1 Hubungan Cina-Amerika Serikat: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Keamanan Cina terhadap AS dalam Krisis Politik Militer 2001 dan 2009. Draft Proposal Skripsi Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang 0606096944 Pendahuluan Penelitian ini akan maemaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan strategi keamanan Cina terhadap AS. Penelitian akan menggunakan dua krisis politik militer Cina-AS tahun 2001 dan 2009 sebagai studi kasus. Setelah memaparkan faktor-faktor tersebut, kemudian diharapkan penelitian dapat menjawab mengapa terjadi perbedaan sikap Cina dalam kedua krisis tersebut. Penelitian ini menjadi signifikan ketika berusaha menjelaskan transisi pilihan strategi keamanan Cina terhadap AS yang di Abad XX cenderung bersikap konfrontatif dalam hubungan yang penuh ketegangan dan konfliktual. Hal ini menjadi poin penting penelitian ketika perkembangan debat akademik mengarah pada Cina yang bukan hanya sebagai the emerging power, melainkan juga sebagai negara yang mempunyai peluang potensial untuk menantang AS dengan kebijakan balancing-nya. Lebih lagi, dengan perkembangan dan pertumbuhan kapabilitas power yang mengesankan, memunculkan harapan bahwa Cina akan terus berperan menjadi aktor penting dalam dinamika interaksi negara. Oleh sebab itu, penelitian yang berusaha memaparkan secara komprehensif mengenai strategi keamanan negara tersebut menjadi penelitian yang signifikan bagi usaha memahami negara tersebut dalam dinamika interaksinya dengan negara lain. Untuk menjawa pertanyaan penelitian, digunakan basis pemikiran defensif realism yang menekankan kerjasama, bukan hanya kompetisi, turut pula menjadi bagian dari usaha self-help dalam sistem internasional yang anarki. Pilihan strategi Cina berusaha dijelaskan dengan teori offensif-defensif yang memaparkan Universitas Indonesia 2 bagaimana negara menerjemahkan lingkungan internasionalnya untuk memilih tipe kebijakan tertentu. Teort tersebut diperlengkapi dengan pemikiran-pemikiran yang memaparkanwa variasi strategi keamanan negara dalam merespon ancaman, yaitu balancing, bandwagoning, dan hedging. Dengan demikian, setelah memahami bagaimana Cina menerjemahkan lingkungan internasional, kerangka pemikiran mampu menjelaskan mengapa Cina memilih salah satu varian strategi dibanding varian yang lain. Melalui kerangka teoriti ini, muncul signifikansi kedua dari penelitian. Penelitian diharapkan mampu memperkaya analisa dan operasionalisasi pemahaman realisme defensif dalam ilmu hubungan internasioanl. Lebih lagi, penelitian juga diharapkan untuk mampu menggambarkan secara komprehensif bagaimana tradisi teori realisme menjawab dan menjelaskan pilihan strategi keamanan sebuah negara. I.1 Latar Belakang Permasalahan Memasuki Abad XXI, walaupun signifikansi dan keutamaannya diperdebatkan, negara tetap muncul sebagai salah satu aktor hubungan internasional yang semakin mapan. Memang benar bahwa international governmental organization (IGO) dan nongovernmental organization (NGO) telah bertambah jumlahnya, perusahaan multinasional juga semakin menunjukan peran dan signifikansinya dalam ekonomi dunia, dan jejaring-jejaring baru telah terbentuk dengan cepat dalam tataran transnasional, tetapi peran negara dalam politik internasional meningkat dan berkembang pula secara dramatis.1 Oleh sebab itu, dengan kata lain, kajian mengenai interaksi antar negara tidak kehilangan relevansinya dalam dinamika perkembangan hubungan internasional. Hedley Bull, “The State’s Positive Role in World Affairs,” dalam Herbert M. Levine(Ed.), World Politics Debated: A Reader in Contemporary Issue, hal 21. 