BAB I PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia itu tergantung pada kualitas pendidikannya. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa. Kemajuan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pembaharuan pendidikan di Indonesia perlu terus dilakukan untuk menciptakan dunia pendidikan yang adaptif terhadap perubahan zaman. Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Anak-anak hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai. Itu sebagian dari persoalan dalam dunia pendidikan kita yang saat ini terus kita benahi bersama. Salah satu bentuk usaha meningkatkan mutu pendidikan kita adalah menciptakan kurikulum yang lebih memberdayakan anak-anak. Untuk itu, perlu dirancang sebuah kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, yakni melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas dan kompeten. Kurikulum tersebut dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi. Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan 1 menggunakan lulusan sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan pekerjaan yang akan dipilih siswa. Konsep ini ternyata juga diadopsi di negara-negara seperti Amerika dan Australia dalam konteks pengajaran bahasa yang dikenal dengan Competency-Based Language Teaching yang disingkat CBLT. CBLT didasarkan pada model rancangan kurikulum yang memperhatikan faktor efisiensi ekonomi dan sosial yang memberikan kemampuan kepada siswanya untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Richards 2001:132) Perkembangan terkini yang terjadi di negara seperti Australia dan Amerika Serikat menunjukkan pergerakan menuju pengembangan “standar”. Standar, atau yang lazim disebut benchmark, diterapkan untuk mengukur tingkat literasi (kemahirwacanaan) siswa. Silabus bahasa Inggris sekolah dasar Australia, misalnya, secara jelas merumuskan standar literasi apa yang diharapkan dicapai siswa pada tiap akhir tahun pelajaran. Di Amerika Serikat, pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing pun telah memasuki era standar ini. Organisasi profesi pengajar bahasa Inggris TESOL, misalnya, telah mengembangkan standar-standar dalam bentuk kompetensi yang harus dicapai siswa mulai taman kanak-kanak hingga kelas dua belas (Richards 2001:133). Tujuannya tak lain adalah untuk membekali kemampuan kepada lulusan agar dapat berpartisipasi dalam dunia yang senantiasa berubah. Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2). Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks adalah inti kemahirwaanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001). Pada mulanya, di AS, literasi tingkat tinggi hanya 2 merupakan tujuan pendidikan lembaga pendidikan elite, sementara lembaga pendidikan massal (pada umumnya) hanya mengarah pada literasi tingkat rendah. Dalam perkembangan selanjutnya, terkait dengan pertumbuhan masyarakat industri yang sangat tergantung pada informasi dan teknologi, standar literasi menjadi meningkat ke arah literasi tingkat tinggi. Oleh karena itu, guru language arts atau guru bahasa pada umumnya dituntut dapat meningkatkan literasi tingkat tinggi pada siswanya. Untuk mencapai tuntutan literasi tingkat tinggi tersebut langkah pengembangan literasi lintas kurikulum merupakan upaya realistis yang perlu terus diujicobakan (Resnick, 1987; CED, 2001). Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001). Lingkungan yang kaya bahan cetakan dan memberi kesempatan untuk menggunakannya akan mendorong siswa mengujicobakan dengan literasi. Siswa merasa membaca-menulis sebagai cara baru mengomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan bahasa lisan. Mereka mengobservasi lingkungan cetakan (sumbersumber cetakan) dan “bermain” membaca dan menulis. Dengan cara ini mereka merasa bahwa literasi adalah bagian dari perkembangan alamiah mereka (Salinger, 2001). Demikian juga, guru yang memahami bahwa membaca dan menulis sering berkembang secara simultan dapat membantu siswa menemukan kembali kemunculan keterampilan literasi di dalam sebuah konteks yang bermakna (Graves, 2001). Selain kesadaran-kesadaran baru yang dimotivasi oleh perubahan praktis dalam kehidupan sehari-hari, terjadi pula kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoretis atau filosofis yang membentuk paradigma baru dalam memaknai pengajaran bahasa. Pemaknaan baru yang antara lain disebabkan oleh hasil-hasil penelitian di bidang linguistik terapan otomatis mempengaruhi kurikulum pengajaran bahasa. Ini adalah perubahan alami sebab pengembangan kurikulum berada dalam area linguistik terapan (Richards 2001:2). Kemajuan-kemajuan temuan di bidang ini 3 tampaknya juga telah mempengaruhi kurikulum-kurikulum di negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Singapura, dan sebagainya. Perubahan yang cukup signifikan adalah diletakkannya wacana atau discourse dalam posisi sentral. Meskipun kesadaran akan pentingnya wacana dalam dunia pendidikan bahasa telah ada selama kurang lebih tiga puluh tahunan, namun baru belakangan ini analisis wacana memasuki jalur utama dalam pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika (Kern 2000:18). Pergeseran paradigma pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang menyiapkan siswanya untuk memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat moderen ini disebut oleh Kern (2000:15) sebagai pendekatan literasi. Pendekatan ini menurut Kern: represents a style of teaching educators ought to consider if they wish to prepare learners for full participation in societies that increasingly demand multilingual, multicultural and multitextual competence (Kern, 2000:15-16) Berpartisipasi dalam komunikasi bahasa berarti berpartisipasi dalam penciptaan teks, baik lisan maupun tulis. Haliday dan Hasan (1976:1) mendefinisikan teks sebagai wacana, lisan maupun tulis, seberapapun panjangnya, yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Hymes (1971:10) menyebut kemampuan berkomunikasi, yang berarti menciptakan wacana, sebagai communicative competence. Dengan demikian, kurikulum yang mengklaim sebagai berbasis kompetensi perlu mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan communicative competence. Ketegasan mengenai kompetensi apa yang perlu dikembangkan dan bagaimana mendefinisikan kompetensi inilah yang menandai perbedaan kurikulum ini dengan kurikulum sebelumnya. Pembahasan mengenai konsep kompetensi yang mendasari kurikulum ini dapat ditemukan dalam Bab II. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa kurikulum 2004 ini berbeda dengan kurikulum pendahulunya dalam dua hal yang mendasar. Pertama, Kurikulum ini didasarkan kepada rumusan kompetensi komunikatif yang didefinisikan sebagai kompetensi wacana sebagai kompetensi 4 utama dan, kedua, untuk mencapai kompetensi wacana tersebut digunakan pendekatan (pendidikan) literasi. 5 BAB II LANDASAN PENGEMBANGAN Dalam bagian ini diuraikan mengenai landasan pengembangan Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia. Secara berturut-turut disampaikan (1) landasan yuridis, (2) landasan empiris, dan (3) landasan teoritis. A. Yuridis Realitas sosial dan politik yang berkembang di masyarakat menuntut dunia pendidikan kita berubah. Beberapa hal yang menunjukkan hal itu diuraikan di bawah ini. 1. Lahirnya berbagai kebijakan pemerintah, seperti (1) pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah sebagai Daerah Otonom, yang antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berkewenangan dalam menentukan kompetensi anak-anak, kurikulum, dan materi pokok; penilaian nasional; dan kalender pendidikan; (3) Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang antara lain menyatakan perlunya dilakukan penyempurnaan kurikulum dan diverivikasi pendidikan; (4) Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2002. 2. Adanya berbagai ketimpangan dalam kehidupan, seperti moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial dan politik, serta ekonomi. 3. Semakin terbatasnya sumber alam dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak pada tingkat lokal, nasional dan persaingan pada tingkat global. 4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dampaknya terhadap kehidupan. Atas dasar itu Pemerintah menyempurnakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang ada saat ini. Kurikulum 6 1994 yang sudah diberlakukan selama sepuluh tahun akan disempurnakan menjadi Kurikulum 2004. Kedua kurikulum itu berbeda landasan dan orientasinya. Kurikulum 1994 bersifat content-based, sedangkan Kurikulum 2004 bersifat competencybased. Pengembangan Kurikulum 2004 didasari oleh landasan yuridis yang kuat. Kurikulum 2004 dilandasi oleh kebijakankebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan sebagai berikut. 