BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang keterlibatan perempuan dalam politik pembuatan kebijakan di parlemen, tidak lepas dari konstruksi sosial perempuan dalam relasi masyarakat. Konstruksi sosial yang selama ini diteguhkan dalam benak msyarakat adalah konsepkonsep stereotipe tentang perempuan di berbagai sektor, termasuk dalam sektor politik.Konstruksi sosial yang kebanyakan yang merupakan stereotipe tentang perempuan, akhirnya ditarik kedunia publik termasuk dalam dunia politik, bahwa perempuan “tidak layak” memimpin karena perempuan tidak rasional dan lebih mengndalkan emosinya. (Sumber :Nina Mussolini : Jurnal perempuan63 : 14) Konsturksi sosial yang semacam ini membuat perempuan tidak memungkinkan untuk berperan secara aktif dalam politik.Peran laki-laki sangat domonan bahkan sangat kuat, sehingga kalaupun ada perempuan yang muncul dalam karier politik, ini bukan kehebatan perempuannya, tetapi merupakan kebaikan dari lelaki kepada istri yang berkiprah dalam politik harus mendapatkan izin dari suaminya.Ini merupakan salah satu konstruksi sosial yang sangat melemahkan posisi politik perempuan. Dari segi budaya dalam masyarakat tertentu, perempuan di tempatkan posisi tidak seimbang dengan lakai-laki. Di masyarakat kita, sejak kecil sudah adanya dibuat kebebasan apa yang di buat anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan hanya boleh tinggal dirumah, mengurusi rumah tangga, menjaga, memilihara, mendidik dan membesarkan anak. Ini merupakan proses sosialisasi yang menegaskan bahwa posisi perempuan adalah lemah. Pandangan yang bersumber dari steriotipe dan keyakinan gender inilah yang akhirnya banyak menghasilkan ketimpangan gender dibeberapa sektor. Sedangkan kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang dunia politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namum berbagai factor itu jarang sekali terjadi. Factor pertama adalah pandangan steriotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran yang cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur atau domestik, tidak bisa berpikir rasional dan, kurang berani mengmbil rasiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi steriotipe perempuan.Aibatnya, bailk perempuan atau laki-laki masyarakat secara umum, sudah menarik kutub yang berbeda bahwa dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan. Factor lain adalah ketimpangan-ketimpangan gender yang berakar dari sosial budaya mengakibatkan jumlah perempuan yang mencapai jenjang pendidikan tinggi lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Akibatnya perempuan tidak mempunyai pengetahuan memadai dan tidak bisa berkiprah di dunia politik. Selain itu pemahaman, politk di kalangan kaum perempuan juga sangat rendah, mengingat dunia politik adalah “milik laki-laki”, maka msyarakat memandang tidak perlu memberi pemahaman politik pada kaum perempuan.Sumber : MB. Wijaksana :Jurnal perempuan63 : 96 Kesadaran politik bagi perempuan juga telah melahirkan kongres perempuan Indonesia yang pertama, di Yogyakarta pada 22 desember 1928. Kongres perempuan yang selalu dilaksanakan setiap 22 desember sampai tahun 1943, sebenarnya adalah kongres yang menghasilkan keputusan-keputusan politik penting bagi bangsa Indonesia. Kini zaman sudah mulai berkembang, dengan berasumsi demokrasi dalam suatu negara.Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga negara, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas.Maka diciptakanlah ide-ide untuk memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk mendapatkan hak politik dalam pengambilan kebijakan dalam parlemen, terutama gagasan yang muncul adalah keterlibatan perempuan dalam politik. Dibuatlah suatu trobasan yang baru setelah konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The Un Convention on the Elimination of all Forms of Diskriminatian agsinst Women – CEDAW) disahkan dan diterima oleh dewan umum PBB pada tahun 1997. Hal ini lebih dari dua puluh tahun sejak ditandatangani konvensi itu, lebih dari 170 negara meratifikasinya. Konvensi itu dapat menjadi dasar untuk menwujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan terbuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak untuk memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan- tindakan kusus yang bersipat sementara, sehingga kaum perempuan nanti bisa menikmati seluruh hak dan kemardekaan hak asasi mereka. Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan.Hal ini sudah dimulai pada masa pemrintahan Orde Baru pada tahun 1968.CEDAW diratifikasi pada tahun 1984.Kemudian pemrintah Habibie meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari konvensi perempuan. Belakangan ini pemerintah indonesia bahkan telah menganbil beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk menyempurnakan yang menyangkut jender. Terbitlah suatu trobosan baru yang dibuat oleh pemrintah yang disusun dalam sebuah konstitusi bagi perempuan untuk mendapatkan hak politiknya. Muncullah undang Seperti UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan UU no.2 tahun 2008 tentang partai politik ( parpol ) bahwasanya kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di parlemen. Bahkan dalam pasal 8 UU no.10 tahun 2008,disebutkan adanya pernyataan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu, dan pasal 53 UU menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan. Kesempatan ini jelas adalah peluang emas, setelah sekian lama perempuan ada dalam baying-bayang superioritas politik dikotomi perempuan perempuan versus laki-laki. Namun pada kenyaatannya secara statistik keterlibatan perempuan dalam politik masih belum mengembirakan. Hal itu dapat dicermati dari hasil pemilu dari tahun ke tahun.Pran perempuan dibidang politik, termasuk puncak pimpinan penentu kebijakan di pemerintahan baik tingkat pusat maupun daerah, desa sekalipun, masih didominasi kaum pria.Bukan bearti tokoh politik perempuan dan pimpinan perempuan dibidang pemrintahan tidak ada, namun jumlahnya sangat jauh dari harapan dan tidak berimbang dengan jumlah pimpinan politik laki-laki. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemilu secara nasional dari tahun 1955-2004 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : TABEL 1.1 Jumlah Anggota DPR RI, Berdasrkan Jenis Kelamin Hasil Pemilu 19552004 Periode 1950-1955 1955-1950 1956-1959 1971-1977 1977-1982 1982-1987 1987-1992 1992-1997 1997-1999 1999-2004 2004-2009 Jumlah Anggota DPR Perempuan Laki-laki Jumlah 9 17 25 36 29 39 65 62 54 46 63 Jumlah 236 272 488 460 460 460 500 500 500 500 487 245 289 513 496 489 499 565 562 554 546 550 Sumber : jurnal catatan politik perempuan Tabel diatas menunjukkan bahwasanya minimnya jumlah perempun sebagai penentu kebijakan politik, menyebabkan keputusan mengenai kebijakan umum yang mempengaruhi kesejajaran perempuan masih dipegang oleh laki-laki, yang sebagian besar menganggap bahwa politik tidak cocok untuk perempuan, sehingga perempuan manut saja apa keputusan politik yang di ambil oleh laki-laki, karena laki-laki yang tahu dan layak berpolitik. Hal ini juga di ikuti pemilihan umum DPRD Kkota Tanjungpinang tahun 2014 menunjukkan ketidak seimbangan jumlah anggota di parlemen Kota Tanjungpinang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat pada table di bawah in: Table 1.2 Jumlah Anggota DPR Kota Tanjungpinang, Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil Pemilu 2014 Periode Jumlah Anggota Perempuan Laki-laki DPR Jumlah Jumlah 30 8 22 2014-20019 Sumber : htt//.www.kpu.go.id Berdasarkan tabel diatas, dari hasil pemilu 9 april 2014 yang lalu, pesta demokrasi dimulai dengan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Tanjungpinang. Yang menghasilkan delapan (8) keterwakilan perempuan sebagai mewakili masyarakat Kota Tanjungpinang sekaligus mewakili dari kaumnya sendiri.hal ini bisa dikatakan dengan jumlah yang tidak seimbang dibandingkan dengan kaum laki-laki. Delapan orang perwakilan perempuan yang terlibat secara lansung di lembaga legeslatif, tidak hanya sekedar memenuhi amanat konstitusi yang telah diberikan kesempatan oleh negara, bukan hanya sekedar pelengkap di parlemen.Tapi bagaimana mereka bisa membuat terobosan-terobosan barau bagi kaumnya