TINJAUAN PUSTAKA Radikal Bebas Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai suatu molekul, atom, atau beberapa atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga bersifat sangat reaktif. Suatu molekul bersifat stabil bila elektronnya berpasangan, tetapi bila tidak berpasangan (single) molekul tersebut menjadi tidak stabil dan memiliki potensi untuk merusak. Bila molekul tidak stabil ini mengambil satu elektron dari senyawa lain maka molekul tersebut menjadi stabil sedangkan molekul yang diambil elektronnya menjadi tidak stabil berubah menjadi radikal dan memicu reaksi pembentukan radikal bebas berikutnya (reaksi berantai) (Yuniastuti 2008). Menurut Yuniastuti (2008) radikal bebas bersumber dari berbagai hal, antara lain: radiasi sinar X dan sinar ultraviolet, polusi udara akibat asap kendaraan bermotor, gas buang dari pabrik, atau asap rokok. Beberapa kondisi juga bisa memicu terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, misalnya stress, sakit, olah raga berlebihan dan lain-lain. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada sel karena dapat menimbulkan kerusakan pada protein, (aktivitas enzim terganggu) dan asam nukleat (kerusakan DNA, mutasi sel). Sebagai akibatnya. pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi tidak wajar, bahkan dapat menyebabkan kematian sel. Radikal dalam tubuh berasal dari dalam (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Secara endogen, radikal bebas terbentuk sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh. Secara alamiah radikal bebas dibentuk dalam tubuh makhluk hidup termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Dalam kondisi normal jumlah radikal tersebut berada dalam keseimbangan atau terkendali. Sumber radikal bebas endogen tersebut berasal dari proses otooksidasi, oksidasi enzimatik, respiratory burst, reaksi yang dikatalisis ion logam transisi, dan ischemia reperfusion injury (Khachik 2002). Radikal terpenting yang terdapat dalam tubuh merupakan derivat oksigen atau oksi-radikal yang sering disebut reactive Oxygen Species (ROS). Radikal tersebut terdapat dalam bentuk singlet oxygen (1O2*), anion superoksida (O2*), radikal hidroksil (OH*), nitrogen oksida (NO*), peroksinitrit (ONOO -), asam hipoklor (HOCl), hydrogen peroksida (H2O2), radikal alkoksil (LO*) dan radikal peroksil (LO2*) (Helliwell, Gutteridge 1999). Berbagai jenis reactive Oxygen Species (ROS) dalam tubuh diperlihatkan pada Tabel 1, dari tabel tersebut terlihat bahwa diantara berbagai ROS terdapat molekul yang bukan radikal bebas, yaitu 1O2 dan H2O2, namun karena sifatnya yang sangat reaktif maka dimasukkan ke dalam kelompok ini (Kurnani 2001). Tabel 1 Jenis-jenis Reactive Oxygen Species (ROS) ROS Keterangan Anion superoksida O2* Tidak terlalu merusak, tetapi dapat membentuk hidrogen peroksida, yang merupakan reduktan logam transisi dalam pembentukan radikal hidroksil Radikal hidroksil OH* Radikal pengoksidasi yang sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan hampir seluruh biomolekul Radikal peroksil LO2* Dihasilkan antara lain pada proses peroksidasi lipid Hydrogen H2O2. Hidrogen peroksida bukan radikal bebas tetapi peroksida dikategorikan sebagai ROS. Molekul ini merupakan sumber radikal hidroksil dalam kondisi jenuh ion logam transisi, juga terlibat dalam pembentukan HOCl 1 Oksigen singlet O2 Meskipun bukan radikal bebas, tetapi merupakan pengoksidasi yang kuat. Nitrogen oksida NO* Radikal bebas dalam bentuk gas Peroksinitrit ONOO- Terbentuk dari reaksi NO* dengan O2* Asam hipoklor HOCl Dihasilkan oleh netrofil pada proses inflamasi terbentuk dari