1 Universitas Indonesia 3 Dalam mengkaji lebih dalam interaksi antar negara, tidak semua interaksi antara negara menjadi fokus perhatian pembuat kebjiakan dan peneliti dalam ilmu hubungan internasional. Kenneth Waltz mengatakan bahwa sesungguh struktur sistem internasional sendiri dibangun oleh great powers sebagai unit dalam sistem. Hal ini yang mendorong Waltz untuk menegaskan bahwa teori politik internasional menjadi sepadan dengan theory of great powers politics.2 Interaksi antar negara besar (great powers) menjadi semakin menarik ketika sistem internasional terbentuk atas dasar absennya tata aturan tertinggi diatas negara. Kondisi anarki tersebut menyebabkan negara saling berkompetisi dalam memenuhi tujuan-tujuan keamanannya. Anarki dianggap membuat negara terjebak dalam kompetisi dalam rangka meraih tujuan keamanan, yang secara tidak langsung membuka peluang terjadinya perang, apabila intensitas kompetisi semakin meningkat. Implikasi lain dari kondisi anarki adalah membuat kerjasama (cooperation), sebagai salah satu instrument pencapain kepentingan nasional, yang diharapkan membawa keuntungan bagi pihak yang ikut serta, dapat dengan seketika berubah menjadi bencana akibat pilihan dari salah satu pihak untuk melepas komitmennya. Kerjasama dianggap sulit ketika terjadi pula kesulitan menumbuhkan trust antar negara untuk berkomitmen, ditengah terdapat peluang pengkhianatan yang dianggap amat besar dari negara lain.3 Hal ini menyebabkan ketegangan dan kecurigaan menjadi karakteristik hubungan antar negara dalam kondisi anarki. Paradigma ini lah yang menjadi amat sesuai dalam menjelaskan interaksi dua negara adidaya semasa Perang Dingin. Akan tetapi, berakhirnya Perang Dingin Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, (California: Addison-Wesley Publishing Company, 1979), hal 72 - 73 3 Dalam “Cooperation Under Security Dilemma”, Jervis memaparkan dengan amat komprehensif bagaimana kerjasama menjadi amat mungkin terjadi dalam interaksi antar negara. Trust berusaha dibangun ketika diketahui negara-negara memiliki pilhan kebijakan bekerjsama (cooperate) atau defect dalam berinteraksi. Dengan mengameliorasi security dilemma, Jervis berusaha membangun kondisi yang memungkinkan untuk berkerjasama. Lihat, Robert Jervis, “Cooperation Under Security Dilemma,” dalam World Politics, Vol. 30, N0.2 (Jan., 1978), hal. 170 – 186. 2 Universitas Indonesia 4 pun tidak memberikan dampak secara langsung bagi sirnanya kompetisi keamanan, perlombaan senjata, bahkan perang antar negara. Analisa-analisa bermunculan akan kehadiran negara besar baru dalam sistem yang akan mengimbangi power AS, yang muncul sebagai satu-satunya superpower.4 Keyakinan ini lah yang membuat stabilitas sistem internasional menuju perdamaian belum tentu dapat terwujud, ketika analisa sejarah memaparkan bahwa perang dan politik negara besar tidak dapat terpisahkan.5 Hal tersebutlah yang ditegaskan Paul Kenedy dengan memaparkan bahwa perang juga mengiringi fenomena kebangkitan dan kejatuhan negara besar dalam sistem internasional. Walaupun AS dianggap menikmati posisinya sebagai negara adidaya tunggal dalam sistem, Kennedy memaparkan bahwa transformasi titik kesetimbangan sedang terjadi, dan akan terus berlanjut, bahkan lebih cepat dari sebelumnya.6 AS akan menghadapi negara-negara besar lain yang sedang berusaha meningkatkan kapabilitas power yang diprediksi akan menggeser titik kesetimbangan yang telah terbentuk. Di saat itulah perang dan ketidakstabilan diprediksi akan terjadi dalam sistem internasional. Pemikiran yang dipaparkan diatas membuat hubungan Cina-AS menjadi menarik untuk diteliti, ketika Cina dipandang sebagai emerging power yang menantang keberadaan AS sebagai negara adidaya