1. UUD 1945 dan perubahannya 2. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 3. Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4. Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom berimplikasi terhadap kebijaksanaan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik. Pergeseran pengelolaan tersebut berimplikasi pada penyempurnaan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyempurnaan kurikulum tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu berkenaan dengan pasal-pasal sebagai berikut: 1. Pasal 3 tentang Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 7 berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab; 2. Pasal 35 Ayat (1) tentang Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala; 3. Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional dan tujuan pendidikan, serta memperhatikan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi peserta didik; 4. Pasal 37 Ayat (1) tentang muatan wajib pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah; dan 5. Pasal 38 Ayat (1) tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah, dan Ayat (2) tentang peran koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah dalam pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah. Pengembangan Kurikulum 2004 merupakan refleksi, pemikiran, atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 beserta pelaksanaannya. Hasil analisis yang mendalam terhadap keadaan dan kebutuhan peserta didik di masa sekarang dan yang akan datang menunjukkan perlunya Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional dan kreatif. Upaya peningkatan mutu pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, perilaku, pengetahuan, kesehatan, keterampilan dan seni. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada 8 peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian, peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan kurikulum sekolah dan madrasah yang berbasis pada kompetensi peserta didik. Inklusif pada pemberlakukan Kurikulum 2004 itu, diberlakukan pula Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah salah satu program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia. Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa dan Sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan, (5) sarana pengembangan penalaran, dan (6) sarana pemahaman keberagaman budaya Indonesia melalui khasanah kesastraan Indonesia. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia setidaknya terkait dengan beberapa konteks berikut. Pertama, kegagalan MPBI di sekolah (SD—SMA). Diakui atau tidak pembelajaran MPBI di sekolah telah gagal dalam membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus. Bahkan ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada MPBI pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari membaca dan menulis oleh guru (bukan guru BI). Belajar dari kegagalan itu, untuk waktu yang akan datang perlu diciptakan kurikulum yang dapat mengondisikan siswa benar-benar dapat belajar berpikir dan 9 berbahasa secara optimal. Oleh karena itu, dilahirkanlah KBK MPBI. Kedua, tuntutan kebutuhan masa depan. Siswa akan menghadapi tuntutan kebutuhan yang semakin kompleks, terutama dalam masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam masyarakat berbasis pengetahuan, bahan tercetak dan online akan melimpah. Persaingan juga semakin kompetitif, di samping peluang juga semakin banyak. Untuk memenangkan kompetisi itu siswa wajib memiliki kemampuan berpikir dan berbahasa secara memadai. KBK MPBI memungkinkan siswa dapat mengembangkan dirinya secara optimal dalam masyarakat berbasis pengetahuan tersebut. Ketiga, kesadaran para pengambil kebijakan. Berbagai pihak telah mulai sadar bahwa siswa bersekolah tidak hanya untuk menghadapi berbagai ujian, akan tetapi lebih jauh dari itu, siswa bersekolah untuk menyiapkan dirinya memasuki kehidupan. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun diarahkan untuk benar-benar menyiapkan siswa memasuki kehidupan, yakni berbahasa dan berpikir sekaligus untuk berbagai keperluan dan konteks nyata di masyarakat. B. Empiris Secara umum, hasil pendidikan kita belum memuaskan. Hal itu tercermin pada laporan beberapa lembaga internasional berkenaan dengan tingkat daya saing sumber daya manusia kita dengan negara-negara lain. Seperti yang terungkap dalam catatan Human Development Report Tahun 2000 versi UNDP, peringkat HDI (Human Develompment Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada di urutan 105 dari 108 negara. Indonesia berada jauh di bawah Filipina (77), Thailand (76), Malaysia (61), Brunei Darussalam (32), Korea Selatan (30), dan singapura (24). Organisasi internasional yang lain juga menguatkan hal itu. International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvey. Sementara itu, Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan 10 bahwa kemampuan matematika anak-anak SMP kita berada di urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara. Pembaharuan pendidikan di Indonesia memang harus terus dilakukan. Perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu dan terus menerus, yang adaptif terhadap perubahan jaman. Rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia itu memang tidak lepas dari hasil-hasil yang dicapai oleh pendidikan kita selama ini. Dan, harus diuakui, masih banyak persoalan yang dihadapi dunia pendidikan kita. Selama ini hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan anak-anak menghapal faktafakta. Walaupun banyak anak-anak mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya. Pertanyaannya, bagaimana pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru? Hal itu disadari benar oleh pengembang pendidikan di Indonesia Dalam konteks peningkatan kemampuan baca-tulis anakanak Indonesia, laporan yang dibuat International Educational Achievement (IEA) di atas menunjukkan posisi ketercapaian pembelajaran bahasa Indonesia SD—SMU. Salah satu survei yang didanai Proyek Bank Dunia menyebutkan bahwa sekitar 50% siswa SD kelas IV di enam provinsi daerah binaan PEQIP (Primary Education Quality Improvement Project/Proyek Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar) di Indonesia, tidak bisa mengarang (Republika, 2 Maret 1999). Hal tersebut disebabkan selama ini siswa SD lebih banyak mendapat pelajaran menghafal, daripada praktik termasuk mengarang, kata pemerhati pendidikan asal Inggris Stuart Weston, yang juga konsultan Bank Dunia, mengenai proyek pendidikan dasar untuk Indonesia. Seperti yang kita ketahui, melalui pengajaran bahasa Indonesia di sekolah, anak-anak meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesianya. Melalui pengajaran bahasa Indonesia, anak-anak berlatih membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diajarkan sejak taman sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 11 Dengan kata lain, kemampuan berbahasa Indonesia mendapat penekanan dalam pencapaian kompetensi dasar, pemilihan materi, dan distribusinya di sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anakanak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (periksa Samsuri, 1987; Sadtono, 1988). Melalui harapan di atas, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti (1) menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran pekerjaan, (3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, atau (5) membuat karangankarangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apapun bahan atau aturanaturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu. Masalahnya, mengapa keluhan terhadap hasil pembelajaran bahasa Indonesia masih sangat terasa? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejauh ini, belum banyak hasil yang dicapai oleh pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah. Fokus pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu, manakah kemampuan membaca dan menulis kreatif yang seharusnya dikuasai anak-anak melalui pengajaran bahasa Indonesia? Mengapa para mahasiswa, dosen, bahkan seorang pakar pun sering salah dalam menyusun kalimat dalam makalah-makalahnya? Mengapa banyak makalah yang sulit untuk dimengerti oleh pembaca? Lalu, apa yang 'diurus' oleh guru bahasa Indonesia sehari-hari? 12 Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkukat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia nyata (periksa Nurhadi, 2000) Lemahnya pengajaran bahasa Indonesia itu tidak lepas dari tradisi mengajarkan bahasa Indonesia berpuluh-puluh tahun terakhir ini. Dalam sejumlah penelitian ditemukan sejumlah materi yang relevansinya dengan kegiatan berbahasa Indonesia sehari-hari anak-anak rendah. