MODUL PERKULIAHAN Pendidikan Agama Islam Akhlak Pribadi Islami Fakultas Program Studi Teknik Mesin Teknik Elektro Abstract Tatap Muka 06 Kode MK Disusun Oleh MK12000 Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Kompetensi Ada pengalaman jasmani yang tidak Pada akhir pertemuan ini mahasiswa sampai pada tingkat nafsani, diharapkan mampu: sehingga secara jasmani orang 1. Menjelaskan pentingnya akhlak tampak bahagia tetapi jiwanya sakit. pribadi Islam. Meskipun yang demikian ini ditolak dalam psikologi karena ada istilah 2. Mengimplementasikan kepribadian ikhlas dan takut hanya kepada Allah psikosomatik, yaitu sakitnya badan SWT, taat dengan segala peraturan oleh karena sakitnya jiwa, tetapi dan norma dalam kehidupan seharibagi bukan psikolog sakit badannya hari. itu tidak begitu tampak. Akhlak Pribadi Islami Muqaddimah Tuhan menciptakan manusia terdiri dari tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, nafsani dan ruhani (spititual). Tingkat terendah adalah jasmani, yaitu fisik, badan manusia yang kelihatan sehari-hari. Tingkat yang lebih tinggi adalah nafsâni, yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, psikologi, jiwa. Tingkat yang paling tinggi adalah ruhani, yang bersifat ruh (spirit). Istilah-istilah ini penting, sebagaimana kebahagiaan dan kesengsaraan juga tiga tingkat, begitu juga pengalaman-pengalamannya. Ada pengalaman jasmani yang tidak sampai pada tingkat nafsani, sehingga secara jasmani orang tampak bahagia tetapi jiwanya sakit. Meskipun yang demikian ini ditolak dalam psikologi karena ada istilah psikosomatik, yaitu sakitnya badan oleh karena sakitnya jiwa, tetapi bagi bukan psikolog sakit badannya itu tidak begitu tampak. Meningkat lagi, ada juga orang yang secara psikologis sehat tetapi secara spiritual sakit sehingga menyebabkan, misalnya, ketidaksadaran tentang benar dan salah. Ada situasi ketika kita mengalami tingkat perkembangan ruhani begitu rupa sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, antara benar dan salah. Inilah yang disebut al-Qur’an sebagai keburukan telah dihiaskan dalam diri kita, "Apakah orang yang dihiaskan badannya, kejahatannya sehingga kelihatan baik" (Q. 35:8). Dengan perkataan lain, kalau kita sudah mulai melihat kejahatan sebagai yang baik, itu adalah kebangkrutan ruhani, dan sebenarnya merupakan kesengsaraan yang tertinggi. Sebagaimana kesengsaraan nafsâni yang tidak selalu tampak pada jasmani, kebangkrutan spiritual juga tidak selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya kemudian adalah kapan orang akan merasakan efek dari kebangkrutan spiritual? Jawabannya: Kalau sudah kembali ke alam ruhani, yaitu setelah mati. Tetapi di dunia ini sebenarnya sudah mulai terasa efeknya. Hal ini sebagaimana yang disinyalir psikolog bahwa kesehatan psikologis punya efek kepada kesehatan jasmani, maka begitu juga kesehatan ruhani punya efek kepada kesehatan nafsani maupun jasmani meskipun tidak langsung. Artinya, kebahagiaan dan kesengsaraan itu juga bisa kita rasakan sekarang ini meskipun tidak dalam ukuran yang sepenuhnya. Agama dan Materialisme ‘15 2 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Seringkali orang melakukan pendekatan yang kurang cermat terhadap esensi agama dalam situasi gelombang pasang kehidupan kebendaan (materialisme). Melalui pendekatan itu sering terjadi kecenderungan mencoba merendahkan arti kehidupan material, melalui sikap-sikap mengingkari kehidupan duniawi, memilih menempuh hidup `uzlah (menjauhkan diri dari dunia) dan menyelami kehidupan mistik semata-mata. `Uzlah diartikan sebagai "pengingkaran" terhadap kehidupan dunia. Hidup keagamaan sejati bukan seperti itu! Yang benar adalah mengembangkan esensi agama dalam kehidupan nyata,dengan tidak melarikan diri dari dunia, tapi