tunggal dalam sistem. Konflik, ketegangan, bahkan perang menjadi hasil analisa para peneliti mengenai hubungan kedua negara memasuki Abad XXI, ketika ketegangan dan kecurigaan memang merupakan kata kunci yang mampu menjelaskan secara singkat hubungan Cina dan Richard Bernstein and Ross H. Munro, “The Coming Conflict with America, “ dalam Foreign Affairs, Vol. 76, No. 2 (Mar. - Apr., 1997), hal. 18-32, dan Christopher Layne, “The Unipolar Illusion: Why New Great Powers Will Rise,” dalam International Security, Vol. 17, No. 4 (Spring, 1993),hal. 5-51 5 Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict From 1500 to 2000,(USA: Random House, 1988) 6 Ibid., 4 Universitas Indonesia 5 AS.7 Isu Taiwan dan Kebijakan Satu Cina (One China Policy), Hak Asasi Manusia, Perdagangan, Rezim Komunis, Peningkatan Belanja Militer, hingga Transparansi Anggaran Militer adalah beberapa isu menonjol yang mewarnai ketegangan hubungan formal kedua negara. Dalam perjalanan sejarah, hubungan 30 tahun China – Amerika Serikat seringkali diidentifikasi dalam kata kunci saling curiga dan kompetisi. Setelah terlibat perseteruan dalam Perang Korea dan Vietnam, isu Taiwan menjadi pemicu krisis kedua negara. Krisis Taiwan ketiga yang terjadi di tahun 1995 – 1996 menunjukan bagaimana Cina melakukan diplomasi koersif dengan menunjukan kekuatan militernya di Selat Taiwan. Krisis ini lalu disusul dengan Fenomena pengeboman Kedutaan Besar Cina di Beograd oleh Militer AS, yang kembali menegangkan hubungan keduanya. Dengan dasar hubungan yang sedemikian dan analisa dengan pendekatan realisme, hubungan yang konfliktual Cina-AS tentu seringkali diprediksi para analis, apalagi seiiring dengan peningkatan kapabilitas power Cina di masa depan. I.2 Permasalahan Memasuki abad XXI, prediksi hubungan yang produktif antara Cina-AS menjadi lebih dominan ketimbang prediksi hubungan rivalitas yang destruktif. Para analis kebanyakan setuju bahwa pemimpin Cina telah melakukan kaji ulang terhadap pendekatan terdahulu yang lebih konfrontasional terhadap tekanan AS dan membuka peluang lebih besar pada terciptanya kerjasama dengan AS. 8 Lebih spesifik, Robert Sutter memaparkan bahwa perubahan signifikan dan keterbukaan peluang lebih besar kepada pendekatan yang lebih kooperatif terjadi di pertengahan tahun 2001. Kebijakan dan komentar Cina sampai dengan enam bulan pertama Lihat, Judith F. Kornberg dan John R. Faust, China in World Politics: Policies, Process, Prospects, (Colorado: Lynne Rienner Publisher, 2005), Bab V. 8 Robert G. Sutter, Chinese Foreign Relations: Power and Policy since Cold War, (Maryland: Rowman dan Littlefield Publishers, 2008), hal. I56 7 Universitas Indonesia 6 tahun 2001 masih menunjukan sikap konfrontasional dengan AS, bahkan mengkritik beberapa kebijakan luar negeri AS, seperti rencana national missile defense dan theater missile defense, lalu isu ekspansi NATO, aliansi keamanan AS – Jepang, lalu hubungan AS dengan Iraq, Iran, Cuba, dan negara lainya.9 Akan tetapi, ambiguitas dan ketidakpastian seringkali mewarnai arah perubahan sikap Cina terhadap AS. Hal ini terlihat dalam Insiden tabrakan di udara antara Pesawat Intai EP-3 milik militer AS dan Jet Tempur F-8, milik militer Cina, April 2001. Insiden tersebut diklaim sebagai insiden yang paling serius yang mendestabilisasi hubungan Cina – AS, sejak insiden pemboman Kedutaan Besar Cina di Beograd.10 Fenomena ketidakpastian inilah yang mendorong beberapa analisa justru mengatakan bahwa sikap kooperatif Cina merupakan taktik belaka, bukan bagian dari strategi raya Cina terhadap AS. Hal ini mendorong pernyataan bahwa Cina adalah great powers tanpa grand strategy. Hanya beberapa bulan setelah