7 TINJAUAN PUSTAKA Prestasi Akademik Prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, akibat proses belajar yang telah dilakukan oleh seseorang secara optimal (Setiawan 2006). Sobur (2006) menjelaskan prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabakan oleh proses pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang standar. Nilainilai tersebut akan menunjukkan apakah prestasi akademik seseorang termasuk kategori tinggi atau rendah. Ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi tinggi menurut Sobur (2006) antara lain: a) memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan; b) adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk; c) menghindari tugastugas yang sulit atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas yang tingkat kesulitannya sedang; d) inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien, dan lebih baik dari cara sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapat cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam mencapai tujuan; e) tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan yang disebabkan oleh tindakan individu itu sendiri. Faktor yang memengaruhi prestasi akademik Rola (2006) diacu dalam Sahputra (2009): a) keluarga dan kebudayaan: besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua, jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu daerah seperti cerita rakyat yang sering mengandung tema prestasi bisa meningkatkan semangat; b) jenis kelamin: prestasi akademik yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga banyak wanita yang belajar tidak maksiamal khususnya jika wanita tersebut berada diantara pria. Pada wanita terdapat 8 kecenderungan takut akan kesuksesan yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran bahwa dirinya akan ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan, namun sampai saat ini konsep tersebut masih diperdebatkan; c) peranan konsep diri: konsep diri merupakan bagaimana individu berpikir tentang dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam tingkah lakunya; d) pengakuan dan prestasi: individu akan bekerja keras jika dirinya merasa dipedulikan oleh orang lain. Dimana prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga, dan dukungan lingkungan tempat dimana individu berada. Individu yang diberi dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya. Selain keempat faktor diatas, motivasi hasil belajar juga memengaruhi prestasi akademik. Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat daripada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat maka individu akan mencari soal yang lebih mudah (Soemanto, 2006). Menurut hasil penelitian Schickedanz (1995), anak yang orang tuanya tidak melakukan pengasuhan dengan baik dan bersikap pasif memiliki prestasi akademik yang kurang baik. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999). Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan 9 dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008). Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, maupun sosial. Sifat bawaan atau tempramen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya. Emosi ternyata banyak memengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif juga. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai dengan emosi negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009). Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kecerdasan emosional seorang anak yaitu: (1) memiliki kemampuan mengekspresikan emosi dan memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong dan; (11) menghormati orang lain. Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999): 1) kesadaran diri: mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat; 2) pengaturan diri: menanganani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi; 3) motivasi: menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi; 4) empati: merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, 10 menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang; 5) keterampilan sosial: menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilanketerampilan ini untuk memengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, dan untuk menjaga kerja sama dan bekerja dalam tim. Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira dua puluh persen bagi faktor-faktor yang mendukung kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu delapan puluh persen diperoleh dari EQ. Goleman juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Gaya Pelatih Emosi Pada sebuah keluarga, interaksi antara orang tua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orang tua. Pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orang tua dengan anaknya. Penelitian tentang gaya pengasuhan orang tua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang adalah teori pola asuh emosi dari John Gottman. John Gottman (2007) dalam Dini (2010) mengidentifikasi empat gaya pengasuhan, yaitu: dismissing style, disapproving style, laissez faire style, dan emotional coaching. Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri dan masing-masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku dan kecerdasan emosional anak. Dismissing style (pengabai) Orang tua tidak memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak, takut lepas kendali, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai cerminan buruknya ketrampilan pengasuhan. Menurut Gottman & De Claire (1997) tipe orang tua pengabai 11 emosi tidak mendukung perkembangan kecerdasan emosional anak. Orang tua merasa tidak nyaman jika anak merasa sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari. Ciri dismissing style (Gottman & De Claire 1997) adalah: a) orang tua memperlakukan perasaan anak sebagai hal yang tidak penting; b) orang tua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak; c) orang tua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan cepat; d) orang tua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak; e) orang tua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan oleh anak; f) orang tua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain; g) orang tua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak; h) orang tua takut lepas kendali secara emosional; i) orang tua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosi dan bukan pada makna emosi itu sendiri; j) orang tua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun; k) orang tua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi negatif maka hanya akan memperburuk keadaan; l) orang tua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak; m) orang tua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik; n) orang tua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orang tua mereka; o) orang tua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut; p) orang tua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya. Disapproving style (tidak menyetujui) Gaya pengasuhan ini mirip dengan dismissing style dan biasanya dilakukan dengan cara yang lebih negatif, dimana orang tua tidak hanya mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi negatif anaknya tapi juga tidak menyetujui perbuatan anak. Sikap penolakan dari orang tua menjelaskan bahwa emosi merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga mereka mencoba untuk memahami emosi anak dengan mendisiplinkan atau menghukum anak terkait dengan apa yang mereka rasakan. 