sendiri.Inilah yang menjadi tantangan yang terbesar bagi kaum perempuan untuk mendapat hak politiknya di lembaga legeslatif. Kebijakan yang akan muncul, akan menentukan nasib kaum perempuan di kota tanjungpinang, serta berperen secara aktif di lembaga legeslatif. Hal inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk meneliti lebih lanjutdengan judul : “KETERLIBATAN PEREMPUAN di PARLEMEN KOTA TANJUNGPINANG DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN” 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan, maka perumusan masalah pada peneliian ini adalah : 1) Bagaimana keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusandi parlemen Kota Tanjungpinang ? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan saran untuk merealisasikan aktifitas yang akandilaksanakan suatu penelitian, sehingga diperlukan perumusan yang jelas dan tepat. Karena tujuan berfungsi sebagai acuan fokok terhadap masalah yang diteliti, maka tujuan merupakan bagianpentingdalam penelitian, sehingga dengan tujuan yang ada, akan dapat bekerja secara terarah baik dalam mencari data-data sampai pemecahan masalahnya. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen Kota Tanjungpinang. 1.3.2.Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian adalah : 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan informasi bagi para mahasiswa, serta pemerhati masalah-masalah kaum perempuan di dalam dunia politik. 2. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para pengambil kebijakan, agar kedapanya tdak ada lagi termaljinalnya perempuan dalam politik, beserta ada kesetaraan perempuan dengan laki-laki untuk mendapatkan hak yang sama dalam perpolitikan. 1.4 KONSEP OPERASIONAL Definisi konsep merupakan hal yang paling penting dalam penelitian yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social. Adapun definisi konsep yang digunakan untuk mempermudah dalam menjelaskan permaslahan yang diteliti. Mengenai keterlibatan perempuan di parlemen dalam pengambilan keputusan antara lain keterlibatan dalam pengambilan keputusan, keterlibatan dalam pelaksanaan, dan evaluasi Di DPRD Kota Tanjungpinang. 1. Perempuan dalam parlemen Perempuan dalam parlemen merupakan suatu kelompok atau individu yang terlibat dalam lembaga legislatif, dalm pembuatan kebijakan dan sekaligus mewakili dari kaumnya sendiri. 2. DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Merupakan lembaga legislatif tingkat daerah baik itu tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.Dalam penelitian ini DPRD yang dimaksud adalah DPRD Kota Tanjungpinang yakni keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. a. participant in Decision Making Merupakan partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah keterlibatan dalam pembuatan keputusan melalui rancangan pembangunan dan penentuan arah, strategi dan kebijakan politik yang yang akan diputuskan. b. Participation in Implementation merupakanPartisipasi dalam pelaksaan keterlibatan perempuan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan. Partisipasi dalam pelaksanaan ini dapat berupa kontribusi.Yaitu perempuan memberikan dukungan setiap pelaksanaan kegiatan. c. Participation in Evalutation Merupakanketerlibatan dalam evaluasi merupakan keikutsertaan perempuan dalam parlemen mengawasi dan menilai pelaksanaan hasil-hasil perencanaan. BAB II LANDASAN TEORI 1. Perempuan Dalam Parlemen Secara angka representasi perempuan di parlemen memang mengalami peningkatan, tapi secara kualitas pemahaman mengenai tujuan ideal representasi perempuan di parlemen masih sangat jauh dari harapan.Idealnya representasi perempuan dapat menjadi lebih signifikan dalam memperjuangkan isu perempuan dan gender. Lovenduski (2008) menyebutkan bahwa perempuan memiliki paras ganda, yaitu sebagai representasi deskriptif dan substanstif. Pada representasi deskriptif, diasumsikan bahwa hanya perempuan yang mampu mewakili kepentingan perempuan, sehingga seharusnya apa yang direpresentasikan atau diperjuangkan perempuan sebanding dengan jumlah perempuan yang ada di parlemen. Sementara secara substantif, tidak mempermasalahkan