Terorisme vs Internal Security Act

advertisement
Terorisme vs Internal Security Act
Oleh Andry Wibowo
Kita kembali dikejutkan serangan teroris atas Hotel J.W Marriot 5 Agustus 2003 yang mengakibatkan
11jiwa jadi korban dan puluhan lainnya luka-luka serta bangunan hotel rusak parah akibat ledakan bom
berbahan RDX,HMX, TNT itu. Kejadiannya sendiri hampir bersamaan dengan jatuhnya putusan
terdakwa bom Bali, Amrozi yang divonis hukuman mati di Pengadilan Denpasar, Bali.
Bom Marriot mengindikasikan bahwa terorisme di Indonesia telah menjadi ancaman serius dan konkret
bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia. Ledakan ini sekaligus memperbesar rasa takut terhadap
kejahatan pada masyarakat kita.
Respons tokoh politik, agama, purnawirawan TNI/Polri, pengusaha, pemerhati masalah sosial dan
politik umumnya mengutuk peristiwa tersebut. Tetapi sebaliknya respons masyarakat sangat beragam
sesuai latar belakang profesi dan kepentingan yang melekat pada sikap dan cara pandang terhadap
peristiwa itu.
Pemberantasan terorisme bermuara kepada diskursus yang berkaitan dengan kemampuan instusi
intelijen dan kepolisian yang menurut ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya bertugas
menanggulangi
kelompok
mana
yang
menjadi
master
mind
aksi
terorisme.
Sikap dan cara pandang pemerintah sendiri secara resmi dikeluarkan oleh Menteri Koordinasi Politik
dan Keamanan, Soesilo Bambang Yudhoyono. Kita hanya mengambil satu poin penting dari instruksi itu
yakni meningkatkan keamanan di pusat kegiatan publik seperti hotel, mal, bandara, terminal, instansi
pemerintah
dan
swasta
dalam
rangka
mencegah
serangan
fisik
kaum
teroris.
Kebijakan yang masih dalam tataran diskursus adalah keinginan pemerintah untuk menerapkan Internal
Security Act seperti diterapkan di Singapura dan Malaysia. Melalui ISA pemerintah berharap dapat
mengambil langkah pencegahan yang bersifat repressive-preventive dengan memberlakukan
penahanan yang bersifat nonjudikatif selama kurun waktu tertentu terhadap orang yang diindikasikan
kelompok teroris atau setidak-tidaknya merencanakan kegiatan terorisme.
Pembahasan
Beberapa pakar Hukum Pidana Internasional dan berbagai konvensi internasional sejak tahun 1937
mengenai terorisme telah menempatkan Tindak Pidana Terorisme sebagai perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana internasional.
Untuk itu, kita harus menelaah karakter tindak pidana internasional seperti diuraikan berikut ini ”direct
threat to world peace and security”, ”indirect threat to the world peace and security”, ”shocking to the
conscience of humanity”. Terorisme menunjukkan jangkauan transnasional dalam operasinya karena
aksinya membawa akibat buruk bagi rakyat di lebih dari satu negara dan metode kejahatan yang
menembus batas-batas negara.
Tindak pidana terorisme oleh beberapa ahli hukum dikatakan sebagai political criminal di mana aktivitas
kejahatannya dilakukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat ideologis (Hagan, 1964). Kejahatan tersebut
dilakukan bukan atas dasar motivasi nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa
mereka sedang memperjuangkan atau mempercayai suatu moralitas yang dianggap lebih tinggi agar
dapat menggantikan moralitas pada masyarakat dan rezim yang ada.
Penjahat politik semacam ini mempunyai alasan tertentu, motivasi moral dan etis tertentu, kepercayaan
agama tertentu atau bahkan mungkin memiliki teori ilmiah tertentu. Kegiatan terorisme ini sebagai
bentuk kondisi ”deprivasi relative” sebagai bentuk frustrasi sosial dari orang, kelompok ataupun intitusi
atas
kondisi
sosial
yang
tidak
berada
dalam
kondisi
yang
diharapkannya.
UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah diundangkan
dan telah digunakan dalam rangka menyidik, menuntut dan menghukum pelaku-pelaku pemboman di
Indonesia dan hal ini efektif untuk menghukum pelaku bom Bali, terbukti dengan dijatuhinya hukuman
mati bagi Amrozi. Apresiasi dan pujian atas kinerja aparat kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan
dalam menangani kasus bom Bali dinyatakan oleh berbagai kalangan di dalam dan luar negeri.
