MODUL PERKULIAHAN Pendidikan Agama Islam Konsep Ketuhanan Dalam Al-Quran Fakultas Program Studi Teknik Industri Teknik Perencanaan Tatap Muka 02 Kode MK Disusun Oleh MK12000 Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Abstract Kompetensi Masyarakat Arab Pra Islam sudah mengenal kata Tuhan yang telah menciptakan alam semesta, namun pemujaan-pemujaan terhadap berhala telah mereka lakukan selama ratusan tahun. Islam mengajarkan masyarakat muslim hanya menyembah Allah SWT. Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan memahami konsep ketuhanan dalam Islam dan mendeteksi penyimpanganpenyimpangan dalam hal keyakinan kepada selain Allah SWT. KONSEP KETUHANAN DALAM AL-QUR'AN Ayat-ayat yang menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud tertinggi dan nama Allah itu sendiri sudah ada di zaman jahiliyah, bukan saja dikalangan Yahudi dan Nasrani melainkan juga dikalangan suku-suku badui. Disamping itu kata itu pun sering terdapat dalam syair-syair dan juga nama-nama orang di zaman pra Islam, seperti; Abdullah (hamba Allah). Suku-suku kafir tertentu mempercayai satu tuhan yang mereka namakan Allah, dan yang mereka percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat tertinggi dalam hierarki para dewa. Sama diketahui bahwa orang Quraisy, sebagaimana juga suku-suku lain percaya kepada Allah, yang mereka namakan Tuhan Rumah (Ka'bah). Kaum musyrik menganggap sejumlah dewa, malaikat, bahkan jin sebagai perantara antara pencipta dan ciptaannya. Semua orang Arab mempunyai kepentingan khusus dalam gagasan tentang makhluk adikodrati yang menjadi perantara mereka pada hari kebangkitan. Sebenarnya agama mereka mempercayai adanya perantara samawi. Ayat-ayat tertentu Al-Qur'an menyatakan dengan jelas bahwa kaum musyrik menyembah tuhan mereka hanya sebagai perantara bagi mereka sendiri dan Allah. (QS. 39:3). Mengutip ucapan mereka kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Al-Qur'an juga menyebutkan kepercayaan kaum kafir kepada tuhan-tuhan mereka sebagai perantara, la bertanya: Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka (QS. 46:28). Al-Qur'an menyebutkan, dibeberapa tempat kenyataan bahwa bangsa Arab jahiliyyah percaya kepada Allah sebagai pemilik kebesaran dan kekuasaan tertinggi, dan karenanya mengungkapkan keheraan akan penolakan mereka untuk tunduk kepadanya, Al-Qur'an menyatakan : Dan sesungguhnya jika mereka kamu tanyakan, siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu akan menjawab Allah.... dan seungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan mejawab Allah.... dan apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah (QS. 29: 61, 63, 65). Komentar serupa terdengar dalam (QS. 31: 32) dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan 15 2 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kepadanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, sebagian mereka goyah diantara iman dan kafir. (QS. 23: 84-89). mengulangi pertanyaan dan jawaban terkutip di atas dan terus bertanya lebih lanjut, ditangan siapakah kekuasaan atas segala sesuatu, siapakah yang melindungi semua, dan tiada seorang pun yang dapat berlindung dari azabnya? Dengan gema jawabannya ialah Allah (QS. 16: 38 dan QS. 35: 42). menunjuk pada fakta bahwa bilamana orang kafir mengambil sumpah yang khidmat, pasti mereka mengambil sumpah. Demikianlah, dengan mengucapkan lagi kepercayaan mutlak kaum kafir atas kebesaran Allah, pertanyaan diajukan, mengapa mereka tidak berfikir, mengapa mereka bersih keras dalam beribadah kepada dewa-dewa lain? Dengan demikian jelaslah bahwa konsep Al-Qur'an tentang Allah tidak sepenuhnya baru, tetapi ia mentransformasi konsepsi jahiliyah sedemikian radikalnya sehingga dapat dikatakan bahwa kedua konsep ketuhanan itu tidak ada kesamaannya. Konsep jahiliyah tentang Allah mempunyai sekutu, walaupun tingkatnya lebih rendah dari Dia, konsep alQur'an sama sekali tunggal. Dalam konsep jahiliyah, Allah adalah suatu objek pemujaan yang jauh, konsep al-Qur'an mendominasi setiap fase kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Dalam pengertian kata itu yang