeri di daerah rahim.14 [Can Med Assoc J. 2003. Level of evidence: 3] Pada kasus ini, pasien menunjukkan gejala letargis, dan distres napas yang sesuai dengan gambaran klinis sepsis. Faktor risiko sepsis neonatal awitan dini yang terjadi pada saat dirawat di RSIA H pada pasien hanyalah prematuritas sedangkan faktor risiko infeksi dari ibu tidak didukung oleh data klinis dan laboratorium. Faktor risiko sepsis neonatal awitan lambat pada pasien ini saat dalam pengawasan adalah riwayat penggunaan akses vena pada pasien di RSIA H dan adanya aspirasi muntah yang dibuktikan dari foto rontgen dada. Untuk menegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang dilakukan berupa darah perifer lengkap (melihat jumlah leukosit dan trombosit), hitung rasio netrofil imatur dibandingkan total (rasio I/T), CRP, dan prokalsitonin, serta kultur darah. Pemeriksaan penunjang pada pasien menunjukkan peningkatan IT dan CRP. Selain CRP, Prokalsitonin merupakan petanda sepsis yang lebih baik daripada CRP, rasio I/T, maupun hitung leukosit. Sensitivitas prokalsitonin untuk mendeteksi sepsis 92,8%, dan spesifisitas 75%, lebih tinggi dibandingkan CRP (sensitivitas 50%, spesifisitas 69,4 %), rasio I/T (sensitivitas 14,25%), dan hitung leukosit (sensitivitas 14,25%).15[J Clin Diag Res. 2012. Level of evidence: 3] Penelitian di Italia pada bayi cukup bulan dan prematur menunjukkan bahwa bayi prematur memiliki respon CRP yang lebih rendah dan lebih pendek dibandingkan bayi cukup bulan. Pada bayi prematur, nilai prokalsitonin sebesar 0,07 (0,01-0,56) µg/L saat lahir, meningkat secara cepat menjadi 6,5 (0,9-48,4) µg/L pada usia 21-22 jam dan turun bertahap menjadi 0,10 (0,01-0,8) µg/L pada usia 5 hari.16 [Clinica Chim Acta. 2011. Level of evidence: 2] Biakan darah pada pasien menunjukkan hasil steril. Studi yang dilakukan di suatu rumah sakit tersier di India terhadap hasil biakan darah pada pasien sepsis neonatorum menunjukkan bahwa dari seluruh subjek hanya didapatkan 42% biakan darah yang positif, namun pasien tetap didiagnosis sebagai sepsis neonatorum.17 Hal tersebut sesuai dengan kondisi pasien yang memiliki faktor risiko dan tanda infeksi yang jelas tetapi tidak tumbuh koloni pada biakan darah. Tata laksana sepsis neonatorum meliputi tata laksana antibiotik dan suportif. Tata laksana antibiotik bertujuan untuk mengeliminasi `24 kuman penyebab. Sebelum mikroorganisme penyebab diketahui dari biakan darah, terapi empiris diberikan sesuai pola kuman dan resistensi. Terapi definitif ditentukan selanjutnya berdasarkan hasil biakan.18,19 Diagnosis sepsis secara klinis pada neonatus tidaklah mudah karena berbagai tanda sepsis yang tidak spesifik dan menyerupai kondisi non-infeksi lainnya. Walaupun pemeriksaan fisis normal merupakan bukti bahwa tidak ada sepsis, bakteremia tetap dapat terjadi tanpa adanya gejala klinis. Pemeriksaan penunjang yang tersedia tidak membantu untuk memutuskan seorang neonatus membutuhkan terapi empiris antibiotika tetapi dapat membantu untuk menentukan apakah terapi akan dilanjutkan atau tidak.18 Penggunaan antibiotika pada neonatus sebaiknya dilanjutkan selama 48-72 jam sambil menunggu hasil biakan darah pada pasien tersangka sepsis. Sampai adanya bukti, rekomendasi pemberian antibiotika selama 1014 hari dapat digunakan bila didapatkan sepsis dengan biakan darah positif tanpa meningitis.20 Pasien pada kasus ini mendapatkan antibiotika piperasilin tazobaktam dan amikasin sejak masuk RS I karena tanda-tanda infeksi semakin bertambah berat walaupun sebelumnya telah mendapatkan antibiotik amoksisilin klavulanat dan gentamisin. Durasi pemberian antibiotika untuk kuman gram positif dianjurkan 10-14 hari sedangkan untuk kuman gram negatif minimal 21 hari.18,19 Untuk bayi prematur dengan hasil biakan steril, waktu penghentian antibiotik masih kontroversial. Keputusan untuk mengganti atau menambah antibiotik harus mempertimbangkan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan penunjang sebagai alat bantu. Variasi mikroorganisme penyebab dan kepekaan terhadap antibiotika dapat berbeda