Kebudayaan Islam 1 BAB VII KEBUDAYAAN ISLAM Kompetensi

advertisement
BAB VII
KEBUDAYAAN ISLAM
Kompetensi Dasar
Setelah membaca bab ini taruna diharap :
1. Mengerti pengertian kebudayaan dan pandangan Islam tentang kebudayaan
2. Mengerti tentang akal, pikiran, dan instuisi sebagai perangkat dalam aktifitas berbudaya
3. Mengerti tentang aktifitas berbudaya dalam kaitannya dengan Allah, sesama manusia, dan
alam semesta.
4. Mengerti dan mau tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan cara berpikir kritis
(akademik), bekerja keras dan bersikap fair
A. Pengertian Kebudayaan
Jika mengoleksi dan menelaah mengenai definisi kebudayaan, tentu akan
mendapatkan begitu banyak dan komplek tentang pengertian kebudayaan, namun demikian
dapat dikelompokkan sekurang-kurangnya ke dalam enam kelompok pendekatan.
1. Pendekatan deskriptif dengan cara memerincikan kebudayaan. Kelompok ini, antara lain
Taylor, mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan
serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat (Kroiber & Kluchon,
l952:43).
2. Pendekatan historis dengan menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses belajar.
Kebudayaan adalah semua proses kelangsungan dan belajar suatu masyarakat (Kroiber &
Kluckhon, l952: 47).
3. Pendekatan normatif dengan menekankan pada aspek peraturan, cara hidup, ide atau nilainilai dan perilaku. Kebudayaan adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide dan
kebiasaan-kebiasan yang dipelajari, dimiliki kemudian diwariskan dari generasi ke
generasi. (Kroiber & Kluckhon,l952:50).
4. Pendekatan historis dengan cara menekankan pada warisan sosial dan tradisi. Kebudayaan
adalah total dan warisan sosial yang diterima sabagai sesuatu yang bermakna, yang
dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa (Kroiber & Kluckhon, l954:47).
5. Pendekatan struktural dengan menekankan pola dan organisasi kebudayaan. Kebudayaan
adalah pekerjaan dan kesatuan aktifitas sadar manusia dalam membentuk pola umum dan
melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material maupun non material (ibid :6)
Dari berbagai pengertian kebudayaan ini dapat dimengerti bahwa pengertian
kebudayaan itu umat luas, namun semuanya berpusat pada akal, pikiran dan hati manusia
(Geertz, 1973:11) atau pendek kata kebudayaan itu dari, oleh, dan untuk manusia yang dapat
dilihat dari dua tahap yaitu:
1. Tahap proses yang mewujud dalam bentuk gagasan, pikiran, dan dan konsep
2. Tahap produk yang mewujud dalam aktifitas dan benda-benda (Koentjaraningrat,
1974:15)
Kebudayaan Islam
- 87 -
Kebudayaan Islam
- 88 -
Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai jilmaan nilai umpama teori (ilmu), ekonomi,
agama, seni, kuasa (politik), dan solodaritas (sosial) (Syahbana, 1974:171-175). Dalam
pengertian ini ritual yamataso, yasinan, manaqiban, tahlilan dan sholawatan nariah,
mujahadah, istighosah, haji, masjid, syajadah, adalah jilmaan dari nilai-nilai agama. Satu unit
komputer pentium empat dapat dilihat sebagai jilmaan dari berbagai nilai, ekonomi, ilmu dan
teknologi, dan kekuasaan. Dari kompleksitas kebudayaan ini dapat diringkas bahwa
kebudayaan adalah kesatuan dan perbuatan manusia yang menghasilkan suatu produk yang
diwariskan dari generasi ke generasi.
Realitas (kenyataan) apapun di alam semesta, termasuk realitas sosial, cara beragama
maupun kebudayaan senantiasa berubah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
‫ روه ا لبخا رى عن ا بى بكرة‬...‫ا لز ما ن قد ا ستد ر كهيئة يوم خلق ا هلل ا لسموا ت و اال رض‬
Artinya :
(Zaman itu senantiasa berubah seperti keadaan ketika Allah mencipta langit-langit dan
bumi....HR. Bukhori dari abi Mukroh)
Keberubahan kebudayaan itu pada hakikatnya, adalah keberubahan ide, pikiran, dan
gagasan manusia dalam eksisitensinya hendak melestarikan, memperbaiki, dan menggantinya
berbagai produk agar manusia dapat menyempurnakan diri dalam kehidupannya yang
senantiasa tidak lepas dari perubahan. Dalam hal ini konflik kebudayaan dari lokal satu ke
yang lain, dari angkatan tua dan angkatan muda pasti terjadi. Namun begitu, dari segi tinjauan
misi Islam, manusia bertanggung jawab atas gagasan, perkataan, dan perbuatan (QS AlA’raf/7: 39) yaitu kemakmuran bersama sebagai warga masyarakat, kemakmuran bumi atau
kemakmuran ekosistem. Allah berfirman :




 
Artinya :
“ …Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya….”
(QS. Hud : 61 ).
B. Pandangan Islam tentang Kebudayaan
Kata kebudayaan sebagai padanan culture dalam bahasa Inggris tidak pernah akan
ditemukan dalam bahasa Arab. Padanan kebudayaan dalam bahasa Arab adalah as-Saqafah
atau al-hadarah (Al-Munawwir, 1984:295). Kedua kata ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an lebih mementingkan amal dari pada gagasan (Iqbal, 1981:v), atau terminal
terakhir agama adalah amal, - yaitu kesatuan antara gagasan dan perbuatan (Wach, 1966:27) dalam pengertian demikian amal identik dengan kebudayaan dalam arti proses. Pendek kata,
berawal dari gagasan hingga berakhirnya yaitu perbuatan.
1. Akal dan fungsinya.
Akal ialah potensi ilmiah untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil,
mana yang benar dan yang salah, mana yang hidayah dan yang sesat (Ibrahim Mazkur, 1979:
120) dan penglihatannya melebihi potensi indra. Di samping itu akal dapat mancegah gejolak
hawa nafsu (al-Ghazali, I [t.th]: 84/85), meskipun biasa juga sebaliknya, yaitu akal dan hati
(al-Qalb) justru dikuasai oleh hawa nafsu. Dalam hal ini Allah berfirman :
    
    
Kebudayaan Islam
- 89 -
Artinya :
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? “. (QS. Al Furqan : 43).
Ketika hawa nafsu dapat menguasai akal dan situasi atau menguasai eksistensi
manusia secara utuh, menurut Islam orang itu berubah eksistensinya menjadi non manusia,
binatang, bahkan menjadi eksistensi paling rendah, yaitu asfala safilin: derajad yang
serendah-rendahnya.
    
