Hakikat Proses Belajar Bahasa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia itu
tergantung pada kualitas pendidikannya. Peran pendidikan sangat
penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai,
terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan
harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
suatu bangsa.
Kemajuan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui
penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu
pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat
manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pembaharuan pendidikan di
Indonesia perlu terus dilakukan untuk menciptakan dunia
pendidikan yang adaptif terhadap perubahan zaman.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar
dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak
menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana
pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan
sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di
sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang
rendah. Anak-anak hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal
fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan
pemecahan masalah belum mereka kuasai. Itu sebagian dari
persoalan dalam dunia pendidikan kita yang saat ini terus kita
benahi bersama. Salah satu bentuk usaha meningkatkan mutu
pendidikan kita adalah menciptakan kurikulum yang lebih
memberdayakan anak-anak. Untuk itu, perlu dirancang sebuah
kurikulum yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan
nasional, yakni melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas dan
kompeten. Kurikulum tersebut dikenal dengan kurikulum berbasis
kompetensi.
Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi
mengacu kepada perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk
menuntaskan kegiatan sehari-hari dengan berhasil. Jika dilihat dari
sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya juga
dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan
1
menggunakan lulusan sekolah sehingga rumusannya berhubungan
dengan pekerjaan yang akan dipilih siswa. Konsep ini ternyata juga
diadopsi di negara-negara seperti Amerika dan Australia dalam
konteks pengajaran bahasa yang dikenal dengan Competency-Based
Language Teaching yang disingkat CBLT. CBLT didasarkan pada
model rancangan kurikulum yang memperhatikan faktor efisiensi
ekonomi dan sosial yang memberikan kemampuan kepada siswanya
untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat
(Richards 2001:132)
Perkembangan terkini yang terjadi di negara seperti
Australia dan Amerika Serikat menunjukkan pergerakan menuju
pengembangan “standar”. Standar, atau yang lazim disebut
benchmark, diterapkan untuk mengukur tingkat literasi
(kemahirwacanaan) siswa. Silabus bahasa Inggris sekolah dasar
Australia, misalnya, secara jelas merumuskan standar literasi apa
yang diharapkan dicapai siswa pada tiap akhir tahun pelajaran. Di
Amerika Serikat, pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing pun
telah memasuki era standar ini. Organisasi profesi pengajar bahasa
Inggris TESOL, misalnya, telah mengembangkan standar-standar
dalam bentuk kompetensi yang harus dicapai siswa mulai taman
kanak-kanak hingga kelas dua belas (Richards 2001:133). Tujuannya
tak lain adalah untuk membekali kemampuan kepada lulusan agar
dapat berpartisipasi dalam dunia yang senantiasa berubah.
Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar
melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa
pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh
karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang
memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk
menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su
Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan
keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang
kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru)
memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi
dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran
language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks
adalah inti kemahirwaanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED,
2001). Pada mulanya, di AS,
literasi tingkat tinggi hanya
2
merupakan tujuan pendidikan lembaga pendidikan elite, sementara
lembaga pendidikan massal (pada umumnya) hanya mengarah pada
literasi tingkat rendah. Dalam perkembangan selanjutnya, terkait
dengan pertumbuhan masyarakat industri yang sangat tergantung
pada informasi dan teknologi, standar literasi menjadi meningkat ke
arah literasi tingkat tinggi. Oleh karena itu, guru language arts atau
guru bahasa pada umumnya dituntut dapat meningkatkan literasi
tingkat tinggi pada siswanya. Untuk mencapai tuntutan literasi
tingkat tinggi tersebut langkah pengembangan literasi lintas
kurikulum merupakan upaya realistis yang perlu terus diujicobakan
(Resnick, 1987; CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa
dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi
(literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran
karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling
berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan
untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication)
(Salinger, 2001). Lingkungan yang kaya bahan cetakan dan memberi
kesempatan untuk menggunakannya akan mendorong siswa
mengujicobakan dengan literasi. Siswa merasa membaca-menulis
sebagai cara baru mengomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan
bahasa lisan. Mereka mengobservasi lingkungan cetakan (sumbersumber cetakan) dan “bermain” membaca dan menulis. Dengan
cara ini mereka merasa bahwa literasi adalah bagian dari
perkembangan alamiah mereka (Salinger, 2001). Demikian juga,
guru yang memahami bahwa membaca dan menulis sering
berkembang secara simultan dapat membantu siswa menemukan
kembali kemunculan keterampilan literasi di dalam sebuah konteks
yang bermakna (Graves, 2001).
Selain kesadaran-kesadaran baru yang dimotivasi oleh
perubahan praktis dalam kehidupan sehari-hari, terjadi pula
kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoretis atau filosofis yang
membentuk paradigma baru dalam memaknai pengajaran bahasa.
Pemaknaan baru yang antara lain disebabkan oleh hasil-hasil
penelitian di bidang linguistik terapan otomatis mempengaruhi
kurikulum pengajaran bahasa. Ini adalah perubahan alami sebab
pengembangan kurikulum berada dalam area linguistik terapan
(Richards 2001:2). Kemajuan-kemajuan temuan di bidang ini
3
tampaknya juga telah mempengaruhi kurikulum-kurikulum di negara
maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Singapura, dan
sebagainya. Perubahan yang cukup signifikan adalah diletakkannya
wacana atau discourse dalam posisi sentral.
Meskipun kesadaran akan pentingnya wacana dalam dunia
pendidikan bahasa telah ada selama kurang lebih tiga puluh
tahunan, namun baru belakangan ini analisis wacana memasuki
jalur utama dalam pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi di Eropa dan Amerika (Kern 2000:18). Pergeseran
paradigma pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang
menyiapkan siswanya untuk memiliki kompetensi agar dapat
berpartisipasi dalam masyarakat moderen ini disebut oleh Kern
(2000:15) sebagai pendekatan literasi. Pendekatan ini menurut
Kern:
represents a style of teaching educators ought to consider if
they wish to prepare learners for full participation in societies
that increasingly demand multilingual, multicultural and
multitextual competence (Kern, 2000:15-16)
Berpartisipasi
dalam
komunikasi
bahasa
berarti
berpartisipasi dalam penciptaan teks, baik lisan maupun tulis.
Haliday dan Hasan (1976:1) mendefinisikan teks sebagai wacana,
lisan maupun tulis, seberapapun panjangnya, yang membentuk satu
kesatuan yang utuh. Hymes (1971:10) menyebut kemampuan
berkomunikasi, yang berarti menciptakan wacana, sebagai
communicative competence. Dengan demikian, kurikulum yang
mengklaim sebagai berbasis kompetensi perlu mendefinisikan
secara jelas apa yang dimaksud dengan communicative
competence.
Ketegasan mengenai kompetensi apa yang perlu
dikembangkan dan bagaimana mendefinisikan kompetensi inilah
yang menandai perbedaan kurikulum ini dengan kurikulum
sebelumnya. Pembahasan mengenai konsep kompetensi yang
mendasari kurikulum ini dapat ditemukan dalam Bab II. Sejauh ini
dapat dikatakan bahwa kurikulum 2004 ini berbeda dengan
kurikulum pendahulunya dalam dua hal yang mendasar. Pertama,
Kurikulum ini didasarkan kepada rumusan kompetensi komunikatif
yang didefinisikan sebagai kompetensi wacana sebagai kompetensi
4
utama dan, kedua, untuk mencapai kompetensi wacana tersebut
digunakan pendekatan (pendidikan) literasi.
5
BAB II
LANDASAN PENGEMBANGAN
Dalam
bagian
ini
diuraikan
mengenai
landasan
pengembangan Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia. Secara
berturut-turut disampaikan (1) landasan yuridis, (2) landasan
empiris, dan (3) landasan teoritis.
A. Yuridis
Realitas sosial dan politik yang berkembang di masyarakat
menuntut dunia pendidikan kita berubah. Beberapa hal yang
menunjukkan hal itu diuraikan di bawah ini.
1. Lahirnya berbagai kebijakan pemerintah, seperti (1)
pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah sebagai
Daerah Otonom, yang antara lain menyatakan bahwa
Pemerintah Pusat berkewenangan dalam menentukan
kompetensi anak-anak, kurikulum, dan materi pokok;
penilaian nasional; dan kalender pendidikan; (3) Garis-garis
Besar Haluan Negara tahun 1999 yang antara lain
menyatakan perlunya dilakukan penyempurnaan kurikulum
dan diverivikasi pendidikan; (4) Gerakan Peningkatan Mutu
Pendidikan yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik
Indonesia pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
2002.
2. Adanya berbagai ketimpangan dalam kehidupan, seperti
moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial dan politik, serta
ekonomi.
3. Semakin terbatasnya sumber alam dan kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak pada
tingkat lokal, nasional dan persaingan pada tingkat global.
4. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
dampaknya terhadap kehidupan.
Atas dasar itu Pemerintah menyempurnakan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah yang ada saat ini. Kurikulum
6
1994 yang sudah diberlakukan selama sepuluh tahun akan
disempurnakan menjadi Kurikulum 2004. Kedua kurikulum itu
berbeda landasan dan orientasinya. Kurikulum 1994 bersifat
content-based, sedangkan Kurikulum 2004 bersifat competencybased.
Pengembangan Kurikulum 2004 didasari oleh landasan
yuridis yang kuat. Kurikulum 2004 dilandasi oleh kebijakankebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan sebagai berikut.
1. UUD 1945 dan perubahannya
2. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN
3. Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
4. Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom.
Undang-undang
Nomor
22
tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom berimplikasi terhadap
kebijaksanaan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat
sentralistik ke desentralistik. Pergeseran pengelolaan tersebut
berimplikasi pada penyempurnaan kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Penyempurnaan kurikulum tersebut mengacu pada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu berkenaan dengan pasal-pasal
sebagai berikut:
1. Pasal
3
tentang
Pendidikan
Nasional
berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
7
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab;
2. Pasal 35 Ayat (1) tentang Standar nasional pendidikan terdiri
atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan,
sarana
dan
prasarana,
pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala;
3. Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional dan tujuan
pendidikan, serta memperhatikan prinsip diversifikasi sesuai
dengan potensi peserta didik;
4. Pasal 37 Ayat (1) tentang muatan wajib pada kurikulum
pendidikan dasar dan menengah; dan
5. Pasal 38 Ayat (1) tentang kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh
Pemerintah, dan Ayat (2) tentang peran koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama
kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk
pendidikan menengah dalam pengembangan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah.
Pengembangan Kurikulum 2004 merupakan refleksi,
pemikiran, atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 beserta
pelaksanaannya. Hasil analisis yang mendalam terhadap
keadaan dan kebutuhan peserta didik di masa sekarang dan yang
akan datang menunjukkan perlunya Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang dapat membekali peserta didik untuk
menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis,
rasional dan kreatif.