Di samping aspek praktis dalam pemeriksaan kasus bom Bali tersebut, sebenarnya UU No. 15 dan 16
Tahun 2003 juga sudah lebih keras dibandingkan dengan KUHP dan undang-undang sebelumnya yang
dibuat dalam rangka menanggulangi tindak pidana yang dikategorikan sebagai ordinary crime. Sebagai
instrumen hukum untuk menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat extra ordinary crime. UU
No. 15 dan 16 Tahun 2003 juga dibuat dengan memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang tidak lagi
bersifat umum tetapi sudah bersifat spesifik antara lain penerapan asas Retroaktif serta Non Lapse of
Time kecuali terdakwa meninggal dunia dan hal ini sesuai dengan kaidah hukum yang bersifat universal.
Tetapi peristiwa bom Marriot telah menyentakkan kita semua bahwa ancaman terorisme masih
menghantui kehidupan kita dan pemerintah merasa memerlukan suatu instrumen hukum yang lebih
keras untuk menghadapi kelompok-kelompok teroris. Dengan harapan pencegahan terorisme dapat
dilakukan lebih efektif dan efisien.
Faktor lainnya adalah adanya pandangan bahwa dalam memerangi terorisme peran inteleijenlah
seharusnya lebih dikedepankan karena dengan alasan struktur dan aktivitas kelompok terorisme identik
dengan struktur dan aktivitas intelijen. Pendapat ini sangat bersifat sektoral dan masih terbuka
diperdebatkan khususnya dalam kerangka berpikir regulasi dan pola penanggulangan terorisme secara
global karena Indonesia terikat pada penandatanganan konvensi-konvesi internasional yang berkaitan
dengan penanggulangan terorisme.
Apalagi jika kita melihat akar permasalahan timbulnya terorisme, maka penanggulangan terorisme
tidaklah arif jika hanya dilihat dari aspek tersebut dan terkesan menyederhanakan permasalahan.
Wacana pembentukan ISA sebagai suatu Perspective Regulation untuk memberantas terorisme
haruslah tetap dalam kerangka sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia dan berdasarkan
situasi kultural masyarakat Indonesia. Sehingga ISA atau regulasi apa pun yang dapat berfungsi
sebagai Represive-Preventive Measures tetap dilandaskan kepada nilai-nilai demokrasi yang
mengedepankan
Rules
of
Law
dan
penghargaan
terhadap
Hak
Asasi
Manusia.
Dengan demikian visi pemerintah untuk menanggulangi terorisme sebagai implementasi kewajiban
negara melindungi warganya tidak terjebak kepada suatu tindakan yang mengarah kepada abuse of
power yang dapat menimbulkan terorisme bentuk lain yaitu State Terrorism, dan akan menempatkan
Pemerintah Indonesia sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di mata masyarakat
Internasional. Kasus Timor Timur cukuplah bagi sejarah bangsa ini yang telah menempatkan prajuritprajurit terbaiknya sebagai pesakitan meskipun kita semua tahu bahwa mereka yang duduk sebagai
pesakitan dalam peradilan HAM Timor Timur adalah patriot dari rakyat dan negara ini.
Jika saya dapat berpendapat dalam kesempatan ini, UU No. 15 dan 16 Tahun 2003 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat tetap dijadikan Prime Regulation dalam rangka
menanggulangi Tindak Pidana Terorisme. Prinsip Proprio motu dalam article 15 Rome Statute of the
International Criminal Court dapat dicoba untuk diadopsi dalam UU No. 15 dan 16 Tahun 2003. Di mana
informasi intelijen dapat dijadikan pertimbangan hukum bagi penyidik untuk berinisiatif melakukan
penyidikan terhadap kelompok yang dicurigai yang kemudian diikuti dengan pengujian informasi
tersebut di lembaga peradilan agar informasi tersebut dapat dijadikan bukti materiil dalam rangka
proses penuntutan selanjutnya. Selain dari pada itu sebagaimana pasal tentang makar (aanslag) Pasal
104-108 KUHP maka percobaan (Pasal 53 KUHP) melakukan terorisme dapat ditangkap dan dituntut
sesuai dengan UU No. 15 dan 16 2003. Dalam hal ini pula telah berlaku prinsip Represive-Preventive
sebagaimana yang diinginkan oleh berbagai pihak saat ini.
Kesimpulan
Kita sebagai bangsa yang beradab sepakat bahwa tindak pidana terorisme adalah kejahatan yang
mengancam peradaban umat manusia. Pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana
tersebut harus dilakukan secara serius dan memberdayakan seluruh rakyat dengan tetap mengacu
kepada norma dan etika yang berlaku secara universal. Untuk itu, saya mengajukan usul yang
sederhana saja yakni agar aparat hukum dan keamanan di Indonesia harus melihat dari sisi
internasional aksi terorisme. Pemerintah harus memanfaatkan hukum pidana positif dan berbagai
konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Penulis Kepala Kepolisian Sektor Koja, Jakarta Utara
Download