     



















  
Artinya :
“ dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai “. (QS. Al A’raf : 179).
    
Artinya :
“ kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) “
(QS. At Tin : 5).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nafsu itu bertempur secara terus menerus
melawan akal dan hati. Mana yang dapat memenangkan pertempuran itu, dialah yang dapat
mendesakkan untuk berbuat atau beramal dan inilah yang disebut eksistensi atau hakikat
kediriannya. Manusia akan tetap eksistensinya sebagai manusia jika ia senantiasa diterangi
oleh akal dalam beramal atau berbudaya dan ia akan berubah menjadi non manusia jika nafsu
yang memenangi dalam berbuat atau beramal. Secara realitas eksistensi manusia adalah amal.
Persoalan pokok adalah bagaimana supaya akal dapat menguasai nafsu. Secara
potensial dan naluriah akal dapat membedakan mana yang benar dan yang salah. Agar akal
dapat menguasai nafsu, Allah telah memberi petunjuk kebenaran teradap akal. Jika akal
mengindahkan petunjuk Allah pastilah ia dapat menaklukan nafsu. Menurut Al Quran, fungsi
akal cukup banyak, antara lain :
a. Untuk memahami Al Quran, Allah telah berfirman:
   
  
Artinya :
“ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya “. (QS. Yusuf : 2).
b. Untuk memmahami tanda-tanda kebesaran Allah
- 90 -
Kebudayaan Islam












Artinya :
“lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !"
Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam
memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti “. (QS. Al
Baqarah : 73).
c. Untuk memahami jika manusia tidak mau mengindahkan petunjuk Allah akibatnya adalah
Neraka tempat kembali. Allah berfirman:
     
     
Artinya :
“ dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (َQS
Al Mulk 67 : 10).
d. Untuk memahami proses dinamika kehidupan manusia, Allah berfirman:
    
  








     
    














  
Artinya :
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin
dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “. ( QS. Al Baqarah : 164 )
Dari ayat-ayat ini dapat dipahami akal itu berfungsi untuk memahami realitas
kongkrit dan realitas metafisis, gejala alam, realitas gaib seperti kehidupan neraka, dan
simbol-simbol tanda-tanda kekuasaan Allah dan masih banyak fungsi lainnya. Demikian
bagannya :
Orang
Berakal
Potensi
Berpikir
Aktualitas
Amal
Aktualisasi / Budaya Sebagai Proses
Kebudayaan
Sebagai Produk
Kebudayaan Islam
- 91 -
Di muka pernah dijelaskan bahwa realitas, termasuk kebudayaan, senantiasa berubah
dan sementara itu kebudayaan adalah buah dari aktualisasi akal. Dengan demikian eksistensi
manusia adalah menggagas, berpikir terus menerus dan selalu menghasilkan kebudayaan. Jadi
eksistensi manusia adalah berpikir dan beramal terus menerus. Berhenti sesaat, saat itulah
eksistensi berhenti.
2. Qalbu (intuisi) dan fungsinya
Padanan qalbu dalam bahasa Indonesia adalah hati (Al-Munawwir, 1984:1233) dan
mempunyai pengertian :
a. Bersifat fisik, yaitu bagian organ tubuh berada dalam dada sebelah kiri dan merupakan
salah satu sumber kehidupan.
b. Bersifat immaterial, rohaniah, dapat menangkap segala pengertian dan arif (al-Ghazali,
III:3-4)
Al-Qalb memiliki sinonim sadr, lubb, fuad dan syaghaf (Asy’rie, 1984:109). Al-qalb
disebut sadr (dada) karena qalb menjadi terbitnya nurul Islam. Allah berfirman :
    
    
Artinya :
“ Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama
Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu
hatinya ?)…. ”. (QS. Az Zumar : 22).
Al-qalb disebut lubb tersebut dalam firman Allah :
     
   
     
  
Artinya :
“ Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai
orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya
Allah telah menurunkan peringatan kepadamu “. ( QS. At Thalaq : 10 ).
Al-qalb disebut fuad umpama firman Allah
     
Artinya :
“ hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya “. ( QS. An Najm : 11 ).
Al-qalb disebut syaghaf umpama firman Allah




   
Kebudayaan Islam
- 92 -
       
   
Artinya :
“ dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk
menundukkan dirinya (kepadanya), Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah
sangat mendalam. Sesungguhnya Kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata".
(QS. Yusuf : 30).
Menurut Al Quran al-qalb memiliki beberapa fungsi, antara lain: Pertama, berzikir
kepada Allah, Allah berfirman :



     
   
Artinya :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar Ra’du :
28).
Kedua, memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi di balik
peristiwa kemanusiaan. Sebagaimana dalam firman Allah :
    


  
     




    
Artinya :
“ Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada “. (QS. Al Hajj: 46)
Ketiga, memahami kehidupan sesudah mati, umpama dalam firman Allah :

      
     
Artinya :
“ (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih “. (QS Asy Syu’ra: 88–89)
Di samping itu Allah juga berfirman dalam ayat yang lain :
    
    
   
