1 KOMUNIKASI ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BUGIS DI SENGKANG KABUPATEN WAJO (STUDI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA) OLEH: BASO WAHYUDDIN H E 311 08 261 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012 2 HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Komunikasi Etnis Tionghoa Dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo (Studi Komunikasi Antarbudaya) Nama Mahasiswa : Baso Wahyuddin H Nomor Pokok : E31108261 Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II DR. H. Muh. Farid, M.Si NIP.196107161987021001 Muliadi Mau, S.Sos. M.Si NIP.197012311998021002 Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik DR. H. Muh. Farid. M.Si NIP.196107161987021001 3 HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI Telah diterima oleh Tim Evaluasi Skripsi Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations Pada Hari Senin, Tanggal 13 Agustus 2012. Makassar, 13 Agustus 2012 TIM EVALUASI Ketua : DR. H. Muhammad Farid, M.Si (…………………) Sekretaris : Murniati Muchtar, S. Sos, S.H (…...…………….) Anggota : 1. DR. Jeanny Maria Fatimah, M.Si (…...…………….) 2. Muliadi Mau, S.Sos, M.Si (…...…………….) 3. Drs. Kahar. M. Hum (…...…………….) 4 KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya dapat memenuhi satu lagi tanggung jawab sebagai seorang penuntut ilmu dengan merampungkan penulisan skripsi ini. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabatsahabatnya yang telah menuntun kita menjadi umat yang tercerahkan. Rasa terima kasih ini akan penulis sampaikan kepada semua yang telah banyak membantu dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini. Pertama-tama, jutaan terima kasih penulis persembahkan kepada kedua orang tua yakni Ayahanda Baso Hasbi dan Ibunda Darnah. Terima kasih sebesar-sebesarnya untuk berjuta-juta doa, dukungan, bimbingan dan nasehat serta kasih sayang yang tak henti-hentinya tercerah untuk penulis. Beribu-ribu terima kasih pula penulis sampaikan kepada adik tercinta dan terkasih Baso Imran dan special untuk Siti Fatimah Kahar yang banyak memberikan dukungan, semangat, thanks for all. Kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah menjadi saudara, motivasi dan kebahagian dalam hidup penulis. Pembuatan skripsi ini tak luput dari bantuan berbagai pihak yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi rasa hormat serta tidak mengesampingkan peran dari masing-masing pihak, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 5 1. Bapak Dr. H. Muhammad Farid, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Muliadi Mau, Sos. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan untuk penulis. 2. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.B.,Sp.Bo, selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya. 3. Bapak Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya. 4. Bapak Dr. H. M. Farid, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi. 5. Bapak Drs. Sudirman Karnay, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi. 6. Para Dosen dan Staf Administrasi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama ini. 7. Para informan yang sudah membantu secara langsung dan tidak langsung serta masyarakat di Sengkang yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. 8. Kantor Camat Kecamatan Tempe. 9. Kantor Kesatuan dan Kebangsaan Kabupaten Wajo. 10. Rumah kecil KOSMIK. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi bagian didalamnya. Terima kasih untuk pengalaman-pengalaman uniknya. 11. Teman-teman seperjuangan (EXIST 08), atas bantuan dan dukungannya kepada penulis. Kebersamaan kalian adalah kebahagian yang tak ternilai 6 dan semoga Keridhoan Allah senantiasa meliputi langkah kalian. Terimakasih untuk setiap waktu yang tercipta bersama kalian!!! 12. Senior-senior KOSMIK yang banyak memberikan masukan kepada penulis. 13. Teman-teman KKN Reguler Gelombang 80 Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Sinoa Kabupaten Bantaeng. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan yang disebabkan keterbatasan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan berbagai masukan atau saran konstruktif dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua, Amiin Ya Rabbal Alamin. Makassar, Agustus 2012 Baso Wahyuddin H 7 ABSTRAK BASO WAHYUDDIN H, 2012. Komunikasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo (Dibimbing oleh Muhammad Farid selaku pembimbing I dan Muliadi Mau selaku pembimbing II). Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang ; (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wajo. adapun informaninforman ini penelitian ini adalah orang-orang yang ditentukan secara purposive sampling yaitu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu bahwa mereka dianggap berkompeten untuk menjawab pertanyaan peneliti. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka berupa buku-buku, jurnal dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil Penelitian yang didapatkan menunjukkan proses komunikasi antarbudaya ditandai dengan adanya : Pertama, Komunikasi Antarpersona, Kedua, Komunikasi Sosial dan Ketiga, Lingkungan Komunikasi. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antabudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis sekaligus menjadi faktor pendukung adalah Pertama, Saling memahami dan saling menghargai budaya masing-masing. Kedua, Dari segi bahasa kedua etnis ini menggunakan bahasa Bugis. Ketiga, Sikap toleransi kedua etnis tersebut. Keempat yaitu Kawin silang antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis. Kelima, Kedua etnis berusaha untuk mempelajari kebudayaan masing-masing dengan cara mengamati langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya keduanya. Keenam yaitu Kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis. Ketujuh adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah warga asli yang bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan kesukuannya, dan sebaliknya etnis Bugis tidak pernah menganggap atau bersikap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Faktor penghambat Pertama, adalah Minimnya pengetahuan tentang budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman makna budaya dari kedua etnis tersebut. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah sangat menyatu, dari segi budaya mereka saling menghargai kebudayaan masing-masing bahkan sebagian besar dari warga etnis Tionghoa paham betul dengan kebudayaan-kebudayaan etnis Bugis dan mereka menganggap bahwa budaya etnis Bugis adalah budaya mereka juga. Etnis Tionghoa yang lahir dan besar di Sengkang, setiap hari mempelajari budaya etnis Bugis agar bisa beradapatasi di masyarakat tempat mereka bermukim. 8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ............................................ iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii BAB I BAB II PENDAHULUAN ........................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................ 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8 D. Kerangka Konseptual .......................................................... 9 E. Definisi Operasional ............................................................ 15 F. Metode Penelitian ................................................................ 16 TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 19 A. Pengertian Komunikasi ...................................................... 19 B. Pengertian Budaya ............................................................... 21 C. Pengertian Komunikasi Antarbudaya ................................. 24 1. 29 Unsur-unsur Kebudayaan ............................................ 9 2. Unsur-unsur Kebudayaan Dalam Komunikasi BAB III BAB IV antarbudaya ................................................................. 30 D. Proses Komunikasi Antarbudaya ........................................ 33 E. Pola Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya............. 36 F. Potensi Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya ........ 39 G. Deskripsi Teori .................................................................... 41 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ......................... 43 A. Filosofi Kabupaten Wajo ................................................... 43 B. Kondisi Geografis ................................................................ 45 C. Kondisi Demografis ............................................................ 49 D. Agama dan Kepercayaan .................................................... 54 E. Objek Wisata Kabupaten Wajo ........................................... 56 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 62 A. Hasil Penelitian ................................................................. 62 1. Profil Informan ............................................................. 63 2. Hasil Penelitian ............................................................ 66 B. Pembahasan ....................................................................... 119 1. Proses Komunikasi Antarbudaya Antara Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di Kabupaten Wajo .......... 119 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Proses Komunikasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis ........... BAB V 129 PENUTUP .................................................................................... 133 A. Kesimpulan ............................................................................ 133 10 B. Saran ....................................................................................... 135 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya ............................................ 12 Gambar 1.2 Bagan Kerangka Konseptual ................................................... 14 Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif dari Miles & Huberman......... 18 Gambar 2.1 Model Konfergence Lingkaran Tumpang Tindih ................... 41 Gambar 3.1 Peta Kabupaten Wajo .............................................................. 45 Gambar 4.1 Model Konvergence Lingkaran Tumpang Tindih ................... 125 Gambar 4.2 Model Tumpang Tindih proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang pada tahap Pembauran .......................................................... ........126 12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Luas Wilayah Kabupaten Wajo menurut Kecamatan ................ 46 Tabel 3.2 Jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Wajo menurut Kecamatan .................................................................... 50 Tabel 3.3 Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo menurut Kecamatan ..... 51 Tabel 3.4 Keadaan penduduk Kabupaten Wajo dari Sektor Lapangan Usaha 52 Tabel 3.5 Banyaknya pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Wajo ................................. 53 Tabel 3.6 Sarana Pendidikan di KabupatenWajo ........................................ 54 Tabel 3.7 Tempat Peribadatan menurut Kecamatan ................................... 55 13 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak berabad-abad lamanya, etnis Tionghoa telah bermukim di kepulauan Nusantara dan sebagian besar diantara mereka telah hidup seperti etnis lain serta melangsungkan aktifitas budayanya dan di setiap daerah mereka membaur dengan kebudayaan setempat. Namun dalam perjalanan waktu itu mereka senantiasa mengalami berbagai gejolak sosial yang membuat mereka selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya agar bisa diterima secara sosial, budaya dan politik. Menurut Suryadinata (Bahrum, 2008:3) pada era akhir Orde Lama dan masa berkuasanya Orde Baru ada lebih 60 peraturan dan perundang-undangan yang telah membuat etnis Tionghoa merasa tidak nyaman sebagai warga negara karena undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut berbau diskriminasi rasial. Peraturan dan perundang-undangan itu telah melakukan pelanggaran dan pembatasan ruang gerak mereka dalam menjalani kehidupannya. Salah satu peraturan yang membatasi ruang gerak Etnis Tionghoa adalah Keputusan Presiden No. 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan orang Cina atau Tionghoa diharuskan mengganti nama lahir mereka yang menggunakan nama Cina atau Tionghoa menjadi nama-nama yang mengindonesia, seperti Darmawan, Wijaya, Sentosa, Kurniawan, Setiawan, Jayasuprana, dan Suparman. Selain itu peraturan pemerintah No 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa tinggal 14 jauh di pedalaman dan harus berada di kota, sehingga sangat jarang ditemukan etnis Tionghoa menjadi petani atau nelayan di pedalaman. Etnis Tionghoa terkonsentrasi di kota-kota besar menjadi pedagang dan pengusaha dalam berbagai bidang. Gerakan Reformasi Indonesia yang dimulai 10 tahun yang lalu telah memberi banyak berkah bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Banyak kemudahan yang semestinya telah diterima dan dinikmatinya puluhan tahun lalu namun karena kendala politik pemerintahan di negeri ini membuat semua itu tertunda. Barulah dalam era reformasi ini terjadi suatu perubahan yang sangat besar khususnya pada Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sudah sejak lama menyatukan diri dalam kehidupan masyarakat dan budayanya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Nurhadiantomo (2004: 127) menyatakan, bahwa orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia, bahkan yang lahir di Indonesia sudah merasa menjadi warga negara Indonesia. Mereka tidak mau lagi disebut sebagai orang Tionghoa, tapi ingin menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang sebenarnya. Mereka berasimilasi dengan cara menyerap kehidupan masyarakat ditempat mereka berada menjadi kehidupannya pula. Di Indonesia mereka melakukan perkawinan dengan orang-orang setempat, memakai bahasa daerah tempat mereka lahir dan bahkan banyak diantara mereka sudah mengganti nama menggunakan nama-nama lokal. (Bahrum, 2008:57-58) Kedatangan etnis Tionghoa di beberapa negeri di Nusantara terdorong oleh dua faktor utama. Pertama adalah etnis Tionghoa dikenal sebagai bangsa 15 yang suka berniaga atau berdagang. Kedua, adanya desakan sistem politik dari dalam negerinya yang sedang berkecamuk, terutama pada abad ke 17 saat terjadinya pergeseran kekuasaan di Tiongkok. (Bahrum, 2003:36-37 ) Imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia dimulai pada abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari suku-bangsa Hokkien. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang cina ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku-bangsa Hokkien dan masih tampak jelas pada Etnis Tionghoa yang bermukim di Indonesia. (Koenjaraningrat, 2004:353) Pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia, merekalah yang paling berhasil karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan, salah satunya paling banyak terdapat di Indonesia bagian Timur. Indonesia bagian Timur meliputi Sulawesi Selatan mempunyai empat suku terbesar yaitu suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Sebagai provinsi terbesar dibagian timur Indonesia, Sulawesi Selatan mempunyai 21 Kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Wajo. Bugis sebagai suku yang medominasi di Kabupaten Wajo sebuah kota bernama Siengkang yang berarti tempat berkumpul adalah wilayah subur, tempat dengan sejarah yang tumbuh dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Mayarakat lokal berbaur dengan etnis Tionghoa, India, Arab, maupun masyarakat nusantara lainnya yang datang melakukan perdagangan di tengah kisruh akibat kolonialisasi. 16 Area perdagangan berkembang di belakang Saoraja A. Mangkona di sebelah sungai, dikenal sebagai Toko Lampe’e (Panjang) milik pedagang cina. Hal ini tidak lepas dari peran Kota Siengkang di jaman dahulu sebagai kota lalu lintas perdagangan. (Naing,dkk 2008:288-289) Sejarah keberadaan rumah toko di Sengkang dimulai dari “toko lampe’E” yang tak lain adalah milik pedagang cina. Masyarakat menyebutnya lampe’e karena bangunan ini berderet memanjang sepanjang jalan. Toko ini masih berkonstruksi kayu berlantai dua (panggung) dan menggabungkan unsur tradisional melalui penggunaan ornamen-ornamen. Hal ini membuktikan bahwa sejak zaman dahulu telah berlangsung interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis khususnya dalam pembangunan rumah toko di Sengkang. Menurut pendapat salah satu tokoh masyarakat di Drs. Ambo Asse : “Interaksi yang terjalin antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Bugis itu sudah berlangsung sejak lama, terbukti dengan adanya makam cina kuno yang terdapat di Tosora. Konon sejarahnya pemilik makam itu bernama Chuming disebut juga Chiung yang diperistrikan oleh La Sattung orang bugis. Jadi memang dari dulu sampai sekarang terus berlangsung hubungan interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis”. Pendapat salah satu masyarakat Etnis Tionghoa, Tauming yang merupakan keturunan kedua di Sengkang : “Saya lahir dan besar di Kota Sengkang dan kami berbaur dengan masyarakat pribumi, hubungan yang terjalin sangat harmonis dan hampir tidak ada konflik, meskipun kami sama-sama mempunyai budaya yang sama yaitu berdagang, tapi kami selalu bersaing dengan sehat. Justru kami memperoleh keuntungan dan tercipta interaksi yang sangat besar dengan etnis Bugis. orang bugis wajo pun sangat ramah kepada kami”. Pada kenyataanya kesamaan budaya berdagang antara kedua etnis ini sangat membantu dalam melakukan interaksi sehingga menciptakan hubungan 17 yang harmonis dan rukun sampai saat ini, sehingga tidak heran jika kita melihat etnis Tionghoa mempekerjakan etnis Bugis sebagai karyawan ditempat usahanya. Hubungan yang terjalin antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis tidak sampai disitu saja, di Sengkang terlihat fenomena bahwa etnis Tionghoa dalam berkomunikasi dengan masyarakat pribumi mereka menggunakan bahasa bugis. Keaktifan mereka menggunakan bahasa bugis membuat komunikasi yang berlangsung sangat efektif. Bukan hanya itu hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis sangat berbaur dan menyatu, keduanya saling menghargai dan saling menunjukkan rasa kebersamaan mereka, misalkan ada acara kawinan, hakikah, berduka, pesta rakyat dan lain-lain pasti etnis Tionghoa ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, ini menunujukkan bahwa memang etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah menyatu, tidak ada jarak untuk berinteraksi. Pendapat lain dikemukakan salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Wajo Bapak Mappeasse bahwa : “Etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Wajo sudah sangat berbaur dengan etnis Bugis, hubungan itu sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum terbentuknya kerajaan wajo ada beberapa kerajaan yang mendahului lahirnya wajo seperti Kedatuan Cina Riaja. Ini menunjukkan bahwa ada pertalian sejarah antara nenek moyangnya. Etnis Tionghoa yang cukup lama bermukim di wajo tentu sudah sangat pasif dalam berbahasa bugis. Dalam sehari-hari Etnis Tionghoa berkomunikasi menggunakan bahasa bugis. Bahkan untuk sesama Etnis Tionghoa mereka menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa pembuka. Tidak sampai dsitu saja, bahkan ada Etnis Tionghoa yang sudah memeluk islam”. Tidak jarang dari mereka melakukan kawin mawin dan melahirkan keturunannya. Perkawinan yang terjadi itulah yang kemudian banyak merubah status agama mereka memeluk islam. Kebudayaan mereka pun sudah membaur dengan kebudayaan Etnis Bugis dan sudah sulit untuk dipisahkan, unsur-unsur 18 kebudayaan Tionghoa sudah banyak diserap kedalam kebudayaan Indonesia khusunya di kabupaten Wajo. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan yang terjalin keduanya sangat harmonis dan bahkan dari mereka sudah menganggap dirinya sebagai warga pribumi asli karena nenek leluhur mereka yang sudah ada sejak dulu bermukim di Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang . Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan hubungan dengan orang lain. Manusia ingin mendapatkan perhatian di antara sesama dan kelompok, untuk mendapatkan itu diperlukan hubungan dan menggunakan berbagai cara, alat, media dan lain-lain. Dalam efektifitas komunikasi dikemukakan tentang pentingnya kontak sosial bagi manusia dan masyarakat, dalam melakukan kontak atau hubungan yang beranekaragam dilakukan dengan cara dan gaya yang berbeda-beda pula. Kontak yang paling menonjol dikaitkan dengan perilaku. Dalam berinteraksi, manusia senantiasa akan membutuhkan komunikasi. Menurut Mulyana dan Rakhmat (2006:24 ) Hubungan antara budaya dan komunikasi sangat penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya. Melihat perkembangan dunia saat ini tampak semakin menuju apa yang disebut “global village” (desa dunia) semakin meningkatnya kontak-kontak komunikasi dan hubungan antar berbagai bangsa dan negara. Dalam situasi yang demikian mempelajari komunikasi antarbudaya jelas menjadi sangat penting, karena apabila masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya mempunyai perbedaan-perbedaan dalam aspek tertentu, misalnya ideologi, orientasi dan gaya hidup, serta masing-masing pihak tidak mau memahami pihak lainnya, maka berbagai problema akan terjadi. Problema ini selanjutnya dapat mengakibatkan 19 hal-hal yang tidak diingikan seperti konflik, permusushan, perpecahan, diskriminasi dan lain-lain. Komunikasi dengan orang yang mempunyai kesamaan latar belakang budaya saja masih rentan akan konflik, apalagi berbeda budaya. Mulyana (2005: 10) juga mengungkapkan orang-orang berkomunikasi karena mereka harus beradaptasi dengan lingkungan. Beradaptasi bukan berarti menyetujui atau mengikuti semua tindakan orang lain, melainkan mencoba memahami alasan dibaliknya tanpa kita sendiri tertekan oleh situasi. Komunikasi Antarbudaya merupakan pertukaran pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. (Liliweri 2003:9) Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward dalam Mulyana ( 2005:14) Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya. Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Ketertarikan untuk meneliti komunikasi antara Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis, karena adanya fenomena terlihat bahwa hubungan yang terjalin keduanya sangat harmonis dan rukun. Selain itu juga penting untuk mempelajari komunikasi antarbudaya untuk menghindari konflik berbeda budaya. Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik lebih dalam untuk meneliti bagaimana KOMUNIKASI ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BUGIS DI SENGKANG KABUPATEN WAJO ( STUDI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA) 20 B. Rumusan Masalah Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian, permasalahan yang diteliti sesuai dengan topik yang diteliti. Adapun permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang ? 2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang. Kegunaan Penelitian 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta menjadi pertimbangan demi terbukanya wawasan dan pengetahuan berpikir dalam proses penyadaran akademik khususnya pada kajian komunikasi antarbudaya. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau bahan literatur dalam rangka pengembangan ilmu pengetahun, khususnya pada ilmu komunikasi yang membidangi komunikasi antarbudaya. 21 3. Manfaat sosial dapat memberikan wawasan kepada masyarakat tentang pentingnya Komunikasi Antarbudaya dan memberikan pelajaran kepada daerah-daerah lain tentang bagaiamana komunikasi yang berlangsung diantara kedua etnis sehingga menciptakan hubungan yang harmonis. D. Kerangka Konseptual Komunikasi dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, untuk itulah sangatlah penting dipahami bahwa interaksi yang terjalin antara dua budaya yang berbeda tentu akan memerlukan proses komunikasi. Komunikasi antarbudaya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi. Semenjak terjadinya pertemuan antara individu-individu dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, maka komunikasi antarbudaya sebagai salah satu studi sistematik yang penting untuk dipahami. Salah satu hal yang juga sering menjadi pembahasan yang fundamental dalam kehidupan adalah komunikasi. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia untuk berkomunikasi. Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Dari 22 uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Rogers bersama Kincaid dalam Cangara (2010:20) menyatakan bahwa : “Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.” Proses komunikasi juga terjadi dalam konteksi fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif senhingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu kebudayaan. Adapun kebudayaan itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya akan berpengaruh pada seseorang karena budaya merupakan cara atau aturan seseorang dalam menjalankan kehidupannya. Dalam memandang budaya di luar budaya kita sendiri akan tergantung dari bagaimana seseorang mempunyai sikap terhadap budaya di luar budayanya. Menurut Tylor dalam Liliweri (2002:9) kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan perwujudan 23 kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya. Peranan komunikasi sangat menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi karena karakteristik kebudayaan dalam komunitas dapat membedakan kebudayaan lisan dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam mengkomunikasikan adat istiadatnya. Jadi, pesan-pesan, pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku, sejak awal tatkala orang tidak bisa menulis dapat dikomunikasikan hanya dengan kontak antarpribadi langsung atau oleh pengamatan yang mendalam terhadap peninggalan artifak sehingga peninggalan yang minimum pun dapat disebarluaskan. Liliweri (2003:9) mengatakan bahwa : “Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.” Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaiamana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan non verbal menurut dikomunikasikan, budaya-budaya bagaiamana yang cara bersangkutan, apa mengkomunikasikannya yang (verbal layak dan nonverbal), dan kapan mengkomunikasikanya. Atas dasar uraian di didasarkan atas hal-hal berikut : atas, beberapa asumsi komunikasi antarbudaya 24 1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya Model Komunikasi Antarbudaya Pengaruh budaya atau individu dan masalah-masalah penyandian dan penyadian pesan tertulis pada gambar berikut sebagaimana dalam Rakhmat dan Mulyana, (2006:21) Budaya A Budaya B B A Budaya C C Gambar 1.1 Sumber: Rakhmat dan Mulyana, (2006:21) 25 Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga kelompok bentuk geometric yang terlukis. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masingmasing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tidak beraturan yang hampir menyerupai. Segi empat budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B. Dalam setiap budayanya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya lain. Ini menunjukkan individu telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk yang telah mempengaruhinya. Ini menunjukkan dua hal. Hal pertama, ada pengaruh-pengaruh lain disamping budaya yang membentuk individunya. Kedua, meskipun budaya merupakan kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Penyandian-penyandian balik pesan antarbudaya dilakukan oleh panahpanah yang menghubungkan budaya-budaya itu. Panah-panah ini menunjukkan pengiriman pesan dari budaya-budaya yang satu kebudayaan lainnya. Ketika sautu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dihendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah 26 selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena mengandung makna-makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa bisa terdapat banyak ragam perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang berbeda ranah budaya secara ekstrim hingga ekstrim hingga interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur atau subkelompok berbeda. Berdasarkan dari uraian diatas, penulis mencoba menggambarkan proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang sebagai berikut : EtnisTionghoa Etnis Bugis Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi Proses Komunikasi Antarbud Pembauran Gambar 1.2 Bagan Kerangka Konseptual 27 E. Definisi Operasional 1. Proses komunikasi adalah yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa untuk menyusaikan diri yang secara berkesinambungan dan berkembang melalui komunikasi dengan Etnis Bugis dalam lingkungan sosial budaya untuk dapat tinggal dan menetap di Sengkang. 2. Etnis Tionghoa adalah etnis yang telah hidup berabad-abad lamanya di bumi nusantara khususnya di kabupaten wajo dan sebagian besar dari mereka telah hidup seperti etnis lainnya serta melangsungkan aktivitas budayanya. 3. Etnis Bugis adalah penduduk etnis Bugis yang berdomisili di Sengkang 4. Komunikasi antarbudaya adalah Komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis. 5. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu faktor-faktor yang dianggap penting dalam memberi andil dalam proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang. 6. Pembauran yaitu bertemunya dua budaya yang berbeda menjadi satu sehingga tidak ada budaya yang dominan, baik budaya etnis Tionghoa atau budaya etnis Bugis di Sengkang. 28 F. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Sengkang, Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan sedangkan waktu penelitian ini berlangsung mulai dari April sampai Juli 2012. Pada bulan april sampai dengan mei, peneliti mengumpulkan data di lapangan, selanjutnya pada bulan juni sampai dengan bulan juli peneliti mengolah data yang sudah dikumpulkan. 2. Tipe Penelitian Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penulis berupaya untuk menggambarkan realitas sosial yang terjadi dengan penjelajahan lebih dalam mengenai topik penelitian melakukan yaitu proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis serta faktor-faktor apa yang dapat berpengaruh terhadap proses komunikasi antabudaya diantara keduanya. 3. Teknik Penentuan Informan Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Informan dipilih berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan yaitu yang dianggap dapat memberikan informasi yang terkait masalah yang diteliti. Informan berjumlah sepuluh orang, yaitu : a. Dua orang tokoh masyarakat dari etnis Tionghoa, yakni Bapak Surahman Wijoyo dan Bapak Ka’Seng b. Tiga orang masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki akses lebih dengan masyarakat etnis Bugis. 29 c. Dua orang tokoh masyarakat dari kalangan etnis Bugis, yakni Bapak Andi Apuk Zaenal dan Bapak Mappeasse d. Tiga orang masyarakat etnis Bugis yang memiliki akses lebih dengan penduduk etnis Tionghoa 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini melalui : a. Data primer, diperoleh melalui penelitian lapangan yang menemui para informan secara langsung dan dilakukan dengan dua cara : - Observasi / Pengamatan Penulis melibatkan diri secara langsung di lapangan untuk mengumpulkan data, terkait fenomena yang sedang diteliti. Penulis melakukan observasi pada bulan Februari hingga Maret 2012. - Wawancara Penulis melakukan wawancara dengan kesepuluh informan tersebut yang telah dipih berdasarkan teknik pemilihan informan. Wawancara yang dilakukan bersifat secara langsung, agar mendapatkan informan yang akan mendukung data hasil observasi. b. Data Sekunder, pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan menelusuri bahan bacaan berupa jurnal-jurnal, buku-buku komunikasi antarbudaya, artikel, dan berbagai hasil penelitian terkait. 30 5. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif Milles dan Huberman yaitu terdapat tiga proses yang berlangsung secara interaktif. Pertama, reduksi data, yaitu proses memilih, memfokuskan, menyederhanakan, dan mengabstraksikan data dari berbagai sumber data misalnya dari catatan lapangan dokumen, arsip, dan sebagainya, sedagnkan proses mempertegas, memperpendek, membuang yang tidak perlu, menentukan fokus, dan mengatur data sehingga kesimpulan bisa dibuat. Kedua, penyajian data, seperti merakit data dan menyajikan dengan baik supaya lebih mudah dipahami. Penyajian bisa berupa matrik, gambar, skema, jaringan kerja, table dan seterusnya. Ketiga menarik kesimpulan/verifikasi, proses penarikan kesimpulan awal belum masih kuat, terbuka dan skeptic. Kesimpulan akhir akan dilakukan setelah pengumpulan data berkahir. (Sugiyono, 2010:246) Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/Verivikasi Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif dari Milles & Huberman (1992) 31 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi Dalam kehidupan, komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Bahkan sejak manusia masih dalam kandungan, ia sudah mengadakan komunikasi. Komunikasi adalah hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat. Komunikasi juga merupakan topik yang amat sering diperbincangkan, bukan hanya dikalangan praktisi komunikasi akan tetapi juga dikalangan orang-orang awam. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung kepada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat. Menurut Riswandi (2009:1) Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari Bahasa latin “communicatus” atau communicatio atau communicare yang berarti “berbagi” atau “ menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Berkomunikasi adalah proses dimana seseorang menyampaikan sesuatu yang mempunyai arti lalu ditangkap oleh lawan bicaranya dan dimengerti. Pesan- 32 pesan itu tercermin melalui perilaku manusia seperti berbicara secara verbal atau nonverbal, gesture (gerakan isyarat) seperti melambaikan tangan ke orang lain, menggelengkan kepala, menarik rambut. Semua itu menunjukkan bahwa kita sedang berkomunikasi. Harold D. Lasswel mengemukakan pendapatnya dalam Muhammad (2005:5) bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dan dengan akibat apa atau hasil apa (who says what in which channel to whom and with what effect). Komunikasi terjadi setiap saat. Manusia tidak bisa meninggalkan proses komunikasi dalam hidupnya. Manusia selalu melakukan penyampaian dan penerimaan pesan tiap waktu, dengan tujuan berbeda didalamnya. Baik itu hanya sekedar menyampaikan pesan untuk diterima dan dipahami hingga bertujuan untuk mempengaruhi lawan bicaranya agar mengikuti hendak si pembicara. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam dalam percakapan antara komunikator dan komunikan tidak dapat menjamin berhasilnya suatu proses komunikasi. Bahasa yang digunakan antara keduanya boleh jadi dimaknai beda oleh si komunikan. Proses komunikasi bisa dikatakan efektif bila keduanya, komunikator dan komunikan, dapat mengerti bahasa dan mampu memaknai pesan yang disampaikan. Memahami komunikasi lebih dalam, Bernard Berelson dan Gary A. Steiner dalam Riswandi (2009:2) mengatakan bahwa : 33 “Komunikasi adalah suatu proses penyampain informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan symbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain.” Pendapat lain dikemukakan oleh Everet M. Rogers dan Lawrence Kincaid dalam Wiryanto (2004:6) : “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.” Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran ini berupa bisa merupaka gagasanm informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Pesannya bisa berupaya keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dalam dari lubuk hati. (Bungin 2008:31) B. Pengertian Budaya Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu realitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T. Hall dalam Deddy Mulyana (2005:14) Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan kita pun berbicara tentang budaya. Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia, manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. 34 Menurut Sihabuddin (2011:18) Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri, dalam pola-pola bahasa, bentuk-bentuk kegiatan, perilaku, dan gaya berkomunikasi. Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya juga berkenaan dalam bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tanpa sadar kita tidak menyadarinya, yang jelas budaya secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati, bahkan setelah mati pun kita dikubur dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Menurut Mulyana (2000:237) mengemukakan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwarisakan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung tetapi budaya juga menentukan bagaiamana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk peran, dan kondisi-kondisinya untuk mengiri, memperhatikan, dan menafsirkan 35 pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beranekaragam maka beranekaragam pula praktekpraktek komunikasi. Hubungan timbal balik antara komunikasi dan kebudayaan dalam kehidupan interaksi dan sosialita masyarakat, budaya dan perilakunya hanya dapat dipahami dengan memahami benar-benar konsep-konsep komunikasi dan konsepkonsep kebudayaan. Keduanya saling tidak terpisahkan, saling mempengaruhi, saling ketergantungan dan saling melengkapi, serta dalam hubungan secara timbal balik, termasuk perilaku komunikasinya. Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil perilaku manusia yang teratur oleh kelakuan manusia, harus didapatnya dengan belajar, dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Fokus kajian komunikasi antarbudaya yang harus selalu diingat adalah karena kebudayaannya yang berbeda-berbeda, sehingga mempengaruhi pola-pola komunikasi yang beraneka ragam. Keseluruhan perilaku manusia yang tingkah lakunya harus didapat dengan belajar dan dalam kurun waktu tertentu, selanjutnya menjadi milik sekelompok orang. Proses belajar tingkah laku manusia dengan sesamanya tersebut, secara keseluruhan menghasilkan perilaku manusia tertentu di mana tata kelakuannya tidak terlepas dari perilaku komunikasi individu-individu yang beraneka ragam. Perilaku komunikasi tersebut mentransmisikan pesan dan penerimanya, melalui saluran dan media tertentu, yang selanjutnya mentransmisikan pewarisan 36 kebudayaan itu dari generasi ke generasi. Dalam berkomunikasi Etnis Tionghoa membawa kultur budayanya, demikian halnya dengan Etnis Bugis. Perbedaanperbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal. Sekurangkurangnya akan menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman. Kadang-kadang kesalahpahaman yang terjadi ketika kita bergaul dalam kehidupan sehari-hari dengan kelompok yang berbeda. Hal utama yang akan terjadi menjadi problem disebabkan kecendrungan menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi, dan karenanya itu menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya orang lain. Padahal ketika kita berkomunikasi kita dihadapkan pada bahasa-bahasa, aturanaturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sebenarnya sulit bagi kita memahami komunikasi orang lain jika kita menganggap bahwa budaya kita lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. C. Pengertian Komunikasi Antarbudaya Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara manusia atau kelompok sosial. Berkomunikasi tanpa memahami konsep antarbudaya, sama saja dengan berbicara sendirian. Karena kita gagal mengenali perbedaan-perbedaan penting yang harus menjadi dasar dalam menyesuaikan komunikasi kita. Sejak manusia yang berbeda budaya dan kebiasaan di bumi ini mengadakan hubungan, maka komunikasi antarbudaya akan terus berlangsung. 37 Stewart L. Tubs dalam Saefullah (2007:203) mengatakan bahwa komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam konteks komunikasi apapun, mulai dari komunikasi antarpersona hingga komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Setiap kali komunikasi antarbudaya terjadi, perbedaaan kerangka rujukan (frame of reference) peserta komunikasi membuat komunikasi lebih rumit dan lebih sulit dilakukan, terutama karena pesertra mungkin tidak menyadari semua aspek budaya peserta lainnya. Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menurut Devito dalam Sihabuddin (2011:4) kita perlu memperhatikan hal-hal berikut : 1. Orang dari budaya yang berbeda komunikasi secara berbeda. 2. Melihat cara perilaku masing-masing budaya (termasuk anda sendiri) sebagai sistem yang mungkin tetapi bersifat arbitrer. 3. Cara kita berfikir tentang perbedaan budaya mugkin tidak ada kaitannya dengan cara kita berperilaku. Dalam komunikasi manusia selalu dipengaruhi oleh budayanya, budaya bertanggung jawab atas semua perilaku dan makna yang dilakukan oleh si pelaku. Untuk memahami komunikasi antarbudaya perlu terlebih dahulu untuk lebih dekat dengan kebudayaan. Menurut Liliweri (2003:112) mengemukakan bahwa Kebudayaan merupakan jumlah dari seluruh sikap, adat istiadat, dan kepercayaan yang membedakan dengan kelompok lain, kebudayaan ditransmisikan melalui bahasa, objek material, ritual, intitusi, dan kesenian, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. 38 Setelah memaknai kebudayaan, beberapa ahli mencoba mendifinisikan komunikasi antarbudaya. “Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya” (Liliweri 2003:8). Adapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya (interculutural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Komunikasi antarbudaya sendiri juga merupakan proses komunikasi yang biasa saja, hanya saja mereka yang terlibat didalamnya mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang berbeda itu, maka aspek budaya, seperti bahasa, isyarat, noverbal, sikap, kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan yang besar seringkali mengakibatkan terjadinya distorsi dalam komunikasi, namun dalam masyarakat yang bagaimanpun berbeda kebudayaanya, tetap saja akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan komunikasi. Kehidupan masyarakat manusia senantiasa akan selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat melalui perbandingan tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama terhadap tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang baru. Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya, antara lain : 39 Dari penjabaran-penjabaran berbagai definisi berbagai ahli dalam memaknai komunikasi antarbudaya maka jelaslah komunikasi antarbudaya merupakan interaksi anggota-anggota suatu budaya yang berbeda. Saat ini keberadaan komunikasi antarbudaya sangat penting dibanding masa-masa sebelumnya, dalam bukunya komunikasi antar manusia De Vito (1997: 475-477) mengemukanakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya komunikasi antarbudaya, antara lain : a. Mobilitas Mobilitas masyarakat tidak pernah berhenti, bahkan karena kemajuan transportasi yang semakin meningkat, saat ini orang dapat dengan mudah untuk menjalajahi pelosok-pelosok daerah. Ketika kita mengunjungi suatu daerah lain maka kita akan berada pada suatu wilayah dengan atmosfer budaya daerah tersebut. Kontak dengan daerah sekaligus budaya tersebut akan menyebabkan hubungan antarpribadi kemudian menjadi hubungan antarbudaya. b. Saling ketergantungan ekonomi Saat ini kebanyakan daerah ataupun negara bergantung kepada daerah atau negara lain, saling ketergantunga ekonomi ini menyebankan keharusan tiap daerah atau negara untuk menjalin komunikasi antarbudaya diantara mereka, misalnya hubungan-hubungan kerja sama ekonomi diantara negara-negara berkembang akan menyediakan bahan-bahan baku terhadap negara-negara maju. Tentunya kerja sama 40 ini bukan hanya masalah ekonomi saja namun juga akan melibatkan budaya-budaya dalam pelaksanaannya. c. Teknologi komunikasi Perkembangan teknologi komunikasi telah membawa kultur luar yang ada kalanya sering masuk ke rumah kita, film-film impor yang ditayangkan di televisi telah membuat kita mengenal adat kebiasaan riwayat bangsa-bangsa lain. Kita juga setiap hari membaca di mediamedia ketergantugan rasial, pertentangan agama, diskriminasi seks, yang disebabkan oleh kegagalan komunikasi antarbudaya. d. Kesejahteraan politik. Sekarang ini kesejahteraan politik kita sangat bergantung kepada kesejahteraan politik kultur atau negara lain, kekacauan politik didaerah lain akan mempengaruhi keamanan kita. Komunikasi dan saling pengertian antarbudaya saat ini terasa lebih penting ketimbang sebelumnya. e. Pola imigran Di hampir setiap daerah kita dapat menjumpai orang yang berasal dari daerah atau negara lain, kita kemudian bergaul, bekerja atau bersekolah denga orang-orang tersebut yang sangat berbeda dengan kita, pergaulan sehari-hari tersebut lambat laun akan membuat kita semakin mengenal budaya orang lain. 41 1. Unsur-Unsur Kebudayaan Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok manusia, maka muncul suatu persoalan yakni bagaimana cara kita mengidentifikasi aspekaspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu kelompok masyarakat budaya dari kelompok masyarakat budaya lainnya. Pengaruhpengaruh terhadapa komunikasi ini sangat beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses komunikasi antarbudaya unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen dari suatu sistem stereo, karena masing-masing saling membutuhkan dan berkaitan. Namun dalam penelahan, unsur-unsur tersebut dipisah-pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu. Unsur-unsur sosial budaya tersebut dalam Mulyana dan Rakhmat (2006:26-29) adalah : 1) Sistem keyakinan, nilai, dan sikap. 2) Pandangan hidup tentang dunia. 3) Organisasi sosial. Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama pada aspek individual dan subjektifnya. Kita semua mungkin akan melihat suatu objek atau peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makan individualnya tidak mustahil akan berbeda. Koentjaranigrat dalam Bungin (2008:52) merumuskan ada tujuh buah unsur kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di 42 dunia atau kebudayaan pranat menyeluruh cultural universal dalam sistem nilai yaitu : 1) Sistem tekhnologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia ( pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport, dan sebagainya 2) Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lainnya) 3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan) 4) Bahasa (lisan dan tertulis) 5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya) 6) Sistem pengetahuan 7) Religi (sistem kepercayaan) 2. Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Komunikasi Antarbudaya Samovar dan Richard dalam Mulyana (2007) mengemukakan enam unsur kebudayaan yaitu pandangan dunia, kepercayaan, nilai, sejarah, otoritas status dan persepsi tentang diri dan orang lain. Keenam unsur budaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur sosial utama yang besar dan secara langsung terhadap makna dan persepsi kita, yaitu : a. Sistem Kepercayaan (Believe) Sistem kepercayaan, nilai, dan sikap erat hubungannya dengan aspekaspek perceptual komunikasi antarbudaya. Nilai-nilai itu sendiri adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap 43 yang selanjutnya menentukan perilaku mana yang baik atau buruk sehingga menjadi normatif yang penting dalam komunikasi antarbudaya. Di sisi lain perilaku dan sikap memiliki hubungan erat yang selanjutnya mempengaruhi pola komunikasi antarbudaya. Kepercayaan disini mengaitkan hubungan antara objek yang diyakini inidvidu, dengan sifat-sifat tertentu objek tersebut secara berbeda. Tingkat, derajat, kepercayaan kita menunjukkan pula kedalaman dan isi kepercayaan kita. Jika kita merasa lebih pasti dalam kepercayaan kita ini, lebih besar pula kedalaman dan isi tersebut, karena budaya memainkan peranan penting dalam proses pembentukan kepercayaan. b. Nilai-nilai (Values), Sikap (Attitude),dan Pandangan Dunia (World View) Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai, sebab nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan. Diantara nilai-nilai tersebut ada sudah membaku dan meresap lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu, yang dinamakan nilai-nilai budaya. Sikap tersebut, menurut Berkowits adalah suatu respon yang evaluatif yang evaluative, dinamis, dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan yang disebabkan oleh interaksi seseorang dengan lingkungannya. Sedangkan pemahaman pandangan hidup mengenai dunia adalah melalui substansi dan kerumitan dari pengaruh kuatnya 44 terhadap kebudayaan masyarakat, bangsa-bangsa, yang seringkali tidak nampak dan tidak disadari. Selanjutnya perspektif adalah cara pandang terhadap suatu masalah merupakan cara pandang suatu pengamatan oleh konseptualisasi yang kita ketahui dan pernah alami mengenai masalah tersebut. Pemahaman komunikasi antarbudaya di sini adalah masalah konseptualisasi dari perspektif yang berbeda-beda karena perbedaan budayanya. Unsur-unsur budaya lainnya yang sangat berpengaruh adalah pandagan hidup tentang dunia (world views) yakni mengenai Tuhan, hidup dan mati yang hakikatnya berkaitan dengan sistem nilai-nilai dan kepercayaan serta norma-norma yang berpengaruh pula secara berbeda-beda dalam komunikasi antarbudaya. c. Organisasi Sosial Organisasi sosial sendiri adalah cara bagaiamana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaiamana lembaga-lembaga mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia, serta bagaimana pula mereka berorganisasi. Dengan memiliki unsur-unsur yang ada, dapat ditarik kesimpulan kembali keterkaitan antara komunikasi dengan budaya. Hubungan antara budaya dan komunikasi penting untuk dipahami agar dapat memahami komunikasi antarbudaya, oleh karena itu melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. 45 D. Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam proses komunikasi antarbudaya, lambing-lambang selain bahasa, mendapat perhatian untuk diketahui. Penekanan pesan non-verbal pada pesan verbal dapat melengkapi dan mewarnai pesan-pesan sehingga mudah diinterpretasikan oleh pembawa pesan kepada penerima pesan melalui pesan yang dilambangkan seperti bahasa, gambar, warna, gerak tubuh dan artifak. Kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan sering diakibatkna karena pembawa pesan (komunikator) tidak memahami latarbelakang budaya penerima pesan (komunikan) atau salah dalam memakai saluran/tempat berlalunya pesan. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih kehidupan di suatu daerah, pertemuan antarbudaya tak bisa dielakkan, dalam sebuah interaksi yang dilakukan masyarakat satu dengan masyarakat lain pertemuan budaya lain adalah sebuah keharusan serta rutinitas yang tak dapat dihindari. Sehingga interaksi dan komunikasi harus terjadi. Baik komunikasi yang dilakukan secara langsung (tatap muka) maupun komunikasi yang menggunakan media sebagai saluran. Dalam proses komunikasinya pun dapat dilakukan secara verbal (katakata) maupun menggunakan non verbal (bahasa tubuh/symbol), bahkan dalam realitas aktivitas komunikasi yang terjadi selalu terjadi bauran antara verbal dengan non verbal yang dilakukan oleh para pelaku komunikasi guna mengefektifkan proses penyampain pesan. Sebuah proses komunikasi yang terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, seperti perbedaan ras, suku, etnis, agama, bahasa, tingkat pendidikan, status sosial, bahkan perbedaan jenis kelamin. 46 Kondisi tersebut sering kita dijumpai dalam interaksi masyarakat di Sengkang, komunikasi antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Bugis. Kemajemukan bangsa Indonesia ini selain memperkaya khasanah budaya juga sekaligus bisa menjadi bom waktu yang suatu saat dapat melululantahkan integrasi bangasa secara menyeluruh. Sejarah mencata bahwa konflik dan peperangan antarbangsa maupun etnis diakibatkan sikap satu sama lain tidak saling memahami dan menghargai budaya lain. Dalam membahas proses komunikasi antarbudaya, ada beberapa pendekatan yang dapat diuraikan disini. (Liliweri 2001:339-340) : 1. Pendekatan Historis Pendekatan historis merupakan pendekatan yang lebih mengandalkan catatan sejarah warisan suatu kelompok etnis. Setiap kelompok etnis seolah-olah merasa bebas menginterpretasi diri sebagai suku yang besar dan terhormat. Sehingga mereka harus menjadi superior dan mendominasi status dan peran dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Akibatnya kelompok etnis superior menciptakan kondisi untuk mendominasi status dan peran dan menjadi etnis lain secara interior. 2. Pendekatan Sosial Budaya Pendekatan sosial budaya menekankan bahwa kehadiran antar kelompok etnis merupakan akibat mobilitas bekas yang melanda mereka. Mobilitas yang bebas itu justru selalu menjadi dalam masyarakat majemuk, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Lohman dalam Liliweri (2001) menurut mereka semakin tidak pasti dan tidak menentu. Gejala- 47 gejala itu ditunjukkan antara lain pengangguran dan kriminalitas yang menekan psikologi masyarakat majemuk. Individu yang tidak tahan akan menemukan diri mereka hanya dalam suatu lingkungan yang aman. Satusatunya tempat afiliasi adalah regerence group, termasuk kelompok etnis. 3. Pendekatan Situsional Pendekatan situsional berasumsi bahwa Etnis merupakan masalah situsional karena terjadi pada tempat dan waktu tertentu dalam masyarakat kota. Hal ini berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etnis dan ras tertentu. Sebagai contoh, segregasi pemukiman, pembagian kerja, penguasaan wilayah, pemisahan pemanfaaatan sarana dan prasarana sosial, sampai tindakan diskriminasi berdasarkan etnis terjadi karena keadaan yang memaksa. 4. Pendekatan Psikodinamik Pendekatan psikodinamik berasumsi bahwa suatu etnis terjadi karena kelompok etnis yang merasa frustasi sehingga mudah sekali membuat prasangka etnis. Sikap prasangka selalu dimiliki oleh orang yang secara psikologis cemas karena kepribadian tertutup, ambigu, tidah tahan, bahkan tidak toleran terhadap perbedaan. Memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tidak dipenuhi, berpikir negatif, terlalu dogmatis, dan konservatif. 