sebenarnya, Allah adalah suatu kehadiran, suatu pribadi dan suatu kekuatan yang hidup. Kepribadian Allah menonjol dalam hampir setiap ayat-ayat al-Qur'an, tetapi substansi dari penggambarannya dapat diringkas menjadi beberapa kalimat, karena pembahasan tema ini dalam al-Qur'an bercirikan lebih dari tema manapun lainya, pengulangan. Semua surah al-Qur'an, kecuali surah Taubah (9) dimulai dengan “Dengan nama Allah yang pengasih, Maha Penyayang.” tetapi dari sini tidak boleh disimpulkan bahwa Allah menyayangi dan menaruh belas kasih memulu. Berulang-ulang kita dapati Allah digambarkan dalam al-Qur'an sebagai pembalas dendam, tidak mengampuni, keras dalam hukumannya, dan dahsyat dalam kemarahannya. Sifat-Nya yang menonjol ialah keesaanNya, Nabi disebutkan telah mengatakan bahwa perintah Allah, Katakanlah Dialah Allah yang Maha Esa (QS. 112) sama dengan sepertiga al-Qur'an. Dalam surah itu Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menggambarkan Dia kepada orang-orang mukmin dalam kata-kata berikut: Allah yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diberanakkan, dan tiada seorang pun yang setara dengan-Nya (QS: 112: 2-4). tetapi dalam analisis terakhir Allah tidak dapat dibatasi sifat-sifatnya meliputi semua yang berlawana dan tak terhitung jumlahnya. Pikiran manusia tak dapat meliputi pengetahuan ilahi. Walaupun demikian, al-Qur'an secara efektif menolong kaum mukmin membentuk suatu citra mental tentang ketuhanan dengan menggambarkan perbuatannya di alam semesta dalam bahasa yang dapat dipahami manusia, dan dengan menamakan-Nya dengan nama-nama yang dapat mewakili suatu sifat yang dapat dipahami (QS. 7: 180) 15 3 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengatakan Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma'ul husna. Penisbahan asmaul husna kepada Allah juga muncul dalam QS. 17: 110 dan 20: 8. Hadits telah merinci 99 nama yang kebanyakannya diambil dari isi alQur'an untuk digunakan dalam menyampaikan pujian kepada Allah. Tetapi apa nama-nama yang digunakan kaum mukminketika menyeru Allah danam sholat dan doa? Terkutip di bawah ini nama-nama dan sifat-siafat yang menyertai sebutan Allah disepanjang al-Qur'an. Penguasa dunia dan dan akhirat, pemaaf, pengasih, Tuhan hari pengadilan, pencipta, pemelihara dan pembinasa, Tuhan timur dan barat, yang tidak dapat mempunyai keperluan, yang hidup, yang menjaga dan abadi, pemilik bumi, langit dan segala yang ada diantara keduanya, pemegang kunci dunia, yang tampak maupun tidak, yang tak ada sesuatu sepertinya, tidak bersekutu dan tidak beranak, yang pertama yang yang terakhir, yang nyata dan tersembunyi, yang maha mulia, yang maha kuasa, yang maha tahu dan yang terkaya dari yang kaya, yang terhadap kemauannya tak ada penghalang, yang awas atas makhluknya, selalu sedia menerima syukur dan taubat manusia, pemaaf atas segala kesalahan kecuali syirik, pemberi ganjaran kepada yang bajik dan hukuman kepada yang jahat, adil, yang cepat dalam menghitung, keras dalam menghukum, pengazab yang pedih terhadap yang berdosa, penuntut dan pembalas dendam, hakim yang terbaik, pemberi rezki, yang membimbing dan yang menyesatkan, sahabat kaum mukmin dan musush kaum kafir, yang maha bijaksana, perancang yang terbaik, yang mendengar dan melihat, yang mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati. Banyak dari sifat-sifat yang dinisbahkan dalam al-Qur'an kepada nama Allah biasanya dapat diterapkan pada manusia. Konsepsi Qur'an tentang sifat keilahian pada hakekatnya adalah transendental. Allah berada di atas dan di luar kemampuan penggambaran. Ia tidak serupa dengan apapun, dan tidak ada yang menyerupainya. Tak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS. 42: 11) tetapi pada saat yang sama al-Qur'an menghadirkan diseluruh ayat-ayatnya suatu citra yang substansial tentang Allah, sering dalam istilah-istilah fisik. Ayat yang baru dikutip itu dilengkapkan dengan kata-kata Dan Ia melihat dan mendengar. Ayat lain QS. 20: 46 mengutip kata-kata Allah kepada Musa dan Harun, Janganlah takut karena Aku bersama kamu, Aku mendengar dan melihat. Sesungguhnya