  
Artinya :
dan Dia menurunkan orang-orang ahli kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongangolongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke
dalam hati mereka. sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan .
(QS Al Ahzab : 26).
- 93 -
Kebudayaan Islam
Jika dipahami secara saksama qalb/intuisi berperan seperti akal, bahkan
sesungguhnya qalb adalah akal yang lebih tinggi (Iqbal,1981), hanya saja obyeknya berbeda.
Akal memahami realitas kongkrit atau fisik (benda, hal, peristiwa), qalb memahami realitas
metafisik. Akal menangkap kebenaran sepotong-potong dan qalb menangkap kebenaran
secara keseluruhan. Akal memusatkan perhatiannya pada kebenaran yang sementara dan qalb
memusatkan perhatiannya pada kebenaran yang bersifat kekal (Iqbal, 1981:2-3). Dalam
aktivitas budaya keduanya tentu saling melengkapi. Bagan alur aktivitas budaya dapat
digambarkan sebagai berikut :
Orang berakal
Berpikir
Orang berintuisi
berzikir
potensi
Aktualitas amal
Kebudayaan
sebagai produk
Aktualisasi kebudayaan sebagai
proses
C. Berbudaya
Berbudaya pada hakikatnya adalah perwujudan diri dari masyarakat. Dalam
berbudaya, beramal atau bereksistensi manusia disamping menciptakan nilai juga terikat nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Ada banyak nilai yang hidup di tengah-tengah
masyarakat seperti nilai etika, estetika, logika, religius dan yang lainnya. Medan aktivitas
budaya pun amat luas antara lain tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan,
kesenian, ilmu teknologi, dan aneka ritus, tradisi, maupun sarana kegiatan agama, yang
masing-masing bisa mewujud sebagai ciptaan nilai tetapi juga telah menjadi nilai. Artinya
manusia menciptakan nilai dan ia terjerat dalam jaring-jaring nilai itu.
Dalam beraktivitas manusia tidak bebas nilai, dapat dinilai baik atau dinilai buruk,
dan manusia tidak pernah tidak berbuat. Ketika ia memilih tidak berbuat, pada dasarnya
adalah berbuat untuk tidak berbuat. Pilihannya pasti tidak terlepas dari tanggung jawab
moralitas baik-buruk. Ketika seseorang melihat kecelakaan di jalanan dan ia cukup dekat
dengan itu, kemudian ia tidak berbuat untuk menolong. Atas dasar nilai yang hidup di tengahtengah masyarakat atau nilai budaya yang hidup, ia dinilai tidak baik. Pendek kata
kebudayaan itu dapat dinilai baik atau buruk. Permisifme, yaitu budaya serba membolehkan
seperti: demonstrasi yang merusak, anarkhis, dan mengganggu ketertiban umum adalah tidak
baik. Gemar membantu orang lain yang kesulitan adalah baik. Baik atau buruk adalah kodrati
manusia. Dalam hal ini Allah berfirman ;
   
Artinya :
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS. Asy
Syam : 8 ).
Karenanya, ketika manusia berbuat baik, pada saat itu menjadi langkah awal untuk
berbuat baik lanjutannya atau langkah awal berbuat tidak baik, begitu pula sebaliknya.
Manusia tidak bisa hanya di bilik yang baik terus demikian pula sebaliknya.
Kebudayaan Islam
- 94 -
Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menekan sekecil mungkin kejahatan dan
sebanyak mungkin ketakwaan. Untuk itu Allah menjanjikan keberuntungan bagi yang takwa
dan kerugian besar bagi yang jahat. Lanjutan ayat tadi adalah,
 
    
  
Artinya :
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya “. ( QS Asy Syam : 9 – 10 ).
Bereksistensi, beramal, atau beraktivitas budaya baik dalam agama Islam disebut assalih, al birr, al-khair, al-hasan, dan al-ma’ruf; dan yang buruk disebut al-fasad (rusak), asysyarr (buruk), al-munkar (keburukannya juga menimpa orang lain), as-su’ (jelek), al-fahisyah
(keji). Menurut Islam baik atau buruk suatu amal, eksistensi, aktivitas budaya kembali kepada
dirinya.
     
     
 
Artinya :
“ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian
kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan “. (QS Al Jasiyah : 15).
Artinya, Islam lebih mementingkan kebudayaan sebagai proses dari pada
kebudayaan sebagai produk, sekalipun tidak memandang jelek terhadap produk budaya yang
tidak jelek. Islam akan memandang jelek terhadap produk baik manakala tidak diproses atau
difungsikan secara baik (al-birr, al-khair, al-hasan, as-salih, dan al-ma’ruf). Nabi bersabda
bahwa salah satu tanda-tanda hari kiamat yang berarti kehancuran adalah apabila suatu masa
nanti orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki, cara berpakaian laksana telanjang sedang
keadaannya amat miskin, dan hanya sebagai pengembala ternak tetapi berlomba-lomba dalam
membuat bangunan (hadis, at-Turmuzi, IV:120).
: ‫ فمتى ا لسا عة ؟ قا ل ما ا لمسؤ ل عنها اعلم من ا لسا ئله قا ل فما ا ما ر تها ؟ قا ل‬. . . ‫ا ن تلد ا ال مة ر بتها وا ن‬
‫ترى ا لحفاة ا لعراء ا لعا لة رعاء ا لشاة يتطا و لون فى ا لبنيا ن‬
Artinya :
). . . kapan kiamat itu terjadi? Jawab (Muhammad): bukankah orang yang ditanya tidak lebih
tahu dari penanya, apa tanda-tandanya?. Penanya (Jibril) menjawab: yaitu ketika seorang
budak melahirkan tuannya, dan engkau menyaksikan orang-orang yang berjalan dengan
tanpa alas kaki, telanjang, miskin, dan hanya berprofesi sebagai penggembala kambing tetapi
berlomba-lomba dalam hal bangunan(
Tipoligi kaum (manusia) seperti itu adalah orang yang sederhana intelektualitasnya
(budak) dan bobrok mentalitas maupun moralitasnya. Bagaimana terhadap ibu kandungnya
dijadikan sebagai budak? Sekedar contoh, bahwa masjidnya bagus tetapi sepi dari syiar Islam,
tingkatan keulamaan imam masjid amat terbatas. Dalam keadaan demikian dapat dikatakan
bahwa masjid itu, terutama dilihat dari segi fungsi mendekati ambang kehancuran. Jadi
budaya sebagai proses jelek, tetapi budaya sebagai produk fisik baik, tak lama kemudian akan
ambruklah kebudayaan itu baik dalam arti proses maupun produk. Sebaliknya Islam akan
memandang jauh lebih baik manakala beramal (budaya sebagai proses) baik dan hasilnya
(budaya sebagai produk) juga baik. Nabi pernah bersabda “ Mukmin itu baik, tetapi mukmin
yang kuat itu lebih baik”
Kebudayaan Islam
- 95 -
D. Perbuatan dalam Konteks Kebudayaan
Dalam aktivitas budaya atau perbubuatan yang dapat diamati dengan indera pada
dasarnya adalah realisasi dari akal. Melalui pikiran akal memahami realitas kongkret dan
melalui qalbu (intuisi) akal memahami dibalik realitas itu seperti Tuhan, firman dan realitas
metafisik lainnya. Jadi di dalam berbuat dalam konteks kebudayaan adalah kesatuan akal,
pikiran, qalbu, dan perbuatan.
Perbuatan ini pada dasarnya adalah karya kreatif karena pada level sebelum
teraktualisasikan masih berbentuk konsep gagasan, atau rencana yang nanti akan diwujudkan
dalam kenyataan. Dengan demikian dalam perbuatan ini sebenarnya terjadi hubungan timbal
balik antara alam sekitar dengan dirinya. Ia secara konseptual memilih dan memilah barangbarang tertentu, peristiwa tertentu, unsur-unsur tertentu, kemudian menyusunnya atas dasar
tertib tertentu hingga terjadilah sesuatu produk tertentu pula, bahkan dalam waktu yang
bersamaan manusia kreatif, pencipta kebudayaan ini sekaligus berdialektis dengan Tuhan.
Seuntai syair berikut mengilustrasikan:
Thou dist create night and I made the lamp
Thou dist create clay and I made the cup
Thou dist create deserts, mountains and forests
I produced the orchards, gardens and grocests
It is I who turneth stone into a mirror
And it is I turneth potion into an antidote (Audah [mengutip Iqbal], 1982:XVI)
Artinya :
Kau ciptakan malam dan aku yang membuat lampu
Kau ciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala
Kau ciptakan sahara, gunung, dan hutan belantara
Aku juga yang membuat kebun anggur, taman-taman, dan padang tanaman
Akulah yang mengubah batu menjadi cermin
Akulah yang mengubah racun menjadi obat penawar
Dalam Islam justru memuji kepada siapapun yang menciptakan sesuatu (berkreasi)
tentang sesuatu yang baik. Pahalanya akan tetap mengalir terus semakin lama aliran itu
semakin banyak, sebanyak orang yang mengikutinya -budaya dalam arti yang telah mapan,
demikian sebaliknya jika kreatifitas itu jelek. Nabi bersabda (an-Nawawi, [t.th]:101)
‫ من سن فى اال سالم سنة حسنة فله ا جرمن عمل بها بعده من غير ا ن ينقص من ا جور هم شيئ و من سن فى اال‬. . .
)‫سالم سنة سيئة كا ن عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غيرا ن ينقص من او زا ر هم شئ (روا ه مسلم‬
Artinya :
. . . barang siapa yang melakukan suatu kretifitas yang baik di dalam Islam, akan
memperoleh pahala dan pahalanya orang-orang melakukannya (kreatifitas) sesudahnya
tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa melakukan kreatifitas yang
buruk di dalam Islam, ia memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakannya
(kreatifitas) sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka (H.R Muslim)
Memang kebudayaan berasal dari aksi seseorang atau sekelompok orang. Orangorang ini biasa disebut agen kebudayaan (brouker cultural). Aksi ini direspon orang banyak,
ada yang menolak dan ada yang menerima atau ada yang selektifitas. Jika pada akhirnya
diterima secara luas oleh masyarakat maka aksi budaya lalu menjadi kebudayaan yang mapan
(cultural folk) (winich, 1997:145)
Kebudayaan Islam
- 96 -
1. Hubungan Manusia dengan Allah
Hubungan antara manusia dengan Allah dapat dijelaskan melalui kebudayaan dengan
pendekatan normatif. Hanya saja norma itu lebih dominan berasal dari Allah pada aspekaspek ritual. Hubungan ini berpola top down (atas bawah). Allah menuntut supaya manusia
menyembah-Nya. Aktivitas menyembah ini dalam bahasa agama disebut ibadah mahdah,
seperti taharah, salat, puasa ramadan, zakat, haji, mengurus jenazah, ‘udhiyyah, ‘aqiqah, doa,
dan zikir (Jalaluddin Rahmat, 1988:47). Atau hak Allah atas manusia. Seperti firman Allah,
   
