MODUL 10 SOSIOLOGI KOMUNIKASI

advertisement
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
PERTEMUAN 10
MODUL 10
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
(3 SKS)
Dosen: Drs. Ahmad Mulyana, M.Si.
POKOK BAHASAN:
Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa
DESKRIPSI:
Secara umum berisi tentang pemahaman dan pengertian
tentang efek, efek yang dikuatirkan dari media massa, berbagai
teori yang menjelaskan peniruan dari media massa
TUJUAN INSTRUKSIONAL:
Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa mengerti dan
memahami tentang pemahaman dan pengertian tentang efek,
efek yang dikuatirkan dari media massa, berbagai teori yang
menjelaskan peniruan dari media massa
Referensi:
1. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada
Media, Jakarta, 2007.
2. Zulkarimein Nasution, Sosiologi Komunikasi Massa, Universitas
Terbuka, Jakarta, 2003.
3. Charles R. Wright, Sosiologi Komunikasi Massa, terj. Jalaludin
Rakmat, et.al, Remaja Karya, Bandung, 1986.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Drs. Akhmad Mulyana M.Si
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa
a. Teori Peniruan atau Imitasi
Efek Negatif yang dikuatirkan dari media massa, khususnya yang
menyangkut delinkuensi dan kejahatan, bertolak dari besarnya kemungkinan atau
potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan
ataupun diperolehnya dari media massa. Pengenaan (exposure) terhadap isi media
massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui isi media massa kemudian
dipengaruhi oleh isi media tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, jelas terlihat bukti-bukti bahwa perilaku kita
sering dipengaruhi oleh pengenaan (exposure) terhadap perilaku orang lain.
Tampak pula dengan jelas bahwa kesempatan untuk mengamati tindakan, emosi,
dan hasil perbuatan (seperti imbalan dan hukuman) orang lain dapat mempunyai
pengaruh yang kuat sekali pada perilaku dan perasaan orang yang menyaksikan
kejadian tersebut. Pengaruh dimaksud dapat mengurangi minat orang lain untuk
melakukan perbuatan yang sama (bila yang dilihat adalah hukuman) atau dapat
mendorong orang untuk mengulangi perbuatan tertentu jika yang dilihatnya adalah
imbalan (seperti hadiah atau keuntungan lainnya). Penjelasan mengenai gejala ini
dimulai oleh kalangan disiplin psikolog. Dari gejala dimaksud, ditemukan adanya
kecenderungan yang menjadi pembawaan di kalangan manusia di televisi untuk
saling meniru perilaku sesamanya.
Apakah kekerasan di televisi menyebabkan perilaku kekerasan pada
penonton? Pertanyaan ini dikemukakan oleh banyak orang, terutama para orang
tua. Situasinya sendiri memang kompleks karena terdapatnya kepentingan yang
bertentangan yang menyebabkan metode, hasil dan interpretasi yang juga saling
bertentangan (conflicting).
Kalangan pendidik umumnya berpendapat bahwa isi
yang negatif dalam media massa akan berakibat negatif pula pada khalayak yang
menontonnya. Sedang pihak media cenderung untuk bertahan dan menyatakan
bahwa apa-apa yang mereka siarkan itu tidak mengandung bahaya apa pun bagi
masyarakat.
Usaha-usaha untuk mengkaji perilaku meniru secara umum dikaitkan dengan
adanya dorongan pembawaan (innate urges) atau kecenderungan yang kuat untuk
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Drs. Akhmad Mulyana M.Si
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
menandingi (menyamai ataupuan melebihi) tindakan orang di sekitarnya. Bahkan
Tarde berpendapat, mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang
cukup panjang untuk tidak menunjukkan peningkatan dalam diri perilaku secara
timbal balik.
Tarde juga memandang imitasi memainkan perasaan yang sentral
dalam transmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi yang
berikutnya.
Dalam pengamatannya tersebut, Tarde sampai pada pernyataannya
bahwa: ”society is imitaion”. Penulis buku teks psikolog yang pertama, McDougal
(1980) juga sependapat dengan Tarde, bahwa peniruan merupakan suatu
dorongan/kecenderungan yang dibawa sejak lahir.
Namun belakangan ini muncul kritik terhadap pandangan tersebut, yang
mengemukakan lain, bahwa kecenderungan manusia meniru orang lain sebagai
suatu bawaan sejak lahir tidak cocok dengan kenyataan, karena seringkali
pengamatan terhadap orang lain justru membuat kita menghindari, meniru, perilaku
yang dimaksukan.
Pandangan itu sendiri sedikit sekali atau tidak menjelaskan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peniruan, cara seseorang dalam
memilih model tertentu yang akan ditirunya, ataupun jenis perilaku yang akan
disamainya itu.
Akibat kecaman itu dan kelemahan-kelemahan lainnya, teori peniruan yang
alamiah ini secara bertahap ditinggalkan di lingkungan psikologi dan digantikan oleh
sejumlah kerangka teoritis yang mengemukakan bahwa kecenderungan untuk
meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari (learning) atau diperoleh melalui
suatu proses engkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku
tertentu.
Salah satu problem utama mengenai ”bukti yang mendukung tesis bahwa
kekerasan menyebabkan kekerasan adalah karena bukti-bukti tersebut terkumpul
terutama dari studi-studi laboratori atau studi yang beresifat eksperimen. Jadi studistudi dimaksud tidak dilakukan pada situasi kehidupan yang nyata. Karya Bandura
merupakan studi ysng paling luas dipublikasikan, khususnya menyangkut ”boneka
Bobo” yaitu figur badut dari plastik yang dikembangkan yang dapat digunakan
sebagai kantong berlatih tinju (punch bag).
