BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Memasuki abadke-21, muncul asumsi baru dalam realisme yang berfokus pada pengaruh great power dalam tatanan internasional.Asumsi ini kemudian dikembangkan oleh John Mearsheimer menjadi teori realisme ofensif yang menjelaskan bahwa dunia merupakan tempat persaingan bagi great power. Dalam buku The Tragedy of Great Power Politics, Mearsheimer berpendapat bahwa keamanan merupakan hal penting yang harus diperhatikan.Di era sekarang politik internasional menjadi sangat dinamis; persaingan great powersmemungkinkan terjadinya konflik atau perang di kemudian hari, mengingat pada dasarnya great power memiliki naluri untuk mengejar kekuatan dan selalu mewaspadai kemunculan great power baru.1 Amerika Serikat merupakan negara great power yang memiliki kekuatan militer terbesar di dunia. Amerika Serikat membagi wilayah dunia ke dalam beberapa komando regional: USNORTHCOM yang mengawasi wilayah Amerika Utara, USSOUTHCOM (Amerika Selatan), AFRICOM (Afrika), USEUCOM (Eropa dan Rusia), USCENTCOM (Asia Barat dan Selatan), dan USPACOM (Asia Pasifik). 2 Dengan kemampuan pengawasan yang sangat luas, Amerika Serikat sering disebut sebagai “polisi dunia.”Besarnya kemampuan pengawasan Amerika Serikat itu merupakan wujud tanggung jawab terhadap dunia internasional, sejalan dengan keyakinan Amerika Serikat bahwa iamerupakan indispensable nation. 3 Keyakinan itu ditegaskan oleh pernyataan Presiden Barack Obama dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)di tahun 2009: We have reached a pivotal moment. The United States stands ready to begin new chapter of international cooperation- one that recognize the rights and responsibilities of all nations. And so, with confidence in our cause, and with a commitment to our values, we call on all 1 J.J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, Norton, New York, 2001, pp. 1-28. S.W. Hook, U.S. Foreign Policy the Paradox of World Power, CQ Press, Washington, D.C., 2011, p. xxxii. 3 Indispensable nation adalah keyakinan dan kebanggaan bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki kemampuan untuk memimpin dunia, juga kekuatan dan pengaruh yang cukup besar sehingga dijadikan sebagai mitra utama oleh negara manapun. Dalam kesempatan lain Obama menyebut hal keyakinan ini sebagai American exceptionalism (theUnited Stated is exceptional). K. Kleint, ‘Obama: US The One Indispensable Nation in World Affairs,’ Voa (daring), 23 May 2012, <http://www.voanews.com/a/obama_tells_air_force_academy_us_is_one_indispensable_country_world_affairs/ 940158.html>, diakses pada 6 Desember 2016. 2 1 nations to join us in building the future that our people so richly deserve.4 Amerika Serikat memiliki GDP (Gross Domestic Product) terbesar di dunia,yakni $18 trilyun pada tahun 2015, disusul Cina yang menempati posisi kedua dengan $11,4 trilyun. 5 Selain itu pada tahun 2013, Amerika Serikat memiliki pengeluaran militer terbesar dengan $577,5 milyar (sekitar 3,5% dari total GDP), sedangkan Cina memiliki pengeluaran militer $191 milyar (setara dengan 2,1% GDP). 6 Amerika Serikat juga merupakan negara donor terbesar: di tahun 2013 ia memberikan bantuan sebesar $32,7 milyar, disusul Inggris pada peringkat kedua sebesar $19 milyar. Amerika Serikat juga merupakan negara paling inovatif, terbukti dari sembilan perusahaan teknologi terbesar di dunia, hanya satu yang tidak berlokasi di Amerika Serikat. Amerika Serikat sampai saat ini masih merupakan produsen minyak terbesar di dunia, negara dengan anggaran riset dan pengembangan terbesar di dunia (sekitar 30% dari anggaran nasionalnya), dan negara paling berpengaruh dalam hal gaya hidup dan budaya melalui “theAmerican Way.”7 Dalam menjalankan politik internasional, Amerika Serikat memiliki dua tradisi politik luar negeri yang berseberangan, yakni isolasionis dan