PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL AKIBAT KECELAKAAN PESAWAT YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA JURNAL HUKUM Disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH: ARI PAREME SIMANULLANG 110200147 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 0 ABSTRAK Ari Pareme Simanullang Dr.M.Hamdan, S.H.,M.H. Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi serta didukung oleh modernisasi dan kemajuan teknologi mengakibatkan korporasi banyak mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi, hal ini berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan kerugian besar baik secara ekonomi, lingkungan hidup sampai matinya seseorang. Korporasi sebagai subjek hukum di dalam Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 tentu membawa suatu yang baru karena pada undang-undang sebelumnya, tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum, mengingat juga bahwa kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia tidak pernah diselesaikan melalui ranah pidana, jika pun ada, bukan korporasi yang dimintakan pertanggungjawaban tetapi pilot (awak kapal) sebagai perorangan. Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana penerbangan membuat bentuk pertanggungjawaban pidananya berbeda dengan pertanggungjawaban pidana orang perorangan. Sehingga, adapun masalah hukum yang diteliti dan dibahas terkait hal tersebut adalah kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian ditinjau dari aspek hukum pidana Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang dikaji adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan KUHP. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini bahwa, pertama, kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia melalui hukum pidana (sarana penal) telah dirumuskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang kemudian haruslah diterapkan melalui tahap aplikatif dan eksekutif. Tetapi pada praktiknya, kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan cenderung diselesaikan melalu sarana non-penal, yaitu secara perdata atau administrasi. Kedua, Pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian dimintakan kepada pengurus dan/atau korporasi maskapai penerbangan yang melakukan tindak pidana mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam bab ketentuan pidana. 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Hak hidup adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapatdikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). HAM sangat menjunjung tinggi hak hidup, hingga siapa saja yang menghilangkan nyawa orang lain diberikan ancaman hukuman yang berat, terutama jika hal tersebut terbukti dilakukan secara sengaja atau dapat disadari akibatnya. Demikian juga pilot, kru penerbangan dan seluruh penumpang pesawat terbang, harus dilindungi hak hidupnya. UUD RI tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum” atau sering disebut Rechtsstaat atau Rule of Law, dimana hukum lebih fundamentil dibandingkan negara atau hukum lebih dahulu ada dibandingkan negara. Seseorang tidak dapat dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman sebelum dibuktikan kesalahannya dengan pemeriksaan dan keputusan oleh badan pengadilan yang sah. Hal ini serupa dengan asas legalitas yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, kematian akibat kecelakaan pesawat dapat dimintakan pertanggungjawabannya, selama ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan terbukti dihadapan pengadilan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, mengingat tujuan negara Indonesia yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945, diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pembangunan wilayah, mempererat hubungan antar bangsa dan memperkukuh 2 kedaulatan negara. Penerbangan merupakan bagian dari sistem transpotrasi nasional yang memiliki karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efesien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Oleh karena itu, penerbangan sudah tentu menjadi transportasi yang sangat dibutuhkan dan yang sering digunakan, mengingat mobilitas masyarakat yang terus meningkat, sehingga jelas, penerbangan menjadi suatu bisnis yang menjanjikan bagi para pelaku usaha. Tidak heran,jika ada banyak maskapai penerbangan di Indonesia. Berikut adalah beberapa maskapai penerbangan sipil nasional yang terdaftar Departemen Perhubungan, yaitu: 1. PT. Garuda Indonesia (GA/GIA) 2. PT. Merpati Nusantara Airlines (MZ/MNA) 3. PT. Mandala Airlines (RI/MDL) 4. PT. Metro Batavia (AOC REVOKED 14 FEBRUARI 2013) 5. PT. Indonesia Airasia (QZ/AWQ) 6. PT. Lion Mentari Airlines (JT/LNI) 7. PT. Wings Abadi Airlines (IW/WON) 8. PT. Sriwijaya Air (SJ/SJY) 9. PT. Kalstar Aviation (KD/KLS) 10. PT.Travel Express Aviation (XN/XAR) 11. PT. Citilink Indonesia (QG/CTV) 12. PT. Transnusa Aviation Mandiri (M8/TNU) 13. PT. Batik Air Indonesia (ID/BTK) 14. PT. Asi Pudjiastuti Aviation 15. PT. Aviastar Mandiri (MV/VIT) 16. PT. Sky Aviation (SY/SSY) 17. PT. Tri MG Intra Asia Airlines Banyaknya daftar maskapai penerbangan menunjukkan adalah sesuatu wajar jika terdapat persaingan usaha yang ketat diantara maskapai penerbangan sipil, yang 3 mengharuskan maskapai-maskapai tersebut “berlomba” menciptakan keunggulankeunggulan dari maskapai penerbangan sipil lain, seperti tiket murah, fasilitas lengkap, dan terpenting adalah masalah keamanan dan keselamatan selama penerbangan. Tetapi yang ditemui adalah kurangnya perhatian maskapai penerbangan terhadap faktor keamanan dan keselamatan pesawat yang berdampak pada banyaknya kecelakaan pesawat di sepanjang tahun, yang tidak sedikit menelan korban jiwa. Menurut E. Syaifullah ada beberapa persoalan mendasar dalam kegiatan transportasi udara, yaitu: Pertama, dari sisi regulasimasih belum tertata dengan baik. Persoalan ini berjajar mulai dari sistematika materi peraturan perundang-undangan nasional sampai pada tahap implementasinya di lapangan yang masih membutuhkan penanganan serius. Kedua, dengan semakin banyaknya jumlah maskapai