RABU, 25 NOVEMBER 2015 Trauma akibat Terorisme Meletakan bunga untuk para korban aksi terorisme Oleh F Suryadjaja SERANGANParis pada 13 November 2015 malam di 7 lokasi dalam waktu yang hampir bersamaan menyebabkan 129 korban jiwa dan sedikitnya 340 mengalami luka. Predikat Paris sebagai kota yang aman, santun, dan tertib sekaligus pusat kesenian dan fashion berkelas dunia terkoyak dan warganya dilanda rasa tidak aman dan ketakutan. S etelah Amerika Serikat, Prancis menjadi target serangan oleh kelompok teroris transnasional. Seperti dketahui, Prancis merupakan sekutu Amerika Serikat dalam setiap kali invasi militer di Timur Tengah atau Afrika UItara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Motif terorisme adalah pembalasan atau distraksi. Protes bisu terhadap krisis negara di kawasan tersebut yang berujung pada sebagian penduduk mengungsi di berbagai negara Uni Eropa. Tetapi juga merupakan sejarah Prancis yang terulang. Sementara dari Revolusi Prancis pada tahun 17 Juli 1789, lahir sebutan Le terreur (artinya rezim teror) di mana sedikitnya 40.000 orang dipenggal lantaran antipemerintah. Teror pisau guillotine berakhir dengan dieksekusinya Robespierre, pemimpin rezim teror. Menjelang penyerbuan oleh serdadu Jerman pada awal Perang Dunia II, Prancis mendapat teror dari Jerman yang kala itu dipimpin oleh Adolf Hitler. Tanpa perlawanan yang berarti, Paris jatuh ke tangan Jerman pada 14 Juni 1940. Target teroris biasanya mengarah ke sarana industri pariwisata, seperti hotel, restoran, kafe, gedung konser (diskotik), bahkan kini stadion olahraga (sepakbola). Dengan begitu, popu- laritas kelompok teroris terangkat secara signifikan, lantaran diseminasi lewat media massa. Teror bukanlah masalah atau isu baru, tetapi selalu terjadi berulang. Secara harafiah, teror (nocturnus) merupakan ketakutan yang hebat. Dalam bentuk ungkapan ancaman kematian, maka menyebabkan individu yang diteror mengalami ketakutan (nightmare) dan kecemasan (neurosis). Pada era Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM) menggunakan perang psikologis (psychological warfare) sebagai upaya untuk memperlemah lawan. Gerakan itu kini berkembang menjadi kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia. Lantaran menggunakan senjata api dan bom, maka jumlah korban jiwa pun berjumlah besar. Dari tahun ke tahun, angka kematian meningkat signifikan. Menurut Global Terrorism Index, pada tahun 2013, jumlah korban jiwa terkait serangan terorisme mencapai 18.111 orang, meningkat 61 persen dibanding tahun 2012. Sedangkan tahun 2014, angka kematian akibat aksi terorisme mencapai 32.568 orang. Trauma Fisik-psikologis Teror berupa ketakutan yang hebat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme melanda masyarakat sipil yang tidak mengetahui atau terkait dengan ger- akan terorisme. Lagipula aksi terorisme menyasar pada perasaan takut mencekam yang merupakan salah satu kelemahan manusia. Bentuk bisa intimidasi, ancaman, pembunuhan, penganiayaan, pengrusakan, peledakan, pemboman, pembakaran, penculikan, perkosaan, penyanderaan, dan pembajakan pesawat terbang. Kini, aksi tersebut menjadi aksi transnasional, meskipun mengintimidasi pemerintah suatu negara, namun sasarannya terutama rakyat sipil. Dampak negatif berupa jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, khususnya fasilitas untuk pariwisata . Menurut Silke (2003), korban terorime dibagi menjadi 3 golongan yaitu korban langsung, korban sekunder, korban tidak langsung. Korban langsung, individu yang menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Korban langsung ini mengalami trauma yang paling berat. Mereka juga menyaksikan anggota keluarga atau handai taulan mereka meninggal di tempat, atau terluka ringan hingga parah. Sementara korban sekunder adalah keluarga dari korban langsung serta berbagai tenaga profesional (ahli) yang ikut menangani peritiwa terorisme tersebut. Sedangkan golongan yang ketiga adalah masyarakat yang merasakan dampak sekunder dari peristiwa tersebut. Ketakutan yang timbul pada masyarakat lebih ringan daripada orang yang mengalami secara langsung tindakan brutal dari aksi terorisme. Para korban langsung tentu sulit melupakan peristiwa tersebut dan mengalami berbagai kerugian. Baik terluka ataupun tidak, butuh waktu lama untuk sembuh atau melupakan (koping psikologis). Meskipun dampak psikologis berupa sindrom stres pascatrauma bisa berbeda-beda tiap orang, serangan terorisme