PEMETAAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (DI KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA) Sri Wahyuni* PENDAHULUAN Persoalan perempuan dari dulu selalu menjadi topik yang hangat untuk selalu diperbincangkan, tahun 60-an dianggap sebagai gerakan lahirnya feminisme. Meskipun gerakan ini sudah tua yang dimulai pada saat Revolusi Prancis, namun baru diakui pada tahun tersebut di Amerika, kemudian merambah ke Eropa , Kanada dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan menguncang dunia ke tiga termasuk Indonesia yang baru dimulai tahun 80 an dengan disahkan dan berlakunya UU No 7/1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan sebagaimana yang tecermin dalam CEDAW (Convention on the Elimination of All form of Discrimination Against Women). Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai instrumen internasional mengenai perlindungan hak perempuan telah mencantumkan kekerasan, intimidasi dan rasa takut, sebagai kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan bermasyarakat. Pelapor Khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan menyatakan bahwa: ‘Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan kekuasaan dari laki-laki terhadap perempuan yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan dan mencegah perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya secara penuh…serta * Sri Wahyuni, M.Si Dosen Sosiologi. Fak Ilmu politik dan Sosial, Univ. Maritim Raja Ali Haji. 1 merupakan mekanisme krusial dimana perempuan dipaksa dalam posisi subordinasi dibandingkan dengan laki-laki (ditulis dalam laporannya kepada Komisi Hak Asasi Manusia)† Asumsi lain yang mendukung posisi subordinasi perempuan adalah tentang tempat perempuan (women’s place) dalam kehidupan bersama. Tempat perempuan yang diterima cukup meluas adalah di dalam rumah (di ruang privat) dan ia menjadi penanggung jawab utama terhadap pengasuhan anak (nurturer). Permasalahan utamanya bukan mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan dengan konsekuensi negatifnya. Sesuai posisi subordinatifnya, perempuan dan pekerjaannya dianggap inferior terhadap kedudukan dan pekerjaan laki-laki. Kondisi inferionitas perempuan yang telah cukup terpatri di masyarakat pada umumnya, juga diperkuat oleh pernyataan pakar-pakar bidang psikologi dan filsafat seperti Sigmund Freud dan Aristoteles. Keduanya dengan pasti menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna, yang mempunyai ‘detect’ atau kelainan. Tindak kekerasan terhadap perempuan, telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Aktivis perempuan di masa sebelum kemerdekaan, telah mencatat kasus-kasus perkawinan paksa, poligami, perceraian secara sepihak tanpa mempertimbangkan keadilan bagi istri dan anak, dan bentuk-bentuk kesewenangan lain terhadap perempuan. Pada masa Orde Lama, juga tercatat masalah-masalah perempuan dalam perkawinan, sebagai buruh di tempat kerja, dan eksploitasi perempuan sebagai objek seksual. Akan tetapi ada satu peristiwa nasional yang membuat masyarakat terhenyak dengan adanya kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, banyak anak dan perempuan menjadi korban kekerasan terutama perkosaan, tidak hanya di Jakarta di daerah juga terungkap bentuk-bentuk kekerasan seksual massal terhadap perempuan. Peristiwa ini menjadi † Laporan komnas perempuan Indonesia 2 pemicu isu kekerasan terhadap perempuan yang menjadi perhatian publik, yang disusul dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada bulan Oktober 1998. Bersamaan dengan hal tersebut, mulai disadari keseriusan masalah dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang selama ini banyak terjadi dalam masyarakat, tetapi kurang memperoleh perhatian terutama kekerasan dalam rumah tangga. Munculnya pemahaman akan keseriusan masalah perempuan, juga dibarengi dengan berkembangnya kesadaran mengenai kenyataan, masih sangat lemahnya programprogram prevensi dan intervensi terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Dibandingkan dengan banyak negara lain, Indonesia mengalami ketertinggalan dalam kemampuannya menyediakan berbagai bentuk layanan sosial dan hukum bagi korban. Banyak korban tidak mengetahui, apa yang harus dilakukan bila mengalami kekerasan, dan kepada siapa dapat meminta bantuan selain pihak kepolisian. Banyak fakta tindak kekerasan terhadap perempuan tidak teridentifikasi, dari yang teridentifikasi atau terlaporkan, banyak diantaranya tidak tercatat dengan baik. Karenanya, pencatatan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempua masih sangat sporadis dan tidak lengkap. Catatan yang ada pun, hanya tersedia dan dapat diakses dalam lingkup sangat terbatas. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti lebih lanjut pemetaan kekerasan terhadap perempuan di wilayah hukum Kecamatan Tanjungpinang Kota, karena sebagaimana diketahui, Kecamatan Tanjungpinang Kota selain menjadi pusat kota tempat bekumpulnya manusia dalam berbagai aktifitas, juga secara geografis letaknya dekat dengan Kota Batam yang merupakan salah satu daerah transit perdagangan orang keluar negeri terutama Negara Singapure dan Malaysia. Selain itu Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan pintu utama masuknya ke ibu kota provinsi melalui perjalanan laut, (adanya pelabuhan domestik dan internasional ), dan juga menjadi pusat perekonomian tidak hanya milik masyarakat Kecamatan Tanjungpinang Kota akan tetapi masyarakat tanjungpinang dari kecamatan lain bahkan kabupaten. 3 BENTUK-BENTUK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Pendefenisian kekerasan terhadap perempuan (KTP) tidak dapat dipisahkan dari dua analisis yang dikembangkan oleh kalangan feminis. Pertama ; adalah kerangka analisis yang dikembangkan oleh feminis radikal yang melihat kekerasan sebagai manisfestasi agresivitas seksual laki-laki yang bersifat bawaan. Analisis ini membatasi KTP di bawah terminologi kekerasan laki-laki yang di dalamnya bentuk-bentuk tradisional kekerasan seperti pemukulan isteri, pemerkosaan dan berbagai kejahatan seksual lainnya. Kedua ; teori yang dikembangkan oleh kelompok feminis lain yang mendasarkan KTP pada persoalan struktural yang bersifat sistemik, yang disebabkan oleh pola hubungan asimetris yang berbasis pada perbedaan jenis kelamin dan pembagian kerja seksual. Dalam terminologi ini, KTP dipahami jauh lebih luas daripada sekedar persoalan biologis sematamata. Konsekuensinya ialah kekerasan terhadap perempuan juga mengalami perluasan defenisi dan tidak terbatas pada kekerasan seksual (Edwar dalam susi dkk 2002;6). Meskipun kedua kelompok ini berbeda dalam menetapkan landasan analisis, akan tetapi mereka sepakat dalam satu hal bahwa yang dapat disebut sebagai tindakan KTP adalah jika berdasarkan pada prinsip perbedaan jenis kelamin dengan perempuan sebagai korbannya. Dengan kata lain, perempuan mengalami kekerasan yang meliputi segala tindakan yang merugikan perempuan karena jenis kelaminnya atau lazim disebut sexism (French;1996). Pada awalnya kekerasan ini terbatas pada serangan fisik saja. Namun, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran kaum perempuan terhadap ketimpangan sosial yang mereka alami, maka kekerasan mendapatkan perluasan makna yang mencakup serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Mansour fakih;1996). Tampaknya teori kedua yang dipandang dapat mengakomodasi kesadaran perempuan tentang KTP dan dituangkan dalam deklarasi PBB tahun 1994 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang dilakukan atas dasar 4 perbedaan jenis kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat (Muladi;1997). Lebih lanjut dijelaskan oleh muladi bahwa kekerasan terhadap perempuan meliputi, tetapi tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual dan psikis yang terjadi di dalam keluarga dan di dalam masyarakat, termasuk penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap anak perempuan, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, penyunatan perempuan yang menganggu kesehatan dan praktek-praktek tradisional yang merugikan perempuan, kekerasan di luar hubungan perkawinan, kekerasan yang bersifat eksploitatif, pelecehan perempuan secara seksual dan intimidasi di lingkungan kerja dan dalam lembaga pendidikan, perdagangan perempuan, pemaksaat melacur, serta kekerasan yang dilakukan oleh penguasa. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipetakan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan diantaranya ; A. Kekerasan seksual dan kekerasan Nonseksual Kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kekerasan seksual dan nonseksual. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh dan bersifat ofensif bagi korban (Rubenstein;1992). Unsur ketiadaan kehendak ini sangat penting untuk membedakan hubungan seksual yang dikehendaki, dalam arti yang melibatkan persetujuan korban (Kazan;1998). Kekerasan tersebut dapat berbentuk verbal ataupun non verbal yang disertai dengan ancaman atau intimidasi, penganiayaan, sampai pada pembunuhan (Brison;1998). Adapun jenisnya adalah pelecehan seksual, ancaman perkosaan, percobaan perkosaan, perkosaan, perkosaan disertai kekerasan, perkosaan disertai pembunuhan dan pemaksaan untuk melacur. Secara 5 psikologis kekerasan seksual dapat diukur dengan melihat dampak yang ditimbulkan. Penelitian Kalyanamitra menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan pada umumnya