pada setiap NICU dan dapat berubah seiring berjalannya waktu pada unit yang sama. Untuk itu diperlukan surveilans pasien yang terinfeksi dan kepekaan antibiotik terhadap mikroorganisme penyebab untuk menentukan regimen antibiotik empiris. Mikroorganisme penyebab infeksi neonatus tersering di RSCM berdasarkan data biakan darah Januari-Juni 2011 adalah: Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloaca, Kandida tropicalis, Klebsiela pneumoniae. Mikroorganisme tersebut memiliki kesamaan dengan senter tersier di Turki dan India.20,21 Kombinasi golongan penisilin dan gentamisin dapat dipilih sebagai antibiotik lini pertama pada infeksi yang dipikirkan berasal dari komunitas. Pada unit perawatan dengan tingkat resistensi yang tinggi seperti RSCM, mikroorganisme seperti Klebsiella, basil gram negatif dan pseudomonas seringkali ditemukan. Untuk itu pemakaian kombinasi golongan piperasilin-tazobaktam dan amikasin memberikan luaran yang baik. Golongan sefalosporin masih memiliki sensitivitas yang baik terhadap Klebsiella tetapi jarang digunakan karena mudah menimbulkan mikroorganisme extended spectrum beta-lactamase (ESBL). Meropenem merupakan antibiotika lini ketiga yang sensitif terhadap mikroorganisme Gram `25 negatif dan positif, termasuk methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Meropenem sebaiknya diberikan berdasarkan hasil biakan darah. Meropenem merupakan antibiotika lini ketiga yang sensitif terhadap mikroorganisme Gram negatif dan positif, termasuk methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Meropenem sebaiknya diberikan berdasarkan hasil biakan darah. Namun data pola kuman dan sensitivitas antibiotik di Unit Perinatologi RSCM tahun 2011 menunjukkan bahwa sensitivitas antibiotik lini pertama terhadap gram negatif < 50% .22 Perburukan klinis yang ditandai dengan instabilitas suhu, peningkatan leukosit, CRP, dan prokalsitonin serta penurunan trombosit menunjukkan ada infeksi yang berat dan berdasarkan data pola kuman serta sensitivitas antibiotika di kamar operasi IGD RS I menjadi alasan penggunaan meropenem pada pasien ini. Pada bayi sepsis dengan kondisi hemodinamik tidak stabil atau terdapat sumbatan pada saluran pencernaan makan nutrisi enteral adalah kontra indikasi mutlak dan nutrisi wajib diberikan secara parenteral total. Pemberian nutrisi parenteral total harus mempertimbangkan kebutuhan kalori, akses pemberian, jenis preparat dan pemantauan. Asupan nutrisi yang adekuat sangat diperlukan oleh bayi berat lahir rendah karena lahir dengan cadangan energi yang rendah dan di saat yang bersamaan sedang terjadi pertumbuhan yang sangat cepat. Imaturitas dari saluran cerna pada bayi prematur dapat menimbulkan komplikasi bila diberikan nutrisi secara enteral. Dengan demikian, nutrisi parenteral dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga dapat terjadi tumbuh kejar ekstrauterin. Jumlah pemberian asam amino dan lipid intravena tergantung berat lahir dan usia bayi. Asam amino parenteral dapat dimulai dari 1-2 g/kgBB/hari, sementara lipid dapat dimulai dari 1 g/kgBB/hari. Pemberian dini asam amino menyebabkan balans nitrogen positif pada bayi preterm dengan berat lahir rendah dalam keadaan sakit berat. Pemberian dini lipid bersamaan dengan asam amino tersebut akan lebih meningkatkan asupan kalori sehingga akan meningkatkan efek sparing nitrogen.27-29 Pada perawatan pasiem di RS H, pasien hanya mendapatkan dektrosa, tanpa makronutrien protein maupun lemak. Hal inilah yang menjadi pencetus penurunan berat badan pada pasien yang berlebihan hingga muncul gagal tumbuh. Pada perawatan pasien di RS I, nutrisi parenteral segera diberikan setelah kondisi stabil dengan asam amino atau protein sampai dengan 3,5 g/kgBB/hari dan lipid 3 g/kgBB/hari, dan N:NPC 1:150 hingga 1:250. Pemberian protein dan lipid pada pasien sudah ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan kalori pasien 100-110 kkal/kgBB/hari. Kalori yang didapatkan secara parenteral diharapkan dapat mencukupi kebutuhan tumbuh pasien dan mencegah terjadi malnutrisi. `26 Gagal