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah itu antara lain materi-materi tata bahasa yang bersifat teknis linguistik, seperti teori linguistik umum dan pengetahuan tentang tata bahasa deskriptif struktural bahasa Indonesia.Dari 20 topik struktur bahasa Indonesia yang diajarkan di SLTP, aspek tata bentukan kata mendominasi materi struktur bahasa Indonesia untuk SLTP. Dalam komunikasi sehari-hari dalam bahasa Indonesia, pengetahuan implisit mengenai tata bentukan kata bahasa Indonesia rata-rata telah dikuasai dengan baik anak-anak SLTP di Indonesia. Masalahnya, yang kemudian terjadi adalah guru cenderung mengajarkan 'teori tentang morfologi' bahasa Indonesia. Untuk itu, disarankan agar topik tata bentukan kata bahasa Indonesia dikurangi, atau diajarkan 'sambil lalu' dalam kegiatan kreatif berbahasa, seperti dalam latihan menulis. Bisa dipahami jika kemudia ditemukan fakta bahwa kemampuan baca-tulis anak-anak Indonesia lemah dibandingkan dengan kemampuan baca-tulis anak-anak negara lain. Secara empiris, perlu didesain sebuah kurikulum bahasa dan sastra Indonesia yang berorientasi pada pencapaian kompetensi komunikatif berbahasa Indonesia yang sesungguhnya. 13 C. Teoritis Pengembangan Kurikulum 2004 bidang studi bahasa dan sastra Indonesia dilandasi oleh pertimbangan teoritis sebagai berikut. Sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme dalam pengajaran bahasa melalui metode Drillnya, lahir pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa yang dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communiicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial. Pandangan itu kemudian mendasari pengembangan pendekatan komunikatif dalam PBI, dalam Kurikulum 1994. Dalam perkembangannya, kompetensi komunuikatif yang dikuasai siswa dipandang kurang luas cakupannya ditinjau dari tuntutan realitas mengenai penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan modern. Madsudnya, kompetensi komunikatif hanya ingin meningkatkan kompetensi berbahasa dalam konteks berbicara, membaca, dan menulis. Sementara itu, aspek isi (content) kurang diperhatikan. Persoalannya sekarang, bagaimana kompetensi komunikatif itu mencakup juga kemampuan mengembangkan isi. Maka, berkembanglah konsep kemahiran wacana (discourse competence) yang saat ini digagas dan diuangkan dalam Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Pembelajarannya berciri sebagai berikut: alamiah (authenticity), pengalaman nyata (real-world), dan tugas-tugas bermakna (meaningful task). Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas (1) kealamiahan bahasa, (2) peranan anak-anak dalam berkomunikasi, (3) tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk 14 menjelaskan makna, dan (4) ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas di mana anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan berbahasa, buka hanya tahu tentang bahasa saja. Penelitian tentang pengajaran bahasa dilaksanakan untuk memperoleh data yang nyata dari kelas yang sebenarnya tentang faktor-faktor di atas. Ada empat isu pokok yang dicari jawabannya di kelas yaitu: (1) pengaruh pengajaran formal oleh guru, (2) bahasa guru, (3) perilaku anak-anak di kelas, dan (4) interaksi yang terjadi di kelas. Dari data itu diharapkan dapat dikembangkan rancangan atau pilihan rancangan pengajaran bahasa yang 'ideal' untuk diterapkan di kelas bahasa Indonesia. Isu penting yang dicari jawabannya di kelas adalah, bagaimana anak-anak memperoleh bahasanya? Jawaban atas pertanyaan ini kemudian dikemas dalam kesimpulan berikut. 1. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih sering, lebih tepat, dan dalam variasi yang luas. 2. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara mengolah input dari ujaran orang lain. 3. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain (Ellis, 1986). Kesimpulan pertama sebenarnya mengikuti pandangan lama yang menyatakan bahwa sebuah ketrampilan yang dimiliki seseorang adalah produk dari latihan praktis ketrampilan tersebut. Dalam hubungan ini para ahli mengajukan apa yang disebutnya 'comprehensible output hypothesis', yaitu ujaran adalah sumber linguistik yang baik bagi sesorang untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya. Dengan kata lain anak-anak mampu membaca melalui membaca, mampu menulis melalui menulis, dan mampu berbicara melalui berbicara. Oleh karena itu, ujaran anak-anak tidak boleh hanya sekedar menyampaikan pesan, tetapi pesan itu harus disampaikan secara tepat dan benar. 15 Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam penelitian npengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi menggunakan bahasa. Inti dari temuan itu, bahwa keaktifan anak-anak di kelas melalui berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang pembelajaran bahasa. Perilaku aktif anak-anak ternyata menjadi landasan pengembangan silabus pengajaran bahasa yang menekankan pada input berbahasa. Secara umum ada korelasi antara prilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak. Jadi kesimpulannya, hasil penelitian dalam bidang pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan pada pembangkitan input pada anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, menulis yang sebenarnya). Dalam konteks itu, kurikulum yang bagaimanakah yang diinginkan agar kompetensi komunikatif bahasa Indonesia dapat dikuasai oleh anak-anak dengan maksimal? Trend saat ini yang sedang berkembang di negara-negara maju adalah upaya mewujudkan pendidikan melalui pembangunan kemahiran wacana (literacy education). Targetnya adalah agar setiap warga negara mampu berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengikuti trend itu, pengajaran bahasa Indonesia diarahkan sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan cara menggunakan kemampuan berbahasa Indonesianya. Kurikulum bahasa dan sastra Indonesia yang akan datang diharapkan memenuhi kriteria pembelajaran bahasa sebagai berikut. Lebih banyak berlatih berbahasa nyata siswa (Meaning Focus). 16 Tata bahasa hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa. Keterampilan berbahasa nyata menjadi tujuan utama. Membaca sebagai alat untuk belajar (Reading for Learning), bukan sekedar learning to read. Menulis sebagai alat berekspresi dan menyampaikan gagasan Kelas sebagai tempat berlatih menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Penekanan pengajaran sastra pada membaca sebanyakbanyaknya karya sastra (puisi/cerpen yang bisa diperoleh siswa dengan mudah di majalah, karangan siswa sendiri, dsb. Pengajaran kosakata untuk menambah kosakata siswa. Kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia pembelajarannya memiliki ciri sebagai berikut. 1. Makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk. 2. Konteks itu penting, bukan item bahasa. 3. Belajar bahasa itu belajar berkomunikasi. 4. Target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi hambatan berkomunikasi. 5. Kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan. 6. Kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan bahasa.Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45). Hal yang sangat penting dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi MPBI adalah konsistensi semua pihak dalam melaksanakan kurikulum tersebut. Konsistensi itu terutama dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi. KBK MPBI yang telah tersusun dengan baik tidak akan tercapai secara optimal apabila para pelaksananya tidak konsisten dalam penerapannya di sekolah. Contoh yang paling jelas, bila kurikulum menekankan keterampilan berbahasa (membaca, menulis, mendengarkan dan menyimak) dan berpikir sekaligus, maka itulah yang diujikan kepada siswa. Untuk itu, kita harus bekerja 17 keras untuk mengembangkan beragam instrumen tes yang benar-benar dapat sejalan dengan tuntutan KBK MPBI. Demikian juga mengenai model-model pembelajarannya, harus diupayakan sekuat tenaga agar siswa memperoleh pengalaman belajar yang kaya dan bermakna untuk mengembangkan keterampilan berbahasa dan berpikir siswa. 