mengalami trauma dan depresi. Kekerasan seksual yang dialami perempuan akan merusak harga diri dan membahayakan kepercayaan dirinya (Collier;1995). Kekerasan nonseksual meliputi segala tindakan yang bersifat eksploitatif, diskriminatif, intimidatif dan kriminal, tetapi tidak disertai dengan adanya kehendak seksual, yang merugikan perempuan baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan nonseksual tidak hanya terbatas pada fisik dan mental, tetapi juga dapat berupa kerugian material. Kekerasan nonseksual dapat terjadi di ruang publik seperti di tempat kerja, di jalan raya dan di tempat-tempat publik lainnya. Namun, perempuan juga sangat rentan mengalami kekerasan nonseksual disektor domestik seperti pemukulan terhadap isteri ataupun pasangan, kekerasan yang terkait dengan mas kawin, dan bentuk-bentuk lainnya yang tercakup dalam deklarasi Komisi Status Wanita tahun 1992 (Susi dkk 2002;9). Meskipun unsur kehendak seksual tidak tampak, menjadikan perempuan sebagai target kejahatan sudah dapat dikatagorikan sebagai tindakan sexism B. Pelecehan Seksual dan Serangan Seksual Berdasarkan intensitasnya, kekerasan seksual dapat dikatagorikan menjadi pelecehan seksual dan penyerangan seksual. Kenyataannya mengindikasikan bahwa perkosaan seringkali merupakan kelanjutan dari pelecehan seksual. Pelecehan seksual diberi batasan mulai dari tingkat yang paling ringan sampai sedang yaitu siulan nakal, kerdipan mata, gurauan dan olok-olok yang menjurus pada seks, memandangi tubuh mulai ujung rambut sampai mata kaki, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, memberikan bahasa isyarat yang berkonotasi seksual, memperlihatkan gambar-gambar porno, memperlihatkan organ seks, mencolek, meraba atau mencubit (Kalyanamitra;1996). (Tong dalam Susi dkk 2002;9) menyebut pelecehan seksual ini sebagai little rape, sedangkan serangan seksual dikatagorikan sebagai kekerasan seksual dengan intensitas 6 yang berat. Pada kasus ini korban mengalami serangan seksual yang berakhir pada hubungan seksual secara paksa, yang meliputi ancaman perkosaan, percobaan perkosaan, perkosaan, perkosaan disertai kekerasan dan perkosaan disertai pembunuhan (Atmasasmita;1996). C. Kekerasan Domestik dan Kekerasan Publik Dari segi situsnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestic atau kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada arena publik. Pembagian situs ini didasarkan pada tesis Hubermas (Lades;1995) yang membagi kehidupan modern menjadi dua ranah dan dua moralitas yang berbeda. Kekerasan domestik pada prinsipnya terdiri dari tiga jenis yaitu ; intimate violence, private violence dan family violence. Intimate violence dan private violence terjadi antara suam-isteri atau antar pasangan. Kekerasan bentuk ini antara lain ; berupa pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap isteri, pemukulan isteri, perkosaan dalam perkawinan, penyalahgunaan posisi isteri, termasuk penelantaran isteri. Sedangkan family violence terjadi pada anggota keluarga secara keseluruhan. Sementara kekerasan publik meliputi segala bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual yang di lakukan ditempat-tempat publik. Dalam masyarakat modern-industrial kolaborasi patriarkhi dengan struktur politik-ekonomi kapitalis dapat menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan yang lebih kompleks, tidak saja bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Tidak juga semata-mata bersifat seksual personal, tetapi juga structural misalnya ; pelecehan seksual, pelacuran dan pornogarfi. Selanjutnya De Keseredy and Hinch memunculkan konsep baru tentang kekerasan yang dialami perempuan di sektor industry kapitalis yaitu apa yang disebut korporasi kekerasan, yang meliputi pengabaian hak dan kepentingan, yang pada tahap berikutnya dapat membahayakan keselamatan, kesehatan dan kejiwaannya. Dalam perkembangan terakhir, kategorisasi public dan domestic dirasakan kurang memadai apabila dikaitkan dengan masalah kekerasan terhadap perempuan tanpa 7 memasukan unsur relasi sosial antara pelaku dan korban. Unsure relasi inilah yang sangat menentukan apakah seorang perempuan ini mengalami kekerasan di sektor publik atau domestik. Pada umumnya relasi sektor domestik lebih bersifat altruistik dan ada faktor keterikatan dan ketergantungan satu sama lain dari setiap anggota keluarganya dibandingkan dengan relasi yang terjadi dalam sektor publik (Poole;1993). Bila kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan, meskipun dilakukan disktor publik misalnya ; seorang suami memukul isterinya disuatu pasar, kekerasan tersebut dikategorikan sebagai kekerasan domestik. Sebaliknya bila kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan, meskipun