penerbangan nasional, saat ini beroperasi 565 pesawat termasuk 390 pesawat jet, situasi ini tentunya menggembirakan karena akan memberikan banyak pilihan bagi konsumen. Namun demikian, di sisi lain situasi seperti ini juga menimbulkan persaingan yang salah kaprah karena setiap maskapai bukan berupaya bagaimana memberikan pelayanan terbaik tetapi persaingannya malah dalam bentuk perang tarif untuk dapat meraup penumpang sebanyak-banyaknya. Akibatnya, untuk mengimbangi keuntungan yang berkurang mereka melakukan efisiensi yang sayangnya juga salah kaprah sehingga berdampak besar terhadap faktor keselamatan penerbangan. Ketiga, era globalisasi dan liberalisasi, termasuk di bidang penerbangan, adalah suatu keniscayaan. Ironisnya, di sisi lain dunia penerbangan nasional kita belum sepenuhnya mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Masalah kecelakaan pesawat memang sudah menjadi masalah bagi dunia, termasuk Indonesia, terlihat dari banyaknya kecelakaan pesawat yang terjadi sepanjang tahun.Berikut adalah daftar kecelakaan pesawatdi Indonesia selama 10 tahunterakhir: 1. Mandala Airlines – 2005 Mandala Airlines dengan pesawat Boing 737-200 rute Medan-Jakarta jatuh di kawasan Padang Bulan, Medan, pada 5 September 2005. 4 Kecelakaan yang terjadi saat pesawat baru saja lepas landas dari Bandara Polonia, Medan. Sebanyak 117 orang di dalam pesawat, diantaranya 112 penumbang dan 5 awak. Dari kecelakaan tersebut, hanya 16 orang yang selamat. Penelitian awal yang dilakukan KNKT dengan tim investigasi National Transportation Safety Board dari Amerika Serikat menemukan adanya kerusakan yang menyebabkan salah satu mesin pesawat tidak bertenaga. Pesawat ini juga diketahui mengangkut 2 ton durian sehingga hampir mencapai batas berat maksimum yang mampu diangkut pesawat. 2. Adam Air – 2007 Pesawat Adam Air penerbangan KI-574 rute Surabaya-Manado hilang dalam penerbangan. Adam Air yang membawa sebanyak 102 penumpang dan awak pesawat hilang dan dianggap tewas. Pada 28 Agustus 2007, kotak hitam pesawat ditemukan di kedalaman 2.000 meter. KNKT mengumumkan penyebab kecelakaan adalah cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS) dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat. 3. Pesawat C-130H Hercules – 2009 Kecelakaan pesawat milik Angkatan Udara tipe C-130H Hercules di Magetan, Jawa Timur pada 20 Mei 2009 menewaskan 98 penumpang dan 2 orang lokal dengan menghantam beberapa rumah penduduk lokal. Pesawat berusaha mendarat di Bandar Udara Iswahyudi, namun meledak dan terbakar saat jatuh sekitar 5,5 kilometer barat laut dari bandara. 4. Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) – 2012 Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 terjadi pada 9 Mei 2012 di Gunung Salak, sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Barat. Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. KNKT menjelaskan tidak menemukan adanya kerusakan sistem pada pesawat Sukhoi Superjet 100. Namun pesawat menabrak tebing Gunung Salak dengan ketinggian sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut. Tiga puluh delapan detik sebelum benturan, Terrain Awareness Warning Sistem (TAWS), suatu alat peringatan di dalam pesawat membuat peringatan berupa bunyi suara. 5. AirAsia QZ 8501 – 2014 Pesawat AirAsia QZ 8501 dilaporkan hilang kontak dalam perjalanan dari Surabaya ke Singapura, Minggu pagi (28/12). Pesawat yang terbang dari Bandara Juanda Surabaya pukul 05.36 dan seharusnya sampai di Singapura pukul pukul 06.57, dikabarkan hilang kontak pukul 06.18. Pesawat AirAsia membawa 155 penumpang termasuk awak pesawat, yang terdiri dari penumpang dewasa sebanyak 138 penumpang dewasa, 16 anak-anak, dan 1 bayi. 5 Perhatian penulis tertuju kepada daftar kecelakaan pesawat diatas, yang mana tidak ada dari daftar kecelakaan tersebut yang diselesaikan secara pidana. Seluruhnya diselesaikan secara administratif dan perdata,seperti membayar ganti rugi kepada koban selamat atau keluarga korban yang meninggal dunia, padahal undang-undang telah mengatur mengenai ketentuan pidana tindak pidana penerbangan. Adapun kasus kecelakaan pesawat yang diselesaikan melalui ranah pidana adalah kasus dimana pilot/copilot yang dimintakan pertanggungjawabannya sebagai orang yang bertanggungjawab langsung (dader) selama penerbangan. Pada perkembangannya, korporasi diakui sebagai subjek hukum pidana, termasuk didalamnya maskapai penerbangan yang pasti banyak mengambil bagian dalam penerbangan.. Menjadi pertanyaan, dapatkah maskapai yang tidak memenuhi akan aturan keselamatan bisa dikatakan memiliki niat untuk membunuh, adakah unsur kesengajaan atau tidak. Dalam hal ini harus dibuktikan mens reanya. Jika tidak, apakah itu adalah kelalaian, sebab dalam Pasal 359 KUHP diatur mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang sehingga dapat dipidana. Termasukkah misalnya maskapai yang tidak melakukan briefing pilot sebelum terbang atau tidak berkordinasi terlebih dahulu dengan BMKG sebelum terbang dapat dianggap kelalaian yang menimbulkan kematian. I.S. Susanto menyatakan kekuasaan korporasi tersebut dalam bahasa ekonomi dijalankan melalui keputusan-keputusan dalam investasi, penentuan harga, lokasi, penelitian dan desain terhadap produk, namun juga mempunyai akibat sosial, politik dan hidup orang banyak. Sehingga tidak berlebihan bila 6 dikatakan kekuasaan korporasi yang luar biasa ini dalam pelaksanannya mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan setiap orang sejak kandungan hingga liang kubur. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaturan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian dalam kaitannya dengan upaya penanggulangan kejahatan korporasi di bidang penerbangan sipil tersebut B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian ditinjau dari aspek hukum pidana Indonesia? C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian uni adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktriner dikarenakan penelitian hukum ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya 7 pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. D. Hasil Penelitian 1. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENERBANGAN DI INDONESIA a. Kebijakan Hukum Pidana sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia TINDAK PIDANA Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtpolitiek”. Menurut A. Mulder, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan yang menetukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksana pidana harus dilaksanakan. 8 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. Tahap aplikatif (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administrasi). Tahap formulasi, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan turut memasukkan upaya penal (hukum pidana) sebagai bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan penerbangan Indonesia yang ditandai dengan adanya bab khusus mengenai ketentuan pidana, mengatur perbuatan-perbuatan apa yang termasuk sebagai tindak pidana dan sanksi apa yang dijatuhkan atas perbuatan tersebut. Kemudian, ketentuan pidana yang sudah diatur dalam undangundang itu harus diterapkan pada tindak pidana yang terjadi di dunia penerbangan, termasuk pada kasus kecelakaan pesawat terbang.Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah, pada tahap aplikatif dan eksekusi, ketentuan pidana jarang sekali diterapkan pada kasus-kasus di dunia penerbangan, seperti kecelakaan pesawat. Penyelesaian perkara cenderung diselesaikan secara perdata atau administratif. Kasus yang diselesaikan melalui upaya penal pidana hanya kasus dimana yang dipidana adalah Pilot/Co Pilot dari pesawat tersebut. Contoh salah satunya adalah Pilot Marwoto, yaitu pilot Garuda yang divonis 2 (dua) tahun penjara karena kecelakaan pesawat Garuda yang terjadi di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta tahun 2007 silam. Dia dinyatakan bersalah karena kealpaannya 9 menyebabkan pesawat tidak dapat dipakai, atau rusak, yang mengakibatkan matinya orang dan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Sementara kasus Mandala Airlines di Padang Bulan tahun 2005, Adam Air pada tahun 2007 dan kasus-kasus lain diselesaikan hanya melalui hukum perdata atau administrasi.Sementara, pihak korporasi baik dari maskapai penerbangan pada perkembangannya banyak mengambil andil selama penerbangan berlangsung, mulai dari persiapan terbang sampai penumpang sampai di tempat tujuan. Indonesia adalah salah satu negara anggota ICAO (Internasional Civil Aviation Organization), artinya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh ICAO diikuti oleh negara anggota, yang dituangkan dalam 18 annexes dan berbagai dokumen turunannya. Misalnya dalam annexes 13 Air Craft Accident Investigation dengan sangat jelas dituangkan bahwa hasil investigasi kecelakaan pesawat tidak dapat dijadikan alat bukti dalam sidang pengadilan. Investigasi kecelakaan pesawat bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi mencari apa yang salah untuk dijadikan bahan pembelajaran dalam upaya-upaya pencegahan kecelakaan pesawat. Global Aviation Safety Plan (GASP) menyebut target yang ingin dicapai ICAO adalah mengurangi jumlah kecelakaan fatal di seluruh negara, mengurangi secara signifikan angka kecelakaan terutama di kawasan yang angka kecelakaannya tinggi.Dengan demikian, formulasi undang-undang penerbangan Indonesia tentu dipengaruhi oleh kebijakan dan tujuan dari ICAO, yaitu mengurangi angka kecelakaan pesawat dengan mencari apa yang salah, bukan 10 siapa yang salah. Hal ini jelas berdampak pada kebijakan penanggulangan tindak pidana kejahatan, yang cenderung diselesaikan dengan sarana non-penal. Soal hukum mana yang diterapkan, Martono berpendapat hukum nasional, bukan hukum internasional. Annex 13 (Chicago Convention tentang Aircraft Accident Investigation, red) itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Kecuali Annex 13 sudah menjadi hukum nasional, terangnya. Dalam hal ini, Indonesia berbeda dengan Taiwan, Korea, Jepang, Perancis, Yugoslavia, Yunani, dan Mesir yang sudah menjadikan Annex 13 sebagai bagian dari sistem hukum nasional.Soal boleh tidaknya hasil investigasi KNKT dijadikan alat bukti, menurut Martono hal itu tergantung penafsiran. Sebab, UU Penerbangan sendiri tidak tegas mengatur soal ini.Sehingga bukanlah alasan yang tepat bagi penegak hukum tidak menerapkan upaya penal (hukum pidana) sebagai upaya penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia b. Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam KUHP melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 diatur suatu tindakan karena kealpaan yang menyebabkan tanda atau alat untuk pengaman penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau tidak dapat bekerja atau menyebabkan kekeliruan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan sehingga mengakibatkan celakanya pesawat udara, yang diatur dalam Pasal 479 a sampai dengan 479r KUHP. UU No. 4 tahun 1976 ini dibagi menjadi kedalam 2 (dua) bentuk kejahatan, yaitu: 11 a. Kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan Sarana berarti alat, sedangkan prasarana adalah alat yang sudah ada sebelumnya. Ada pun yang termasuk di dalamnya adalah: 1) Bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, yaitu: a) Pasal 479a : (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangun tersebut dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun (2) Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu-lintas udara; (3) Dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. b) Pasal 479b : (1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya tiga tahun. (2) Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas udara. (3) Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. 2) Tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, yaitu: a) Pasal 479c : (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak. mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan. 12 (3) Dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan dan mengakibatkan celakanya pesawat udara. (4) Dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya keamanan penerbangan dan mengakibatkan matinya orang. b) Pasal 479d: Barang siapa karena kealpaan menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan tidak dapat bekerja atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru, dipidana: a. pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena dengan perbuatan itu menyebabkan penerbangan tidak aman; b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan celakanya pesawat udara; c. dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. Pasal tersebuut diatas ada unsur alpa sehingga ancaman hukumannya lebih ringan. 3) Pesawat Udara, yaitu: a) Pasal 479e: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. b) Pasal 479f: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara, dipidana: a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain; b. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. c) Pasal 479g: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana: 13 a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain; b. dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. d) Pasal 479h: (1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut di atas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) Apabila yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. (3) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang. lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi, menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya. mendapat kecelakaan, dipidana: a. dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka berat; b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. b. Kejahatan Penerbangan a) Pasal 479i : Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. b) Pasal 479j : Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima belas tahun. 14 Ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana kejahatan yang lazim dikenal nama “pembajakan pesawat udara atau hijacking”. Dalam ketentuan pasal tersebut ada unsur: dengan kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya. Yang diartikan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan. c) Pasal 479 k: (1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud pasal 479 huruf i dan Pasal 479 yaitu: a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama; b. sebagai kelanjutan permufakatan jahat; c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu; d. mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut sehingga dapat membahayakan penerbangannya; e. mengakibatkan luka berat seseorang; f. dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Syarat-syarat yang tercantum dalam ayat (1) sub a sampai dengan f merupakan syarat-syarat alternatif pemberantasan pidana dari pidana yang dimaksud dalam Pasal 479 huruf i dan 479 huruf j. Ketentuan dalam ayat (2) memuat ancaman pemberatan pidana pasal 479 huruf i dan 479 huruf j, yakni mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun d) Pasal 479l : 15 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Ketentuan pasal ini menitikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki yakni jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pengertian bahaya dalam pasal ini harus dipandang secara objektif karena ada unsur kesengajaan (dolus), jadi bukan culpa. Bahaya dipandang secara objektif, artinya: “tidak menjadi soal apakah si pelaku menganggap adanya bahaya ini, melainkan harus ada hal-hal yang pada waktu perbuatan dilakukan, dalam pandangan orang biasa pada umumnya, menyebabkan dapatlah dikiranya akan datang suatu malapetaka tertentu. Bahaya ini juga dianggap sudah ada, meskipun nyatanya ada hal-hal yang baru datang, tanpa disangka sebelumnya, dan yang turut menyebabkan datangnya malapetaka.” e) Pasal 479 m: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima belas tahun. f) Pasal 479n: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apa pun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. 16 Alat atau bahan dalam ketentuan ini adalah alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut. Akibat kerusakan pesawat udara dalam pasal ini: a. Pesawat udara tidak bisa terbang, atau b. Menyebabkan kerusakan pesawat udara yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan. g) Pasal 479o: (1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun apabila perbuatan dimaksud Pasal 479 huruf l, Pasal 479 huruf m, dan Pasal 479 huruf n itu: a. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama; b. sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat; c. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu; d. mengakibatkan luka berat bagi seseorang; (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selamalamanya dua puluh tahun. h. Pasal 479 p: Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. i) Pasal 479 q: Barang siapa di dalam pesawat udara, melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan dalam menentukan ini adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan keamanan penerbangan seperti membuka 17 pintu darurat atau pintu utama, merusak alat-alat pelampung atau alatalat penyelamat lainnya. j) Pasal 479 r: Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata-tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, dipidana penjara selama-lamanya satu tahun. 2. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Ruang lingkup adalah suatu hal yang menunjukkan batasan-batasan berlakunya sesuatu. Sehingga, dalam hal ini yang akan dijelaskan adalah mengenai batasan atau sejauh mana undang-undang tentang penerbangan berlaku dan diterapkan serta ruang lingkup ini pulalah yang menjadi ruang lingkup tindak pidana penerbangan. Adapun ruang lingkup undang-undang penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 adalah: 1) Semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait, termasuk kelestarian lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Semua pesawat udara asing yang melakukan kegiatan dari dan/atau ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3) Semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18 Adapun tindak pidananya terdiri dari 43 pasal yang diatur pada bab khusus yaitu bab mengenai Ketentuan Pidana, dimulai dari Pasal 401-Pasal 443 UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Untuk sistem perumusan pidananya, pertama, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam beberapa pasal menganut sistem perumusan tunggal/imperatif, artinya mengatur hanya pidana penjara saja atau pidana saja. Contoh pasal yang mengatur pidana penjara saja adalah Pasal 412 ayat (7). Kedua, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga mengatur sistem pidananya dengan sistem perumusan alternatif, artinya dalam suatu pasal terdapat frasa pidana penjara atau pidana denda, dan penjatuhan pidana tersebut tergantung pada keputusan hakim.Contoh pasal yang menganut sistem perumusan alternatif adalah Pasal 402. Ketiga, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menggunakan sistem perumusan yang bersifat kumulatif, yang artinya baik pidana penjara maupun pidana denda dijatuhkan secara bersamaan.Contoh pasal yang menggunakan sistem perumusan kumulatif yaitu Pasal 401. Keempat, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menganut sistem perumusan yang bersifat kumulatif-alternatif. Artinya, hakim dapat menjatuhkan kedua jenis pidana yaitu pidana penjara atau pidana denda, atau hanya menjatuhkan salah satunya saja. Satu-satunya pasal yang menganut sistem perumusan pidana kumulatif-alternatif dalam undangundang ini adalah Pasal 421 ayat (2). Selanjutnya dalam hal tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh korporasi (badan hukum atau badan usaha yang diwakili pengurus) tidak 19 dirumuskan secara detail dan tidak terlalu dibedakan dengan subjek hukum perorangan (manusia). Korporasi sendiri tetap dapat dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. Hal yang membedakan kedua subjek hukum itu hanyalah perumusan ancaman pidananya, yakni jika tindak pidana penerbangan dilakukan oleh korporasi, dapat dijatuhkan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ketentuan pidana. c. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Penerbangan di Luar Instrumen Hukum Pidana Menurut UU No. 1 Tahun 2009 1. MekanismePenyelesaianTindakPidanaMelaluiInstrumenHukumadminis trasi Menurut JJ. Oosternbrink berpendapat bahwa sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah-warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri. Ada beberapa jenis sanksi dalam hukum administrasi antara lainBestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Pada UU Penerbangan sendiri ada beberapa jenis sanksi administrasi yang digunakan, yaitu sanksiperingatan, pembekuan sertifikat, pencabutan sertifikat, denda administratif, penurunan tarif jasa bandar udara, pencabutan izin rute terbang, pencabutan lisensi dan pencabutan kompetensi. 2. PenyelesaianTindakPidanaPenerbanganMelaluiInstrumenHuk umPerdata 20 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 jugamengatur tanggungjawab perdata, yaitu tanggungjawab perusahaan pengangkut (korporasi), yaitu kepada pihak yang yang dilakukan sesuai perjanjian yang disepakati serta dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan udaradan dokumen muatan sebagai dasar perjanjian, yaitu: a. penumpang dan/atau b. pengirim kargo, dan atau c. pihak ketiga dimuka bumi Ada 5 (lima) pasal yang mengatur tentang tanggungjawab pengangkut, yaitu: 1. Tanggungjawab terhadap kerugian penumpang apabila meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka akibat kejadian pengangkutan udara didalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara (Pasal 141); 2. Tanggungjawab terhadap kerugian penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah atau rusak (Pasal 144); 3. Tanggungjawab terhadap pengirim kargo, karena kargo yang dikirim, hilang, musnah atau rusak (Pasal 145); 4. Tanggungjawab terhadap kerugian karena keterlambatan mengangkut penumpang dan bagasi (Pasal 146); 5. Ganti rugi terhadap pihak ketiga. Besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga 21 untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL AKIBAT KECELAKAAN PESAWAT YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA a. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Tindak Pidana Penerbangan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009tentangPenerbangan, pada Pasal 1 angka 55 secara jelas mengartikan setiap orang sebagai orang perorangan atau korporasi, dengan kata lain korporasi adalahsubjek hukum (rechtssubject) dalam tindak pidana penerbangan, termasuk didalamnya korporasi maskapai penerbangan sipil yang tersirat pada Pasal 1 angka 20 yang merumuskan makna dari badan usaha angkutan udara sebagai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.Dengandiakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang penerbangan, berarti korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility). Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 menitikberatkan tindak pidana penerbangan pada 2 hal, yaitupertamatindak pidana administrasi dankeduatindakpidanamengenai keamanan dan keselamatan penumpang, barang dan atau kargo. Tindak pidana administrasiadalahtindakpidana 22 yang berhubungandenganpelanggaranizinataulisensi. Artinya “hak” untuk melakukan segala kegiatan penerbangan muncul dari adanya “izin” dari pejabat yang berwenang, namun jika tidak ada “izin”, maka tindakan tersebut melahirkan “tindak pidana” yang disebut tindak pidana penerbangan. Kemudian, tindakpidana keamanan dan keselamatan penumpang, barang dan atau kargoadalahtindakpidanadimanatidak dipenuhinya standar operasional keamanan dan keselamatan. Tindak pidana tidak harus dalam bentuk perbuatan yang dilarang, tetapi juga berupa pengabaian kewajiban hukum untuk bertindak (delik omisi). Undang-undang penerbangan Pasal 441 s/d Pasal 443 adalah pasal khusus yang mengatur mengenai pertanggungjawaban korporasi pada tindak pidana penerbangan. Pasal-pasal itu menyebut secara langsung bahwa dalam hal korporasi sebagai pelaku tindak pidana penerbangan, akan dikenakan pidana penjara dan pidana denda kepada