HUBUNGAN FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA PIRHAT ABBAS Abstrak Artikel ini mendiskusikan tentang hubungan filsafat, ilmu, dan agama. Menurut penulis, hubungan ketiganya disatukan oleh sebuah tujuan yang sama, yakni pencarian kebenaran. Namun demikian, meskipun sama, ketiganya juga berbeda. Letak perbedaannya, dalam pandangan penulis, terdapat pada aspek sumber, metode, dan hasil yang akan dicapai oleh ketiganya. Kata Kunci: filsafat, ilmu, agama, kebenaran. Pendahuluan Manusia begitu ia dilahirkan tidak tahu dan tidak mengenal dengan apa-apa yang ada disekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal dirinya, kemudian mengenal alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang berpikir, maka ketika itu dia mulailah ia memikirkan dari mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu, untuk apa sesuatu, kemudian apa manfaatnya sesuatu itu. Sebenarnya pada ketika manusia telah mulai tahu dari mana asalnya, bagaimana proses terjadinya, siapa dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena filsafat itu pada intinya adalah berusaha mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik yang ada maupun yang mungkin ada, dari mana asal sesuatu, bagiamana sesuatu itu muncul dan untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu, maka muncullah beraneka macam pandangan, pendapat dan pemikran serta tanggapan, yang akhirnya menjadi suatu kesepakatan untuk 126 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 diketahui secara bersama-sama dan berlaku dilingkunganya. Kesepakatan tentang sesuatu itu dan berlaku untuk umum serta menjadi kebiasaan pada komunitasnya secara turun temurun hal itulah yang dinamakan tradisi, dari tradisi itulah berkembang menjadi suatu ilmu. Seperti kalau mau menanam padi di sawah harus ada air, kemudian harus dipikirkan dari mana mengambil air, bagaimana menyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan ide untuk membuat kincir air atau membuat saluran air ke sawah (irigasi), halhal yang seperti itulah yang akhirnya menjadi suatu ilmu. Manakala seandainya jika disepakati dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan,1 maka oleh karena itu setiap metode, objek, dan sistematika filsafat itu harus mempunyai arti fungsional bagi setiap pengembangan ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan berdasarkan atas konsep yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas, maka dengan jelas dapat dipahami bahwa setiap ilmu pengetahuan yang lain yang bersifat terapan merupakan pengembangan dari metode dan sistematika yang ada di dalam disiplin filsafat. Berdasarkan dari pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang sangat signifikan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang lainnya, demikian pula halnya terjadi adanya hubungan antara filsafat dengan agama dan hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga terjadi hubungan yang saling terkait (tasalsul) satu sama lainnya. Maka oleh karena itulah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada (mawjud) dan yang mungkin ada (mumkin al-wujud) serta sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat pengetahuan manusia, justeru karena itu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan 1 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 22. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 127 itu harus mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan fungsional dengan filsafat. Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan pembahasan mengenai ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal, termasuk diantaranya mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan tersebut. Lantas kemudian orang mulai dapat membedakan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, demikian pula halnya dapat membedakan antara filsafat dengan agama, dan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Penempatan kedudukan yang berbeda, demikian pula perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang telah disebutkan di atas seringkali menimbulkan berbagai macam sikap yang kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena terjadi kesalahan pahaman tentang perbedaan itu. Bertitik tolak dari persoalan-persoalan yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas tadi, maka dalam makalah ini penulis ingin mencoba untuk membahas bagaimana hubungan (nisbah) antara filsafat dengan agama, antara agama dengan ilmu pengetahuan dan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Pengertian Filsafat, Ilmu, dan Agama Kata filsafat untuk pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang filosof Yunani yang sangat terkenal, Pythagoras.2 Dimana kata filsafat adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani (Grik), yang terdiri dari dua kata, yaitu kata philos yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti bijaksana. Maka oleh karena itu kata filsafat kadang kala sering juga diartikan dengan cinta kebijaksanaan.3 Filsafat juga bisa diartikan sebagai rasa ingin tahu secara mendalam tentang asal muasal sesuatu, 2 3 Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 22. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, ( Jakarta : Pembangunan, 1980), hlm. 46-7. 128 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 bagaimana sesuatu dan untuk apa sesuatu.4 Filsafat bisa juga diartikan dengan cinta kebenaran, karena inti dari filsafat itu adalah berusaha untuk mencari kebenaran dari sesuatu. Menurut Poedjawijatna, filsafat itu juga dapat dikatakan adalah suatu ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Selanjutnya beliau mengkategorikan filasafat itu kedalam golongan ilmu, maka oleh karena itu filsafat harus bersifat ilmiah, yaitu menuntut kebenaran, memilki metode, bersistem dan harus berlaku umum.5 Filsafat itu objek materinya memang sama dengan ilmu, akan tetapi filsafat tidak dapat dikatakan ilmu, karena filsafat objek formanya adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sementara objek forma ilmu adalah mencari sebab segala sesuatu melalui pengalaman. Jadi jika ada objek di luar pengalaman itu, maka tidak lagi termasuk kedalam objek ilmu. Ilmu pada hakikatnya adalah inign tahu dengan segala sesuatu, tetapi tidak secara mendalam. Filsafat adalah ingin mengetahui dari mana sesuatu, bagaimana sesuatu dan untuk apa sesuatu, sementara ilmu hanya ingin tahu bagaimana sesuatu itu. Lain halnya pula denganagama yaitu berupaya menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar tentang sesuatu itu. Kebenaraan sesuatu dalam agama adalah terletak apakah ia diwahyukan atau tidak sesuatu itu. Yang diwahyukan itu harus dipercayai dan harus dita‘ati, dengan demikian agama itu hakikatnya adalah suatu kepercayaan. Pengertian filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan dari segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang harus mencari kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang dimiliki dan kemampuan yang ada, dan dikatakan statis karena orang dapat mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar mencintai kebijaksanaan tersebut. Akan 4 5 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 10. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 129 tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara khusus filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari hakikat segala sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha mencari kebenaran yang hakiki. Di dalam khazanah pemikiran keislaman dimana kata shopos itu disepadankan dengan kata himah, sehingga filsafat bisa berarti kecintaan kepada hikmah atau di dalam kata kerja ia bisa berarti cinta hikmah: mencintai himah.6 Demikian juga halnya arti filsafat di dalam khazanah pemikiran Islam juga dapat diartikan dengan ilmu yang menyeluruh atau ilmu yang secara garis besar berbicara mengenai segala sesuatu yang wujud dan yang mungkin wujud serta juga membicara tentang hukum kausalitas, sebab akaibat, yang terjadi dari yang wujud itu sehingga mendatangkan keyakinan dan kepercayaan. Maka oleh karena itu dengan secara ringkas juga dapat dikatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan universal yang membicarakan mengenai segala seuatu yang ada dan wujud dari yang ada tersebut.7 Yang dimaksud dengan yang ada itu adalah sesuatu yang mempunyai zat, termasuk Tuhan, karena Tuhan adalah zat yang wajib al-wujud di dalam Islam. Selain itu perlu juga dikemukakan batasan-batasan filsafat di dalam khazanah pemikiran manusia pada umumnya. Salah seorang pemikir yang mana buku atau karyanya banyak beredar dan dibawa oleh mahasiswa filsafat yang berasal Indonesia ke Indonesia sepeti Louis misalnya, yang menyatakan bahwa filsafat adalah: suatu analisis yang sangat hati-hati terhadap alasan-alasan yang diajukan mengenai sesuatu masalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis dari suatu sudut pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. 8 Menguraikan segala sesuatu dengan secara baik, benar dan mendalam 6 7 8 Osman Bakar, Hirarki Ilmu, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 102. Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 25. Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 25. 130 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 serta lebih waspada, sehingga menghilang anggapan yang ragu untuk sementara waktu. Filsafat, dengan demikian juga bisa diartikan dengan suatu pemikiran analisis, sistematis dan rasional tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dimana pada akhirnya menjadi dasar tindakan. Berdasarkan pengertian ini maka setiap tindakan manusia yang dilakukan secara sadar pastilah memiliki suatu landasan pemikiran yang berkualitas atau bernuansa kefilsafatan, khususnya mengenai yang berkaitan dengan tindakan tersebut. Filsafat itu bisa juga dikategori masuk kedalam golongan ilmu, karena filsafat juga menggunakan pikiran sebagaimana halnya dengan ilmu, hanya saja filsafat berdasarkan pemikiran belaka, berbeda dengan ilmu yang menggunakan