5. Pendekatan Fenomologis Pendekatan ini berasumsi bahwa suatu etnis ditentukan oleh faktor individual tertentu, yang mengajarkan orang untuk berpikir dan berbuat sesuatu terhadap orang lain. 48 6. Pendekatan Objek Pendekatan objek merupakan pendekatan terhadap kasus demi kasus yang membangkitkan prasangka. Misalnya mengapa ada perbedaan etnis dan prasangka. Jadi, pendekatan ini merupakan untuk mendekatkan diri agar mendapatkan objek yang nyata. E. Pola Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya Komunikasi merupakan kegaitan berbahasa yang bersifat dua arah dan melibatkan penutur dan mitra tutur. Selain bahasa unsur para verbal (seperti intonasi, kecepatan berbicara dsb), unsur non verbal (gesture dan mimik). Pembahasan dalam skripsi ini memfokuskan perhatian pada perbedaan lingkup kehidupan, stereotipe dan prasangka yang mempengaruhi proses komunikasi antarbudaya. Menurut Hofstede (1993), yang dikutip oleh Buhlman, Fearns, dan Gaspardo (2003) dalam Liliweri (2002:105) : “Perbedaan dan persamaan lingkup budaya dapat diukur berdasarkan kriteria tempat, waktu, agama dan sejarah, hirarki, kekuasaaan, keterikatan, antar individu, dominasi maskulin atau feminism dalam masyarakat dan kepastian hokum. Agama dan sejarah atau lebih tepat disebut ingatan kolektif suatu masyarakat menentukan nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.” Unsur-unsur antarbudaya dapat mempengaruhi komunikasi dalam bentuk stereotipe. Stereotipe merupakan generalisasi tentang sekelompok orang dengan mengabaikan realitas yang ada. Stereotipe dapat positif maupun negatif. Stereotipe sering kali cara pandang seseorang terhadap orang lain sangat menentukan cara komunikasi kita. Setiap kali kita berhadapan dengan objek, 49 peristiwa, gagasan atau ide, atau bahkan orang tertentu maka kita akan mempunyai sikap tertentu, dan dalam sikap itu berisi prasangka terhadap objek. Martin Fishein dalam Mulyana (2005:24) mengatakan bahwa : “Sikap adalah sesuatu yang dipelajari, suatu diposisi relatif untuk merespon suatu objek dalam situasi tertentu, mulai dari yang menyenangkan entah ditunjukkan kepada orang lain, kelompok, gagasan, dan situasi.” Sikap adalah kecendrungan untuk mengevaluasi sesuatu, gagasan, peristiwa, seseorang atau kelompok orang pada suatu skala, mulai dari yang paling menyenangkan sampai pada yang tidak menyenangkan. Dalam komunikasi antarbudaya persepti tentang tutur bahasa sangat dipengaruhi oleh stereotipe, dan hal ini akan menentukan proses berkomunikasi yang berdampak pada keberhasilan atau kegagalan penyampaian pesan dalam suatu komunikasi. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tentunya juga mensyaratkan keterampilan-keterampilan umum dalam berkomunikasi seperti kemampuan sosial (antara lain empati, toleransi), kemampuan individual (seperti kemampuan berbahasa, peran, pengalaman berinteraksi antarbudaya dan sebagainya), kompetensi dibidang tertentu (penguasaan pengetahuan dalam pembicaraan antar pakar), ketermapilan dalam proses berkomunikasi. Disamping keterampilan umum kepekaan terhadap budaya sendiri dan budaya lain merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu komunikasi. Dalam hal ini hambatan dalam berkomunikasi dapat terjadi karena persepsi yang keliru tentang budaya lain (stereotipe tidak berlaku), atau karena adanya penerapan polapola komunikasi yang lazim dalam budayanya. 50 Dalam sebuah proses komunikasi antar manusia, stereotipe pada umumnya akan menghambat keefektifan dalam melakukan komunikasi, bahkan pada gilirannya akan menghambat integrasi manusia, dengan demikian keberadaan stereotipe antar suku bangsa di negara kita pun dapat menghambat integrasi sukusuku bangsa di Indonesia, serta keutuhan bangsa secara menyeluruh. Oleh karena itu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang plural atau majemuk, dimana didalamnya terdapat ragam kebudayaan serta nilai yang masing-masing memiliki karakter yang secara kasat mata seolah bertentangan. Mereka Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis yang bermukim di Sengkang tentunya sadar maupun tidak sadar selalu melakukan aktivitas komunikasi antarbudaya, baik dalam kondisi formal maupun non-formal , kita pun pernah mengalami mis-komunikasi serta mis-persepsi ketika sedang melakukan aktivitas interaksi dengan orang lain, bahkan itu kesalahpahaman dalam hal pebedaan makna verbal yang disampaikan maupun kesalahpahaman dalam memandang suatu nilai tata kehidupan. Meskipun demikian kesalahpahaman antarbudaya di atas sebenarnya dapat diatasi bila kita mengetahui bahasa serta perilaku budaya lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya serta menjadi manusia antarbudaya yang mampu melakukan komunikasi dengan orang-orang yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda tanpa harus mengalami kesalahpahaman dalam persepsi yang akan disampaikan. 51 F. Potensi Dalam Komunikasi Antarbudaya Dewasa ini kebutuhan untuk mempelajari komunikasi antarbudaya semakin penting karena semakin banyak orang-orang yang data ke kota maupun ke desa-desa, sehingga komunikasi antarbudaya akan lebih sering terjadi di pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu menjadi manusia antarbudaya merupakan hal yang tepat untuk menciptakan sebuah interakasi yang harmonis, meskipun menjadi manusia antarbudaya bukanlah suatu status melainkan suatu proses menjadi, dan ini bukanlah suatu keadaan melainkan suatu pencarian, namun menjadi manusia antarbudaya mampu mengubah pandangan kita tentang hakikat perbedaan sebagai suatu nuansa keindahan. Perbedaan budaya adalah karakteristik khas dari komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi dengan ciri sumber dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi merupakan fungsi dari budaya. Oleh karena itu, perilaku komunikasi adalah cerminan budaya asal dari partisipannya. Komunikasi bersifat simbolik. Pada saat seseorang menggunakan simbolsimbol, baik berupa kata-kata atau gestura, diasumsikan bahwa orang lain juga menggunakan sistem symbol yang sama. Hal ini bermasalah ketika komunikasi itu dilakukan dengan pasangan yang berbeda, karena masing-masing budaya mengembangkan sistem symbol yang berbeda budaya lainnya. Dengan demikian perbedaan budaya menyebabkan adanya penggunaan symbol berbeda dan persepsi berbeda atas pesan yang disampaikan, sehingga komunikasi tidak dapat mencapai tujuannya. Sebagai contoh, ketika ada 52 perbedaan budaya dalam komunikasi untuk merubah perilaku, maka dapat menyebabkan perubahan perilaku itu tidak dapat tercapai atau tidak sesuai dengan maksud penyampain pesan. Oleh karena itu dalam komunikasi antarbudaya diperlukan kompetensi tertentu sebagai solusi atas masalah komunikasi karena perbedaan budaya.  Komunikasi Antarbudaya Dalam Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah fakta sosial yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia. Salah satu faktor penyebab perubahan sosial adalah adanya kontak antar dua budaya yang berbeda. Kontak antar dua budaya yang berbeda akan menyebabkan budaya akan menjadi bersifat semakin heterogen dan kompleks. Keadaan seperti ini kemungkinan akan menimbulkan berbagai kesulitan sehingga perubahan sosial yang ada akan membawa bencana. Untuk merespon perubahan sosial yang disebabkan oleh pertemuan dua budaya yang berbeda adalah dengan mengembangkan bentuk Komunikasi antarbudaya melalui komunikasi tersebut yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda akan mengembangkan proses persepti tidak saja berdasarkan budayanya masing-masing tetapi juga memperhitungkan bagaimana budaya yang lain itu melakukan persepsi. Dengan demikian dalam perespon perubahan sosial yang ada tersebut individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat meresponnya dalam wawasan yang lebih luas dan lebih dinamis. 53 G. Deskripsi Teori Teori Konvergensi dari Kincaid dan Everett M. Rogers. Teori ini menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses yang memiliki kecendrungan bergerak kearah satu titik temu (convergence). Dengan kata lain komunikasi adalah suatu proses dimana orang-orang atau lebih saling menukar informasi untuk mencapai kebersamaan pengertian satu sama lainnya dalam situasi dimana mereka berkomunikasi. A AB B Gambar 2.1 Model Konfergence Lingkaran Tumpang Tindih Sumber : Liliweri (2001) Gambar diatas adalah model konfergensi lingkaran tumpang tindih, yang menunjukkan situasi komunikasi antarbudaya manakalah semakin besar maka semakin banyak pengalaman yang sama dan komunikasi semakin efektif. Model ini juga dapat digunakan dalam melihat sejauh mana tingkat konvergensi masyarakat yang berada pada wilayah yang dihuni oleh beragam etnis dan tingkat pemaknaan masing-masing etnis dalam berinteraksi. Dalam teori konvergensi sosial, yang mana beragam kultur bertemu pada satu titik dalam hal ini lingkaran sebagai bentuk hubungan sosial dimana terjadi proses pertukaran informasi, 54 memiliki empat kemungkinan, yakni pertama dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan setuju, dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju, dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan setuju, dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju. 55 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Hampir tidak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo sampai ke ujung dunia pun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha, orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat kewirausahawan telah mendarah daging pada setiap pribadi Orang Wajo. Sifat ini dituntun pesan leluhur, ajja muelo natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros). Berpegang pada Tellu Ampikalena To Wajoe (tiga prinsip hidup) , tau’E ri Dewatae, siri’E padatta rupatau, siri’E ri Watakkale (Ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pada orang lain dan pada diri sendiri). Orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natimulu natemmanginggi, namalomo nametai pammase Dewata Sewae (hanya dengan kerja keras, rajin dan ulet, mendapat keridhaan Allah SWT). Orang Wajo senantiasa mendambakan terciptanya iklim kebebasan berdasarkan prinsip, Maredeka To WajoE, najajian alaena maradeka, napada adanna napobbicarana, napogau gaunna, assematurusennami napopuang (orang Wajo dilahirkan merdeka, bebas berekspresi, bebas berbicara dan kesepakatan bersama. A. FILOSOFI KABUPATEN WAJO Filosofi pemerintahan dan kemasyarakatan Wajo yang tercermin pada kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo yang sejak 600 tahun yang lalu yaitu sejak Wajo lahir pada tanggal 29 maret 1399, kemudian 56 mengkristal pada tiga kata yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S ,yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge. Filosofi ini menjadi satu tatanan yang terpisahkan satu sama lain. SIPAKATAU (saling memanusiakan) a. Menghormati harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai makhluk ciptaan tuhan YME b. Semua makhluk disisi tuhan YME adalah sama, yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaan SIPAKELEBBI (saling memuliakan /menghargai) a. Menghargai posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan b. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang mudah,yang sederajat saling menghormati dan menyayangi. c. Berprilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang di junjung tinggi oleh masyarakat dan pemerintah. SIPAKAINGE (saling mengingatkan / demokrasi) a. Menghargai nasehat, saran, kritikan, posisi, dari siapapun b. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan. c. Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak lupuk dari kekurangan, kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling mengingatkan dan menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan Sipakatau dan Sipakalebbi. 57 B. Kondisi Geografis 1. Letak geografis, Secara geografis, Kabupaten Wajo terletak pada posisi 30 390-40 16’ Lintang Selatan dan 1190530-120027 Bujur Timur, merupakan daaerah yang terletak ditengah-tengah Provinsi Sulawesi Selatan dan pada zone tengah yang merupakan suatu depresi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir merupakan suatu selat. Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidenreng Rappang. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap. 58 Gambar 3.1 Peta Kabupaten Wajo Sumber: www.wajo.bps.go.id Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km2 atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 85.026 ha (33,92%) dan lahan kering 167,671 ha (66,08%). Sampai dengan akhir tahun 2010 wilayah Kabupaten Wajo tidak mengalami pemekaran, yaitu tetap terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan. Selanjutnya dari keempat-belas wilayah Kecamatan tersebut, wilayahnya dibagi lima menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yang disebut desa atau kelurahan. Tetap sama dengan kondisi pada tahun 2008, wilayah Kabupaten Wajo terbentuk dari 48 wilayah yang berstatus Kelurahan dan 128 wilayah yang berstatus Desa. Jadi secara keseluruhan, wilayah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 176 desa/kelurahan. Masing-masing wilayah Kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya. Adapun luas wilayah Kabupaten Wajo per Kecamatan sebagai berikut : Tabel 3.1 LUAS NO. KECAMATAN KM2 (%) 1. SABBANGPARU 132,75 5,3 2. TEMPE 38,27 1,53 3. PAMMANA 162,1 6,47 4. BOLA 220,13 8,78 59 5. TAKKALALLA 179,76 7,17 6. SAJOANGING 167,01 6,66 7. PENRANG 154,9 6,18 8. MAJAULENG 225,92 9,01 9. TANASITOLO 154,6 6,17 10. BELAWA 172,3 6,88 11. MANIANGPAJO 175,96 7,02 12. GILIRENG 147 5,87 13. KEERA 368,36 14,7 14. PITUMPANUA 207,13 8,26 2,506,19 100,00 JUMLAH Sumber: Kabupaten Wajo dalam angka 2011. Dari data diatas, wilayah yang paling luas adalah Kecamatan Keera dengan luas 368,36 km2 atau 14,7 % dari wilayah Kabupaten Wajo, sedangkan wilayah terkecil adalah Kecamatan Tempe dengan luas 38,27 km2 atau 1,53 %. 2. Kondisi alam Kondisi topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng 3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%). 60 Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut : 1. 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 % 2. 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 % 3. 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 % 4. 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian di atas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %. Kabupaten Wajo berada pada ketinggian antara 0.s.d. 500 meter dari atas permukaan daerah 3 dimensi yang memiliki sumber daya alam dengan yang terbagi atas: 1. Tanah berbukit/pegunungan (ketinggian 25 s.d 100 meter dpi seluas 7.378 Ha) berjejer dari selatan yang di mulai dari Kecamatan Tempe ke Utara memasuki Wilayah kecamatan Maniangpajo, Gilireng, keera, dan Pitumpanua. Hamparan luas yang merupakan sumber daya hutan berfungsi sebagai konservasi dan pengamanan tat guna air yang berkesinambungan. 2. Tanah daratan rendah (0.s.d 25 meter dpi seluas 205.588 Ha) merupakan hamparan lahan persawahan, perkebunan/tegalan pada wilayah Timur, tengah dan Barat, 3. Danau Tempe yang merupakan danau terluas di Provinsi Sulawesi Selatan berada di kawasan, Tengah dan Barat, sedangkan sebelah Timur terbentang pantai pesisir sepanjang 103 km termasuk kawasan Teluk 61 Bone. Kawasan ini merupakan wilayah untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Di samping itu kabupaten Wajo di dukung juga dengan potensi dengan sumber air yang cukup besar untuk pengairan air bersih. Baik air tanah maupun pemurkaan yang terdapat di danau dan di sungai-sungai besar seperti sungai Bila, Walennai, Gilireng, Cendranai dan Aw. C. Kondisi Demografis 1. Penduduk dan Ketenagakerjaan Penduduk daerah di Kabupaten Wajo tahun 2010 sebanyak 386.073 jiwa, dan terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 184.015 jiwa dan penduduk perempuan 202.015 jiwa. Berdasarkan data penduduk ini sex raxio penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2010 sebesar 91,07 persen dan rata-rata laju pertumbuhan penduduknya dari tahun 2005 sampai 2010 sekitar 0,80 persen. Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo sebesar 154 jiwa/km2 dan hampir 99,4 persen beragama Islam. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2010 sebesar 154 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di kecamatan tempe dengan luas wilayah terkecil yaitu sebesar 1,597.10 per km2 , sedangkan kecamatan Keera dengan luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan terkecil yaitu sebesar 59.00 jiwa per km2. Struktur umur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan imigrasi. Oleh karena itu jika 62 angka kelahiran suatu daerah cukup tinggi maka akan mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang banyak penduduk berusia muda. Jumlah penduduk terus bertambah setiap tahun, tidak demikian dengan pemerataan penyebaran penduduk. Adapun jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Wajo menurut kecamatan sebagai berikut : Tabel 3.2 NO KEC/TAHUN 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata laju pertumbuhan 1. SABBANGPARU 25.318 25.702 25.737 25.725 25.834 0,51 2. TEMPE 54.689 55.039 55.598 56.486 61.121 2,82 3. PAMMANA 30.949 31.172 31.266 31.252 31.276 0,26 4. BOLA 20.272 19.412 19.496 19.309 19.384 -1,11 5. TAKKALALLA 20.060 19.757 20.030 20.304 20.640 0,72 6. SAJOANGING 19.444 19.157 19.280 19.339 18.807 -0,83 7. PENRANG 15.839 15.223 15.430 15.489 15.705 0,21 8. MAJAULENG 32.261 31.125 31.535 31.708 31.329 -0,73 9. TANASITOLO 36.946 39.742 40.121 40.201 39.271 1,54 10. BELAWA 30.502 30.896 31.001 31.235 31.985 1,19 11. MANIANGPAJO 14.091 15.763 15.817 15.846 15,966 3,17 12. GILIRENG 11.347 11.074 11.321 11.339 11.043 -0,68 13. KEERA 20.437 21.356 21.536 21.795 21.734 1,55 14. PITUMPANUA 41.783 41.766 42.353 42.422 41.978 0,12 370.093 373.938 377.184 382.450 386.073 0,80 JUMLAH Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011 Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo tahun 2010 terbesar terdapat di Kecamatan Tempe yaitu sebesar 1,597.10 jiwa. Kecamatan yang memiliki 63 penduduk terendah adalah Kecamatan Keera yaitu sebesar 59.00 jiwa per km2. Sedangkan secara rata-rata keseluruhan, kepadatan penduduk di Kabupaten Wajo sebesar 154.05 Km2 Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo menurut Kecamatan tahun 2010. Tabel 3.3 Nama Kecamatan SABBANGPARU Luas daerah (KM2) 132,75 Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Km2) 25,834 194.61 TEMPE 38,27 61,121 1,597.10 PAMMANA 162,1 31,276 192.94 BOLA 220,13 19,384 88.06 TAKKALALLA 179,76 20,640 114.82 SAJOANGING 167,01 18,807 112.61 PENRANG 154,9 15,705 101.39 MAJAULENG 225,92 31,329 138.67 TANASITOLO 154,6 39,271 254.02 BELAWA 172,3 31.985 185.64 MANIANGPAJO 175,96 15,966 90.74 147 11,043 75.12 KEERA 368,36 21,734 59.00 PITUMPANUA 207,13 41,978 202.66 2,506.19 386,073 154.05 GILIRENG JUMLAH Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011 Untuk mengetahui komposisi penduduk Kabupaten Wajo yang bekerja menurut sektor lapangan usaha, dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Keadaan penduduk Kabupaten Wajo menurut Sektor Lapangan Usaha tahun 2010. Tabel 3.4 64 NO Lapangan Pekerjaan Usaha LakiLaki Perempuan Jumlah 1. 195 258 453 2. Pertanian,Perikanan,Peternakan dan kehutanan Pertambangan dan Penggalian 76 4 80 3. Industri Pengolahan 245 211 456 4. Listrik,Gas dan Air 94 28 122 5. Bangunan 255 272 527 6. 528 263 791 99 12 111 8. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Keuangan dan Asuransi 403 272 675 9. Jasa Kemasyrakatan 162 35 197 Jumlah 1,756 1,353 3,111 7. Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011 Data yang tercantum dalam tabel diatas menunujukkan bahwa dari 386.073 orang penduduk Kabupaten Wajo yang bekerja menurut sektor lapangan usaha, sebagian besar bekerja di sektor Perdagangan,Rumah Makan dan Hotel yakni sebanyak 791 orang. Sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk yang bekerja pada sektor Pertambangan dan Penggalian yakni sebanyak 80 orang. Dalam hal pekerjaan, penduduk Kabupaten Wajo memberikan peluang yang cukup besar tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya telah mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja di berbagai lapangan kerja. Adapun untuk mengetahui jumlah banyaknya pencari kerja yang telah terdaftar 65 pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabuparen menurut tingkat dapat dilihat dalam tabel berikut : Banyaknya pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Wajo munurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin 2011. Tabel 3.5 NO. TINGKAT PENDIDIKAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH 1. SD 0 0 0 2. SLTP 0 1 1 3. SLTP DAN KEJURUAN 17 18 35 4. DIPLOMA 3 38 41 5. SARJANA (S1) 42 75 117 6. PASCASARJANA (S2) 0 0 0 Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011 Dalam pelaksanaan pembangunan sosial, pemerintah telah mengupayakan berbagai usaha guna terciptanya kesejahteraan masyarakat di bidang sosial yang lebih baik. Usaha tersebut meliputi kegiatan di bidang pendidikan, agama, kesehatan, keamanan dan ketertiban masyarakat serta sosial lainnya. 2. Pendidikan Dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat di Kabupaten Wajo sudah baik, dimana masyarakat rata-rata telah mengeyam pendidikan SMA hingga lanjut ke perguruan tinggi. Sarana Pendidikan di Kabupaten Wajo Tahun 2011 sebagai berikut : 66 Tabel 3.6 NO. JENIS SARANA PENDIDIKAN JUMLAH 1. TK 180 2. SD/ Sederajat 397 3. SLTP/ Sederajat 74 4. SLTA/ Sederajat 16 5. Akademi 2 6. Perguruan Tinggi 8 7. Kursus 5 Sumber: Kabupaten Wajo dalam Angka 2011 Data dalam tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Wajo dapat dikatakan sangat memadai bagi peningkatan pendidikan masyarakat. Sebagian besar anak usia sekolah di Kabupaten Wajo sudah bisa menuntut ilmu dengan baik. Bertambahnya saran pendidikan di Kabupaten Wajo juga menunjukkan bahwa kepedulian masyarakatnya terhadap pendidikan juga cukup besar dan hal ini dapat pula menjelaskan secara tersirat dari beberapa tabel sebelumnya bahwa antara laki-laki dan perempuan telah memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Bagi mereka yag ingin meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti Perguruan Tinggi maka mereka disekolahkan ke daerah-daerah yang mempunyai sarana pendidikan yang memadai, terutama menyangkut kualitas pendidikan itu sendiri. D. Agama dan Kepercayaan Kabupaten Wajo merupakan Kabupaten yang penduduknya memeluk berbagai macam agama. Untuk lebih jelasnya perbandingan memeluk agama yang 67 ada di Kabupaten Wajo ini terbagi kedalam agama atau aliran kepercayaan yaitu : islam, protestan, dan agama lain dapat dilihat pada tabel berikut ini : Banyaknya tempat peribadatan menurut kecamatan di Kabupaten Wajo tahun 2010. Tabel 3.7 Tempat Peribadatan Nama Kecamatan Masjid Mushalla Gereja Pura Kelenteng SABBANGPARU 36 6 - - - TEMPE 62 10 1 - - PAMMANA 48 14 - - - BOLA 41 28 - - - TAKKALALLA 26 4 - - - SAJOANGING 28 2 - - - PENRANG 31 5 - - - MAJAULENG 46 4 1 - - TANASITOLO 35 1 - - - BELAWA 46 - - - - MANIANGPAJO 22 4 - - - GILIRENG 16 1 - - - KEERA 32 6 - - - PITUMPANUA 67 2 - - - JUMLAH 536 87 2 - - Sumber : Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011 Jika kita lihat tabel diatas mengenai jumlah tempat peribadatan, sangat jelas bahwa di Kabupatenwajo agama yang dominan adalah agama islam, kemudian agama-agama yang lain seperti kristen dll. 68 Sarana peribadatan yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Kabupaten Wajo berupa mesjid sekitar 536 buah, musholla sekitar 87 buah, dan gereja 2 buah. Kita melihat sarana peribadatan yang paling banyak adalah mesjid karena masyarakat Kabupaten Wajo dominan memeluk agama islam. E. Objek Wisata Kabupaten Wajo Sengkang adalah Ibu Kota dari Kabupaten Wajo yang terletak di pinggir Danau Tempe yang memiliki panorama Indah, Sengkang merupakan kota yang cukup menyenangkan untuk dikunjungi. Salah satu daya tarik Sengkang adalah produk kain sutera yang merupakan hasil tenun milik rakyat. Sengkang memang dikenal sebagai pusat industri sutera. Kain sutera banyak dijual di pasar Sengkang seperti selendang sutera Namun sayangnya pusat penenunan sutera milik rakyat umumnya terletak di desa-desa di sekitar Sengkang yang tidak memiliki akses angkutan umum. Untuk dapat menuju ke desa-desa ini, Anda harus menyewa angkutan umum. 1. Danau Tempe Danau Tempe merupakan danau yang cukup luas namun dangkal yang menjadi habitat satwa burung. Pinggiran danau merupakan kawasan tanah lumpur yang juga menjadi tempat bermukim masyarakat setempat. Pengunjung dapat berjalan-jalan menyusuri danau dengan menggunakan perahu motor hingga ke Sungai Walanae, mengunjungi Desa Salotangah dan Desa Batu Batu yang berada di tengah danau. Danau Tempe terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dan Kota Sengkang menuju tepi Sungai 69 Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Danau Tempe dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau. Nelayan yang menangkap ikan di tengah danau seluas 13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung, merupakan pemandangan yang sangat menarik. Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap. Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk Timur pada pagi hari dan terbenam di ufuk Barat pada sore hari. Di tengah danau, kita dapat menyaksikan beragam satwa burung seperti belibis yang menyambar ikan-ikan yang muncul di atas permukaan air Danau Tempe. Danau ini memiliki spesies ikan air tawar yang jarang ditemui di tempat tain. Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan ada kaitannya letak danau yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu Australia dan Asia. 2. Wisata Sutera Agro Wisata Sutra menjadi salah satu andalan di kabupaten ini. Tahap penanaman murbei hingga proses pembuatan kain sutera sudah lama menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Wajo. Lokasi pembibitan dan penanaman murbei terletak pada beberapa desa di Kecamatan Sabbangparu, sekitar 10 km sebelah Selatan Kota Sengkang, jalan poros menuiu Kabupaten Soppeng. Di sini, pengunjung dapat menyaksikan proses penanaman murbei, cara memelihara ulat sutera, proses pemintalan benang sutera, 70 hingga cara menenun kain sutera. Khusus produk sutera yang berupa kain, sarung, kemeja, dasi, dan berbagai bentuk cinderamata dari kain sutera seperti kipas dan tas. Beberapa showroom sutera yang ada di Kota Sengkang menyediakan berbagai macarn warna maupun motif yang indah. Motif yang banyak diminati masyarakat umumnya motif Bugis dan motif yang menyerupai ukiran-ukiran Toraja. 3. Kawasan Budaya Rumah Adat Atakkae Kawasan budaya Rumah Adat Atakkae terletak di Kelurahan Atakkae, Kecamatan Tempe, dibangun tahun 1995 di pinggir Danau Lampulung, sekitar 3 km sebelah Timur Kota Sengkang. Di dalam kawasan ini telah dibangun puluhan duplikat rumah adat tradisional yang dihimpun dari berbagai kecamacan, sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksanaan pameran. Di sekitarnya terdapat bangunan sebagai tempat menginap wisatawan, dekat dari danau. Hampir setiap tahunnya, kawasan budaya ini ramai dikunjungi wisatawan, terutama saat digelar berbagai atraksi budaya dan permainan rakyat. Di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah rumah adat yang lebih besar yang dijuluki Saoraja-istana Tenribali, salah seorang matoa Wajo. Rumah tersebut rnempunyai tiang sebanyak 101 buah. Setiap tiang beratnya 2 ton, kayu ulin dari Kalimantan. Tiang itu didirikan dengan menggunakan alat berat (eskavator). Lingkaran tiang rumah 1,45 m dengan garis tengah 0,45 m, dan tinggi tiang dari tanah ke 71 loteng 8,10 m. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 m, lebar 21 m, dan tinggi bubungan 15 m. 4. Kawasan Bendungan Kalola Kawasan Bendungan Kalola merupakan kawasan wisata terletak di Desa Sogi, Kecamatan Alaniangpajo, sekitar 35 km sebelah Utara Kota Sengkang. Kawasan yang menempati areal seluas 65 hektar ini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Bendungan Kalola yang terdapat dalam kawasan wisata ini memiliki genangan air 21,5 km dengan debit air 900 m3 per detik, membentang di antara batuan pegunungan yang ditumbuhi pepohonan rindang, sejuk, dan sangat mengasyikkan. Kita dapat menyaksikan kegiatan menangkap ikan oleh penduduk setempat dengan menggunakan perahu roda. Wisatawan juga bisa memancing ikan, lomba dayung, bermain ski, dan menikmati pemandangan yang indah di sekitar bendungan. Pengunjung biasanya menggelar kemah dan sekitar 3 km dari bendungan telah dibangun kolam renang dan pondokan. Bagi mereka yang gemar berburu, dapat menyalurkan hobinya, karena dekat lokasi ini terdapat taman perburuan rusa.Lokasinya sekitar 5 km dari Bendungan Kalola, tepatnya di Desa Sogi, Kecamatan Maniangpajo. Taman berupa hutan seluas 500 hektar itu sangat representatif bagi mereka yang mempunyai hobi berburu. Dahulu, orang berburu rusa dengan menggunakan kuda dan anjing pemburu. Bahkan, tingkat keperkasaan dan kedewasaan seorang putra bangsawan saat itu diukur dari kemampuan dan ketangkasan mereka menangkap rusa. Bagi 72 mereka yang senang dengan petualangan, berburu rusa merupakan salah satu alternatif. Lokasi itu dapat dijangkau dengan menggunakan mobil 4 whell drive karena jalan menuju ke lokasi merupakan bukit yang landai. Di sekitarnya tampak pemandangan alam dengan permukaan rumput hijau, mengapit lapangan berburu yang luas. Di sekitar taman ini terdapat sungai kecil dan pepohonan di sela-sela lembah sebagai pendukung kehidupan satwa rusa. 5. Situs Tosora Situs Tosora terletak sekitar 16 km di sebelah Timur Kota Sengkang. Tepatnya di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tosora adalah daerah bekas ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke-17. Wilayah ini dikelilingi 8 buah danau kecil. Banyak peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang terdapat di sini, misalnya makam raja-raja Wajo, bekas gudang amunisi kerajaan (geddong), masjid kuno yang dibangun tahun 1621, dan makam yang bernisan meriam. Disini juga terdapat sumur bung parani, ternpat prajurit-prajurit tempo dulu dimandikan sebelum terjun ke medan perang. Banyak wisatawan yang sudah berkunjung ke sini. Motivasi mereka beraneka ragam, di antaranya datang hanya untuk melakukan ziarah. Sebagian yang lain datang untuk melepas hajat atau azar, dan ada juga yang mengadakan pengkajian sejarah. 73 6. Rumah Terapung Di waktu malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung. Bersama nelayan, kita dapat menyaksikan rembulan di malam hari yang menerangi Danau Tempe sambil memancing ikan. Sementara itu, para nelayan menangkap ikan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan penduduk. Tanggal 23 Agustus setiap tahunnya, merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe. Acara pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau dengan menggelar berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng memakai baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis). Acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh Iesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya. Lomba perahu dayung merupakan tradisi yang turun temurun dan terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng merupakan bentuk kegiatan ritual yang dilaksanakan di atas Danau Tempe oleh masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe. biasanya ditandai dengan pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan serentetan acara lainnya. 74 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam rangka untuk mendapatkan data yang akurat dan dijamin kualitasnya maka sebelum menentukan subjek/informan penelitian akan dilakukan overview atau penjajakan terhadap anggota masyarakat yang dianggap representatif memberikan informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya barulah ditentukan subjek/informan. Informan awal dipih orang yang dapat membuka jalan untuk menentukan informan berikutnya dan berhenti apabila data yang dibutuhkan sudah cukup. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara dipih secara sengaja yaitu orang yang dianggap dapat memberikan informasi terhadap masalah, melalui wawancara mendalam dengan total informan sebanyak sepuluh (10) orang yang bertempat tinggal di Sengkang dengan perincian : a. Etnis Bugis : Lima (5) Orang b. Etnis Tionghoa : Lima (5) Orang Informan etnis Tionghoa yaitu dua orang Tokoh masyarakat etnis Tionghoa dan tiga orang pedagang, sedangkan dari etnis Bugis yaitu dua orang Tokoh masyarakat etnis Bugis, dua orang pedagang, kemudian satu orang masyarakat pribumi etnis Bugis. 75 A.1 Profil Informan Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara terhadap 10 (sepuluh) orang yakni 5 orang etnis Tionghoa dan 5 orang etnis Bugis. Informan pertama Nama : Surahman Wijoyo Pekerjaan : Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa dan Pedagang Usia : 60 Tahun Suku : etnis Tionghoa Tempat tinggal : JL. RA Kartini Informan kedua Nama : Romy Pekerjaan : Pedagang Usia : 35 Tahun Suku : etnis Tionghoa Tempat tinggal : JL. RA Kartini Informan Ketiga Nama : Kaseng Pekerjaan : Sekertaris Perkumpulan Etnis Tionghoa di Kab. Wajo Umur : 40 Tahun Suku : etnis Tionghoa Tempat tinggal : JL. RA Kartini 76 Informan Keempat Nama : Siyyong Pekerjaan : Pedagang Umur : 40 Tahun Suku : etnis Tionghoa Tempat tinggal : JL. RA Kartini Informan Kelima Nama : Handoko Pekerjaan : Pedagang Umur : 55 Tahun Suku : etnis Tionghoa Tempat tinggal : JL. RA Kartini Informan Keenam Nama : Andi Apuk Zaenal Pekerjaan : Mantan Lurah Lapongkoda Periode 1995-2006 Umur : 64 Tahun Suku : etnis Bugis Tempat tinggal : BTN Tae JL. Rusa Informan Ketujuh Nama : Mappeasse S.Sos Pekerjaan : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kab. Wajo Umur : 46 Tahun Suku : etnis Bugis 77 Tempat tinggal : JL.Bau Baharuddin Infroman Kedelapan Nama : H.Muhtamar Pekerjaan : Pedagang Umur : 50 Tahun Suku : etnis Bugis Tempat tinggal : JL. RA Kartini Infroman Kesembilan Nama : H. Kade Pekerjaan : Pedagang Umur : 67 Tahun Suku : etnis Bugis Tempat tinggal : JL. RA kartini Informan Kesepuluh Nama : Herwansyah Pekerjaan : Wiraswasta Umur : 27 Tahun Suku : etnis Bugis Tempat tinggal : JL. A.Ninnong 78 A.2 Hasil Penelitian 1. Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo Hasil wawancara : Informan 1 Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Surahman Wijoyo selaku Ketua Perkumpulan Masyarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo, selain itu dia juga memiliki profesi utama yaitu seorang Pedagang dan Kontraktor. Pak Surahman sudah empat tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya sudah empat tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa di sini (Kabupaten Wajo) ,selain itu saya juga mempunyai profesi utama yaitu seorang pedagang dan kontraktor. Saya tinggal di sengkang itu sudah lama sudah 60 Tahun.” Etnis Tionghoa yang bertahun-tahun lamanya bermukim di kabupaten Wajo khususnya di Sengkang ditandai dengan adanya kuburan cina yang ada di Tosora. Konon katanya kuburan itu milik Chuming keturunan dari etnis Tionghoa. Meskipun Bapak Pak Surahman tidak lahir di Wajo tetapi sejak muda sudah berusaha disini dan melahirkan kita disini (Sengkang), jadi sejak dulu etnis Tionghoa dengan etnis Bugis sudah berbaur. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Meskipun bapak kita tidak lahir disini, tapi boleh dikata sejak muda mereka sudah berusaha di Wajo,sampai melahirkan kita disini, jadi memang dari dulu kita sudah berbaur dengan masyarakat setempat. Etnis Tionghoa sudah lamami masuk di wajo karena ada buktinya ada kuburan Tionghoa yang didapat di Tosora. Jadi diperkirakan itu sebelum tahun 1800-an, diperkirakan kota Sengkang belum ada, jadi Sengkang itu awalnya ditosora, kota budaya disana kan.” 79 Pak Surahman selaku Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa juga lahir dan besar di Sengkang. Sejak kecil Pak Surahman sudah berbaur dengan masyarakat etnis Bugis, bahkan bupati Wajo adalah teman kecil dari Pak Surahman sewaktu masih duduk di bangku SMP. Bukan hanya itu tokoh-tokoh masyarakat di Sengkang berteman baik dengan Pak Surahman. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Surahman berikut ini : “Yah selain kita punya profesi, saya itu lahir dan besar di Wajo, jadi sejak kecil saya sudah berinteraksi, sudah berbaur dengan masyarakat Bugis, bahkan Bupati Wajo yang sekarang teman sekolahku waktu masih SMP,saya juga banyak kenal dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh agama, pejabat-pejabat pemerintah Kabupaten Wajo. Jadi dari kecil kita sudah berbaur dan memiliki hubungan baik dengan masyarakat setempat.” Menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa, Pak Surahman hampir tiap hari berkomunikasi dengan etnis Bugis. selain memiliki profesi sebagai kontraktor dan pedagang, Pak Surahman juga menjalin hubungan kerja sama dengan masyarakat setempat. Interaksi mereka tidak hanya pada saat bekerja, juga berlangsung di lingkungan tempat tinggal dan di luar. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa, jadi pastimi saya tiap hari ketemu dan berkomunikasi dengan etnis Bugis, apalagi saya kan banyak kerja sama dengan masyarakat pribumi. Bukan itu ji saja khusus ini dengan tetangga, baik itu dibelakang, di samping sama di depan penting sekali membangun hubungan. Hal sederhana bisa membuat hubungan jadi harmonis. Hampir tiap hari kita berkomunikasi supaya membangun suatu hubungan yang lebih baik.” Interaksi yang terjalin antara Pak Surahman dengan masyarakat etnis Bugis bukan dalam hal pekerjaan saja, tetapi hampir tiap hari Pak Surahman berinteraksi dengan masyarakat Bugis dan membicarakan masalah-masalah yang 80 sedang ramai dibicarakan di masyarakat seperti, membahas masalah ekonomi, politik, budaya, membahas masalah yang sedang hangat dibicarakan di TV dan Media. Interaksi dan komunikasi berlangsung bukan hanya pada saat bekerja, tetapi Pak Surahman ketika bertemu dijalan saling menyapa, ketika mendapat undangan dari masyarakat etnis Bugis seperti Hakikah, Pesta Perkawinan, orang berduka, acara perayaan ulang tahun Wajo, Pak Surahman ikut serta dan berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Berikut penuturan dari Bapak Surahman sebagai berikut : “Banyak-banyak kita sering bicara, misalanya di jalan, di tempat kerja, kawinan, acara adat, hakikah, acara ulang tahun kabupaten wajo, orang meninggal dan banyak lagi. Kita hadir dan berpartisipasi, apalagi sama tetangga yang mengundang sudah sepertimi keluarga sendiri jadi pasti kita hadir. Pokoknya kalo kita ketemu banyak sekali hal-hal dibicarakan, masalah kondisi kampungta, masalah yang sering dibicarakan di TV, Politik, Ekonomi, Budaya, masalah kerjaan dan kehidupan sehari-hari.” Tema pembicaraan Pak Surahman dengan etnis Bugis bukan hanya membicarakan Politik, Ekonomi, Pekerjaan, tetapi hal pribadi pun tak luput dari pembicaraan. Pak Surahman menganggap bahwa masyarakat etnis Bugis adalah sudah seperti keluarga, apalagi Pak Surahman lahir dan besar di Sengkang. Hal pribadi seperti mengeluarkan isi hati, mengeluarkan unek-unek, meminta saran dan pendapat, curhat masalah kondisi pekerjaan dan bagaimana Pak Surahman sebagai masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Sengkang. Pak Surahman ketika berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi menggunakan bahasa Bugis. Sejak dulu, bahkan dari kecil Pak Surahman sudah pasif berbahasa Bugis. Bahasa mandarin Pak Surahman jarang terdengar hanya sesekali diperdengarkan ketika berkomunikasi dengan keluarga. Kalau bahas Indonesia Pak Surahman 81 menyusaikan dengan tempat dan kondisinya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ya. Kadang-kadang kita membahas hal pribadi. Misalnya minta saran dan pendapat, mengeluarkan isi hati dan unek-unek, bagaiamana kondisi usaha dan macam-macam. Jadi orang tidak tanggung-tanggung bicara isi hatinya sama kita, bagaimana ini Pak Surahman….., sering juga minta pendapat dan saran sama saya, saya juga memberikan pendapat yang sebenarnya, yang dia minta sejujurnya, yang bagus, sampe pemukapemuka agama pun. Dulu saya ingat itu anri gurutta saya sering main ke rumahnya, kalo dia bahas agama, tapi memang kan dari dulu saya banyak belajar agama Islam sampai SMA, karena kurikulum waktu itu tidak ada agama Kristen, hanya kurikulum agama islam, waktu saya pergi kemah saya sering ikut shalat, karena kita mengikuti kondisi yang ada saat itu. Disamping itu lebih banyak kita membicarakan masalah bisnis karena itu pekerjaan kita disini. Saya kalo malam sering ke warkop juga biasa cerita-cerita juga disana sambil minum kopi. Jadi kalo di sengkang saya sudah berbaur sekalimi, hampir tidak ada yang tidak kenal saya disini apalagi saya lahir disini juga, jadi saya juga orang pribumi sebenarnya tapi cuma sukunya saja yang beda . saya kalo bicara jarang pake bahasa Indonesia disesuaikan saja kondisinya, sehari-hari kita pake bahasa bugis terus sama teman-teman jadi kalo bahasa bugis bahasa sehari-hari mi. kalo sesama etnis tionghoa kadang pake bahasa bugis dan pake bahasa Indonesia juga sesekali diperdengarkan bahasa mandarin.” Selain membahas tentang Politik, Ekonomi, Pekerjaan, Kehidupan Sosial, Pak Surahman juga sangat paham dengan kebudayaan etnis Bugis. pengetahuan tentang budaya etnis Bugis didapatkan dengan cara beradaptasi dengan lingkungan sehari-hari. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalau ditanya soal kebudayaan etnis Bugis, saya sudah sangat paham dek. Kenapa saya paham karena memang dari kecil saya sudah berbaur dengan etnis Bugis, jadi secara tidak langsung saya tahu kebudayaankebudayaan etnis Bugis, seperti adat istiadatnya, perilaku, sifat masyarakat Bugis, tulisan lontara, lagu-lagu bugis seperti bulu alauna tempe, festival danau tempe, pesta panen, maccera danau tempe, kalau perkawinan seperti makna dari mappacci saya tau, dalam hal agama meskipun saya agama Kristen tetapi saya tau perayaan agama etnis Bugis seperti sebelum masuk ramadhan ada namanya baca-baca dulu, perayaan 1 Muharram, perayaan maulid yang sering identik dengan telur yang berwarna warni, terus perayaan isra miraj dan masih banyak kebudayaan lainnya. Intinya semua kebudayaan disini itu kayak kebudayaanta sendiri, 82 meskipun kita dari etnis beda tapi ada perasaan memiliki dari kita. Semua kebudayaan-kebudayaan itu saya belajar juga waktu masih sekolah. Waktu sd saya belajar lontara juga jadi kayaknya kita ini sudah menyatu dengan budaya etnis Bugis. semua kegiatan-kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan budaya etnis Bugis pasti saya hadir, ikut menunjukkan kebersamaan kita. Satu lagi budaya etnis Bugis kita sudah menyatu, kalo memanggil orang yang lebih tua dari kita pasti kita panggil dengan kata pung, itu tandanya kalo kita menghargai yang lebih tua.” Pak Surahman yang lahir dan besar di Sengkang tidak sulit untuk mempelajari budaya-budaya etnis Bugis. Intensitas pertemuan yang sering antara Pak Surahman dengan masyarakat etnis Bugis sejak dulu membuat Pak Surahman tidak sulit mempelajari budaya dan adat istiadat etnis Bugis. Pak Surahman tidak pernah bertanya karena sejak kecil sudah berbaur dengan masyarakat setempat. Jadi tidak secara langsung Pak Surahman paham atau mengerti kebudayaan tersebut. Misalkan Perilaku masyarakat etnis Bugis yakni 3S Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi. Selanjutnya sifat dari masyarakat etnis Bugis yakni “Taro ada Taro gau” yang artinya apa yang kita ucapkan itulah yang kita perbuat. Jadi adat istiadat tesebut menyatu dan diapalikasikan oleh Pak Surahman dalam bermasyarakat. Adat istiadat lain yang Pak Surahman ketehui adalah dalam adat perkawinan etnis Bugis ada yang namanya “Mappacci” yang artinya mensucikan diri sebelum memasuki keluarga yang baru. Pak Surahman juga sangat paham dengan “Tulisan Lontara” karena sewaktu kecil belajar di bangku sekolah. Budaya lainnya Pak Surahman juga banyak mengetahui tentang lagu-lagu bugis seperti lagu “Bulu Alauna Tempe” yang artinya danau tempe bisa dilihat dari bulu pattirosompe. Sedangkan “Maccera Danau Tempe” artinya tanda kesyukuran masyarakat Wajo atas hasil ikan yang melimpah.adapun “Pesta Panen” (Manre Sipulung) dilaksanakan pada saat masyarakat Kabupaten Wajo telah panen dan 83 hasilnya berlimpah ruah. Maksud kegiatan tersebut adalah sebagai tanda syukur masyarakat Wajo atas melimpahnya hasil panen. Melihat Pah Surahman yang sudah sangat paham dan mengerti tentang budaya etnis Bugis menandakan bahwa keduanya sudah berbaur dan menyatu, meskipun Pak Surahman berbeda budaya tapi timbul perasaan memiliki terhadap budaya tersebut. Kata Pung’ merupakan kata panggilan kepada seseorang yang lebih tua dengan maksud sebagai bentuk penghormatan mereka. Etnis tionghoa yang sudah bertahun-tahun lamanya menetap bahkan lahir dan besar di Sengkang sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis Bugis. etnis Tionghoa dan etnis Bugis mempunyai kesamaan profesi yakni berdagang. Hal ini membuat interaksi begitu besar diantara kedua etnis tersebut. Etnis Tionghoa khususnya Pak Surahman yang mencari nafkah di Sengkang sudah sangat merasa nyaman dan tentram bermukim di Wajo khususnya di Sengkang, Pak Surahman menilai etnis Bugis orangnya ramah dan saling menghargai, jarang terdengar konflik dan perselisihan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Surahman sebagai berikut : “Saya ingat waktu tahun 1998 terjadi konflik etnis Tionghoa dengan masyarakat bugis makasar, kalo di wajo aman-aman saja, karena kita sudah menyatu, saling menghargai dengan masyarakat setempat. Bahkan teman-teman mengatakan kepada saya bahwa tenang kalo disini bapak aman, kita semua adalah saudara. Waktu konflik itu semua anak saya dibawa ke wajo karena mereka aman disini. Inilah yang saya katakan tadi bahwa membangun hubungan, silaturahmi, saling menghargai, hal-hal sederhana tapi manfaatnya sangat luar biasa kepada kita yang bermukim di sini (Sengkang). Jadi kita merasa aman karena sudah seperti keluarga. Jadi kalo besok-besok ada gejolak-gejolak konflik diluar imbasnya tidak sampai disini. Saya selama tinggal di sini tidak pernah ada konflik dengan masyarakat Etnis Bugis, satu yang selalu saya pegang, uang itu bukan segala-galanya, tapi tergantung bagaiamana kita bawakan silaturahmi supaya orang bisa terima kita. Jadi selama hidup saya tidak ada itu 84 diskriminasi-diskriminasi. Orang di luar sering konflik tapi kita di wajo aman-aman saja. Memang sangat penting untuk membangun suatu hubungan, apalagi suatu daerah tidak akan berkembang tanpa masyarakat yang hubungannya harmonis seperti kita yang ada di di kabupaten wajo khusunya di Sengkang.” Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sangat baik, jarang terdengar ada konflik atau perselisihan. Bertahun-tahun lamanya etnis Tionghoa menetap bahkan dari mereka lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat etnis Bugis. etnis Tionghoa beradapatasi dan mencari nafkah di Sengkang. bukan hal yang sulit bagi Pak Surahman untuk berkomunikasi dengan etnis Bugis selain karena lahir dan sudah sangat pasif berbahasa bugis, hubungan pak Surahman sudah seperti layakanya saudara sendiri. Informan II Pada informan kedua, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Romi yang juga bekerja sebagai pedagang. Seperti informan yang pertama, Pak Romi juga lahir dan besar di wajo, sudah hampir 36 tahun Pak Romi bermukim di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya tinggal di wajo itu sudah hampir 36 tahun, tapi memang saya lahir dan besar disini, saya kerjaanku sebagai pedagang sama dengan kebanyakan profesinya orang bugis disini.” Pak romi yang bermukim di pasar sentral dan tinggal di tengah-tengah masyarakat etnis Bugis memiliki hubungan yang sangat akrab, bahkan dengan tetangga-tetangga di lingkungan tempat tinggalnya sudah seperti keluarga sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Romi sebagai berikut : “Sudah lamami saya tinggal di wajo dan berada di tengah-tengah masyarakat etnis Bugis karena kebanyakan tetangga ku orang bugis semua dan hubungan kita sudah sangat akrab apalagi sama tetanggatetangga disamping rumah.” 85 Dalam sehari-hari hampir tiap hari Pak Romi berkomunikasi dan berinteraksi dengan etnis Bugis bukan hanya pada saat ada kepentingan tetapi komunikasi sudah menjadi kewajiban dalam suatu hubungan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Hampir tiap hari ki berkomunikasi sama orang disini, karena seperti meki saudara, apalagi sama tetangga janganmi sudah kayak keluarga semua. Jadi bukan saat ada kepentingan tetapi komunikasi itu sudah wajib dalam kehidupan sehari-hari.” Interaksi dan komunikasi Pak Romi dengan masyarakat etnis Bugis bukan hanya di tempat kerja, tetapi juga terjadi diluar rumah, seperti pada saat acara kawinan, acara hakikah atau mappenre tojang, orang berduka, di tempat umum, di pasar, di jalan dan ditempat olahraga. Jadi tempat berkomunikasi tidak hanya satu tempat. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Banyak kalo tempat ta bicara, biasa juga di toko kalau ada masyarakat etnis Bugis yang jual emas atau mau beli emas, sambil jualan cerita-cerita meki juga. Kalau bukan di toko biasa juga diluar rumah, kayak acara pengantin, mappenre tojang, tudang penni, acara kematian, biasa juga di tempat olahraga karena saya juga suka main bulutangkis jadi bukan cuma di toko ji bicaraki, banyak-banyak juga diluar.” Tema pembicaraan Pak Romi dengan masyarakat Bugis sangat bervariasi, tidak terpaku dengan satu pembicaraan saja yaitu dagang. Banyak hal yang dibicarakan seperti kondisi pekerjaan, masalah sehari-hari, politik, kadang membahas yang sedang hangat di bicarakan di TV atau di Media. Sesekali pembicaraan Pak Romi tentang budaya misalkan Pak Romi bertanya kepada etnis Tionghoa tentang budaya etnis Bugis seperti bertanya bagaiamana maksud Mappenre Tojang, Tudang Penni, Menre Bola. Tetapi Pak Romi tidak terlalu tau mendalam mengenai makna dari budaya etnis Bugis hanya saja Pak Romi sekedar 86 tau saja karena sering menghadiri acara-acara etnis Bugis. Pak Romi juga suka mengoleksi benda-benda budaya dari etnis Bugis, seperti Keris dan Badik. Pak Romi mengoleksinya sebagai hiasan saja. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo bertanya tentang budaya orang Bugis biasa ji, hanya saja tidak terlalu mendalam, tidak terlalu saya paham juga budayanya etnis Bugis seperti Mappenre Tojang,tapi katanya temanku sebagai syukurannya agama islam kalau lahir anaknya, seringja juga pergi ke acara tudang penni,mappacci, tapi kalo maknanya tidak tau ka, tidak pernah juga saya tanya sama temanku. Tapi kalo acara menre bola baru atau pindah rumah, saya tau ji sebagai syukuran naik rumah baru. Itu ji yang saya tau. Tapi saya juga koleksi benda-benda budaya etnis Bugis seperti Keris dan Badik. Ada lagi budaya yang sudah menyatu sama kita misalkan kita memanggil orang yang lebih tua dengan Pung’ yang artinya kita hargai yang lebih tua. Selain budaya banyak sekali yang kita bicarakan misalnya masalah di tv, masalah sehari-hari, kerjaan, politik, ekonomi.kalau tentang pribadi tidak pernah karena saya orangnya tertutup sedangkan sesama warga etnis Tionghoa saja jarang apalagi beda etnis, saya tertutup karena memang dasarnya saya orangnya pendiam.” Bahasa yang digunakan Pak Romi ketika berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bugis adalah Bahasa Bugis. Pak Romi lahir dan besar di Sengkang jadi dari dulu sudah pasif berbahasa Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Yah kalo bahasa sudah pasti bahasa Bugis, lingkungan ta banyak orang Bugis jadi bahasa sehari-hari pasti bahasa Bugis. kalau bahasa Indonesia sekali-sekali ji dan paling sama keluarga biasanya.” Hubungan sosial yang berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis tidak dapat dihindari, hampir tiap hari keduanya bertemu dan berkomunikasi. Pak Romi yang juga lahir di Sengkang sudah mengetahui budaya masyarakat etnis Bugis dengan menghadiri setiap ada undangan acara dari etnis Bugis, jadi tidak 87 sulit untuk berbaur dengan masyarakat etnis Bugis. Hubungan Pak Romi dengan masyarakat etnis Bugis sangat baik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut: “Kalo hubungan sosial sudah pastimi terjadi karena itu tadi terlalu akrab meki apalagi saya kan lahir disini ji, jadi saya taumi bagaimana orangorangnya kalo di wajo. Saya juga orang bugis ji kan saya lahir disini. Saya temanku kebanyakan dari etnis Bugis, apalagi saya juga hobby bulutangkis jadi saya biasa wakili kabupaten wajo kalo ada pertandingan. Kalo saya sama etnis Bugis akrab sekalika, seringka minum-minum kopi juga di warkop, Jadi hubungan dengan etnis Bugis sangat baik dan komunikasi juga berjalan efektif.” Pada awal-awal hubungan Pak Romi dengan etnis Bugis sempat ada halhal yang tidak nyaman didengar. Tetapi lama kelamaan hal tersebut tidak pernah lagi terdengar oleh Pak Romi sendiri. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Iye, saya ingat dulu itu, waktu jaman-jaman dulu kita biasa dipanggil sama orang bugis dengan “cina-cina”, padahal kita kan sudah warga pribumi mi juga, cuma suku nya ji yang beda. Tapi lama kelamaan tidak pernah mi saya dengar ada yang panggil-panggil begitu, mungkin karena dekat sekali dan sudah akrab makanya tidak pernahmi lagi didengar begituan. Meskipun Pak Romi sempat mendengar hal-hal yang kurang enak dari etnis Bugis tetapi itu tidak mempengaruhi hubungan yang berlangsung diantara keduanya. Dari waktu ke waktu hubungan antara etnis Tionghoa semakin harmonis dan suara-suara yang sempat terdengar oleh Pak Romi hilang dengan sendirinya. Hubungan Pak Romi dengan masyarakat etnis Bugis sejauh ini sangat baik, menurut Pak Romi masyarakat etnis Bugis itu sangat menghargai sapa saja yang bermukim di Wajo khusunya di Sengkang, selain itu masyarakatnya juga 88 sangat ramah, memang manusia pasti ada kekurangan dan kelebihannya tetapi selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang merusak hubungan. Informan III Informan ketiga, Bapak Kaseng yang bertempat tinggal di daerah pasar sentral, Pak Kaseng yang juga menjabat sebagai Sekertaris Perkumpulan Mayarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo. Pak Kaseng sudah hampir 40 tahun bermukim dan pak Kaseng juga lahir, besar di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya tinggal di sengkang itu sudah hampir 40 tahun, karena keluargaku kebanyakan lahir di sini juga.kalo disini saya bekerja sebagai seorang pedagang, kebetulan ada toko elektronok ku juga, selain pedagang saya juga menjabat sebagai sekertaris perkumpulan etnis Tionghoa di Wajo.” Sejak kecil Pak Kaseng lahir dan besar ditengah-tengah masyarakat etnis Bugis. hampir semua tetangga di lingkungan tempat tinggalnya adalah masyarakat etnis Bugis. mempunyai profesi yang sama sebagai pedagang dengan masyarakat bugis membuat komunikasi terjadi hampir tiap hari, bukan hanya hubungan kerja saja melainkan tercipta hubungan yang lebih dekat. Hal ini ditegaskan oleh Bapak kaseng sebagai berikut : “Kalo di pasar sentral kebanyakan yang tinggal itu etnis Bugis, banyak ji juga etnis Tionghoa tapi lebih banyak orang bugis. apalagi kita punya profesi sama-sama bergerak dibidang bisnis. Saya sering sekali berkomunikasi dengan penduduk sekitar apalagi sama tetanggaku, anggota mi semua.jadi hubunganta sama etnis bugis itu bukan sekedar kerjaan, tapi betul-betul sudah seperti saudara yang tinggal di satu daerah. Apalagi sudah lama meki kenal jadi yah sama-sama ki membutuhkan.” Interaksi dan komunikasi yang berlangsung sejak lama antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis membuat keduanya tidak canggung dalam melakukan 89 proses komunikasi, keduanya saling membutuhkan karena masing-masing memiliki kesamaan budaya berdagang. Interaksi dan komunikasi pun tidak ditempat kerja saja, melainkan diluar kerjaan, seperti menyempatkan waktu ke warkop untuk sekedar berbincang-bincang masalah pekerjaan, dan banyak hal dibicarakan, bertemu dijalan, saling bertegur sapa dan bersilaturahmi dengan berkunjung kerumahnya. Seperti penuturan Pak Kaseng sebagai berikut : “Kalo interaksi dan komunikasi sama etnis bugis lebih banyak diluar rumah, biasa juga ada yang datang kerumah untuk silaturahmi ceritacerita. Selain di luar kita juga sering janjian ketemu di warkop untuk ngopi-ngopi sambil bahas kerjaan, bahas kehidupan sehari-hari,bahas politik, bahas kinerjanya bupati bagaiamana, pokoknya banyak hal yang dibicarakan, biasa juga misalkan curhat-curhat, minta saran dan pendapat. Yah begitu ji karena dekat sekalimi jadi saling menghargai juga.” Hubungan yang berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis bukan hanya ditempat kerja, melainkan sering terjadi diluar, misalkan kalo ada undangan dari etnis Bugis, Pak Kaseng menyempatkan waktu untuk hadir dan berpartisipasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya itu tidak pernah tidak hadir kalo ada undanganku seperti acara kawinan, hakikah, orang meninggal dan lain-lain pasti saya datang, karena itu toh kayak saudara jadi saling menghargai,kita tunjukkan kebersaman kita sama masyarakat. Biasa kalo ketemu diacara-acara pasti kita berkomunikasi, sembarang dicerita, masalah kehidupan sehari-hari juga. Jadi semua tempat pasti kita berkomunikasi dan tidak ada jarak menurutku untuk tidak berinteraksi apalagi sama masyarakat setempat.Memang berkomunikasi itu penting sekali, karena komunikasi dasar dari suatu hubungan.” Bahasa yang digunakan Pak Kaseng dalam berkomunikasi tidak menghambat dalam proses komunikasi, selain karena Pak Kaseng lahir di Sengkang jadi secara tidak langsung pak Kaseng pasif dalam menggunakan 90 bahasa bugis. bahkan hampir tiap hari menggunakan bahasa bugis ketimbang bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo bicaraki sama orang bugis sudah pstimi pake ki juga bahasa bugis, kalo bahasa Indonesia jarang sekalimi karena disini lebih banyak pake bahasa bugis ki. Kalo dari bahasa kita disini tidak ditaumi kalo kita etnis tionghoa karena pintar sekaliki bahasa bugis.” Pak Kaseng selama tinggal di Sengkang selalu mempelajari budaya dari etnis Bugis agar bisa beradapatasi seperti menanyakan langsung kepada masyarakat setempat, berbicara lepas di warkop, dan kadang juga pada saat acara Pak Kaseng langsung menanyakan maksud dari budaya etnis Bugis. misalkan Pak Kaseng pernah bertanya tentang apa makna dari Hakikah atau Mappenre Tojang, Pak Kaseng juga bertanya kenapa pada saat hakikah selalu menyiapkan makanan yang manis-manis. Selain bertanya Pak Kaseng juga mengamati langsung tentang bagaimana budaya etnis Bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : ”Ya, pernah. Sebenarnya kita ini selalu mempelajari budayanya orang Bugis, kenapa supaya kita bisa beradapatasi. Misalkan kalo agama islam kalau ketemu saya biasa bilang assalamu alaikum. Ada beberapa yang pernah saya tanyakan seperti maksudnya itu kalau aacara hakikah kenapa selalu ada makanan yang manis-manis, nah setelah saya tanya ternyata maksudnya itu adalah supaya ini anak tumbuh dengan kelakuan yang baik, sifatnya juga baik, manis sifatnya seperti itu tadi makanan. Seperti itu yang saya pahami maksud dari hakikah tadi. Mengenai tata cara upacara kematian etnis Bugis tidak terlalu banyak saya tau juga tetapi secara garis besar ada sedikti saya ta, jadi selain bertanya langsung kita juga amati, bilang oh ternyata begini, seperti ini, jadi kalau datang ki acara-acara diperhatikan juga bagaimana budayanya hanya saja tidak semuanya kita tanya langsung kalau ada yang tidak kita tahu.” Secara garis besar Pak Kaseng juga mempelajari budaya masyarakat setempat agar bisa beradaptasi, meskipun hanya sebagian saja yang Pak Kaseng pahami namun itu sudah sangat membantu dalam proses komunikasinya. Paling tidak dengan mempelajari budaya etnis Bugis agar terhindar dari kesalahpahaman. 91 Hubungan Pak Kaseng dengan masyarakat Bugis boleh dikatakan sudah sangat harmonis dan menyatu, melihat hubungan yang terjadi selama ini dimana Pak Kaseng berusaha untuk mempelajari bagaimana budaya-budaya dari etnis Bugis agar bisa beradaptasi dengan masyarakat luas, selain itu agar bisa terhindar dari kesalahpahaman. Meskipun hanya sedikit yang Pak Kaseng pahami tentang budaya etnis Bugis tapi paling tidak ada usaha untuk mempelajari budaya tersebut supaya proses komunikasi dapat berjalan efektif dan jauh dari kesalahpahaman. Informan IV Informan keempat adalah Bapak Siyyong,berprofesi sebagai pedagang, dan juga bermukim di pasar sentral. Pak Siyyong lahir dan sudah 40 tahun lebih menetap di Wajo. Bapak Siyyong mempunyai banyak keluarga etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo saya memang lahir ka di wajo dan sudah hampir 40 tahun tinggal di Wajo, kebanyakan keluargaku memang orang bugis, bapakku saja orang atapange jadi lebih banyak keluargaku orang bugis dibanding etnis Tionghoa.” Kalo dilingkungan Pak Siyyong kebanyakan yang bermukim etnis Bugis, apalagi di daerah pasar, selain saya punya profesi pedagang juga jadi kita berpusat di pasar sentral. Hubungan yang berlangsung antara Pak Siyyong dengan masyarakat etnis Bugis berjalan dengan harmonis, hampir tidak ada konflik ataupun perselisihan. Seperti yang diungkapkan Bapak Siyyong sebagai berikut : “Dilingkungan tempat tinggal saya kebanyakan etnis Bugis jadi hampir tiap hari saya berinteraksi dan berkomunikasi. Hubungan saya terjalin baik apalagi dengan tetanggaku sudah kayak keluargami.” Dalam kehidupan sehari-hari Pak Siyyong sering berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bugis, karena tidak mungkin dalam suatu hubungan orang tidak 92 berkomunikasi, jadi sudah pasti Pak Siyyong sering berkomunikasi dengan etnis Bugis tentang pekerjaan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ya,tiap hari saya berkomunikasi dengan masyarakat sini, apalagi kebanyakan temanku orang Bugis semua, jadi sejak kecil kita sudah berbaur sama mereka. Kalo ditanya apakah sering bicara ato tidak pastimi saya jawab sering karena memang dilingkungan ta semua kebanyakan etnis Bugis, jadi ya sudah jelas kita sering berkomunikasi. Tapi kadang juga kalau lagi sibuk jaranag ketemu atau bicara, nanti kalo sore-sore baru kita keluar cerita-cerita depan toko.” Tempat berkomunikasi Pak Siyyong dengan masyarakat etnis Bugis banyak terjadi di toko, selain di toko juga terjadi di luar lingkungan pekerjaan seperti di Warkop, di jalan, di pasar, ditempat umum, dan pada saat ada acara kawinan, hakikah, dan orang berduka. Tema pembicaraan dengan etnis Bugis bervariasi hanya saja Pak Siyyong tidak membahas politik karena secara pribadi Pak Siyyong tidak suka dengan politik. Pembicaraan lainnya seperti membahas tentang pekerjaan, tentang kondisi sosial masyarakat, dan sesekali Pak Siyyong bertanya tentang budaya etnis Bugis.Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut: “Interaksi dan komunikasi saya berlangsung hampir tiap hari, biasa diluar rumah biasa juga ada pembeli yang datang belanja sambil ceritami juga tentang masalah kehidupan sehari-hari, ekonomi, masalah pekerjaan. Kalo masalah politik saya tidak bicarakan karena saya orangnya tidak suka sama politik, jadi mending bicara soal kerjaan,apakah ada peningkatan atau tidak. Selain itu saya juga biasa bertanya tentang bagaimana budayanya orang Bugis, misalkan bertanya apa maksudnya itu mappenre tojang atau hakikah tapi tidak terlalu mendalam ji hanya saja garis besarnya saja yang ditanyakan. Sebenarnya ada ji juga budayanya etnis Bugis yang saya tau, misalkan adat tata cara upacara kematian, itu saya tau karena saya sering hadir kalo ada orang Bugis yang meninggal. Sedangkan kalo acara-acara agama saya juga sering hadiri hanya saja maknanya tidak terlalu saya paham, hanya sekedar tau saja. banyak sebenarnya budaya-budaya etnis Bugis yang kita ikuti seperti mappadendang, tapi itu tadi hanya sekedar tau saja, tidak pernah juga saya tanya secara detail. Kalau budaya etnis Bugis yang 93 sering kita pakai yaitu kata pung’ kalau kita panggil orang yang lebih tua dari kita.” Pak Siyyong kadang bertanya kepada teman bagaimana budaya-budaya etnis Bugis. seperti menayakan maksud dari Hakikah atau Mappenre Tojang tapi Pak Siyyong tidak terlalu paham hanya saja secara garis besar pasti tahu. Pak Siyyong tidak pernah salah makna dengan budaya etnis Bugis, karena sangat menghargai budaya masyarakat setempat, selain itu banyak keluarga Pak Siyyong yang juga masyarakat etnis Bugis. Bahasa yang digunakan Pak Siyyong ketika berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bugis adalah bahasa bugis, kalau berkomunikasi dengan keluarganya kadang menggunakan bahasa Indonesia tetapi lebih sering menggunakan bahasa Bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo bahasa sudah jelas bahasa bugis yah, dari dulu memang sudah lancar bahasa bugis, bagaimana tidak lancar rata-rata temanku orang bugis semua. Kalau orang Tionghoa disini lancar semuami bahasa bugis apalagi yang memang lahir disini.” Lingkungan pak Siyyong kebanyakan dari etnis Bugis, bahkan pak siyyong memiliki banyak keluarga etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa, jadi hampir tiap hari berinteraksi dan berkomunikasi. Hubungan yang terjalin sangat baik, apalagi dengan tetanga-tetangga layaknya sudah seperti keluarga. Kita sering ngumpul bersama dengan teman-teman TV Kabel sekedar untuk bersantai. Teman-teman pak Siyyong kebanyakan etnis Bugis karena mempunyai aktifitas lain di daerah sompe, pak Siyyong mempunyai usaha pemancar televisi (TV Kabel) jadi setiap hari berinteraksi dengan masyarakat etnis Bugis, kalau ada 94 kerusakan dan complain pasti turun langsung ke masyarakat untuk memperbaikinya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya juga sering ngumpul sama teman-teman kerja sekedar untuk bersantai ji. Kalo saya itu di wajo kebanyakan temanku etnis Bugis, karena nenekku semua, orang saya juga lahir disini jadi saya tau sekalimi orang disini. Selama tinggal disini tidak pernah ada kejadian konflik atau apa, karena itu tadi akrab semuama sama orang disini. Biasa kalo ada undanganku pergi hakikah, saya pergi kecuali kalo nikahan saya biasa malu-malu karena saya belum menikah. Biasa ka curhat itu sama temanteman saya bilang jangami panggilka kalo ada acara kawinan soalnya malu-maluka kesi’. Apalagi saya kan islam, jadi sering jadi panitia juga kalo ada acara-acara agama. Jadi kita sama etnis bugis hubunganta baik sekali, tidak ada mi diskriminasi itu ji saja beda etnis ki,tapi sama-samaki menjaga hubungan”. Selama ini hubungan yang terjalin antara Pak Siyyong dengan masyarakat sekitar sangat menyatu dan berbaur, apalagi Pak Siyyong sudah menganggap dirinya sebagai etnis bugis, karena keluarga kebanyakan dari etnis Bugis. Pak Siyyong selalu memegang prinsip dalam bermasyarakat bahwa kalau kita baik sama orang lain, pasti orang lain pasti akan jauh lebih kepada kita. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya itu selama pekerjaanku di sompe, apalagi di sompe kan terkenal daerah ini, tapi alhamudillah selama 5 tahun tidak pernah ji terjadi konflik atau apa, seddi iya uwwwakketenni, makkadda ko makessikki akke tawwe, makessi’pi tu matu ko idi. Jadi selama ini tidak ada hambatan kalo berkomuikasi karena sudah menyatumi.” Informan V Informan kelima, yaitu Bapak Handoko, tinggal di Jl. RA Kartini tepatnya di daerah pasar sentral. Pekerjaan sehari-hari Pak Handoko sebagai pedagang di Sengkang. Saya lahir dan besar di Sengkang, umur saya sudah mencapai 55 Tahun jadi sudah 55 Tahun juga saya bermukim di Sengkang. Pak handoko berada ditengah-tengah penduduk etnis bugis, hubungan pak handoko sangat 95 akrab dengan tetangga dilingkungan tempat tinggal atau pun yang berada diluar. Bahkan pak handoko lebih akrab dengan etnis Bugis dibandingkan etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Sudah 55 tahun saya tinggal di wajo dan saya tinggal di tengah-tengah penduduk etnis Bugis. saya sangat akrab dengan tetangga dilingkungan tempat tinggal atau yang berada diluar. Bahkan dek saya lebih kenal etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa di sini.” Dalam kehidupan sehari-hari Pak Handoko sering berkomunikasi dengan masyarakat etnis Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo sehari-hari disini kita sering yah karena karyawanku juga orang Bugis, terus pembeli yang kesini juga orang Bugis semua jadi tiap hari mi.” Interaksi dan komunikasi berlangsung setiap harinya di tempat kerja dan di luar rumah, kadang-kadang berkunjung ke tetangga dan sebaliknya tetangga datang bertamu ke toko, misalnya berbelanja alat-alat motor sambil bercerita mengenai hal-hal sosial yang terjadi disekeliling kita misalkan membicarakan masalah pekerjaan sedangkan masalah politik jarang dibicarakan, melihat masyarakat wajo itu tidak suka berpolitik, lebih fokus kepada pekerjaan masingmasing. Tapi sesekali menyinggung masalah kinerja bupati, tapi itu hanya singkat saja. Kebanyakan membahas masalah kehidupan yang sesuai dengan apa yang dikerjakan, masalah ekonomi, masalah bisnis, sosial dan budaya yang paling sering dibicarakan. Kadang-kadang menyinggung masalah pribadi, misalkan tentang sekolah anak-anak dan bagaiamana kehidupan sehari-harinya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kadang-kadang juga saya berkunjung ketetangga dan sebaliknya tetangga juga datang kesini. Sambil belanja kita juga cerita-cerita tentang kehidupan sosial yang terjadi sekarang. topik pembicaraan 96 macam-macam lah, termasuk ekonomi, politik, bisnis. Kita juga bertukar informasi sama apa yang kita tau. Tapi kadang juga menyinggung sedikit masalah pribadi misalkan kondisi anak-anak bagaiamana, kondisi bisnis bagaiamana. Kalo saya kenal baik mi sama orang disini, karena lahir disini ja jadi saya tau mi karakternya orang bugis bagaiamana.” Mengenai budaya etnis Bugis yang ada di Wajo, Pak Handoko sering mengikuti kegiatan-kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan budaya etnis Bugis seperti Festival danau tempe, acara perayaan ulang tahun Wajo yang menampilkan berbagai macam budaya masyarakat wajo seperti tarian-tarian, lomba perahu dayung dan masih banyak lagi kebudayan-kebudayan lainnya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : Selama ini tidak ada masalah dengan bahasa yang digunakan, karena saya lahir di Sengkang dari kecil sudah pasif berbahasa daerah yaitu bahasa bugis, hampir tiap hari mengunakan bahasa bugis, bahkan lebih sering menggunakan bahasa bugis dibanding bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo saya bicara pake bahasa bugis ja terus, jarang dipakai bahasa Indonesia. Yah selama tinggal di sini tidak pernah ji ada masalah, aman-aman saja. Saya melihat masyarakat disini itu sangat ramah dan bermasyarakat. Hubungan sosial di masyarakat saya kira sudah seperti keluarga sendiri begitu pun hubungan psikologinya ada kedekatan pribai dan emosional antara saya dengan masyarakat etnis Bugis.” Dewasa ini proses komunikasi etnis Tionghoa sangatlah baik hal ini dibuktikan ketika berinteraksi dan berkomunikasi tidak pernah terjadi konflik atau perselisihan. etnis Tionghoa tidak sama sekali merasa kesulitan untuk berbaur dengan etnis Bugis, karena memang masyarakat etnis Tionghoa lahir dan besar di Sengkang. dalam hal bahasa pun, etnis tionghoa sudah sangat pasif dalam 97 berbahasa bugis. Jalanan, kantor-kantor hingga pasar sekali pun menjadi wadah bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi, berbaur dan bersosialisasi dengan masyarakat etnis Bugis. Hampir setiap hari etnis Tionghoa bertemu daengan masyarakat etnis Bugis, baik dalam hal kepentingan pribadi atau pun sekedar silaturahmi. Etnis Tionghoa selama ini mempelajari budaya etnis Bugis agar bisa beradaptasi dengan masyarakat setempat misalkan dengan bertanya langusng jika ada yang tidak diketahui. Alhasil, terjadi interksi yang sangat besar diantaranya keduanya. Perbedaan budaya diantara keduanya tidak sama sekali menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena etnis Tionghoa paham dengan budaya etnis Bugis. Hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis sudah menyatu, buktinya etnis Tionghoa timbul perasaan memiliki terhadap budaya etnis Bugis. Jadi memang proses komunikasi yang berlangsung berjalan dengan efektif karena keduanya sama-sama saling percaya dan saling mengerti. Informan VI Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Andi Apuk Zaenal selaku mantan Lurah Lapongkoda di kecamatan Tempe selama tahun 1995-2006. Sekarang beliau bekerja di Badan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Wajo. Meskipun ditempat saya tidak ada yang bermukim etnis Tionghoa, tetapi saya mempunyai hubungan yang sangat akrab. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo ditempat saya tidak ada etnis Tionghoa yang bermukim, tetapi saya mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan mereka.” 98 Sewaktu masih menjabat sebagai lurah hampir tiap hari Pak Andi Apuk Zaenal berkomunikasi dengan etnis Tionghoa.Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Waktu saya menjabat sebagai lurah selama tahun 1995-2006, hampir tiap hari saya berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa.” Dalam sehari-hari Pak Andi Apuk Zaenal berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa bukan hanya pada saat di tempat kerja, melainkan dimana saja dan kapan saja misalkan ketika bertemu di jalan saling bertegur sapa, bertemu pada saat acara kawinan, acara hakikah, orang berduka, acara perayaan ulang tahun Wajo, juga kadang-kadang berkomunikasi di warkop ketika ada waktu luang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalau komunikasi itu bisa dimana saja, selain kita berkomunikasi di tempat kerja, kalo ketemuki di jalan saling menyapaki kalo ada acara pesta nikahan, syukuran, hakikah, ada orang yang meninggal, acara memperingati hari jadi wajo saling mengundangki juga dan mereka juga selalu hadir menunjukkan kebersamaannya. Kalau ada waktu luang sering ketemu juga di warkop, kayak sekarang ini, lagi istirahat mampir dulu ke warkop ketemu teman-teman disini. Ini juga pemilik warkop etnis Tionghoa tapi menikah dengan orang Bugis.” Secara pribadi hubungan Pak Andi Apuk Zaenal dengan etnis Tionghoa lebih dari hubungan kerja, keduanya memiliki hubungan yang sangat baik, bukan hanya berinteraksi dan berkomunikasi saat ada kepentingan, tapi setiap saat kita berkomunikasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo saya pribadi hubunganku dengan etnis tionghoa sangat baik sekali, bukan hanya interaksi saat ada kepentinganta tapi setiap saat kita berkomunikasi kapan pun dan dimana saja.” Banyak hal yang dibicarakan Pak Andi Apuk Zaenal ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, misalkan membahas masalah pekerjaan, membahas 99 masalah bisnis, membahas keadaan lingkungan sosial, tetapi pembicaraan dengan etnis Tionghoa lebih banyak mengarah kepada pembicaraan dagang karena mata pencaharian warga etnis Tionghoa adalah pedagang dan sebaliknya etnis Bugis juga memiliki profesi sebagai pedagang. Selain yang disebutkan diatas Pak Andi Apuk Zaenal juga sesekali membicarakan masalah pribadi, misalkan warga etnis Tionghoa mengeluarkan isi hati atau unek-unek, seperti warga etnis Tionghoa mengatakan kepada Pak andi apuk zaenal bahwa warga etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Wajo menganggap dirinya adalah orang Wajo asli, karena lahir dan besar di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Banyak sekali hal-hal yang dibicarakan ketika berkomunikasi, kadangkadang ngumpul di warkop kebetulan pemilik warkop juga orang tionghoa tapi menikah sama orang pribumi. Banyak hal yang dibicarakan seperti politik, ekonomi, bisnis, perdagangan sampe hal-hal pribadi kita bicarakan. Tapi kalo politik tidak terlalu besarji karena orang di Wajo tidak terlalu suka politik mereka lebih fokus sama usahanya. Jadi banyak membicarakan masalah bisnis, pekerjaan, dan masalah-masalah sosial yang ada di kabupaten Wajo. Bahkan sesekali etnis Tionghoa mengeluarkan isi hati , dia mengatakan bahwa kita ini sebenarnya bukan etnis Tionghoa lagi karena kita menganggap diri kita ini adalah asli orang wajo, kita lahir dan besar ,mencari nafkah pun disini. etnis Tionghoa dengan kita itu sudah tidak canggung tidak ada jarak dengan mereka dan kita juga sudah menyatu.” Selain membahas dagang, pekerjaan, pribadi juga Pak Andi Apuk Zaenal sering berkomunikasi membahas masalah budaya dari etnis Bugis. misalkan ketika Pak Andi Apuk Zaenal bertamu kerumah warga etnis Tionghoa, sesakali bertanya tentang apa yang sering dia lihat. Seperti yang diungkapakannya sebagai berikut : “Iya pernah dek, itu hari saya datang ke tokonya dan saya liat banyak sekali hiasan-hiasannya contohnya saya tanya itu apa maksudnya simbolsimbol patung budha yang duduk disitu, terus dia bilang sama saya kalo itu pak, kepercayaan kita itu, dia adalah orang suci yang penuh dengan 100 kesucian. Terus saya tanya lagi apa maknanya itu Bambu-bambu yang seiring digantung, dijawabmi lagi katanya itu adalah simbol rejeki mereka.bahkan ada teman saya yang ambil itu bambu-bambu yang sering kita lihat di tokonya, saya bilang mauko apai dia bilang tidak ji mauja bandingkan yang mana cepat datang rejekinya. Terus saya tanya lagi kalo itu dupa-dupa apa maksudnya itu, dijawabmi lagi katanya dupa-dupa itu gunanya memanggil roh yang baik sebelum kita masuk sembahyang. Sama ji sama orang Bugis kalo dia bakar dupa-dupa hanya saja lakonnya yang beda. Kalau adat istiadat seperi tata cara upacara kematiannya tidak pernah juga saya tanya karena saya menjaga perasaan mereka. Saya liat etnis Tionghoa di wajo tidak menonjolkan kebudayaanya, pernahji satu kali itu dia datangkan barongsai tetapi waktunya tidak pas, jadi itu hari ditegur karena mempertontonkan barongsai secara demonstran padahal itu hari bukan hari raya imlek. Sebenranya tidak dilarang tetapi saya kira kalo waktunya tepat tidak ada masalah. Terus saya liat etnis Tionghoa juga tidak pernah cerita tentang budayanya, kayaknya dia menutup prinsip kebudayaanya dan ikut arus sama budaya orang bugis, tetapi bukan mengikuti secara keseluruhan tapi ikut arus saja. misalkan kalo acara pesta dia pakai pakean adat itu. Itumi di wajo jarangki ada konflik sama orang Tionghoa karena mereka jarang menonjolkan kebudayaanya apalagi mereka sudah menganggap bahwa kita ini adalah orang wajo asli. Itumi saya tanya supaya tidak terjadi nanti kesalahpahaman tentang budaya nya mereka. Satu juga saya liat dari mereka (etnis Tionghoa) yang tadi saya bilang dia ikut sama budayata, kalau dia panggil kita pake kata Pung’ itu artinya dia hargai kita. Begitu saya liat.” Bahasa yang digunakan Pak Andi Apuk Zaenal ketika berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa adalah bahasa Bugis, Warga etnis Tionghoa yang ada di Sengkang sudah sangat pasif berbahasa Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo persoalan bahasa dek, semua warga etnis Tionghoa yang ada di Wajo, 100% sudah pasif berbahasa bugis, bahkan saya liat banyak warga etnis Tionghoa yang tidak tau bahasa mandarin, jadi kalau bicaraki lancar itu bahasa bugis, bahkan jarang digunakan bahasa Indonesia.” Sejauh ini proses komunikasi antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa tidak ada masalah, proses komunikasi itu bisa berlangsung dimana saja dan kapan saja, misalkan pada saat Bapak andi apuk aenal bertemu dijalan dan saling bertegur sapa, bahkan pada saat acara pesta pernikahan, syukuran, hakikah, 101 memperingati hari jadi wajo saling mengundang dan turut hadir untuk menunjukkan kebersamaaan. Hubungan dan komunikasi Pak andi apuk zaenal dengan warga etnis Tionghoa berjalan sangat efektif. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ya, kita itu sudah berbaur dan menyatu dengan warga etnis tionghoa yang ada disini khususnya di Wajo yah, contohnya tadi itu yang saya sebutkan diatas, jadi kalo komunikasi saya kira sangat efektif sampai sekarang. kenapa saya bilang efektif karena tidak ada jarak dengan warga etnis Tionghoa. kalau bicara dengan mereka tidak canggung, mereka itu sangat royal, baik, ramah, dan tidak sombong sama orang bugis. biasa kan di kota besar itu warga tionghoa menutup diri, tidak mau berbaur sama masyarakat tapi kalo di Wajo beda, meskipun mereka bisa dibilang strata sosialnya tinggi tapi dia tidak sombong, dia bergaul sama sapa saja. jadi inimi kelebihannya warga etnis Tionghoa di Wajo yah. Contohnya lagi kalo aca acara-acara pemerintah itu, dia ikut dan berpartisipasi, bahkan dia mau menyumbang. Selanjutnya kalo dipanggil untuk rapat, dia hadir karena memang warga etnis Tionghoa selalu menganggap dirinya adalah warga Indonesia yang bermukim di Wajo. jadi kalo komunikasi dengan mereka saya kira efektif yah karena kita sudah menyatu dengan mereka.” Keberadaan etnis Tionghoa sangat diterima baik, karena memang etnis Tionghoa sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis Bugis, selain itu etnis Bugis menggunakan sistem yang besifat terbuka, jadi masyarakat bisa bertukar pikiran dan saling bekerja sama. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “ “Kalo keberadaan etnis Tionghoa di kabupaten Wajo khususnya di Sengkang diterima secara baik tanpa ada masalah karena mereka sudah menjadi bagian dari kita. Selain itu etnis Bugis menggunakan system yang bersifat terbuka, kita bisa bertukar pikiran, dan saling bekerja sama apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis mempunyai kesamaan berdagang. Pada prinsipnya suatu daerah tidak akan berkembang apabila masyarakatnya tidak menyatu atau berbaur. Karena kalo tidak menyatu maka pembangunan dan sumber dan manusianya tidak efektif akibat kurangnya komunikasi, kurang interaksi. Jadi bersyukurlah kita di Sengkang hubungan yang terjalin sangat harmonis, khususnya etnis Tionghoa dengan etnis Bugis.” 