kitab-kitab suci agama monoteis berbicara demikian sering tentang Tuhan dalam istilah-istilah fisik badaniyah dan moral sehingga pengertian transendental kadangkadang menjadi kabur. Ada suatu kesulitan yang nampak secara lahiriyah dalam rujukan al-Qur'an kepada pengetahuan Tuhan. Hampir pada setiap halaman al-Qur'an ada sebutan tentang keMahatahuan Tuhan. Sekedar mengutip beberapa contoh darinya: pengetahuan Tuhan meliputi segala sesuatu, ia mengetahui apa yang di langit dan di Bumi, yang nampak 15 4 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id maupun yang ghaib, yang lalu, sekarang dan akan datang, dorongan hati manusia, setiap patah kata yang diucapkan di langit maupun di bumi. Manusia tak berbuat apapun melainkan Tuhan mengawasinya, ia mengetahui siapa yang tersesat dan siap yang mengikuti jalan yang lurus. Tak ada sesuatu yang dapat disembunyikan dari Dia. Salah satu kalimat yang palig sering diulangi dalam al-Qur'an ialah Ia mengetahui rahasia setiap hati (QS. 58:7) menekankan wawasan Tuhan dakam persekongkolan manusia, apabila tiga orang bercakap secara rahasia bersama-sama, Ialah Yang keempatnya, apabila empat maka Ialah yang kelimanya, apabila lima maka Ialah yang ke enam, baik lebih banyak maupun lebih sedikit. Dimanapun mereka berada Ia ada bersama mereka. Gambaran-gambaran ini menunjukkan dengan jelas bahwa pengetahuan Tuhan merupakan esensinya. Artinya hal itu bukan aksiden atau kebetulan. Karena meliputi semua, tak ada lagi yang perlu lagi di tambahkan kepadanya. Tetapi suatu kesulitan timbul di sini, beberapa bagian dalam al-Qur'an menyiratkan bahwa Tuhan mencari pengetahuan yang belum dimilikinya, misalnya: kami pergilirkan kemenangan diantara manusia supaya Allah menetahui orang-orang yang beriman (QS. 3:150), Kami memerintahkan kiblatmu yang pertama hanya supaya Kami dapat mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan orang-orang yang berpaling ditumit mereka (QS. 2:143). Kekalahan yang kamu derita ketika kedua tentara itu bertemu adalah dengan izin Allah suapa Dia dapat mengetahui siapa mukmin sebenarnya dan orang munafiq (QS. 3: 166-167). Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui manakah diantara kedua itu yang lebih tepat menghitung lamanya mereka tinggal di dalam gua itu. (QS. 18: 12) Kata-kata keadaan yang menggambarkan sifat-sifat Allah (lebih dari lima puluh) muncul berulang-ulang disepanjang ayat al-Qur'an. Demikianlah, kalimat “Allah maha pengampun dan penyayang” muncul 84 kali (di luar 113 kali penggunaan kata “Maha Penyayang” dalam formula suci yang membuka semua surah, kecuai satu). “Allah Mahatinggi” diulangi 72 kali, Mahatahu 68 kali, Bijaksana 64 kali, Mendengar dan Melihat 54 kali, Mahakuasa 32 kali, dan keras dalam pembahasan 32 kali. Julukan yang paling kurang diulangi (hanya dua kali) ialah “Yang terbaik dari para perencana.” Jelas dari wahyu al-Qur'an bahwa Allah tidak mewahyukan diri-Nya melalui penitisan dalam bentuk manusia atau sifat-sifat manusia. Tuhan yang mutlak transenden tak dapat dipahami manusia secara langsung. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan manusia (QS. 6: 103) Dan mereka tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu Allah melainkan sekedar yang 15 5 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dikehendaki-Nya (QS. 2: 255). Tetapi ketika Tuhan menghendakinya maka Dia melapangkan dadanya (QS.6: 125) dan matanya (QS. 6: 104) kepada persepsi dari tanda-tanda “dan bukti-bukti yang ditempatkannya pada alam dan dalam diri manusia sendiri. Al-Qur'an amat banyak menekankan kepada ilmu Tuhan melalui renungan akan tanda-tandanya. Di langit dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman (QS. 45: 3). Dalam penciptaan langit dan bumi dalam perubahan malam dan siang, dan dalam gerakangerakan angin sesungguhnya terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengerti (QS. 2: 164). Tidaklah paradoks jika dikatakan bahwa sementara Tuhan tak dapat dipahami secara langsung, Ia dapat di lihat dimana-mana. Diantara ungkapan-ungakapan al-Qur'an yang menyebabkan usaha penafsiran alQur'an menjadi paling menting