George W. Bush menjadi Presiden AS, kedua negara bersitegang di dalam sebuah krisis militer – politik. Pada tanggal 1 April 2001, sekitar pukul 09.00 pagi, waktu setempat (atau sekita pukul 20.00, tanggal 31 Maret 2001, waktu Washington, D.C.) terjadi tubrukan udara antara sebuah pesawat intai Angkatan Laut Amerika Serikat, jenis EP-3E (Aries II) turboprop dengan jet tempur Angkatan Laut PLA, F-8II, di area udara internasional, sekitar 70 mil dari pulau Hainan. Pesawat EP-3 membawa 24 awak militer (22 orang berasal dari Angkatan Laut, seorang dari marinir, dan seorang dari Angkatan Udara) dan berangkat dari pangkalan udara Kadena, Okinawa, Jepang. Setelah selamat dari kecelakaan yang fatal, awak pesawat AS melakukan pendaratan darurat di lapangan udara Lingshui milik PLA. Hal ini diikuti dengan langkah cepat Pemerintah Cina dengan segera melakukan penahanan seluruh awak pesawat selama 11 hari. Tabrakan udara (Air Collision) ini mengakibatkan insiden serius antara AS dan Cina, 9 Ibid., hal. 171 Ibid., hal. 171 10 Universitas Indonesia 7 bahkan menimbulkan korban jiwa di pihak Cina dengan tewasnya pilot pesawat tempur F-8, Wang Wei, setelah pesawatnya jatuh ke laut. Terjadi perdebatan antara Washington dan Beijing terkait penyebab terjadinya kecelakaan, mekanisme pembebasan awak pesawat, dan apakah pemerintah AS akan meminta maaf, serta hak Pemerintah Cina untuk memasuki pesawat EP-3 dan mempelajari peralatan didalamnya.11 Rezim pemerintahan baru, George W. Bush saat itu merespon cepat krisis internasional pertamanya. Pernyataan pertama Presiden Bush, 2 April 2001, menekankan pemulangan awak pesawat dan pesawat itu sendiri tanpa tindakan perusakan lebih lanjut menjadi tahap penyelesaian krisis yang harus didahulukan dengan memberi akses pada pejabat Kedutaan Besar AS di Beijing. Pernyataan presiden Bush ditanggapi oleh Presiden Jiang Zemin yang menekankan bahwa AS bertanggung jawap penuh atas insiden yang terjadi, menyerukan agar AS berhenti melakukan pengintaian di ruang udara sepanjang pantai Cina. Hal ini ditambah dengan pernyataan juru bicara Menlu Cina yang mengklaim bahwa pesawat AS mengancam keamanan nasional Cina dan seruan agar Pemerintah AS meminta maaf. Dalam usaha sebelas hari pembebasan awak pesawat, Cina selalu merasa tidak puas dengan penyesalan yang diutarakan pemerintah AS, dengan terus menyerukan agar Washington meminta maaf secara resmi. Di lain pihak, pejabat AS menekankan bahwa insiden ini terlebih menggambarkan pendekatan yang keras (hardline) dan tidak kooperatif yang diadopsi oleh pemerintah Cina sejak awal mula krisis, termasuk alasan tidak masuk akal untuk menahan awak pesawat AS selama sebelas hari dan pemulangan pesawat EP-3.12 Zhang Tuosheng, “The Sino-American Aircraft Collision: Lesson for Crisis Mangament,” dalam Michael D. Swaine and Zhang Tuosheng (Ed.), Managing Sino-American Crises : Case Studies and Analysis, (Washington, D.C.: 2006), hal. 397 12Shirley A. Kan (Coordinator), “China – U.S. Aircraft Collision Incident of April 2001:Assessments and Policy Implications”, sebuah laporan Congressional Research Service untuk Kongres Amerika Serikat, 11 Universitas Indonesia 8 Perubahan signifikan terjadi di paruh kedua tahun 2001, ketika pemimpin Cina cenderung menyadari bahwa keputusan dan kebijakan Cina lah yang menentukan masa depan hubungan Cina – AS, apakah kebijakan konfrontasional akan berlanjut atau justru berubah kepada tindakan kooperatif yang lebih mengakomodasi stabilisasi hubungan kedua negara.13 Peningkatan hubunga semakin terlihat ketika dunia dilanda oleh krisis Finasial Global. Ketika ditanya dalam sebuah wawancara yang dimuat Newsweek, 6 Oktober 2008, Perdana