internasionalis. Tradisi isolasionis dalam politik luar negeri Amerika Serikat berkaitan dengan sejarah independensi dan kebebasan Amerika Serikat ketika memisahkan diri dari Eropa. Sedangkan tradisi internasionalis awalnya dipengaruhi oleh Spanish-American War,di mana saat itu Amerika Serikat berupaya mengeluarkan imperium Spanyol dari benua Amerika. Puncak perkembangan tradisi internasionalis dalam politik luar negeri Amerika Serikat terjadi di masa pemerintahan Woodrow Wilson (1913-1921) ketika ia menyerukan “make the word safer for democracy.”8Kedua tradisi inilah yang kemudian berjalan silihberganti dalam membangun pola politik luar negeri Amerika Serikat di kemudian hari. Pada masa Obama, Amerika Serikat didorong untuk menjalankan kedua tradisi politik luar negeri. Di awal masa kepemimpinannya, Obama dihadapkan pada masalah dalam negeri berupa krisis ekonomi tahun 2008. Krisis tersebut mendorong Amerika 4 Hook, p. 1. M. Scott & C. Sam, ‘China and the United States: Tale of Two Giant Economies,’ Bloomberg (daring), 12 May 2016, <http://www.bloomberg.com/graphics/2016-us-vs-china-economy/>, diakses pad 5 Desember 2016. 6 D. Floyd, ‘US vs China Military Budget,’ Investopedia (daring), 30 April 2015, <http://www.investopedia.com/articles/personal-finance/043015/us-vs-china-military-budget.asp>, diakses pada 5 Desember 2016. 7 I. Bremmer, ‘These Are the 5 Reasons Why the U.S. Remains the World’s Only Superpower,’ Time (daring), 28 May 2015, <http://time.com/3899972/us-superpower-status-military/>, diakses pada 20 Maret 2016. 8 H.E. Restad, U.S. Foreign Policy Traditions Multilateralism vs Isolationism since 1776, Norwegian Institute for Defence Studies, Oslo, 2010, pp. 11-12. 5 2 Serikat untuk menutup diri dari peran-peran internasional, sehingga cenderung isolasionis. Namun, di sisi lain Obama dihadapkan dengan naiknya Cina sebagai kekuatan baru.Ini mendorong Obama untuk menjalankan politik luar negeri internasionalismengingat munculnya Cina sebagai great power baru berpotensi merusak stabilitas hegemoni Amerika Serikat.Kebangkitan Cina memberikan dua tantangan bagi Amerika Serikat, yaitu bagaimana menghambat Cina yang berpotensi merusak stabilitas kawasan dan bagaimana mendorong Cina untuk berkontribusi ke dalam organisasi internasional.9 Merespon kemunculan Cina sebagai great power baru, pemerintahan Obama kemudian mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam National Security Strategy.Kebijakan tersebut mengindikasikan pembaruan pola kepemimpinan Amerika Serikat menjadi lebih kuat dan berkelanjutan: “The President’s newNationalSecurity Strategy provides a vision and strategy for advancing the nation’s interests, universal values, and a rules-based international order through strong and sustainable American leadership.”10 Amerika Serikat di masa Obama menghadapi dua tantangan besar, yaitu menyelesaikan masalah ekonomi dalam negeri dan menghadapi kemunculan Cina sebagai kekuatan baru. Hal tersebut menarik untuk diamati dengan menggunakan realisme ofensif yang menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan negara great power dan juga hegemon dunia.Bagaimana respon obama dalam menghadapi kebangkitan Cina, sejauh mana hal itu berdampak pada politik luar negeri Amerika Serikat di Asia. 2. Pertanyaan penelitian Bagaimana respon kebijakan luar negeri Obama berkaitan dengan munculnya Cina sebagai kekuatan baru dunia? 3. Landasan teoritik Realisme ofensif Realisme ofensif merupakan cabang dari realisme struktural yang muncul dari pandangan skeptis tentang perdamaian,11 realisme struktural disebut juga sebagai realisme baru (neorealism). Realisme ini berbeda dengan 2 realisme yang lain, yakni realisme 9 T. Christensen, ‘Obama and Asia Confronting the China Challenge,’ Council Foreign Relations (daring), September 2015, <http://www.cfr.org/asia-and-pacific/obama-asia/p37022>, diakses pada 6 September 2016. 