12 Contoh disapproving style (Hastuti, 2008): a) orang tua menganggap kesedihan anak sebagai upaya agar orang tua merasa kasihan padanya; b) orang tua menghukum dan mengucilkan jika anak marah; c) orang tua mencemaskan anak dan menganggapnya memiliki kepribadian negatif jika anak merasa sedih; d) orang tua menganggap bahwa emosi negatif itu harus dibatasi waktunya dan harus dikendalikan sehingga tidak baik jika anak mengungkapkan kemarahan; e) orang tua memukul anak atau menilainya sebagai anak yang tidak hormat kepada orang tua jika anak marah; f) orang tua memiliki anggapan bahwa saat anak marah, maka hal itu dilakukan anak sebagai upaya untuk mendapatkan keinginannya; g) orang tua menganggap anak keras kepala ketika anak mengungkapkan kesedihan; h) orang tua berpendapat bahwa emosi negatif itu membuat orang lemah. Laissez faire style Menurut Gottman (2007) dalam Dini (2010) gaya laissez-faire merupakan suatu kebebasan bagi seorang anak dalam mengekspresikan apa yang mereka rasa, baik kebahagiaan, kemarahan, atau kesedihan. Akan tetapi laissez-faire tidak memberikan batasan terhadap kebebasan tersebut dan hanya ada sedikit bimbingan. Orang tua dengan gaya pengasuhan seperti ini sebenarnya menerima ungkapan atau ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang mereka rasakan. Menurut Gottman & De Claire (1997), ciri orang tua yang menerapkan laissez faire style adalah: a) orang tua mendengarkan saat anak bersedih namun tidak dapat melakukan apapun selain menghibur anak; b) orang tua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi; c) orang tua tidak dapat memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu; d) orang tua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan izin; e) orang tua tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang bagaimana anak mereka dapat belajar dari pengalaman emosional. Ciri diatas menunjukkan orang tua dengan gaya pengasuhan laissez faire style memiliki kedudukan yang hampir sama dengan orang tua dengan gaya pengasuhan disapproving style dan dismissing style. Oleh sebab itu, anak dari orang tua laissez faire tidak mampu belajar mengatur emosi, seringkali anak tidak memiliki kemampuan untuk menenangkan diri sendiri saat mereka marah, sedih, dan gelisah. 13 Emotional coaching Menurut Gottman dan DeClaire (1997) emotional coaching merupakan suatu proses dimana orang tua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang benar. Hal paling mendasar dalam emotion coaching yang perlu dimiliki oleh orang tua adalah perasaan empati yaitu kemampuan orang tua untuk menempatkan diri mereka dalam kedudukan anak mereka dan memberi tanggapan sesuai dengan situasi tersebut. Emotion coaching adalah suatu proses dimana orang tua mendengarkan dan menerima ungkapan perasaan anaknya, memberikan bimbingan serta mengajarkan kepada anaknya bagaimana mengendalikan perasaannya dengan cara yang sesuai. Emotion coaching dapat diberikan oleh orang tua untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak. Orang tua dapat melatih emosi anaknya dengan menenangkan perasaan anak, mendengarkan, memahami pemikiran, dan perasaan yang dirasakan anak serta membantu anak untuk memahami dirinya sendiri. Remaja Kata adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Orang-orang barat menyebut remaja dengan istilah “puber” sedangkan orang Amerika menyebutnya “adolesensi” dan keduanya merupakan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa (Zulkifli 1995). Menurut (Zulkifli 1995), anak-anak yang berusia dua belas atau tiga belas tahun sampai dengan sembilan belas tahun berada dalam masa pertumbuhan remaja sehingga tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya anak-anak tersebut juga belum dapat dikatakan orang dewasa. Sedangkan Monks (2001) menjelaskan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Piaget (1969) diacu dalam Hurlock (1980) menjelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa 14 atau usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Steinberg (1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki. Ciri-ciri masa remaja menurut Zulkifli (1995) antara lain: a) pertumbuhan fisik terjadi dengan cepat bahkan lebih cepat dibandingkan dengan masa anakanak; b) perkembangan seksual. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat produksi sperma mulai beroperasi, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma (biasanya terjadi ketika berusia tiga belas tahun yang merupakan awal dari masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 21 tahun), sedangkan pada anak perempuan antara lain mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama sehingga rahim sudah bisa dibuahi (biasanya terjadi ketika usia dua belas tahun yang merupakan awal masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia sembilan belas tahun); c) cara berpikir kausalitas yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, dan lingkungan masih menganggapnya sebagai anak kecil; d) emosi yang meluap-luap atau keadaan emosi yang masih labil sangat erat kaitannya dengan keseimbangan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis; e) mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Secara biologis anak perempuan lebih cepat matang daripada anak laki-laki; f) menarik perhatian lingkungan dengan berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan; g) terkait dengan kelompok sehingga tidak jarang orang tua dinomorduakan sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Tugas-tugas perkembangan bagi seorang remaja menurut (Havighurst 1972, diacu dalam Hurlock 1980) antara lain: 1. Mancapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. 2. Mencapai peran sosial sebagai pria maupun wanita. 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 15 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. 6. Mempersiapkan karir ekonomi. 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.