pengurusnya dengan pemberatan 3 (tiga) kali pidana denda dari yang ditentukan pada bab XXII tentang Ketentuan Pidana. Ketika maskapai penerbangan menjadi pelaku tindak pidana penerbangan, tidak dimungkinkan pidananya berupa pidana badan (penjara) saja sama seperti pidana untuk manusia (naturlijk persoon). b. Hubungan Mekanisme Pengambilan Keputusan dalam Maskapai Penerbangan dengan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hubungan mekanisme pengambilan keputusan dalam maskapai penerbangandapat ditentukan atau diketahui dengan dua teori, yaitu teori pelaku 23 fungsional (functioneel daaderschap) dan teori identifikasi (doctrin of identification). Secara teoritis, teori pelaku fungsional diterapkan oleh hakim melalui tiga tahap. Pertama, kepentingan manakah yang dilindungi oleh pembuat undangundang berhubungan dengan tindak pidana yang diancam pidana oleh pembentuk undang-undang. Kedua, pelaku manakah yang melakukan tindak pidana, ditelusuri lebih lanjut siapa yang berada dalam posisi yang paling menentukan terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini pelaku fisik sudah beralih kepada tindak pidana fungsional. Ketiga, diajukan pertanyaan pembuktian (verifikasi) apakah terdapat cukup pembuktian yang shahih bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh terdakwa dalam kaitannya dengan tahap pertama dan kedua. Intinya adalah tindakan pengurus pada waktu melakukan suatu tindak pidana tidak dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi dalam hubungannya dengan menjalankan fungsi dan kewenangan yang dimilikinya dalam suatu korporasi, dan perbuatannya tidak harus melakukan perbuatan yang dilarang tetapi juga berupa pengabaian kewajiban. Korporasi maskapai penerbangan sipil dalam memutuskan atau menetapkan suatu kebijakan, yang kebijakan tersebut ternyata menyimpang bahkan berakibat fatal yaitu kecelakaan, dalam hal pertanggungjawabannya haruslah dilihat secara cermat siapa yang membuat ataubertanggungjawabataskeputusan tersebut dan apakah tugas fungsionalnya atau kewenangannya. Jika dalam anggaran dasar dan rumah tangga disebut bahwa ia bertindak mewakili korporasi, maka kecelakaan tersebut adalah tanggangjawab 24 dari korporasi, tetapi jika tidak, hal tersebut adalah tanggungjawab pelaku secara pribadi. Kedua adalah teori identifikasi. Teori ini pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Dalam teori identifikasi, orang-orang yang identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief executive officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi dengan level yang sama dengan kedua jabatan tersebut. Sebab, mereka itulah yang sebenarnya identik dengan korporasi atau jika dalam teori corporate criminal liability menyebut jika individu diberikan kewenangan untuk bertindak dan atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea paraindividu merupakan mens rea korporasi. Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam rumusan pasal441 diatasmenunjukkanbahwateoriidentifikasidanajaranpelakufungsionaldijadikanseba gaidasarteoritispenentuantindakpidanaterkaitpenerbanganolehkorporasi. Frasa‘apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain’merupakancerminandariteoriidentifikasi. Sedangkanfrasa „bertindak dalam 25 lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama‟ padadasarnyamerupakankonkretisasidariajaranpelakufungsional.Dengandemikian, selamamekanismekeputusandiambilolehorang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama, sesuai yang diaturolehundang- undangdanAnggaranDasardanAnggaranRumahTanggaKorporasimaskapaipenerba ngantersebut, makaitulah yang bertanggungjawabatastindakpidanapenerbangan. c. Aspek Hukum Pidana Kecelakaan Pesawat yang Mengakibatkan Kematian Kecelakaan pesawat tentu memiliki keterkaitan dengan faktor penyebab kecelakaan pesawat itu sendiri. K. Martono berpendapat bahwa terdapat berbagai faktor penyebab kecelakaan seperti faktor manusia (man), pesawat terbang itu sendiri (machine), lingkungan (environment), penggunaan pesawat udara (mission) dan pengelolaan (management) yang diuraikan sebagai berikut: 1. Faktor manusia. Faktor manusia biasanya yang dimintakan pertanggungjawabannya adalah kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu demikian karena manusia dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga yang terlibat langsung dalam proses keselamatan penerbangan, antara lain teknisi, awak pesawat terbang, pengawas lalu lintas, maupun tenaga operasi. 2. Pesawat terbang. Disamping manusia, pesawat terbang juga dapat keletihan, oleh karena itu, setiap pesawat terbang (machine) sejak dari awal desain 26 sampai dengan pelaksanaan perawatan, penyimpanan dan pengoperasiannya harus dilakukan dengan peraturan yang berlaku. 1. Masalah lingkungan. Masalah lingkungan juga merupakan salah satu faktor kecelakaam baik bersifat alamiah maupun prbuatan manusia. Faktor lingkungan yang bersiat alamiah seperti angin yang datang tiba-tiba (wind shear), awan berputar-putar yang biasa disebut Cumulonimbus (CB), topan, salju, gempa bumi dan letusan gunung berapi. 2. Pengelolaan. Setiap penerbangan selalu diawasi oleh petugas pengawas lalu lintas udara (ATC) sejak lepas landas (take off) sampai saat pesawat terbang berhenti diantara appron bandar udara tujuan. Dilain sisi, ada juga yang berpendapat bahwa sebab-sebab kecelakaan pesawat adalah: 1. Faktor manusia; 2. Faktor material (pesawat udara); 3. Faktor media; dan 4. Faktor terorisme Sehubungan dengan itu, adapun unsur atau aspek hukum pidana dari tindak pidana penerbangan adalah: 1. Dari segi subjek. 