Tumbuh didefinisikan sebagai pertumbuhan yang tidak adekuat atau tidak dapat mempertahankan pertumbuhan pada awal masa anak. Pada tahun 2006, World Health Oragnization (WHO) dengan kurva Weight Velocity, mendefinisikan jika seorang anak mengalami peningkatan kurang dari persentil lima maka dapat dikatakan mengalami gagal tumbuh. Pasien adalah bayi prematur, sulit menggunakan definisi yang dicanangkan WHO ini karena kurva venton tidak memiliki kurva Weight Velocity. Oleh karena itu pada pasien digunakan kriteria gagal tumbuh lain, yaitu penurunan berat badan melewati lebih dari dua persentil. Pasien dengan riwayat gagal tumbuh, selain mengurangi dari tingkat kecerdasan, juga terbukti memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan anakn yang tidak mengalami gagal tumbuh,30 [Pediatrics. 2015. Level of evidence: 3] Serum albumin merupakan plasma protein terbanyak dan disintesis secara esklusif di hati. Albumin memiliki banyak fungsi termasuk mempertahankan tekanan koloid osmotik, sebagai buffer, transpor dari bilirubin, toksin uremik, forfirin, asam lemak, logam, kortisol, tiroksin, endotoksin, obat-obatan, dan nitric oxide endogen. Lebih lanjut lagi, albumin merupakan antioksidan yang memiliki peranan penting dan memiliki peranan dalam kesintasan neuron saat perkembangan. Albumin merupakan protein pengikat utama pada neonatus. Fungsi ini sangat vital pada bayi kurang bulan dengan sakit kritis. Rendahnya produksi albumin akan menurunkan transpor dan kapasitas ikatan. Hal ini terutama ditemukan pada bayi prematur, dimana ikatan terhadap produk yang memiliki potensial toksik seperti bilirubin dan antibiotik. Sintesis albumin meningkat seiring dengan meningkatnya usia gestasi dan berat badan. Bayi kurang bulan menunjukkan nilai normal serum sebesar 2 g/dL yang akan meningkat sebesar 15% dalam 3 minggu pertama kehidupan. Kapasitas sintesis hati sudah terbentuk baik pada bayi dengan berat lahir rendah dan pemberian kortikosteroid cenderung meningkatkan sintesis albumin. Penurunan kenaikan berat badan dalam uterus memiliki efek terhadap sintesis protein post-natal. Pemberian albumin intravena diindikasikan untuk mengatasi oliguria, edema dan hiperbilirubinemia pada bayi dengan sakit kritis. Rendahnya kecepatan sintesis pada bayi prematur dengan sakit kritis dapat berasal dari imaturitas jalur sintesis hepatik, status nutrisi suboptimal, dan terbatasnya substrat yang tersedia.37 Kadar albumin rendah berhubungan dengan kejadian distres napas, retinopathy of prematurity, dan apneu of prematurity7 Pada kondisi sepsis, trauma atau operasi besar, kadar albumin dapat menurun menjadi sebesar 1-1,5 g/dL dalam 3-7 hari. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan perpindahan albumin dari ruang intravaskular ke ruang interstisial dan merupakan peran penting terjadinya hipoalbuminemia. Ikatan protein `27 merupakan faktor yang memengaruhi volume distribusi dan klirens obat. Kondisi hipoalbumin seperti pada pasien sepsis akan menurunkan konsentrasi obat yang diikat oleh albumin dan akan memengaruhi farmakokinetik obat tersebut.38 Perhatian terutama pada bayi prematur terhadap pemberian albumin adalah peningkatan volume intravaskular, peningkatan kebocoran alveolar dan gangguan kardiopulmoner.39 Kadar normal albumin pada bayi prematur sebaiknya dinilai berdasarkan usia gestasi. Konsentrasi serum albumin menurut usia gestasi7 Usia Gestasi (Minggu) Jumlah 23-24 25-26 27-28 29-30 31-32 33-34 35-36 >36 7 26 28 21 28 34 32 32 Rerata (g/dL) 2,36 2,26 2,53 2,82 2,86 3,24 3,43 3,43 95% interval kepercayaan Batas bawah Batas atas 2,97 1,74 2,42 2,09 2,67 2,4 2,96 2,68 3,02 2,71 3,35 3,13 3,55 3,32 3,56 3,32 Tidak ada bukti bahwa pemberian albumin menurunkan risiko mortalitas pada anak dengan sakit kritis dengan luka bakar dan hipoalbuminema.40 Saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung pemberian albumin secara rutin pada bayi prematur dengan kadar albumin rendah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta tidak ada bukti bahwa pemberian albumin berhubungan dengan