H2O2 dan Cl- yang dikatalisis oleh mieloperoksidase. Secara eksogen, radikal bebas diperoleh dari bermacam-macam sumber antara lain polutan, makanan dan minuman, radiasi, ozon dan pestisida. Radikal bebas diproduksi di dalam sel oleh mitokondria, lisosom, peroksisom, endoplasmic reticulum dan inti sel. (Muchtadi 2009). Sekitar 90% pencemar udara terdiri atas karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur oksida, dan hidrokarbon (Kurniani 2001). Secara umum, menurut Winarsi (2011) tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi sebagai berikut : a. Tahapan inisiasi, yaitu tahapan pembentukan radikal bebas. b. Tahapan propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. c. Tahapan terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan propagasinya rendah. penangkapan radikal, sehingga potensi Antioksidan Menurut Winarsi (2011) senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat. Menurut Kumalaningsih (2007), antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cumacuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Menurut Hillbom dalam Sulistyowati (2006), antioksidan adalah senyawa dalam kadar rendah mampu menghambat oksidasi molekul target sehingga dapat melawan atau menetralisir radikal bebas. Dikenal ada tiga kelompok antioksidan, yaitu antioksidan enzimatik, antioksidan pemutus rantai dan antioksidan logam transisi terikat protein. Yang termasuk antioksidan enzimatik adalah superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), gluthathion peroksidase (GPx), gluthathion reduktase (GR) seruloplasmin. Mekanisme kerja antioksidan enzimatik adalah mengkatalisir pemusnahan radikal bebas dalam sel. Antioksidan pemutus rantai adalah molekul kecil yang dapat menerima dan memberi elektron dari atau ke radikal bebas, sehingga membentuk senyawa baru yang stabil, contoh antioksidannya adalah vitamin E dan vitamin C. Sedangkan antioksidan logam transisi terikat protein bekerja mengikat ion logam seperti fe2+ dan Cu2+ contohnya Flavonoid dapat mencegah radikal bebas. Antioksidan jenis ini memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas (Winarsi 2011). Menurut Winarno (2002) antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk golongan antioksidan primer dapat berasal dari alami maupun buatan. Antioksidan alami antara lain vitamin E, vitamin C, lesitin dan gosipol. Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam (sequestram). Sebagai contoh, satu molekul asam sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang kedelai. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu: 1). Pelepasan hidrogen dari antioksidan, 2) Pelepasan elektron dari antioksidan, 3). Adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, 4). Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Winarti 2010). Gambar 1 Cara Kerja Antioksidan Menurut Winarti (2010) prinsip kerja dari antioksidan dalam menghambat otooksidasi pada lemak dapat dilihat sebagai berikut: Oksigen bebas di udara akan mengoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak yang tidak jenuh, kemudian radikal bebas yang terbentuk akan beraksi dengan oksigen sehingga akan menghasilkan peroksida aktif. RH + Asam lemak tak jenuh R* O2 Oksigen + Radikal bebas O2 Oksigen R* + OOH Radikal bebas ROO* Peroksida aktif Apabila dalam suatu asam lemak yang terdapat dalam minyak tidak mengandung antioksidan, maka peroksida aktif akan bereaksi dengan ikatan rangkap lemak. Apabila ditambah suatu antioksidan, maka peroksida aktif akan bereaksi dengan antioksidan tersebut. Sehingga pembentukan radikal bebas dapat dihentikan dengan penambahan suatu antioksidan. Vitamin C (Asam Askorbat) Vitamin C adalah vitamin larut air yang tidak disimpan oleh tubuh, diekresikan melalui urine. Dalam keadaan murni vitamin C berbentuk kristal putih dengan berat molekul 176,13 dan rumus molekul C6H6O6, vitamin C juga mudah teroksidasi secara reversible membentuk asam dehidro-L askorbat dan kehilangan 2 atom hidrogen. Vitamin C memiliki struktur yang mirip dengan struktur monosakarida, tetapi mengandung gugus enadiol (Zakaria et al 1996). Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi). Oksidasi bolak-balik L-asam askorbat menjadi L-asam dehidro askorbat terjadi bila bersentuhan dengan Cu, panas atau alkali. Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologik tetapi bentuk tereduksi adalah yang paling aktif (Almatsier 2004). Menurut Muchtadi et al (1993) isomer-L. Isomer ini memiliki aktivitas lebih besar di bandingkan dengan bentuk isomer D. Aktivitas vitamin C bentuk D hanya 10% dari aktivitas isomer L. Vitamin C adalah vitamin yang penting dalam diet manusia. Vitamin ini banyak ditemukan dalam jaringan tanaman, Daun-daunan hijau mengandung vitamin C dalam jumlah yang sama dengan yang dikandung klorofil. Takaran yang dianjurkan untuk konsumsi vitamin C adalah; anak-anak: 30-45 mg/hari, wanita dewasa: 60 mg/hari, pria dewasa: 60 mg/hari. Pada RDA (Recommended Dietary Allowances), maka anjuran konsumsi vitamin C adalah 60-100 mg/hari. Sementara untuk pengobatan dosisnya bisa mencapai 10002000 mg/hari (Winarti 2010). Perencanaan dosis vitamin C berdasarkan Tolerable Upper Intake Levels (ULs) atau angka tertinggi dari nilai zat gizi yang bila dikonsumsi tiap hari tidak membahayakan kesehatan untuk dewasa >= 19 tahun menurut food and nutrition Board-institute of Medicine (FNB-IOM) (2004) adalah 2000 mg/hari, pada asupan normal dapat diabsorpsi sebesar 90-95%, asupan lebih dari 60 mg akan meningkatkan ekskresi bentuk vitamin C secara proporsional (WNPG 2004). Tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila konsumsi mencapai 100 mg sehari (Almatsier 2004). Vitamin C sebagai Antioksidan Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous antioxidant). Senyawa ini, menurut Zakaria et al (1996), merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen rektif dalam plasma dan sel. Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Tembaga. Selain itu, vitamin C juga dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi dengan Fe-ferritin. Di luar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol teroksidasi, dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan (Levine et al 1995). Vitamin C mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil, asam hipoklorida, dan oksigen reaktif yang berasal dari netrofil dan monosit yang teraktivasi. Antioksidan vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan segera berubah menjadi askorbat dan dehidroaskorbat. Asam askorbat dapat bereaksi dengan oksigen teraktivasi, seperti anion superoksida dan radikal hidroksil. Pada konsentrasi rendah, vitamin C bereaksi dengan radikal hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif, sementara pada kadar tinggi, asam ini tidak akan bereaksi (Zakaria et al 1996). Askorbat berperan sebagai reduktor untuk berbagai radikal bebas. Selain itu juga meminimalkan terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh stress oksidatif. Gambar 2 menunjukkan beberapa bentuk struktur asam askorbat dan metabolitnya. Askorbat dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik dengan atau tanpa katalisator enzim. Secara tidak langsung, askorbat dapat meredam aktivitasnya