Upaya peningkatan mutu pendidikan yang harus dilakukan
secara menyeluruh mencakup pengembangan dimensi manusia
Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi
pekerti, perilaku, pengetahuan, kesehatan, keterampilan dan
seni. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada
8
peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup yang
diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk
bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa
datang. Dengan demikian, peserta didik memiliki ketangguhan,
kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui
pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan
penyempurnaan kurikulum sekolah dan madrasah yang berbasis
pada kompetensi peserta didik.
Inklusif pada pemberlakukan Kurikulum 2004 itu,
diberlakukan pula Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia adalah salah satu program untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan
sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia. Fungsi mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1) sarana
pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana
peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan
pengetahuan
dan
keterampilan
untuk
meraih
dan
mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni, (4)
sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa dan Sastra Indonesia
yang baik untuk berbagai keperluan, (5) sarana pengembangan
penalaran, dan (6) sarana pemahaman keberagaman budaya
Indonesia melalui khasanah kesastraan Indonesia.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia setidaknya terkait dengan beberapa
konteks berikut.
Pertama, kegagalan MPBI di sekolah (SD—SMA). Diakui
atau tidak pembelajaran MPBI di sekolah telah gagal dalam
membantu siswa terampil berpikir dan berbahasa sekaligus.
Bahkan ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan
bahwa tidak ada MPBI pun siswa dapat berbahasa Indonesia
seperti saat ini, asalkan mereka diajari membaca dan menulis
oleh guru (bukan guru BI). Belajar dari kegagalan itu, untuk
waktu yang akan datang perlu diciptakan kurikulum yang dapat
mengondisikan siswa benar-benar dapat belajar berpikir dan
9
berbahasa secara optimal. Oleh karena itu, dilahirkanlah KBK
MPBI.
Kedua, tuntutan kebutuhan masa depan. Siswa akan
menghadapi tuntutan kebutuhan yang semakin kompleks,
terutama dalam masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam
masyarakat berbasis pengetahuan, bahan tercetak dan online
akan melimpah. Persaingan juga semakin kompetitif, di samping
peluang juga semakin banyak. Untuk memenangkan kompetisi
itu siswa wajib memiliki kemampuan berpikir dan berbahasa
secara memadai. KBK MPBI memungkinkan siswa dapat
mengembangkan dirinya secara optimal dalam masyarakat
berbasis pengetahuan tersebut.
Ketiga, kesadaran para pengambil kebijakan. Berbagai
pihak telah mulai sadar bahwa siswa bersekolah tidak hanya
untuk menghadapi berbagai ujian, akan tetapi lebih jauh dari
itu, siswa bersekolah untuk menyiapkan dirinya memasuki
kehidupan. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun diarahkan
untuk benar-benar menyiapkan siswa memasuki kehidupan,
yakni berbahasa dan berpikir sekaligus untuk berbagai keperluan
dan konteks nyata di masyarakat.
B. Empiris
Secara umum, hasil pendidikan kita belum memuaskan.
Hal itu tercermin pada laporan beberapa lembaga internasional
berkenaan dengan tingkat daya saing sumber daya manusia kita
dengan negara-negara lain. Seperti yang terungkap dalam
catatan Human Development Report Tahun 2000 versi UNDP,
peringkat HDI (Human Develompment Index) atau kualitas
Sumber Daya Manusia Indonesia berada di urutan 105 dari 108
negara. Indonesia berada jauh di bawah Filipina (77), Thailand
(76), Malaysia (61), Brunei Darussalam (32), Korea Selatan (30),
dan singapura (24). Organisasi internasional yang lain juga
menguatkan hal itu. International Educational Achievement
(IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD
Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvey.
Sementara itu, Third Matemathics and Science Study (TIMSS),
lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan
10
bahwa kemampuan matematika anak-anak SMP kita berada di
urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di
urutan ke-32 dari 38 negara.
Pembaharuan pendidikan di Indonesia memang harus terus
dilakukan. Perlu diupayakan penataan pendidikan yang bermutu
dan terus menerus, yang adaptif terhadap perubahan jaman.
Rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia itu memang
tidak lepas dari hasil-hasil yang dicapai oleh pendidikan kita
selama ini. Dan, harus diuakui, masih banyak persoalan yang
dihadapi dunia pendidikan kita. Selama ini hasil pendidikan
hanya tampak dari kemampuan anak-anak menghapal faktafakta. Walaupun banyak anak-anak mampu menyajikan tingkat
hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi
pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara
mendalam substansi materinya. Pertanyaannya, bagaimana
pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta
saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan
pengetahuan tersebut dalam situasi baru? Hal itu disadari benar
oleh pengembang pendidikan di Indonesia
Dalam konteks peningkatan kemampuan baca-tulis anakanak Indonesia, laporan yang dibuat International Educational
Achievement (IEA) di atas menunjukkan posisi ketercapaian
pembelajaran bahasa Indonesia SD—SMU. Salah satu survei yang
didanai Proyek Bank Dunia menyebutkan bahwa sekitar 50%
siswa SD kelas IV di enam provinsi daerah binaan PEQIP (Primary
Education Quality Improvement Project/Proyek Peningkatan
Kualitas Pendidikan Dasar) di Indonesia, tidak bisa mengarang
(Republika, 2 Maret 1999). Hal tersebut disebabkan selama ini
siswa SD lebih banyak mendapat pelajaran menghafal, daripada
praktik termasuk mengarang, kata pemerhati pendidikan asal
Inggris Stuart Weston, yang juga konsultan Bank Dunia,
mengenai proyek pendidikan dasar untuk Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, melalui pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah, anak-anak meningkatkan kemampuan
berbahasa Indonesianya. Melalui pengajaran bahasa Indonesia,
anak-anak berlatih membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
diajarkan sejak taman sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
11
Dengan kata lain, kemampuan berbahasa Indonesia mendapat
penekanan dalam pencapaian kompetensi dasar, pemilihan
materi, dan distribusinya di sekolah dasar dan menengah di
Indonesia.
Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah
dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang
secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar,
tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anakanak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar
anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (periksa
Samsuri, 1987; Sadtono, 1988).
Melalui harapan di atas, pengajaran bahasa Indonesia
dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan
praktis berbahasa Indonesia, seperti (1) menulis laporan ilmiah
atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran pekerjaan,
(3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis
dan kreatif dalam membaca, atau (5) membuat karangankarangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca,
brosur-brosur, dan sebagainya. Apapun bahan atau aturanaturan bahasa yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.
Masalahnya,
mengapa
keluhan
terhadap
hasil
pembelajaran bahasa Indonesia masih sangat terasa? Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa sejauh ini, belum banyak hasil
yang dicapai oleh pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar
dan menengah. Fokus pembelajaran bahasa Indonesia hanya
pada tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan
berbahasa kurang. Murid hanya menghafal jenis kata,
pengertian kalimat, fungsi-fungsi awalan, dan beragam
peribahasa usang. Lalu, manakah kemampuan membaca dan
menulis kreatif yang seharusnya dikuasai anak-anak melalui
pengajaran bahasa Indonesia? Mengapa para mahasiswa, dosen,
bahkan seorang pakar pun sering salah dalam menyusun kalimat
dalam makalah-makalahnya? Mengapa banyak makalah yang
sulit untuk dimengerti oleh pembaca? Lalu, apa yang 'diurus'
oleh guru bahasa Indonesia sehari-hari?
12
Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa pengajaran
bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya.
Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the
language) daripada melatih menggunakan bahasa (using
language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah
penguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia
lebih banyak berkukat dengan pengajaran tata bahasa,
dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia
nyata (periksa Nurhadi, 2000)
Lemahnya pengajaran bahasa Indonesia itu tidak lepas dari
tradisi mengajarkan bahasa Indonesia berpuluh-puluh tahun
terakhir ini. Dalam sejumlah penelitian ditemukan sejumlah
materi yang relevansinya dengan kegiatan berbahasa Indonesia
sehari-hari anak-anak rendah. Materi-materi yang tingkat
kebergunaannya rendah itu antara lain materi-materi tata
bahasa yang bersifat teknis linguistik, seperti teori linguistik
umum dan pengetahuan tentang tata bahasa deskriptif
struktural bahasa Indonesia.Dari 20 topik struktur bahasa
Indonesia yang diajarkan di SLTP, aspek tata bentukan kata
mendominasi materi struktur bahasa Indonesia untuk SLTP.
Dalam komunikasi sehari-hari dalam bahasa Indonesia,
pengetahuan implisit mengenai tata bentukan kata bahasa
Indonesia rata-rata telah dikuasai dengan baik anak-anak SLTP
di Indonesia. Masalahnya, yang kemudian terjadi adalah guru
cenderung mengajarkan 'teori tentang morfologi' bahasa
Indonesia. Untuk itu, disarankan agar topik tata bentukan kata
bahasa Indonesia dikurangi, atau diajarkan 'sambil lalu' dalam
kegiatan kreatif berbahasa, seperti dalam latihan menulis. Bisa
dipahami jika kemudia ditemukan fakta bahwa kemampuan
baca-tulis anak-anak Indonesia lemah dibandingkan dengan
kemampuan baca-tulis anak-anak negara lain.
Secara empiris, perlu didesain sebuah kurikulum bahasa
dan sastra Indonesia yang berorientasi pada pencapaian
kompetensi
komunikatif
berbahasa
Indonesia
yang
sesungguhnya.
13
C. Teoritis
Pengembangan Kurikulum 2004 bidang studi bahasa dan
sastra Indonesia dilandasi oleh pertimbangan teoritis sebagai
berikut. Sejak munculnya penolakan terhadap paham
behaviorisme dalam pengajaran bahasa melalui metode
Drillnya, lahir pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa
yang dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes
menciptakan istilah communiicative competence, yaitu
kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan
gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial.
Pandangan itu kemudian mendasari pengembangan pendekatan
komunikatif dalam PBI, dalam Kurikulum 1994.
Dalam perkembangannya, kompetensi komunuikatif yang
dikuasai siswa dipandang kurang luas cakupannya ditinjau dari
tuntutan realitas mengenai penggunaan bahasa dalam konteks
kehidupan modern. Madsudnya, kompetensi komunikatif hanya
ingin meningkatkan kompetensi berbahasa dalam konteks
berbicara, membaca, dan menulis. Sementara itu, aspek isi
(content) kurang diperhatikan. Persoalannya sekarang,
bagaimana kompetensi komunikatif itu mencakup juga
kemampuan mengembangkan isi. Maka, berkembanglah konsep
kemahiran wacana (discourse competence) yang saat ini digagas
dan diuangkan dalam Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis
Kompetensi). Pembelajarannya berciri sebagai berikut: alamiah
(authenticity), pengalaman nyata (real-world), dan tugas-tugas
bermakna (meaningful task).
Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya
interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis
besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan
bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal
berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan
faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri
pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua
macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan
bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas (1) kealamiahan
bahasa, (2) peranan anak-anak dalam berkomunikasi, (3)
tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk
14
menjelaskan makna, dan (4) ketersediaan model atau contoh
yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan
kelas di mana anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa
menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan
berbahasa, buka hanya tahu tentang bahasa saja.
