Modul Pendidikan Agama Islam [TM1]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Pendidikan Agama Islam
Konsep Ketuhanan Dalam
Al-Quran
Fakultas
Program Studi
Teknik Industri
Teknik Perencanaan
Tatap Muka
02
Kode MK
Disusun Oleh
MK12000
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Abstract
Kompetensi
Masyarakat Arab Pra Islam sudah mengenal
kata Tuhan yang telah menciptakan alam
semesta, namun pemujaan-pemujaan terhadap
berhala telah mereka lakukan selama ratusan
tahun. Islam mengajarkan masyarakat muslim
hanya menyembah Allah SWT.
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa
diharapkan memahami konsep ketuhanan dalam
Islam
dan
mendeteksi
penyimpanganpenyimpangan dalam hal keyakinan kepada
selain Allah SWT.
KONSEP KETUHANAN DALAM AL-QUR'AN
Ayat-ayat yang menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud tertinggi
dan nama Allah itu sendiri sudah ada di zaman jahiliyah, bukan saja dikalangan Yahudi dan
Nasrani melainkan juga dikalangan suku-suku badui. Disamping itu kata itu pun sering
terdapat dalam syair-syair dan juga nama-nama orang di zaman pra Islam, seperti; Abdullah
(hamba Allah). Suku-suku kafir tertentu mempercayai satu tuhan yang mereka namakan
Allah, dan yang mereka percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat
tertinggi dalam hierarki para dewa. Sama diketahui bahwa orang Quraisy, sebagaimana juga
suku-suku lain percaya kepada Allah, yang mereka namakan Tuhan Rumah (Ka'bah). Kaum
musyrik menganggap sejumlah dewa, malaikat, bahkan jin sebagai perantara antara
pencipta dan ciptaannya.
Semua orang Arab mempunyai kepentingan khusus dalam gagasan tentang makhluk
adikodrati yang menjadi perantara mereka pada hari kebangkitan. Sebenarnya agama
mereka mempercayai adanya perantara samawi. Ayat-ayat tertentu Al-Qur'an menyatakan
dengan jelas bahwa kaum musyrik menyembah tuhan mereka hanya sebagai perantara bagi
mereka sendiri dan Allah. (QS. 39:3).
Mengutip ucapan mereka kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Al-Qur'an juga menyebutkan
kepercayaan kaum kafir kepada tuhan-tuhan mereka sebagai perantara, la bertanya: Maka
mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada
Allah) tidak dapat menolong mereka (QS. 46:28).
Al-Qur'an menyebutkan, dibeberapa tempat kenyataan bahwa bangsa Arab jahiliyyah
percaya kepada Allah sebagai pemilik kebesaran dan kekuasaan tertinggi, dan karenanya
mengungkapkan keheraan akan penolakan mereka untuk tunduk kepadanya, Al-Qur'an
menyatakan : Dan sesungguhnya jika mereka kamu tanyakan, siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu akan menjawab Allah.... dan
seungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan
mejawab Allah.... dan apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke
darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah (QS. 29: 61, 63, 65).
Komentar serupa terdengar dalam (QS. 31: 32) dan apabila mereka dilamun ombak
yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan
15
2
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kepadanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, sebagian
mereka goyah diantara iman dan kafir. (QS. 23: 84-89). mengulangi pertanyaan dan
jawaban terkutip di atas dan terus bertanya lebih lanjut, ditangan siapakah kekuasaan atas
segala sesuatu, siapakah yang melindungi semua, dan tiada seorang pun yang dapat
berlindung dari azabnya? Dengan gema jawabannya ialah Allah (QS. 16: 38 dan QS. 35:
42). menunjuk pada fakta bahwa bilamana orang kafir mengambil sumpah yang khidmat,
pasti mereka mengambil sumpah. Demikianlah, dengan mengucapkan lagi kepercayaan
mutlak kaum kafir atas kebesaran Allah, pertanyaan diajukan, mengapa mereka tidak
berfikir, mengapa mereka bersih keras dalam beribadah kepada dewa-dewa lain?