menimbulkan kecemasan dan penderitaan secara psikologis yang bisa berlangsung hingga satu tahun setelah kejadian. Tetapi, berat ringannya gejala stres pascatrauma terutama tergantung pada adanya relasi kerabat atau keluarga dengan korban yang meninggal atau terluka parah akibat serangan terorisme, kemampuan koping psikologis, dan pengalaman traumatis yang sebelumnya yang dipandang setara terorisme. Reaksi umum segera setelah kejadian serangan bom, misalnya, adalah rasa ketakutan, gangguan tidur, perasaan tidak percaya, dan tidak berdaya (hopeless). Gejala selanjutnya meliputi perasaan horor, kecemasan, depresi, kebekuan emosional, dan hilangnya perasaan (apatis). Selain itu, juga mengalami mimpi buruk (flashback), sulit konsentrasi, peningkatan ketegangan fisik (hypearousal) sehingga mudah marah, atau menurunnya daya tahan tubuh sehingga menimbulkan masalah kesehatan fisik. Penelitian pada masyarakat Amerika Serikat 2 bulan setelah serangan terorisme pada World Trade Center 11 September 2001, menunjukkan 20 persen responden melaporkan adanya gejala-gejala terkait trauma. Sementara, pada profesional kesehatan mental juga mengalami trauma terkait terorisme dan ketakutan, kelelahan, iritabilitas, stres trauma sekunder (vicarious traumatization). Para profesional ini memerlukan dukungan psikologis untuk perawatan diri dari tenaga profesi lainnya. Pengaruh terorisme pada usia anak bisa berdampak sangat serius pada masa dewasa. Dalam film Hitler : Rise of Evil, Adolf Hitler yang masa kanakkanaknya sebagai anak yang mendapat didikan keras dilandasi kebencian oleh ayahnya, dan menjadi anak tertolak, maka di usia dewasa menimbulkan kehilangan jiwa 6 juta orang Yahudi. (11) — F Suryadjaja adalah dokter pada Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. 0 Pusing yang Berujung pada Kematian DYAH Umiyati Purnamaningrum (41 tahun), pegawai negeri sipil pada Kementerian Perhubungan, meninggal pada 17 November 2015 di sebuah puskesmas di Pasuruan, setelah mengeluh rasa pusing saat mengikuti program pendidikan dan latihan pembinaan mental dan fisik (Bintalsik) di Pusat Latihan Pertempuran Marinir di Grati, Pasuruan. Pusing memiliki makna ganda, bisa sebagai keluhan adanya vertigo, perasaan seperti mau pingsan, atau pening (sakit kepala). Tetapi dalam dunia medis, pusing identik dengan vertigo, suatu sensasi berputar di sekeliling tempat penderita berdiri. Sementara oleh masyarakat umum, pusing sering diidentikkan dengan rasa mau jatuh (puyeng) atau tidak nyaman di kepala. Rasa mau jatuh (istilah medis ‘sinkop’), selain akibat gangguan pada organ saraf khususnya keseimbangan dalam rongga telinga dalam, juga akibat berkurangnya suplai darah ke organ otak. Selain anemia dan tekanan darah rendah, salah satu penyebabnya yang utama timbulnya rasa pusing adalah gangguan fungsi jantung, terutama aritmia jantung. Aritmia dengan irama denyut yang tidak teratur. Seseorang menggambarkan aritmia sebagai denyut yang berhenti sesaat atau beberapa detik dalam rongga dada (skipped beat), atau rasa berdebar-debar yang disebut palpitasi. Sejumlah kasus aritmia dapat menyebabkan jantung berhenti berdetak, sehingga disebut serangan jantung mendadak (sudden cardiac arrest). Aritmia dapat terjadi pada penderita yang mengalami gagal jantung (lemah jantung) atau terhambatnya suplai darah pada otot jantung akibat sumbatan pada arteri koronaria. Aritmia menyebabkan volume darah yang dipompa tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan darah untuk seluruh organ tubuh, termasuk organ otak, sehingga menimbulkan rasa puyeng (pusing), atau rasa melayang. Merupakan risiko kematian atau fatal, bila aritmia menyebabkan denyut jantung berhenti, sehingga terjadi serangan jantung mendadak. Lagipula, pada individu wanita, gejala serangan jantung mendadak sering tidak khas. Kalau pada pria umumnya gejala serangan jantung berupa nyeri pada daerah dada kiri, maka pada wanita gejala nyeri bisa pada dada kanan, rahang kiri, leher kiri, atau bahkan pada ulu hati. Berbeda dengan sakit maag yang menimbulkan rasa perih pada ulu hati, gejala nyeri pada ulu hati akibat serngan jantung mendadak pada wanita adalah perut bagian atas terasa seperti ditindih oleh beban berat. Nyeri ulu hati ini akibat infark miokard pada organ jantung bagian inferior yang letaknya tepat pada daerah ulu hati. Gejala lain penyakit jantung pada wanita adalah rasa mudah lelah. Rasa mudah lelah sehingga hanya mampu melakukan aktivitas