efek samping signifikan.40 Pada pasien ini pemberian transfusi albumin bertujuan untuk membantu transportasi obat pada kondisi sepsis dan memperbaiki kondisi hiperbilirubinemia. Pada saat lahir, nilai normal hemoglobin dari vena sentral pada bayi dengan usia gestasi >34 minggu adalah 14-20 g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL. Bayi prematur memiliki nilai hemogolobin yang lebih rendah. Pada bayi cukup bulan yang sehat, nilai hemoglobin akan bertahan sampai usia tiga minggu kehidupan, dan kemudian akan menurun hingga mencapai nilai 11g/dL pada usia 8-12 minggu. Hal ini dikenal sebagai anemia fisiologis pada bayi. Pada bayi prematur, penurunan terlihat lebih cepat, mencapai nilai 7-9 g/dL pada usia 4-8 minggu. Anemia pada bayi prematur ini berkaitan dengan kombinasi antara penurunan jumah sel darah merah saat lahir, kehilangan darah secara iatrogenik saat pengambilan sampel darah, waktu hidup sel darah merah yang lebih singkat, produksi eritropoetin yang inadekuat, serta pertumbuhan badan yang cepat.41-43 Oleh karena penurunan yang cepat dari kadar hemoglobin yang terjadi pada banyak bayi prematur berkaitan dengan `28 kondisi dan gejala klinis yang abnormal, anemia pada bayi prematur tidak dianggap sebagai kondisi yang fisiologis. Beberapa studi melaporkan bahwa kadar hemoglobin antara 6-8 g/dL pada bayi prematur berkaitan dengan penurunan berat badan, apnu, peningkatan denyut jantung dan frekuensi napas, dan peningkatan konsumsi oksigen. Pedoman pemberian transfusi pada bayi prematur dengan anemia masih kontroversial dan bervariasi sesuai dengan kebijakan setempat. Pemberian transfusi berulang sedapat mungkin dihindari untuk mencegah terjadinya efek samping terkait transfusi. Efek samping tersebut berupa infeksi, kelebihan cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, hemolisis, gangguan metabolik, kadar besi yang berlebih, dan peningkatan stres oksidatif (dapat menyebabkan retinopati). Sebagian besar klinisi menggunakan kriteria Shannon sebagai pedoman transfusi sel darah merah pada bayi prematur yaitu:42 Bayi dengan kebutuhan FiO2 > 35% dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan positif dengan mean airway pressure lebih dari 6 cm H2O. Bayi dengan kebutuhan FiO2 < 35 % dalam penggunaan CPAP atau ventilasi tekanan positif dengan mean airway pressure kurang dari 6 cm H2O, disertai apnu dan brakikardi, takikardi (>180xper menit), frekuensi napas > 80xper menit, peningkatan berat badan < 10g/hari selama 4 hari, atau sepsis. Hematokrit < 20%. Anemia pada pasien ini dipikirkan karena adanya proses infeksi, prematuritas, iatrogenik pada saat pembedahan. Diagnosis yang paling mungkin sebagai penyebab anemia pada pasien ini adalah karena perdatahan intra operasi karena anemia pada pasien terjadi tepat setekah dilakukan operasi. Penurunan hemoglobin dalam waktu singkat yaitu dari 19 g/dL menjadi 9 g/dL dan adanya kondisi sepsis merupakan indikasi pemberian transfusi darah pada pasien. Eksplorasi untuk mencari sumber perdarahan lain dilakukan dengan melakukan ultrasonografi (USG) kepala. Hasil USG kepala pada pasien tidak didapatkan gambaran perdarahan. Bayi prematur dan BBLR merupakan bayi risiko tinggi. Bayi risiko tinggi didefinisikan sebagai bayi yang secara klinis belum menunjukkan hambatan perkembangan tapi berpotensi untuk mengalami perkembangan akibat faktor risiko biomedik, lingkungan psikososial, maupun sosial ekonomi yang dialami sejak masa konsepsi sampai masa neonatal.8,44 Ada empat kategori untuk menentukan apakah seorang bayi termasuk berisiko tinggi atau tidak, yaitu bayi prematur, bayi yang memerlukan bantuan alat teknologi, bayi dengan masalah dalam keluarganya, serta bayi dengan kondisi kesehatan yang tidak dapat `29 diperbaiki dan dapat menyebabkan kematian.46 Pasien merupakan bayi risiko tinggi karena mempunyai faktor risiko yang dapat memengaruhi tumbuh kembang, yaitu berat lahir rendah, sepsis, nutrisi parenteral, status sosioekonomi keluarga rendah, sehingga dibutuhkan pemantauan berkala terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. Tujuan