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep Al-Qur'an tentang Allah tidak sepenuhnya
baru, tetapi ia mentransformasi konsepsi jahiliyah sedemikian radikalnya sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua konsep ketuhanan itu tidak ada kesamaannya. Konsep jahiliyah
tentang Allah mempunyai sekutu, walaupun tingkatnya lebih rendah dari Dia, konsep alQur'an sama sekali tunggal. Dalam konsep jahiliyah, Allah adalah suatu objek pemujaan
yang jauh, konsep al-Qur'an mendominasi setiap fase kehidupan manusia dari lahir hingga
mati. Dalam pengertian kata itu yang sebenarnya, Allah adalah suatu kehadiran, suatu
pribadi dan suatu kekuatan yang hidup.
Kepribadian Allah menonjol dalam hampir setiap ayat-ayat al-Qur'an, tetapi substansi
dari penggambarannya dapat diringkas menjadi beberapa kalimat, karena pembahasan
tema ini dalam al-Qur'an bercirikan lebih dari tema manapun lainya, pengulangan.
Semua surah al-Qur'an, kecuali surah Taubah (9) dimulai dengan “Dengan nama
Allah yang pengasih, Maha Penyayang.” tetapi dari sini tidak boleh disimpulkan bahwa Allah
menyayangi dan menaruh belas kasih memulu. Berulang-ulang kita dapati Allah
digambarkan dalam al-Qur'an sebagai pembalas dendam, tidak mengampuni, keras dalam
hukumannya, dan dahsyat dalam kemarahannya. Sifat-Nya yang menonjol ialah keesaanNya, Nabi disebutkan telah mengatakan bahwa perintah Allah, Katakanlah Dialah Allah yang
Maha Esa (QS. 112) sama dengan sepertiga al-Qur'an. Dalam surah itu Allah
memerintahkan kepada Nabi untuk menggambarkan Dia kepada orang-orang mukmin
dalam kata-kata berikut: Allah yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu, tidak beranak
dan tidak diberanakkan, dan tiada seorang pun yang setara dengan-Nya (QS: 112: 2-4).
tetapi dalam analisis terakhir Allah tidak dapat dibatasi sifat-sifatnya meliputi semua yang
berlawana dan tak terhitung jumlahnya. Pikiran manusia tak dapat meliputi pengetahuan
ilahi. Walaupun demikian, al-Qur'an secara efektif menolong kaum mukmin membentuk
suatu citra mental tentang ketuhanan dengan menggambarkan perbuatannya di alam
semesta dalam bahasa yang dapat dipahami manusia, dan dengan menamakan-Nya
dengan nama-nama yang dapat mewakili suatu sifat yang dapat dipahami (QS. 7: 180)
15
3
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengatakan Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut al-asma'ul husna. Penisbahan asmaul husna kepada Allah juga muncul dalam
QS. 17: 110 dan 20: 8. Hadits telah merinci 99 nama yang kebanyakannya diambil dari isi alQur'an untuk digunakan dalam menyampaikan pujian kepada Allah. Tetapi apa nama-nama
yang digunakan kaum mukminketika menyeru Allah danam sholat dan doa? Terkutip di
bawah ini nama-nama dan sifat-siafat yang menyertai sebutan Allah disepanjang al-Qur'an.
Penguasa dunia dan dan akhirat, pemaaf, pengasih, Tuhan hari pengadilan,
pencipta, pemelihara dan pembinasa, Tuhan timur dan barat, yang tidak dapat mempunyai
keperluan, yang hidup, yang menjaga dan abadi, pemilik bumi, langit dan segala yang ada
diantara keduanya, pemegang kunci dunia, yang tampak maupun tidak, yang tak ada
sesuatu sepertinya, tidak bersekutu dan tidak beranak, yang pertama yang yang terakhir,
yang nyata dan tersembunyi, yang maha mulia, yang maha kuasa, yang maha tahu dan
yang terkaya dari yang kaya, yang terhadap kemauannya tak ada penghalang, yang awas
atas makhluknya, selalu sedia menerima syukur dan taubat manusia, pemaaf atas segala
kesalahan kecuali syirik, pemberi ganjaran kepada yang bajik dan hukuman kepada yang
jahat, adil, yang cepat dalam menghitung, keras dalam menghukum, pengazab yang pedih
terhadap yang berdosa, penuntut dan pembalas dendam, hakim yang terbaik, pemberi rezki,
yang membimbing dan yang menyesatkan, sahabat kaum mukmin dan musush kaum kafir,
yang maha bijaksana, perancang yang terbaik, yang mendengar dan melihat, yang
mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati.