Menteri China, Wen Jian Bao mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang mengarah pada perbaikan hubungan antara Amerika Serikat dan China. Kepada Fareed Zakaria, Wen Jian Bao memaparkan bagaimana pentingnya membina hubungan antar kedua negara dalam menyelesaikan krisis perekonomian global.14 Hubungan keduanya juga didukung dengan pergantian rezim di AS dengan terplihnya Barrack Obama sebagai presiden. Yuan Peng memprediksi bahwa hubungan bilateral yang stabil yang mendorong strategic partnership antara AS dan Cina akan terwujud dalam administrasi Barrack Obama.15 Akan tetapi, Administrasi Obama langsung diuji oleh ketegangan kembali terjadi antara kedua negara di Laut China Selatan, 120 km selatan Pulau Hainan. Kali ini, 9 Maret 2009 Pentagon melaporkan bahwa lima kapal Cina melakukan aksi agresif terhadap USNS Impeccable, surveillance ships milik Angkatan Laut AS yang tidak diperlengkapi persenjataan, di perairan internasional di luar Hainan.16 Pernyataan tersebut mengundang respon dari Beijing yang menganggap kapal milik diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL30946.pdf , pada tanggal 5 Septermber 2009, pada pukul 14.00 WIB. 13 Ibid., hal. 173 14 Wawancara Perdana Menteri China, Wen Jian Bao dengan Fareed Zakaria dengan judul, ‘We Should Join Hands’, dalam Newsweek, Vol. CLII, No.14, 6 Oktober 2008, hal. 32 15 Yuan Peng, “Obama China’s Policy”, diakses dari http://www.bjreview.com.cn/world/txt/200901/18/content_175049_2.htm, pada 4 April 2009, pukul 22.00 WIB 16 “FACTBOX: South China Sea's disputed maritime borders” diakses dari http://english.sina.com/china/2009/0310/224641.html, pada tanggal 20 Mei 2009. Lihat Pula, “China protests “illegal” conduct of US naval ship” diakses dari http://silverscorpio.com/china-protests-illegalconduct-of-us-naval-ship/, pada tanggal 21 Mei 2009. Universitas Indonesia 9 AS tersebut melakukan survey elative illegal di perairan Cina. 10 Maret 2009, Beijing mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tindakan kapal Cina tersebut sebagai justifikasi aksi penegakan kedaulatan atas survey illegal yang dilakukan kapal AS. Juru bicara menteri luar negeri Cina, Ma Zhaouxu mengatakan bahwa aksi-aksi yang dilakukan AS di perairan ZEE Cina adalah tindakan sepihak AS tanpa izin sebelumnya dari Pemerintah Cina. Insiden ini terjadi beberapa hari setelah kedua negara memulai kembali dialog antar militer keduaya, setelah dialog tersebut terhenti tahun sebelumnya terkait perdagangan senjata AS ke Taiwan.17 Penanganan krisis ini nampak berbeda dengan krisis delapan tahun sebelumnya. Walaupun perdebatan juga intens terjadi di kalangan militer, pejabat tinggi Cina cenderung berusaha berperan aktif untuk segera menurunkan ketegangan antar dua negara. Pernyataan bersama kedua negara setelah kedua menteri luar negeri bertemu dihasilkan hanya dalam tempo empat hari pasca krisis. Cina berhasil melakukan perubahan strategi diplomasi sehingga krisis cenderung mengalami penurunan ketegangan dalam tempo yang amat singkat. Penurunan ketegangan diikuti dengan pernyataan pejabat militer Cina yang setuju untuk meninggalkan permasalahan dan bergerak menuju isu-isu penting bagi hubungan bilateral dua negara.18 Walaupun demikian, hal yang sama terjadi dengan karakteristik krisis sebelumnya. Ketika permasalahan dibicarakan lebih mendalam di tingkat militer kedua negara, insiden-insiden serupa masih tetap terjadi, tanpa ada pengaruh positif untuk mengekskalasi krisis sebelumnya, atau menghadirkan krisis baru. Hal ini terjadi karena intensitas aksi-reaksi hanya terjadi di kalangan militer tanpa ada tindak lanjut dikalangan pejabat tinggi negara. “China protests “illegal” conduct of US naval ship” diakses dari http://silverscorpio.com/chinaprotests-illegal-conduct-of-us-naval-ship/, pada tanggal 21 Mei 2009. 