peningkatan kuantitas perempuan, tidak harus perempuan yang menjadi perwakilan perempuan.Representasi substantif hanya fokus pada ide dan tujuan isu perempuan. Sistem pemrintahan yang terdiri dari Eksekutif, Legeslatif dan Yudiktif, namun dalam penelitian ini penulis focus pada permasalahan mengenai Partisipasi Perempuan dalam parlemen untuk menentukan kebijakan mereka di Legeslatif. Cohen dan Uphoff (1997:99), dalam Muhaammad Mulyadi (2009:25) dalam kegiatan pengambilan keputusan di parlemen ada beberapa indicator, indikatornya adalah sebagai berikut : 1. Participant in Decision Making partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah keterlibatan aktif dalam pembuatan keputusan melalui rancangan pembangunan dan penentuan arah, strategi dan kebijakan politik yang akan diputuskan. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan proses penentuan arah kesejahteraan masyarakat tercermin dari : a. Keikutsertaan perempuan dalam parlemen dalam menghadiri kegiatan rapat paripurna untuk kesejahtraan kaum perempuan dan msyarakat. b. Keikut sertaan perempuan dalam proses atau perumusan pembuatan keputusan atau kebijakan. 2. Participation in Implementation Partisipasi dalam pelaksaan merupakan keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan.Partisipasi dalam pelaksanaan ini dapat berupa kontribusi. Menurut Mubyiarto dan Kartodirjo (1999:37) bahwa : “kontribusi dapat diketahui dari kesediaan perempuan memberikan dukungan pada setiap tahap plaksanaan kegiatan sesuaikempuan setiap orang tanpa mengorbankan diri sendiri”. Untuk lebih jelasnya kontribusi perempuan ini bentuk keterlibatanya dapat dilihat dari : a. Kontribusi pemikiran, tenaga serta keputusan yang pro terhadap kaum perempuan dan masyarakat. 3. Participation in Evalutation Keterlibatan dalam evaluasi merupakan keikutsertaan dalam parlemen mengawasi dan menilai pelaksanaan hasil-hasil perencanaan.Bagai mana kaum perempuan dan msyarakat dapat memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadalan. Memberikan saran dan kritik terhadap pelaksanaan agar sesuai dengan apa yang telah di rencanakan dan mencapai hasil yang telah ditetapkan. Keikutsertaan perempuan dalm bentuk ini dapat dilihat, ketika perempuan melakukan : a. Melakukan kritik atau koreksi terhadap jalannya pelaksanaan kegiatan dengan membrikan saran dan penilayan sebagai bahan pengwasan dan evaluasi. BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Deskripsi Tentang DPRD Kota Tanjungpinang Tanjungpinang adalah kota tua yang banyak menyimpan jejeak sejarah panjang kejayan kesultanan melayau dikawasan semenanjung Malaya. Kini tanjungpinang merupakan bagian dari propensi Kepulauan riau (Kepri) dengan status kota otonaom dan tanjungpinang sendiri sekaligus adalah Ibu Kota Propensi Kepulauan Riau. Sejarah Tanjungpinang sendiri cukup beragam.Selain pernah menjadi pusat kendali pemrintahan Belanda di kawasan Kepulauan Riau, Tanjungpinang juga pernah menjadi Ibu Kota Propensi Kepulauan Riau (Kepri), meski hanya sebentar.Setelah itu tanjungpinang juga pernah menjadi kabupaten kepri.Awalnya status Tanjungpinang adalah Kota adminiitratif yang berada di kabupaten Kepri. Namun seiring dengan rencana pemekaran Kabupaten Kepri yang di ikuti pembentukan Propensi Kepulauan Riau, maka terjadi sejumlah pemekaran daerah otonom. Selain Karimun, Bintan, dan Natuna juga saat itu ikut dimekarkan Tanjungpinang sebagai Kota otonom. Pemekaran ini terjadi setelah pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2001 tentang pembentukan Kota otonom di Tanjungpinang pada tanggal 21 juni 2001. Seiring dengan pembemtukan Kota otonom itu, maka prangkat Pemrintahan juga disiapkan. Karena itu, pada Tahun 2002, terbentuklah DPRD Kota Tanjungpinang pertama kali.Kantor DPRD terletak disebelah selatan utara kecamatan tanjungpinang Kota kelurahan senggarang. Sejarah terbentuknya DPRD cukup panjang mulai dari perjuangan pembentukan Kota Otonom pada tahun 2002, pada saat itu juga terbentuklah DPRD Kota Tanjungpinang, yang berasal dari anggota kabupaten Kepri di pindahkan di daerah masing-masing. Seiring berjalannya