pemantauan bayi risiko tinggi adalah melakukan deteksi dini penyimpangan pertumbuhan, perkembangan, dan perilaku, serta memfasilitasi tata laksana dan intervensi bayi risiko tinggi sesuai dengan indikasi. Pemantauan pertumbuhan bayi prematur dilakukan dengan mengukur BB, PB, dan LK, dan memasukkan hasilnya ke dalam kurva Fenton. Pertumbuhan BBLR perlu dipantau setiap bulan pada tahun pertama.45 Secara fisiologis, BB bayi baru lahir menurun 10-15% pada 1 minggu pertama kehidupan karena penurunan cairan ekstravaskular dan asupan yang kurang. Penurunan lebih bermakna pada bayi prematur. Bayi sehat akan mencapai berat lahirnya atau lebih setelah 2 minggu pertama kehidupan. Hal ini tidak terjadi pada bayi sakit yang membutuhkan perawatan, baik karena asupan nutrisi yang kurang maupun karena kondisi medis yang berat.46 Pasien didapatkan penurunan BB 11,1% dalam minggu pertama yang masih merupakan rentang fisiologis. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai kecenderungan mengalami retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity/ROP), gangguan ketajaman penglihatan, strabismus, defek penglihatan warna, dan defek lapang pandang visual. American Academy of Pediatrics, American Academy of Ophtalmology, dan American Association for Pediatric Ophtalmology and Strabismus merekomendasikan pemeriksaan mata untuk skrining ROP pada bayi dengan berat lahir <1500 g atau usia gestasi ≤32 minggu, bayi dengan berat lahir 1500-2000 g, dan usia gestasi ≥32 minggu dengan klinis tidak stabil (memerlukan bantuan suportif untuk organ kardiorespirasi). Divisi Perinatologi RSCM melakukan skrining ROP pada bayi dengan berat lahir ≤1500 g dan/atau usia gestasi <37 minggu dengan faktor risiko. Skrining pertama dilakukan pada umur kronologis 2 minggu atau usia gestasi 32-33 minggu dan secara klinis stabil. Evaluasi pemeriksaan mata selanjutnya dilakukan pada usia 1-2 tahun, 3-4 tahun, 4-5 tahun, dan 5-6 tahun.46 Pasien dengan UG 34 minggu dan memiliki faktor risiko sehingga direncanakan untuk skrining ROP pada usia kronologis 2 minggu. Bayi risiko tinggi mempunya risiko gangguan pendengaran 10-20 kali lebih besar dari bayi normal. Risiko gangguan pendengaran dialami oleh bayi dengan riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural, anomali telinga dan kraniofasial, infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis), stigmata lain yang berhubungan dengan sindrom dengan `30 gangguan pendengaran sensorineural seperti sindrom Down, BL <1500 g, nilai APGAR yang rendah (0-3 pada menit ke-5, 0-6 pada menit ke-10), kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU selama 48 jam, distres napas, ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih, hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar, meningitis bakterial, dan terapi obat ototoksik (misalnya gentamisin) yang diberikan >5 hari atau digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic. Faktor risiko yang didapatkan pada pasien ini yaitu distress napas, sehingga pasien memerlukan uji skrining pendengaran. Pemeriksaan gangguan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak antara lain timpanometri, otoacoustic emission (OAE), dan automated auditory brainstem response (BERA).47 Pasien sudah akan dilakukan pemeriksaan OAE pada usia kronologis 1 bulan. Bayi dengan BL rendah rentan mengalami gangguan neurologis. Palsi serebri dialami oleh 6-28% dan 21-36% bayi kurang bulan mengalami distonia transien Pemeriksaan neurologis meliputi penilaian fungsi motor kasar, tonus otot, refleks, fungsi sensorik, fungsi serebelar, saraf kranial, dan bahasa. Penilaian neuromotor bayi dilakukan setelah 2 bulan bayi keluar dari RS, dan evaluasi selanjutnya dilakukan pada usia koreksi 4, 8, 12, 18 bulan, 2 dan 3 tahun. Selain pengukuran LK, serial USG kepala digunakan untuk mengidentifikasi risiko kelainan neurologis dan perkembangan pada bayi prematur, yaitu kerusakan white matter, perdarahan intrakranial yang berlanjut menjadi hidrosefalus yang merupakan prediktor terjadinya palsi serebral dan keterlambatan perkembangan. Pemeriksaan USG kepala dilakukan pada usia 1-4 hari, di evaluasi pada usia 5-14 hari, usia 15 hari, sampai usia koreksi 40 minggu. Pada pasien ini telah dilakukan USG kepala dan didapatkan hasil normal. Perkembangan bayi risiko tinggi dipengaruhi berbagai faktor yaitu usia gestasi, nutrisi, adanya penyakit penyerta, stimulasi, dan dukungan emosi. Pemantauan dilakukan secara periodik dengan menggunakan berbagai jenis alat skrining seperti Denver II atau Bailey Infant Neurodevelopmental Status (BINS). 