Penelitian tentang pengajaran bahasa dilaksanakan untuk
memperoleh data yang nyata dari kelas yang sebenarnya
tentang faktor-faktor di atas. Ada empat isu pokok yang dicari
jawabannya di kelas yaitu: (1) pengaruh pengajaran formal oleh
guru, (2) bahasa guru, (3) perilaku anak-anak di kelas, dan (4)
interaksi yang terjadi di kelas. Dari data itu diharapkan dapat
dikembangkan rancangan atau pilihan rancangan pengajaran
bahasa yang 'ideal' untuk diterapkan di kelas bahasa Indonesia.
Isu penting yang dicari jawabannya di kelas adalah, bagaimana
anak-anak memperoleh bahasanya? Jawaban atas pertanyaan ini
kemudian dikemas dalam kesimpulan berikut.
1. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan
memproduksi ujaran dalam bahasa target secara lebih
sering, lebih tepat, dan dalam variasi yang luas.
2. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya dengan cara
mengolah input dari ujaran orang lain.
3. Anak-anak mengembangkan bahasa keduanya melalui
pelibatan diri dalam tugas atau interaksi yang menuntut
adanya kemampuan kreatif berkomunikasi dengan orang lain
(Ellis, 1986).
Kesimpulan pertama sebenarnya mengikuti pandangan
lama yang menyatakan bahwa sebuah ketrampilan yang dimiliki
seseorang adalah produk dari latihan praktis ketrampilan
tersebut. Dalam hubungan ini para ahli mengajukan apa yang
disebutnya 'comprehensible output hypothesis', yaitu ujaran
adalah sumber linguistik yang baik bagi sesorang untuk
mengembangkan kemampuan berbahasanya. Dengan kata lain
anak-anak mampu membaca melalui membaca, mampu menulis
melalui menulis, dan mampu berbicara melalui berbicara. Oleh
karena itu, ujaran anak-anak tidak boleh hanya sekedar
menyampaikan pesan, tetapi pesan itu harus disampaikan secara
tepat dan benar.
15
Hal itulah yang kemudian menjadi cacatan penting dalam
penelitian npengajaran bahasa, yaitu pengikutsertaan anak-anak
dalam latihan komunikasi itu amat penting. Anak-anak dengan
tingkat pembangkitan input yang tinggi (high input generating)
memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya,
menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang
lain. Anak-anak yang lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam
berlatih berbahasa nyata atau pasif dalam berkomunikasi
menggunakan bahasa.
Inti dari temuan itu, bahwa keaktifan anak-anak di kelas
melalui berlatih berujar secara nyata. Penelitian-penelitian itu
pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru tentang
pembelajaran bahasa.
Perilaku aktif anak-anak ternyata
menjadi landasan pengembangan silabus pengajaran bahasa
yang menekankan pada input berbahasa. Secara umum ada
korelasi antara prilaku aktif ini dengan perolehan belajar anak.
Jadi kesimpulannya, hasil penelitian dalam bidang pengajaran
bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang
menekankan pada pembangkitan input pada anak-anak (latihan
bercakap-cakap, membaca, menulis yang sebenarnya).
Dalam konteks itu, kurikulum yang bagaimanakah yang
diinginkan agar kompetensi komunikatif bahasa Indonesia dapat
dikuasai oleh anak-anak dengan maksimal? Trend saat ini yang
sedang berkembang di negara-negara maju adalah upaya
mewujudkan pendidikan melalui pembangunan kemahiran
wacana (literacy education). Targetnya adalah agar setiap
warga negara mampu berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan,
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengikuti trend itu,
pengajaran bahasa Indonesia diarahkan sebagai sarana
pengembangan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa
mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan
masalah dengan cara menggunakan kemampuan berbahasa
Indonesianya.
Kurikulum bahasa dan sastra Indonesia yang akan datang
diharapkan memenuhi kriteria pembelajaran bahasa sebagai
berikut.
 Lebih banyak berlatih berbahasa nyata siswa (Meaning Focus).
16
 Tata bahasa hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran
siswa.
 Keterampilan berbahasa nyata menjadi tujuan utama.
 Membaca sebagai alat untuk belajar (Reading for Learning),
bukan sekedar learning to read.
 Menulis sebagai alat berekspresi dan menyampaikan gagasan
 Kelas sebagai tempat berlatih menulis, membaca, dan
berbicara dalam bahasa Indonesia.
 Penekanan pengajaran sastra pada membaca sebanyakbanyaknya karya sastra (puisi/cerpen yang bisa diperoleh
siswa dengan mudah di majalah, karangan siswa sendiri, dsb.
 Pengajaran kosakata untuk menambah kosakata siswa.
Kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir
pencapaian pembelajaran bahasa Indonesia pembelajarannya
memiliki ciri sebagai berikut.
1. Makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk.
2. Konteks itu penting, bukan item bahasa.
3. Belajar bahasa itu belajar berkomunikasi.
4. Target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses
mengatasi hambatan berkomunikasi.
5. Kompetensi komunikatif menjadi tujuan utama, bukan
kompetensi kebahasaan.
6. Kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan,
bukan sekedar ketepatan bahasa.Siswa didorong untuk selalu
berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001:45).
Hal yang sangat penting dalam implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi MPBI adalah konsistensi semua pihak dalam
melaksanakan kurikulum tersebut. Konsistensi itu terutama
dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi. KBK MPBI yang
telah tersusun dengan baik tidak akan tercapai secara optimal
apabila para pelaksananya tidak konsisten dalam penerapannya
di sekolah. Contoh yang paling jelas, bila kurikulum
menekankan keterampilan berbahasa (membaca, menulis,
mendengarkan dan menyimak) dan berpikir sekaligus, maka
itulah yang diujikan kepada siswa. Untuk itu, kita harus bekerja
17
keras untuk mengembangkan beragam instrumen tes yang
benar-benar dapat sejalan dengan tuntutan KBK MPBI. Demikian
juga
mengenai
model-model
pembelajarannya,
harus
diupayakan sekuat tenaga agar siswa memperoleh pengalaman
belajar yang kaya dan bermakna untuk mengembangkan
keterampilan berbahasa dan berpikir siswa.
18
BAB III
MODEL KURIKULUM BAHASA INDONESIA MASA DEPAN
Dalam bagian ini diuraikan pandangan teoritis mengenai
kecenderungan pemikiran tentang pembelajaran efektif dan
produktif, yang mendasari pengembangan Kurikulum Bahasa
Indonesia masa depan. Kajian ini bersifat umum dalam perspektif
teori pendidikan dan teori belajar bahasa kedua. Secara berturutturut disampaikan (1) pendekatan, (2) pembelajaran, (3)
pengorganisasian materi, dan (4) penilaian.
A. Pendekatan
Saat ini, pembelajaran yang berorientasi pada potensi dan
kebutuhan siswa menjadi perhatian utama ahli pendidikan
(Talbert, J.E. & McLaughlin, M.E., 1999) Pendekatan pengajaran
yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajarmengajar sedikit-demi sedikit mulai ditinggalkan. Arah angin
berpihak pada suatu sistem pendidikan yang menempatkan
siswa pada posisi 'diberdayakan' secara maksimal yaitu mendidik
mereka berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Filosofi itulah salah satunya yang mendasari pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (competency-base curriculum).
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar
yang mendasari filosofi pembelajaran berbasis kompetensi
antara lain berikut ini.
1. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan dan kemampuan di benak
mereka sendiri.
2. Anak belajar dari mengalami, yaitu anak mencatat sendiri
pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan
diberi begitu saja oleh guru.
3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman
yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
19
4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-dipisahkan menjadi faktafakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan
keterampilan yang dapat diterapkan.
5. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ideide.
6. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks
yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.
7. Penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan
‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan
itu.
8. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna,
memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan
menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa
untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
9. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan
struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan
organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk
itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terusmenerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang
pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Dalam kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan
dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru Guru
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan)
datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’.
Filsafat belajar yang mendasari pemikiran itu adalah
konstruktivisme. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis
konstruktivisme.
Pendekatan belajar yang berasaskan konstruktivisme
antara lain
1. pendekatan kontekstual,
2. life-skills education,
3. pendekatan CBSA,
20
4. pendekatan inkuiri,
5. pendekatan pemecahan masalah
6. pendekatan proses,
7. pendekatan kuantum (Quantum Teaching and Learning),
8. authentic instruction,
9. pendekatan kooperatif, dan
10. work-based learing.
Ciri pembelajaran yang kontruktivistik telah antara lain
berikut ini.
1. Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
2. Keterampilan dikembangan atas dasar pemahaman.
3. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri,
berdasarkan motivasi intrinsik.
4. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang
terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.
5. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan pendekatan
komunikatif, yaitu siswa diajak menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dalam konteks nyata.
6. Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat
penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran
yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses
pembelajaran yang efektif, membawa skemata masingmasing ke dalam proses pembelajaran.
7. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangan oleh
manusia itu sendiri, dengan cara memberi makna pada
pengalamannya. Oleh karena ilmu pengetahuan itu
dikembangkan (dikonstruksi)
oleh manusia sendiri,
sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka
pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang
(tentative & incomplete)
8. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi,
saling mengoreksi.
9. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai
sumber.
21
10. Pembelajaran terjadi di berbagai konteks dan setting
(Zahorik, 1995).
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit)
dan
tidak
sekonyong-konyong.
Pengetahuan
bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu
yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru
tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus mengkonstruksikn pengetahuan di benak
mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa
siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki,
informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi
proses
‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan.
Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan
guru.
Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama
dalam sistem pembelajaran yang ideal, seperti dalam rincian
berikut.
1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful
connections)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar
secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja
dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil
berbuat (learning by doing).
2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing
significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan
berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai
pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
22
3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya,
ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan
penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang
sifatnya nyata.
4. Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja
secara efektif dalam kelompok, membantu mereka
memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan
saling berkomunikasi.
5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi
secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat
sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan
menggunakan logika dan bukti-bukti.
6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the
individual)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi
perhatian,
memiliki
harapan-harapan
yang
tinggi,
memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat
berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati
temannya dan juga orang dewasa.
7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards):
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi:
mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk
mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara
mencapai apa yang disebut “excellence”.
8. Menggunakan penilaian otentik (using authentic
assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks
dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya,
siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah
mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan,
pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris
dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu
sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
23
Sementara itu, The Northwest Regional Education
Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar
dari pembelajaran yang ideal.
1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan
penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di
dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran
dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa
mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan
berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa
mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran
bermakna (meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble.
2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk
memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam
tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa
depan.
3. Berpikir
tingkat
tinggi:
siswa
diwajibkan
untuk
memanfaatkan berpikir kritis dan berpikir kreatifnya dalam
pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan
suatu masalah.
4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: Isi
pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal,
provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta dunia kerja.
5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan
menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman,
pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam
individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar
budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan
sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru.
Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam
pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok
siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan
sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.