10 ‘Fact Sheet: The 2015 National Security Strategy,’ theWhite House (daring), 6 February 2015, <https://www.whitehouse.gov/the-press-office/2015/02/06/fact-sheet-2015-national-security-strategy>, diakses pada 6 September 2015. 11 Mearsheimer, p. 4. 3 klasik dan realisme neoklasik. Realisme struktural memiliki fokus pembahasan mengenai distribusi kekuatan antar negara, sedangkan realisme klasik memiliki fokus pembahasan mengenai dampak dari sejarah, hukum internasional, dan tindakan yang diambil oleh tokoh politik, sedangkan realisme neoklasik selain mempertimbangkan distribusi kekuatan antar negara ia juga memberikan perhatian yang cukup besar mengenai permasalahan dalam negeri yang berdampak signifikan pada relasi antar negara.12 Perbedaan realisme struktural dan realisme lainnya dijelaskan secara berbeda oleh Robert Jackson dan Georg Sorensen, menurut mereka realisme klasik merupakan teori yang muncul sebelum revolusi kaum behavioralis pada tahun 1950-60an, pada dasarnya realisme klasik memfokuskan pada nilai-nilai-nilai dasar politik dan keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara, dengan kata lain realisme klasik mendasarkan asumsinya pada nilai normatif sebagaimana Hobbes mengatakan Homo Homini Lupus. Sedangkan realisme kontemporer memiliki pendekatan yang lebih ilmiah dan memfokuskan pada struktur atau sistem internasional, oleh karena itu realisme kontemporer disebut dengan juga sebagai realisme struktural.13 Di dalam lokus realisme struktural/baru terdapat dua pemikiran yang berseberangan, yang pertama adalah realisme defensif dan yang kedua adalah realisme ofensif, realisme defensif dikembangkan oleh Kenneth Waltz, sedangkan realisme ofensif dikembangkan oleh John Mearsheimer. Dua realisme ini berbeda dalam menjelaskan seberapa banyak kekuatan yang harus dicapai oleh negara, menurut realisme defensif negara diharuskan menjamin kepentingan nasionalnya, akan tetapi ia juga harus mempertimbangkan ancaman atau tantangan dari negara lain, dengan kata lain ia harus mempertimbangkan keseimbangan kekuatan karena ia menghadapi security dilemma. Sedangkan realisme ofensif menjelaskan bahwa negara harus memaksimalkan kekuatannya, karena dengan jalan itulah sebuah negara dapat menjamin kepentingan nasionalnya.14 Selanjutnya realisme ofensif menjelaskan bahwa dunia didominasi oleh peran great power, oleh karenanya realisme ofensif fokus melihat dunia melalui penjelasan tentang perilaku great power. Negara/great power akan senantiasa membangun kekuatan guna mendominasi sistem, dengan kata lain negara akan berupaya menjadi hegemon. Akan tetapi pada akhirnya hal tersebut dapat menimbulkan persaingan antar negara karena 12 P.R. Votti & M.V. Kauppi, International Relations Theory, Pearson Education, New York, 2012, pp. 41- 42. 13 R. Jackson & G. Sorensen, Introduction to International Relations, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Studi Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura dan Pancasari Suyatiman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, pp. 90-91. 14 Viotti & Kauppi, pp. 63-65. 4 masing-masing great power melakukan hal yang sama. Dengan demikian insentif untuk perdamaian menjadi sulit diperoleh. 15 Dalam rangka memahami perilaku great power sebenearnya tidak ada definisi secara pasti apa itu great power dalam hubungan internasional. Akan tetapi dapat digambarkan bahwa great power merupakan negara yang memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam politik internasional. Selain itu great power merupakan negara yang dapat mengalahkan negara lain dengan kemampuan militer yang dimilikinya sendiri, great power dapat pula digambarkan sebagai negara yang dapat membawa kepentingan nasionalnya jauh di luar teritorinya. Dengan kata lain great power merupakan negara yang dapat