ialah “kata Tuhan.” penggunaan istilah kata dengan konotasi keilahian (logos dalam bahasa Yunani, kalimah dalam bahasa Arab) mendahului al-Qur'an. Dalam monoteisme, hal itu sudah terdapat dalam agama Yahudi dan dalam falsafah berasal dari aliran stoiki. Dalam kedua konteks itu, kata melambangkan penciptaan, design, penataan, dan pemerintahan atas cosmos. Sebuah ungkapan yang jelas tentang maknanya terkandung dalam injil Yohanes yang mengatakan bahwa “pada mulanya adalah kata; dan Kata itu bersama-sama dengan Allah, dan kata itu adalah Allah.” dan Injil terus mengidentifikasi Kata dengan Yesus Kristus, di mana ia mengatakan bahwa Kata itu menjadi daging. Pernyataan itu paralel dengan pernyataan Al-Qur'an (QS. 3: 45) bahwa para Malaikat membawa berita gembira kepada Maryam dari Tuhan: sebuah Kata dari Dia yang bernama Isa al-masih (Yesus kristus) putra Maryam. Jadi, dalam agama Kristiani, kata Tuhan adalah pribadi Yesus yang dikandung Maryam; dalam Islam, Kata Tuhan adala AlQur'an yang diwahyukan kepada Nabi melalui malaikat Jibril. “Jibril telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan izin Tuhan” (QS. 2: 97). perlu ditambahkan bahwa dalam bahasa al-Qur'an, “kata” mempunyai sesentetan luas konotasi yang meliputi: perintah penciptaan (QS. 3: 47) ucapan Ilahi (QS. 4: 164), penciptaan yang tak tergantung pada ayah atau benih (QS. 4: 171), wahyu (QS. 9:6), peringatan (QS. 39: 71), nikmat Allah (QS. 31: 26). Suatu rujukan singkat diperlukan di sini untuk istilah al-Qur'an lainnya yang oleh para mufassir telah diberikan perhatian khusus: “Rahman, Rahim yang muncul dalam seruan kepada Nama Allah pada awal surah, sama-sama merepresentasikan aspek-aspek sifat kasih sayang. Rahman adalah suatu karakteristik pengertian Ilahi yang universal; Rahim mengandung pengertian yang lebih terbatas yang terutama diterapkan pada Tuhan dalam 15 6 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id hubunganya dengan manusia. Rahman mengandung konotasi Ilahi secara eksklusif berdasarkan kenyataan bahwa al-Qur'an sering menggunakannya sebagai sinonim bagi Allah. (QS. 17: 110) mengatakan, “Serulah Allah atau serulah al-Rahman.” hanya dalam satu surah (QS. 19). Satu aspek dari sifat rahman Tuhan ialah bahwa Dia berada dengan sendirinya (QS. 2: 255) dan suci dari segala macam kekurangan, Namun ia prihatin terhadap manusia, makhluk-Nya yang serba kekurangan, dan menunjukkan kepadanya jalan penyelamatan (QS. 35: 15). sifat rahman meliputi sifat-sifat Ilahi lainnya, seperti Maha Pengampun dimana al-Qur'an meletakkan tekanan khusus seperti (QS. 7: 151 dan QS. 40:3). Zikir dan Keterikatan Manusia pada Tuhan Sebagai wawasan, zikir sebenarnya adalah seluruh tingkah laku kita yang berhubungan dengan Tuhan. Itulah sebabnya kenapa zikir yang paling baik adalah zikirnya alam raya, meskipun kita tidak memahaminya. “Bertasbih memuji Tuhan seluruh langit dan bumi begitu juga penghuni-penghuninya, tidak ada sesuatu pun kecuali mesti bertasbih memuji Tuhan, tapi kamu tidak paham tasbih mereka” (Q. 17:44). Bertasbihnya bumi, langit dan seisinya kepada Tuhan menunjukkan bahwa sebenarnya zikir merupakan suatu pekerjaan yang sangat alami karena merupakan bagian dari kebaktian. Itulah kenapa Ahmad Hasan buku Tafsir al-Qur'annya, "al-Furqân" selalu menerjemahkan taqwa dengan bakti. Keterikatan manusia dengan Tuhan melalui perjanjian primordial sebelum lahir (Q. 7:171), secara alami menuntut manusia untuk berbakti. Pengakuan Tuhan sebagai "rabb" berkonsekuensi pada bakti kita kepada-Nya meskipun pengakuan tersebut terjadi dalam alam ruhani yang berarti kita tidak menyadarinya. Jangankan yang ruhani, yang nafsani saja sebagian besar kita tidak sadar. Dan hampir sebagian besar dari hidup kita ditentukan oleh yang tidak sadar ini. Kedudukan perjanjian primordial itu sedemikian asasinya, sehingga mempengaruhi seluruh hidup kita. Sebagai kelanjutan dari perjanjian itu kita lahir dengan membawa kecenderungan mendasar untuk berbakti. Karena itu bakat manusia yang paling fundamental adalah berbakti dan mengabdi. Oleh karena itu al-Qur’an