Sementara itu secara diameter yang menentang aliran Bandura/Belsowitz
adalah mereka yang meminta bukti-bukti untuk mendukung efek katarsis kekerasan
televisi bagi penonton. Aliran yang dipimpin oleh Saymour Feshbach dan kawan-
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Drs. Akhmad Mulyana M.Si
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
kawan (1971) berpendapat bahwa daripada memicu perilaku kekerasan, menonon
kekerasan di televisi memberikan efek katarsis bagi para penonton.
Mereka ini
bependapat bahwa dengan menyaksikan penampilan kekerasan di layar, kita dapat
mensublimasikan tekanan (tension) dan frustasi yang dialami, jadi mengurangi
kemungkinan untuk melakukan tindakan agresif atau kekerasan.
b. Teori Identifikasi
Dalam kehidupan sehari-hari orang sering mengidentifikasikan dirinya pada
seseorang yang dikagumi. Orang yang dimaksud lalu berusaha menyamai tokoh
yang diidealkan itu, dengan laku ataupun dalam penampilannya, sehingga ia tampak
identik dengan sang tokoh. Dalam hubungan ini, teori identifikasi menjadi suatu
penjelasan teoritis yang disukai untuk menjelaskan misalnya, bagaimana anak-anak
mengembangkan atribut-atribut yang luas dan pola perilaku yang sopan namun mirip
dengan orangtua mereka dan model-model sosial lain yang bermakna dalam hidup
mereka.
Konsep identifikasi mempunyai paling tidak dua pengertian yang khas yakni:
1. Identifikasi menunjuk kepada perilaku ketika seseorang bertindak atau
merasa seperti orang lain, yang disebut model (analisis Bronfenbrenef,
1960). Kemiripan perilaku di antara dua orang bisa bagaimanapun tidak
selalu berarti bahwa seseorang telah identik dengan orang lain. Hal itu bisa
saja disebabkan oleh variabel yang berbeda yang secara independen
menghasilkan efek yang sama pada kedua orang tersebut. Seorang ayah
dan anak bisa merasa tidak gembira pada saat yang sama, tapi keduanya
independen satu sama lain, dan berdasarkan alasan yang sepenuhnya
berbeda.
2. Identifikasi juga berarti suatu motif dalam bentuk suatu keinginan umum
untuk berbuat atau menjadi seperti orang lain. Motif ini biasanya mengacu
kepada kecenderungan untuk menyamai standar ideal dan perilaku
orangtua.
Banyak definisi indentifikasi menekankan bahwa anak harus
mempunyai suatu motif untuk menjadi seperti model dan ingin mempunyai
beberapa atribut model tersebut.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Besar sekali kemungkinan bahwa
Drs. Akhmad Mulyana M.Si
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
kebanyakan anak-anak secara subjektif mengalami motif yang kuat untuk
menjadi sama dengan orangtua mereka.
3. Istilah identifikasi mengacu kepada proses atau mekanisme melalui mana
anak-anak menyamai suatu model dan menjadikan diri seperti model itu.
Konsep mengenai mekanisme ini telah dikemukakan oleh berbagai teorisi,
dimulai oleh Freud. Dengan konsep ini dapat dipahami bagaimana anakanak membiasakan (internalizea) standar-standar orangtua dan sosial untuk
perilaku dan bagaimana mereka menjadikan banyak dari atribut dan
karakteristik orangtuanya menjadi bagian dari dirinya, khususnya yang sama
jenis kelaminnya. Jadi anak-anak lelaki berusaha menyamakan diri dengan
ayah, sedang anak-anak perempuan mengidentifikasikan dirinya dengan
ibunya.
Menurut Conger (1973), salah satu proses terpenting tapi belum sepenuhnya
dipahami dalam perkembangan anak dan remaja adalah identifikasi.
Isitilah ini
diciptakan oleh Freud, mengecu kepada proses di mana seorang individu dibawa
untuk berpikir, merasa dan berperilaku seperti karaktristik orang lain (atau yang
dipunyainya).
Meskipun identifikasi dapat melibatkan peniruan terhadap suatu
model, (misalnya seorang anak yang mengidentikkan diri dengan ayahnya dapat
meniru ekspresi verbal atau meniru kebiasaan membaca (reading habit) terhadap
kolom olahraga pada suratkabar lokal), namun kedua istilah tadi (identifikasi dan
peniruan) tidaklah sinonim.
Suatu proses peniruan semata-mata (imitation learning) menyangkut tidak lebih
sekedar emosi dari perilaku tertentu dari suatu model.
Sedangkan identifikasi
merupakan proses yang lebih jauh lebih kompleks, hingga tingkat yang bermacammacam, membuat seseorang memberi respons seolah-olah dia adalah orang lain,
yakni tokoh yang dijadikannya model itu.
Mengapa orang mengidentifikasikan diri pada seseorang tokoh?
Bagi anak-anak dan remaja, dua motivasi penting yang mendorong mereka
untuk mengidentifikasikan diri adalah:
1. keinginan untuk memiliki kekuasaan (a desire for power) dan penguasaan
terhadap lingkungan (master oer the environment) dan,
2. kebutuhan akan asuhan (nurturance) dan perhatian (afefction)
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Drs. Akhmad Mulyana M.Si
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Download