6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian
(misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan
siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman
24
observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar
sesungguhnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan
menengah diarahkan sebagai sarana pembinaan dan kesatuan
bangsa, peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa
Indonesia siswa, sarana penyebarluasan pemakaian bahasa
Indonesia untuk berbagai keperluan, dan sarana pengembangan
penalaran. Tujuan ‘idealis’ itu selanjutnya diturunkan ke dalam
tujuan umum: (1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa
negara; (2) siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk,
makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat untuk
bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) siswa
menggunakan
bahasa
Indonesia
untuk
meningkatkan
kemampuan intelektual (berpikir kreatif, menggunakan akal
sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, dan
memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial; dan
(4) siswa mampu menikmati, memahami, dan memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.
Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana
pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan
memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orangorang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber
tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi
bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra
yang bernilai tinggi di dalammnya terkandung pesan-pesan
moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada
suatu tempat dan waktu tertentu
yang disajikan dengan
gagasan yang berisi renungan falsafi. Sastra seperti ini dapat
menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia
pada harkat yang lebih tinggi. Karya sastra tersebut dapat
berupa prosa fiksi, puisi, maupun drama.
Ke depan, pembelajaran sastra dikembangkan untuk
mencapai tujuan-tujuan ideal seperti itu. Melalui pembelajaran
sastra, anak diharapkan menjadi warga yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral yang luhur.
25
Lalu, dalam konteks kecenderungan pemikiran seperti itu,
bagaimanakah seharusnya pembelajaran bahasa Indonesia
dikemas? Pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang
tepat untuk diterapkan?
Mengikuti pandangan di atas, pengajaran bahasa Indonesia
seharusnya dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya,
yaitu
melatih
siswa
membaca,
menulis,
berbicara,
mendengarkan, dan mengapresiasi sastra yang sesungguhnya.
Tugas guru adalah melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya,
menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya.
Artinya, guru harus menghindari pengajaran yang berisi
pengetahuan tentang bahasa Indonesia (using the language,
bukan talk about the language). Apa yang diajarkan seharusnya
dekat dengan kebutuhan berbahasa Indonedia siswa.
Pengajaran
bahasa
Indonesia
dijalankan
melalui
pendekatan komunikatif, pendekatan tematis, dan pendekatan
terpadu. Pendekatan komunikatif mengisyaratkan agar
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dan menengah
diorientasikan pada penguasaan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi (bukan pembekalan pengetahuan kebahasaan saja).
Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa
diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang
digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan,
menulis, dan berbicara. Pendekatan terpadu menyarankan agar
pengajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan Whole
Language, yaitu wawasan belajar bahasa yang intinya
menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia
dilaksanakan terpadu antara membaca, mendengarkan, menulis,
dan berbicara. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target
penguasaan kemahirwacanaan itu bisa tercapai.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia
sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian
antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan
berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru
dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan
dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam
komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar
dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak
26
bermanfaat
dalam
komunikasi
sehari-hari,
misalnya,
pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat
linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pengajaran
bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang
diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis,
serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia,
baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai
sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Sedangkan
prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta
masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada
peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’
kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang
yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa
Indonesia agar dihindari.
Bahasa, di sekolah, sebagai alat untuk mengajar dan
belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru mengomunikasikan
apa yang diajarkan dan siswa mengekspresikan apa yang mereka
pelajari (DeStefano, 1984:155). Untuk berhasil di dalam kelas,
siswa harus belajar membaca, menulis, dan menghitung.
Kemudian, keberhasilan di sekolah juga ditentukan oleh oleh
keterampilan akademik dan interaksional. Ketepatan informasi
harus disalurkan dengan menggunakan bahasa yang tepat pula.
Jadi belajar membaca dan menulis diperlukan untuk
menyelesaikan sebagian besar tugas bagi siswa (DeStefano,
1984:156-157). Pertumbuhan kognitif adalah sebuah fungsi
literasi. Kemampuan menulis mendorong pertumbuhan kognitif
dan sebaliknya kognisi tumbuh bersama kemampuan menulis.
Di dalam berkolaborasi dengan guru ketika merencanakan,
mengerjakan, dan melaporkan proyek misalnya, siswa secara
simultan belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar
tentang bahasa. Mereka belajar berbahasa dengan menggunakan
bahasa melalui mendengar, membaca, berdiskusi, dan membuat
suatu perencanaan (menulis). Mereka juga belajar melalui
bahasa, yakni ketika mempelajari dunia perkebunan misalnya
dari buku-buku atau bacaan. Peristiwa mengobservasi dan
kemudian melaporkannya adalah contoh belajar melalui bahasa.
Dengan belajar melalui bahasa, isi pelajaran dan bahasa
secara simultan dipelajari. Meringkas pengalaman juga contoh
27
belajar melalui bahasa. Lebih lanjut, kegiatan merencanakan
kebun misalnya, sekaligus mencakup tiga aspek belajar bahasa
secara simultan tanpa pengajaran secara langsung (melalui mata
pelajaran bahasa). Guru memberikan konteks sosial dan
intelektual yang mendukung pembelajaran dan penggunaan
bahasa. Dalam kaitan ini, sesungguhnya guru merencanakan
peristiwa literasi (literacy event) yang membuat siswa akrab
untuk berpartisipasi secara mandiri. Tegasnya, dalam berbagai
kesempatan, formal atau informal, guru menciptakan situasi
dan siswa diberi pengalaman belajar berbahasa. Mereka
membangun pemahaman terhadap dunia mereka melalui
menyimak dan membaca dan mempresentasikannya melalui
berbicara dan menulis (Platt, 1989).
Khusus mengenai kegiatan menulis, ia mempunyai posisi
tersendiri dalam kaitannya dengan upaya membantu siswa
mengembangkan kegiatan berpikir dan pendalaman bahan ajar.
Berdasarkan penyelidikannya terhadap guru, pembelajaran dan
kegiatan menulis, menurut Raimes (1987),
bertujuan (1)
memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan
pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan
atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi
(communication), (5) membuat siswa lebih lancar dalam
berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar
(learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara
berurutan dijelaskan berikut ini.
Pertama, menulis untuk memberi penguatan hasil belajar
bahasa (writing for reinforcement). Tujuan pedagogis yang
pertama ini mengarah kepada penguatan pemahaman unsur dan
kaidah bahasa oleh siswa melalui penggunaan bahasa secara
tertulis.
Kedua, menulis untuk memberi pelatihan penggunaan
bahasa (writing for training). Tujuan pemberian pelatihan
melalui menulis ini tidak terbatas pada pelatihan penggunaan
bahasa (retorika dan struktur gramatika) dengan berbagai
variasinya, tetapi juga dalam mengemukakan gagasan.
Ketiga, menulis untuk melakukan peniruan (imitasi)
penggunaan retorik dan sintaktik (writing for imitation). Tujuan
28
pedagogis ketiga ini mengarah pada upaya untuk meng-akrabkan
siswa dengan aspek retorik dan sintaktik dalam menulis. Gaya
pengungkapan gagasan dari wacana yang dibaca juga dapat
"ditiru" untuk belajar.
Keempat, menulis untuk berlatih berkomunikasi (writing
for communication). Melalui menulis siswa akan belajar
berkomunikasi secara tertulis dalam kegiatan yang nyata.
Pengalaman ini diharapkan juga memberi sumbangan dalam
pengembangan kemampuan berkomunikasi secara lisan.
Kelima, menulis untuk meningkatan kelancaran (writing
for fluency). Kelancaran yang dimaksud mencakup kelancaran
dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta kelancaran
dalam mengemukakan gagasan.
Terakhir, menulis untuk belajar (writing for learning).
Tujuan pedagogis terakhir inilah yang sangat erat kaitannya
dengan upaya pengembangan budaya belajar secara mandiri
melalui membaca-berpikir-menulis. Menulis untuk belajar
mempunyai makna yang sangat dalam untuk membuat siswa
belajar secara benar dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan menulis ternyata mempunyai peranan penting
bagi siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan
mendalami bahan ajar. Oleh karena itu, sudah selayaknya
apabila menulis menjadi aktivitas penting dalam setiap
pembelajaran di sekolah. Itu berarti, perlu dikembangkan
kegiatan menulis lintas kurikulum, mengingat: (1) menulis,
selain membaca dan mendengar, bermanfaat untuk belajar, (2)
menulis dapat membantu siswa mempelajari informasi baru
dalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, (3) menulis
memfasilitasi strategi-strategi pemecahan masalah siswa untuk
mengorganisasi informasi lama dan baru, (4) menulis dapat
mengajarkan siswa konvensi pragmatik dan kesadaran akan
mitra (tutur/tulis) dan mengembangkan proses penting agar
mampu berkomunikasi secara berhasil, (5) menulis dapat
mengajarkan siswa mengevaluasi kekritisannya terhadap
informasi yang mereka pelajari, dan (6) menulis dapat
mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka menerima atau
menganalisis pengalaman-pengalaman personal mereka sendiri
29
(Beach, 1984:183-184). Alasan-alasan tersebut sejalan dengan
upaya mengembangkan strategi heuristik pada siswa. Dengan
demikian menulis merupakan kegiatan yang sangat penting
untuk semua mata pelajaran mengingat melalui menulis siswa
dapat belajar bagaimana belajar, yakni melalui bagaimana
membuat generalisasi, definisi, dan menerapkan skematanya
terhadap sesuatu yang sedang dipelajari. Menulis tidak hanya
bergantung pada proses kognitif tetapi juga dapat memberi
penguatan afektif terhadap proses membaca. Oleh karena itu,
menulis sebagai alat belajar perlu mendapat perhatian serius di
sekolah (Beach, 1984).
Guru dapat memberdayakan siswa menjadi berhasil dan
independen
dalam
belajar
dengan
dua
cara,
(1)
mendokumentasikan efektivitas pengajaran yang dilakukan guru
untuk memperbaiki hasil belajar, dan (2) guru menjadi mitra
(partner) siswa dalam belajar (Eanes, 1997:54). Dengan kata
lain, siswa membaca dan menulis untuk tujuan mencari,
belajar, dan menerapkan informasi (isi) pelajaran. Dalam waktu
yang bersamaan siswa dapat mengembangkan keterampilan
literasi, misalnya: mengembangkan strategi membaca efektif,
kebiasaan belajar secara efisien, memanfaatkan kosakata
secara maksimal, berpikir kritis, dan percaya diri dalam
menulis. Sebagai hasilnya, melalui aktivitas literasi akan
memberdayakan siswa untuk mengadakan eksplorasi, meneliti,
dan menikmati isi pengetahuan menurut kebutuhan dan minat
mereka sendiri sebagai pembelajar yang independen (Eanes,
1997:54).
Dengan demikian, menurut McKenna dan Robinson (1990),
hal itu dapat memaksimalkan pemerolehan isi pelajaran.