sebaliknya didorong oleh esensi agama, atau religiositas yang mendalam, terlibat membangun dunia: melawan ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan diskriminasi. Inilah “teologi pembebasan” yang sejati. Agama membawa visi pembebasan manusia dari segala betuk penindasan, termasuk pembebasan dari gaya hidup materialisme yang telah mencengkram hampir secara total kehidupan sehari-hari kita, termasuk kehidupan keagamaan. Beberapa Akhlak Pribadi Islami Setiap muslim memiliki kewajiban untuk senantiasa berakhlakul karimah (akhlak terpuji) sebagai sebuah manifestasi atau perwujudan dari keimanan. Rasulullah saw. telah memberikan contoh kepada kita bagaimana menerapkan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana firman Allah SWT. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. [33]:21) Dalam hal ini tuntunan akhlak dalam ajaran Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan sesama makhluk. Oleh sebab itu tuntunan akhlak pun demikian juga. Dengan demikian tidaklah cukup apabila manusia hanya mempunyai akhlak terpuji kepada sesama manusia saja. Diantara akhlak terpuji adalah : 1. Ikhlas Kata ikhlas berasal dari bahasa Arab, akhlasho yukhlishu ikhlashon yang berarti memurnikan niat semata-mata mencari ridha Allah SWT. atau semata-mata menaati perintah-Nya. Jadi yang dimaksud ikhlas di sini adalah beramal semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan tanpa pamrih pada manusia. Berniatlah kalian dengan ikhlas dalam menjalankan setiap perbuatan ketika mendapat amanat, maka kerjakanlah dengan sebaik-baiknya sebagai bukti dari keikhlasan kalian menerima tugas tersebut. ‘15 3 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Selanjutnya manfaatkanlah hasil yang telah kalian peroleh dengan sebaik-baiknya, bukan hanya untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan Islam. Orang yang beramal secara ikhlas disebut mukhlis, hanya dengan niat yang ikhlas, amalan baik seseorang akan diterima di sisi Allah SWT, sebagaimana terungkap dalam bacaan shalat berikut ini: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am [6]: 162) Beberapa ayat Al-Qur'an memerintahkan kepada kita agar berbuat ikhlas ketika beramal, diantaranya adalah: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [96]:5) Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orangorang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az-Zumar [39]:2-3) Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman sebagai berikut: “Aku adalah sebaik-baik sekutu (teman). Barangsiapa mempersekutukan Aku dengan yang lain, dia (diserahkan) kepada sekutu itu. wahai sekalian manusia, ikhlaskan amalmu karena Allah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang, kecuali amal yang diikhlaskan kepada-Nya. (HR. al-Bazzar) Berdasarkan hadits Qudsi di atas, berapa banyak amal yang dilakukan oleh seseorang, tetapi niat tidak ikhlas, amal tersebut akan sia-sia dan tidak memperoleh pahala. 2. Taat Taat berasal dari bahasa Arab thaa’a yathaa’u thau’an thaa’atan yang berarti tunduk, patuh dan setia kepada Allah SWT. Jadi yang diamksud taat di sini adalah ‘15 4 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tunduk, patuh dan setia kepada Allah SWT. serta rasul-Nya. Baik dalam bentuk pelaksanaan perintah maupun meninggalkan larangan-Nya. Taat termasuk perkara yang diwajibkan dalam Islam, dengan demikian seorang mukmin adalah orang yang setia dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT. sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ [4]:59) Ayat di atas berisi perintah secara tegas agar setiap orang yang beriman taat kepada hukum Allah, rasul dan ulul amri atau pemimpin (selama pemimpin tersebut berpegang kepada kitab Allah dan Rasul-Nya). Pada ayat yang lain Allah