49 Imunisasi hepatitis B dan polio telah langsung diberikan sepulang dari Bidan karena saat itu karena kondisinya stabil. Pasien direncanakan untuk pemberian imunisasi selanjutnya saat kondisi stabil kembali dan ibu diberikan penjelasan mengenai pentingnya imunisasi serta melanjutkan pemberian imunisasi lain sesuai jadwal saat pasien rawat jalan. Proporsi kematian neonatus pada kelahiran prematur sangat besar, yaitu sekitar 7580% dengan 28% kematian pada 7 hari pertama kehidupan bayi prematur yang bukan disebabkan oleh kelainan kongenital.50 Pada pasien ini terdapat perbaikan klinis, operasi atresia duodenum berlangsung tanpa komplikasi, dan berat badan mengalami peningkatan `31 yan signifikan. sehingga prognosis pasien ini ad vitam, ad functionam dan ad sanationam adalah dubia ad bonam. `32 DAFTAR SINGKATAN A AGD APTT ASI B BAB BAK BB BE BL C CPAP CRP CRP D dL F FiO2` G g GCS GDS H Hb HCO3 Ht I IGD IM IMD IT IV J JKN K Kg KGB L Leu LK M M MCK : analisa gas darah : Activated Partial Tromboplastin Time : Air Susus Ibu : Buang Air Besar : Buang Air Kecil : Berat Badan : Base Excess : Berat Lahir : Continous Positive Airway Pressure : C Reactive Protein : C Reactive Protein : desi Liter : Fraksi Oksigen : gram : Glasgow Coma Scale : Gula Darah Sewaktu : Hemoglobin : Bikarbonat : Hematokrit : Instalasi Gawat Darurat : Intra Muskular : Inisiasi Menyusui Dini : Immature to Total neutrophil : Intravena N N:NPC calorie NaCl NJT NKB O OGT P PAT PB PEEP Pressure PICU PL PLN PRC PT R RisKesDas RS S SD SMA SMK T TPN Tr U UG USG USG UUB W WHO : Jaminan Kesehatan Nasional : Kilogram : Kelenjar Getah Bening : Luekosit : Lingkar Kepala : Meter : Mandi Cuci Kakus `33 : Nitrogen : non nitrogen : Natrium Klorida : Naso Jejunal Tube : Neonatus Kurang Bulan : Oro Gastric Tube : Pain Assesment Tool : Panjang Badan : Positive End Expiratory : Pediatric Intensive Care Unit : Panjang Lahir : Perusahaan Listrik Negara : Pack Red Cell : Protrombin Time : Riset Kesehatan Dasar : Rumah Sakit : Sekolah Dasar : Sekolah Menengah Atas : Sesuai Masa Kehamilan : Total Parenteral Nutrition : Trombosit : Usia Gestasi : Ultrasonografi : Ultrasonografi : Ubun-ubun besar : World Health Organization DAFTAR PUSTAKA 1. Stoll BJ, Chapman IA. The high risk infant. Dalam: Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2004. h.705-9. 2. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010. 3. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard MZ, Say L, Moller AB, dkk. 15 million preterm births priorities for action based on national, regional and global estimates. Dalam: World Health Organisation, penyunting. Born too soon, the global action report on preterm birth. Edisi ke-Geneva: WHO press; 2012. h.16-32. 4. Divisi Perinatologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Laporan fetomaternal 2009. RSCM. 2009. 5. Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet. 2008;371:75-84. 6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures, oncall problems, diseases and drugs. 2009;6. New York, McGraw Hill Lange. 7. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225 8. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. Sonographic Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J Roentgenol.2001;131:701-702 9. Carrol GA, Kvanagh RG, Leidhin CN, Cullinan N M, Lavele LO, Malone D E. Comparative Effectiveness ofImaging Modalities for the Diagnosis of Intestinal Obstruction in Neonates. Academic Radiology. 2016;1-10. 