dengan cara mengubah tokoferol menjadi tereduksi. Reaksinya terhadap senyawa oksigen reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen cair lainnya. Askorbat juga melindungi makromolekul penting dari kerusakan oksidatif. Reaksinya terhadap radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi (winarsi 2011). CH2OH C O OH HO C OH H C OH C O C C C O C H2C C C OH O HO O D-glukosa Monodehidro askorbat CH2OH HO HC H O OH C C C O O H2C C C O O OH O O H C C HO OH Asam askorbat HO OH Dehidro askorbat Gambar 2 Struktur asam askorbat dan metabolitnya Sebagai antioksidan, askorbat akan bereaksi dengan radikal superoksida, hidrogen peroksida, maupun radikal tokoferol membentuk asam monodehidro askorbat dan atau asam dehidroaskorbat reduktase, yang ekuivalen dengan NADPH atau glutation tereduksi. Dehidroaskorbat selanjutnya dipecah menjadi tartarat dan oksalat. Asam askorbat dapat meregenerasi radikal askorbil dengan bantuan enzim semi dehidroaskorbil reduktase, dan NADPH sebagai sumber energi. Regenerasi vitamin C dari dehidroaskorbat melalui reaksi kimia dengan bantuan GSH atau asam lipoat juga dengan bantuan katalisa reduksi oleh GSH-dependen asam dehidroaskorbat reduktase. Keberadaan aktifitas asam dehidroaskorbat reduktase bisa merangsang redoks asam askorbat potensial, secara tidak langsung berperan pada antioksidan yang lain. Hal tersebut penting dalam memperluas fungsi proteksi antioksidan pada sel-sel yang hidrofobi, dimana asam askorbat dapat mengurangi radikal kromanoksil semistabil, yang dapat meregenerasi bentuk aktif metabolik dari antioksidan lipid vitamin E (α-tocopherol recycling) (Combs dalam Sareharto 2010). Asam askorbat dapat mendonorkan satu atom hidrogen pada radikal tokoferoksil dengan kecepatan 2x105/M/s. Karena adanya perbedaan potensial reduksi 1 –elektron standar antara asam askorbat (282 mV) dan tokoferol (480 mV) (Muchtadi 2009). Vitamin E Vitamin E adalah salah satu fitonutrien penting dalam minyak makan. Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol α, β, γ, δ dan 4 tokotrienol α, β, γ, δ homolog. Suplemen vitamin E yang ada di pasaran umumnya tersusun atas tokoferol dan tokotrienol yang diyakini merupakan atioksidan potensial (Winarsi 2011). Berdasarkan jumlah gugus metil pada inti aromatik tokotrienol, dikenal 6 jenis tokoferol, yaitu α, β, γ, δ, ε, dan δ, di antara keenam bentuk tokoferol tersebut, yang paling aktif adalah α tokoferol. Oleh sebab itu, aktivitas vitamin E diukur sebagai α tokoferol. Menurut Almatsier (2004) ada empat jenis tokoferol yang penting dalam makanan α, β, γ, δ tokoferol dan tokotreinol. Karakteristik kimia utamanya adalah bertindak sebagai antioksidan. Tokoferol terdiri atas struktur cincin 6kromanol dengan rantai samping jenuh panjang enam belas karbon fitol. Perbedaan antarjenis tokoferol terletak pada jumlah dan posisi gugus metal struktur cincin. Tokotrienol mempunyai tiga ikatan rangkap pada rantai samping. Perbedaan struktur ini mempengaruhi tingkat aktivitas enzim vitamin E secara biologik. Tokotrienol tidak banyak terdapat di alam dan kurang aktif secara biologik. Alfa-tokoferol adalah bentuk vitamin E paling aktif, yang digunakan pula sebagai standar pengukuran vitamin E dalam makanan. Jumlah vitamin E dalam bentuk lain disignifikankan dalam bentuk tokoferol ekivalen (TE). Bentuk sintetik vitamin E mempunyai aktivitas biologik 50% daripada alfa-tokoferol yang terdapat di alam (Almatsier 2004). Takaran yang dianjurkan untuk konsumsi vitamin E adalah; anak-anak: 47 mg/hari, wanita dewasa: 15 mg/hari, pria dewasa : 15 mg/hari. Tolerable Upper Intake Levels (ULs) atau angka tertinggi dari nilai zat gizi yang bila dikonsumsi tiap hari tidak membahayakan kesehatan untuk dewasa>= 19 tahun menurut food and nutrition Board and Institute of medicine (IOM) (2000) adalah 1000 mg/hari, yang di dapatkan dari suplemen. Vitamin E sebagai Antioksidan Vitamin E adalah vitamin larut lemak yang sangat berguna selain sebagai antioksidan. Yang terpenting dan paling diakui peran dari vitamin E yaitu melindungi polyunsaturated fatty acids PUFAs) seperti linoleat, linolenic dan arachidonic acids (Pryor dalam B. A. Bowman & R. M. Russell 2001). Selain itu, vitamin E di dalam tubuh sebagai antioksidan alami yang membuang radikal bebas dan molekul oksigen, yang penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh (Burke 2007). Sebagai antioksidan, α tokoferol memiliki potensi lebih tinggi daripada tokoferol yang dikenal sebagai vitamin E. Tokoferol, terutama α tokoferol merupakan antioksidan yang mampu mempertahakan integritas membran. Senyawa tersebut dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen, peroksida lipid, dan oksigen singlet (Winarsi 2011). Menurut Archerio et al (1992) α tokoferol merupakan bentuk suplemen vitamin E yang paling banyak. Vitamin E atau α tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Sebagai antioksidan vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang mampu merubah radikal peroksil (hasil peroksida lipid), menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak (Winarsi 2011). Di samping itu menurut Salonen et al (1997), vitamin E dan vitamin C dan β karoten atau kombinasinya dapat menghambat peroksida lipid secara in vivo. Sebagai antioksidan vitamin E mampu bereaksi dengan radikal bebas lipid membran membentuk radikal vitamin E yang sedikit reaktif. Menurut Halliwel et al (1992) radikal vitamin E dapat mengalami regenerasi oleh adanya glutation atau asam askorbat. Tokotrienol telah dibuktikan mempunyai aktivitas anti-kanker, dan mempunyai kemampuan menurunkan kadar kolesterol. Beberapa penelitian in vitro memperlihatkan bahwa tokotrienol dapat menghambat oksidasi terhadap LDL, lebih baik dibandingkan tokoferol. Mekanisme antioksidan tokoferol, termasuk transfer satu atom hidrogen dari grup 6-hidroksil pada cincin kroman, serta inaktivasi singlet oxygen dan spesies reaktif lainnya. Tokoferol dapat diregenerasi kalau terdapat asam askorbat. Rantai fitil tokoferol terikat pada bilayer membran sel, sedangkan cincin kroman yang aktif terletak pada permukaan sel. Struktur yang unik tersebut menyebabkan tokoferol dapat bekerja secara efektif sebagai antioksidan, dan dapat diregenerasi melalui reaksi dengan antioksidan lain seperti asam askorbat. α-tokoferol mempunyai aktivitas vitamin E dan kemampuan inaktivasi singlet oxygen lebih tinggi dibandingka beta-, gamma-, dan delta-tokoferol, sedangkan gamma tokoferol mempunyai kemampuan menangkap nitrogen dioksidan dan radikal peroksinitrit dibandingkan alfa-tokoferol. Efesiensi penangkapan radikal-radikal hidroksil, akoksil dan peroksil oleh alfa-tokoferol berturut-turutadalah sekitar 1010, 108 dan 106/M/s. Seseorang tidak akan memperoleh cukup vitamin E hanya dari makanan yang dikonsumsi. Agar dapat bertindak sebagai antioksidan, seseorang harus mengonsumsi vitamin E lebih dari AKG, umunya sekitar 100 mg/hari (Muchtadi 2009). Multivitamin Suplemen multivitamin adalah multivitamin tambahan pada orang dewasa sebagai pelengkap multivitamin pokok yang berasal dari makanan utama untuk menjaga vitalitas dan kesehatan seseorang. Menurut Ransley et al (2001), Multivitamin merupakan kombinasi dari berbagai vitamin, atau