berfirman sebagai berikut: Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nuur [24]: 51) Maksud ayat di atas ialah bahwa setiap orang yang mengaku beriman harus taat kepada hukum Allah dan rasul-Nya (Al-Qur'an dan Al-Hadits). Apabila mereka diarahkan untuk mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya dalam mengatasi persoalan hidup yang dihadapi, tidak ada kata-kata yang pantas untuk diucapkan kecuali sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat). Apabila setaip mukmin telah memiliki sikap seperti ini, berarti telah tergolong orang-orang yang beruntung, yakni telah mendapat petunjuk yang benar dari sisi Allah SWT. 3. Khouf Kata khouf berasal dari kata bahas Arab khofa yakhofu khoufan yang berarti takut. Islam mendidik umatnya agar memiliki sifat khouf, yakni takut akan murka Allah berupa ancaman dan siksa-Nya atau khawatir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan hilangnya sesuatu yang dicintai. Sedangkan secara istilah khouf adalah : “Ungkapan tentang kepedihan dan terbakarnya hati karena terjadinya sesuatu yang tidak disukai.” Yang dimaksud ‘15 5 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id “terjadinya sesuatu yang tidak disukai” dalam definisi tersebut adalah takut apabila mendapatkan azab neraka serta takut berbuat maksiat kepada Allah SWT. Orang yang mempunyai rasa takut kepada Allah akan membuahkan hasil yang positif yaitu selalu berusaha untuk mendapatkan ridho dari Allah dan senantiasa berbuat taat kepada Allah dengan meninggalkan kemaksiatan. Allah mengajarkan kepada manusia agar memiliki sifat khouf sebagaimana firmanNya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-A’raf [7]: 56) Yang dimaksud rasa takut dan penuh harap pada ayat di atas adalah : a. Takut akan dilepaskan oleh Allah SWT. hidup sendirian sehingga tersesat dari jalan yang benar sesuai tuntunan Islam. b. Takut mendapat siksa karena melanggar aturan-aturan-Nya. c. Sangat mengharapkan ridha Allah SWT, sehingga hidupnya senantiasa memperoleh petunjuk-Nya. Kebanyakan manusia takut dalam menghadapi persoalan hidup, misalnya takut melarat, takut menderita, dan takut mati. Adapun orang yang takut kepada Allah justru berani menghadapi kenyataan hidup dengan hati yang sabar dan tawakkal kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-Nuur [24]: 52) Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi. Disamping memperoleh kemanangan, orang yang takut kepada Allah juga memperoleh keselamatan, Nabi Muhammad saw. bersabda: “Ada tiga perkara yang dapat menyelamatkan manusia, yaitu: Takut kepada Allah di tempat tersembunyi maupun di tempat yang terang. Bersikap adil pada waktu rela maupun pada waktu marah. Hidup sederhana pada waktu miskin maupun pada waktu kaya. (HR. Abu Syaikh) ‘15 6 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4. Taubat Kata Taubat berasal dari bahasa Arab taaba yatuubu taubatan yang berarti kembali, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Lafadz yang semakna dengan ini adalah anaaba yuniibu inaabatan yang berarti kembali ke jalan yang benar. Orang yang bertaubat berarti berhenti dari perbuatan dosa yang telah dilakukan, kemudian kembali ke jalan yang benar. Bertaubat termasuk perkara yang diwajibkan dalam agama. Sebagaimana firman Allah: “ … Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur [24]: 31) Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung membentangkan tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat hamba yang berbuat dosa pada siang harinya, dan membentangkan tagan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat hamba yang berbuat dosa pada malam harinya. Sehigga matahari terbit dari tempat terbenamnya (hari kiamat). (HR. Muslim). Dengan adanya hadits tersebut, kiranya orang yang