10. Yefet E, Spiegel ET. Outcome from polyhidramnion with normal ultrasound. Pediatrics. 2015:137:1-10. 11. Stolwijk LJ, Lemmers PMA, Harmsen M, Groenendaal F, Vries LSD, Zee DCVD, Benders MJN, et al. Pediatrics. 2016:11-23. 12. Chacko B, Sohi I. Early onset neonatal sepsis. Indian J Pediatr. 2005;72:26. 13. Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (sepsis neonatal). Sari Pediatri. 2000:96-102. 14. Adair CE, Kowalsky L, Quon H, Ma D, Stoffman J, McGeer A. Risk factors for earlyonset group B streptococcal diseases in neonates a population-based case-control study. Can Med Assoc J. 2003;169:198-203. `34 15. Sucilathangam G, Amuthavalli K, Velvizhi G, Ashihabegum NA, Jeyamurugan T, Palaniappan N. Early diagnosis markers for neonatal sepsis: comparing procalcitonin (PCT) and C-reactive protein (CRP). J Clin Diag Res. 2012;6:627-31. 16. Chiesa C, Natale F, Pascone R, Osborn JF, Pacifico L, Bonci E. C reactive protein and procalcitonin: reference intervals for preterm and term newborns during the early natal period. Clinica Chim Acta. 2011;412:1053-9. 17. Kumhar GD, Ramachandran VG, Gupto P. Bacteriological analysis of blood culture isolates from neonates in a tertiary care hospital in India. J Health Popul Nutr. 2002;20:343-7. 18. Polin RA, Committee on fetus and newborn. Management of neonates with suspected or proven early-onset bacterial sepsis. Pediatrics. 2012;129:1006-15. 19. Aminullah A. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h.170-87. 20. Sharma CM, Agrawal RP, Sharan H, Kumar B, Sharma D, Bhatia SS. "Neonatal sepsis": bacteria & their susceptibility pattern towards antibiotics in neonatal intensive care unit. J Clin Diagn Res. 2013;7:2511-5. 21. Yalaz M, Cetin H, Akisu M, Aydemir S, Tunger A, Kultursay N. Neonatal nosocomial sepsis in a level-III NICU: evaluation of the causative agents and antimicrobial susceptibilities. Turk J Pediatr. 2006;48:13-8. 22. Paramita T, Jasin M, Satari HI, Rohsiswatmo R. Microbial pattern and antibiotic sensitivity in neonatal unit Cipto Mangunkusumo hospital 2011. Pekan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak V. Pekan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak V. 2013. 23. Falciglia G, Hageman JR, Schreiber M, Alexander K. Antibiotic therapy and early onset sepsis. Neoreviews. 2012;13:86-93. 24. Gunes T, Koklu E, Byukkayhan D, Kurtoglu M, Patiroglu T. Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct antibiotics for neonatal sepis in developing countries: a pilot study. Ann Trop Paediatr. 2006;26:39-42. 25. Sadana S, athur NB, Thakur A. Exchange transfusion in septic neonates with sclerema: effect on immunoglobulin and complement levels. Indian Pediatr. 1997;34:20-5. 26. Rajput U, Deshmukh LS. Exchange transfusion in neonatal sepsis does not reduces overall mortality. J Med Dent Sci. 2013;43:8297-301. 27. Chaudari S, Kadam S. Total parenteral nutrition in neonates. Indian Pediatr. 2006;43:953-64. `35 28. Clark R, Thomas P, Peabody J. Extrauterine growth restriction remains a serious problem in prematurely born neonates. Pediatrics. 2003;111:986-90. 29. Sosenko IRS. Effect of early initiation of intravenous lipid administration on the incidence and severity of chronic lung disease in premature infants. J Pediatr. 1993;123:975-82. 30. Din Zu, Emmett P, Steer C, Emond A. Growth \outcomes of weight faltering in infancy in ALSPAC. Pediatrics:2013;131:843-52. 31. Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the newborn. Pediatr Rev. 2011;32:341-9. 32. Bhutani VK. Late preterm births: najor cause of prematurity and adverse outcomes of neonatal hyperbilirubinemia. Indian Pediatr. 2012;49:704-5. 33. Subcommittee of hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114:297-316. 34. Acosta-Torres SM, Torres-Espina MT, Coline-Araujo JA, Colina-Chourio JA. Usefullness of the Kramer's index in the diagnosis of hyperbilirubinemia of the newborn. Invest Clin. 2012;53:148-56. 35. Maisels MJ, Watchko JF, Bhutani VK, Stevenson DK. An approach to the management of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35 weeks of gestation. J Perinatol. 