    
  
Artinya :
“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa “. (QS Al Baqarah : 21).
Dalam hal ini manusia harus patuh secara mutlak kepada Allah. Sebaliknya hak
manusia atas Allah adalah manusia dimuliakan dibanding seluruh ciptaan-Nya di alam
semesta ini. Allah berfirman,




   







  
Artinya :
“ dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan “. (QS Al Isra’
: 70).
Selain itu, manusia dijadikan wakil-Nya di bumi ini. Allah berfirman,
    
   
Artinya :
“ ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada ara malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi…." (QS Al Baqarah : 30).
Manusia dibekali ilmu pengetahuan: wa allama Adam al-asma a kullaha (dan Dia
ajarkan kepada Adam nama-nama benda semuanya.
   
    
   
 
Artinya :
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman : " Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (QS 2 : 31).
Kebudayaan Islam
- 97 -
Wujud nyata ajaran Allah kepada manusia itu adalah konseptualisasi atas bendabenda (Iqbal, 1981) yang pada akhirnya menjadi ilmu dan ketrampilan. Itulah sebabnya
manusia tidak terkalahkan kepandaiannya dibanding seluruh makhluk di alam semesta ini.
2. Hubungan Manusia dengan Manusia
Secara realistis manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia pasti membutuhkan bantuan
orang lain. Untuk itu manusia menjalin kerja sama, melakukan kesepakatan-kesepakatan
bersama untuk melangsungkan hidup.
Dalam banyak hal antara manusia satu dengan yang lainnya memiliki individualitas
dan khas milik pribadi. Pendambaan yang berlebihan terhadap hak privasi tentu menghambat
kerja sama antar warga. Untuk itu dituntut ada pengorbanan dari masing-masing pihak, ada
toleransi diantara manusia, dan saling hormat-menghormati.



    
 
Artinya :
“ …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran… “ (QS Al Maidah : 2)
Jika tidak saling menghormati dan menghargai satu sama lain akan menimbulan
krisis dan konflik satu sama lainnya. Allah berfirman,
      





  
Artinya :
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu…” (QS Ali Imran : 159).
3. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
Secara realistis manusia bergantung sepenuhnya terhadap alam sejak mulai
menghirup udara, butuh kehangatan, makan, minum, hingga beristirahat dari berbagai macam
aktivitas. Ia tidak bisa hidup tanpa alam. Menurut norma Islam seluruh isi alam ini untuk
manusia dalam menopang kehidupannya. Allah berfirman,
      

Artinya :
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Al Baqarah : 29)
Penggunaan alam sebagai fasilitas hidup manusia bukan penggunaan semena-mena,
melainkan harus tetap dalam keadaan baik yang dapat dirumuskan sebagai harmoni alam.
Allah berfirman,


Artinya :
   
   
Kebudayaan Islam
- 98 -
“ ….dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang membuat kerusakan “. (QS Al Maidah : 64 ) .
Sebaliknya Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat baik terhadap alam
lingkungan. Demikian Allah berfirman,





   