dilakukan di dalam rumah, harus dikategorikan sebagai kekerasan disektor publik. HEGEMONI DAN BUDAYA PATRIARKHI Budaya patriarkhi adalah budaya yang bersifat phallo-centris. Dalam budaya semacam itu maskulinitas berperan sebagai norma sentral sekaligus penanda bagi tatanan simbolos masyarakat (lacan dalam susi dkk 2012; 12.). Pada kenyataannya, maskulinitas tidak bersifat netral dalam melakukan positioning antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan tersebut. Tegasnya, budaya patriarkhi lebih memberikan privilege kepada jenis kelamin laki-laki untuk mengakses material basis of power dari pada mereka yang berjenis kelamin perempuan (McDonald dalam susi dkk 2012; 12) Akses tersebut sudah dimulai sejak usia dini, bahkan sebelum seorang individu dapat memilih bentuk sosialisasi mana yang cukup memadai untuk dirinya. Yang terjadi adalah proses pengondisian yang terus-menerus dilakukan sehingga membentuk commonsense tentang kepatutan sebagai laki-laki dan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah kepatutan ruang sosial, cara berpakaian dan prilaku. Siapapun yang mengabaikan kepatutan tersebut akan mendapat sanksi sosial. Meski tidak selamanya tepat, segala 8 bentuk kekerasan yang menimpa perempuan seringkali diletakan pada kondisi saat perempuan mangabaikan kepatutan. Ideologi patriarkhi merupakan salah satu cara dalam mencapai hegemoni. Suatu ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Dominasi kekuasaan seperti ini dapat terjadi antar kelompok berdasarkan perbedaan jenis kelamin, agama, ras, atau kelas ekonomi (Darwin & Tukiran 2001). Secara teoritis teori ini mengacu hegemoni Gramsci yang pada dasarnya menjelaskan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa melakukan kekerasan (Eriyanto, 2001). Hegemoni ini menghendaki kepatuhan aktif (secara sukarela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat kepemimpinan intelektual, moral dan politik (Erianto, 2001). Ada tiga asumsi penting yang mendasari ideologi ini 1. Kesepakatan-kesepakatan sosial yang sesungguhnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok dominan yang dianggap mewakili kepentingan semua orang atau kelompok. 2. Ideologi hegemoni ini sudah menjadi bagian dari pemikiran sehari- hari, dan cenderung diterima apa adanya sebagai sesuatu yang memang demikian semestinya (taken for granted). 3. Dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinan. Ideologi ini dianggap sebagai penjamin kohesi dan kerjasama sosial, sebab kalau tidak demikian, justru yang terjadi adalah konflik (Pyke, dalam Muhajir, 2001) Melalui hegemoni, perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujui kekuasaan laki- laki dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Hal ini menunjukan bahwa ideologi hegemoni berfungsi menjaga keberlansungan suatu sistem pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan oleh kelompok dominan (laki-laki). Keberlansungan atau 9 seringkali disebut reproduksi budaya ini berlansung dengan diciptakannya berbagai unsur penyangga seperti kelurga, agama, negara, pendidikan, politik dan birokrasi, hukum dan media massa. Dalam kaitannya dengan persoalan gender, unsur penyangga ini bekerja secara multidimensial membentuk image, mitos, sosok, serta control pada dataran struktur makro serta terefleksi dalam relasi kuasa secara interpersonal (Connel dalam Susi dkk 2002;13) Kekerasan yang berbasis jenis kelamin ini menurut (Skine dalam Susi dkk 2002;13) disebabkan oleh kecendrungan kaum lelaki untuk menempatkan diri mereka sebagai kelompok dominan yang mengendalikan seksualitas dan identitas gender perempuan. Baik secara laten maupun secara terbuka, perempuan dikondisikan untuk menerima peran dan posisinya (sesuia dengan yang diinginkan laki-laki) dan laki-laki akan selalu melakukan kontrol agar perempuan mematuhinya. Sexism merupakan mekanisme kontrol yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan agar selalu memenuhi dan menjaga kepentingan laki-laki. Secara laten, budaya patriarkhi melakukan tekanan terhadap perempuan tanpa harus menciptakan kekerasan secara fisik. (Sydie dalam susi dkk 2002;14) menengarai kecendrungan ini sebagai karakter budaya patriarkhi. Berdasarkan pendapat Weber, budaya patriarkhi terbentuk dengan adanya sistem nilai yang berpusat pada patriarch (laki-laki dewasa yang produktif) dan mendominasi orang-orang yang tergantung padanya, yaitu kaum perempuan, anak-anak serta para budak. Weber mendefenisikan kekuasaan dalam budaya patriarkhi sebagai ‘ kemungkinan bahwa satu aktor dalam suatu hubungan memiliki posisi untuk menuruti kemauannya sendiri’. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Lukes (dalam susi dkk 2002;14) penundukan kelompok subordinatif dan minoritas dapat dilakukan dengan mengendalikan pikiran dan hasrat mereka. Relasi dan interaksi sosial dipolakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan laki-laki mendapatkan keistimewaan secara kultural untuk mengendalikan pikiran dan hastrat perempuan (Pyke dalam Susi dkk 2002;14) 10 METODE PENELITIAN Penelitian ini memakai model penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu dengan menggunakan pendekatan analisis gender, sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan berupa data tertulis tentang pemetaan kekerasan terhadap perempuan. LOKASI DAN SUBYEK PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di POLSEK Kecamatan Tanjungpinang Kota yang dipilih secara purposive (sengaja) untuk meneliti pemetaan kekerasan terhadap perempuan. Adapun alasan pemilihan lokasi (area) didasarkan beberapa pertimbangan; A. Pertama, selain kawasan padat penduduk Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan pusat perdagangan atau sentaral perekonomian masyarakat setempat dan dari luar daerah Kecamatan Tanjungpinag kota B. Kedua, kawasan dermaga atau pelabuhan lalulintas keluar masuk penumpang baik domestik maupun internasional. Sedangkan subyek dari penelitian ini adalah pihak kepolisian polsek Tanjungpinang Kota sebagai key informant untuk mendapatkan data yang diinginkan. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data dengan pengamatan terhadap situasi tertentu. Observasi tersebut dilakukan pada subyek peneliti, sementara obyek dalam hal ini kantor POLSEK Tanjungpinang Kota sebagai sumber data primer 2. Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Untuk memperoleh data di lapangan, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam, yaitu data diperoleh dengan jalan mengajukan berbagai pertanyaan tentang segala sesuatu kepada informan atau responden untuk mendapatkan informasi. Dalam hal ini data yang akan diperoleh melalui wawancara adalah data pelaporan atau 11 pengaduan perempuan korban kekerasan. Ketika melakukan wawancara peneliti membawa daftar pertanyaan, (interview guide), namun sifatnya tidak mengikat dan tidak terkesan kaku sesuai dengan urutan daftar pertanyaan. Dalam wawancara ini, yang paling ditekankan adalah, bagaimana komunikasi antara peneliti dan informan berjalan lancar tanpa ada kesan formal. Hal ini dilakukan agar informasi yang didapat lebih dalam dan tidak terkesan bias. 3. Dokumentasi Dokumentasi digunakan sebagai data tambahan untuk mendukung data yang diperoleh dilapangan. Dokumentasi ini diambil dari data-data yang sudah tercatat baik berupa data deskripsi ataupun data statistik di kantor-kantor yang berkaitan dengan lokasi penelitian. Teknik Analisa Data Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif, yaitu analisa yang dilakukan dengan cara data dihimpun, disusun secara sistematis, diinterpretasikan, dan dianalisa sehingga dapat menjelaskan pengertian dan pemahaman tentang gejala yang diteliti. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi diproses dan dianalisis secara kualitatif. Maksud dilakukan kegiatan ini untuk memberikan gambaran yang mendalam dan kesimpulan yang tepat dan memadai sesuai dengan topik dan tujuan penelitian. Dalam hal ini menjelaskan pemetaan kekerasan terhadap perempuan. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Kondisi fisik, sosial, ekonomi, politik dan kultural merupakan suatu pra-kondisi yang diyakini berpengaruh langsung terhadap bentuk, intensitas, respon dan kesadaran berbagai individu dalam suatu komunitas terhadap fenomena kekerasan terhadap 12 perempuan diruang publik maupun domestik. Pada dasarnya, bentuk-bentuk organisasi sosial dan kesatuan hidup masyarakat lainnya memberikan warna tertentu bagi terciptanya suatu ruang sosial, ekonomi dan kultural bagi tindak kekerasan dalam masyarakat. Uraian tentang setting daerah penelitian berikut ini bertujuan memberikan gambaran umum tentang berbagai aspek yang menjadi latar belakang munculnya tindakan kekerasan terhadap perempuan. Uraian diawali dengan gambaran umum kondisi Kecamatan Tanjungpinang Kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang, Kecamatan Tanjungpinang Kota adalah 1 ( satu ) dari 4 (empat) kecamatan yang terletak di Kota Tanjungpinang yang disahkan pada tanggal 1 Nopember 2001 berdasarkan Keputusan Walikota Tanjungpinang Nomor 04 Tahun 2001. Kecamatan Tanjungpinang Kota dalam menjalankan roda pemerintahannya mempunyai visi dan misi, salah satu dari lima misinya antara lain “Menyelenggarakan kegiatan ketentraman dan ketertiban umum melalui koordinasi dgn SKPD terkait”. Dalam mewujudkan misi ini pemerintah setempat, salah satunya bekerjasama dengan pihak