102 Hubungan yang menyatu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sangat telihat jelas ketika keduanya saling membicarakan hal-hal pribadi, misalkan mengeluarkan isi hati dan unek-unek, timbul rasa kepercayaan diantara keduanya sehingga proses komunikasi berjalan dengan efektif. Meskipun di tempat tinggal Pak andi zaenal tidak ada yang bermukim etnis Tionghoa tetapi memiliki hubungan yang sangat dekat warga etnis Tionghoa. Selama menjabat sebagai lurah hampir tiap hari berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, baik itu masalah pekerjaan, masalah sosial bahkan sampai kepada masalah pribadi. Hubungan pak andi apuk zaenal dengan etnis warga etnis Tionghoa sangat baik. Bukan hanya interaksi pada saat ada kepentingan tapi setiap saat kita berkomunikasi, kapan pun dan dimana saja. Di jalan ketika bertemu dengan etnis Tionghoa saling bertegur sapa. Di acara pesta yang diadakan oleh masyarakat atau pemerintah misalnya pesta pernikahan, pesta syukuran, memperingati hari jadi Wajo kita saling bertegur sapa, mereka juga ikut berpartisipasi dan menunjukkan rasa kebersamaan dari etnis Tionghoa. Tema pembicaraan ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa itu sangat bervariatif, hampir tiap hari saya berkomunikasi, kadang-kadang ngumpulngumpul di warkop, karena pemilik warkop juga adalah masyarakat etnis Tionghoa tetapi sudah kawin mawin dengan etnis Bugis jadi hubungan semakin akrab. Kalo ketemu membahas tentang politik, ekonomi, bisnis, pedagangan, sampe hal-hal pribadi pun dibicarakan. Tapi kalo politik tidak terlalu besar volume pembicaraannya karena di kabupaten Wajo itu khususnya di Sengkang masyarakat tidak suka politik, kebanyakan masyarakat lebih fokus kepada 103 usahanya. Jadi banyak membicarakan masalah bisnis, pekerjaan, dan masalahmasalah sosial yang ada di masyarakat. Bahkan sesekali etnis Tionghoa mengeluarkan isi hati , mengatakan bahwa kita ini sebenarnya bukan etnis Tionghoa lagi karena kita menganggap diri kita ini adalah asli orang wajo, kita lahir dan besar ,mencari nafkah pun disini. Etnis Tionghoa dengan kita itu sudah tidak canggung tidak ada jarak dengan mereka. Jadi keberadaan etnis Tionghoa di Sengkang diterima secara baik tanpa ada masalah karena mereka sudah menjadi bagian dari kita. Selain itu etnis Bugis menggunakan system yang bersifat terbuka, kita bisa bertukar pikiran, dan saling bekerja sama apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis mempunyai kesamaan berdagang. Pada prinsipnya suatu daerah tidak akan berkembang apabila masyarakatnya tidak menyatu atau berbaur. Karena kalo tidak menyatu maka pembangunan dan sumber dan manusianya tidak efektif akibat kurangnya komunikasi, kurang interaksi. Jadi bersyukurlah di Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang hubungan yang terjalin sangat harmonis, khususnya etnis Tioghoa dengan etnis Bugis. Informan VII Informan ketujuh, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Wajo, Bapak Mappeasse, S.Sos, penduduk asli Kabupaten Wajo dan bertempat tinggal di Jl. Bau Baharuddin. Di Sengkang khususnya di daerah pasar sentral merupakan tempat bermukim bagi etnis Tionghoa. etnis tionghoa sudah bertahuntahun lamanya bermukim di Sengkang, buktinya ditemukan makam cina kuno yang ada di tosora. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Di kabupaten wajo khususnya di Sengkang itu tempat tinggalnya etnis Tionghoa tepatnya di daerah pusat perbelanjaan pasar sentral. 104 keberadaan etnis Tionghoa sudah bertahun-tahunmi buktinya ditosora itu ada makam cina kuno dan pemilinya itu orang cina. Jadi dari dulu sudah adami interaksi antara orang bugis sama orang cina. Profesi orang Tionghoa disini kebanyakan pedagang sama dengan profesinya orang Bugis.” Interaksi dan komunikasi antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sudah berlangsung sejak lama, selain keduanya memiliki profesi yang sama juga memiliki hubungan emosional dan nenek moyang kedua etnis tersebut. Hubungan antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sudah sangat menyatu, bahkan Pak Mappeasse susah untuk membedakan mana etnis Tionghoa dan mana masyarakat pribumi karena masing-masing etnis tidak menonjolkan kesukuannya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ya, kalo interaksi dengan masyarakat etnis tionghoa itu saya pikir sudah berlangsung sejak lama, selain karena tadi saya sebutkan ada makam cina kuno, juga ada hubungan emosional diantaranya keduanya. Jadi memang kita sudah menyatu mi dengan etnis tionghoa, bahkan saya sendiri tidak bisami bedakan yang mana sebenarnya etnis tionghoa dan etnis bugis karena masing-masing tidak ada yang menonjol kesukuannya.” Pak Mappeasse sudah lama mengenal etnis Tionghoa dan bisa dibilang memiliki hubungan yang dekat. Pak Mappeasse sempat memiliki sahabat dari masyarakat etnis Tionghoa. Interaksi dan komunikasi hampir tiap hari Pak Mappeasse lakukan ketika bertemu dengan etnis Tionghoa, bukan sekedar untuk basa-basi tapi memang berkomunikasi dengan etnis tionghoa tidak dapat dihindari karena Pak Mappeasse menganggap etnis Tionghoa bukan orang asing lagi di tempat ini. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya bisa dibilang sudah kayak saudara mi sama mereka, apalgi saya sudah lama kenal dengan masyarakat etnis tionghoa. hampir tiap hari kalo ketemuki pasti kita bicara-bicara dulu, yah saya kira berkomunikasi sudah menjadi kewajiban, apalagi sama-samaki tinggal di wajo.” 105 Pak Mappeasse berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa bukan hanya pada saat ada kepentingan, melainkan sesakali menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi dengan berkunjung ke rumah masyarakat etnis Tionghoa. bukan hanya bertinteraksi di lingkungan tempat tinggal saja, tetapi pada saat ketemu di jalan, pada saat menghadiri acara kawinan, hakikah, orang meninggal, saling bertegur sapa dan berbincang-bincang. Tema pembicaraan pak mappeasse dengan masyarakat etnis tionghoa bervariatif, bukan hanya membahas masalah pekerjaan, tetapi menyangkut kehidupan sosial, menyangkut masalah kondisi dimasyarakat. Pada saat berkomunikasi pun tidak ada hambatan, karena Pak Mappeasse sudah tau bahwa etnis Tionghoa sangat pasif menggunakan bahasa bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Komunikasita sama etnis Tionghoa bisa dimana saja, di pasar, di jalan, di acara-acara kita bertemu pasti saling menyapaki. Kalau tema pembicaraan sama etnis tionghoa macam-macam, biasa pekerjaan, kehidupan sehari-hari, politik. jadi memang kalo ditanya hubungan saya dengan etnis tionghoa sangat baik, tidak ada jarak untuk tidak berkomunikasi karena ada hubungan emosional, ada tali persaudaraan antara nenek moyang kita dulu-dulu. etnis tionghoa kalo bicara sudah pasif sekali bahasa bugis jadi enak sekali diajak cerita. Jadi sudah berbaurmi kedua etnis ini sehingga tidak ada perasaan yang tidak enak kalo ketemuki.” Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah berbaur dan menyatu , sama-sama saling percaya jadi tidak ada kendala untuk berkomunikasi. Mau berbicara apa saja enak, tidak segang-segang untuk mengeluarkan pendapat. Pak Mappeasse menganggap mereka adalah saudara sendiri karena sama-sama bermukim di Sengkang. Pak Mappeasse pernah mengusulkan kepada pemerintah, bahwa sudah sepatutnya etnis Tionghoa diberikan hak untuk duduk di bangku pemerintahan, karena melihat etnis Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat 106 Kabupaten Wajo, apalagi di bidang ekonomi etnis Tionghoa sangat berperan andil dalam pembangunan di Wajo, jadi sudah seharusnya pemerintah merangkul untuk diberikan kesempatan di pemerintah. Kalo di Sengkang itu siapa saja bebas hidup, pemerintah daerah tidak pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan Pak Mappeasse tidak keberatan kalo nantinya ada pemimpin daerah yang berasal dari etnis Tionghoa, selama mereka mempunyai kemampuan di bidang itu, kenapa tidak pemerintah memberikan kesempatan. Jadi kalo secara pribadi Pak Mappeasse setuju-setuju saja. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya itu dek pernah mengusulkan bahwa sudah sepatutnyami etnis tionghoa diberikan kesempatan di bangku pemerintahan, bayangkan mereka juga kan masyarakat disini jadi mereka juga punya hak untuk itu. Apalagi dibidang ekonomi, banyak sekali sumbangsinya dalam pembangunan di wajo. yah seperti yang tadi saya bilang sudah saatnya pemerintah merangkul, kalo kita di wajo siapa saja bisa hidup, tidak pernah juga dibeda-bedakan yang penting mau berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya setuju-setuju saja kalo ada etnis tionghoa yang jadi pemimipin, dia kan juga sudah orang wajo, jadi tidak ada masalah selama dia berkompetensi dibidang itu. Jadi sebagai putra daerah tidak ada masalah.” Tema pembicaraan Pak Mappeasse dengan masyarakat etnis Tionghoa bukan hanya membahas masalah politik, ekonomi, kehidupan sosial, pekerjaan, tetapi Pak Mappeasse sesekali menanyakan tentang budaya masyarakat etnis Tionghoa seperti menanyakan pertunjukan Barongsai apakah masuk dalam kebudayaan atau kepercayaan. Selanjutnya menanyakan apakah Hari Imlek itu kebudayaan atau kepercayaan. Hanya saja pemerintah belum memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa untuk mempertontonkan kebudayaan etnis 107 Tionghoa. Jadi pada saat hari raya imlek semua warga etnis Tionghoa ke luar kota untuk merayakannya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Pernahka bicara-bicara sama orang tionghoa yang ada di pasar sentral, saya pernah tanyakan itu barongsai kebudayaan kah atau kepercayaan. Trus dia bilang sama saya, satu ji kurangnya pak, seandainya dikasiki kesempatan sama pemerintah untuk juga mempertontonkan kebudayaan ta seperti barongsai, jadi kalo sdh bisa mi itu sdh lengkapmi itu. dia bilang itu barongsai adalah salah satu kebudayaanta untuk memperingati hari raya imlek. Jadi saya tanyami lagi kalo ada acara-acra perayaan imlek kemanaki baisanya, trus dia bilang saya ke makasar untuk merayakannya. Jd kebudayaanya itu mereka sangat kental sama kepercayaanya. Yang saya tau kalo acara-acara hari besanya dia semua ke makasar, karena mugkin juga di wajo tidak terllu banyak orang tionghoa dibanding di kota besar. Pernah juga saya tanya itu hari imlek, apakah kebudayaan atau keyakinan Jadi di bilang itu lebih cenderung ke kebudayaan, jadi kita menampilan kebudayaan dan bernilai sesuatu.” Mengenai simbol-simbol, agama atau agama menyangkut kepercayaan etnis Tionghoa, Pak Mappeasse tidak pernah menanyakan secara mendalam. Pak Mappeasse tidak berani karena itu menyangkut masalah keyakinan, sama halnya dengan islam yaitu akidah. Jadi Pak Mappeasse sangat menghargai toleransi dan perbedaan kebudayaan etnis Toinghoa termasuk tidak menanyakan masalah keyakinan karena takut terjadi kesalahpahaman, tetapi kalo menyangkut budaya orang Tionghoa seperti Barongsai, membagikan Ampao, hari Raya Imlek, pak Mappeasse pernah berkomunikasi untuk mengetahui maksud budaya tersebut. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Tidak pernah saya singgung kalo masalah simbol-simbol yang biasa dipajang di tokonya itu,apalagi kalo masalah keyakinan, agama, apa maknanya itu. Ada ji keinginan untuk tanyakan, tapi saya kan sebagai orang kesbang berusaha supaya jangan ada yg terisnggung, karena saya anggap itu kepercayaan mereka. jadi kalo kita tanyakan secara mendalam jangan sampai dia tersinggung, karena mnyangkut masalah keyakinan orang. Contohnya itu yg merah-merah digantung di tokonya.itu keyakinan 108 mereka. saya liat di wajo ini ada juga yang beragama nasrani, konghucu, ada juga yang islam.” Pak Mappeasse juga pernah menghadiri upacara kematian masyarakat etnis Tionghoa, tetapi Pak Mappeasse tidak terlalu banyak mengetahui tentang tata cara adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa dalam melakukan upacara kematian. Pak Mappeasse melihat tata cara upacara kematian dilaksanakan sesuai dengan kepercayaanya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo acara-acara kematiannya, kebanyakan saya liat sesuai dengan agamanya. Itu acara kematiannya tidak terlalu tau tata caranya. Saya juga pernah hadiri acara kematiaanya, jadi saya lihat sesuai dengan tata cara agama mereka, karena kita tidak lihat bagaimana prosesnya.” Sejauh ini pak Mappeasse tidak terlalu banyak mengetahui tentang keyakinan, apalagi menyangkut agama dan adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa, hanya saja mengenai persoalan budaya etnis Tionghoa, pak Mappeasse banyak tau selain mengetahui dari informasi-informasi dari luar, pak Mappeasse juga pernah menanyakan langsung mengenai budayanya seperti Barongsai, Perayaan Hari Imlek, dan membagikan Ampao. Akan tetapi budaya etnis Tionghoa di kabupaten Wajo belum terlalu nampak, hanya saja simbol-simbol kepercayaan sering dilihat di toko masyarakat etnis Tionghoa. Beda halnya dengan perayaan Hari Imlek, masyarakat etnis Tionghoa memilih untuk ke Makasar untuk merayakannya, karena di Sengkang etnis Tionghoa belum diberi kesempatan untuk menunjukkan kebudayaanya seperti, menampilkan Barongsai yang sering kita lihat pada Hari Raya Imlek. Pak Mappeasse berharap kebudayaan tersebut ditampilkan pada saat perayaan 17 Agustus supaya memperkaya kebudayaan di kabupaten Wajo. Pak Mappeasse melihat bahwa selama ini etnis Tionghoa mengikut kepada kebudayaan etnis Bugis, misalkan pada saat acara 109 kawinan, etnis Tionghoa hadir dengan memakai baju adat bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Artinya kebudayaannya orang Tionghoa di wajo belum terlalu muncul, tetapi dia ikut sama budaya kita trmasuk mi kalo ada acara-acra pengantin , seperti acara maccera tappareng dia ikut itu, mappalari lopi, ikut distu. Jadi dia ikut dengan budaya lokal. Trus maunya dia itu budayanya dia tmpilkan juga kebudayaan mereka. diantaranya itu barongsai.. Jadi untuk di wajo belum pernah dia munculkan kebudayaanya, tapi utk budaya kita lihat dia ikut sama kita. misalkan dia pake baju tokko, itu yang sering di pake orang bugis kalau pergi pengantin. trus perempuannya pake baju adat. Itu keunikannya masyarakat tionghoa karna diterima baik di wajo khusunya di sengkang karena dia berbaur dengan budaya kita.” Melihat proses komunikasi khusunya dalam hal budaya, pak Mappeasse juga banyak mengetahui tentang budaya etnis Tionghoa dengan berkomunikasi langsung menanyakan hal tersebut, seperti menayakan Barongsai itu seperti apa, Hari Imlek itu bagaiamana. Pak Mappeasse berharap agar kebudayaan tersebut juga ditampikan di Kabupaten Wajo khususnya di Sengkang agar memperkaya kebudayaan-kebudayaan yang ada di kabupaten Wajo. Informan VIII Informan kedelapan, H. Muhtamar tinggal di daerah pasar Jl.RA.Kartini. pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang. Di lingkungan H. Muhtamar hampir tiap hari bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat etnis Tionghoa. hubungan yang terjalin sangat akrab dan sudah bertahun-tahun lamanya mengenal etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalau dilingkungan tempat tinggal saya banyak sekali orang tionghoa yang ditemani bertetangga tetapi sudah akrab semuami, sudah bertahuntahun kita kenal sama mereka bahkan sudah sepertimi saudara sendiri. Sebenarnya tetangga itu penting sekali karena mereka adalah keluarga 110 paling dekat sama kita. Contohnya kalau ada apa-apa pasti yang pertama membantu adalah tetangga. Haruski memang berbaur sama siapa saja, apalagi dengan tetangga.” Interksi dan komunikasi Pak Muhtamar dengan masyarakat etnis tionghoa lebih banyak terjadi dilingkungan tempat tinggal, selain itu juga terjadi di jalan, di pasar dan ketika bertemu Pak Muhtamar pasti saling menyapa. Pembicaraan dengan etnis tionghoa biasanya membahas mengenai pengalaman-pengalaman pribadi, bagaiaman kondisi usaha dan lingkungan sekitar. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “ “Kalau komunikasi ku sama etnis tionghoa lebih sering ditempat kerja, tetapi bagusnya kalo ketemuki di jalan atau di pasar saling menyapa ki. Kalau yang dibicarakan palingan pengalaman-pengalaman pribadi, bagaiamana kondisi usaha dan kehidupan sehari-hari ta.” Dilingkungan tempat tinggal Pak muhtamar sudah banyak etnis Tionghoa yang ditemani bertetangga dan sudah saling mengenal, hubungan dengan etnis Tionghoa sangat akrab sebagai teman bicara dalam segala hal. Bahkan tetangga itu adalah keluarga yang paling dekat selain keluarga. Misalkan sewaktu-waktu terjadi musibah pasti yang pertama menolong adalah tetangga kita. Komunikasi sudah jelas terjadi setiap harinya karena tidak berkomunikasi tentunya tidak akan saling mengenal dengan lingkungan sekitar kita, komunikasi adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Komunikasi pak Muhhtamar dengan etnis Tionghoa paling sering disekitar tempat tinggal, bila bertemu dijalan, acara kawinan, hakikah, dan kalau ada yang datang berkunjung ke toko. Hal-hal yang dibicarakan dengan etnis Tionghoa menyangkut pengalaman-pengalaman pribadi, mengenai keadaan sosial di masyarakat, dan masih banyak hal-hal lainnya yang dibicarakan., masalah politik tidak begitu 111 penting dibicarakan karena sama-sama tidak terjung di politik, lebih banyak membahas masalah bisnis sehari-hari. Informan IX Informan kesembilan, penulis melakukan wawancara dengan H. Kade yang merupakan penduduk asli Kabupaten Wajo dan tinggal d pasar sentral. Beliau sudah tinggal di Sengkang selama 67 Tahun dan sudah puluhan tahun juga mengenal masyarakat etnis Tionghoa. Selama mengenal etnis Tionghoa tidak pernah terjadi konflik atau perselisihan, bahkan hubungan H. Kade sangat baik . Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya itu nak sudah puluhan tahun ma tinggal di wajo tapi tidak pernah ka berselisih sama orang, mau itu orang cina, orang bugis, orang jawa atau apa tidak pernah ada masalah. Nah kalo sama etnis tionghoa malahan hubunganta baik sekali apalagi bertetanggaki nak.” H.Kade hampir tiap hari berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa yang ada di lingkungannya, selain itu H.kade juga menjalin kerja sama dalam bidang bisnis dagang emas. Interasksi dan komunikasi H.kade bisa dimana saja, kadang di luar rumah, kadang di toko juga. Tetangga H.kade sering berkunjung ke tokonya hanya sekedar untuk ngobrol dan menghabiskan waktu kalo tidak ada pekerjaan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Tiap hari dek saya ketemu sama masyarakat etnis tionghoa, apalagi yang kasi ragu-raguki na bertetanggaki juga, apalagi ada kerja sama ku juga sama mereka, kebetulan dia ambil emas juga sama saya. Itu orang cina yang di depan toko ku sering kesini, kalo pagi datangmi itu ketawaketawa baru berteriak bilang “aji-aji”, kadang sampai sore itu nah di toko, cerita terus. Jadi pernah orang di toko tanya, kenapa sering ke sini, trus dia bilang baik katanya aji jadi saya suka. Jadi liatmi nak kalo saya baik semuaka itu sama orang.” 112 Intensitas pertemuan yang sering membuat hubungan keduanya semakin akrab, tidak ada perasaan-perasaaan curiga kepada masyarakat etnis Tionghoa. H. Kade yang juga sebagai tokoh masyarakat di Wajo sangat menjaga hubungan baik dengan sesama masyarakat. Tema pembicaraan dengan etnis tionghoa macammacam, seperti politik, ekonomi, kehidupan sehari-hari, masalah pekerjaan, tetapi kalo politik jarang dibicarakan karena H.Kade merasa tidak ada kemampuan untuk berpolitik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Itu orang tionghoa kalo datang ke rumah pasti sorepi na pulang, pokoknya kalo datang ke sini, cerita terus sama saya, sama pegawaiku juga. Sembarang na cerita, kalo diliat ki bicara kayak orang bugismi, lancar sekalimi juga bicara bugis, jadi kalo sama kita bicara tidak pernah bahasa Indonesia, mabbicaraka ogi matteru. Kalo pembicaraan yah biasa saja, tentang pekerjaan, kehidupan sehari-hari. kalo politik tidak pernah karena kita tidak terjung sama politik, jadi lebih banyak tentang bisnis. Mengenai budaya etnis Tionghoa tidak pernah juga saya tanya, karena saya hargai dan takut tersinggung. Jadi umumnya ji yang ditau misalkan hari-hari besarnya. Kalo d wajo itu saling menghargai, mau budaya atau apanya yang penting jangan ganggu usahanya. Itu saja.” H. Kade tidak merasa keberatan dengan etnis Tionghoa yang ada dilingkungan tempat tinggalnya. Hubungan dengan etnis Tionghoa sangat akrab, sebagai penduduk asli kabupaten Wajo yang bermukim di Sengkang, H. Kade merasa tetangga-tetangganya sudah seperti saudara sendiri. Dalam berkomunikasi umumnya membicarakan masalah sosial, membicarakan masalah pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Komunikasi dengan etnis Tionghoa terjadi di sekitar rumah, di acara pesta, acara nikahan dan di jalan ketika bertemu dengan Etnis Tionghoa saling menyapa sekedar menanyakan kabar. H.Kade menggunakan bahasa Bugis ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, apalagi mereka sudah 113 lancar menggunakan bahasa daerah. Hubungan interaksi dan komunikasi berjalan efektif tidak ada masalah karena kita saling menghargai satu sama lain. Informan X Pada Informan kesepuluh, penulis melakukan wawancara dengan bapak Herwansyah tinggal di Jl.Ninnong dan memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta. Di lingkungan Pak Herwansyah tidak ada yang bermukim etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo dilingkunganku yang saya tau tidak ada warga etnis Tionghoa yang tinggal disini, kebanyakan itu mereka tinggal di pasar sentral karena pekerjaannya pedagang.” Dalam kehidupan sehari-hari Pak Herwansyah sangat sering berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa, hampir tiap hari Pak Herwansyah bertemu dan berinteraksi dengan warga etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Iya sering, malahan hampir tiap hari saya ketemu sama warga Tionghoa. kebetulan temanku banyak warga Tionghoa juga jadi pastimi tiap hari saya bicara sama mereka.” Pak Herwansyah ketika berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa dimana saja dan kapan saja, kadang-kadang Pak Herwansyah berkunjung ke rumah temannya yang juga warga etnis Tionghoa sebaliknya warga etnis Tionghoa juga berkunjung ke rumah Pak Herwansyah. Selain di rumah, komunikasi juga sering terjadi luar atau di tempat-tempat umum, seperti di Warkop, di pinggir jalan, pada saat ada acara perkawinan, acara hakikah, orang berduka, acara-acara santai lainnya. Jadi komunikasi dengan warga etnis 114 Tionghoa bukan hanya disatu tempat melainkan banyak tempat. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo tempat ketemu atau bicara-bicara sama warga etnis Tionghoa ya banyak, kadang saya jalan-jalan kerumahnya bahkan sesekali menginap, kadang dia juga datang kerumah. tapi lebih sering diluar rumah yah, misalkan nongkrong dipinggir jalan atau pun pergi ke warkop minumminum kopi sambil cerita-cerita. kalau ada acara-acara biasaka samasama pergi juga. Tema pembicaraan dengan warga etnis Tionghoa sangat bervariatif, jadi tidak terpaku pada satu masalah saja, misalkan membicarakan tentang politik, membicarakan masalah bisnis, masalah lingkungan sekitar, masalah pribadi seperti Warga etnis Tionghoa menceritakan kepada Pak Herwansyah tentang kondisi keluarga, kondisi pekerjaan, masalah keungan dan sebaliknya Pak Herwansyah juga menceritakan masalah pribadinya seperti masalah pekerjaan, masalah keluarga dan masalah tentang kehidupan sehari-hari.Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya kan kayak saudarami sama mereka, apalagi sama ini temanku yang warga etnis tionghoa juga, tapi saya tidak pernah anggap dia etnis tionghoa karena dia lahir disini juga. Kalo bicaraka sama mereka banyak sekali yang kita bicarakan, apalagi kalo akrab sekali meki, bisaki curhat juga tentang masalaha pribadi ta, dia pun juga begitu sama kita. Misalkan curhat tentang keluarganya, curhat tentang kerjaannya, curhat tentang kehidupan sehari-harinya. Sebenarnya saya juga heran kenapa dia bisa curhat masalah pribadinya sama kita padahal itu kan aib seseorang.ternyata lama kelamaan baru saya tau kalo etnis tionghoa itu sangat percaya sama orang bugis. apalagi kalo dekat sekali, pasti napercaya ki. Jadi kalo bicara ka sama itu temanku, saling terbuka, saya juga tidak merasa berat kalo mau cerita karena itu tadi sudah kayak saudarami.” Pak Herwansyah dalam berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa, bukan hanya membahas masalah politik, ekonomi, pribadi, kehidupan sosial tetapi sesekali Pak Herwansyah menanyakan tentang bagaiamana budaya dari warga 115 etnis Tionghoa seperti menanyakan makna dari Barongsai, Perayaan Hari Imlek, makna dari tata cara pekuburan warga etnis Tionghoa, makna dari membagibagikan Ampao. Pak Herwansyah bertanya langsung kepada warga etnis Tionghoa agar bisa mengetahui budaya-budaya dari etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ya pasti biasa, apalagi kan budaya ta sama budaya etnis Tionghoa beda jadi pastimi biasaki bertanya kalo bicara misalkan saya pernah bertanya tentang apa sebenarnya itu barongsai yang sering diliat di TV atau perayaan hari-hari besarnya etnis Tionghoa. saya juga pernah tanya itu kenapa kalau orang Tionghoa meninggal harus dibakar terus debunya disimpan diguci dan disimpan dirumah, terus bagi-bagi ampao apa artinya, tapi saya juga pernah dikasi ampao sama mereka. Itu semua saya tanya yang sering diliat. Ada juga yang saya liat kalau orang Tionghoa itu suka berjudi, biasa juga kalau kerumahnya saya liat Bir itu kayak air putih, pokoknya banyak-banyak saya tanya tentang bagaimana budaya mereka. Kalau agama mereka di Wajo itu bervariasi ada agama Hindu, Budha, sama Kristen.” Budaya etnis Tionghoa dengan Budaya etnis Bugis sangat berbeda, itulah yang membuat Pak Herwansyah ingin mengetahui budaya dari etnis Tionghoa. Pak Herwansyah juga pernah berkomunikasi dan salah makna tentang budaya etnis Tionghoa, sehingga timbul keinginan untuk bertanya agar bisa memahami budaya etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya pernah bertentangan dengan temanku yang warga etnis Tionghoa juga tentang kebudayaanya. Itu hari saya hadiri acara pemakaman warga etnis Tionghoa yang juga beragama Hindu dan saya lihat jasadnya dibakar terus dikasi masuk di guci. Kita kan warga etnis Bugis apalagi mayoritas disini agama islam, jadi kayak lain-lainki diliat itu apalagi kalau masyarakat yang baru-baru lihatki.tapi pas saya taumi baruka sadar ternyata itu adat istiadatnya memang begitu.” Sebelum memahami makna budaya etnis Tionghoa, Pak Herwansyah pernah jaga jarak dengan masyarakat etnis Tionghoa, Pak Herwansyah merasa takut akan terpengaruh dengan budaya etnis Tionghoa, tetapi Setelah memahami 116 budaya etnis Tionghoa, tidak lagi pernah salah makna dengan budaya etnis Tionghoa, Pak Herwansyah sadar bahwa itu adalah adat istiadat dari etnis Tionghoa. makna dari membakar jasad terus debunya dimasukkan kedalam guci dan disimpan dalam rumah sebagai persembahan kepada keyakinannya agar arwahnya kembali. Bahasa yang digunakan Pak Herwansyah ketika berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa adalah bahasa Bugis. etnis Tionghoa yang lahir dan besar di Wajo tentunya sangat pasif dalam berbahasa bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Jelasmi bahasa bugis kalau bicaraki, masa mau bahasa mandarin sedangkan dia juga tidak taumi. Kalau di wajo orang Tionghoa tidak adami yang tidak pintar bahasa bugis.” Intensitas pertemuan sejak dulu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa membuat hubungan keduanya harmonis sampai sekarang. Pak Herwansyah hampir semua mengenal masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Sengkang. bukan hanya saling mengenal, tetapi pak Herwansyah memiliki hubungan yang dekat dan sering berkomunikasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya sangat mengenal masyarakat etnis Tionghoa yang ada disini, bahkan akrab sekalika sama mereka. Semua orang tionghoa yang ada disini rata-rata kenalka dan anak-anaknya temanku semua.” Pak Herwansyah sangat intens bertemu dan berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, keduanya menjalin hubungan kerja sama dalam bidang perdagangan. Bukan hanya menjalin hubungan kerja tetapi keduanya memiliki hubungan lebih seperti saudara. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo ketemu sama mereka, deh hampir tiap hari apalagi kan saya menjalin kerja sama sama warga etnis Tionghoa dalam bidang bisnis 117 olahraga, jadi pastimi seringki ketemu. Tapi kalo saya kayak saudara ka sama mereka, jadi bukan sekedar hubungan kerja saja.” Pembicaraaan pak herwansyah dengan masyarakat etnis tionghoa tidak hanya membicarakan tentang pekerjaan, tetapi semua hal bisa kita bicarakan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi sering dibicarakan. Pak Herwansyah dengan sahabatnya yang juga dari etnis tionghoa tidak tanggung untuk membicarakan hal pribadi masing-masing, misalkan membahas masalah kondisi keuangan, membahas masalah kondisi keluarga, kondisi pekerjaan bahkan sampai ke hal yang sangat pribadi pun tidak ada yang disembunyikan. Pak herwansyah ketika berkomunikasi dengan etnis tionghoa merasa nyaman, keduanya saling terbuka dan saling percaya. Intensitas pertemuan yang tinggi diantara keduanya membuat hubungan tersebut jauh dari konflik atau perselisihan. Sejauh ini proses komunikasi yang berlangsung diantara keduanya berjalan dengan harmonis. Intensitas pertemuan keduanya yang bisa dikatakan sering, membuat keduanya dapat mempelajari dan memahami kondisi msingmasing. Dalam proses komunikasi, keduanya tidak canggung untuk berkomunikasi karena etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah menyatu dan berbaur sekali. Dalam proses komunikasi timbul rasa terbuka dan rasa saling percaya diantara keduanya, sehingga komunikasi berjalan dengan efektif dan jauh dari konflik atau perselisihan. Dari segi bahasa ketika berkomunikasi bukan hal yang sulit karena etnis Tionghoa pasif dalam berbahasa bugis. Meskipun etnis Bugis dengan etnis Tionghoa beda budaya tapi itu tidak menghambat komunikasi mereka, seringkali etnis Bugis bertanya kepada etnis Tionghoa tentang apa makna dari budaya yang pernah mereka lihat agat tidak terjadi kesalahpahaman. 118 2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tonghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo. Hasil Wawancara : Informan I Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Surahman Wijoyo selaku Ketua Perkumpulan Masyarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo sekaligus memiliki profesi utama yaitu seorang pedagang dan kontraktor. Pak Surahman sudah empat tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo. Pak Surahman ketika terjadi konflik antara etnis Tionghoa dengan BugisMakassar, Pak Surahman merasa aman dan membawa anak-anaknya ke Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya ingat itu hadir waktu tahun 1998 tejadi konflik etnis tionghoa dengan bugis Makassar, kalo disini aman sekali karena kita sudah menyatu dan saling menghargai dengan masyarakat sekitar. Bahkan dek teman-teman saya bilang “pak tenang saja kalo disini kita semua saudarami jadi amanki disini pak”. Bayangkan waktu konflik kemarin semua anakku saya bawa kesini dari makasar karena disini aman, tidak ada konflik. Itumi gunanya membangun hubungan silaturahmi, saling menghargai dengan masyarakat, hal-hal sederhana tapi manfaatnya luar biasa kepada kita yang bermukim disini. Jadi kita disini merasa aman kalo besok-besok ada gejolak konflik diluar imbasnya tidak sampai kesini. Saya selama tinggal di wajo tidak pernah ada konflik dengan masyarakat etnis bugis, kalau pun ada palingan hanya beda pendapat tapi bisa diselesaikan dengan cara baik atau kekeluargaan.” Faktor pendukung dalam proses komunikasi adalah ketika Pak Surahman merasa aman di Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang, terbukti di tahun 1998 pada saat ada gejolak konflik antara etnis Tionghoa dengan Bugis Makasar di 119 Sengkang aman-aman saja. dan Pak Surahman membawa serta anak-anaknya untuk dibawa ke Sengkang. Inilah yang Pak Surahman katakan bahwa membangun silaturahmi, saling menghargai dengan masyarakat akan memberikan manfaat yang sangat besar. Pak Surahman selama tinggal di Sengkang tidak pernah mengalami konflik, kalau pun ada itu hanya perbedaan pendapat dan tidak sampai merusak hubungan yang sudah terjalin karena diselesaikan dengan cara baik-baik. Selain memiliki hubungan menyatu dengan masyarakat disini, faktor yang mendukung juga adalah keluarga Pak Surahman banyak yang kawin mawin dengan masyarakat etnis Bugis termasuk adik Pak Surahman dan kemanakan. Hal tersebut sangat berpengaruh pada proses komunikasi antara Pak Surahman dengan etnis Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Ada, termasuk adik saya dan kemananku itu menikah sama orang sini, selain menikah dia juga masuk islam. Nah ini mi saya bilang karena kita sudah menyatu jadi tercipta rasa kekeluargaan.” Faktor pendukung dalam proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis dimana Pak Surahman sangat paham dengan budaya etnis Bugis. selain paham Pak Surahman juga menganggap bahwa budaya etnis Bugis adalah budaya kita sendiri karena menetap dan lahir disini. Jadi Pak Surahman tidak pernah terganggu dengan budaya etnis Bugis, malah perbedaan itu etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sudah menyatu. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo budaya kita sudah menyatu yah, jadi saya paham betul dengan budaya orang bugis, bagaimana dari kecil kita sudah berbaur kan jadi secara tidak langsung pasti kita tau.contoh kecil yah dasar budaya bugis, kita bisa mengadopsi budaya dasar dari masyarakat etnis Bugis. Saya 120 yang memiliki akses lebih dengan masyarakat Bugis, sudah bisa melakoni budaya Pung’ ketika memanggil orang yang dianggap tua dari saya atau Sifat-Sifat (Taro ada Taro gau), perilaku masyarakat Bugis (Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi). Jadi itu betul-betul sudah menyatu sama kita.” Informan II Pada informan kedua, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Romi yang bekerja sebagai pedagang. Seperti informan yang pertama, Pak Romi juga lahir dan besar di Sengkang, sudah hampir 36 tahun pak romi bermukim di Sengkang. “Saya selama bertetangga dengan etnis Bugis tidak pernah terlibat cekcok, konflik atau kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan, yah sampai sekarang semuanya berjalan baik, biasaji ada perbedaan pendapat tapi itu biasa diatur dan dibicarakan baik-baik, tidak ada itu yang sampai berkelahi atau bagaiamana. Di rumah juga ada etnis Bugis yang kerja sudah hampir 20 tahu kerja sama saya, sudah kuanggapmi juga kayak keluarga. Saling menghargai satu sama lain jadi hubunganta baik sampai sekarang.” Pak Romi selama bertetangga dengan masyarakat setempat tidak pernah terlibat atau konflik atau kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan yang sudah ada. Semuanya bisa diatasi dan diselesaikan dengan cara baik-baik supaya tidak menimbulkan konflik. Mengenai perbedaan budaya itu tidak menghambat dalam proses komunikasi. Pak Romi hanya sedikit memahami budaya etnis Bugis tetapi itu tidak sampai menghambat komunikasi karena Pak Romi sangat menghargai budaya etnis Bugis. Dalam suatu hubungan hendaknya sikap saling menghargai sangat penting, sama hal dengan pak Romi yang selalu menjunjung sikap saling 121 menghargai dengan sesama manusia. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya itu pegang prinsip kalo kita hargai orang lain pasti orang lain juga hargaiki. Biarpun kita lahir disini, tapi kita harus saling menghargai. itu yang selalu saya pegang kalo turun di masyarakat.” Informan III Informan ketiga, Kaseng yang tinggal di daerah pasar sentral, pak kaseng yang juga menjabat sebagai sekertaris Perkumpulan Mayarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo. Pak kaseng sudah hampir 40 tahun bermukim di Sengkang, bukan cuma itu Pak kaseng juga lahir dan besar di Sengkang. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Memang kita di kabupaten wajo ini sama-sama profesita sama orang bugis, tapi tidak ada persaingan politik juga dalam hal hal dagang, yah masing-masing sibuk dengan kerjaannya, yang penting tadi saya katakan bahwa dalam hubungan itu harus saling menghargai walaupun kita berbeda budaya. Coba ingatki kapan terdengar di wajo ada konflik, tidak pernah itu karena masyarakatnya sopanki semua dan saling menghargai, itu saja kuncinya kalau mauki berbaur sama semua orang.” Profesi yang sama antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis tidak menjadi hambatan dalam berkomunikasi, justru dapat saling menguntungkan dan tidak ada unsur-unsur politik diantaranya keduanya. Hubungan yang terjalin antara pak Kaseng dengan masyarakat etnis Bugis sangat akrab dan harmonis. Pak Kaseng juga memperkerjakan orang bugis di tempanya dan sudah hampir 20 tahun. Selama ini tidak pernah terjadi konflik atau perselisihan, karena pak Kaseng selalu menjunjung nilai saling menghargai dengan sesama manusia. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi adalah Pak Kaseng selalu belajar tentang budaya etnis Bugis, misalkan menanyakan 122 langsung kepada etnis Bugis apa yang tidak diketahui. selain mempelajari Pak Kaseng juga memahami budaya etnis Bugis supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Informan IV Informan keempat, bapak Siyyong yang berprofesi sebagai pedagang, dan tinggal di pasar sentral. Lahir di Sengkang dan sudah 40 tahun lebih menetap. Pak siyyong mempunyai banyak keluarga etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “ “Memang kita saling menghargai baik itu tetangga maupun di lingkungan luar. Hubungan kita sudah harmonis dan sangat berbaur. Buktinya bahwa kita sudah berbaur kalau ada acara-acara pasti kita hadir, tapi kalo acara nikahan saya jarang pergi karena malu-malu soalnya saya belum menikah. Saya sering curhat kepada teman-teman kalo ada undangan nikahan saya malu untuk pergi karena sampai sekarang saya belum menikah. Selama ini hubungan dengan etnis Bugis berjalan dengan harmonis, selama saya tinggal di sini, tidak pernah terdengar ada konflik diantara kedua Etnis tersebut, kalau pun ada pasti diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Jadi konflik tersebut cepat diatasi sehingga tidak berdampak kepada masyarakat. Sesama manusia yang tinggal di Kabupaten Wajo sudah pasti kita harus saling menghargai, memang kita berbeda budaya tapi kami sudah menganggap bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari masyarakat etnis Bugis.” Seperti penuturan Pak Ka’seng bahwa dalam suatu hubungan itu harus saling menghargai supaya tidak terjadi konflik atau semacamnya. Meskipun budaya etnis Tionghoa dengan etnis Bugis berbeda tetapi harus saling menghargai satu sama lain. Informan V Informan kelima, bapak Handoko, tinggal di Jl. RA Kartini tepatnya di daerah pasar sentral. Pekerjaan sehari-hari sebagai pedagang di Sengkang. Saya lahir dan besar di Sengkang, umur saya sudah mencapai 55 Tahun jadi sudah 55 123 Tahun juga saya bermukim di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “ “Sesama manusia kita harus saling menghargai satu sama lain, saya sangat akrab dengan teteangga dilingkungan tempat tinggal dan maupun yang berada diluar, bahkan saya lebih akrab dengan etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa yang ada disini.” Lain halnya yang diungkapkan pak Handoko bahwa hubungan yang terjalin dengan etnis Tionghoa sangatlah harmonis, bahwa pak Handoko lebih akrab ketimbang dengan etnis Tionghoa yang ada di kabupaten Wajo. Selama bermukim di Wajo Pak handoko tidak pernah berselisih dengan masyarakat etnis bugis, hubungannya berjalan dengan harmonis. Informan VI Penulis melakukan wawancara kepada bapak Andi Apuk Zaenal selaku mantan Lurah Lapongkoda di kecamatan Tempe selama tahun 1995-2006. Sekarang beliau bekerja di Badan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Wajo. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya masih ingat waktu tahun 1998 konflik etnis Tionghoa dengan orang Makassar. Kalo di Wajo itu aman karena seperti yang tadi saya katakan bahwa etnis Tionghoa sudah menganggap dirinya sebagai penduduk pribumi, sudah menyatu dengan masyarakat dan menganggap bahwa mereka adalah bagian dari Kabupaten Wajo. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi adalah amalgamasi, dimana masyarakat etnis Tionghoa hampir 30% yang kawin mawin dengan penduduk etnis Bugis. Ini menunjukkan bahwa semakin hari hubungan yang terjalin semakin akrab. Timbul kepercayaan dari masing-masing etnis untuk membina rumah tangga. Bukan hanya itu 10% dari masyarakat etnis Tionghoa 124 sudah ada yang yang memeluk agama islam. Hal ini dipertegas kembali oleh Bapak andi apuk zaenal sebagai berikut : “Kalo dipersentasikan sekitar 10% etnis Tionghoa masuk islam, saya pernah islamkan waktu saya masih menjabat sebagai lurah pada waktu itu. Selanjutanya yang kawin silang saya persentasikan sekitar 30% etnis Tionghoa yang menikah dengan etnis Bugis. Ini menunujukkan bahwa hubungan kita dengan etnis Tionghoa sudah menyatu, sangat harmonis , komunikasi kita berjalin efektif. Bahkan pada saat kemarin ulang tahun Kabupaten Wajo mereka turut berpartisipasi. Kalo soal acara-acara etnis Tionghoa sangat berbaur., mempunyai rasa solidaritas yang tinggi terhadap etnis Bugis. Saya ingat waktu masih menjabat lurah, tempat makan siang saya itu di rumah etnis Tionghoa, itu buktinya kalo kita sudah berbaur sekali. Jadi kita sudah tidak bisa bedakan yang mana etnis Tionghoa atau etnis Bugis, bahasa bugis dia sudah kuasai, bahasa bugis 100% sudah dikuasai. Jadi kesimpulannya tidak ada jarak untuk tidak berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, hanya saja yang membedakan kita itu adalah warna kulit. Kalo di Kabupaten Wajo itu sudah tidak ada diskriminasi beda dengan orang lain, buktinya tidak karena kita sudah berbaur, kita saling percaya, saling mendukung satu sama lain, dan saling menghargai. terus etnis Tionghoa itu tidak menyombongkan diri, sapa pun diajak berkomunikasi”. Faktor lain yang berpengaruh sekaligus menjadi faktor pendukung dalam proses komunikasi adalah adanya keingintahuan masyarakat etnis Bugis khusunya Pak andi apuk zaenal untuk mengetahui bagaimana budaya dari etnis Tionghoa, mempelajari budaya etnis Tionghoa dengan harapan agar perbedaan-perbedaan tersebut bukan penghambat dalam proses komunikasi. Informan VII Informan ketujuh, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Wajo, Bapak Mappeasse, S.Sos, penduduk asli Kabupaten Wajo tinggal di Jl. Bau Baharuddin. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya pernah mengusulkan kepada pemerintah, bahwa sudah sepatutnya etnis Tionghoa diberikan hak untuk duduk di bangku pemerintahan, karena saya lihat etnis Tionghoa sudah merupakan bagian dari Kabupaten Wajo, apalagi di bidang ekonomi etnis Tionghoa sangat 125 berperan andil dalam pembangunan di Wajo, jadi sudah seharusnya pemerintah merangkul untuk diberikan kesempatan di pemerintah. Kalo di kabupaten Wajo itu siapa saja bebas hidup, pemerintah daerah tidak pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Itulah alasan kita juga sangat berbaur dengan etnis Tioghoa karena mempunyai kesamaan visi yang sama yaitu berdagang. Selama ini hubungan yang terjalin antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis itu aman-aman saja, hampir tidak ada konflik, kalau pun ada pasti diselesaikan secara baik-baik dan tidak sampai konflik tersebut meluas sampai kemasyarakat”. Pak Mappeasse mengatakan bahwa sudah sepatutnya etnis Tionghoa diberikan kepercayaan untuk duduk di bangku pemerintahan karena etnis Tionghoa sudah menjadi bagian dari kabupaten Wajo. jadi seharusnya pemerintah merangkul untuk diberikan kesempatan. Di kabupaten Wajo siapa saja bisa hidup, pemerintah daerah pun tidak pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain mempunyai visi dan misi yang sama yaitu berdagang hubungan yang terjalin pun sangat akrab di kehidupan sosial. Tidak ada konflik yang pernah terdengar, hanya perbedaan pendapat dan bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi bukan hanya dari amalgamasi, sikap menghargai orang asing dan toleransi. Ternyata di lapangan peneliti menemukan bahwa salah satu faktor penting juga yang berpengaruh adalah kepercayaan. Etnis Bugis memberikan kepercayaan kepada etnis Tionghoa sebaliknya etnis Tionghoa memberikan kepercayaan kepada etnis Bugis sehingga hubungan semakin akrab. Sejauh ini perbedaan budaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis tidak mempengaruhi dalam melakukan komunikasi, keduanya saling menghargai budaya masing-masing. Pak Mappeasse tidak pernah salah paham dengan makna budaya etnis Tionghoa, karena pak Mappeasse sangat menghargai, menghormati 126 dan toleransi terhadap perbedaan budaya tersebut. Apalagi menyangkut keyakinan pak Mappeasse tidak pernah menyinggung hal itu karena takut terjadi kesalahpahaman sehingga menghambat proses komunikasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Yah meskipun kita berbeda budaya tetapi tidak pernah ji ada salah paham mengenai budaya, karena saya liat etnis Tionghoa naterima ji jg budaya ta, bahkan ada yang ikut sama kita. etrus saya liat budayanya tidak terlalu muncul pi di wajo. kalo masalah keyakinan atau budaya tidak pernah ji jadi penghambat dalam berkomunikasi, karena itu tadi saling menghargai, dan saling toleransi.” Informan VIII Informan kedelapan, H. Muktamar tinggal di daerah pasar Jl.RA.Kartini. pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang. Pak Muktamar selama mengenal masyarakat etnis Tionghoa tidak pernah berselisih dan hubungannya berjalan baik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya tidak pernah berselisih paham dengan penduduk etnis Tionghoa, karena memang tidak ada masalah yang sifatnya mengarah kesana, apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis hubungannya sangat harmonis dan sudah berbaur, interaksi dan komunikasi kita berjalan apa adanya. Walaupun ada masalah yang terjadi itu selalu diselesaikan secara kekeluargaan agar tidak menimbulkan konflik. Setidaknya dengan kehadiran etnis Tionghoa mendatangkan kerjasama yang baik kita dapat saling bertukar pengalaman, apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis sama-sama punya profesi yaitu berdagang jadi sangat membantu satu sama lain. Secara pribadi saya menilai etnis Tionghoa semuanya baikbaik saja tidak ada masalah, saling menghargai dan saling mengerti”. Seperti yang diungkapkan Pak muktamar bahwa faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi adalah saling menghargai dan saling mengerti. Agar tidak terjadi konflik atau pun berselisih paham dengan etnis Tionghoa. 127 Informan IX Informan kesembilan, penulis melakukan wawancara dengan H.Kade yang merupakan penduduk asli Kabupaten Wajo yang tinggal d pasar sentral. beliau sudah tinggal di Kabupaten Wajo selama 67 Tahun. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo secara pribadi. Alhamdulillah sampai sekarang saya tidak pernah berselisih dengan etnis Tionghoa, justru hubungan kita sangat akrab. Tetangga di depan sering silaturahmi kesini, hampir tiap hari mereka datang ke toko saya sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Bahkan karyawan saya pernah bilang kenapa tiap hari kesini, terus dia mengatakan kalo h.kade katanya sangat baik. Jadi memang kita ini sudah seperti saudara tidak ada perasaan-perasaan tidak enak terhadap etnis Tionghoa.” Secara pribadi H.Kade mempunyai hubungan yang baik dengan etnis Tionghoa, tidak pernah terjadi konflik atau semacamnya, memang selama ini hubungan dengan masyarakat etnis Tionghoa sudah seperti keluarga. Informan X Pada Informan kesepuluh, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Herwansyah tinggal di Jl.Ninnong dan pekerjaannya sebagai wiraswasta. Intensitas pertemuan sejak dulu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa membuat hubungan keduanya harmonis sampai sekarang. Pembicaraaan Pak Herwansyah dengan masyarakat etnis Tionghoa tidak hanya membicarakan tentang pekerjaan, tetapi semua hal bisa kita bicarakan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi sering dibicarakan. Pak herwansyah dengan sahabatnya yang juga dari etnis Tionghoa tidak tanggung untuk membicarakan hal pribadi masingmasing, misalkan membahas masalah kondisi keuangan, membahas masalah kondisi keluarga, kondisi pekerjaan bahkan sampai ke hal yang sangat pribadi 128 pun tidak ada yang disembunyikan. Pak Herwansyah ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa merasa nyaman, keduanya saling terbuka dan saling percaya. Intensitas pertemuan yang tinggi diantara keduanya membuat hubungan tersebut jauh dari konflik atau perselisihan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Saya kan kayak saudarami sama mereka, apalagi sama ini temanku yang dari etnis tionghoa juga, tapi saya tidak pernah anggap dia etnis tionghoa karena dia lahir disini juga. Kalo bicaraka sama mereka banyak sekali yang kita bicarakan, apalagi kalo akrab sekali meki, bisaki curhat juga tentang masalaha pribadi ta, dia pun juga begitu sama kita. Sebenarnya saya juga heran kenapa dia bisa curhat masalah pribadinya sama kita padahal itu kan aib seseorang.ternyata lama kelamaan baru saya tau kalo etnis tionghoa itu sangat percaya sama orang bugis. apalagi kalo dekat sekali, pasti napercaya ki. Jadi kalo bicara ka sama itu temanku, saling terbuka, saya juga tidak merasa berat kalo masalah cerita karena itu tadi sudah kayak saudarami.” Pak Herwansyah senang bisa memiliki hubungan yang baik dengan warga etnis Tionghoa, banyak hal yang ia pelajari dari budaya etnis Tionghoa seperti cara berdagang mereka dan selain itu Pak Herwansyah bisa mempelajari tentang budaya-budaya etnis Tionghoa yang sering dilihat di TV atau Media Massa dengan cara bertanya langsung kepada temannya. Pak Herwansyah juga senang berkomunikasi dengan etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : “Kalo menurut saya pribadi etnis Tionghoa itu enak diajak bicara karena dia orangnya Royal sama kita, baik, tidak sombong, siapa saja ditemani bergaul, bahkan sampe preman-preman itu dia bergaul, tapi yang penting adalah saling menghargai.” Sikap saling menghargai merupakan kunci yang digunakan Pak Herwansyah untuk berbaur dengan masyarakat etnis Tionghoa sehingga hubungan yang terjalin sampai sekarang berjalan dengan harmonis dan rukun, hampir tidak ada konflik atau pun perselisihan. 129 Idealnya sebuah hubungan sosial dalam sebuah masyarakat haruslah saling menghargai dan menghormati sesama. Hubungan yang baik dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang rukun damai, tanpa adanya konflik yang berarti diantara kedua budaya yang bertemu. Berikut hasil wawancara peneliti dengan masyarakat yang kawin silang antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis : Informan A Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Chandra Hamdani yang berprofesi sebagai wiraswasta dan salah satu pemilik warkop yang sering dikunjungi oleh masyarakat etnis Bugis. Pak Chandra menikah dengan seorang wanita yang berasal dari etnis Bugis sejak 12 Tahun yang lalu. Pak Chandra : “Awal pertemuan kami pada saat itu di wajo yah, kami saling mengenal sejak 20 tahun yang lalu dan dari situlah kami bermula menjalin suatu hubungan.” Ibu Nurdiah : “Saya ketemu dengan suami saya itu 20 tahun yang lalu, saya tidak pernah menyangka bakalan ketemu dengan orang yang beda suku apalagi sampai mejadi suamiku sekarang. tetapi karena namanya jodoh yah beginimi.” Berdasarkan penuturan baik dari Pak Chandra maupun Ibu Nurdiah mereka saling bertemu sejak 20 Tahun yang lalu dan sejak itulah mereka menjalin hubungan selama melakukan pendekatan. Walaupun berbeda etnis, namun hubungan mereka langgeng sampai akhirnya mereka menikah setelah berpacaran selama 10 tahun. Pak Chandra pun melamar Ibu Nurdiah kepada orang tua Ibu Nurdiah. 130 Pak Chandra : “Suka dukanya banyak sekali disaat saya masih pacaran dengan istriku, awal-awal kita pacaran itu susah sekali karena perbedaan budaya diantara kita, saya dari etnis Tionghoa dan istriku dari etnis Bugis.selama satu dua tahun hubungan saya itu sulit sekali yah karena masing-masing orang tua awalnya tidak setuju, apalagi pas saya bilang sama orang tua kalo calon istriku orang bugis. jadi saat itu sangat berat.barulah sepuluh tahun kita pacaran akhirnya orang tua saya setuju, karena saya juga sudah terlanjur suka sama istriku. Ibu Nurdiah : “Kalo suka dukanya banyak sekali, termasuk awal-awal kita pacaran orang tua tidak setuju karena kita beda etnis. Keluarga saya juga agamanya kuat, jadi berat sekali. Itu saya rasakan pada saat saya pacaran satu dua tahun, tetapi pas sepuluh tahun saya pacaran barumi orang tua setuju dengan syarat suamiku masuk islam. Karena kita saling suka akhirnya saya menikah dan suamiku akhirnya masuk islam. Sebelum menikah pasangan ini sempat terkendala diawal-awal karena perbedaan etnis diantara keduanya. Bapak dari Ibu Nurdiah awalnya tidak setuju karena suaminya dari etnis Tionghoa, tetapi karena saat itu Pak Chandra mau masuk islam sebagai syarat agar bisa menikah dengan istrinya akhirnya jadilah pernikahan itu. Karena saling suka apa boleh buat keluarga masing-masing memberikan restu kepada Pak Chandra dan Ibu Nurdiah untuk menikah. Setelah menikah, hubungan keluarga Pak Chandra dengan Ibu Nurdiah tidak pernah terjadi konflik yang berarti, karena Pak Chandra sudah paham betul dengan budaya etnis Bugis. Selama sepuluh tahun berpacaran Pak Chandra belajar tentang kebudayaan Ibu Nurdiah, jadi pada saat setelah menikah perbedaanperbedaan tersebut tidak lagi menjadi penghambat dalam hubungan rumah tangganya. 131 B. Pembahasan 1. Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo Komunikasi adalah suatu proses, dimana komunikasi merupakan aktivitas yang dinamis, aktivitas yang terus berlangsung secara berkesinambungan sehingga ia terus mengalami perubahan. Komunikasi yang berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis merupakan suatu kegiatan yang berlangsung terusmenerus. Setelah melakukan pengamatan yang mendalam pada proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis, maka penulis memberikan analisa tentang fenomena yang ada dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Proses komunikasi yang terjadi di Sengkang, ditandai dengan tiga proses yang mendasar yakni komunikasi antarpersonal, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi ditinjau dari variabel-variabel komunikasi yang bermanfaat dalam menganalisa suatu interaksi dari perspektif komunikasi. Komunikasi sosial berkaitan dengan komunikasi antarpersonal (antarpribadi), dimana melibatkan dua orang atau lebih yang berbeda budaya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan ini terjadi proses saling mempengaruhi, proses saling mempengaruhi dalam kegiatan pergaulan antar individu ini, disebut komunikasi. Setiap hari etnis Tionghoa dan etnis Bugis melakukan interaksi dan komunikasi antarpribadi berbadasarkan atas kebutuhan informasi, pengetahuan yang dimilikinya, pengalaman-pengalaman pribadinya, menyangkut kehidupan sehari-hari dimasyarakat, partisipasi dan persetujuan 132 dalam bidang tertentu, misalnya dalam bidang perdagangan. Etnis Tionghoa hampir tiap hari bertemu dan berkomunikasi dengan etnis Bugis, bukan hanya membahas pekerjaan, melainkan membahas hal-hal lain seperti kondisi sosial, politik namun volume politik tidak terlalu besar karena di Kabupaten Wajo masyarakat lebih fokus kepada usaha masing-masing, selain itu kadang membahas masalah pribadi seperti mengeluarkan unek-unek, isi hati saling bertukar pikiran meminta saran dan pendapat, membicarakan kondisi keluarga, anak-anak. Bukan hanya itu, kedua etnis tersebut juga membicarakan tentang budaya mereka masing-masing. Etnis Tionghoa mempelajari budaya etnis Bugis dengan cara mengamati dan menanyakan langusng jika ada yang tidak dipahami tetapi sebagian besar Etnis Tionghoa sudah paham dengan budaya etnis Bugis karena sejak dulu mereka sudah berbaur dan secara tidak langsung etnis Tionghoa paham karena sering berinteraksi dengan masyarakat etnis Bugis. bukan hanya itu etnis Tionghoa sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah yang menampilkan berbagai macam budaya dari etnis Bugis. Sejauh ini etnis Tionghoa mampu beradaptasi dengan budaya etnis Bugis, timbul perasaan memiliki karena mereka menganggap bahwa kita ini adalah warga asli yang besrmukim di Kabupaten Wajo. Dengan melakukan komunikasi antarpribadi (antarpersona) diharapkan saling mengisi kekurangan dan kelebihan masingmasing. Hubungan komunikasi antarpribadi diantara mereka terjalin akrab bahkan sudah seperti keluarga sendiri begitu juga dengan hubungan sosial diantara mereka antara satu dengan yang lainnya saling mengenal. Komunikasi sosial dan komunikasi antarpribadi etnis Tionghoa dan etnis Bugis berjalan efektif karena 133 pihak-pihak yang berkomunikasi sudah saling mengenal dan saling menghargai. Komunikasi sosial yang mencakup komunikasi antarpersona dan komunikasi massa, ketika bertemu selain membicarakan masalah yang disiarkan lewat televisi dan radio perkembangan tekhnologi membuat mereka tidak ketinggalan akan informasi. Ungkapan tersebut di atas membuktikan bahwa keseharian mereka juga membicarakan berita yang disiarkan di media, seperti TV dan Radio. Selain masalah perdagangan pemberitaan media merupakan salah satu hal yang sering diperbincangkan oleh mereka ketika bertemu atau berkumpul. Lingkungan komunikasi antar etnis Tionghoa dan etnis Bugis di lokasi penelitian diakui oleh informan berjalan sangat intens. Pergaulan atau interaksi itu, dimulai dari lingkungan pertetanggan, lingkungan kerja, perkumpulan olahraga dan lingkungan mereka bertemu dan berkumpul saling berkomunikasi baik secara individu dan kelompok. Lingkungan komunikasi juga turut memberi andil dalam mempercepat proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis misalkan ketika bertemu di jalan saling menyapa, ketika bertemu di luar lingkungan tempat tinggal seperti saat bertemu di acara kawinan, acara hakikah, orang berduka, perayaan-perayaan hari jadi Wajo, acara pesta rakyat, jadi lingkungan komunikasi bukan hanya terpaku pada satu tempat saja melainkan semua tempat mereka gunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Lingkungan komunikasi juga menjadi tempat belajar bagi etnis Tionghoa untuk memahami budaya etnis Bugis dengan cara ikut berpartisipasi jika diundang untuk hadir misalkan pada acara hakikah, pesta 134 perkawinan, orang berduka, perayaan hari ulang tahun Wajo dan acara-acara yang menampilkan kebudayaan etnis Bugis. Selain proses diatas, menurut Koenjaraningrat (1995:45), ada tujuh buah kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di dunia yang dapat mendokong proses komunikasi antarbudaya yaitu : a. Bahasa Salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang merupakan syarat berlangsungnya suatu interaksi adalah pengetahuan tentang bahasa. Bahasa adalah suatu alat yang dipergunakan ataupun dipakai manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia. Etnis Tionghoa yang sudah bertahun-tahun menetap bahkan lahir dan besar di Sengkang, Kabupaten Wajo tentunya sudah sangat pasif berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa bugis. etnis Tionghoa dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat tidak mengalami hambatan karena mereka sudah pasif berbahasa bugis, bahkan dari mereka sangat jarang menggunakan bahasa mandarin ke sesama etnis Tionghoa lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bugis. jadi pada umumnya di Kabupaten Wajo menggunakan bahasa Indonesia, bugis dalam pergaulan sehari-harinya. b. Sistem Ilmu Pengetahuan Latar belakang pendidikan merupakan suatu hal yang memudahkan proses komunikasi antarbudaya. etnis Tionghoa dan Etnis Bugis mempunyai kesamaaan budaya berdagang jadi kedua etnis dapat saling bertukar informasi mengenai 135 pengalaman-pengalaman berdagang mereka. Setidaknya pertukaran informasi dan pengetahuan diantara mereka memudahkan pekerjaan yang mereka kerjakan. c. Organisasi Sosial Organisasi sosial sebagai wadah pertemuan dan mempersatukan ide-ide mereka diharapkan dapat menghindari konflik yang terjadi di masyarakat. Kerja sama dalam bidang sosial yang melibatkan etnis Tonghoa dan etnis Bugis tidak lain untuk lebih mempererat rasa persaudaraan diantara mereka dan untuk menghindari kecemburuan sosial di masyarakat. d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Mengenai sitem peralatan hidup dan teknologi, tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat di Kabupaten Wajo. Peralatan rumah tangga masyarakat di Kabupaten Wajo baik etnis Tionghoa atau etnis Bugis pada umumnya mengikuti perkembangan zaman. Seperti peralatan rumah tangga, mereka menggunakan alat-alat modern, misalnya kompor gas, ac, radio, televisi dan radio sebagai sarana hiburan. Peralatan rumah tangga dan teknologi yang disebutkan diatas pada dasarnya dipakai oleh mereka yang mampu tetapi ada juga masyarakat yang masih menggunakan peralatan tradisional bagi yang kurang mampu. e. Sistem Mata Pencaharian Hidup Sistem mata pencaharian hidup lebih terfokus pada jenis pekerjaan manusia untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka mereka tidak hanya memiliki satu jenis pekerjaan, tetapi ia juga menyisihakn waktu diluar pekerjaannya dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya 136 baik terhadap diri sendiri maupun terhadap anggota keluarganya. etnis Tonghoa dan etnis Bugis mempunyai profesi yang sama yaitu suka berdagang. f. Religi Religi merupakan suatu sistem yang merupakan nilai budaya ritual. Masyarakat di Kabupaten Wajo mayoritas agama islam dan melaksanakan berbagai kegiatan yang mereka anggap sebagai bagian dari syariat islam. Walaupun etnis Tionghoa mempunyai agama yang berbeda tetapi itu tidak mempengaruhi interaksi kedua Etnis tersebut. Sikap saling menghargai yang dimiliki oleh masyarakat wajo sehingga tidak pernah menimbulkan konflik, stereotipe-streotipe diantara mereka hampir tidak ada, mereka hidup dalam kerukunan sebagai umat yang beragama. g. Kesenian Setiap etnis dan suku bangsa mempunyai ciri khas tersendiri mengenai kesenian atau budaya masing-masing. etnis Tionghoa mempunyai kesenian berbeda sebaliknya etnis Bugis juga mempunyai kesenian yang berbeda. Kegiatan komunikasi yang berlangsung diantara keduanya menuju pada satu pencapaian yakni pembauran. Maksudnya adalah ketika bertemunya dua budaya yang berbeda menjadi satu, sehingga tidak ada budaya yang dominan baik budaya etnis Tionghoa atau budaya etnis Bugis dan menjadikan komunikasi sebagai alat untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada guna mencapai hubungan yang lebih baik, maka pembauran pun telah dicapai keduanya. Hubungan antara si A (Etnis Tionghoa) dan si B (Etnis Bugis) dapat dijelaskan 137 secara rinci dalam teori konvergensi budaya yang dikemukakan oleh Kincaid dan Everett M. Rogers. Teori konvergensi budaya sering pula disebut sebagai model konvergensi atau model interaktif. Model komunikasi menurut pendekatan konvergensi menetapkan satu fokus utama yaitu hubungan timbal balik antara partisipan komunikasi karena mereka saling membutuhkan. Komunikasi disini dilihat tidak sebagai komunikasi yang berlangsung secara linear dari sumber kepada penerima, melainkan sebagai sirkum atau melingkar. Yaitu proses dimana sumber dan penerimaan berganti-ganti peran sampai akhirnya mencapai tujuan, kepentingan, dan pembauran. Ada empat kemungkinan hasil komunikasi konvergensi yaitu sebagai berikut : 1. Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan setuju. 2. Dua pihak saling memahami makna dan menyatakan tidak setuju. 3. Dua pihak tidak memahami informasi namun menyatakan setuju. 4. Dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju. Ada tiga model yang termasuk dalam teori konvergensi budaya, yaitu (1) Model Tumpang Tindih (Overlapping of interest); (2) Model spiral (Helikas); dan (3) Model Zigzag. Proses komunikasi yang terjadi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dapat dijelaskan dalam model tumpang tindih berikut ini : A AB B 138 Gambar 4.1 Model Konvergence Lingkaran Tumpang Tindih Sumber : Liliweri (2001) Manakala ruang tumpang tindih makin besar maka semakin banyak pemahaman dan pengalaman yang sama dan komunikasi semakin efektif. Tidak ada sebutan pengirim dan penerima, semua partisipan sama derajatnya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis berupa untuk melihat seberapa besar ruang tumpang tindih dalam proses komunikasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bugis. Etnis tionghoa yang bertahun-tahun lamanya bermukim di kabupaten wajo, bahkan sebagian besar dari mereka lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat etnis Bugis. Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah berbaur dan menyatu. Intensitas pertemuan yang sering dilakukan mengakibatkan hubungan tersebut semakin akrab dan tidak ada jurang untuk tidak berkomunikasi. Interaksi sosial yang baik antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dapat dijelaskan dalam gambar di bawah ini yaitu teori konvergensi budaya yang menggunakan model tumpang tindih, sebagai berikut : A AB B Gambar 4.2 Model tumpang tindih proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo pada tahap pembauran. 139 Gambar diatas merupakan keadaan komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang, kabupaten Wajo. Awalnya ruang tumpang tindih itu kecil saat awal-awal pertemuan pertama antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa. Namun seiiring berjalannya waktu, ruang tumpang tindih itu semakin besar. Ruang tumpang tindih itu yang makin besar menandakan makin banyaknya pengalaman yang sama diantara keduanya dan komunikasi berjalan semakin efektif. Hal ini ditandai dengan hubungan keduanya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis, yang saling memahami cara berkomunikasi masing-masing sehingga tercipta rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Model tumpang tindih ini menjelaskan bahwa baik ruang A (Etnis Tionghoa) maupun B (Etnis Bugis), masing-masing memiliki makna mereka sendiri untuk simbol-simbol yang mereka pergunakan bersama. Ruang AB, dimana kedua lingkaran bertumpukan, merupakan makna yang sama antara kedua pelaku komunikasi tersebut untuk simbol-simbol yang dipergunakan bersama. Kadang-kadang bagian yang bertumpuk (makna yang sama) sangat besar pada saat orang berkomunikasi, tetapi ada kalanya hampir tidak ada bagian yang bertumpukan. Model ini menekankan pada komunikasi sebagai suatu proses penciptaan dan pembagian bersama informasi untuk tujuan mencapai saling pengertian bersama sehingga menciptakan pembauran antara pelakunya. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi berganti-ganti peran sebagai sumber atau pun penerima, yang diistilahkan sebagai transceivers, sampai akhirnya mencapai 140 tujuan, kepentingan atau pengertian bersama sehingga dapat menciptakan pembauran. Hal ini dapat dilihat dari hubungan etnis Tionghoa dan etnis Bugis yang sangat berbaur dan menyatu. Komunikasi sosial yang terjadi dalam proses komunikasi bukan hanya membahas masalah pekerjaan ataupun masalah kehidupan sosial melainkan keduanya sudah terbuka dan saling percaya untuk berkomunikasi lebih dengan membahas ranah-ranah pribadi. Misalkan mengeluarkan unek-unek atau isi hati, saling bertukar pikiran, saling meminta saran dan pendapat. Timbul perasaan aman dan nyaman keduanya ketika berkomunikasi sehingga tidak muncul prasangka-prasangka yang bisa menganggu komunikasi keduanya. Keduanya saling memberikan pengaruh, dimana memiliki budaya yang sama yaitu berdagang sehingga mereka saling bekerja sama dan saling menguntungkan. Budaya turut memberi andil dalam proses komunikasi, dimana keduanya dapat saling memahami budaya masing-masing, bahwa etnis Tionghoa mampu beradaptasi dengan budaya etnis Bugis sehingga jauh dari konflik atau kesalahpahaman. Mencapai pengertian bersama sampai ke tahap pembauran merupakan proses yang rumit dan berbelit-belit. Banyak sekali yang dapat keliru dalam proses ini. Makna tepat dari pesan yang diciptakan oleh sumbernya, boleh dikatakan tidak pernah sama tepat maknanya bagi seseorang yang menguraikan pesan itu. Dua orang dapat berkomunikasi berkali-kali, sampai kedua belah pihak kurang lebih dapat memahami maksud satu sama lain. Semakin lancar kemampuan kedua pelaku komunikasi tersebut dalam proses saling 141 berkomunikasi, maka semakinbertambah pula kemungkinan yang ada untuk saling memahami makna masing-masing. Konkretnya, seluruh proses komunikasi pada akhirnya menggantungkan keberhasilan pada tingkat ketercapaian tujuan komunikasi, yaitu sejauh mana para partisipan memeberikan makna yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Proses komunikasi seperti inilah yang dapat dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya yang efektif. Kata Gudykunst, dalam Liliweri (2002;227) yaitu jika dua orang atau lebih berkomunikasi antarbudaya secara efektif maka mereka akan berurusan dengan satu atau lebih pesan yang ditukar (dikirim dan diterima). Mereka harus bisa memberikan makna yang sama atas pesan. Singkat kata, komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang dihasilkan oleh kemampuan para partisipan komunikasi lantaran mereka berhasil menekan sekecil mungkin kesalahpahaman. Triandis, dalam Liliweri (2002: 228) pun menegaskan bahwa efektivitas komunikasi itu meliputi isomorphic attributions, yaitu bagaimana ‘menggambarkan, (description) sesuatu menjadi sama. 2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tonghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo. Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situsional. Ini berarti bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi berlangsung, sebab situasi amat berpengaruh dengan reaksi yang akan timbul setelah proses komunikasi. 142 Komunikasi yang berlangsung antara komunikator dan komunikan akan berujung pada berhasil atau tidaknya proses tersebut. Jalannya komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis selama ini berjalan dengan mulus karena keduanya dapat memahami budaya masing-masing. Ada faktor pendukung dan ada faktor penghambat dalam proses komunikasi antara keduanya. Komunikasi merupakan keterampilan penting dalam hidup setiap manusia. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang bergantung. Manusia adalah makhluk sosial sehingga tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam kehidupannya. Namun, tak sekedar komunikasi saja dibutuhkan, tetapi pemahaman atas pesan yang disampaikan. Pemahaman seseorang harus tepat terhadap pesan yang disampaiakan oleh komunikator. Jika tidak, maka komunikasi yang baik dan efektif tidak akan tercipta. Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang berlangsung efektif antara komunikator dan komunikan, begitu pun sebaliknya. Efektifnya suatu proses komunikasi berarti meningkatkan kesamaan arti pesan yang dikirim dengan pesan yang diterima. Komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dapat dikatakan berhasil bila keduanya mampu menciptakan kesamaan akan arti dari suatu pesan. Sejauh ini, etnis Tionghoa mampu melakukan percakapan dengan masyarakat etnis Bugis dan menggunakan bahasa Bugis. Apalagi sebagian besar etnis Tionghoa ini lahir dan besar di Sengkang, Kabupaten Wajo, jadi tidaklah sulit baginya untuk berkomunikasi dengan etnis Bugis. 143 Proses komunikasi tak selamanya berhasil atau pun efektif dilakukan oleh para pelaku komunikasi. Akan tetapi jika perbedaaan budaya tersebut dapat dipahami dan dimengerti maka budaya yang tadinya dapat menghambat komunikasi dapat berubah menjadi pendukung dalam proses komunikasi. Budaya kata pung’ di dalam masyarakat etnis Bugis sudah menjadi kebiasaan yang sering diucapkan ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dari kita. Pung’ merupakan ucapan untuk saling menghormati antar sesama. Budaya inilah yang diadopsi oleh etnis Tionghoa. Budaya pung’ ini sangat mendukung dalam proses komunikasi. Faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sekaligus menjadi faktor pendukung adalah Pertama, ketika keduanya dapat saling memahami dan saling menghargai budaya masingmasing. Kedua, Dari segi bahasa karena kedua etnis ini menggunakan bahasa Bugis. Ketiga, ketika kedua etnis tersebut terjadi sikap saling pengertian antar etnis dalam suasana kebersamaan dan gotong royongan yang merupakan wujud persaudaraan mereka. Terlihat dengan adanya sikap toleransi mereka, agar dapat terhindar dari suatu perselisihan. Kadang yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis hanyalah perbedaan pendapat namun itu tidak sampai menghambat dalam melakukan proses komunikasi. Keempat adalah dimana etnis Tionghoa sudah menyatu dengan etnis Bugis, sehingga di kabupaten Wajo khususnya di Sengkang dapat kita lihat pembauran diantara etnis tersebut, yang mana etnis Tionghoa kawin mawin dengan masyarakat pribumi, dan kawin mawin itu yang menyebabkan banyak etnis Tionghoa yang masuk islam. Kelima, Ketika 144 kedua etnis berusaha untuk mempelajari kebudayaan masing-masing dengan cara mengamati langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya keduanya. Keenam yaitu timbul rasa kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis. Ketujuh adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah warga asli yang bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan kesukuannya, dan sebaliknya etnis Bugis tidak pernah menganggap atau bersikap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Ada faktor pendukung dalam proses komunikasi berarti ada pula faktor yang dapat menjadi penghambat dalam berkomunikasi dengan dua budaya yang berbeda. Faktor penghambat Pertama, adalah minimnya pengetahuan tentang budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman makna budaya dari kedua etnis tersebut. Kesalahpahamn tersebut juda dapat menghambat proses komunikasi antara etnis tersebut. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis ini semakin disadari oleh keduanya. Hambatan saat proses komunikasi antar keduanya semakin menipis seiring berjalannya waktu, keduanya sudah mampu memahami budaya masing-masing. Budaya saling menghargai yang selalu menjadi pegangan bagi masyarakat Wajo khususnya masyarakat Sengkang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dan jauh dari konflik atau perselisihan. Hasil akhirnya adalah bahwa sejauh ini proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya bisa mencapai suatu pembauran. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam proses pkomunikasi pun dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai suatu hubungan yang baik sehingga mencapai tahap pembauran. 145 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang komunikasi etnis Tionghoa dan Eetnis Bugis di Kabupaten Wajo, maka ada beberapa hal yang perlu disimpulkan antara lain sebagai berikut : 1. Proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang berjalan harmonis. Etnis Tionghoa yang bertahun-tahun lamanya menetap tidak mengalami kesulitan dalam beradapatasi dengan masyarakat etnis Bugis karena memang mereka lahir dan besar di Sengkang. Sejak dulu mereka sudah berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Keduanya saling memahami budaya masing-masing sehingga menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis di lingkungan masyarakat. Etnis Tionghoa yang sudah menetap lama di Sengkang tidak sulit untuk mempelajari budaya etnis Bugis, karena sejak kecil sudah berbaur dan menyatu dengan budaya setempat. Proses komunikasi antarbudaya ditandai dengan tiga proses yang mendasar yang ditinjau dari variabel komunikasi dimulai dengan: Pertama, Komunikasi Antrapersonal Kedua, Komunikasi Sosial berkaitan dengan komunikasi antarpersona (antarpribadi), etnis Tionghoa dan etnis Bugis melakukan interaksi dan komunikasi antarpribadi berdasarkan kebutuhan dan informasi, pengetahuan yang dimilikinya, pengalaman-pengalaman pribadinya, kerja sama menyangkut kehidupan sehari-hari dimasyarakat dan saling 146 berpartisipasi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bertemu dan membicarakan banyak hal seperti politik, ekonomi, budaya, dan kehidupan sehari-hari. Ketiga, Lingkungan komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dimulai dari lingkungan kerja, lingkungan tetangga dan perkumpulan olahraga dan lingkungan mereka bertemu dan berkumpul saling berkomunikasi baik secara individu dan kelompok. Lingkungan komunikasi turut memberikan andil dalam mempercepat proses komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dimana mereka bergaul dan berinteraksi. Selain ketiga proses diatas ada 7 buah kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan didunia yang dapat mendorong proses komunikasi antarbudaya yaitu : bahasa, sistem ilmu pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup dan kesenian. 2. Ada beberapa faktor yang mendukung dan menghambat proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang. Faktor yang mendukung adalah Pertama, ketika keduanya dapat saling memahami dan saling menghargai budaya masing-masing. Kedua, Dari segi bahasa etnis Tionghoa sangat pasif menggunakan bahasa Bugis. Ketiga, ketika kedua etnis tersebut terjadi sikap saling pengertian antar etnis dalam suasana kebersamaan dan gotong royongan yang merupakan wujud persaudaraan mereka. Terlihat dengan adanya sikap toleransi mereka, agar dapat terhindar dari suatu perselisihan. Kadang yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis hanyalah perbedaan pendapat 147 namun itu tidak sampai menghambat dalam melakukan proses komunikasi. Keempat adalah dimana etnis Tionghoa sudah menyatu dengan etnis Bugis, sehingga di Sengkang dapat kita melihat pembauran kedua etnis tersebut, yang mana etnis Tionghoa kawin mawin dengan masyarakat pribumi, dan kawin mawin itu yang menyebabkan banyak etnis Tionghoa yang masuk islam. Kelima, Ketika kedua etnis berusaha untuk mempelajari kebudayaan masing-masing dengan cara mengamati langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya keduanya. Keenam yaitu timbul rasa kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis tersebut. Ketujuh adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah warga asli yang bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan kesukuannya, dan sebaliknya etnis Bugis tidak pernah menganggap atau bersikap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Ada faktor pendukung dalam proses komunikasi berarti ada pula faktor yang dapat menjadi penghambat dalam berkomunikasi dengan dua budaya yang berbeda. Faktor penghambat Pertama, adalah minimnya pengetahuan tentang budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman makna budaya dari kedua etnis tersebut. Kesalahpahamn tersebut juga dapat menghambat proses komunikasi antara etnis tersebut. 2. Saran 1. Proses komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis yang meliputi, Komunikasi Antapersonal, Komunikasi Sosial, dan Lingkungan Komunikasi agar tetap dipertahankan dan ditingkatkan demi 148 persatuan dan kesatuan masyarakat. Nantinya agar hubungan-hubungan yang sudah terjaga, kondisi harmonis dan rukun dijaga seterusnya agar tidak menimbulkan konflik atau perselisihan di masyarakat. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antarbudaya dapat terjadi dimana dan kapan saja saat seseorang melakukan interaksi dengan orang lain. Hubungan yang sudah terjalin dengan baik antara kedua etnis sebaiknya dipertahankan dan dijaga, demi kelancaran hubungan sosial diantara keduanya. Untungnya faktor-faktor yang menghambat proses komunikasi dapat diatasi teratasi dengan cepat, seiiring berjalan waktu, faktor penghambat itu sudah dapat dipelajari oleh kedua etnis tersebut. Selanjutnya adalah mempertahankan dan menjaganya. Penulis berharap faktor yang mendukung tersebut dapat dipertahankan, sedangkan faktor yang menghambat proses komunikasi dapat berubah menjadi faktor yang dapat mendukung proses komunikasi diantara keduanya. 3. Melihat deskripsi masyarakat dari para informan yang hidup dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan diharapkan agar tetap terjaga dengan baik. 149 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo. 2011. Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011. Katalog tidak untuk Diterbitkan. Badan Pusat Statistik Bahrum, Shaifuddin. 2003. Tionghoa Peranakan Makassar ( Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya). Makassar: Baruga Nusantara. ----------. 2008. Metamorfosis Warga Tionghoa Makassar Dalam 10 Tahun Reformasi. Makassar: Baruga Nusantara Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Tekhnologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Cangara, Hafied. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book Koenjaraningrat. 2004. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Pustaka Pelajar. Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: ----------. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS ----------. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara Mulyana, Deddy 2000. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi Bandung: Remaja Rosdakarya ----------. 2003. Dasar-Dasar Pustaka Pelajar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: 150 ----------. Deddy. 2005. Komunikasi Efektif (Suatu Pendekatan Lintasbudaya). Bandung: Remaja Rosdakarya ----------. Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya) Bandung: Remaja Rosdakarya. ----------.Deddy. 2007. Rosdakarya Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Naing, Naidah. dkk. 2008. Wajo dalam Perspektif Arsitektur. Pustaka Refleksino Nurhadiantomo. 2004. Konflik-Konflik Sosial Pri-nonpri dan Hukum Keadilan Sosial. Universitas Muhammadiah Surakarta, Surakarta. Riswandi.2009. Ilmu Komunikasi. Jakarta Barat: Graha Ilmu Saefullah, Ujang 2007. Kapita Seleksi Komunikasi, Pendekataan Agama dan Budaya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Sihabuddin,Ahmad.2011. Komunikasi Multidimensi. Jakarta: Bumi aksara. Antarbudaya, Satu Perspektif Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Suryadinata, Leo. 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa Dari Asimilasi ke Multikulturalisme Jakarta: Pustaka LP3ES Wiryanto.2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo 151