18 BAB III MODEL KURIKULUM BAHASA INDONESIA MASA DEPAN Dalam bagian ini diuraikan pandangan teoritis mengenai kecenderungan pemikiran tentang pembelajaran efektif dan produktif, yang mendasari pengembangan Kurikulum Bahasa Indonesia masa depan. Kajian ini bersifat umum dalam perspektif teori pendidikan dan teori belajar bahasa kedua. Secara berturutturut disampaikan (1) pendekatan, (2) pembelajaran, (3) pengorganisasian materi, dan (4) penilaian. A. Pendekatan Saat ini, pembelajaran yang berorientasi pada potensi dan kebutuhan siswa menjadi perhatian utama ahli pendidikan (Talbert, J.E. & McLaughlin, M.E., 1999) Pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajarmengajar sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan. Arah angin berpihak pada suatu sistem pendidikan yang menempatkan siswa pada posisi 'diberdayakan' secara maksimal yaitu mendidik mereka berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Filosofi itulah salah satunya yang mendasari pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-base curriculum). Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi antara lain berikut ini. 1. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak mereka sendiri. 2. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. 3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter). 19 4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi faktafakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. 5. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ideide. 6. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit. 7. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. 8. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 9. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terusmenerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku. Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis konstruktivisme. Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme antara lain 1. pendekatan kontekstual, 2. life-skills education, 3. pendekatan CBSA, 20 4. pendekatan inkuiri, 5. pendekatan pemecahan masalah 6. pendekatan proses, 7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning), 8. authentic instruction, 9. pendekatan kooperatif, dan 10. work-based learing. Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain berikut ini. 1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri. 2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman. 3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri, berdasarkan motivasi intrinsik. 4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya. 5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks nyata. 6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, membawa skemata masingmasing ke dalam proses pembelajaran. 7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete) 8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi. 9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. 21 10. Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting (Zahorik, 1995). Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian berikut. 1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections) Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). 2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work) Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat. 22 3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata. 4. Bekerja sama (collaborating) Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi. 5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti. 6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual) Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa. 7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards): Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”. 8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment) Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia. 23 Sementara itu, The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran yang ideal. 1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble. 2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan. 3. Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah. 4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja. 5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas. 6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman 24 observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan (4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orangorang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama. Ke depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang luhur. 25 Lalu, dalam konteks kecenderungan pemikiran seperti itu, bagaimanakah seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia dikemas? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan? Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya. Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Artinya, guru harus menghindari pengajaran yang berisi pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language, bukan talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonedia siswa. Pengajaran bahasa Indonesia dijalankan melalui pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja). Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai. Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak 26 bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari. Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas, siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung. Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula. Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano, 1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis. Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan, mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa. Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh 27 belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui berbicara dan menulis (Platt, 1989). Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar. Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan kegiatan menulis, menurut Raimes (1987), bertujuan (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini. Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara tertulis. Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan. Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi) penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan 28 pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat "ditiru" untuk belajar. Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing for communication). Melalui menulis siswa akan belajar berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata. Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan. Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran dalam mengemukakan gagasan. Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning). Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya. Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis, selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2) menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri 29 (Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu, menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di sekolah (Beach, 1984). Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan independen dalam belajar dengan dua cara, (1) mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra (partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari, belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif, kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti, dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes, 1997:54). Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990), hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran. Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai 30 pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang mandiri. Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata pelajaran. Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task) dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa Indonesia itu. 31 Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’. Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori yang tak relevan dengan kebutuhan berkomunikasi. Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukanmasukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan. Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk sekolah, siswa telah terpajani oleh lingkungan berbahasa Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu melalui kegiatan berbahasa Indonesia nyata, bukan mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia. Hanya, yang terjadi kemudian adalah (1) guru lebih banyak menerangkan tentang bahasa (form-focus), (2) tata bahasa sebagai bahan yang diajarkan, (3) keterampilan berbahasa nyata kurang diperhatkan, (4) membaca dan menulis sebagai sesuatu yang diajarkan, bukan sebagai media berkomunikasi dan berekspresi. Penekanan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu pertanyaannya, manakah kemampuan membaca dan menulis kreatif yang seharusnya dikuasai siswa melalui pengajaran bahasa Indonesia? Sebaiknya, pengajaran bahasa Indonesia dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca berita, membaca cerpen, membaca iklan, menulis surat, menulis iklan baris, membuat laporan, mendengarkan berita, membacakan pengumuman, dan sejenisnya. Dengan demikian, PBI akan menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa 32 harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran bahasa Indonesia, yaitu melatih siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat kebergunaannya rendah, seperti teori tata bahasa umum dan pengetahuan tentang tata bahasa sebaiknya dikurangi. B. Pembelajaran Kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia yang berupa tugas-tugas (task), input yang diterima siswa, dan pola interaksi guru—siswa ditujukan agar siswa dapat berbahasa Indonesia yang sesungguhnya. Agar pembelajaran BI di sekolah dasar dan mennegah produktif, strategi belajar yang dikembangkan harus menunjang pencapaian tujuan itu. Strategi pembelajaran yang ideal semestinya mengarahkan siswa pada kegiatan menemukan sendiri. Dengan kata lain, keterampilan berbahasa yang diperoleh harus berasal dari pengalaman membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Strategi pembelajaran semacam itu dapat dipenuhi jika pendekatan pembelajarannya sesuai dengan yang dikembangkan guru. Untuk menyukseskan penerapan pembelajaran yang berbasis pengalaman (pendekatan kontekstual), skenario pembelajaran harus didesain sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual. Adapun ciri utama dari pembelajaran itu adalah latihan berbahasa terus-menerus dengan berbagai variasi, hingga siswa mampu meningkatkan kreativitasnya dalam berbahasa Indonesia. Lalu, strategi pembelajaran yang bagaimanakah yang disarankan? Strategi apakah yang tepat digunakan agar kompetensi berbahasa Indonesia siswa bisa berkembang baik? Berikut ini, kajian sekilas mengenai pilihan strategi yang produktif dalam pembelajaran bahasa. Sejak dekade 1980-an, penggunaan task sebagai basis belajar bahasa kedua telah banyak diterima para ahli (Loschky dan Bley-Vroman, 1993). Para ahli yang menyarankan penggunaan task sebagai basis pengembangan kompetensi 33 komunikatif dengan bukti-bukti penelitian empiris antara lain Long (1985), Bley-Vroman (1989), Madden dan Reinhart (1987), Nunan (1989), Rutherford (1987), dan Ur (1988). Para ahli pengajaran bahasa kedua tersebut mengajukan konsep task yang komunikatif (communicative tasks) untuk dikembangkan dalam perencanaan pengajaran bahasa kedua yang produktif. Hingga kini, usulan tersebut terus bergulir dan berkembang di kelaskelas praktis pengajaran bahasa kedua. Ada beberapa dukungan teoritis dari penggunaan task sebagai basis pengembangan kompetensi berbahasa siswa. Pertama, dewasa ini ada kecenderungan bahwa pengajaran bahasa yang produktif harus berlandaskan fakta yang terjadi di kelas yang sebenarnya, yaitu apa yang dilakukan oleh guru dan siswa (task riil). Ini berarti, fakta atau informasi dari siswa atau apa yang terjadi di kelas digunakan untuk merencanakan, menerapkan, dan menilai program pengajaran yang dilaksanakan (Nunan, 1993:19; Chaudron, 1990:14). Pengajaran bahasa yang dikembangkan berdasarkan pada asumsi linguistik yang sejak lama mewarnai isi dan arah pengajaran bahasa kedua sudah mulai ditinggalkan. Dengan kata lain, pengembangan pengajaran bahasa harus berangkat dari hasil penelitian tentang pengajaran bahasa pula. Kedua, hasil penelitian membuktikan bahwa tipe task tertentu yang telah diisolasi mempengaruhi bahasa yang diujarkan siswa yang kemudian berdampak pada perubahan pandangan teori belajar bahasa kedua. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan temuan tersebut dilaporkan oleh Long dan Sato (1984), Ellis (1985), dan Tarone (1988) (Duff, 1993:57). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa variabel task secara signifikan mempengaruhi performansi siswa dalam belajar bahasanya. Jiwa dari task adalah interaksi. Sedangkan interaksi yang tercipta akan menghasilkan aktivitas negosiasi makna, yang pada gilirannya menciptakan pelatihan berbahasa nyata. Landasan teoritis keempat, seperti yang sudah sedikit diungkap di atas, melalui task, pembelajaran bahasa diharapkan lebih 'hidup' oleh kegiatan bernegosiasi makna. Potongan kegiatan berbahasa riil, yang selanjutnya disebut task, menjadi 34 sarana siswa atau pembelajar bahasa terjun dalam sebuah lingkungan yang secara terorganisasi diciptakan untuk berlatih berbahasa. Seperti yang dinyatakan Pica, Kanagy, dan Falodun (1993:10), perspektif teoritis yang mendukung penggunaan task komunikatif dalam kelas bahasa kedua yaitu bahwa bahasa dipelajari dan diajarkan dengan baik hanya melalui interaksi. Yang pasti, dukungan terhadap pengajaran bahasa yang berbasis task terus mengalir dan berkembang. Bukti-bukti empiris dari penelitian kelas terus digali. Ciri kelas yang efektif itu, antara lain 1. pengajaran diwadahi oleh kurikulum yang telah diprogramkan sebelumnya, 2. tingginya harapan siswa melalui kegiatan belajarnya, 3. siswa secara cermat dan rajin memperhatikan pelajarannya, 4. instruksi yang disampaikan jelas dan terfokus, 5. kemajuan belajar dipantau secara tak tampak, 6. jika siswa belum mengerti, pengajaran diulang, 7. waktu belajar hanya untuk belajar, 8. kelas nyaman untuk belajar, 9. kelompok belajar dibentuk di kelas sesuai dengan kebutuhan pengajaran, 10. standar perilaku kelas tinggi, 11. interaksi pribadi antara guru dan murid tinggi, dan 12. adanya pemberian insentif atau hadiah bagi yang memperoleh keberhasilan belajar (Richard dan Nunan, 1990:10). Dalam pengajaran bahasa Indonesia, praktik berbahasa melalui tugas-tugas berbahasa (task) menjadi basis utama pengembangan kompetensi berbahasa siswa. Pilihan strategi itu digambarkan dalam bagan berikut. GOAL ---> CONTENT ---> EXPERIENCE ---> EVALUATION <-------------------------------------- 35 Bagan tersebut menempatkan pengalaman berbahasa sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar bahasa. Negosiasi makna dalam bentuk pelatihan berbicara, membaca, menulis, dan mendengarkan berlangsung dalam suasana berbahasa nyata yang telah diorganisasikan oleh guru. Pengkategorian teknik pembelajaran berbahasa lebih teknis dikemukakan oleh Pattison (1987). Ia membedakan tujuh tipe task, yaitu (1) pertanyaan dan jawaban, (2) dialog dan bermain peran, (3) kegiatan mencocokkan, (4) strategi komunikasi, (5) gambar dan menceritakan gambar, (6) puzzels dan masalah, dan (7) berdiskusi dan mengambil keputusan. C. Pengorganisasian Materi Atas dasar pandangan belajar yang diuraikan dalam bagian terdahulu, bagaimanakah seharusnya materi pembelajaran bahasa Indonesia diorganisasikan? Untuk penjawab pertanyaan tersebut, berikut saran teoritisnya. 1. Pembelajaran bahasa Indonesia dibangun dari kerja sama antara guru dan siswa. Kerja sama itu terbentuk dalam 'penyepakatan' bersama tentang kompetensi, tujuan, dan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Inisiator pembuka dan penutup kelas bahasa Indonesia adalah guru, yaitu melalui pernyataannya tentang akan dimulainya topik tertentu, kegiatan yang dipilih, atau diakhirinya topik yang baru dibahas. Atas dasar itu, di masa yang akan datang disarankan agar inisiator berpindah ke siswa, agar tercipta kelas bahasa Indonesia yang 'hidup'. 2. Oleh karena yang terjadi selama ini PBI lebih mengutamakan pada pengetahuan tentang bahasa (form-focused). Atas dasar itu, di masa yang akan datang disarankan agar guru menciptakan kelas menekankan pada pemerolehan bahasa yang sesungguhnya. 3. Oleh karena selama ini sudah menjadi tradisi guru memberikan latihan yang bersifat diskret terhadap salah satu aspek tata bahasa, pada masa yang akan datang disarankan agar guru membangun real-world tasks, yaitu 36 pembelajaran yang berisi contoh ujaran bahasa Indonesia dari wacana autentik dan aktual. Harapannya, input yang diterima siswa adalah input bermakna (comprehensible input), bukan semata-mata input yang direkayasa (modified input). 