Meskipun isi pelajaran memungkinkan diajarkan secara berhasil
melalui pengajaran lisan secara langsung, McKenna dan
Robinson mengidentifikasi empat alasan penting mengapa
aktivitas kemahirwacaaan perlu dikembangkan. Pertama, hasil
dari aktivitas literasi sebagai komplemen bagi pengajaran lisan
dan meluaskan perspektif siswa. Kedua, aktivitas literasi
memberikan sebuah tindak lanjut alamiah terhadap pengajaran
langsung mendorong guru untuk melayani kebutuhan dan minat
individual siswa. Ketiga, metode-metode terkini mengenai
30
pengajaran langsung mencakup fase praktik, dalam hal ini
aktivitas literasi tampaknya sangat sesuai. Keempat, siswa akan
mempunyai tantangan untuk mengembangkan literasi isi lebih
luas dari pengetahuan yang diperoleh dari disiplin ilmu dengan
keterbatasan ruang lingkup dan waktu pelajaran. Kelas-kelas
mata pelajaran merupakan seting yang ideal untuk praktik
pengembangan keterampilan literasi. Terakhir, aktivitas literasi
memberikan fondasi penting bagi perkembangan literasi dan
belajar sepanjang hayat (Eanes, 1997:55). Aktivitas literasi juga
dapat menjadikan siswa sebagai pembaca yang efektif, penulis
yang kompeten, pemikir yang kritis, dan pembelajar yang
mandiri.
Guru yang memberi pengajaran dan memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri mengenai isi
teks akan meningkatkan pembelajaran karena guru mendorong
keaktifan siswa dengan melatih menyusun kembali teks dan
membangun makna. Siswa yang dapat menjawab pertanyaannya
sendiri akan dapat mengecek pemahamannya mengenai teks
yang telah dibacanya (Palinscar, 2001). Melalui serangkaian
proses pembelajaran yang kaya tersebut, diharapkan siswa akan
dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan sekaligus
mendalami bahan ajar berbagai mata pelajaran yang sedang
diikuti. Kedua hal tersebut sangat penting bagi siswa untuk
keberhasilan belajarnya di sekolah. Dengan demikian, kegiatan
menulis sebagai bagian dari aktivitas inti literasi perlu terus
dikembangkan di sekolah melalui pembelajaran setiap mata
pelajaran.
Agar tujuan tercapai, disarankan agar tugas-tugas (task)
dan latihan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dijalankan
secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik materi
maupun kegiatannya. Harus disadari benar oleh guru bahwa
kegiatan berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel,
buku, iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar,
berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram, mengisi
blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai, dan
sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian bahasa
Indonesia itu.
31
Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan
pembelajaran bahasa Indonesia di atas sejauh ini masih jauh
terapannya di kelas riil sekolah. Harapan bahwa dengan
pembelajaran bahasa Indonesia anak-anak dapat membaca
dengan baik, menulis dengan lancar, dan berbicara dengan
sopan, baik, dan berani, masih ‘jauh panggang dari api’.
Sebagian besar, guru masih berkutat pada penyampaian teori
yang tak
relevan dengan kebutuhan
berkomunikasi.
Permasalahan yang dihadapi pengajaran bahasa Indonesia masih
kompleks dan perlu pembinaan terus-menerus. Masukanmasukan yang berupa laporan yang berasal dari keadaan nyata
di sekolah akan sangat berarti bagi penentu kebijakan.
Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama
bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk
sekolah, siswa telah terpajani oleh lingkungan berbahasa
Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu
melalui kegiatan berbahasa Indonesia nyata, bukan mengajarkan
ilmu tentang bahasa Indonesia. Hanya, yang terjadi kemudian
adalah (1) guru lebih banyak menerangkan tentang bahasa
(form-focus), (2) tata bahasa sebagai bahan yang diajarkan, (3)
keterampilan berbahasa nyata kurang diperhatkan, (4)
membaca dan menulis sebagai sesuatu yang diajarkan, bukan
sebagai media berkomunikasi dan berekspresi.
Penekanan pembelajaran bahasa Indonesia hanya pada
tata bahasa, yang relevansinya dengan kebutuhan berbahasa
kurang. Murid hanya menghafal jenis kata, pengertian kalimat,
fungsi-fungsi awalan, dan beragam peribahasa usang. Lalu
pertanyaannya, manakah kemampuan membaca dan menulis
kreatif yang seharusnya dikuasai siswa melalui pengajaran
bahasa Indonesia?
Sebaiknya, pengajaran bahasa Indonesia dikembalikan
pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca
sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi
sebanyak-banyaknya. Misalnya, membaca berita, membaca
cerpen, membaca iklan, menulis surat, menulis iklan baris,
membuat laporan, mendengarkan berita, membacakan
pengumuman, dan sejenisnya. Dengan demikian, PBI akan
menjadi pelajaran yang menarik dan ‘berguna’. Jika tata bahasa
32
harus diajarkan, sebenarnya hanya untuk menunjang
kemampuan-kemampuan tersebut. Guru disarankan agar
kembali berpegang pada sasaran tujuan pengajaran bahasa
Indonesia, yaitu melatih siswa menggunakan bahasa Indonesia
dalam situasi berbahasa nyata. Materi-materi yang tingkat
kebergunaannya rendah, seperti teori tata bahasa umum dan
pengetahuan tentang tata bahasa sebaiknya dikurangi.
B. Pembelajaran
Kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia yang berupa
tugas-tugas (task), input yang diterima siswa, dan pola interaksi
guru—siswa ditujukan agar siswa dapat berbahasa Indonesia
yang sesungguhnya. Agar pembelajaran BI di sekolah dasar dan
mennegah produktif, strategi belajar yang dikembangkan harus
menunjang pencapaian tujuan itu. Strategi pembelajaran yang
ideal semestinya mengarahkan siswa pada kegiatan menemukan
sendiri. Dengan kata lain, keterampilan berbahasa yang
diperoleh harus berasal dari pengalaman membaca, menulis,
mendengarkan, dan berbicara dalam bahasa Indonesia.
Strategi pembelajaran semacam itu dapat dipenuhi jika
pendekatan pembelajarannya sesuai dengan yang dikembangkan
guru. Untuk menyukseskan penerapan pembelajaran yang
berbasis pengalaman (pendekatan kontekstual), skenario
pembelajaran harus didesain sesuai dengan prinsip-prinsip
pembelajaran
kontekstual.
Adapun
ciri
utama
dari
pembelajaran itu adalah latihan berbahasa terus-menerus
dengan berbagai variasi, hingga siswa mampu meningkatkan
kreativitasnya dalam berbahasa Indonesia.
Lalu, strategi pembelajaran yang bagaimanakah yang
disarankan? Strategi apakah yang tepat digunakan agar
kompetensi berbahasa Indonesia siswa bisa berkembang baik?
Berikut ini, kajian sekilas mengenai pilihan strategi yang
produktif dalam pembelajaran bahasa.
Sejak dekade 1980-an, penggunaan task sebagai basis
belajar bahasa kedua telah banyak diterima para ahli (Loschky
dan Bley-Vroman, 1993). Para ahli yang menyarankan
penggunaan task sebagai basis pengembangan kompetensi
33
komunikatif dengan bukti-bukti penelitian empiris antara lain
Long (1985), Bley-Vroman (1989), Madden dan Reinhart (1987),
Nunan (1989), Rutherford (1987), dan Ur (1988). Para ahli
pengajaran bahasa kedua tersebut mengajukan konsep task yang
komunikatif (communicative tasks) untuk dikembangkan dalam
perencanaan pengajaran bahasa kedua yang produktif. Hingga
kini, usulan tersebut terus bergulir dan berkembang di kelaskelas praktis pengajaran bahasa kedua.
Ada beberapa dukungan teoritis dari penggunaan task
sebagai basis pengembangan kompetensi berbahasa siswa.
Pertama, dewasa ini ada kecenderungan bahwa pengajaran
bahasa yang produktif harus berlandaskan fakta yang terjadi di
kelas yang sebenarnya, yaitu apa yang dilakukan oleh guru dan
siswa (task riil). Ini berarti, fakta atau informasi dari siswa atau
apa yang terjadi di kelas digunakan untuk merencanakan,
menerapkan, dan menilai program pengajaran yang
dilaksanakan (Nunan, 1993:19; Chaudron, 1990:14). Pengajaran
bahasa yang dikembangkan berdasarkan pada asumsi linguistik
yang sejak lama mewarnai isi dan arah pengajaran bahasa kedua
sudah mulai ditinggalkan. Dengan kata lain, pengembangan
pengajaran bahasa harus berangkat dari hasil penelitian tentang
pengajaran bahasa pula.
Kedua, hasil penelitian membuktikan bahwa tipe task
tertentu yang telah diisolasi mempengaruhi bahasa yang
diujarkan siswa yang kemudian berdampak pada perubahan
pandangan teori belajar bahasa kedua. Beberapa penelitian
yang berkaitan dengan temuan tersebut dilaporkan oleh Long
dan Sato (1984), Ellis (1985), dan Tarone (1988) (Duff, 1993:57).
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa variabel task
secara signifikan mempengaruhi performansi siswa dalam
belajar bahasanya. Jiwa dari task adalah interaksi. Sedangkan
interaksi yang tercipta akan menghasilkan aktivitas negosiasi
makna, yang pada gilirannya menciptakan pelatihan berbahasa
nyata.
Landasan teoritis keempat, seperti yang sudah sedikit
diungkap di atas, melalui task, pembelajaran bahasa diharapkan
lebih 'hidup' oleh kegiatan bernegosiasi makna. Potongan
kegiatan berbahasa riil, yang selanjutnya disebut task, menjadi
34
sarana siswa atau pembelajar bahasa terjun dalam sebuah
lingkungan yang secara terorganisasi diciptakan untuk berlatih
berbahasa. Seperti yang dinyatakan Pica, Kanagy, dan Falodun
(1993:10), perspektif teoritis yang mendukung penggunaan task
komunikatif dalam kelas bahasa kedua yaitu bahwa bahasa
dipelajari dan diajarkan dengan baik hanya melalui interaksi.
Yang pasti, dukungan terhadap pengajaran bahasa yang berbasis
task terus mengalir dan berkembang. Bukti-bukti empiris dari
penelitian kelas terus digali.
Ciri kelas yang efektif itu, antara lain
1. pengajaran
diwadahi
oleh
kurikulum
yang
telah
diprogramkan sebelumnya,
2. tingginya harapan siswa melalui kegiatan belajarnya,
3. siswa secara cermat dan rajin memperhatikan pelajarannya,
4. instruksi yang disampaikan jelas dan terfokus,
5. kemajuan belajar dipantau secara tak tampak,
6. jika siswa belum mengerti, pengajaran diulang,
7. waktu belajar hanya untuk belajar,
8. kelas nyaman untuk belajar,
9. kelompok belajar dibentuk di kelas sesuai dengan kebutuhan
pengajaran,
10. standar perilaku kelas tinggi,
11. interaksi pribadi antara guru dan murid tinggi, dan
12. adanya pemberian insentif atau hadiah bagi yang
memperoleh keberhasilan belajar (Richard dan Nunan,
1990:10).
Dalam pengajaran bahasa Indonesia, praktik berbahasa
melalui tugas-tugas berbahasa (task) menjadi basis utama
pengembangan kompetensi berbahasa siswa. Pilihan strategi itu
digambarkan dalam bagan berikut.