pemikiran atas dasar pengalaman. Filsafat di dalam mencari kebenarannya juga harus bersifat ilmiah, yaitu sadar menuntut kebenaran, memiliki metode, sistematis dan berlaku umum. Filsafat dan ilmu itu objek materianya adalah sama, yaitu yang ada dan yang mungkin ada, akan tetapi objek formanya berbeda, kalau ilmu objek formanya adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya. 9 Sementara itu objek forma filsafat adalah mencari keteranganketerangan tentang sesuatu dengan secara rinci dan yang sedalamdalamnya, sampai ke akar-akarnya.10 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan diuraikan di atas, di mana secara otonom dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah: suatu kegiatan atau aktifitas pikir manusia yang bersifat dinamis dan mempergunakan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada dengan tujuan adalah untuk memahami segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada agar dengan itu diperoleh suatu inti pandangan tentang dunia dan hidupnya sebagai dasar pijakan sikap dan tindakan. Kata ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari akar kata ‘alima-ya‘limu-‘ilman/ilmun, yang berarti pengetahuan. 9 10 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 10. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 8. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 131 Pemakaian kata ilmu itu di dalam bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan istilah science. Science adalah kata yang berasal dari bahasa Latin: Scio, cire, yang berarti pengetahuan.11 Tidak semua pengetahun dapat dikatakan ilmu, sebeb kalau semua pengetahuan dikatakan ilmu tentu banyak yang bisa dikatakan ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru sebatas tahu, akan tetapi sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang di susun secara sistematis, memiliki metode dan berdiri sendiri, tidak memihak kepada sesuatu. Dikalangan masyarakat umum Indonesia, dipahami bahwa ilmu itu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu, dan yang lebih awam lagi mengartikan ilmu itu dengan pengetahuan dan kepandaian tentang sesuatu persoalan, baik itu persoalan sosial kemasyarakatan maupun persoalan ekonomi, persoalan agama dan lain-lain sebagainya, seperti soal pergaulan, soal pertukangan, soal duniawi, soal akhirat, soal lahir, soal batin, soal dagang, soal adat istiadat, soal pertanian, soal gali sumur dan lain-lain sebagainya.12 Ilmu itu juga dapat dikatakan dengan sekumpulan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang dilalui atau yang diterima, baik itu pengetahuan lewat pengalaman mimpi, lewat pengalaman perjalanan, lewat pengalaman spritual, lewat pengalaman bekerja dan lain-lain sebagainya, kemudian pengetahuan itu disusun secara sistematis, dengan memiliki metode, kemudian harus bersifat atau berlaku untuk umum dan tidak boleh memihak kepada sesuatu serta berdiri sendiri atau otonom. Berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan George Thomas White Patrick pernah mengatakan bahwa science is the complete and 11 12 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta : Balai Pustaka, 2001), hlm. 423. 132 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 consistent discreptions of the facts of experience in the simples possible term (Ilmu adalah sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mencakup semua diskripsi/penjelasan fakta-fakta yang diambil atau diterima dari suatu pengalaman dalam pengertian yang sangat simpel/sederhana).13 Sementara itu Ashley Montaque merumuskan ilmu pengetahuan itu adalah: Science is a systemazed knowledge derived from observation, study and experimentation carried on order to determine the nature or principles of the what being studied (Ilmu adalah suatu susunan pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau pengamatan, studi dan percobaan yang membawa kepada untuk menentukan sifat-sifat dari prinsip-prinsip atau dasar-dasar dari apa yang sedang dipelajari).14 Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan hal yang diketaui itu, sesuai dengan objeknya dan sesuai pula dengan kenyataannya. Sementara itu kebanaran dalam hal tahu adalah persesuaian antara tahu atau yang diketahui dengan objeknya. Maka ditemukan ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu adalah suatu objektifitas ( bersikap jujur dan mengemukakan apa adanya). Tahu itu mempunyai objek, objek tahu itu adalah segala sesuatu yang hendak diketahui oleh seseorang, baik sesuatu itu ada atau yang mungkin ada. Kalau sesuatu yang tidak mungkin ada, maka tidak akan menarik untuk mengetahuinya dan akan mengalami kesulitan, bahkan tidak mungkin untuk mencapainya.15 Filsafat dan keseluruhan ilmu itu bertemu pada satu titik, titik itu adalah semua yang ada dan yang mungkin ada, yang disebut dengan objek materia, akan tetapi ilmu dan filsafat tetap berbeda, tidak sama, karena berbeda pada objek formanya. Objek forma ilmu itu adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sedangkan objek forma filsafat adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Sementara itu 13 14 15 George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, (London : Tp, 1968), hlm. 20. Ashley Montaque, The Cultured Man, (New York : Tp, 1959), hlm. 289. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 2. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 133 agama dikategorikan masuk ke dalam bagian dari filsafat, karena agama itu termasuk kedalam golongan yang ada.16 Agama itu tidak perlu mengetahui sebab yang sedalam-dalamnya, akan tetapi yang perlu adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, karena keterangan itulah yang bisa membuat orang jadi tahu, dari tahu itu pulalah orang akan mau mengerjakan apa yang diperintah oleh agama dan meninggalkan apa yang dilarang oleh agama, yang disebut dengan taat. Ilmu ada yang memiliki objek forma dan ada yang tidak memiliki objek forma. Ilmu yang memiliki objek forma adalah berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya, ia tidak akan berhenti pada suatu batas saja. Akan tetapi terus berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk menyelami hal yang sesungguhnya sampai habis-habisan dengan cara atau metode apapun, kemampuan apapun yang ada padanya, dikarenakan kecenderungan ingin tahu itu.17 Berdasarkan dari beberapa pengertian ilmu pengetahuan yang telah dikemukakan di atas, suatu pertanyaan agaknya perlu diajukan, yaitu apa isi ilmu (science) itu ? Ilmu pengetahuan (science) itu mengandung tiga kategori isi, yaitu hipotesa, teori, dan dalil hukum.18 Hipotesa terhadap sesuatu itu bisa benar dan bisa salah, karena sifatnya sementara, belum permanen. Untuk menentu benar atau salahnya sesuatu adalah melalui teori-teori yang dinagunkan untuk itu, serta hal itu harus berdasarkan dalil-dalil atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Ilmu pengetahuan itu harus bersifat sistematis yang disusun secara teratur dan berdasarkan metodologi yang berlaku dan ia juga harus senantiasa berusaha untuk mencapai yang generalisasi. Di dalam kajian ilmiah, kalau seandainya ada data yang baru terkumpul sedikit 16 17 18 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 8-9. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 7. Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40. 134 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 atau belum cukup. Maka ilmuan itu membina hipotesa. Hipotesa adalah dugaan pemikiran berdasarkan sejumlah data. Hipotesa adalah sesuatu usaha untuk memberikan arah kepada penelitian dalam menghimpun data.19 Ilmu pengetahuan itu harus memiliki instrumen, paling tidak ada lima instrumen ilmu pengetahuan yang mungkin dapat digunakan, yaitu: pertama, pengalaman yang memfungsikan inderawinya sebagai instrumen utama untuk mendapatkan gambaran atau arti dari sesuatu itu, (pengetahuan perseptual indriyawi), dengan kata lain pengalaman adalah sensoris yang menentukan kebenaran tentang sesuatu, pengalaman itu ada yang bersifat objektif, yaitu pengalaman terhadap alam di luar diri yang berada atau terjadi secara mandiri dan di luar diri dan ada pengalaman yang bersifat subjektif, yaitu pengalaman milik pribadi, berada di dalam diri seperti rasa takut, rasa bahagia, rasa enak atau rasa malu dan lain-lain sebagainya. Pengalaman hanya melalui pengamatan semata-mata, kebenaran yang dicari itu akan mengalami distorsi (penyimpangan), konsep dan konstruk akan terungkap dalam rumusan yang berbeda. Kedua, berpikir (rasio) atau menalar dimana akal atau intelek berfungsi dalam upaya mencapai kebenaran. Berpikir itu tidak bisa terlepas dari realitas, juga tidak bisa terlepas dari potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia. Berpikir adalah suatu sistem dan proses kognitif yang kompleks, justeru kekompleksaannya inilah yang merangsang para pakar untuk terus menelitinya. Ketiga, intuisi adalah sebagai kejadian eksperensial dan di dalam kalangan ahli psikologi menggambarkan intuisi itu sebagai kejadian prilaku, yang juga bisa sampai kepada kebenaran. Keempat, fatwa yaitu pernyataan atau pendapat dari kalangan para ahli atau pakar (di dalam Islam disebut dengan alim jamaknya ulama‘) yang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Kelima, wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kebenaran yang mutlak (absolut), akan tetapi keterungkapan kebenarannya itu 19 Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 135 sangat tergantung kepada bagaimana manusia itu menganalisis dan menafsirkan makna dan maksud dari wahyu itu. Sebagai kesimpulan dengan rumusan lain bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil dari usaha manusia dengan kekuatan akal budinya yang berupaya untuk memahami kenyataan, struktur, pembagian bagianbagian dan hukum-hukum yang berlaku di dalam alam semesta ini, dan juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan menggunakan metode tertentu yang sistematis. Barangkali tidak ada yang paling sulit dan yang paling susah diberi pengertian atau definisi dan mencari arti selain dari pada kata agama. Karena hal itu cukup beralasan, paling tidak ada tiga alasan untuk masalah itu, yaitu: pertama, karena pengalaman agama itu adalah masalah bathini yang berhubungan dengan spritual dan yang bersifat subjektif, disamping itu juga sangat individualistik. Kedua, barang kali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama, maka oleh karena itu apabila membahas arti agama pasti ada emosi yang sangat kuat sekali sehingga sulit untuk memberikan arti kalimat agama itu. Ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan sangat dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan pengertian agama itu sendiri.20 Di dalam membahas masalah pengertian agama agaknya ketika membicarakan tentang agama akan berhadapan dengan apa yang disebut Problem of Ultimate Concern: adalah suatu masalah atau problem yang menyangkut dengan kepentingan mutlak yang berarti jika seandainya seseorang membicarakan soal agamanya, maka orang tersebut tentu akan involved (berbelit-belit) dalam sikap subjektifitas dan sulit mempunyai sikap yang objektif.21 Ada tiga istilah yang hampir sama di dalam masalah agama ini, yaitu religion adalah kata yang berasal dari Bahasa Inggris, din kata 20 21 A. Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: t.p., 1971), hlm. 4. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, disusun dan dihimpun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: t.p., 1969), hlm. 227. 136 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 yang berasal dari Bahasa Arab dan agama kata yang berasal dari Bahasa Sanskerta, yang mana ketiga istilah tersebut masing-masing mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam arti teknis terminologi ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna yang sama, yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia lingkungannya.22 Akan tetapi betapa mustahilnya memberikan sebuah definisi yang paling sempurna dan lengkap, tentang religi, din dan agama, maka di dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk merumuskan sebuah definisi tentang hal tersebut. Agama, religi dan din pada umumnya dipahami oleh masyarakat adalah salah satu sistem kredo (kepercayaan/paham) atas adanya yang mutlak, yang mempunyai kekuasaan melebihi segala-galanya di luar diri manusia atau suatu sistem ritus manusia kepada sesuatu yang dianggapnya yang mutlak yang memiliki kekuasaan luar biasa itu, serta suatu sistem normanorma (tata kaidah) yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan sang pencipta (di dalam Islam: Allah Swt, ‘Azza wa Jalla), hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain disekitar/lingkungannya, sesuai dan sejalan dengan tata cara kaidah keimanan dan peribadatan. Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama Dalam ilmu logika atau ilmu mantiq dikatakan bahwa manusia itu adalah binatang yang bisa berbicara, maksudnya adalah berbicara secara baik dan benar, menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan situasi dan kondisinya, serta sesuai pula dengan kaidah berbicara (bahasa). Perbedaan manusia dengan binatang sebenarnya bukanlah terletak pada bisa berbicara atau tidak, karena binatang ada juga yang bisa berbicara dalam batas-batas tertentu (hanya sebatas apa yang 22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hlm. 12. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 137 diajarkan kepadanya seperti burung beo, cocok rowo dan lain-lain), burung itu hanya bisa berbicara, akan tetapi tidak tahu isi atau maksud yang dibicarakannnya itu. Jadi perbedaan antara manusia dengan binatang adalah terletak pada akal pikiran, manusia punya akal pikiran sementara burung tidak, dan dengan akal pikiran itulah manusia bisa maju dan bisa berkembang, dengan akal pikiran itu manusia bisa sampai kepada siapa yang menciptakannya, dengan kata lain dengan akal pikiran itu manusia bisa sampai kepada Tuhan; apa hakikat Tuhan, bagaimana Tuhan dan untuk apa bertuhan, termasuk juga mana yang baik dan mana yang buruk. Di dalam Kitab Suci alQur’an al-Karim Allah Swt mengungkapkan bahwa manusia itu diciptakan-Nya adalah untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi. Artinya manusia itu diciptakan oleh Tuhan adalah untuk mengatur, mengolah dan mengelola alam semesta ini agar bermanfaat tidak hanya untuk dirinya saja, akan tetapi juga bermanfaat untuk alam secara keseluruhan, baik manusia itu sendiri, binatang, tumbuhtumbuhan dan lain-lain sebagainya. Untuk mengatur alam semesta ini dibutuhkan beberapa keterampilan, baik keterampilan dalam bidang manajemen, tata kelola, startegi, logika, pemikiran, nalar, dan lain-lain sebagainya, tanpa itu sulit dan bahkan tidak mungkin bisa mengatur, mengolah dan mengelola alam ini secara baik dan benar, bahkan bisa menimbul bencana di muka bumi, ketika tuhan berfirman kepada malaikat “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” ketika itu pula malaikat menjawab “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” kemudian Tuhan menjawab dengan berfirmanNya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.23 Dialog antara Tuhan dan malaikat ini menunjukkan bahwa di satu sisi manusia menurut malaikat bisa jadi perusak bumi, karena 23 Q.S. al-Baqarah: 30. 