mendeklarasikan perang, dan ia juga dapat membentuk aliansi atau mengisolasi diri dengan negara lain sebagai bentuk pencapaian kepentingan nasionalnya. Maka dapat disimpulkan bahwa great power merupakan negara yang memiliki kemampuan militer terkuat, serta memiliki perekonomian terkuat sehingga dapat mengambil tindakan perang, selain itu ia dapat menginisiasi penciptaan sebuah aliansi maupun mengisolasi diridalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya.16 Berkaitan dengan hegemoni, sebenarnya merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti mendominasi; dominasi dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara lain. Sebelum mendominasi, pada mulanya negara hegemon akan memunculkan sebuah kerangka ide yang kemudian diikuti oleh negara lainnya. 17 Hegemoni juga dapat didefinisikan sebagai konsentrasi kekuatan dalam masyarakat internasional. 18 Menurut Mearsheimer,“a hegemon is a state that is so powerful that it dominates all other states in the system.” 19 Dapat dipahami bahwa syarat menjadi negara hegemon adalah memiliki kekuatan besar (powerful) dan mendominasi sistem.Oleh karena itu, untuk mendefinisikan sebuah negara hegemon tidak cukup hanya melihat kekuatan militernya saja, akan tetapi juga dibutuhkan penelusuran mengenai peran negara dalam mendominasi sistem. Mearsheimer menambahkan bahwa hegemoni merupakan tujuan utama dari negara meskipun dalam praktiknya sulit untuk diwujudkan.20 Dalam merumuskan teori realisme ofensif, Mearsheimer mengemukakan lima asumsi dasar untuk melihat politik internasional: (1) anarki, bahwa tidak ada kekuasaan di 15 T. Dunne & B.C. Schmidt, ‘Realism,’ dalam J. Baylis, S. Smith & P. Owens(ed), The Globalization of World Politics, Oxford University Press, New York, 2011, p. 92. 16 J.G Goldstein & J.C. Revehouse, International Relations, Pearson Education, New York, 2012, pp. 54-55. 17 B. Rosamond, ‘Hegemony,’Encyclopædia Britannica Online (daring), 1 March 2016, <http://www.britannica.com/topic/hegemony>, diakses pada 22 Maret 2016. 18 I. Clark, Hegemony in International Society, Oxford University Press, New York, 2011, p. 15. 19 Mearsheimer, p. 40. 20 Jackson &Sorensen, p. 146. 5 atas negara; (2) great powers memiliki kemampuan militer yang dapat mengancam negara lain dan berpotensi membahayakan satu sama lain; (3) bahwa negara tidak pernah mengetahui maksud dari negara lain; (4) bertahan hidup (survival) adalah tujuan utama dari great powers; dan (5) bahwa great powers adalah aktor rasional.21Dengan asumsiasumsi di atas realisme ofensif berbeda dengan realisme yang lain dalam caranya melihat negara. Dalam melihat negara, realisme ofensif berfokus padagreat powerssebagai aktor yang paling berpengaruh. Dalam sistem internasional great powers setidaknya akan melakukan tiga hal:berupaya menjadi yang terkuat karena ia berada dalam dunia yang anarki, oleh karena itu ia harus menjamin keberlangsungan hidupnya sendiri; berhati-hati dalam menjalankan politik luar negeri karena masing-masing negara memiliki kekuatan militer dan mereka tidak pernah mengetahui secara pasti niat dari negara lain; serta memiliki strategi sebagai perwujudan posisi mereka sebagai aktor rasional.22 Negara, menurut realisme ofensif, memiliki naluri untuk selalu mengejar kekuatan, baik kekuatan potensial maupun kekuatan aktual.Kekuatan potensial merupakan gabungan jumlah kekayaan dan jumlah populasi, yang dengan dua hal ini sebuah negara dapat membangun kemampuan militer yang kuat.Sementara itu, kekuatan aktual secara sederhana dapat dilihat dari kekuatan militer.Kekuatan yang dimiliki oleh negara dapat memberikan keamanan, tetapi juga bisa menimbulkan ketakutan bagi negara lain. Dari sini, realisme ofensif menunjukkan tiga jenis kekuatan yang dapat mengakibatkan ketakutan, yaitu negara yang memiliki kekuatan nuklir, great power yang terpisah