4. Selama ini, arah interaksi yang tercipta dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah interaksi searah, yaitu dari guru ke siswa, yaitu 'guru bertanya, siswa menjawab'. Selanjutnya disarankan agar guru mengembangkan interaksi kelas dengan multiarah sehingga tercipta 'transactional tasks', yaitu task yang penuh dengan penyampaian ide, perdebatan, menyampaikan opini melalui tulisan. Berikut ini saran teoritis untuk guru dalam mengorganisasikan materi pembelajaran bahasa Indonesia, berdasarkan hasil riset pemerolehan bahasa kedua. 1. Difokuskan pada ‘pemerolehan bahasa (acquisition)’, bukan pembelajaran bahasa (learning). Pemerolehan bahasa merupakan proses yang tidak disadari oleh pembelajar bahasa, sedangkan pembelajaran merupakan proses yang disadari. Dalam proses pemerolehan bahasa, siswa tidak mengalami suatu proses pengajaran tentang pengetahuan linguistik atau tatabahasa secara sadar. Dalam belajar bahasa, sebenarnya secara sadar siswa mengalami pengajaran tentang pengetahuan linguistik atau tatabahasa, tetapi yang digunakan dalam berbahasa adalah justru hasil yang tidak disadari. 2. Menciptakan situasi yang alamiah Pemerolehan bahasa dilaksanakan secara alamiah, sedangkan pembelajaran bahasa dilaksanakan secara tidak alamiah atau artifisial. Penutur bahasa semata-mata memperhatikan pesan yang disampaikan, bukan bentuk ujarannya. Oleh karena itu, kaidah yang diendapkan adalah kaidah implisit. Jadi, guru menghindari ceramah tentang ‘tata bahasa’. Ingat, pernahkah seorang ibu mengajarkan tata bahasa pada anaknya umur tiga tahun? Tahu-tahu, umur empat tahun ia sudah bida berbahasa pertama dengan lancar! Mengapa hal itu tidak kita tiru? 37 3. Difokuskan pada latihan terus-menerus sebagai penajaman Bahan penajaman yang dimaksudkan adalah latihan-latihan yang berupa tugas bercakap-cakap (berbicara), membaca sebanyak-banyaknya, menulis terus-menerus, dan menggali informasi melalui mendengarkan. Latihan-latihan yang diberikan selain diberi porsi yang lebih banyak juga harus memberi motivasi yang menyenangkan untuk berlatih terusmenerus. Dengan demikian, kelas bahasa harus memberikan pajanan yang cukup untuk terjadinya proses pemerolehan bahasa, dengan memperbanyak latihan-latihan berbahasa yang produktif. Wujudnya dengan memperluas materi ketrampilan berbahasa praktis dan aktual, baik dalam pengembangan kosa kata, mendengarkan, membaca, bercakap-cakap, dan menulis. 4. Memberi prioritas atau penekanan pada materi yang paling berguna atau dibutuhkan siswa dalam berbahasa, sesuai dengan tujuan belajar bahasanya. Jika ketentuan ini diikuti, maka apa yang diajarkan akan menjadi masukan yang bermakna. Dalam kurikulum hal itu sudah ditegaskan, bahwa pengajaran bahasa untuk berlatih berbahasa, bukan belajar tentang bahasa. Dalam mengorganisasikan materi, guru harus mempertimbangkan kriteria berikut. 1. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa yang sangat linguistis. 2. Kebutuhan berbahasa nyata siswa harus menjadi prioritas guru. Bahan-bahan pembelajaran disarankan bersifat otentik. 3. Siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan melalui bahasa. 4. Kelas diharapkan menjadi masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang 38 dominan. Guru diharapkan sebagai 'pemicu' kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa agar dihindari. 5. Tugas-tugas (task) dalam pembelajaran bahasa dijalankan secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi maupun kegiatannya. Harus diingat bahwa kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar, berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa itu. Dalam konteks teori pembelajaran umum, pengorganisasian materi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut. 1. Belajar Berbasis Masalah (Problem-Based Learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001). 2. Pengajaran Otentik (Authentic Instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata. 3. Belajar berbasis Inquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti 39 4. 5. 6. 7. metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Belajar Berbasis Proyek/Tugas (Project-Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata. Belajar Berbasis Kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa. Belajar Berbasis Jasa-layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan tersebut, jadi menekanka hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. 40 D. Penilaian Untuk meningkatkan kinerja pembelajaran, telah dipilih kurikulum berbasis kompetensi sebagai acuan. Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. 2. Berpusat pada siswa (kelas menjadi milik siswa), dengan penanda, guru lebih banyak mengarahkan siswa daripada berceramah dan menjelaskan. 3. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. 4. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. 5. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. 6. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Kompetensi. Itulah kata kunci dalam proses belajar mengajar di sekolah kita nanti. Penguasaan kompetensi menjadi target guru dalam mengajar, bukan menuntaskan materi. Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya, yaitu memiliki kompetensi. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’ Sejalan dengan prinsip belajar yang dikembangkan, penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan juga mendasarkan diri pada penilaian yang sebenarnya, yaitu Authentic Assessment. Authentic Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa menberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila 41 data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan di akhir periode saja (akhir semester). Kegiatan penilaian dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Landasan penilaian dalam kurikulum mendatrang adalah pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan, akurat, dan konsisten, sebagai bentuk akutanbilitas kepada publik, melalui identifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporannya kepada orang tua dan masyarakat. Prinsip yang mendasarinya adalah sebagai berikut. 1. Penilaian berorientasi pada pencapaian kompetensi. 2. Dasar pemikirannya, guru menilai apa yang seharusnya dinilai, bukan melulu mengukur pengetahuan siswa. 3. Proses penilaian berlangsung terus-menerus. Data nilai diambil dari berbagai sumber dan berbagai cara, tidak hanya hasil tes. Yang utama, guru menilai dari penampilan, kinerja, dan hasil karya siswa. Yang mendapat nilai tinggi dalam olah raga, adalah siswa yang olah raganya paling bagus. Bukan, hasil ulangan tentang olah raga. 4. Penilaian menekankan pada proses dan hasil. 5. Penilaian dilaksanakan secara berkelanjutan dan komprehensif (mencakup semua aspek). Genesse dan Upshur (1999: 75-264), Evaluasi ada dua cara, tanpa tes dan dengan tes. Evaluasi tanpa tes: observasi, portofolio, conference, jurnal, questionarie, dan interview. Sesuai dengan prinsip authentic assessment, kemampuan berbahasa Indonesia siswa diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Alat penilaian bahasa yang otentik yang disarankan adalah 42 1. Hasil Karya (Product): berupa karya sastra, laporan pengamatan, tulisan, benda, laporan perjalanan, puisi, artikel, essai, cerpen, karya ilmiah populer dll. 2. Penugasan (Project), yaitu bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menyelesaikan sebuah proyek 3. Kinerja (Performance), yaitu penampilan diri dalam kelompok maupun individual, dalam bentuk berbicara, berwawancara, kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum. 4. Tes Tertulis (Paper and Pencil Test), yaitu penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, atau akhir program. 5. Kumpulan Herja Siswa (Portofolio), yaitu kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda, karya tulis, isian, tabel-tabel, dll. Adapun prosedur penilaian mengikuti langkah-langkah yang didasarkan oleh genesse dan Upshur (1999: 6) berikut: Tujuan Penilaian Pengumpulan Data Penafsiran Data Pengambilan Keputusan Dalam tugasnya sebagai manajer kelas, guru melaksanakan beragam penilian. Jenis penilaian yang diterapkan guru, antara lain berikut ini. 1. Penilaian Kelas 2. Tes Kemapuan Dasar 43 3. Penilaian Akhir Satuan Pendidikan dan Sertifikasi 4. Benchmarking. 5. Penilaian Program 44 BAB IV IMPLEMENTASI Dalam bagian ini diuraikan pandangan teoritis mengenai implementasi kurikulum bahasa dan sastra Indonesia mendatang. Secara berturut-turut disampaikan peran pihak dan aspek berikut (1) guru, (2) sarana dan prasarana, (3) buku-buku, (4) perangkat pembelajaran, dan (5) masyarakat. A. Guru Dalam pembelajaran mendatang, siswa perlu lebih mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas yang ideal, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan memanfaatkan gerak mata (scanning). Ketika guru mendemontrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa mengamati guru membaca dan membolak-balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran menemukan kata kunci secara cepat. Secara 45 sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Dalam kasus itu, guru menjadi model. Dalam kelas mendatang, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggeris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’ kompetensi yang harus dicapainya. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penulis novel sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi ‘model’ bagaimana cara menulis yang baik. Pada tahap awal, apa tugas guru sebelum mengimplementasikan kurikulum baru nanti? 1. Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari oleh siswa. 2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual. 4. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka. 5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya. 46 6. Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya. Berkaitan dengan prinsip itu, selanjutnya dapat dikemukakan tugas teknis yang diemban guru guru bahasa Indonesia antara lain sebagai berikut. 1. Menentukan tema. Tema yang ditentukan bersifat tentatif. Tema tersebut bisa ditentukan berdasarkan negosiasi antara guru dengan siswa 2. Merumuskan Tujuan Khusus Pembelajaran yang diturunkan dari Kompetensi dasar yang diacu. Perumusan TKP harus bermakna, fungsional, kontekstual, sekuentif, relevan dengan tingkat kesiapan siswa, menunjukkan keterpaduan dengan TKP sebelumnya/sesudahnya. 3. Merancang materi pembelajaran bahasa Indonesia. Garapan materi pelajaran untuk siswa disusun secara kontekstual dan didasarkan pada rumusan TKP yang ditentukan maupun gambaran strategi belajar yang akan digunakan. 4. Merancang skenario pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang diinginkan. Skenario yang dirancang harus dapat (1) membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa, (2) memunculkan kegiatan observasi, pengajuan pertanyaan, dan penggambaran cara kerja untuk menemukan jawaban pertanyaan, (3) mengembangkan kemampuan kerja sama, (4) merangsang siswa sehingga terdorong melakukan refleksi dan rekonstruksi pemahaman secara internal, dan (5) menentukan bentuk evaluasi proses (assessment) yang digunakan. 5. Menentukan pemanfaatan sumber pembelajaran dan media yang relevan. Sumber pembelajaran yang dipersiapkan bisa berupa perpustakaan, laboratorium, museum, bacaan yang dipersiapkan di kelas, gambar, bagan spesifikasi, bagan arus (flow chart), dan sebagainya. 6. Merancang jadwa pertemuan. Jadwal kegiatan yang disusun tidak harus selalu diikat jam pertemuan formal di kelas. Oleh karena itu, penjadwalannya bisa disusun melalui negosiasi antara guru dengan siswa. 47 7. Menentukan bentuk evaluasi proses dan produk. Evaluasi proses mengacu pada bentuk dan aspek yang dinilai dan dimanfaatkan sebagai dasar pemberian masukan ketika KBM berlangsung. Sementara evaluasi hasil mengacu pada pemberian tes ataupun tugas yang dimanfaatkan untuk menilai hasil belajar siswa. 8. Identifikasi bentuk finalisasi dan tindak lanjut. Finalisasi kegiatan bisa berupa karya tulis yang diangkat sebagai bahan diskusi, naskah pementasan drama,atau gambar dan artikel yang dipasang di majalah dinding. Bentuk finalisasi tersebut pada sisi lain juga menentukan kegiatan lanjut maupun perumusan TKP pada pertemuan berikutnya. Kesimpulannya, guru yang dibutuhkan adalah guru yang informed, yaitu guru yang memiliki kesadaran yang cukup untuk mengimplementasikan Kurikikulum Bahasa dan Sastra Indonesia. B. Sarana dan Prasarana Pembelajaran mendatang berhubungan dengan (1) fenomena kehidupan sosial masyarakat, bahasa, lingkungan hidup, harapan dan cita yang tumbuh, (2) fenomena dunia pengalaman dan pengetahuan siswa, dan (3) kelas sebagai fenomena sosial. Kontekstualitas merupakan fenomena yang bersifat alamiah, tumbuh dan terus berkembang, serta beragam karena berkaitan dengan fenomena kehidupan sosial mesyarakat. Dalam kaitannya dengan ini, maka pembelajaran pada dasarnya merupakan aktivitas mengaktifkan, menyentuhkan dan mempertautkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan membentuk pemahaman melalui penciptaan kegiatan, pembangkitan penghayatan, internalisasi, proses penemuan jawaban pertanyaan, dan rekonstruksi pemahaman melalui refleksi yang berlangsung secara dinamis. Sementara itu, belajar pada dasarnya merupakan proses menyadari sesuatu, memahami permasalahan, proses adaptasi dan organisasi, proses asimilasi dan akomodasi, proses menghayati dan memikirkan, proses mengalami dan merefleksikan, proses membuat komposisi dan membuka ulang secara terbuka dan dinamis. Itulah sebabnya, dalam kelas 48 mendatang, pemanfaatan sumber belajar yang alamiah itu penting. Siswa diharapkan belajar dengan berbagai cara dan berbagai sumber. Berkaitan dengan keyakinan di atas, maka pembelajaran haruslah ditandai dengan (1) proses mengobservasi sesuatu, (2) membuat pertanyaan, menghubungkan sesuatu yang ditanyakan dan ingin dipahami dengan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya, (3) menempuh kegiatan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan melalui kerja sama dengan orang lain, (4) membahas hasil pemahaman melalui pembahasan dengan orang lain, serta (5) memikirkan kegiatan yang telah dilakukan dan pemahaman yang diperoleh, menanggapi, membuat kesimpulan, misalnya dalam bentuk penulisan di jurnal, pemajanan di majalah dinding, dan sebagainya. Dalam kontekitu, sumber-sumber belajar yang dapat digunakan sangat bervariasi. Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi belajar dari apa dan siapa saja. Sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa indonesia antara lain berikut ini. 1. kelas yang 'terbuka' dan nyaman (kelas yang terbuka maksudnya, tidak selalu dibatasi oleh dinding; semua tempat adalah kelas) 2. buku-buku umum 3. buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang berkualitas 4. majalah-majalah remaja, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah 5. biografi tokoh 6. teks-teks petunjuk, peta, data statistik 7. syair-syair lagu, puisi, teks pidato, dll. C. Buku-Buku Bagaimanakah buku pelajaran yang menunjang implementasi kurikulum bahasa indonesia mendatang? Jawabannya, pertama, buku yang baik adalah buku yang benarbenar mendukung pencapaian tujuan pembelajaran bahasa 49 seperti yang diungkapkan di atas. Kualitas buku seharusnya menjadi ukuran guru memakai atau tidak buku tertentu. Untuk buku bahasa (khususnya bahasa Indonesia), ukuran kualitas itu ada pada Bahan yang diajarkan menunjang pencapaian kompetensi dasar yang diinginkan. Memiliki kekayaan latihan (latihan yang diberikan lebih kaya dan menarik). Teks bacaan yang dikutip aktual dan otentik. Banyak ilustrasi dan gambar, yang tampak dari penampilan grafikanya yang indah dan menarik. Teks yang dikutip disesuaikan dengan siswa, yang diambil dari: majalah anak, syair lagu, brosur, petunjuk/peta, koran, dsb. Diterbitkan oleh penerbit yang profesional: naskah telah mengalami seleksi, pengujian, penyuntingan oleh ahli, dan dicetak dengan kualitas cetak yang baik. Telah memenuhi syarat standar penilaian buku pelajaran yang ditetapkan oleh Pusat Perbukuan Nasional. D. Perangkat Pembelajaran Agar dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan prinsip pembelajaran berbasis kompetensi, salah satu aspek yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah penyusunan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran itu meliputi (1) Program Satuan Pelajaran, (2) Rencana Pembelajaran (RP), (3) materi pembelajaran, (4) evaluasi proses dan hasil, dan (5) lembarlembar kegiatan siswa (LKS). Prinsip penyusunan kelima aspek itu dikemukakan berikut ini. 1. Program Satuan Pelajaran (Lesson Plan) merupakan rencana kegiatan belajar mengajar yang disusun untuk paling sedikit 2 kali pertemuan, dan paling banyak 11 kali pertemuan. Program Satuan Pelajaran merupakan kesatuan utuh yang disusun dalam Unit tertentu. Itulah sebabnya Program Satuan Pelajaran (PSP) juga disebut sebagai Unit Plan. 50 2. Penyusunan PSP harus dilandasi pendekatan dan strategi tertentu. Ditinjau dari isi dan substansinya, pendekatan yang digunakan dalam penyusunan PSP mata pelajaran BI antara lain Pendekatan Terpadu (Integrated Approach), ditinjau dari aktivitas pembelajarannya mengacu pada pendekatan Contextual Teaching an Learning dan Pendekatan Proses(Process Approach), sementara ditinjau dari strategi penyusunannya sebagai PSP pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Tema (Theme Approach) yang lebih lanjut akan berhubungan dengan strategi unit. 3. Merujuk pada konsepsi Rubin (1995), pendekatan terpadu memuat konsepsi, bahwa pembelajaran bahasa mesti menunjukkan (1) keterpaduan antara tingkat pengalaman, minat, motivasi, dan prior knowledge siswa dengan bentuk dan isi pembelajaran, (2) keterpaduan antara komponenkomponen yang diajarkan, misalnya antara membaca, menyimak, menulis, wicara, struktur, dan kosakata maupun pembelajaran dalam bidang apresiasi sastra sehingga membentuk pengalaman belajar dan pemahaman yang utuh, dan (3) keterpaduan antara sesuatu yang dipelajari, pengalaman belajar yang diperoleh, dengan realitas penggunaan bahasa secara konkret. 