138 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 manusia itu memiliki hawa nafsu yang tidak sama seperti malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu, sebab dengan hawa nafsu itu yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan dan kebinasaan yang akhirnya bisa membuat manusia bertindak atau berbuat dengan hal-hal yang tidak baik, akan tetapi di sisi lain manusia bisa membuat bumi ini menjadikan baik dan lestari, karena manusia dibekali oleh Tuhan dengan akal pikiran dan di bimbing oleh nilai-nilai agama (Islam) dengan akal pikiran yang dibimbing oleh nilai-nilai agama itulah yang membuat manusia bisa berbuat yang baik, jujur dan benar, hal inilah yang tidak diketahui oleh malaikat, karena malaikat itu terbatas pengetahuannya sementara Tuhan tidak terbatas pengetahuan-Nya. Sebenarnya hakikat manusia itu adalah mahkluk pencari kebenaran, karena ia dibekalikan oleh Allah Swt dengan akal pikiran, akan tetapi akal pikiran yang suci yang tidak terkontaminasi dengan yang lain, yang dibimbing oleh nilai-nilai agama, karena dengan akan pikiran yang dibimbing oleh nilai-nilai agama itulah yang bisa mencapai kebenaran. Paling tidak ada tiga sarana atau jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu, yaitu: melalui filsafat, melalui ilmu pengetahuan dan melalui agama, yaitu melalui wahyu dari Sang Pencipta Kebenaran yang Mutlak dan Abadi. Ketiga sarana atau jalan itu masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu. Ketiga sarana tersebut juga mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung (hubungan) antara yang satu dengan yang lainnya. 1. Titik Persamaan Filsafat, ilmu pengetahuan dan agama adalah bertujuan setidaktidaknya berurusan dengan hal-hal yang sama, yaitu kebenaran dan bertindak atas dasar rumusan mengenai suatu kebenaran tersebut.24 Seperti filsafat berusaha untuk mencari kebenaran dengan jalan 24 Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 20. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 139 menggunakan akal, pikiran dan logika, ilmu pengetahuan berusaha mencari kebenaran dengan menggunakan metode ilmiah melalui penelitian-penelitian, sementara itu agama berusaha untuk menjelaskan kebenaran itu melalui wahyu dari Tuhan. Jadi ketiganya sasaran adalah sama, yaitu kebenaran. Jadi filsafat berupaya mencari kebenaran, ilmu berusaha membuktikan kebenaran sementara agama adalah berupaya menjelaskan kebenaran itu, maka tidak mengherankan kalau kaum muktazili mengatakan tidak semuanya kandungan yang ada di dalam al-Qur’an itu sifatnya kamunikasi, akan tetapi banyak juga yang sifatnya konfirmasi, yaitu membenarkan, mempertegaskan dan menguatkan apa yang pernah dilakukan manusia. Ilmu pengetahuan, dengan metodenya sendiri mencoba berusaha mencari kebenaran tentang alam semesta beserta isinya dan termasuk di dalamnya adalah manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri, juga berusaha mencari kebenaran, baik kebenaran tentang alam maupun tentang manusia (sesuatu yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, karena di luar atau di atas jangkauannya) ataupun tentang Tuhan, Sang Pencipta segalagalanya. Semenatar itu agama dengan kepribadiannya sendiri pula, berupaya memberikan jawaban atas segala persoalan-persoalan yang bersifat asasi yang dipertanyakan oleh manusia baik tentang alam semesta, manusia maupun tentang Tuhan itu sendiri, dengan kata lain agama adalah memberikan penjelasan, penegasan dan pembenaran tentang sesuatu yang benar dan yang tidak benar. Secara khusus al-Farabi salah seorang tokoh pemikir dan tokoh filsafat Islam mengemukakan pendapatnya tentang persamaan antara filsafat dengan agama yang mana menurut beliau keduaduanya (filsafat dan agama) adalah sama-sama melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia, yaitu kebahagiaan tertinggi, dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain.25 Jadi keduanya adalah 25 Bakar, Hirarki Ilmu, hlm. 100. 140 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, filsafat mencapai kebahagiaan dengan berupaya menemukan kebenaran, sebab apabila suatu kebenaran itu sudah ditemukan, maka akan muncul rasa puas, rasa puas itulah yang membuat timbulnya rasa bahagia, sementara itu agama (Islam) mengungkapkan kebahagiaan dengan berupaya memberikan penjelasan kepada penganutnya bahwa apabila seseorang ingin mencapai kebahagiaan, ia harus mengikuti aturan yang diajarkan oleh agama, karena aturan yang diajarkan oleh agama itu semuanya benar, maka apabila sudah mengikuti aturan dan ajaran agama yang benar, yang sesuai dengan petunjuk, maka ia akan mendapatkan kebahagaiaan itu, baik kebahagiaan di atas dunia ini maupun kebahagiaan di alam akhirat nanti. 