oleh lautan yang luas, dan kekuatan yang tidak didistribusikan dengan baik – ini dapat terjadi dalam kasus multipolar yang tidak seimbang.23 Dalam menjalankan politik internasional,great power berpotensi menjadi musuh bagi great power yang lain, tidak jarang great power dianggap agresif, karena pada dasarnya mereka selalu berkompetisi untuk menjamin kepentingan masing-masing. Negara selalu didorong untuk membangun kekuatan dan berupaya mendominasi sistem.24Sebuah great power biasanya berfokus pada peningkatan kemampuan ekonomi demi membangun kekuatan militer.Jika muncul sebuah aliansi, ia merupakan kerjasama sesaat. Berkaitan dengan pembentukan aliansi, sebuah great power biasanya memberikan kerangka ide atau menyebarkan ideologi tertentu sebagai alat politik, seperti menggunakan penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) sebagai alat untuk mendapatkan simpati dari 21 Mearsheimer, pp. 30-32. Mearsheimer, pp. 32-36.. 23 Mearsheimer, pp. 43-44. 24 Mearsheimer, pp. 32-40. 22 6 negara lain. Upaya di atas dilakukan oleh great power untuk mencari aliansi ketika ia menghadapi ancaman.25 Selanjutnya menurut Mearhseimer great power selain berupaya menciptakan aliansi, ia juga akan menciptakan institusi internasional sebagai kepanjangan tangan darinya. Di dalam institusi internasional itulah great power memberikan norma-norma yang disepakati bersama, akan tetapi hal itu sebenarnya merupakan upaya pencapaian kepentingan nasional sebuah great power dan bukan sebagai bentuk kompromi yang dapat mendorong perdamaian. Dengan kata lain realisme sepakat terhadap institusi internasional, akan tetapi hal itu merupakan refleksi dari distribusi kekuatan antar negara yang pada dasarnya merupakan bentuk kalkulasi sebuah great power dalam mengelola sistem.26 Ketika sebuah great power telah menjadi yang terkuat dalam sebuah sistem, maka ia akan berupaya untuk menciptakan sistem yang memiliki mekanisme yang dapat memberikan keuntungan besar bagi dirinya. Meski demikian, Mearsheimer menekankan bahwagreat power tidak boleh menjadi egois, mengingat berjalannya sistem merupakan perwujudan dari kepentingan bersama. Dengan kata lain, meskipun sebuah negara hegemon tampak mendapatkan keuntungan yang lebih besar, akan tetapi sebuah sistem tidak akan berjalan jika semua keuntungan dikuasai sepenuhnya oleh negara hegemon. Sebuah great power didukung oleh kemampuan militer baik di darat, laut, udara, ditambah dengan kepemilikan senjata nuklir. Dari semua kekuatan itu, kekuatan darat-lah yang menjadi pilar utama; kekuatan-kekuatan lain tidak dapat berdiri sendiri tanpa kekuatan darat. Dalam konteks ini, senjata nuklir merupakan alat teror yang efektif, sekaligus tidak meniadakan opsi perang. Meski demikian, senjata nuklir tidak akan digunakan dalam perang antaragreat power karena hal itu sama saja dengan meniadakan satu sama lain (Mutual Assured Destruction, MAD). Ketika sebuah great power memiliki nuclear superiority, maka ia memiliki kemungkinan untuk menjadi hegemon dunia.27 Jika sebuah great power mendapatkan ancaman, maka ia memiliki dua opsi sebelum memutuskan untuk berperang, yakni balancing dan buck passing. Balancing merupakan langkah menggagalkan upaya pesaing untuk memperoleh keseimbangan kekuatan, sedangkan buck passing merupakan upaya alternatif untuk menahan pesaing dengan cara mencari negara lain yang dapat memancing masalah dengan pesaing ataupun bertarung 25 Mearsheimer, pp. 48-53. J. Mearsheimer, ‘The False Promise of International Institutions,’ dalam D. A. Baldwin, Theories of International Relations, Ashgate, Burlinton, 2008, pp. 380-381. 27 Mearsheimer, pp. 83-137. 26 7 dengannya secara langsung.28Menurut Mearsheimer, persaingan dan konflik antara great powersakan menimbulkan setidaknya empat macam pola dalam sistem internasional: balanced bipolar, unbalanced bipolar, balanced multipolar dan unbalanced multipolar. Unbalanced multipolar merupakan sebuah keadaan yang paling tidak aman, yaitu ketika great powersmenghadapi situasi yang rentan untuk berperang. 