menyebutkan, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka menyembah kepada-Ku (Q. 51: 56). Ayat ini oleh para mubalig sering dijelaskan bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk menyembah Tuhan. Tetapi ada kemungkinan penjelasan lain yaitu 15 7 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bahwa jin dan manusia diciptakan dengan naluri kepada Tuhan. Ini seperti anak kecil yang dibekali naluri makan dan minum supaya dapat bertahan hidup. Naluri makan dan minum ini akan menjadi malapetaka kalau tidak ada ibu di sampingnya karena dia akan makan dan minum apa saja yang terpegang tangannya. Keberadaan ibu dimaksudkan untuk membimbing agar apa yang dimakan dan diminum tidak akan menjadi sumber malapetaka. Analogi yang dapat diambil adalah bahwa bakat manusia untuk mengabdi dan berbakti kalau tidak dibimbing justru akan menjadi sumber malapetaka yang lebih prinsipil. Dia akan dapat mengabdi atau menyembah apa saja yang dianggap patut untuk disembah meskipun sebenarnya tidak patut. Di sini kemudian diperlukan agama, yaitu yang diberikan oleh Allah melalui seorang Nabi (“nabiy” artinya “orang yang mendapat berita”). Karena berita yang dibawa berasal dari dunia gaib maka cara menerimanya adalah dengan percaya, atau beriman. Dikirimnya Nabi dimaksudkan untuk membimbing naluri berbakti kita agar tidak lantas menyembah apa saja yang tidak semestinya. Naluri Kembali ke Asal Naluri manusia untuk berbakti melahirkan naluri keinginan untuk kembali ke asal. Dalam pandangan para filsuf Muslim, bukan hanya manusia yang ingin kembali ke asal, tetapi semua alam ini. Keinginan alam untuk kembali ke asal mencari Tuhan ini menyebabkan ada gerak berputar. Semua alam gerak berputar, seperti rembulan berputar mengelilingi bumi, bumi dengan keluarganya mengelilingi matahari, matahari mengelilingi bima sakti dan seterusnya. "Thawâf," dalam bahasa Arab. Maka sebenarnya thawâf dalam haji adalah meniru thawâf-nya alam. Thawâf adalah gerak untuk mencari kembali ke asal. Hajar aswad kemudian dijadikan simbol permulaan dan akhirnya "inna lillâhi wa inna ilaihi râji'ûn," kita semuanya berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Semuanya ingin kembali, kita juga begitu. Kita merindukan ibu, kita sekeluarga merindukan kampung halaman, oleh karena itu ada gerak mudik setiap tahun. Secara psikologis, mudik tiap tahun itu tidak dapat dibendung karena merupakan naluri manusia. Mudik bukan semata tradisi di Indonesia, apalagi hanya tradisi pembantu. Di Amerika saja tradisi mudik saat "thanksgiving day" luar biasa. Sebetulnya haji juga merupakan gerak kembali ke asal karena manusia mempunyai konsep sentralitas yang menjadi latar belakang konsep tentang tanah suci. Tanah suci mewakili sentralitas dan Ka’bah hanya sebagai simbol sentralitas dari kepusatan yang kita anggap sebagai "bayt Allâh" (rumah Tuhan). Karena itu sebenarnya dengan mengingat Tuhan (zikir) kita kembali kepada Tuhan. Laksana bayi tenteram berada dalam dekapan 15 8 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ibunya, dengan zikir seolah-olah kita pun didekap Tuhan sehingga menjadi tenteram. "Alâ bi dzikr Allâh tathma’inn al-qulûb," ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, maka hati menjadi tenteram (Q. 13:30). Maka kalau pergi ke Makkah dan terharu melihat Ka’bah itu adalah psikologi dari orang yang menemukan asal, psikologi dari orang yang merasa kembali ke sentral (center). *** 15 9 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Referensi : 1. Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (terj.) Jazirotul Islamiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004) 2. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina 2000) cet. II 3. Nurcholish Madjid, Fatsoen, (Jakarta: Republika 2002) 4. Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik, (Yogyakarta: Mitra Pustaka 2000) 5. M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, (Jakarta: Lentera Hati, 2003) 6. M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) 7. Sayyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003) 15 10 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id