2. Dari segi unsur kesalahan, baik dolus maupun culpa 3. Dari segi akibat, yaitu kecelakaan menyebabkan matinya orang. Adapun pasal-pasal yang berhubungan dengan penerbangan yang akibat kecelakaan menyebabkan kematian: 27 tindak pidana a. Pasal 406 Unsur yang pertama adalah unsur subjek yaitu pembuat dan yang bertanggungjawab. Pada pasal ini terdapat frasa “setiap orang”, yang berarti maskapai penerbangan sipil sebagai korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana pada pasal ini. Kemudian unsur kesalahannya adalah mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan. Maskapai penerbangan pasti tahu pesawat mana saja yang sudah memiliki sertifikat laikudara. Selain itu akibat dari mengoperasikan pesawat terbang yang belum laikudara adalah membahayakan keselamatan dan keamanan yang dapat dijangkau oleh rasio manusia. Sehingga sebenarnya, pengoperasian pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan dilakukan dengan sengaja. Unsur selanjutnya yang harus terpenuhi adalah akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut yaitu kematian seseorang dan kerugian harta benda. Pasal ini tidak memuat frasa “kecelakaan pesawat” sebagai sebab kematian seseorang tersebut, tetapi dapat dimengerti bahwa mengoperasikan pesawat yang tidak laikudara dan menimbulkan kematian seseorang tentulah karena terjadi “kecelakaan pesawat”. Mengenai pertanggungjawabnnya, pasal 441 ayat (2) undang-undang penerbangan menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Artinya, dimungkinkan korporasi saja, pengurus saja, atau kedua-duanya. 28 d. Perumusan Sanksi Pidana Kecelakaan Pesawat yang Mengakibatkan Kematian Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam ketentuan pidana undang-undang penerbangan, jenis sanksi pidananya ada 2 (dua) jenis, yaitu pidana penjara dan pidana denda yang diformulasikan kedalam 4 (empat) bentuk yaitu bentuk tunggal, bentuk alternatif, bentuk kumulatif dan bentuk alternatifkumulatif. Tetapi pada perumusan sanksi pidana undang-undang penerbangan, pasal-pasal yang akibat kecelakaan pesawat mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh korporasi hanya menggunakan bentuk kumulatif yaitu pidana penjara dan pidana denda dijatuhkan bersamaan Pasal yang memenuhi unsur kecelakaan yang menyebabkan kematian oleh korporasi maskapai penerbangangan sipil yaitu hanya Pasal 406 dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) jika mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan. Pasal 443 Undang-Undang N0. 1 Tahun 2009 menyebut bahwa selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan pada pasal ketentuan pidana. Berarti, pasal 406 dijatuhkan kepada maskapai penerbangan sipil, selain pengurus dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) kepada korporasi juga dibebankan pidana denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) 29 E. Penutup 1. Kesimpulan a. Kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia melalui ranah hukum pidana atau sarana penal telah dirumuskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang kemudian haruslah diterapkan melalui tahap aplikatif dan eksekusi. Tetapi pada praktiknya, kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan cenderung diselesaikan melalu sarana non-penal, yaitu secara perdata atau administrasi. b. Pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian dapat dimintakan kepada pengurus maskapai penerbangan dan/atau korporasi maskapai penerbangannya sipil atas perbuatan sebagai mana diatur pada Pasal 406 Undang-Undang Penerbangan, yaitu mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) terhadap pengurusnya, dan korporasi dapat dijatuhi pidana yaitu pemberatan 3 (tiga) kali lipat pidana denda dari yang ditentukan diatas. Adapun pengurus yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya adalah the board of directors, the chief executive officer, atau pengurus lain yang perbuatan diidentik sebagai perbuatan korporasi, yaitu orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan 30 korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain dan bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama dan diatur dalam AD/ART Maskapai Penerbangan Tersebut. 2. Saran a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, sebagai payung hukum di bidang penerbangan harus diterapkan secara keseluruhan sebagai mana semestinya. Sehingga, tindak pidana penerbangan harus diselesaikan sesuai jalur hukum pidana bukan hukum perdata atau administrasi berupa pemberian ganti rugi atau asuransi kepada korban. b. Undang-undang penerbangan baiknya secara tegas memisahkan atau membedakan ketentuan pidana baik korporasi dengan orang perorangan dengan mengatur pasal khusus untuk tiap-tiap subjek pidananya, sehingga tidak kesulitan untuk menentukan siapa dan perbuatan seperti apa dipidana, mengingat sulitnya membedakan tindak pidana perorangan dengan korporasi, dan korporasi yang turut dalam penerbangan bukan hanya maskapai penerbangan. c. Beberapa pasal diperbaharui terutama mengenai proses investigasi kecelakaan pesawat yang tidak pernah jelas hasilnya, karena setidaknya hasil investigasi sekalipun tidak dapat menjadi alat bukti di proses peradilan. Tetapi agaknya hal ini bertentangan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa 31 tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. d. Pemerintah menjalin kerjasama yang baik dengan KNKT juga PPNS yang bersinggungan langsung dengan investigasi dan penyidikan, sehingga hasilnya bisa menjadi evaluasi bagi penerbangan di Indonesia. 32 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Chidir, Badan Hukum, (Bandung:Alumni, 1991) Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013) Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006) Amirini, Indriari, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam UndangUndang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), tanpa tahun, dan Penerbit, Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana prenada Media Grup, 2008), Astawa, I Gde Pantja dan Dr. Suprin Na‟a, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009) Atmadja, I Dewa Gede, Hukum Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2009) Bawengan, Gerson W., Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1983) Brownlie, Ian, Dokumen- Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia, 1993) Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001) Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (edisi kedia, Medan: USU press, 2013) Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, (Medan: PT. RajaGrafinfo Persada, 1997) Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008) Harahap, Yahya, Beberapa Tujuan Mengenai Sistem Peradilan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1977) 33 dan Hiariej, Eddy O.S., Prinsip- Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014) Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008), Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2013), Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011) Martono, H.K. dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013) Martono, K., Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987) Martono, K.,Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Buku Kedua, (Bandung: Mandar Maju, 1995) Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009) Moeliatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit PT Bina Aksara, 1987) Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2009) Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007) Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy: Pendekatan integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT.Sofmedia, 2010) Munthe, Makdin Amrin, Diktat Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, (Medan, 2010) Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence, English Language Book Society, (London: Oxford University Press, 1972) 34 Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) --------------, Hukum Penitensier di Indonesia, (Semarang: Liberty, 1988) Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011) Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004) Prodjodikoro, Wirjono, Tindak- Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1974) Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994) Samidjo, Ilmu negara, (Bandung: CV ARMICO, 2002) Sjawie, Hasbullah F., Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2013) Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983) Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001) --------------, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI Press, 2003), Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Cetakan Keenam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Tirtaatmidjaja,Mr., Pokok- Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Tiara, 1955) Tresna, Mr., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Tiara, 1959) Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbit Universitas, 1960) 35 B. Kamus Hukum dan Jurnal Hukum Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1979) Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi keempat , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) Hamzah, Andi, Kamus Hukum (Jakarta: Galia Indonesia, 1986) Majalah Angkasa No. 9 Juni 1997 Tahun VII Musa, Analissa Yahanan Norsuhaida Che dan Kamal Halili Hassan, Tanggung jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, Juni 2010 Raharja, Ivan Fauzani, Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Perizinan, Inovatif Volume VII No. II Mei 2014 Wiradipradja, E. Saefullah, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia,(Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, 2006) C. Peraturan Perundang- Undangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Konvensi Chicago 1944 tentang The Chicago Convention on International Civil Aviation Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft Konvensi The Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,Signed at the Hague Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation Konvensi Montreal 1991 tentang Convention on the Marking of Plastic Eksplosive for the Purpose of Detection 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Tahun 2012 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Undang- Undang No. 2 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Monteral 1971. D. Website Berita Dewata, Lion Air Sering Diberikan Peringatan, http://beritadewata.com/Daerah/Denpasar/Lion-Air-Sering-DiberikanPeringatan.html , (diakses pada 14 J uni 2015 Pukul 01.20 WIB) Damang,Efektifitas Hukum, http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitashukum.html, (diakses pada 23 Februari 2015, pukul 13.16 WIB.) Detik News, Uang Diterima Jangan Ajukan Tuntutan Hukum, http://news.detik.com/read/2005/11/21/091806/482677/158/uangditerima-jangan-ajukan-tuntutan-hukum, (diakses pada tanggal 12 Juni 2015 pukul 22.57 WIB) Dirjen Perhubungan Udara, Daftar Maskapai Penerbangan di Indonesia, http://hubud.dephub.go.id/?id/aoc/index/page:2, (diakses pada Rabu, 28 Januari 2015 pukul 12.44) Hukum Online, Tanggungjawab Pilot disamakan dengan nahkoda atau Supir? http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18541/tanggung-jawabpilot-disamakan-dengan-nahkoda-atau-supir diakses pada tanggal 13 Juni 2015 pukul 7.51 WIB Info Publik,Izin Terbang Rute Yogyakarta-Palangkaraya Lion Air Dicabuthttp://infopublik.id/read/105989/izin-terbang-rute-yogyakartapalangkaraya-lion-air-dicabut.html(diakses pada Senin, 09 Maret 2015 pukul 17.57 WIB) Kompas.Com, Pilot Garuda Marwoto Dihukum Dua Tahun Penjara, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/07/02521562/Pilot.Garu da.Marwoto.Dihukum.Dua.Tahun.Penjara, (diakses pada tanggal 12 Juni 2015 pukul 23:56 WIB) 37 National Geographic Indonesia, Inilah Daftar Kecelakaan Pesawat Terbang di Indonesia, http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/inilah-daftarkecelakaan-pesawat-terbang-di-indonesia, (di akses pada Jumat, 30 Januari 2015 pukul 14.25 WIB) Prihatin, Rohani Budi, Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis Penanganan Korban Kecelakaan AIR ASIA QZ8501http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Sin gkat-VII-1-I-P3DI-Januari-2015-31.pdf oleh, , hal. 9 (diakses pada hari Jumat, 30 Januari 2015 pukul 13.30 WIB.) Sudarsono, Tjuk, Keberadaan dan Peran ICAO dalam penerbangan Sipil Internasional (8 November 2012), http://tabloidaviasi.com/safety/keberadaan-dan-peranicao-dalam-penerbangan-sipil-internasional/ , (diakses pada 7 April 2015 pukul 2.22 WIB) 38