GOAL ---> CONTENT ---> EXPERIENCE ---> EVALUATION
<--------------------------------------
35
Bagan tersebut menempatkan pengalaman berbahasa
sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar bahasa. Negosiasi
makna dalam bentuk pelatihan berbicara, membaca, menulis,
dan mendengarkan berlangsung dalam suasana berbahasa nyata
yang telah diorganisasikan oleh guru.
Pengkategorian teknik pembelajaran berbahasa lebih
teknis dikemukakan oleh Pattison (1987). Ia membedakan tujuh
tipe task, yaitu (1) pertanyaan dan jawaban, (2) dialog dan
bermain peran, (3) kegiatan mencocokkan, (4) strategi
komunikasi, (5) gambar dan menceritakan gambar, (6) puzzels
dan masalah, dan (7) berdiskusi dan mengambil keputusan.
C. Pengorganisasian Materi
Atas dasar pandangan belajar yang diuraikan dalam bagian
terdahulu, bagaimanakah seharusnya materi pembelajaran
bahasa Indonesia diorganisasikan? Untuk penjawab pertanyaan
tersebut, berikut saran teoritisnya.
1. Pembelajaran bahasa Indonesia dibangun dari kerja sama
antara guru dan siswa. Kerja sama itu terbentuk dalam
'penyepakatan' bersama tentang kompetensi, tujuan, dan
jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Inisiator pembuka
dan penutup kelas bahasa Indonesia adalah guru, yaitu
melalui pernyataannya tentang akan dimulainya topik
tertentu, kegiatan yang dipilih, atau diakhirinya topik yang
baru dibahas. Atas dasar itu, di masa yang akan datang
disarankan agar inisiator berpindah ke siswa, agar tercipta
kelas bahasa Indonesia yang 'hidup'.
2. Oleh karena yang terjadi selama ini PBI lebih mengutamakan
pada pengetahuan tentang bahasa (form-focused). Atas
dasar itu, di masa yang akan datang disarankan agar guru
menciptakan kelas menekankan pada pemerolehan bahasa
yang sesungguhnya.
3. Oleh karena selama ini sudah menjadi tradisi guru
memberikan latihan yang bersifat diskret terhadap salah
satu aspek tata bahasa, pada masa yang akan datang
disarankan agar guru membangun real-world tasks, yaitu
36
pembelajaran yang berisi contoh ujaran bahasa Indonesia
dari wacana autentik dan aktual. Harapannya, input yang
diterima siswa adalah input bermakna (comprehensible
input), bukan semata-mata input yang direkayasa (modified
input).
4. Selama ini, arah interaksi yang tercipta dalam pembelajaran
bahasa Indonesia adalah interaksi searah, yaitu dari guru ke
siswa, yaitu 'guru bertanya, siswa menjawab'. Selanjutnya
disarankan agar guru mengembangkan interaksi kelas dengan
multiarah sehingga tercipta 'transactional tasks', yaitu task
yang penuh dengan penyampaian ide, perdebatan,
menyampaikan opini melalui tulisan.
Berikut
ini
saran
teoritis
untuk
guru
dalam
mengorganisasikan materi pembelajaran bahasa Indonesia,
berdasarkan hasil riset pemerolehan bahasa kedua.
1. Difokuskan pada ‘pemerolehan bahasa (acquisition)’, bukan
pembelajaran bahasa (learning).
Pemerolehan bahasa merupakan proses yang tidak disadari
oleh
pembelajar
bahasa,
sedangkan
pembelajaran
merupakan proses yang disadari. Dalam proses pemerolehan
bahasa, siswa tidak mengalami suatu proses pengajaran
tentang pengetahuan linguistik atau tatabahasa secara
sadar. Dalam belajar bahasa, sebenarnya secara sadar siswa
mengalami pengajaran tentang pengetahuan linguistik atau
tatabahasa, tetapi yang digunakan dalam berbahasa adalah
justru hasil yang tidak disadari.
2. Menciptakan situasi yang alamiah
Pemerolehan bahasa
dilaksanakan secara alamiah,
sedangkan pembelajaran bahasa dilaksanakan secara tidak
alamiah atau artifisial. Penutur bahasa semata-mata
memperhatikan pesan yang disampaikan, bukan bentuk
ujarannya. Oleh karena itu, kaidah yang diendapkan adalah
kaidah implisit. Jadi, guru menghindari ceramah tentang
‘tata bahasa’. Ingat, pernahkah seorang ibu mengajarkan
tata bahasa pada anaknya umur tiga tahun? Tahu-tahu, umur
empat tahun ia sudah bida berbahasa pertama dengan
lancar! Mengapa hal itu tidak kita tiru?
37
3. Difokuskan pada latihan terus-menerus sebagai penajaman
Bahan penajaman yang dimaksudkan adalah latihan-latihan
yang berupa tugas bercakap-cakap (berbicara), membaca
sebanyak-banyaknya, menulis terus-menerus, dan menggali
informasi melalui mendengarkan. Latihan-latihan yang
diberikan selain diberi porsi yang lebih banyak juga harus
memberi motivasi yang menyenangkan untuk berlatih terusmenerus. Dengan demikian, kelas bahasa harus memberikan
pajanan yang cukup untuk terjadinya proses pemerolehan
bahasa, dengan memperbanyak latihan-latihan berbahasa
yang produktif. Wujudnya dengan memperluas materi
ketrampilan berbahasa praktis dan aktual, baik dalam
pengembangan kosa kata, mendengarkan, membaca,
bercakap-cakap, dan menulis.
4. Memberi prioritas atau penekanan pada materi yang paling
berguna atau dibutuhkan siswa dalam berbahasa, sesuai
dengan tujuan belajar bahasanya.
Jika ketentuan ini diikuti, maka apa yang diajarkan akan
menjadi masukan yang bermakna. Dalam kurikulum hal itu
sudah ditegaskan, bahwa pengajaran bahasa untuk berlatih
berbahasa, bukan belajar tentang bahasa.
Dalam mengorganisasikan materi, guru harus mempertimbangkan kriteria berikut.
1. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh,
berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan
kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya
kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi
sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa yang sangat
linguistis.
2. Kebutuhan berbahasa nyata siswa harus menjadi prioritas
guru. Bahan-bahan pembelajaran disarankan bersifat
otentik.
3. Siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan
dalam bahasa, baik lisan maupun tulis, serta mampu
mengungkapkan gagasan melalui bahasa.
4. Kelas diharapkan menjadi masyarakat pemakai bahasa
Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang
38
dominan. Guru diharapkan sebagai 'pemicu' kegiatan
berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang
tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa agar
dihindari.
5. Tugas-tugas (task) dalam pembelajaran bahasa dijalankan
secara bervariasi, berselang-seling, dan diperkaya, baik
materi maupun kegiatannya. Harus diingat bahwa kegiatan
berbahasa itu tak terbatas sifatnya. Membaca artikel, buku,
iklan, brosur; mendengarkan pidato, laporan, komentar,
berita; menulis surat, laporan, karya sastra, telegram,
mengisi blangko; berbicara dalam forum, mewawancarai,
dan sebagainya adalah contoh betapa luasnya pemakaian
bahasa itu.
Dalam
konteks
teori
pembelajaran
umum,
pengorganisasian materi pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah dasar dan menengah harus menekankan pada hal-hal
sebagai berikut.
1. Belajar Berbasis Masalah (Problem-Based Learning), yaitu
suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa
terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang
mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi
materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis,
dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain
(Moffitt, 2001).
2. Pengajaran
Otentik
(Authentic
Instruction),
yaitu
pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk
mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan
keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting
di dalam konteks kehidupan nyata.
3. Belajar berbasis Inquiri (Inquiry-Based Learning) yang
membutuhkan
strategi
pengajaran
yang
mengikuti
39
4.
5.
6.
7.
metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk
pembelajaran bermakna.
Belajar Berbasis Proyek/Tugas (Project-Based Learning)
yang
membutuhkan
suatu
pendekatan
pengajaran
komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas)
didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap
masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu
topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna
lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk
bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk)
pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk
nyata.
Belajar Berbasis Kerja (Work-Based Learning) yang
memerlukan
suatu
pendekatan
pengajaran
yang
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja
untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan
bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat
kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan
berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk
kepentingan siswa.
Belajar Berbasis Jasa-layanan (Service Learning) yang
memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang
mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu
struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan
tersebut, jadi menekanka hubungan antara pengalaman
jasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain,
pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari
pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai
keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam
masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan
lainnya.
Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan
pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil
siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar.
40
D. Penilaian
Untuk meningkatkan kinerja pembelajaran, telah dipilih
kurikulum berbasis kompetensi sebagai acuan. Kurikulum
Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
2. Berpusat pada siswa (kelas menjadi milik siswa), dengan
penanda, guru lebih banyak mengarahkan siswa daripada
berceramah dan menjelaskan.
3. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman.
4. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
5. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
6. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam
upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Kompetensi. Itulah kata kunci dalam proses belajar
mengajar di sekolah kita nanti. Penguasaan kompetensi menjadi
target guru dalam mengajar, bukan menuntaskan materi. Dalam
kelas KBK, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya, yaitu memiliki kompetensi. Maksudnya, guru lebih
banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota
kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan
keterampilan) datang dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari
‘apa kata guru’
Sejalan dengan prinsip belajar yang dikembangkan,
penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan juga
mendasarkan diri pada penilaian yang sebenarnya, yaitu
Authentic Assessment. Authentic Assessment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa menberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar
siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa
siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila
41
data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa
mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa
mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari
kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar
itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka
assessment tidak dilakukan di akhir periode saja (akhir
semester). Kegiatan penilaian dilakukan bersamaan dengan
kegiatan pembelajaran.
Landasan penilaian dalam kurikulum mendatrang adalah
pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan, akurat, dan
konsisten, sebagai bentuk akutanbilitas kepada publik, melalui
identifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai serta
peta kemajuan belajar siswa dan pelaporannya kepada orang
tua dan masyarakat. Prinsip yang mendasarinya adalah sebagai
berikut.
1. Penilaian berorientasi pada pencapaian kompetensi.
2. Dasar pemikirannya, guru menilai apa yang seharusnya
dinilai, bukan melulu mengukur pengetahuan siswa.
3. Proses penilaian berlangsung terus-menerus. Data nilai
diambil dari berbagai sumber dan berbagai cara, tidak hanya
hasil tes. Yang utama, guru menilai dari penampilan,
kinerja, dan hasil karya siswa. Yang mendapat nilai tinggi
dalam olah raga, adalah siswa yang olah raganya paling
bagus. Bukan, hasil ulangan tentang olah raga.
4. Penilaian menekankan pada proses dan hasil.
5. Penilaian
dilaksanakan
secara
berkelanjutan
dan
komprehensif (mencakup semua aspek).
Genesse dan Upshur (1999: 75-264), Evaluasi ada dua cara,
tanpa tes dan dengan tes. Evaluasi tanpa tes: observasi,
portofolio, conference, jurnal, questionarie, dan interview.