Banyak dari sifat-sifat yang dinisbahkan dalam al-Qur'an kepada nama Allah
biasanya dapat diterapkan pada manusia. Konsepsi Qur'an tentang sifat keilahian pada
hakekatnya adalah transendental. Allah berada di atas dan di luar kemampuan
penggambaran. Ia tidak serupa dengan apapun, dan tidak ada yang menyerupainya. Tak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS. 42: 11) tetapi pada saat yang sama al-Qur'an
menghadirkan diseluruh ayat-ayatnya suatu citra yang substansial tentang Allah, sering
dalam istilah-istilah fisik. Ayat yang baru dikutip itu dilengkapkan dengan kata-kata Dan Ia
melihat dan mendengar. Ayat lain QS. 20: 46 mengutip kata-kata Allah kepada Musa dan
Harun, Janganlah takut karena Aku bersama kamu, Aku mendengar dan melihat.
Sesungguhnya kitab-kitab suci agama monoteis berbicara demikian sering tentang Tuhan
dalam istilah-istilah fisik badaniyah dan moral sehingga pengertian transendental kadangkadang menjadi kabur.
Ada suatu kesulitan yang nampak secara lahiriyah dalam rujukan al-Qur'an kepada
pengetahuan Tuhan. Hampir pada setiap halaman al-Qur'an ada sebutan tentang
keMahatahuan Tuhan. Sekedar mengutip beberapa contoh darinya: pengetahuan Tuhan
meliputi segala sesuatu, ia mengetahui apa yang di langit dan di Bumi, yang nampak
15
4
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
maupun yang ghaib, yang lalu, sekarang dan akan datang, dorongan hati manusia, setiap
patah kata yang diucapkan di langit maupun di bumi. Manusia tak berbuat apapun
melainkan Tuhan mengawasinya, ia mengetahui siapa yang tersesat dan siap yang
mengikuti jalan yang lurus. Tak ada sesuatu yang dapat disembunyikan dari Dia. Salah satu
kalimat yang palig sering diulangi dalam al-Qur'an ialah Ia mengetahui rahasia setiap hati
(QS. 58:7) menekankan wawasan Tuhan dakam persekongkolan manusia, apabila tiga
orang bercakap secara rahasia bersama-sama, Ialah Yang keempatnya, apabila empat
maka Ialah yang kelimanya, apabila lima maka Ialah yang ke enam, baik lebih banyak
maupun lebih sedikit. Dimanapun mereka berada Ia ada bersama mereka.
Gambaran-gambaran ini menunjukkan dengan jelas bahwa pengetahuan Tuhan
merupakan esensinya. Artinya hal itu bukan aksiden atau kebetulan. Karena meliputi semua,
tak ada lagi yang perlu lagi di tambahkan kepadanya. Tetapi suatu kesulitan timbul di sini,
beberapa bagian dalam al-Qur'an menyiratkan bahwa Tuhan mencari pengetahuan yang
belum dimilikinya, misalnya: kami pergilirkan kemenangan diantara manusia supaya Allah
menetahui orang-orang yang beriman (QS. 3:150), Kami memerintahkan kiblatmu yang
pertama hanya supaya Kami dapat mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan orang-orang
yang berpaling ditumit mereka (QS. 2:143).
Kekalahan yang kamu derita ketika kedua tentara itu bertemu adalah dengan izin
Allah suapa Dia dapat mengetahui siapa mukmin sebenarnya dan orang munafiq (QS. 3:
166-167).
Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui manakah diantara kedua itu yang
lebih tepat menghitung lamanya mereka tinggal di dalam gua itu. (QS. 18: 12)
Kata-kata keadaan yang menggambarkan sifat-sifat Allah (lebih dari lima puluh)
muncul berulang-ulang disepanjang ayat al-Qur'an. Demikianlah, kalimat “Allah maha
pengampun dan penyayang” muncul 84 kali (di luar 113 kali penggunaan kata “Maha
Penyayang” dalam formula suci yang membuka semua surah, kecuai satu). “Allah
Mahatinggi” diulangi 72 kali, Mahatahu 68 kali, Bijaksana 64 kali, Mendengar dan Melihat 54
kali, Mahakuasa 32 kali, dan keras dalam pembahasan 32 kali. Julukan yang paling kurang
diulangi (hanya dua kali) ialah “Yang terbaik dari para perencana.”
Jelas dari wahyu al-Qur'an bahwa Allah tidak mewahyukan diri-Nya melalui penitisan
dalam bentuk manusia atau sifat-sifat manusia. Tuhan yang mutlak transenden tak dapat
dipahami manusia secara langsung.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan manusia (QS. 6: 103)
Dan mereka tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu Allah melainkan sekedar yang
15
5
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dikehendaki-Nya (QS. 2: 255).
Tetapi ketika Tuhan menghendakinya maka Dia melapangkan dadanya (QS.6: 125)
dan matanya (QS. 6: 104) kepada persepsi dari tanda-tanda “dan bukti-bukti yang
ditempatkannya pada alam dan dalam diri manusia sendiri. Al-Qur'an amat banyak
menekankan kepada ilmu Tuhan melalui renungan akan tanda-tandanya. Di langit dan di
bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman (QS. 45: 3).
Dalam penciptaan langit dan bumi dalam perubahan malam dan siang, dan dalam gerakangerakan angin sesungguhnya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengerti (QS. 2:
164).
Tidaklah paradoks jika dikatakan bahwa sementara Tuhan tak dapat dipahami secara
langsung, Ia dapat di lihat dimana-mana.
Diantara ungkapan-ungakapan al-Qur'an yang menyebabkan usaha penafsiran alQur'an menjadi paling menting ialah “kata Tuhan.” penggunaan istilah kata dengan konotasi
keilahian (logos dalam bahasa Yunani, kalimah dalam bahasa Arab) mendahului al-Qur'an.
Dalam monoteisme, hal itu sudah terdapat dalam agama Yahudi dan dalam falsafah berasal
dari aliran stoiki. Dalam kedua konteks itu, kata melambangkan penciptaan, design,
penataan, dan pemerintahan atas cosmos. Sebuah ungkapan yang jelas tentang maknanya
terkandung dalam injil Yohanes yang mengatakan bahwa “pada mulanya adalah kata; dan
Kata itu bersama-sama dengan Allah, dan kata itu adalah Allah.” dan Injil terus
mengidentifikasi Kata dengan Yesus Kristus, di mana ia mengatakan bahwa Kata itu menjadi
daging. Pernyataan itu paralel dengan pernyataan Al-Qur'an (QS. 3: 45) bahwa para
Malaikat membawa berita gembira kepada Maryam dari Tuhan: sebuah Kata dari Dia yang
bernama Isa al-masih (Yesus kristus) putra Maryam. Jadi, dalam agama Kristiani, kata
Tuhan adalah pribadi Yesus yang dikandung Maryam; dalam Islam, Kata Tuhan adala AlQur'an yang diwahyukan kepada Nabi melalui malaikat Jibril. “Jibril telah menurunkannya
(Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan izin Tuhan” (QS. 2: 97). perlu ditambahkan bahwa
dalam bahasa al-Qur'an, “kata” mempunyai sesentetan luas konotasi yang meliputi: perintah
penciptaan (QS. 3: 47) ucapan Ilahi (QS. 4: 164), penciptaan yang tak tergantung pada ayah
atau benih (QS. 4: 171), wahyu (QS. 9:6), peringatan (QS. 39: 71), nikmat Allah (QS. 31:
26).