kepoliasian yakni POLSEK Kecamatan Tanjungpinang Kota. Kehadiran kantor POLSEK ini sangat berarti bagi masyarakat setempat, mengingat letak Kecamatan Tanjungpinang Kota yang merupakan pintu masuk jalur utama ke ibu kota provinsi melalui laut yakni adanya pelabuhan domestik dan internasional, kawasan yang padat pemukiman karena merupakan jantung pusat perekonomian hal ini bisa dilihat adanya pusat perbelanjaan baik itu berupa pasar modern (mall) maupun pasar tradisional, terminal angkutan dalam kota, hotel dan tempat hiburan sebagai objek wisata kuliner dipinggir pantai dan wisata religi dan juga perbankan, hal ini tidak hanya dikunjungi bagi masyarakat setempat, akan tetapi juga bagi masyarakat diluar kecamatan bahkan antar kabupaten. PENDUDUK 13 Penduduk merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah. Kegiatan pencatatan penduduk atau yang dikenal dengan registrasi penduduk dilakukan secara berkala oleh pemerintah Tanjungpinang Kota. Kegiatan tersebut dimulai dari jenjang terbawah yaitu RT dan RW dilanjutkan kekantor kelurahan sampai kejenjang yang lebih tinggi lagi sehingga dihasilkan data penduduk Kecamatan Tanjungpinang Kota. Adapun jumlah penduduk Tanjungpinag Kota tahun 2010 sebanyak 2307 seperti yang terlihat pada table berikut ini ; Table 1 Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 2010 No 01. Kelompok Umur Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 0 – 4 Tahun Jumlah 775 775 5 – 9 Tahun 1500 1180 10 – 14 Tahun 1437 1705 15 – 19 Tahun 1958 1948 20 – 24 Tahun 1902 1015 25 – 29 Tahun 1133 720 30 – 34 Tahun 1140 1673 35 – 39 Tahun 940 965 40 Tahun Keatas 1271 1054 Jumlah 12056 11015 Sumber Kecamatan Tanjungpinang Kota 2011 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa usia yang paling 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 1530 2680 3142 2906 1917 2853 2813 1905 2325 23071 dominan adalah remaja tengah menuju remaja akhir yakni usia 15-19 tahun dan dewasa madya yang disebut juga usia tengah baya yakni usia 40 tahun ke atas, ini menunjukan usia produktif untuk bekerja. Banyaknya usia produktif bekerja di kecamatan Tanjungpinang kota, bisa saja terjadi karena dilihat dari letak dan kondisi kecamatan yang begitu strategis baik secara geografis maupun secara administrasi yang menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim di wilayah tersebut mencari pekerjaan. PENDIDIKAN Secara umum kesejahteraan sosial masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator salah satu diantaranya adalah tingkat pendidikan, karena pendidikan merupakan ujung tombak pembangunan. Dengan pendidikan yang baik, sumber daya 14 manusia (SDM) akan menjadi berkualitas. Berikut gambaran pendidikan masyarakat kecamatan Tanjungpinang Kota. Table 2 Jumlah Penduduk Kec Tanjungpinang Kota Berdasarkan Pendidikan Yang Ditamatkan Tahun 2010 No JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH 1 2 3 4 5 6 7 Tdk /Blm Sekolah 2,127 Blm Tamat SD/ Sederajat 1,246 Tamat SD/ Sederajat 5,501 SLTP/ Sederajat 1,732 SLTA/Sederajat 3,349 D-I/II 54 Akademi/D-III/Sarjana 118 Muda 8 D-IV/Strata-I 343 9 Strata-II 23 10 Strata-III 1 Sumber Kecamatan Tanjungpinang kota 2011 Strata pendidikan di kecamatan Tanjungpinang Kota mengambarkan masih banyak yang tidak/belum tamat sekolah sebesar 2,127, jumlah ini jika dikaitkan dengan usia penduduk (lihat table 1) itu berada pada usia sekolah. Tamatan yang terbanyak jumlahnya yakni SLTA/sederajat, bahkan yang tamat S1 jumlahnya lumayan besar, begitu juga dengan s2. Ini menunjuk kan animo masyarakat Kecamatan Tanjungpinang Kota akan pentingnya pendidikan, yang juga disertai dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dimana terdapat jumlah TK/RA sebanyak 6, SD berjumlah 12, SMP berjumlah 4, SMU berjumlah 1 yang terdiri dari sekolah negeri dan swasta dan 2 perguruan tinggi negeri dan swasta (sumber BPS Tanjungpinang Kota 2011). MATA PENCARIAN 15 Masyarakat Kecamatan Tanjungpinang Kota memiliki sarana perekonomian yang terdapat dimasing-masing kelurahan, hal ini bisa dilihat dari pekerjaan yang dijalani atau dilakukan, seperti yang tegambar pada table dibawah ini ; Table 3 Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Tanjunngpinang Kota Berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2010 N 0 JUMLA PEKERJAAN H NO PEKERJAAN JUMLAH 5334 115 28 29 PENATA RAMBUT MEKANIK 1 9 267 30 SENIMAN 1 54 20 82 76 1 731 2 90 4098 31 32 33 34 35 36 37 38 39 1 3 4 6 1 1 1 1 1 1 2 87 5 6 7 8 9 10 11 12 13 MENGURUS RUMAH TANGGA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) TENTARA NASIONAL INDONESIA KEPOLISIAN RI (POLRI) PERDAGANGAN PETANI/PEKEBUN PETERNAK NELAYAN/PERIKANAN INDUSTRI TRANSPORTASI KARYAWAN SWASTA 14 KARYAWAN