SEPARATISME DAN MINORITAS MUSLIM: Analisis Minoritas Muslim dan Stigma Terorisme di Asia Tenggara Surwandono1 Fenomena separatisme di Asia Tenggara kental dengan persoalan bangsa Muslim. Kita bisa menemukan beberapa situs separatism Muslim, baik di Indonesia, Thailand dan Filipina. Terdapat sebuah stigma yang sangt kuat bahwa aktivitas separatism akan berhubungan erat dengan stigma teroris. Artinya terdapat konstruksi besar bahwa untuk menghilangkan stigma terorisme, etnis Muslim yang termarginalkan oleh system politik yang tidak fair terhadapnya untuk menghindari opsi separatism. Hal ini penting dianalisis agar perjuangan untuk menentukan nasib sendiri sebagai hak minoritas muslim tetap direspon dan diselesaikan dengan jalan yang fair dan damai. Agar tidak serta merta karena gerakan separatisme muslim diidentikan dengan terorisme membuat penyelesaian kasus ini menjadi sepihak dengan memberikan konsesi bagi pemerintah Filipina dan Thailand memberangus artikulasi minoritas muslim dengan membabi buta . Separatisme dalam Islam Diskursus separatisme dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep legitimasi dan atau ketaatan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Diskursus ini telah dikembangkan oleh para pemikir Islam klasik semisal al-Ghazali, al-Mawardi ataupun Ibn Taimiyyah yang kemudian dikembangkan dalam konsep bughot atau pemberontakan. Dalam pandangan penulis ketika menganalisis penyebab bughot tidak lepas dari 3 pra kondisi: Pertama, Bughot disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi yang 1 Pembantu Dekan I Fisipol UMY diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan pemerintah yang sah. Dalam pandangan al-Mawardi tindakan bughot ini bisa disamakan dengan tindakan riddah atau keluar dari Islam sehingga dihukumi haram dan pemerintah yang sah diperbolehkan melakukan tindakan militer terhadapnya. Pandangan ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa munculnya para nabi Palsu pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang kemudian menolak beberapa rukun Islam, sehingga Abu Bakar memerintahkan untuk memerangi kelompok ini. Kedua, Bughot disebabkan karena persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dalam konteks ini, menurut pandangan seorang Abdul Qadir Jailani dalam buku Negara Ideal Menurut Islam ketidaksefahaman tersebut adalah sesuatu yang wajar dan mubah. Jika kemudian seseorang tidak sepakat terhadap tata regim yang sedang berkuasa, dan tidak melakukan tindakan penentangan militer kepada negara, orang atau organisasi tidak bisa dihukum ataupun ditindas. Sejarah Islam pertama pernah mencatat bagaimana seorang Abu Bakar memberikan hak kepada Sa’ad bin Ubadah yang tidak mau berbai’ah kepada kepemimpinan Abu Bakar tidak menjadikan Sa’ad bin Ubadah sebagai pemberontak yang harus dihukum. Ketiga, bughot tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan tindakan represif dan zalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughot menjadi sangat berdekatan dengan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, artinya menjalankan aktivitas bughot menjadi kewajiban masyarakat. Meskipun tingkat operasional melakukan amar ma’ruf melalui metode kekerasan atau perang terhadap pemerintah yang zalim dan represif bukanlah sesuatu yang sederhana. Sehingga seorang Ghazali merumuskan sebuah metode pengukuran dengan konsep Asy-Syaukah. Metode ini menyandarkan kepada asumsi bahwa jika masyarakat memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan penguasa yang zalim, dan tindakan bughot bisa dimenangkan dengan proses yang cepat dan tidak menimbulkan kemadlaratan yang lebih banyak, maka aktivitas bughot melalui pemberontakan bersenjata baru bisa dilakukan. Namun dalam kenyataannya sedemikian sulit ditemukan pra-kondisi bahwa kekuatan militeristik masyararat sipil lebih kuat dibandingkan kekuatan militer negara. Bagaimanakah posisi kelompok separatisme Muslim di berbagai wilayah di Asia Tenggara ? Dalam pandangan penulis posisi separatisme Muslim di Asia Tenggara cenderung dalam kategori pertama dan ketiga. Alasan akses politik dan ekonomi memang muncul dalam kasus di Pattani, dan Mindanaou, di mana etnis Muslim cenderung mendapatkan akses yang lebih rendah dibandingkan dengan etnis