Suatu rujukan singkat diperlukan di sini untuk istilah al-Qur'an lainnya yang oleh para
mufassir telah diberikan perhatian khusus: “Rahman, Rahim yang muncul dalam seruan
kepada Nama Allah pada awal surah, sama-sama merepresentasikan aspek-aspek sifat
kasih sayang. Rahman adalah suatu karakteristik pengertian Ilahi yang universal; Rahim
mengandung pengertian yang lebih terbatas yang terutama diterapkan pada Tuhan dalam
15
6
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hubunganya dengan manusia. Rahman mengandung konotasi Ilahi secara eksklusif
berdasarkan kenyataan bahwa al-Qur'an sering menggunakannya sebagai sinonim bagi
Allah. (QS. 17: 110) mengatakan, “Serulah Allah atau serulah al-Rahman.” hanya dalam satu
surah (QS. 19).
Satu aspek dari sifat rahman Tuhan ialah bahwa Dia berada dengan sendirinya (QS.
2: 255) dan suci dari segala macam kekurangan, Namun ia prihatin terhadap manusia,
makhluk-Nya yang serba kekurangan, dan menunjukkan kepadanya jalan penyelamatan
(QS. 35: 15). sifat rahman meliputi sifat-sifat Ilahi lainnya, seperti Maha Pengampun dimana
al-Qur'an meletakkan tekanan khusus seperti (QS. 7: 151 dan QS. 40:3).
Zikir dan Keterikatan Manusia pada Tuhan
Sebagai wawasan, zikir sebenarnya adalah seluruh tingkah laku kita yang
berhubungan dengan Tuhan. Itulah sebabnya kenapa zikir yang paling baik adalah zikirnya
alam raya, meskipun kita tidak memahaminya. “Bertasbih memuji Tuhan seluruh langit dan
bumi begitu juga penghuni-penghuninya, tidak ada sesuatu pun kecuali mesti bertasbih
memuji Tuhan, tapi kamu tidak paham tasbih mereka” (Q. 17:44).
Bertasbihnya bumi, langit dan seisinya kepada Tuhan menunjukkan bahwa
sebenarnya zikir merupakan suatu pekerjaan yang sangat alami karena merupakan bagian
dari kebaktian. Itulah kenapa Ahmad Hasan buku Tafsir al-Qur'annya, "al-Furqân" selalu
menerjemahkan taqwa dengan bakti. Keterikatan manusia dengan Tuhan melalui perjanjian
primordial sebelum lahir (Q. 7:171), secara alami menuntut manusia untuk berbakti.
Pengakuan Tuhan sebagai "rabb" berkonsekuensi pada bakti kita kepada-Nya
meskipun pengakuan tersebut terjadi dalam alam ruhani yang berarti kita tidak
menyadarinya. Jangankan yang ruhani, yang nafsani saja sebagian besar kita tidak sadar.
Dan hampir sebagian besar dari hidup kita ditentukan oleh yang tidak sadar ini.
Kedudukan perjanjian primordial itu sedemikian asasinya, sehingga mempengaruhi
seluruh hidup kita. Sebagai kelanjutan dari perjanjian itu kita lahir dengan membawa
kecenderungan mendasar untuk berbakti. Karena itu bakat manusia yang paling
fundamental adalah berbakti dan mengabdi. Oleh karena itu al-Qur’an menyebutkan,
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka menyembah
kepada-Ku (Q. 51: 56).
Ayat ini oleh para mubalig sering dijelaskan bahwa tujuan diciptakannya jin dan
manusia adalah untuk menyembah Tuhan. Tetapi ada kemungkinan penjelasan lain yaitu
15
7
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bahwa jin dan manusia diciptakan dengan naluri kepada Tuhan. Ini seperti anak kecil yang
dibekali naluri makan dan minum supaya dapat bertahan hidup. Naluri makan dan minum ini
akan menjadi malapetaka kalau tidak ada ibu di sampingnya karena dia akan makan dan
minum apa saja yang terpegang tangannya. Keberadaan ibu dimaksudkan untuk
membimbing agar apa yang dimakan dan diminum tidak akan menjadi sumber malapetaka.