Artinya :
“dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik
“ ( QS Al A’raf : 56 ).
Ringkasnya, alam semesta atau alam lingkungan fisik menjadi medan aktivitas
budaya manusia namun tetap dalam kondisi yang dapat mendukung kehidupan manusia itu
sendiri. Eksplorasi alam dengan tidak mengindahkan peringatan-peringatan pencipta alam
tentu akan berakibat rusaknya alam yang pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu
sendiri.
E. Budaya Akademik
Hakekat manusia terletak pada amal atau eksistensi diri atau penciptaan kebudayaan
yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan dirinya sebagai manusia (full human).
Yang menghentikan proses penciptaan kebudayaan ini hanya kalau dia meninggal. Amal,
bereksistensi, atau aktivitas budaya (penciptaan, pelestarian, perubahan, penyempurnaan,
pemantapan) merupakan kesatuan dari akal, qalbu, dan aksi budaya serta kesadaran akan
tujuannya. Tujuan seluruh aktivitas kebudayaan adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Allah
berfirman;





 
Artinya :
“ dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu “. (QS. Adz Dzariyat : 56).
Wujud penyembahan atau pengabdian manusia kepada Allah adalah melaksanakan
tugas sebagai khalifah, memakmurkan bumi, berlaku baik terhadap alam semesta, sesama
manusia, dan Allah. Penghambaan, penyembahan, atau pengabdian itu sebenarnya bukan
untuk menambahkan agar Allah semakin agung, melainkan kepada manusia itu sendiri. Allah
tak berkurang sedikitpun kesempurnaannya.






     
  
Artinya :
“…. tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang
di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji “. (QS An Nisa’
: 131)
Kebudayaan Islam
- 99 -






    
 
Artinya :
“ ….dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena
sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah, dan adalah Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana “. (QS An Nisa’ : 170)
    
     
  
Artinya :
“dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya
mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS.
Ibrahim : 8).
     
Artinya :
jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu (QS. Az Zumar : 7).
Mahasiswa adalah bagian kelas atau spesies manusia. Mahasiswa menempati posisi
penting, strategis, dan terhormat dari kelas manusia. Lebih banyak manusia yang gagal atau
kandas dalam mencita-citakan dirinya menjadi mahasiswa. Tidak sedikit orang yang
menyatakan “masa depan suram” ketika mereka tidak diterima di perguruan tinggi dimana
mereka melakukan test penerimaan mahasiswa baru. Karena itu menjadi mahasiswa
merupakan anugerah Allah yang pantas disyukuri. Allah berfirman:
 


  



  
Artinya :
“ dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ". (QS Ibrahim : 7).
Karena eksistensi mahasiswa adalah belajar, maka ia disebut sebagai manusia
pembelajar yang pengertiannya amat luas, yaitu bukan hanya belajar di sekolah atau
perguruan tinggi, bukan hanya kursus-kursus dan pelatihan (on the job atau off the job) di
berbagai perusahaan, melainkan mencakup :












mulai bersikap jujur, pertama-tama terhadap diri sendiri
mulai menerima tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas dirinya
mulai dapat diandalkan dan dipegang kata-katanya
mulai mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan
mulai bersikap adil terhadap sesama tanpa diskriminasi
mulai mengembangkan keberanian menyatakan dan mengaktualisasi diri
mulai menjadi rasional tanpa harus memutlakkan buah pikirannya yang relatif itu
mulai rendah hati dan menyadari keterbatasan diri
mulai pendisiplin diri (pengaharapan, hasrat, energi, waktu)
mulai bersikap optimis tanpa menjadi naif
mulai menyatakan komitmen dan menepatinya
mulai memprakarsai sesuatu yang baik sekalipun tidak profitable
- 100 -
Kebudayaan Islam







mulai bertekun (perseverance) dalam mengerjakan sesuatu
mulai mampu bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda dengannya
mulai saling menyayangi satu sama lain
mulai memberikan dorongan dan membangkitkan hati yang lesu
mulai memaafkan dan mengampuni kesalahan orang
mulai murah hati dan senang berbagi
mulai memanfaatkan peluang dan kesempatan
Semboyan manusia pembelajar antara lain (Harefa,2000:vi) “Belajar dan
mengajar secara berkesinambungan harus menjadi bagian dari pekerjaan”, begitu kata Peter
F. Drucker. Dan hakikat manusia pembelajar itu sendiri adalah :
Setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan
dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat
terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa
pernyataan eksistensial seperti “Siapakah aku?”, “Dari manakah aku datang?”, “Ke manakah
aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan “Kepada
siapa aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan
segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuhutuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan
dengan segala sesuatu yang “bukan dirinya”.
Dalam Islam dijelaskan bahwa wahyu yang pertama adalah perintah belajar
(membaca) yang tertulis (kitab suci) atau yang tidak tertulis (alam semesta). Allah berfirman ;