29 Salah satu bentuk unbalanced multipolar adalah Eropa di era Nazi, sekitar tahun 1939-1945. Pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara limagreat powers, yakni Perancis, Inggris, Uni Soviet, Jerman, dan Amerika Serikat, menjadikan Jerman memiliki keuntungan besar untuk menjadi agresor. 30 Sifat situasi di atas boleh dikatakan tampak kembali di Asia Timur. Di kawasan ini setidaknya terdapat beberapa kekuatan yang saling bersaing, duagreat powers Cina dan Amerika Serikat serta beberapa middlepowers seperti Jepang dan Korea Selatan. 31 Dengan banyaknya akumulasi kekuatan, Asia Timur berpotensi menuju ke arah unbalanced multipolar. Sebagai great power dan negara hegemon di western hemisphere, Amerika Serikat saat ini mewaspadai perilaku Cina yang muncul sebagai great power baru – sesuai dengan teori Mearsheimer.Baik Amerika Serikat maupun Cinatidak mengetahui niatan satu samalain, padahal di saat yang sama keduanya mengejar kepentingan nasional dan berupaya mendapatkan porsi keuntungan terbesar dari sistem. Dilihat dari titik ini, keduanya sangat mungkin untuk berkonflik di kemudian hari. Cina saat ini sedang membangun kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya, sementara Amerika Serikat telah menyiapkan kekuatan besar dan penguatan aliansi di wilayah Pasifik. Kedua negara tersebut memiliki kekuatan nuklir, akan tetapi hal itu tidak berarti meniadakan opsi untuk berperang. Pada akhirnya, Asia Timur merupakan kawasan yang rentan akan konflik, salah satunya diakibatkan oleh persaingan kedua great power ini. 4. Hipotesis Amerika Serikat di masa Obama telah mengeluarkan stategi nasional pada tahun 2015 yang ditujukan untuk menghadapi agresivitas Cina di Asia Timur. Strategi tersebut meliputi penguatan aliansi, penguatan relasi negara-negara di Asia Pasifik dan organisasi regional dalam rangka menyebarkan ideologi yang sejalan dengan kepentingan nasional 28 Mearsheimer, pp. 156-159. Mearsheimer, pp. 138-167. 30 Mearsheimer, p. 355. 31 ‘N. Korea ready for US war, leader tells parade,’ The Straits Times (daring), 11 October 2015, <http://www.straitstimes.com/asia/east-asia/n-korea-ready-for-us-war-leader-tells-parade>, diakses pada 20 Juni 2016. 29 8 Amerika Serikat, serta penguatan perekonomian Amerika Serikat pasca krisis dan pembendungan kekuatan ekonomi Cina melalui TPP (Trans Pacific Partnership). Politik luar negeri Amerika Serikat di masa Obama difokuskan untuk membendung kekuatan Cina, sebagaimana realisme ofensif menjelaskan bahwa sebuah great powerakan senantiasa memperhatikan kemunculan great power baru di kawasan lain. 5. Struktur penulisan Skripsi ini akan dibagi ke dalam empat bab. Setelah Bab Pertama berisikan pendahuluan ini, Bab Kedua berisikan uraian tentang politik luar negeri Amerika Serikat secara umum, relasi Amerika Serikat dengan Cina, State of the Union Address, National Security Strategy Amerika Serikat, dan kebijakan-kebijakan Obama terhadap kawasan Asia. Politik luar negeri Amerika Serikat dibahas untuk melihat arah politik luar negeri Obama dan pembahasan mengenai relasi Amerika Serikat dengan Cina digunakan untuk melihat potensi persaingan antara kedua negara. State of the Union Address, National Security Strategy, dan kebijakan Obama lainnya digunakan untuk melihat respon Obama dalam potensi persaingan yang muncul terhadap Cina. Bab Ketiga menunjukkan analisisatas respon Amerika Serikat terhadap kebangkitan Cina dengan menggunakan realisme ofensif. Tujuan besarnya adalah melihat kebijakan luar negeri Obama terhadap kawasan Asia Pasifik.Skripsi ditutup dengan Bab Keempat yang berisikan kesimpulan dan inferens yang bisa diperoleh dari hasil penelitian. 9