waktu, tepat pada tanggal 5 april tahun 2004 terjadi di gelarnya pemilihan legislatif yang pertama kali di tanjungpinang, yang pada saat itu hanya 25 kursi yang di perebutkan masing-masing calon legislatif periode 2004-2009, tercatat satu (1) orang perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD Kota Tanjungpinang yang pertama kali adalah Maria Tuti Puji Angeti. Sumber :http://www.kepribangkit.com/inilah-anggota-dprd-kota- tanjungpinang-2014-2019.kb BAB IV HASIL PENELITIAN Keterlibatan perempuan dalam parlemen di DPRD Kota Tanjungpinang dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara lain ; membuat suatu kebijakan, penganggaran, dan pengawasan dapat di katakan belum ikut terlibat dengan baik, karna ada beberapa faktor yang menjadi hambatan mereka, baik itu internal maupun eksternal. Dengan demikian, aspirasi yang ingin diutarakn anggota legislatif perempuan tersebut belum ditanggapi sepenuhnya dengan baik. Faktor tersebut, antara lain mulai dari kurangnya pengalaman organisasi politik, struktur jabatan yang kurang strategis, serta kurang percaya diri dalam pengambilan keputusan, itu menyebabkan ketimpangan dalam menentukan arah politik perempuan, dan partai politik yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik untuk menyiapkan kader-kader perempuan, dalam rekrumen politik, ditambah kaum laki-laki yang menjabat di anggota legislatif tidak mendukang, selain itu, kaum perempuan pada umumnya itu sendiri yang tidak percaya diri mengenai perpolitikan, dan kurang memahami arti pentingnya partisipasi, sehingga menimbulkan sikap apatis untuk tidak mau ikut dalam kegiatan politik aktif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hanya pada sebatas ikutserta dalam pengambilan keputusan, mengepaluasi namun dalam pembutan keputusan secara aktif masih kurang. BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan Pemikiran stereotype suatu kelompok masyarakat tentang perempuan beranggapan bahwasanya perempuan adalah penghuni dapaur, kasur dan sumur, kini sudah mulai biasa di tepis oleh sebagian kalanan permpuan. Hal ini tentunya dilihat dari delapan (8) orang kaum perempuan yang bisa menembus di sektor publik yang hari berada menjabat di jabatan anggota DPRD Kota Tanjungpinang Tahun 20142019. Hal yan positif bagi kalangan kaum perempuan yang untuk membungkam sekelomp[ok orang yang menganggap perempuan itu hanya ditempatkan di sektor domistik. Delapan (8) orang kaum perempuan ini sudah bekerja dengan baik, namun pada dasarnya belum mampu terlibat secara aktif di dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilihat dari setiap keputusan-keputusan yang dibuat kurangnya berpihak pada kaum perempuan di DPRD Kota Tanjungpinang. kaum perempuan yang berada di DPRD Kota Tanjungpinang hanya berperan aktif pada proses pengambilan keputusan dan mengevaluasi setiap pelaksanaan kebijakan yang dilakukan. Namum pada tahap inplementasi dalam suatu pembuatan keputusan, kaum perempuan masih belum aktif dengan baik. 2. Saran Untuk kedepanya anggota legislatif perempuan kususnya di DPRD kota Tanjungpinang diharapkan mampu menunjukkan eksistensinya di dalam partisipasi kebijakan politik serta ikut terlibat bertanggung jawab dalam peremcanaan yang telah diputuskan dan evaluasi dalam setiap keputusan. Selanjutnya anggota legislatif pada umumnya kaum laki-laki harus saling bekerja samadan mendukung upaya yang dilakukan anggota legislatif perempuan. Member kesempata kepada kaum perempuan untuk berekpresi dan mengutamakan ide maupun gagasan terkait aspirasi perempuan. Disisi lain partai politik diharapkan mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dalam hal ini fungsi rekrumen politik untuk menyiapkan kader-kader perempuan yang akan ditempatkan dijabatan publik. Bukan hanya sekedar pemenuhan kouta 30% keterwakilan perempuan saja, tetapi melalui proses pendidikan politik dan kaderisasi sesuai aturan yang ada dan untuk kaum perempuan lainya diharapkan dari yang bersipat apatis menjadi bersipat dinamis, untuk turut bergabung di kegiatan politik memperjuangkan aspirasi kaum perempuan yang selama ini dinomorduakan.