terlanjur berbuat dosa tidak perlu murung dan putus asa. Selama orang tersebut mau bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha) niscaya Allah SWT. akan mengampuni dosanya. Agar taubat diterima di sisi Allah, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan diantaranya: a. Menghentikan perbuatan maksiat. b. Menyesali segala dosa yang diperbuat. c. Berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. d. Jika dosa berhubungan dengan orang lain, maka ia harus meminta maaf terlebih dahulu pada yang bersangkutan. e. 5. Memohon ampun kepada Allah SWT. dengan memperbanyak membaca istighfar. Menghargai waktu Islam mengajarkan bahwa menghargai waktu lebih utama sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Asr ‘15 7 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. 103 ; ayat 1-3 yang artinya, “ Demi waktu, Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” Bahkan setiap hari kita diingatkan dengan apa yang disebut Shalat lima waktu, Betapa waktu sangat tertata, itu semua dihadirkan oleh Allah SWT, salah satunya adalah pengingat betapa ketepatan waktu dalam aktivitas adalah sesuatu yang mutlak adanya. Hidup yang tertib dan teratur sangat menentukan sukses atau tidaknya seseorang dalam mengelola waktu secara disiplin. Oleh karena itu seorang muslim yang baik seyogyanya memanfaatkan waktu secara optimal semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukan kuantitas waktu itu yang jadi soal, melainkan apa yang kita kerjakan pada waktu yang sama. Sebab, ada orang yang dalam waktu24 jam mampu mengurus negara dan mengorkestrasi jutaan orang dalam satu gerak dan nafas pembangunan. Karena itu untuk menumbuhkan etos kedisiplinan dalam diri kita dibutuhkan manajemen waktu agar kualitas diri kita dapat meningkat. Dan itu semua dapat dilakukan sedemikian rupa serta mampu mengatur waktu yang 24 jam itu untuk semua urusan. Biar cepat, efisien, dan selamat. Sudah lazim kita dengar pameo mengatakan, “alon-alon asal kelakon.” Barangkali d iera yang kompetitif seperti ini, pameo itu sudah terasa usang. Terlalu statis. Pameo itu dapat kita dinamisasikanlagi. Kalau bisa cepatdan efisien, mengapa harus dibuat lambat. Fiman Allah SWT dalam surah 94:ayat 7 yang artinya, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras(untuk urusan yang lain).” Jika saja kita benar-benar hidup berdisiplin, maka jalan usaha dan kerja sebagai perwujudan beribadah kepada Allah akan selalu mendapat keridhaan serta kemudahan dari pada-Nya. Bukan oleh orang lain, akan tetapi hasil usaha kita sendiri. “ora et labora” bekerja dan berdo’a yang harus kita gaungkan. Apabila kita ingin meraih sukses bangun dari tidurmu, lebih dulu dari ayam berkokok pada pagi hari. Maka marilah kita mulai dari sekarang dan dari diri sendiri. Kalau belum bisa sekaligus, marilah kita biasakan sedikit demi sedikit, dicicil, tapi rutin. Itu tentu akan lebih baik ketimbang melakukan semua usaha kedisiplinan akan tetapi hanya sesaat setelah itu kembali hidup seperti semula. Bekerja dengan tergesagesa tidak lebih baik dari bekerja secara terprogram secara sistematik dapat membuahkan hasil yang lebih baik pula. ‘15 8 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka 1. Agustian A.g. ESQ Rahasia Sukses Membangun Keerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Arga, 2001) 2. AM. Al-Hufiy, Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) 3. AA Al-Sya’rani, 99 Akhlak Sufi: Meniti jalan Surga Bersama Orang-Orang Suci, (Bandung: Mizan Media Utama, 2004) 4. Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag, 1971) 5. Sanusi, Jalan Kebahagiaan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006) ‘15 9 MK. Pendidikan Agama Islam Ahmad Rifai, S.Ag, MA. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id