Sesuai dengan prinsip authentic assessment, kemampuan
berbahasa Indonesia siswa diukur dengan berbagai cara dan dari
berbagai sumber. Alat penilaian bahasa yang otentik yang
disarankan adalah
42
1. Hasil Karya (Product): berupa karya sastra, laporan
pengamatan, tulisan, benda, laporan perjalanan, puisi,
artikel, essai, cerpen, karya ilmiah populer dll.
2. Penugasan (Project), yaitu bagaimana siswa bekerja dalam
kelompok atau individual untuk menyelesaikan sebuah
proyek
3. Kinerja (Performance), yaitu penampilan diri dalam
kelompok maupun individual, dalam bentuk berbicara,
berwawancara, kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan,
inisiatif, dan penampilan di depan umum.
4. Tes Tertulis (Paper and Pencil Test), yaitu penilaian yang
didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, atau akhir
program.
5. Kumpulan Herja Siswa (Portofolio), yaitu kumpulan karya
siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda, karya
tulis, isian, tabel-tabel, dll.
Adapun prosedur penilaian mengikuti langkah-langkah yang
didasarkan oleh genesse dan Upshur (1999: 6) berikut:
Tujuan Penilaian
Pengumpulan Data
Penafsiran Data
Pengambilan Keputusan
Dalam tugasnya sebagai manajer kelas, guru melaksanakan
beragam penilian. Jenis penilaian yang diterapkan guru, antara
lain berikut ini.
1. Penilaian Kelas
2. Tes Kemapuan Dasar
43
3. Penilaian Akhir Satuan Pendidikan dan Sertifikasi
4. Benchmarking.
5. Penilaian Program
44
BAB IV
IMPLEMENTASI
Dalam bagian ini diuraikan pandangan teoritis mengenai
implementasi kurikulum bahasa dan sastra Indonesia mendatang.
Secara berturut-turut disampaikan peran pihak dan aspek berikut
(1) guru, (2) sarana dan prasarana, (3) buku-buku, (4) perangkat
pembelajaran, dan (5) masyarakat.
A. Guru
Dalam pembelajaran mendatang, siswa perlu lebih
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa
mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang
mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu
mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan
suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang
bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam
upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan
pembimbing.
Dalam kelas yang ideal, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan
dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja
sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara
menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran
tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci
dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat dengan
memanfaatkan
gerak
mata
(scanning).
Ketika
guru
mendemontrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa
mengamati guru membaca dan membolak-balik teks. Gerak
mata guru dalam menelusuri bacaan menjadi perhatian utama
siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang
efektif dalam melakukan scanning. Kata kunci yang ditemukan
guru disampaikan kepada siswa sebagai hasil kegiatan
pembelajaran menemukan kata kunci secara cepat. Secara
45
sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model
yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih
menemukan kata kunci. Dalam kasus itu, guru menjadi model.
Dalam kelas mendatang, guru bukan satu-satunya model.
Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa
bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan
suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan
lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggeris,
siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya.
Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain
dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’
kompetensi yang harus dicapainya. Model juga dapat
didatangkan dari luar. Seorang penulis novel sekali waktu dapat
dihadirkan di kelas untuk menjadi ‘model’ bagaimana cara
menulis yang baik.
Pada tahap awal, apa tugas guru sebelum mengimplementasikan kurikulum baru nanti?
1. Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari
oleh siswa.
2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa
melalui proses pengkajian secara seksama.
3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa,
selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan
kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran
kontekstual.
4. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori
yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman
yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa
untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan
pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya
dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena
kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk
membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa
terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
46
6. Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil
penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap
rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
Berkaitan dengan prinsip itu, selanjutnya dapat
dikemukakan tugas teknis yang diemban guru guru bahasa
Indonesia antara lain sebagai berikut.
1. Menentukan tema. Tema yang ditentukan bersifat tentatif.
Tema tersebut bisa ditentukan berdasarkan negosiasi antara
guru dengan siswa
2. Merumuskan Tujuan Khusus Pembelajaran yang diturunkan
dari Kompetensi dasar yang diacu. Perumusan TKP harus
bermakna, fungsional, kontekstual, sekuentif, relevan
dengan tingkat kesiapan siswa, menunjukkan keterpaduan
dengan TKP sebelumnya/sesudahnya.
3. Merancang materi pembelajaran bahasa Indonesia. Garapan
materi pelajaran untuk siswa disusun secara kontekstual dan
didasarkan pada rumusan TKP yang ditentukan maupun
gambaran strategi belajar yang akan digunakan.
4. Merancang skenario pembelajaran untuk mencapai
kompetensi dasar yang diinginkan. Skenario yang dirancang
harus dapat (1) membangkitkan minat dan motivasi belajar
siswa, (2) memunculkan kegiatan observasi, pengajuan
pertanyaan, dan penggambaran cara kerja untuk
menemukan jawaban pertanyaan, (3) mengembangkan
kemampuan kerja sama, (4) merangsang siswa sehingga
terdorong melakukan refleksi dan rekonstruksi pemahaman
secara internal, dan (5) menentukan bentuk evaluasi proses
(assessment) yang digunakan.
5. Menentukan pemanfaatan sumber pembelajaran dan media
yang relevan. Sumber pembelajaran yang dipersiapkan bisa
berupa perpustakaan, laboratorium, museum, bacaan yang
dipersiapkan di kelas, gambar, bagan spesifikasi, bagan arus
(flow chart), dan sebagainya.
6. Merancang jadwa pertemuan. Jadwal kegiatan yang disusun
tidak harus selalu diikat jam pertemuan formal di kelas.
Oleh karena itu, penjadwalannya bisa disusun melalui
negosiasi antara guru dengan siswa.
47
7. Menentukan bentuk evaluasi proses dan produk. Evaluasi
proses mengacu pada bentuk dan aspek yang dinilai dan
dimanfaatkan sebagai dasar pemberian masukan ketika KBM
berlangsung. Sementara evaluasi hasil mengacu pada
pemberian tes ataupun tugas yang dimanfaatkan untuk
menilai hasil belajar siswa.
8. Identifikasi bentuk finalisasi dan tindak lanjut. Finalisasi
kegiatan bisa berupa karya tulis yang diangkat sebagai bahan
diskusi, naskah pementasan drama,atau gambar dan artikel
yang dipasang di majalah dinding. Bentuk finalisasi tersebut
pada sisi lain juga menentukan kegiatan lanjut maupun
perumusan TKP pada pertemuan berikutnya.
Kesimpulannya, guru yang dibutuhkan adalah guru yang
informed, yaitu guru yang memiliki kesadaran yang cukup untuk
mengimplementasikan Kurikikulum Bahasa dan Sastra Indonesia.
B. Sarana dan Prasarana
Pembelajaran mendatang berhubungan dengan (1)
fenomena kehidupan sosial masyarakat, bahasa, lingkungan
hidup, harapan dan cita yang tumbuh, (2) fenomena dunia
pengalaman dan pengetahuan siswa, dan (3) kelas sebagai
fenomena sosial. Kontekstualitas merupakan fenomena yang
bersifat alamiah, tumbuh dan terus berkembang, serta beragam
karena berkaitan dengan fenomena kehidupan sosial
mesyarakat. Dalam kaitannya dengan ini, maka pembelajaran
pada
dasarnya
merupakan
aktivitas
mengaktifkan,
menyentuhkan
dan
mempertautkan,
menumbuhkan,
mengembangkan, dan membentuk pemahaman melalui
penciptaan kegiatan, pembangkitan penghayatan, internalisasi,
proses penemuan jawaban pertanyaan, dan rekonstruksi
pemahaman melalui refleksi yang berlangsung secara dinamis.
Sementara itu, belajar pada dasarnya merupakan proses
menyadari sesuatu, memahami permasalahan, proses adaptasi
dan organisasi, proses asimilasi dan akomodasi, proses
menghayati dan memikirkan, proses mengalami dan
merefleksikan, proses membuat komposisi dan membuka ulang
secara terbuka dan dinamis. Itulah sebabnya, dalam kelas
48
mendatang, pemanfaatan sumber belajar yang alamiah itu
penting. Siswa diharapkan belajar dengan berbagai cara dan
berbagai sumber.
Berkaitan dengan keyakinan di atas, maka pembelajaran
haruslah ditandai dengan (1) proses mengobservasi sesuatu, (2)
membuat pertanyaan, menghubungkan sesuatu yang ditanyakan
dan ingin dipahami dengan pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya, (3) menempuh kegiatan untuk mendapatkan
jawaban pertanyaan melalui kerja sama dengan orang lain, (4)
membahas hasil pemahaman melalui pembahasan dengan orang
lain, serta (5) memikirkan kegiatan yang telah dilakukan dan
pemahaman yang diperoleh, menanggapi, membuat kesimpulan,
misalnya dalam bentuk penulisan di jurnal, pemajanan di
majalah dinding, dan sebagainya.
Dalam kontekitu, sumber-sumber belajar yang dapat
digunakan sangat bervariasi. Siswa tidak hanya belajar dari
guru, tetapi belajar dari apa dan siapa saja. Sarana dan
prasarana yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa
indonesia antara lain berikut ini.
1. kelas yang 'terbuka' dan nyaman (kelas yang terbuka
maksudnya, tidak selalu dibatasi oleh dinding; semua
tempat adalah kelas)
2. buku-buku umum
3. buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang berkualitas
4. majalah-majalah remaja, surat kabar, dan jurnal-jurnal
ilmiah
5. biografi tokoh
6. teks-teks petunjuk, peta, data statistik
7. syair-syair lagu, puisi, teks pidato, dll.
C. Buku-Buku
Bagaimanakah
buku
pelajaran
yang
menunjang
implementasi kurikulum bahasa indonesia mendatang?
Jawabannya, pertama, buku yang baik adalah buku yang benarbenar mendukung pencapaian tujuan pembelajaran bahasa
49
seperti yang diungkapkan di atas. Kualitas buku seharusnya
menjadi ukuran guru memakai atau tidak buku tertentu. Untuk
buku bahasa (khususnya bahasa Indonesia), ukuran kualitas itu
ada pada
 Bahan yang diajarkan menunjang pencapaian kompetensi
dasar yang diinginkan.
 Memiliki kekayaan latihan (latihan yang diberikan lebih kaya
dan menarik).
 Teks bacaan yang dikutip aktual dan otentik.
 Banyak ilustrasi dan gambar, yang tampak dari penampilan
grafikanya yang indah dan menarik.
 Teks yang dikutip disesuaikan dengan siswa, yang diambil
dari: majalah anak, syair lagu, brosur, petunjuk/peta, koran,
dsb.
 Diterbitkan oleh penerbit yang profesional: naskah telah
mengalami seleksi, pengujian, penyuntingan oleh ahli, dan
dicetak dengan kualitas cetak yang baik.
 Telah memenuhi syarat standar penilaian buku pelajaran yang
ditetapkan oleh Pusat Perbukuan Nasional.