4. Pendekatan proses berisi konsepsi (1) dalam pembelajaran bahasa mesti terjadi internalisasi atas sesuatu yang dipelajari yang ditandai oleh adanya kegiatan menggambarkan, mempersepsi, memaknai, menemukan, mengklasifikasikan, menyusun, menilai, memaparkan yang keseluruhannya berlangsung secara dinamis, (2) dalam proses pembelajaran, proses tersebut dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yakni tahap persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian ataupun tindak lanjut, dan (3) kegiatan belajar bahasa, baik yang reseptif maupun produktif memerlukan kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif dari siswa. 5. Dalam konteks pembelajaran sastra terdapat Pendekatan Interaksi Dinamis yang memuat konsepsi bahwa (1) pembelajaran sastra mesti menunjukkan interaksi antara siswa, karya sastra, dan gambaran realitas kehidupan secara konkret, (2) dalam proses pembelajaran sastra mesti 51 berlangsung aktivitas rekognisi, retensi, dan rekreasi atas karya sastra yang dipelajari, serta (3) pemahaman terhadap karya sastra bersifat terbuka dan dinamis sehingga pemaknaan atas suatu karya sastra memberi peluang kemunculan berbagai kemungkinan penafsiran dan penyimpulan. 6. Pendekatan Tema memuat konsepsi bahwa pembelajaran dapat diuntai dan memuat tema dalam area isi tertentu sejalan dengan topik-topik yang mau digarap/diembankan. E. Pemberdayaan Peran Masyarakat Penerapan kurikulum mendatang diharapkan melibatkan semua pihak. Dalam konteks penerapan KBK, masyarakat dan orang tua siswa menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem persekolahan. Orang tua siswa atau wali siswa berperan dalam membantu memantau kemajuan belajar siswa melalui laporan yang dibuat oleh guru. Tugas orang tua atau wali siswa, antara lain berikut ini. 1. Mencermati dan memberikan kometar atas karya yang dibuat putera puterinya. 2. mencermati dan ikut memberikan catatan atas komentar dan catatan yang dibuat oleh guru atas unjuk kerja putera puterinya 3. Mencermati hasil tes tulis putera puterinya. 4. Mencermati kumpulan hasil kerja putera puterinya, yang didokumentasikan selama satu semester atau satu tahun. Dokumen ini disebut dokumen portofolio. 5. Memberikan fasilitas yang bisa menciptakan pajanan terusmenerus agar siswa bisa meningkatkan kompetensi komunikatifnya dalam bahasa Indonesia. 52 DAFTAR RUJUKAN A Forum Brief.1999. Contexrtually Based Learning: Fad or Proven Practice. http://www.aypf.org/forumbriefs/1999/fbo70999.htm Baradja, M.F. 1990. Kapita Selecta Pengajaran Bahasa. Malang: Penerbit IKIP MALANG. Beach, Richard dan Lillian Bridwell. 1984. Learning Through Writing: A Rationale for Writing Across the Curriculum. The Development of Oral and Written Language in School Contexts. Pellegrini, Anthony D. dan Thomas D. Yawkey (eds.). Norwood: Ablex Publishing Co. Blair, Robert W. 1982. Innovative Approach to Language Teaching. Massachussetts: Newbury House Publisher, Inc. Bransford, J.D., Brown, A.L., Cocking, Rodney R. 1999. How People Learn: Brain Mind, Experience, and School. Washington: National Academy Press.What Do Brown, H.D. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. Englewood Cliffs: Prantice-Hall Inc. Candlin, Christopher dan Murphy. 1987. Language Learning Tasks. London: Pretice-Hall International. Chaika, Elaine. l982. Grammar and Teaching. Termuat dalam Harold B. and Linen Michael D. (ed.). 1982. Reading in Applied Linguistics. New York: Alfred A. Knopt. Council on Economic Development (CED). 2001. “High Literacy” and Language Art Curriculum. School Improvement in Maryland. (online). (http://www.mdk12.org/practices/ good_instruction/projectbetter/ elangarts/ela-64-66.html Crookes, Graham dan Gass, Susan M. 1993. Task Language Learning: Integrating Theory and Practice. Clevedon: Multilingual Matters Ltd. 53 Departement of Labor. 2001. Job Training Partnership Act, Title III, Demonstration Program: Contextual Learning Demontration Program. http://wdsc.doleta.gov/sga/sga/99-008sga.htm DeStefano, Johanna S. 1984. Learning to Communicate in the Classroom. The Development of Oral and Written Language in Social Contexts. Dubin, Fraida dan Gistein, Elite. 1986. Course Design: Developing and Materials for Language Learning. London: Cambridge University Press. Eanes, Robin. 1997. Content Area Literacy: Teaching for Today and Tomorrow. Albany: Delmar Publisher Education Commission of The States Initiative. 2000. ServiceLearning and Preservice Teacher Education. Learning in Indeed Issue Paper.www.ecs.org. Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Gay Su Pinnell dan Myna L. Matlin (eds.). 1989. Teachers and Research Language Learnng in the Classroom. Newark: IRA Genesse, Fred dan Upshur, John A. 1999. Classroom – based Evaluation in Second Language Education. Cambridge: Cambridge University Press. Graves, Donald. 2001. Emergent Reading and Writing Connection. School Improvement in Maryland. (online). (http://www.mdk12.org/practices/ good_ instruction/projectbetter/elangarts/ela-97-99.html Hamid, Fuad Abdul. 1987. Prosedur Belajar-Mengajar Bahasa. Jakarta: Depdikbud, Dikti PPLPTK. Hanley, S. On Constructivism. Maryland: Maryland Collaborative for Teacher Preparation. Huda, Nuril. 1999. Menuju Pengajaran Bahasa Berbasis Strategi Belajar: Implikasi Kajian Strategi Belajar Bahasa Kedua. Makalah disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar 54 dalam Bidang Ilmu Pemerolehan Bahasa Kedua pada FPBS IKIP MALANG, di Malang, 12 Mei 1999. Kasihani, K., Latief, A., Nurhadi. 2002. Pembelajaran Berbasis CTL (Contexstual Teaching and Learning). Makalah disampaikan pada Kegiatan Sosialisasi CTL untuk Dosen-Dosen UM. Malang, 12 Februari 2002 Kratf, N. 2000. Criteria for Authentic Project-Based Learning. Denver: RMC Reseach Corporation. Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press. Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press. Nurhadi. 2000. Penerapan Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: PPS Universiats Negeri Malang. Nurhadi. 2004. Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Palinscar, Annemarie S. dan Ann L. Brown. 2001. StudentGenerated Questions. School Improvement in Maryland. (online). (http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/Project better/elangarts/ela-46-47.html) Platt, Nancy G. 1989. What Teachers and Children Do in a Language Rich Classroom, dalam Teachers and Research: Language Learning in the Classroom. Gay Su Pinnel (eds.). Newark: IRA Raimes, Ann. Why Write? From Purpose to Pedagogy. Forum, Vol. XXV No. 4, Oct. 1987 Resnick, L. 1987. Education and Learning to Think. Washington, D.C.: National Academy Press 55 Salinger, Terry. 2001. Literate Environment. School Improvement in Maryland. (online). (http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/project better/elangarts/ela-62-63.html) Sudaryanto. 1993. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia SD Kurikulum 1994. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pengajaran Bahasa Indonesia III, di Jember, 2--4 Desember 1993. Suyono, 2004. Konteks, Landasan Akademik, dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Makalah disampaikan dalam Semimar Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM, tannggal 14 Oktober 2004. Syafi'ie, Imam. 1992. Problematik Pengajaran BI di Sekolah Menengah (Mengantisipasi Hadirnya Kurikulum 1994. Termuat dalam jurnal Bahasa dan Seni. Nmr. 50, Th. XX, Februari 1992. Talbert, J.E. & McLaughlin, M.E. 1999. Understanding Teaching in Context. Educational Leadership, Volume 57 (3). We Mean by Inquiry? http://www.zoology.duke.edu/cibl/inquiry/what is inquiry.htm Zahorik, John A. 1995. Constructivist Teaching (Fastback 390). Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation. 56