18“Sino-US sea standoff appears to have ended” diakses dari http://www.chinadaily.com.cn/china/2009-03/20/content_7597433.htm, pada tanggal 3 September 2009, pada pukul 13.00 WIB 17 Universitas Indonesia 10 Melalui dua krisis militer – politik yang terjadi diantara kedua negara, terlihat bahwa terdapat perbedaan sikap Cina dalam merespon tindakan AS yang dianggap melanggar kedaulatan negaranya. Walaupun sama-sama menekankan diplomasi daripada konflik berkepanjangan, harus disadari bahwa terdapat perbedaan sikap Cina dalam menangani permasalahannya dengan AS di dua fenomena yang terpisah waktu delapan tahun tersebut. Dengan mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi respon Cina dalam krisis kedua negara diharapkan tertangkap sebuah gambaran bagaimana Cina memandang permasalahan dengan AS. Hal ini menjadi semakin relevan untuk diketahui ditengah banyak munculnya pertanyaan dan prediksi terkait intensi-intensi dan strategi yang dipilih Cina sebagai the emerging power dalam membina hubungan bilateral dengan AS yang mengalami pergantian rezim. Dengan demikian, menjadi menarik untuk diteliti terkait faktorfaktor apasaja yang mempengaruhi Strategi Keamanan Cina terhadap AS dalam krisis politik militer antara Cina-AS di tahun 2001 dan 2009? I.3 Kerangka Pemikiran. Dalam menyusun kerangka penelitian diatas penulis menggunakan pemikiran Jack Levy dan Stephen Biddle dalam memparkan penggunaan teori offensif-defensif. Kemudian pemikiran Stephen M. Walt, Randall L. Schweller, serta Evelyn Goh dalam memaparkan penggunaan tipe-tipe pilihan strategi negara dalam merespon ancaman. Kedua pemikiran ini digunakan untuk menjawab apa yang mendorong sebuah kebijakan kooperatif dipilih negara dalam merespon terhadap ancaman. Dasar pemikiran yang membangun asumsi penelitian adalah pemikiran realisme defensif, yang menekankan bahwa selain konflik dan kompetisi, tindakan kooperatif, seperti kerjasama pada dasarnya dapat dikedepankan negara sebagai pilihan kebijakan demi mencapai tujuan-tujuan keamanannya. Bagi realisme defensif, penentu sifat struktural (structural modifiers) adalah elemen penting yang Universitas Indonesia 11 mempengaruhi pilihan kebijakan negara sebagai elemen yang membantu menerjemahkan kondisi sistem internasional. Salah satu penetu sifat struktural itu ialah offense-defense balance (ODB). ODB dianggap mempengaruhi keputusan negara dengan memprediksi kemungkinan terjadinya perang atau krisis internasional dalam sistem internasional. Penelitian menggunakan definisi ODB berdasarkan konsep kebutuhan sumber daya elative negara, yang memunculkan dua variabel yang mempengaruhi ODB, yaitu (1) force ratio; (2) doktrin militer; dan (3) persepsi elit politik. Akan tetapi, penjelasan pilihan strategi keamanan negara tidak cukup hanya dengan berdasarkan pemahaman teori ofensif-defensif, sebab kerjasama tidak menjadi hasil keluaran dari teori tersebut. Teori tersebut hanya menjelaskan bagaimana elit menerjemahkan dinamika dunia internasional. Di lain pihak, tidak menjelaskan secara langsung bagaimana penerjemahan situasi internasional tersebut merujuk pada sebuah kebijakan tertentu. Dengan demikian, perlu memunculkan varian strategi yang menjadi pilihan negara setelah penerjemahan situasi internasional terjadi. Pilihan strategi tersebut antara lain: (1) bandwagoning; (2) balancing; dan (3) hedging. Karakteristik negara, apakah negara tersebut mendukung status-quo atau justru kontra menentukan pilihan strategi yang akan dipilihnya. Elemen ini adalah penerjemahan variabel