2. Titik Perbedaan Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya adalah sama-sama bersumber kepada ra’yu (akal, pikiran, budi, rasio, nalar dan reason) manusia untuk mencari kebenaran. Sementara itu agama mengungkapkan, menjelaskan dan membenarkan suatu kebenaran adalah bersumber dari wahyu. Filsafat mencoba mencari kebenaran dengan cara menjelajahi atau menziarahi akal-budi secara radikal (berpikir sampai ke akarakarnya), mengakar, sistematis (logis dengan urutan dan adanya saling hubungan yang teratur) dan intergral (universal: umum, berpikir mengenai keseluruhan) serta tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri, yaitu logika. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan menggunakan metode atau cara penyelidikan (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) atau sangat terkait dengan tiga aspek, yaitu: aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil hukum.26 Sedangkan manusia di dalam mencari kebenaran terhadap agama itu adalah dengan jalan atau cara mempertanyakan (dalam 26 Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 141 upaya untuk mencari jawaban) tentang berbagai macam masalah yang asasi dari kitab suci dan kodifikasi firman ilahi.27 Selanjutnya kebenaran ada yang bersifat spekulatif atau kebetulan saja adalah kebenaran yang bersifat dugaan atau perkiraan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, secara riset dan secara eksperimental.28 Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang bersifat positif, bukan bersifat spekulasi atau kebetulan saja,29 yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini yang dapat diuji. Baik kebenaran filsafat maupun kebenaran ilmu pengetahuan kedua-duanya bersifat nisbi atau relatif, 30 artinya sifatnya sementara dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia, yang sangat tergantung kepada situasi dan kondisi, termasuk perubahan alam. Sedangkan kebenaran agama (Islam) adalah kebenaran yang bersifat mutlak (absolut), yang tidak dapat diragukan sampaikan kapanpun dan dimanapun, karena agama sumbernya adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna Yang Maha Mutlak benarnya.31 Begitu juga halnya dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat, kedua-duanya adalah dimulai dengan sikap sanksi atau ragu (skeptis), sedangkan agama berangkat dari sikap percaya atau keyakinan. 3. Titik Singgung Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu terbatas; terbatas oleh subjeknya dan terbatas pula oleh objeknya 27 28 29 30 31 Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahauan, ( Jakarta : Tp, 1959), hlm. 45. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta : Tiara Kencana, 1986), hlm. 10-11. A. Baiquni, Teropong Islam terhadap Ilmu Pengetahuan, (Solo: Ramadhani, 1989), 3233. Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 50. Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahauan, hlm. 45. 142 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 (baik objek materi maupun objek forma), dan terbatas juga oleh metodologinya. Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu pengetahuan, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya adalah spekulatif dan juga merupakan alternatif tentang jawaban sesuatu masalah, artinya jawaban filsafat itu belum pasti dan masih bisa atau mungkin berubah. Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh filsafat, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh agama. Agama hanya memberi jawaban tentang banyak persoalan asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, dan filsafat. Akan tetapi perlu ditegaskan juga bahwa tidak semua persoalan manusia terdapat jawabannya di dalam agama, karena agama (Islam) itu bersumber dari wahyu yaitu al-Qur’an al-Karim, tidak akan mungkin semua persoalan yang terjadi di alam semesta ini dijelaskan oleh al-Qur’an, akan tetapi Tuhan melalui firman-Nya yang tertera di dalam al-Qur’an memberikan kesempatan kepada manusia untuk mencari kebenaran dengan mempergunakan akal pikiran seperti kalimat apala ta‘qilun, yaa ulil abshar, fa‘tabiru yaa ulil al-baab dan lain-lain. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas tentang titik singgung ketiga hal tersebut atau hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, maka titik singgung ketiga masalah itu adalah saling to take and give (isi mengisi), karena di dalam kajiankajian filosofis terdapat kajian-kajian ilmu pengetahuan dan sejumlah problematika saintis,32 sebaliknya di dalam kajian-kajian saintis terdapat prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis. Begitu juga topiktopik filsafat - sebagai contoh filsafat Islam - bersifat religius dengan pembahasan pada wilayah keagamaan, yang dimulai dengan mengEsa-kan Tuhan.33 Bahkan di dalam perspektif sejarah, para filosof 32 33 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj., (Yogyakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 253. Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hlm. 245. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 143 Islam menganggap ilmu pengetahuan yang rasional itu sebagai bagian dari filsafat. Mereka memberikan pemecahan atas masalah-masalah fisika seperti halnya di dalam masalah-masalah metafisika. Contoh yang paling jelas untuk hal itu adalah buku al-syifa’, ensiklopedi filsafat Arab terbesar, karena buku tersebut adalah berisikan empat bagian, yaitu: logika, fisika, matematika dan metafisika.34 Belakangan ini di kenal bahwa setiap ilmu itu mempunyai filsafat, artinya ilmu mengandung nilai-nilai filsafat, seperti filsafat ekonomi, filsafat pendidikan, fisafat hukum, filsafat komunikasi dan lain-lain sebagainya. Di dalam pembahasan tentang menemukan titik singgung antara filsafat dengan ilmu pengtehauan, dimana Ibrahim Madkour salah seorang tokoh pemikir Islam di dalam hal ini memberikan berkomentar, bahwa pada kenyatannya ilmu fisika dan ilmu matematika amat berhubungan erat dengan kajian-kajian filosofis di dalam Islam, yang tidak mungkin dapat dipahami secara terpisah dari yang lainnya.35 Begitu juga halnya, adanya titik singgung atau relasi antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Abdul Munir Mulkan berkomentar: bahwa untuk memahami ajaran agama dan menjadikannya sebagai pedoman di dalam hidup dan kehidupan yang berfungsi sebagai penyelesaian berbagai macam permasalahan dalam kehidupan, dimana manusia dituntut untuk memikirkan, merenungkan dan kemudian menyusun formulasi praktis sehingga mendorong kepada melakukan amalan perbuatan di dalam dunianya yang historis, sintesis dan dialektis.36 Berdasarkan dengan hal-hal yang telah disebutkan dan diuraikan di atas tadi, dimana dengan tegas dapat dikatakan bahwa antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu kesatuan bangunan paramida yang merupakan sarana untuk mencapai kebenaran, sekedar untuk dimaklumi bahwa filsafat merupakan 34 35 36 Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hlm. 245. Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hlm. 225. Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 21. 144 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010 pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, maka di dalam masalah ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan, masalah etika dan masalah seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Begitu pula halnya dengan agama (Islam) yang mana agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyak, di dalam Islam perintah untuk mencari ilmu pengetahuan itu adalah dimulai semenjak sesorang itu dilahirkan sampai dengan keliang kubur (mati) dan mencari ilmu itu kemana saja boleh, tapi yang dimaksudkan adalah ilmu yang bermnafaat baik bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya, artinya menuntut atau mencari ilmu itu adalah sepanjang umur mansuia yang bersangkutan atau sepanjang umur masing-masing manusia itu. Di dalam ajaran Islam orang yang berilmu akan mendapat derajat yang lebih tinggi. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah tentu terkandung di dalamnya ilmu pengetahuan itu sendiri dan filsafat, apalagi kebenaran yang ditawarkan itu mempunyai keserasian diantara ketiganya itu (filsafat, ilmu pengetaahuan dan agama). Penutup Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, yaitu sebagai berikut : 1. Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama terdapat titik persamaannya, yaitu mencari kebenaran. 2. Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama disamping terdapat persamaan, akan tetapi juga ada perbedaannya, yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil yang ingin dicapai. 3. Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama mempunyai titik singgung atau relasi, yaitu saling isi-mengisi di dalam menjawab persoalan-persoalan yang diajukan oleh manusia. Disamping itu ketiganya merupakan satu kesatuan bangunan paramida di dalam mencarikan dan menemukan kebenaran. Pirhat Abbas, “Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama” | 145 DAFTAR BACAAN Ali, A. Mukti, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: Tp, 1971). Baiquni A., Teropong Islam terhadap Ilmu Pengetahuan, (Solo: Ramadhani, 1989). Bakar, Osman, Hirarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta: Balai Pustaka, 2001). Gazalba, Sidi, Sistematika filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hatta, Muhammad, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahauan, ( Jakarta: Tp, 1959). Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1986). Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj., (Yogyakarta: Bumi Aksara, 1990). Montaque, Ashley, The Cultured Man, (New York: Tp, 1959). Mulkan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993). Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, disusun dan dihimpun oleh: Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: Tp, 1969). Patrick, George Thomas White, Introduction to Philosophy, (London: Tp, 1968). Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Pembangunan, 1980). Pujawiyatna, I.R., Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1991).