 
Artinya :
“ bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan “. (QS Al ‘Alaq : 1).
Esensi ayat ini manusia (atas nama Allah) hendaklah membaca, mempelajari apa saja
yang diciptakan Allah. Manusia, khususnya mahasiswa, yang setengah hati atau kurang
memiliki daya fitalitas dalam membaca, meneliti fenomena alam ciptaan Allah untuk
dimanfaatkan sebagai penunjang kehidupan manusia, tidak menghargai diri sebagai insan
akademis.
Harga diri insan akademis dapat dirumuskan: pertama, mengenai sikap perasaan, dan
evaluasi terhadap diri sendiri; kedua, mengenai proses berpikir, mengingat, dan persepsi
kepada diri sendiri (Evita & Sutarkinah, 2006:40). Artinya watak diri insan pembelajar adalah
keseluruhan potensi internal diri itulah yang tampil mengemuka sehingga dapat dibedakan
secara tegas dengan insan non akademis, dan insan non pembelajar.
Budaya insan akademis bukanlah jenis manusia yang bekerja atas dorongan
emosional “hantam dulu urusan belakang”, melainkan penerapan harga diri secara utuh
sebagaimana baru saja disebutkan itu dan emosi menjadi salah satu komponennya, khususnya
menjadi pendorong untuk memperoleh sukses secara akademis yang memiliki karakter
berpikir kritis, kerja keras, jujur, dan fair dalam menggapai prestise akademis dan selanjutnya
bermuara pada kualitas diri sebagai manusia yang sepenuh-penuhnya. Indikasinya antara lain:
memiliki pengetahuan, berilmu, sikap belajar lebih lanjut, unggul, kompeten, berkepribadian
siap pakai, produktif, dan profesional (Harefa, 2000:64). Yang secara singkat menurut Islam
adalah wakil Tuhan di bumi (khalifat-llah fi al ard) yang memiliki tanggung jawab kehidupan
alam semesta secara makmur, damai, dan sejahtera.
Kebudayaan Islam
- 101 -
F. Pembentukan Kebudayaan: Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Adil
1. Etos Kerja
Eksistensi manuisa sangat berarti bila ia berpikir untuk mencipta menghasilkan
produk atau ciptaan. Dengan kata lain manusia pada hakekatnya adalah kerja. Konsekuensi
logisnya adalah berhenti bekerja hilang hakikatnya sebagai manusia. Bukankah Islam lebih
mementingkan amal dari pada gagasan atau terminal terakhir adalah amal. Karena amal
identik dengan kerja.
Al Quran sendiri memandang amal itu begitu penting. Kata amal dan berbagai kata
yang seakar kata dengannya seperti ya’malun, ta’malun, ‘amila, i’malu dan yang sejenisnya
disebut dalam Al-Quran sebanyak 192 kali. Kata amal shalih yang dirangkai dengan kata
iman sebanyak 46 kali. Hal ini mengindikasikan, bahwa hakikat manusia atas dasar
pendekatan kebudayaan maupun agama adalah sama yaitu terletak pada kerja atau amal.
Kesimpulan ini didukung oleh pepatah:
‫ا لعلم بال عمل كا لنخل بال عسل‬
Artinya : ”ilmu tanpa amal bagaikan lebah tanpa madu” atau
‫ا لعلم بال عمل كا لشجر بال ثمر‬
Artinya : “ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah”.
Dengan demikian manusia yang tidak beramal atau tidak bekerja hakikat
kemanusiaannya tidak utuh, atau bahkan hilang sama sekali.
Supaya manusia tidak hilang hakikat kemanusiaannya, Rasulullah mengajarkan
kepada umatnya supaya terjauh dari sifat pemalas. Inilah doanya :
)‫(روا ه التر مذى عن زيد بن ارقم‬
‫للهم ا نى اعو ذ بك من الكسل والعجز والبخل‬
Artinya : “ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan Engakau dari kemalasan,
kelemahan, dan kebakhilan”. H.R at-Turmuzi dari ibn Arqam (at-Turmuzi, V:226)).
Malas, lemah kepribadian dan bakhil adalah penghalang utama dalam menumbuhkan
etos apapun termasuk etos kerja. Sebaliknya Islam memotivasi demikian bersemangat supaya
setiap pemeluknya rajin beramal atau bekerja. Lihatlah firman Allah :
    




    
   
Artinya :“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi
pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan) “.( QS Al An’am : 160 ).
Dalam ayat tersebut menunjukkan, bahwa siapa yang beramal baik pahalanya
dilipatgandakan 10 kali lipat. Sebelas kali Allah berfirman bahwa orang yang beramal baik itu
berakhir dengan keberuntungan (Abd al-Baqi, [t.th.]:668). Satu diantaranya adalah :








  
Kebudayaan Islam
- 102 -
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan “. (QS Al Hajj : 77).
Kata kemenangan dalam ayat itu sama dengan keberuntungan, dapat diperhatikan
dalam ayat berikut:
   
Artinya :
“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman “.(QS. Al Mu’minun: 1)
Keberuntungan atau kemenangan dalam ayat tersebut dan ke 11 yang lain dalam AlQuran selalu berarti sebagai akibat dari amal baik. Keberuntungan sebagai amal atau kerja
bisa berupa pahala yang dinikmati besok di hari akhirat kelak, bisa di kehidupan dunia
sekarang. Bahkan sesungguhnya, karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yaitu
pemisahan urusan dunia dan urusan akhirat (agama), justru setiap urusan apapun dalam Islam
selalu mengandung dimensi dunia dan akhirat. Oleh sabab itu di dalam Islam dianjurkan
mencari kebahagiaan dunia dan kehidupan akhirat sekaligus. Sebgaimana Allah berfirman:
    
    
    
Artinya :
dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Al Baqarah:201).
Kebahagiaan (hasanah) tidak pernah datang begitu saja kepada seseorang yang
berpangku tangan. Hanya kerja keras kebahagiaan juga takkan didapat. Tetapi kebahagiaan
selalu merupakan perpaduan antara kerja keras dan anugerah Allah. Karena itu Allah juga
memerintahkan supaya di dalam mencari kehidupan itu tidak setengah-setengah, dunia saja
atau akhirat saja, melainkan keduannya.




     











      
  
Artinya :
“ dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan “. (QS. Al Qashash : 77).
Kemudian, di dalam kerja keras mencari kebahagiaan baik dunia maupun akhirat itu
ada kode etik yang tidak boleh dilupakan, yaitu tidak boleh berbuat kerusakan, kerusakan
apapun (diri sendiri, hubungannya dengan orang lain, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun
alam semesta).
2. Sikap Terbuka
Kebudayaan Islam
- 103 -
Inti sikap terbuka adalah jujur (shiddiq), dan ini merupakan ajaran akhlak yang
penting di dalam Islam. Umat Islam ditantang keberaniannya untuk melawan ketidakjujuran.
Sekedar contoh, diantaranya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai bangsa,
kita amat prihatin, di satu sisi, kita (bangsa Indonesia) merupakan pemeluk Islam terbesar di
dunia, dan di sisi lain sebagai bangsa amat korup. Dengan demikian terjadi fenomena anti
klimak. Mestinya yang haq itu menghancurkan yang bathil, justru dalam tataran praktis
seolah-olah yang haq bercampur dengan yang bathil. Tampilan praktisnya split personality
(munafik) dimana salat ya rajin, korupsi pun ya jalan, bahkan bangga dikerjakan dengan
“berjamaah”. Jelas ini adalah cara beragama yang sangat salah.
Bagaimana cara beragama yang benar ? Tentu harus ada koherensi antara ajaran,
keimanan terhadap ajaran sosial (muamalah), dan pelaksanaan atas ajaran itu sendiri. Dalam
perintah shalat, misalnya dalilnya jelas :




 
Artinya :
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al
‘Ankabut : 45).
Manusia merespon terhadap ajaran (wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan
keimanannya dengan melakukan salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk
berbuat keji dan munkar.
Termasuk koherensi antara ajaran, iman, dan pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur
berbuat salah segera mengakui kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah
(Allah atau sesama manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya.
    