kepentingan nasional yang menjadi dasar kebijakan negara dalam dinamika interaksinya dengan negara lain. Hal lain yang mempengaruhi adalah balance of force antara negara dengan negara yang dipandang sebagai ancaman, sebagai analisa tingkat sistemik. Variabel lain yang turut mempengaruhi adalah bagaimana perjalanan sejarah hubungan keamanan negara dengan negara yang dianggap sebagai ancaman. Dengan memperhatikan pemaparan diatas, dapat ditawarkan sebuah model analisa dalam penelitian ini, yaitu: Balance of Force Cina – AS Universitas Indonesia 12 Persepsi Elit Tindakan Kooperatif Cina dalam Merespon Krisis Politik Militer antara Cina-AS di tahun Doktrin Militer 2001 dan 2009 Karakteristik Negara I.4 Rencana Pembabakan Skripsi. Penelitian dengan permasalahan dan model analisa diatas akan disusun ke dalam empat bab. Bab I adalah bagian pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, pertanyaan permasalahan, kerangka pemikiran, tujuan dan signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. Kemudian, Bab II akan menjelaskan variabel dependen dalam peneltian, yaitu Tindakan Kooperatif Cina dalam Merespon Krisis Politik Militer antara Cina-AS di tahun 2001 dan 2009. Pemaparan dalam Bab II berusaha mengidentifikasi pilihan strategi Cina berdasarkan penerjemahan situasi internasional. Penelitian dilanjutkan dengan Bab III yang berusaha menjelaskan variabel-variabel independen dalam penelitian. BAB III diharapkan memaparkan dengan komprehensif faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan strategi kebijakan Cina. Penelitian ditutup dengan BAB IV, sebuah penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian. I.5 Tujuan dan Siginifikansi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan kooperatif Cina terhadap AS dalam krisis politik militer antar keduanya. Tindakan kooperatif keduanya terasa signifikan di Abad XXI ini, setelah keduanya selalu terlibat dalam hubungan konfliktual dalam krisis serupa yang terjadi. Oleh sebab itu, penelitian diharapkan mampu memaparkan faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan sikap Cina terhadap AS tersebut. Universitas Indonesia 13 Melalui usaha tersebut penelitian turut pula menunjukan dinamika perkembangan kajian keamanan dalam tradisi realisme. Penelitian menegaskan kembali pemahaman interaksi negara berdasarkan pemikiran realisme defensif yang memandang kerjasama, tidak hanya kompetisi, merupakan bagian dari usaha negara dalam self-help system. Penelitian juga mengoperasionalisasikan bagaimana teori-teori dalam tradisi realisme menjawab mengapa negara memilih strategi keamanan tertentu dibanding varian strategi yang lainnya. Dengan menegaskan halhal diatas, tentu saja penelitian memperkaya perkembangan serta dinamika khazanah teoritik dalam kajian keamanan serta tradisi realisme yang terus berkembang dalam ilmu hubungan internasional. Selain signifikan secara teoritik, penelitian juga memberikan kontribusi dinamika interaksi great powers Abad XXI, ketika Cina semakin diakui sebagai salah satu negara the emerging power. Dengan perkembangan dan pertumbuhan yang fantastis Cina diharapkan terus berperan penting dalam dinamika hubungan internasional di masa depan. Dengan memaparkan dan menjelaskan pilihan strategi kooperatif Cina, penelitian diharapkan dapat menegaskan pemahaman mengenai Cina sebagai great power, sehingga menjadi signifikan bagi penelitian-penelitian lanjutan mengenai dinamika kebijakan Cina di masa depan. Kajian mengenai strategi keamanan Cina ini diharapkan dapat menjadi sumber komprehensif untuk memahami Cina dengan baik sebagai salah satu aktor yang menjadi sorotan di dekade awal abad XXI. ***** Universitas Indonesia