lainnya. Namun yang juga tak kalah substantifnya adalah politik asimilasi dari regim yang berkuasa di Thailand dan Filipina yang cenderung meminggirkan dan represif terhadap etnis Pattani dan Moro. Artinya motivasi utama dari kelompok separatisme muslim adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, setelah lebih dari 4 dekade bergabung dengan regim di Filipina maupun Thailand tidak mendapatkan pelayanan yang sepadan dengan loyalitas yang diberikan kelompok minoritas muslim terhadap pemerintahan di Filipina dan Thailand. Stigma “Terorisme” Perjuangan untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri (self of determination rights) merupakan hak yang dilindungi oleh PBB, sehingga dalam kurun waktu 10 tahun sebelum serangan 11 September 2001, issue separatisme Muslim mendapatkan respon yang proporsional dari banyak kalangan. Namun setelah stigma terorisme melekat kepada kelompok separatisme Muslim, dukungan dan perhatian berangsur-angsur menghilang, sehingga setiap tindakan represif regim Filipina dan Thailand terhadap kelompok separatis Muslim tidak banyak diusik lagi. Posisi tawar kelompok separatis ini juga semakin mengecil di tengah semakin sempitnya ruang gerak maupun dukungan terhadapnya. Stigma terorisme pada akhirnya akan membunuh hak masyarakat minoritas muslim untuk menentukan nasib sendiri. Dalam analisis penulis, stigma terorisme kepada kelompok separatisme muslim bukanlah gejala accident belaka, namun merupakan sebuah rencana yang sistematis untuk mendeligitimasi separatisme Muslim dari masyarakat Islam Asia Tenggara sehingga pemerintah Filipina, Thailand bisa menselesaikan problem dis-integrasi secara tuntas dengan mendapatkan asistensi dari negara besar Amerika Serikat tanpa penentangan yang berarti dari komunitas muslim di Asia Tenggara.. Analisis ini bisa dilacak dalam beberapa hal: pertama, selama lebih dari 40 tahun gerakan separatisme muslim di Asia Tenggara tidak pernah terkena stigma teroris karena proses pertempuran dan kekerasan cenderung terjadi di daerah perang (combat area). Istilah yang dipergunakan pun bukan kelompok teroris tetapi para gerilyawan Moro ataupun pejuang Moro dan Pattani. Sekarang ini media cenderung menyebut dan men-framing aktivitas kelompok separatisme Muslim sebagai kgiatan teroris . Kedua, Dalam tradisi nilai normatif Islam, membunuh jiwa tanpa perkara yang dibenarkan adalah tindakan yang sangat dibenci dan dicela Islam. Membunuh manusia secara membabi buta adalah nilai di luar Islam, hal ini bisa dilacak analisis Muhammad Imarah dalam buku Perbedaan Dalam Bingkai Kesatuan Islam (1998) yang menyatakan bahwa dalam sejarah Islam klasik teramat sulit menemukan fakta kaum muslimin membunuh masyarakat sipil secara membabi buta. Bahkan revolusi-revolusi Islam setelah abad 20 tidaklah identik dengan ladang pembantaian massal, bandingkan dengan revolusi semisal Bolshevik di Rusia, Kebudayaan di Cina, Revolusi Perancis, Revolusi Industri yang sarat dengan aroma darah. Justru Amerika Serikatlah dan negara Eropa yang telah mempertontonkan dalam perang dunia I dan II, tradisi membunuh manusia secara membabi buta. Mengapa menjadi tradisi beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena hal ini senantiasa berulang ketika negara-negara ini menghadapi ancaman konflik. Kasus mutakhir sangat jelas dari perang Teluk II tahun 1991 dan teluk III tahun 2003, perang Afghanistan 2002, genocide di Bosnia dan di Chechnya 1991-1995 sedemikian nampak di depan mata. Artinya secara tidak langsung beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat telah memberikan transfomasi nilai dan metode terorisme yang tidak manusiawi kepada kelompok Islam. Bahkan dalam batas tertentu para tokoh yang dituduh sebagai bapak terorisme dunia semisal Usamah bin Laden adalah anak didik dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Akhirnya semua fihak berharap, agar proses penentuan nasib sendiri kelompok minoritas muslim di Asia Tenggara dapat dilakukan secara bijak dengan meninggalkan tradisi politik kekerasan yang manipulatif dan penuh dengan politisasi. Penyelesaian disintegrasi dengan manipulatif dan politisasi justru akan semakin memperpanjang deretan aksi terorisme yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Wallohu a’lam.