   
 
Artinya :
“ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “ (QS.
Ali Imron : 135).
Jika berbuat salah kepada manusia segera meminta maaf kepadanya tidak usah
menunggu lebaran tiba. Pengakuan kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya
ini merupakan sikap jujur dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka termasuk baik.
Sebagaimana sabda Nabi :
‫ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا لبر وا ن ا لبر يهدى ا لى ا لجنة وا ن ا لرجل يصد ق حتى يكتب عند هللا صد‬
‫ وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب عند هلل‬.‫ وا ن ا لفجور يهدى ا لنا ر‬.‫ وا ن ا لكذ ب يهد ا لى ا لفجور‬.‫يقا‬
)‫كذا با( متفق عليه‬
Artinya :
“Sesungguhnya jujur itu menggiring ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga.
sesungguhnya lelaki yang senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur.
Sesungguhnya bohong itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke neraka.
sesungguhnya lelaki yang senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan sebagai
pembohong. (Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi, [t.th.]:42).
Kebudayaan Islam
- 104 -
3. Bersikap Adil
Secara leksikal adil dapat diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang
kepada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari
masing-masing arti dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang ibu terhadap
putra-putrinya tidak berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara, seorang hakim tidak
memihak kepada salah satu yang bersengketa. (3) Di dalam menjalankan tugasnya sebagai
hakim, Hamid selalu berpegang kepada kebenaran. (4) Sudah sepatutnya jika akhlaqulkarimah guru diteladani oleh murid. (5) Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak
berbuat sewenang-wenang terhadap yang dipimpin. Dari masing-masing contoh ini dapat
disimpulkan bahwa sikap adil amat positif secara moral.
Karena sifat yang positif, tentu sikap adil didambakan oleh banyak orang. Dalam
contoh-contoh di atas, sikap adil bersikap positif atau menguntungkan orang lain. Adil juga
dapat dartikan tingkah laku dan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk
mengendalikan amarah dan syahwat dan menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy,
2000: 24). Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa adil adalah kondisi batiniah seseorang
yang berbentuk energi. Energi ini mendesak keluar untuk mengendalikan amarah dan
kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi baik. Yang mestinya
orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikap perbuatannya menjadi terarah, tidak
merugikan diri sendiri apalagi terhadap orang lain.
Adil dapat diartikan menempatkan berbagai kekuatan batiniah secara tertib dan
seimbang (al-Hufiy, 2000 :26). Kekuatan yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah,
dan al-‘iffa. al-Hikmah berarti kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang
benar dan salah, baik dan buruk, haq dan batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu
memilih yang benar, yang baik, dan yang haq. Asy-syaja’ah berarti berani tanpa rasa takut.
Al-‘iffah berarti suci. Ketiga sifat utama ini jika tidak seimbang (balance) menjadi tidak baik.
Orang amat cerdas atau genius tetapi kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk mengelabuhi
orang lain karena tidak ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu berani menangani setiap
masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil preman karena tidak ada al-hikmah
dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan berani lalu digunakan untuk mengeruk
kekayaan negara secara tidak syah adalah tidak baik karena tidak ‘iffah di dalam dirinya.
Orang selalu hanya memilih kesucian dalam semua suasana secara terang-terangan tentu
dapat membahayakan diri sendiri.
Jika antara al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffah berpadu secara seimbang dalam
diri seseorang, maka orang itu akan bersikap adil. Orang berani melakukan sesuatu setelah
ditimbang-timbang bahwa sesuatu itu baik menurut akal dan menurut pertimbangan syariat
juga baik. inilah gambaran perbuatan adil. Berarti, ia berani berbuat karena benar. Orang tidak
berani berbuat juga karena benar, adalah bersikap adil, bukan karena takut. Dengan bahasa
yang ramping adil adalah puncak dari ketiga sifat utama tersebut.
Sungguh Islam memandang sikap adil amat fundamental dalam struktur ajaran. Kata
adil dan berbagai turunannya seperti : ya’dilun, i’dilu, ‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28
kali di dalam Al Quran. Karena itu Allah memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam
semua hal. Allah berfirman :
   
Artinya :
“...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Maidah: 8).
Kebudayaan Islam
- 105 -
Kata adil sinonim dengan al-qish. Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama:
iqshitu, al-muqshitun, dan al-qashitun terulang sebanyak 25 kali dalam Al Quran (‘Abd alBaqiy, [t.th.] :P690). Kadang-kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara besama-sama
dan satu sama lain berarti sama. Contohnya adalah:
   
   
    
    














 
Artinya :
“ dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil “. (QS. Al
Hujurat : 9).
Untuk mewujudkan sikap adil harus dilatih terus menerus secara berkesinambungan,
yang berarti pembiasaan berlaku adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan mulai dari
diri sendiri”. Inilah komitmen untuk mulai pembiasaan berlaku adil. Jika langkah awal ini
dapat dilalui dengan baik, tentu mudah menjalar kepada orang lain, apalagi kalau yang
memulai komitmen itu adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat dimana ia berada
karena salah satu naluri manusia adalah meniru idola. Jika idola tidak bersikap adil, sudah
barang tentu para fansnya akan meniru tidak adil pula.
Dalam Islam orang yang paling pantas untuk didudukkan sebagai idola untuk ditiru
dan diteladani adalah Rasulullah SAW. Allah berfirman :
      