2012:1-5. 36. Grunhagen DJ, de Baer MG, deBeaufort AJ. Transepidermal water loss during halogen spotlight phototherapy in preterm infants. Pediatr Rev. 2002;51:405. 37. Bunt JE, Rietveld T, Schierbeek H, Wattimena D, Zimmermann LJ, Goudoever JB. Albumin synthesis in preterm infants on the first day of life studied with [1-13C] leucine. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2007;292:1157-61. 38. Robert JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotic in the critically ill patient. Crit Care Med. 2009;37:840-51. 39. Bhutani KV, Wong JR. Bilirubin neurotoxicity in preterm infants: risk and prevention. J Clin Neonatol. 2013;2:61-9. 40. Roberts I, Blackhall K, Alderson P, Bunn F, Schierhout G. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Sys Rev. 2011;11:CD001208. 41. Jardine LA, Marsh JS, Davies WM. Albumin infusion for low serum albumin in preterm newborn infants. Cochrane Database Sys Rev. 2004;3:CD004208;5. 42. Strauss RG. Anemia of prematurity: pathophyiology and treatment. Blood Rev. 2010;24:221-5. `36 43. Widness JA. Pathophysiology, diagnosis, and prevention of neonatal anemia. Neoreviews. 2000;1:61-8. 44. Rundjan L, Chrisella D. Tata laksana bayi prematur di ruang perawatan intensif. Dalam: Trihono PP, Windiastuti E, Pardede SO, Medise BE, Alatas FS, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXV. Pelayanan kesehatan anak terpadu. Edisi ke-2013. h. 45. Gopakumar H, Geetha M. Upper gastrointestinal bleeding in neonates. Amrita Journal of Medicine. 2010;6:1-44. 44. Paton LL. Bleeding and clotting disorder. Dalam: Greenberg MS, Glick M, Ship IA, penyunting. Burket's oral medicine. Edisi ke-8. 2014. h.454-71. 45. Beck S, Wojdyla D, Say L, Betran AP, Merialdi M, Requejo JH dkk. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic reviews of maternal mortality and morbidity. World Health Organ. 2010;88:31-8. 46. American Academy of Pediatrics. Hosptal discharge of the highrisk neonate-proposed guidelines. Pediatrics. 1996;102:411-7. 47. Gunardi H. Pemantauan bayi risiko tinggi dalam praktik sehari-hari. Dalam: Djer MM, Laksmi E, Citraresmi E, Firmansyah I, penyunting. Pendidikan kedokteran berkelanjutan: pearl of comprehensive care in pediatrics. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. h.85-96. 48. Wright CM, Parkinson KN. Postnatal weight loss in term infants: what is "normal" and do growth charts allow for it? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004;59:254-71. 49. Sekartini R. Pelayanan paripurna bayi risiko tinggi. Dalam: Trihono PP, Windiastuti E, Pardede SO, Medise BE, Alatas FS, penyunting. Pendidikan kedokteran berkelanjutan LXV. Pelayanan kesehatan anak terpadu. Edisi ke-Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. h.66-77. 50. American Academy of Pediatrics. Hospital discharge of the high-risk neonate-proposed guidelines. Pediatrics. 1998;102:411-7. `37 DAFTAR JURNAL 1. Carrol GA, Kvanagh RG, Leidhin CN, Cullinan N M, Lavele LO, Malone D E.Comparative Effectiveness ofImaging Modalities for the Diagnosis of Intestinal Obstruction in Neonates. Academic Radiologu. 2016;1-10. 2. Yefet E, Spiegel ET. Outcome from polyhidramnion with normal ultrasound. 2015:137:110. 3. Stolwijk LJ, Lemmers PMA, Harmsen M, Groenendaal F, Vries LSD, Zee DCVD, Benders MJN, et al. Pediatrics. 2016:11-23. 4. Adair CE, Kowalsky L, Quon H, Ma D, Stoffman J, McGeer A. Risk factors for earlyonset group B streptococcal diseases in neonates a population-based case-control study. Can Med Assoc J. 2003;169:198-203. 5. Sucilathangam G, Amuthavalli K, Velvizhi G, Ashihabegum NA, Jeyamurugan T, Palaniappan N. Early diagnosis markers for neonatal sepsis: comparing procalcitonin (PCT) and C-reactive protein (CRP). J Clin Diag Res. 2012;6:627-31. 6. Din Zu, Emmett P, Steer C, Emond A. Growth \outcomes of weight faltering in infancy in ALSPAC. Pediatrics:2013;131:843-52. `38 Lampiran 1. Grafik Lubchencho Usia Gestasi : 34 minggu Berat Lahir (P75-P90 Kurva Lubchencho) sesuai dengan masa kehamilan `39 Lampiran 2. Kurva Fenton `40