berbagai vitamin dan mineral. Menurut Ahira (2007), mesignifikankan bahwa suplemen multivitamin adalah vitamin yang diolah sedemikian rupa dan sudah berbentuk pil atau kapsul, yang dapat mengandung berbagai vitamin dan mineral seperti vitamin C, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium (Se) dan lain-lain. Superoksida dismutase (SOD) yang merupakan salah satu antioksidan endogen yang mengandung logam-logam esensial tembaga (Cu) dan seng (Zn) untuk melakukan fungsi katalisasi beberapa reaksi kimia dalam sel. Dalam keadaan bebas, besi dan tembaga adalah promotor berkemampuan sangat besar dalam melakukan reaksi oksidasi yang merusak. Logam-logam ini juga dibutuhkan dalam pertahanan antioksidan. Logam-logam ini berikatan dengan SOD dan mengkatalis reaksi dua molekul superoksida dengan ion H+ untuk membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan O2. SOD yang berikatan dengan logam dapat mempercepat SOD dilepaskan di darah, sehingga sel darah manusia dapat dilindungi dari serangan radikal bebas. Mineral selenium (Se) sebagai komponen enzim glutathione peroksidase mengkatalis reaksi perubahan hidrogen peroksida menjadi glutathion (GSH) dan air. Se berfungsi sebagai bagian integral dari sistem enzim glutation peroxidase, merubah bentuk reaksi glutathin (GSH) menjadi bentuk oksidasi glutation (GSSH) dan GSSH harus dikonversi kembali menjadi GSH. Reaksi konversi ini membutuhkan NADPH sebagai sumber energi reduksi. GSH dibutuhkan untuk menetralkan radikal bebas yang dihasilkan oleh berbagai reaksi di dalam sel. pada waktu bersamaan merusak peroksida dengan cara mengonversi peroksida menjadi bentuk alkohol yang tidak berbahaya. Reaksi sangat penting untuk mencegah terjadinya peroksida terhadap asam-asam lemak tak jenuh (kolesterol jahat). Peroksida Lipid Peroksida lipid terbentuk sebagai hasil reaksi antara radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh (PUFA = Poly Unsaturated Fatty Acid) yang merupakan unsur utama dari membran sel. Proses peroksida lipid umumnya dimulai dengan penarikan atom hidrogen yang mengandung satu elektron dari ikatan rangkap PUFA membentuk radikal lipid. Penambahan oksigen akan menyebabkan terbentuknya radikal peroksil lipid yang selanjutnya akan menarik lagi atom hidrogen dari ikatan rangkap PUFA yang lain, sehingga terbentuk radikal lipid berikutnya. Sedangkan radikal peroksil lipid tersebut akan mengalamai dekomposisi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid bersifat tidak stabil dan akan terurai menghasilkan sejumlah senyawa, antara lain MDA (Pendit 1996). Oksidasi lipid terjadi melalui tiga tahapan, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Reaksi inisiasi terjadi di antara asam lemak tidak jenuh dengan radikal hidroksil membentuk radikal karbon. Selanjutnya radikal karbon yang terbentuk akan beresonansi dengan elektron yang tidak berpasangan membentuk biradikal yang memiliki 2 elektron yang tidak berpasangan. Reaksi ini terus berlanjut hingga senyawa radikal siap bereaksi dengan senyawa lainnya, sehingga terbentuk radikal peroksil yang memiliki 1 atom H yang berasal dari asam lemak yang terbentuk dari lipid hidroperoksida, dengan melepaskan radikal bebas lainnya untuk berpartisipasi dalam atom H berikutnya. Radikal hidroksil akan menginisiasi reaksi peroksidasi atom H tunggal, kemudian berubah menjadi produk radikal karbon (R) yang dapat bereaksi dengan atom oksigen. Radikal hidroksil juga mengawali reaktivitasnya dalam senyawa lipid (Winarsi 2011). Kadar peroksida lipid dapat digunakan sebagai indikator terjadinya stress oksidatif pada jaringan. Hasil