D. Perangkat Pembelajaran
Agar dapat melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
prinsip pembelajaran berbasis kompetensi, salah satu aspek
yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia adalah penyusunan perangkat pembelajaran.
Perangkat pembelajaran itu meliputi (1) Program Satuan
Pelajaran, (2) Rencana Pembelajaran (RP), (3) materi
pembelajaran, (4) evaluasi proses dan hasil, dan (5) lembarlembar kegiatan siswa (LKS). Prinsip penyusunan kelima aspek
itu dikemukakan berikut ini.
1. Program Satuan Pelajaran (Lesson Plan) merupakan rencana
kegiatan belajar mengajar yang disusun untuk paling sedikit
2 kali pertemuan, dan paling banyak 11 kali pertemuan.
Program Satuan Pelajaran merupakan kesatuan utuh yang
disusun dalam Unit tertentu. Itulah sebabnya Program
Satuan Pelajaran (PSP) juga disebut sebagai Unit Plan.
50
2. Penyusunan PSP harus dilandasi pendekatan dan strategi
tertentu. Ditinjau dari isi dan substansinya, pendekatan yang
digunakan dalam penyusunan PSP mata pelajaran BI antara
lain Pendekatan Terpadu (Integrated Approach), ditinjau
dari aktivitas pembelajarannya mengacu pada pendekatan
Contextual Teaching an Learning dan Pendekatan
Proses(Process Approach), sementara ditinjau dari strategi
penyusunannya sebagai PSP pendekatan yang digunakan
adalah Pendekatan Tema (Theme Approach) yang lebih
lanjut akan berhubungan dengan strategi unit.
3. Merujuk pada konsepsi Rubin (1995), pendekatan terpadu
memuat konsepsi, bahwa pembelajaran bahasa mesti
menunjukkan (1) keterpaduan antara tingkat pengalaman,
minat, motivasi, dan prior knowledge siswa dengan bentuk
dan isi pembelajaran, (2) keterpaduan antara komponenkomponen yang diajarkan, misalnya antara membaca,
menyimak, menulis, wicara, struktur, dan kosakata maupun
pembelajaran dalam bidang apresiasi sastra sehingga
membentuk pengalaman belajar dan pemahaman yang utuh,
dan (3) keterpaduan antara sesuatu yang dipelajari,
pengalaman belajar yang diperoleh, dengan realitas
penggunaan bahasa secara konkret.
4. Pendekatan proses berisi konsepsi (1) dalam pembelajaran
bahasa mesti terjadi internalisasi atas sesuatu yang
dipelajari
yang
ditandai
oleh
adanya
kegiatan
menggambarkan, mempersepsi, memaknai, menemukan,
mengklasifikasikan, menyusun, menilai, memaparkan yang
keseluruhannya berlangsung secara dinamis, (2) dalam
proses pembelajaran, proses tersebut dapat dibagi menjadi
3 tahapan, yakni tahap persiapan, pelaksanaan, dan
penyelesaian ataupun tindak lanjut, dan (3) kegiatan belajar
bahasa, baik yang reseptif maupun produktif memerlukan
kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif dari siswa.
5. Dalam konteks pembelajaran sastra terdapat Pendekatan
Interaksi Dinamis yang memuat konsepsi bahwa (1)
pembelajaran sastra mesti menunjukkan interaksi antara
siswa, karya sastra, dan gambaran realitas kehidupan secara
konkret, (2) dalam proses pembelajaran sastra mesti
51
berlangsung aktivitas rekognisi, retensi, dan rekreasi atas
karya sastra yang dipelajari, serta (3) pemahaman terhadap
karya sastra bersifat terbuka dan dinamis sehingga
pemaknaan atas suatu karya sastra memberi peluang
kemunculan berbagai kemungkinan penafsiran dan
penyimpulan.
6. Pendekatan Tema memuat konsepsi bahwa pembelajaran
dapat diuntai dan memuat tema dalam area isi tertentu
sejalan dengan topik-topik yang mau digarap/diembankan.
E. Pemberdayaan Peran Masyarakat
Penerapan kurikulum mendatang diharapkan melibatkan
semua pihak. Dalam konteks penerapan KBK, masyarakat dan
orang tua siswa menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem
persekolahan. Orang tua siswa atau wali siswa berperan dalam
membantu memantau kemajuan belajar siswa melalui laporan
yang dibuat oleh guru. Tugas orang tua atau wali siswa, antara
lain berikut ini.
1. Mencermati dan memberikan kometar atas karya yang
dibuat putera puterinya.
2. mencermati dan ikut memberikan catatan atas komentar
dan catatan yang dibuat oleh guru atas unjuk kerja putera
puterinya
3. Mencermati hasil tes tulis putera puterinya.
4. Mencermati kumpulan hasil kerja putera puterinya, yang
didokumentasikan selama satu semester atau satu tahun.
Dokumen ini disebut dokumen portofolio.
5. Memberikan fasilitas yang bisa menciptakan pajanan terusmenerus agar siswa bisa meningkatkan kompetensi
komunikatifnya dalam bahasa Indonesia.
52
DAFTAR RUJUKAN
A Forum Brief.1999. Contexrtually Based Learning: Fad or Proven
Practice.
http://www.aypf.org/forumbriefs/1999/fbo70999.htm
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selecta Pengajaran Bahasa. Malang:
Penerbit IKIP MALANG.
Beach, Richard dan Lillian Bridwell. 1984. Learning Through
Writing: A Rationale for Writing Across the Curriculum. The
Development of Oral and Written Language in School
Contexts. Pellegrini, Anthony D. dan Thomas D. Yawkey
(eds.). Norwood: Ablex Publishing Co.
Blair, Robert W. 1982. Innovative Approach to Language Teaching.
Massachussetts: Newbury House Publisher, Inc.
Bransford, J.D., Brown, A.L., Cocking, Rodney R. 1999. How People
Learn: Brain Mind, Experience, and School. Washington:
National Academy Press.What Do
Brown, H.D. 1980. Principles of Language Learning and Teaching.
Englewood Cliffs: Prantice-Hall Inc.
Candlin, Christopher dan Murphy. 1987. Language Learning Tasks.
London: Pretice-Hall International.
Chaika, Elaine. l982. Grammar and Teaching. Termuat dalam
Harold B. and Linen Michael D. (ed.). 1982. Reading in
Applied Linguistics. New York: Alfred A. Knopt.
Council on Economic Development (CED). 2001. “High Literacy” and
Language Art Curriculum. School Improvement in Maryland.
(online). (http://www.mdk12.org/practices/
good_instruction/projectbetter/ elangarts/ela-64-66.html
Crookes, Graham dan Gass, Susan M. 1993. Task Language Learning:
Integrating Theory and Practice. Clevedon: Multilingual
Matters Ltd.
53
Departement of Labor. 2001. Job Training Partnership Act, Title III,
Demonstration Program: Contextual Learning Demontration
Program. http://wdsc.doleta.gov/sga/sga/99-008sga.htm
DeStefano, Johanna S. 1984. Learning to Communicate in the
Classroom. The Development of Oral and Written Language
in Social Contexts.
Dubin, Fraida dan Gistein, Elite. 1986. Course Design: Developing
and Materials for Language Learning. London: Cambridge
University Press.
Eanes, Robin. 1997. Content Area Literacy: Teaching for Today and
Tomorrow. Albany: Delmar Publisher
Education Commission of The States Initiative. 2000. ServiceLearning and Preservice Teacher Education. Learning in
Indeed Issue Paper.www.ecs.org.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition.
Oxford: Oxford University Press.
Gay Su Pinnell dan Myna L. Matlin (eds.). 1989. Teachers and
Research Language Learnng in the Classroom. Newark: IRA
Genesse, Fred dan Upshur, John A. 1999. Classroom – based
Evaluation in Second Language Education. Cambridge:
Cambridge University Press.
Graves, Donald. 2001. Emergent Reading and Writing Connection.
School Improvement in Maryland. (online).
(http://www.mdk12.org/practices/ good_
instruction/projectbetter/elangarts/ela-97-99.html
Hamid, Fuad Abdul. 1987. Prosedur Belajar-Mengajar Bahasa.
Jakarta: Depdikbud, Dikti PPLPTK.
Hanley, S. On Constructivism. Maryland: Maryland Collaborative for
Teacher Preparation.
Huda, Nuril. 1999. Menuju Pengajaran Bahasa Berbasis Strategi
Belajar: Implikasi Kajian Strategi Belajar Bahasa Kedua.
Makalah disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar
54
dalam Bidang Ilmu Pemerolehan Bahasa Kedua pada FPBS
IKIP MALANG, di Malang, 12 Mei 1999.
Kasihani, K., Latief, A., Nurhadi. 2002. Pembelajaran Berbasis CTL
(Contexstual Teaching and Learning). Makalah disampaikan
pada Kegiatan Sosialisasi CTL untuk Dosen-Dosen UM.
Malang, 12 Februari 2002
Kratf, N. 2000. Criteria for Authentic Project-Based Learning.
Denver: RMC Reseach Corporation.
Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom.
Cambridge: Cambridge University Press.
Nurhadi. 1995. Tata Bahasa Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Nurhadi. 2000. Penerapan Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia
dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak
Diterbitkan. Malang: PPS Universiats Negeri Malang.
Nurhadi. 2004. Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam
KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Palinscar, Annemarie S. dan Ann L. Brown. 2001. StudentGenerated Questions. School Improvement in Maryland.
(online).
(http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/Project
better/elangarts/ela-46-47.html)
Platt, Nancy G. 1989. What Teachers and Children Do in a Language
Rich Classroom, dalam Teachers and Research: Language
Learning in the Classroom. Gay Su Pinnel (eds.). Newark: IRA
Raimes, Ann. Why Write? From Purpose to Pedagogy. Forum, Vol.
XXV No. 4, Oct. 1987
Resnick, L. 1987. Education and Learning to Think. Washington,
D.C.: National Academy Press
55
Salinger, Terry. 2001. Literate Environment. School Improvement in
Maryland. (online).
(http://www.mdk12.org/practices/good_instruction/project
better/elangarts/ela-62-63.html)
Sudaryanto. 1993. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran
Bahasa Indonesia SD Kurikulum 1994. Makalah disajikan
dalam seminar Nasional Pengajaran Bahasa Indonesia III, di
Jember, 2--4 Desember 1993.
Suyono, 2004. Konteks, Landasan Akademik, dan Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia. Makalah disampaikan dalam
Semimar Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra UM, tannggal 14 Oktober 2004.
Syafi'ie, Imam. 1992. Problematik Pengajaran BI di Sekolah
Menengah (Mengantisipasi Hadirnya Kurikulum 1994.
Termuat dalam jurnal Bahasa dan Seni. Nmr. 50, Th. XX,
Februari 1992.
Talbert, J.E. & McLaughlin, M.E. 1999. Understanding Teaching in
Context. Educational Leadership, Volume 57 (3).
We Mean by Inquiry?
http://www.zoology.duke.edu/cibl/inquiry/what is
inquiry.htm
Zahorik, John A. 1995. Constructivist Teaching (Fastback 390).
Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational
Foundation.
56
Download