 
Artinya :
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah “. (QS. Al Ahzab : 21).
Selain itu ‘Aisyah, istri Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah AlQuran “kana khuluqulm Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Sudah sepantasnya jika idola
pertama seluruh umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang Rasulullah adalah orang
yang paling berpengaruh di dunia (rangking pertama) dari seratus orang yang paling
berpengaruh di dunia (M. Hart,1982: 4). Cukup banyak contoh-contoh sikap adil yang
ditampakkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Simaklah contoh berikut bagaimana
Rasulullah mengajarkan tentang keadilan !
“An-Nu’man bin Basyir mengatakan, “Ayahku memberi sesuatu pemberian
kepadaku. Lalu ibuku Amrah bin Rawahah berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau
persaksikan hadiah itu di hadapan Rasulullah SAW”. Ayahku lalu menghadap Rasulullah
Kebudayaan Islam
- 106 -
SAW dan berkata, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku telah membarikan suatu pemberian
kepada anakku dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku diperintahkannya supaya bersaksi
kepada Tuan!” Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah engkau juga telah memberi kepada
semua anakmu pemberian seperti ini?” An-Nu’man menjawab, “Tidak”. Beliau lalu bersabda,
“Bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!” Kemudian ayahku
pulang dan menarik kembali pemberiannya.
Satu lagi, ada orang perempuan Makhdzumiyyah mencuri. Kejadian itu diketahui
orang-orang Quraisy. Mereka berkata, “Siapakah yang akan membicarakan hal ini kepada
Rasulullah SAW?” Tidak ada seorangpun yang berani kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin
Zaid r.a. Lalu ia membicarakan hal tersebut dengan Rasulullah SAW.
Beliau berkata, “Apakah kamu akan bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana
hukum Allah?” Kemudian Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya
beliau bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah
apabila ada seorang dari golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja, tetapi bila
yang mencuri itu dari golongan bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman. Demi Allah andai kata
Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Al-hufiy, 2000:189)
Itulah mengapa Rasulullah sangat memerintahkan dan selalu wanti-wanti kepada
umatnya untuk tidak sembrono terhadap sesamanya bila berkaitan dengan masalah keadilan.
Adil terhadap dirinya sendiri dan juga adil terhadap orang lain serta makhluk lain.
~~~ o0o ~~~
Latihan
1. Berbagai pengertian kebudayaan telah didefinisikan oleh para budayawan dengan berbagai
macam pendekatan yang kalau disesuaikan satu sama lain berbeda pengertiannya.
Dapatkah Saudara merangkumnya ke dalam sebuah definisi yang singkat, padat, namun
merangkum keseluruhan makna dari masing-masing pendekatan tentang kebudayaan itu ?
2. Konflik kebudayaan sering terjadi dalam merepresentasikan konflik angkatan tua dan
angkatan muda, antara perkotaan dan pedesaan, antara wilayah satu dengan yang lainnya.
Jelaskan darimana penyebab dan asal-usul dasar konflik kebudayaan itu ?
3. Islam lebih mementingkan amal daripada gagasan atau terminal akhir agama adalah
perbuatan. Jelaskan makna ungkapan ini !
4. Jelaskan proses dan rote aktivitas kebudayaan yang bermakna kepada kebudayaan sebagai
produk !
5. Diantara perangkat aktivitas budaya adalah akal dan qalbu. Jelaskan pengertiannya
masing-masing dan tunjukkan peran spesialisasinya masing-masing dan kerjasamanya
dalam penciptaan kebudayaan !
6. Islam lebih mementingkan kebudayaan sebagai proses daripada kebudayaan sebagai
produk. Jelaskan ungkapan ini dan berilah contoh sekaligus penjelasan contoh itu
sehingga jawaban Saudara cukup tuntas !
7. Jawablah dengan jujur ! Termasuk sebagai insan pembelajar atau bukankah Saudara ?
Kalau iya, jelaskan cakupan pengertian manusia sebagai insan pembelajar. Saudara harus
sadar bahwa jawaban Saudara itu menentukan rangking dan posisi dimana kualitas
Saudara.
Kebudayaan Islam
- 107 -
8. Apakah Saudara memiliki harga diri yang terhormat dalam kapasitas Saudara sebagai
insan akademis ? Jelaskan dimana letak keberhargaan diri tersebut !
9. Jelaskan prosedur teknis Saudara dalam menggapai kualitas diri yang penuh (full human)
sejak dari potensi internal diri hingga mewujud sebagai manusia yang berkompeten,
profesional, dan bertanggung jawab!
10. “Ilmu tanpa amal bagaikan lebah tanpa madu”, Apa arti pepetah ini dalam kaitannya
dengan etos kerja dalam Islam ?
11. Ternyata Islam memandang tidak baik terhadap pemalas. Bagaimana tuntunan doa
Rasulullah supaya seluruh umatnya tidak menjadi pemalas ?
12. Tulislah sebuah dalil, boleh terjemahnya dalam bahasa Indonesia, yang menunjukkan
motivasi amat besar supaya orang itu gemar beramal baik ?
13. Jelaskan arti adil secara leksikal sekurang-kurangnya empat macam, kemudian buatlah
contoh masing-masingnya dalam suatu kalimat singkat !
14. Adil merupakan keseimbangan dari sifat-sifat utama: al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al‘iffah. Jelaskan arti masing-masing istilah ini dan berikanlah contoh sikap adil yang
menggambarkan perpaduan dan keseimbangan ketiga sifat utama itu !
15. Jelaskan mengapa contoh akhlak terbaik di dunia ini adalah Rasulullah ?
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdal-Baqiy, Ahmad Fuad al-. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an Karim.
Indonesia: Maktabah Dahlan [t.th.].
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad . Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. (terj.) Abdullah
Zakiy al-Kaaf .Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Al-Ju’fi, Abu Abdi-llah bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari.
Sahih al-Bukhari, VIII. Semarang: Thoha Putra, [t.th].
An-Nawawi, Muhiyyi ad-Din Abi Zakaria Yahya bin Syaraf. Riyad as-Salihin. Surabaya.
Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992.
At-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bin Saurak. Sunav at-Turmuzi, IV. Semarang:
Thoha Putra, [t.th].
Audah, Ali (et all). Membangun Kembali Pikiran Agama Islam. Jakarta: Tintamas, 1992.
Geertz, Clifford, “The Impact of the Concept of Culture on Concept of Man”, dalam John R.
Platt (ed.). New Views of the Nature of Man. Chicago: The University of Chicago
Press, 1965.
Hareva, Andrias. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Harian Kompas, 2000.
Kebudayaan Islam
- 108 -
Hart, Michail H. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (ter.) Junaidi HM.
Jakarta: Pustaka Jaya, l982.
Iqbal, Mohammad. The Reconsturction of Religious Thought in Islam. Lakore: Muhammad
Ashraf, 1981.
Kroeber, A.L dan Kluckhon, Clyde. Cultural: a Critical Review of Concepts and Definitions.
Massaschusset: The Museum, 1952.
Mazkir, Ibrahim. Mu’jam al-Falsafi. Qahirah: al-Hai’ah al-‘Ammah li asy-Syirin al-Matba’ah
al-Amiriyyah, 1997.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren AlMunawwir, 1984.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988.
Singgih-Salim, Evita E. Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pandawa, 2006.
Wach, Joachim. The Comparative Study of Religious. New york: Columbia University Press,
1966.
Winick, Charles. Dictionary of Antropology. Tolowa. New Jersey: Littlefield-Adams & Co,
1977.
Download