peroksida lipid dapat diperiksa dengan berbagai cara, antara lain dengan pembentukan konjugat MDA dengan asam tiobarbiturat. Malondialdehid (MDA) Menurut Pryor et al dalam Winarsi, MDA adalah senyawa aldehida yang merupakan produk akhir peroksida lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2. MDA juga merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentose dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk sampah biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran. Menurut Helliwell dan Gutteridge (1999), MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Di samping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA. Pengukuran MDA mudah dilakukan baik secara spektrofotometrik atau flurometrik. Karena MDA tidak stabil maka cara penyimpanan sampel harus terlindung dari cahaya, dan bila tidak segera diperiksa harus disimpan pada suhu -700C. Penyimpanan -200C tidak memadai (Mates 2000). Uji TBARs (thiobarbituric acid reactive substances), merupakan salah satu uji yang paling lama dan paling sering digunakan untuk mengukur proses peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh. Uji TBARs dapat menilai stress oksidatif berdasarkan reaksi asam tiobarbiturat dengan malondialdehid (MDA). Supernatan plasma (setelah protein diendapkan) direaksikan dengan asam tiobarbiturat menghasilkan kromofor berwarna merah muda yang dibaca pada panjang gelombang 530nm (Gambar 3). Hasilnya dibandingkan dengan kurva standar memakai tetraetoksipropan (Jusman 2001). HS N OH 2 CHO + CH2 N CHO OH Asam Tiobarbiturat S N N Malondialdehid OH CH HO CH N CH OH SH N + 2H2O OH Produk berwarna merah muda Gambar 3 Reaksi malondialdehid dengan asam tiobarbiturat Sumber : Helliwell dan Gutteridge 1994 Mahasiswa Alih Jenis Institut Pertanian Bogor Mahasiswa merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1988). Menurut Perty yang diacu dalam Deutsch (1993), mahasiswa pada umumnya berusia 17-22 tahun, dan termasuk ke dalam kategori remaja akhir. Jika dilihat dari segi kesehatan, masa remaja merupakan masa yang paling sehat selama kehidupan. Mahasiswa Alih Jenis Institut Pertanian Bogor berasal dari Program Studi Gizi Masyarakat, Agribisnis, Manajemen dan Kimia. Sebagaian besar mahasiswa alih jenis di IPB sudah bekerja dan berusia antara 21-30 tahun. Jadwal kuliah mahasiswa alih jenis dimulai dari sore hingga malam hari. Mahasiswa alih jenis merupakan salah satu kelompok yang rentan terkena berbagai radikal bebas yang berasal dari aktivitas metabolik regular, aktivitas fisik, gaya hidup maupun diet. Perkuliahan yang dimulai pada sore hari sampai malam, tidur yang terlalu larut menuntut tubuh untuk lebih banyak beraktivitas (stress), Selain itu, polutan yang berasal dari asap kendaran bermotor, rokok (pasif) dan lainnya. Tidak hanya itu, makanan juga dapat menjadi penyebab meningkatnya radikal bebas dalam tubuh. Mahasiswi alih jenis sangat gemar mengonsumsi makanan gorengan seperti tempe, bakwan, molen, pisang, tahu, combro, ubi dan kentang karena harganya yang murah, ataupun pecel ayam dan pecel lele. Baik gorengan maupun pecel ayam ataupun lele yang dijual, digoreng menggunakan minyak yang berwarna keruh hampir berwarna hitam menandakan minyak telah digunakan berulang-ulang oleh penjual. Minyak tersebut memiliki peroksida lipid yang tinggi dan mungkin dapat menjadi penyebab meningkatnya radikal bebas dalam tubuh. Menurut Papalia dan Olds (1988), kondisi kejiwaan dan gaya hidup adalah penyebab paling umum dari terjadinya masalah-masalah fisik. Ruang lingkup masalah tersebut adalah kebiasaan makan yang salah (eating disorders).