BUMN 15 40 15 16 17 KARYAWAN BUMD KARYAWAN HONORER BURUH HARIAN LEPAS BURUH TANI/PERKEBUNAN BURUH NELAYAN/PERIKANAN 2 159 1930 41 42 43 TABIB IMAM MASJID PENDETA PASTOR WARTAWAN USTADZ/MUBALIGH JURU MASAK ANGGOTA DPD RI WALIKOTA ANGGOTA DPRD PROP. ANGGOTA DPRD KAB./KOTA DOSEN GURU 50 44 PENGACARA 5 45 45 AKUNTAN 4 1 46 KONSULTAN 1 45 1 3 2 47 48 49 50 DOKTER BIDAN PERAWAT PELAUT 14 6 6 202 SOPIR PEDAGANG WIRASWASTA PEKERJAAN LAINNYA 7 196 874 22 1 3 4 18 19 2 0 BURUH PETERNAKAN PEMBANTU RUMAH 21 TANGGA 22 TUKANG CUKUR 23 TUKANG BATU 24 TUKANG KAYU TUKANG LAS/PANDAI 25 BESI 26 TUKANG JAHIT 27 PENATA RIAS 4 12 3 51 52 53 54 Sumber Kecamtan Tanjungpinang Kota 2011 1 16 Pekerjaan yang paling dominan adalah sebagai ibu rumah tangga, kemudian karyawan swasta dan buruh lepas. Banyaknya jumlah karyawan swasta dan buruh lepas ini, karena Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan sentral perekonomian. PEMETAAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol. Bukan saja hal itu disebabkan makin beratnya kasus kekerasan yang dialami perempuan, melainkan intensitasnyapun semakin mengkhawatirkan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak jarang menimbulkan ketakutan dan mengakibatkan perempuan tidak bisa melakukan aktifitas secara leluasa. Perempuan juga kurang bisa mengekspresikan diri mereka sesuai dengan kemauan karena adanya kekhawatiran bahwa itu akan menjadi alasan terjadinya sebuah tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Kecamatan Tanjungpinang Kota, yang selama ini teridentifikasi berdasarkan laporan korban kepada pihak POLSEK kecamatan Tanjungpinang Kota dapat dilihat pada tabel dibawah ini ; Table 1 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Berdasarkan Kejadian/Peristiwa Di Kecamatan Tanjungpinang Kota Januari-Agustus 2012 N0 BENTUK KEKERASAN JUMLAH 1 Pencurian (motor & uang ) 2 2 Penipuan sepeda motor 1 3 Pencopetan/jambret 1 4 Pencabulan di bawah umur 1 Sumber POLSEK kecamatan Tanjungpinang Kota 2012 17 Berdasarkan data di atas dapat dipetakan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di Kecamatan Tanjungpinang Kota diantaranya ; 1. Kekerasan dalam kategori nonseksual yaitu perempuan korban pencurian motor, uang di kasir, penipuan dan pencopetan/jambret. Kekerasan dalam kategori ini tidak hanya terbatas pada fisik dan mental tetapi juga dapat berupa kerugian materi. Menurut Bripka Jacsan Debetaraja Humas POLSEK korban pencurian motor mederita kerugian ditafsir sebesar tujuh juta rupiah, sementara korban pencurian uang ditafsir empat juta rupiah dan penipuan sepeda motor sebesar tujuh juta rupiah. Perempuan korban kekerasan nonseksual ini, termasuk di dalam kekerasan disektor publik yang dilihat berdasarkan pelaku. Pelaku dalam kekerasan ini adalah tidak ada pertalian darah ataupun hubungan sebagai suami isteri. 2. Kekerasan dalam kategori seksual. Kekerasan dalam hal ini adalah pencabulan anak dibawah umur yang dilakukan oleh teman dekat (pacar) dan korbannya berjumlah satu orang. Kekerasan dalam kategori ini juga merupakan kekeresan disektor publik, karena pelaku adalah teman dekat (pacar). Kasus perempuan korban kekerasan yang terjadi di wilayah hukum Polsek Kecamatan Tanjungpinang Kota tidak begitu signifikan, jika dilihat dari data yang penulis peroleh, padahal jika dilihat dari letak wilayahnya, Kecamatan tanjungpinang Kota, merupakan daerah pemukiman yang padat, sentral perekonomian adanya perbankan, mall, pasar tradisional, terminal angkutan dalam kota, pintu masuk utama ke ibu kota provinsi melalui jalur laut, adanya pelabuhan domestik dan internasional, pusat pariwisata kuliner maupun budaya, hotel dan tempat hiburan, hal ini merupakan rentan bagi perempuan mejadi korban kekerasan baik itu seksual maupun nonseksual. Namun fakta menunjukan bahwa Kecamatan Tanjungpinang Kota relatif aman, hal ini juga di ungkapkan oleh Bripka Jacsan Debetaraja Humas POLSEK Tanjungpinang Kota, keamanan ini bisa terjaga dan terkendali karena babimkantipnas dan patrolinya berjalan 18 dengan baik, selain itu letak kantor yang srategis dan presentatif ditengah pusat keramaian sehingga mudah untuk dijangkau oleh masyarakat. Perempuan korban kekerasan yang terjadi di Kecamatan Tanjungpinang Kota, sebenarnya tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual dan nonseksual, akan tetapi juga terdapat perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hanya dalam penanganan kasus KDRT, karena POLSEK tanjungpinang kota tidak mempunyai unit kanit PPA, jadi setiap korban yang datang langsung diantar dan diserahkan ke POLRES Tanjungpinang, karena di POLRES tersebut ada kanit PPA yang khusus melayani perempuan korban KDRT. KESIMPULAN Bahwa perempuan korban kekerasan tidak hanya dilihat dari ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saja, akan tetapi ada kekerasan lain berupa kekerasan seksual dan nonseksual. Untuk mengetahui apakah perempuan korban kekerasan dalam kategori kekerasan disktor publik dan domestik itu dapat diketahui dari identitas pelaku. SARAN Berdasarkan pengalaman penulis dalam pengambilan data di lapangan, bahwa masih ada terdapat dari beberapa petugas kepolisian yang menganggap, tentang konsep perempuan korban kekerasan, itu adalah perempuan korban KDRT dan pencabulan, sebenarnya tidak hanya itu. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi kesepakatan dalam konsep perempuan korban kekerasan baik secara hukum maupun secara teoritis, karena ini terkait dalam penanganan kasus perempuan korban kekerasan. 19 DAFTAR PUSTAKA Anderson, Maratet L., Thingking About Women Sociogycal & FemenistPerspectives, University of Delaware, Newark Atmasasmita, Ramli.1996. Kejahatan keasusilaan dan pelecehan seksual dalam perspektif kriminologi dan viktimologi, dalam pelecehan seksual. Yogyakarta: Fak.Hukum Univ Islam Indonesia, hal 41-67 Brison,J.susan.1998 Surviving Sexsual Violence Philosophical Perspective, in Stanley G frech Wanda Teay dan Laura M. Purdy (eds) Violence Against Women : Philosophical Perspective Ithaca; cornell univ. Collier, Rohan.1995 Combanting Sexual Harassment in the Workplace.Buckingham: Open Univ.Press Creswell, John W, 2010, Reserarch Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan Mixed edisi ke tiga, Pustaka pelajar Yogyakarta DeKeseredy, walter and hinch 1991.Women Abuse; Sociological perspective. Toronto : Thompson Educational Publishing.Inc Pelajar frech G Stanley, Wanda Teay dan Laura M. Purdy (eds). 1998. Violence against women : philosophical perspective. Ithaca; cornell univ. press. Fakih, Mansour, 1996. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Ihromi.T.Q. 2000. Budaya dan Struktur Sosial yang Patriarkal: Reproduksi dan Resistensi?Tinjauan terhadap Beberapa Hasil Penelician tentang Perempuan dalam Sejumlah Kebudayaan Etnik di Indonesia. Dalam E. Kristi Poerwandari dan Rahayu Surtiati Hidayat (penyunting). Kazan, Patricia.1998. Sexsual assault and the problem of consent, in Stanley G frech Wanda Teay dan Laura M. Purdy (eds). 1998. Violence against women : philosophical perspective. Ithaca; cornell univ. press,pp.27-24 Kalyanamitr .1996 Apa itu pelecehan sexsual ? Jakarta. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah (hal. 208-231). Jakarta: Program Studi Kajian Wanita PPS-UI Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas: di bawah baying-bayang nihilism. Yogyakarta: Kanasius. Terjemahan Sudarminta SJ. Pyke D Karen 1996. Class-based masculinity ; the interdependence of gender, class and interpersonal power, gender dan society 10(5):527-549. Maliki, Zainuddin, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, 2003, Ipa Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Institute for the Study of Religion and Society. Muladi.1997. Perlindungan Wanita Terhadap Tindak Kekerasan Dalam Eko Prasetyo, Suparman Marzuki (eds), Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: Persatuan Keluarga Berencana Indonesia, hal 129-143. 20 Murniati, A.Nunuk P, Getar Gender Perempuan Indonesia Dalam Perspektif: Agama, Budaya, dan Keluarga, Yogyakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2004. --------------------------, Getar Gender Perempuan Indonesia Dalam Perspektif: Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, Yayasan Indonesia Tera, 2004. Munti, Ratna Batara. 2000- Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Kelemahan Aturan dan Proses Hukum, serta Strategr Menggapai Keadilan. Dalam E. Kristi Poerwandari dan Rahayu Surtiati Hidayat (penyunting), Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah (hal. 377-408). Jakarta: Program Studi Kajian Wanita PPS-UI. Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan (Bacaan bagi Awak Ruang Pelayanan Khusus - Police Women Desk). Jakarta: Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak DE RAP - WARAPSARI, 2001. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Publikasi Komnas Perempuan, 2002, Pencetak Ameepro, Jakarta Seri Dokumen Kunci. 2001. Laporan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Susi Eja Yuarsi dkk, 2002, Tembok tradisi dan tindakak kekerasan terhadap perempuan, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Jogyakarta Sugihastuti dan Istna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas perempuan, 2010, Pusataka pelajar Jogyakarta. Skaine, Roesmarie.1996. Power and Gender: Issues In Sexsual Dominance And Harassment. California: McFarland & Campany, Inc 21