Analogi yang dapat diambil adalah bahwa bakat manusia untuk mengabdi dan
berbakti kalau tidak dibimbing justru akan menjadi sumber malapetaka yang lebih prinsipil.
Dia akan dapat mengabdi atau menyembah apa saja yang dianggap patut untuk disembah
meskipun sebenarnya tidak patut. Di sini kemudian diperlukan agama, yaitu yang diberikan
oleh Allah melalui seorang Nabi (“nabiy” artinya “orang yang mendapat berita”). Karena
berita yang dibawa berasal dari dunia gaib maka cara menerimanya adalah dengan
percaya, atau beriman. Dikirimnya Nabi dimaksudkan untuk membimbing naluri berbakti kita
agar tidak lantas menyembah apa saja yang tidak semestinya.
Naluri Kembali ke Asal
Naluri manusia untuk berbakti melahirkan naluri keinginan untuk kembali ke asal.
Dalam pandangan para filsuf Muslim, bukan hanya manusia yang ingin kembali ke asal,
tetapi semua alam ini. Keinginan alam untuk kembali ke asal mencari Tuhan ini
menyebabkan ada gerak berputar. Semua alam gerak berputar, seperti rembulan berputar
mengelilingi bumi, bumi dengan keluarganya mengelilingi matahari, matahari mengelilingi
bima sakti dan seterusnya. "Thawâf," dalam bahasa Arab. Maka sebenarnya thawâf dalam
haji adalah meniru thawâf-nya alam. Thawâf adalah gerak untuk mencari kembali ke asal.
Hajar aswad kemudian dijadikan simbol permulaan dan akhirnya "inna lillâhi wa inna ilaihi
râji'ûn," kita semuanya berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya.
Semuanya ingin kembali, kita juga begitu. Kita merindukan ibu, kita sekeluarga
merindukan kampung halaman, oleh karena itu ada gerak mudik setiap tahun. Secara
psikologis, mudik tiap tahun itu tidak dapat dibendung karena merupakan naluri manusia.
Mudik bukan semata tradisi di Indonesia, apalagi hanya tradisi pembantu. Di Amerika saja
tradisi mudik saat "thanksgiving day" luar biasa.
Sebetulnya haji juga merupakan gerak kembali ke asal karena manusia mempunyai
konsep sentralitas yang menjadi latar belakang konsep tentang tanah suci. Tanah suci
mewakili sentralitas dan Ka’bah hanya sebagai simbol sentralitas dari kepusatan yang kita
anggap sebagai "bayt Allâh" (rumah Tuhan). Karena itu sebenarnya dengan mengingat
Tuhan (zikir) kita kembali kepada Tuhan. Laksana bayi tenteram berada dalam dekapan
15
8
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ibunya, dengan zikir seolah-olah kita pun didekap Tuhan sehingga menjadi tenteram. "Alâ bi
dzikr Allâh tathma’inn al-qulûb," ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, maka hati
menjadi tenteram (Q. 13:30). Maka kalau pergi ke Makkah dan terharu melihat Ka’bah itu
adalah psikologi dari orang yang menemukan asal, psikologi dari orang yang merasa
kembali ke sentral (center).
***
15
9
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Referensi :
1. Yusuf
Qardhawi,
Merasakan
Kehadiran
Tuhan,
(terj.)
Jazirotul
Islamiyah,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004)
2. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina 2000) cet. II
3. Nurcholish Madjid, Fatsoen, (Jakarta: Republika 2002)
4. Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka 2000)
5. M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, (Jakarta:
Lentera Hati, 2003)
6. M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Al-Quran dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
7. Sayyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003)
15
10
MK. Pendidikan Agama Islam
Ahmad Rifai, S.Ag, MA.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download