fisik yang ringan dan dijumpai pada 70 persen pasien wanita yang menyandang penyakit jantung. Sedangkan gejala sesak napas, berkeringat dingin, mual dan muntah lebih jarang dijumpai. Di Amerika Serikat, satu dari 4 wanita di Amerika Serikat meninggal karena penyakit jantung. Sekitar 64 persen wanita meninggal mendadak karena penyakit jantung koroner tanpa gejala sebelumnya. Hanya 54 persen wanita di Amerika Serikat yang mengetahui bahwa penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu pada wanita. Broken Heart Syndrome Kasus sindrom patah hati (broken heart syndrome) juga disebut stress-induced cardiomyopathy. Dideskrisikan oleh seorang dokter Jepang pada tahun 1991, sehingga diberi sebutan takotsubo cardiomyopathy. Broken heart syndrome merupakan gangguan jantung yang lebih sering dijumpai pada wanita ketimbang pria. Lantaran telah dilatari oleh kardiomiopati atau kelemahan otot jantung, maka stres fisik atau emosional dapat menyebabkan otot jantung berhenti berkontraksi. Sindrom ini sering kali terdiagnosis serangan jantung atau angin duduk, karena memiliki kemiripan gejala dan pemeriksaan penunjang. Tetapi tidak dijumpai penyumbatan arteri koronaria. Tambahan pula, penderita broken heart syndrome tampak sehat-sehat saja sebelum serangan penyakit jantung ini. Gejala utama dari broken heart syndrome adalah sesak napas, dan nyeri dada. Sindrom ini cenderung terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya. Gejala lain berupa, aritmia dan syok kardiogenik. Syok kardiogenik merupakan kondisi di mana jantung secara tiba-tiba tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh, termasuk ke organ otak. Tetapi hasil pemeriksaan elektrokardiografi tidak identik dengan serangan jantung. Tidak ada tanda-tanda penyumbatan pembuluh darah koronaria. Begitu juga, pada pemeriksaan laboratorium darah tidak menunjukkan peningkatan kadar enzim kerusakan otot jantung. Sebagian besar kasus mengalami kesembuhan, tetapi terkadang jiwa pasien tidak tertolong. Seperti pada penyakit jantung koroner, upaya pencegahan penyakit jantung pada wanita berupa pengendalian faktor risiko penyakit jantung pada identik dengan pada pria. Antara lain, mengendalikan atau menjauhkan diri dari diabetes melitus, obesitas, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas fisik. Selain itu, lakukan pemeriksaan berkala kadar gula, kolesterol dan trigliserida darah, konsumsi diet seimbang, kontrol tekanan darah, dan kendalikan stres dengan koping psikologis yang sehat. Sementara aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kebugaran tubuh dan toleransi terhadap rasa mudah lelah. (F Suryadjaja dari berbagai sumber-11). Perubahan Musim dan Kesehatan Anak ANAK-anak sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, menurut pernyataan kebijakan baru dari American Academy of Pediatrics (AAP). Pernyataan tersebut diterbitkan dalam jurnal online Pediatrics, berisi desakan dokteranak pada politisi untuk bekerja sama melindungi anak-anak dari ancaman terkait iklim. Ancaman tersebut meliputi bencana alam, tekanan panas, rendahnya kualitas udara, peningkatan infeksi, dan ancaman terhadap pasokan makanan dan air. “Karena pikiran dan tubuh mereka sedang dalam masa pertumbuhan, anak-anak sangat rentan terhadap perubahan di lingkungan mereka,” kata Dr Samantha Ahdoot, penulis yang memimpin laporan. Ahdoot juga merangkap asisten profesor pediatri di Virginia Commonwealth University School of Medicine, beberapawaktu lalu. AAP, yang mewakili 64.000 dokteranak dan profesional kesehatan lainnya yang mengkhususkan diri dalam merawat anakanak. Mereka juga merilis sebuah laporan teknis yang menunjukkan bukti ilmiah terkait hubungan perubahan iklim dengan masalah kesehatan anak, pengembangan, kesejahteraan dan gizi. “Dokter anak memiliki suara yang unik dan kuat dalamisu ini, karena pengetahuan mereka tentang kesehatan anak dan penyakit, serta peran mereka dalam memastikan kesehatan anak saat ini dan masa depan,” kata Presiden AAP, Sandra G Hassink. Laporan itu menyatakan jika perubahan kondisi cuaca merupakan salah satu penyebab utama trauma pada anak-anak, seperti “mereka mengalami peningkatan risiko cedera, kematian, kehilangan atau perpisahandengan pengasuh, dankonsekuensi kesehatan mental”, kata Ahdoot. Menurut pernyataan itu, ada tiga kali lebih banyak peristiwa cuaca ekstrim antara tahun 2000 dan 2009, dibanding tahun 1980 dengan 1989. Setelah bencana terkait iklim, seperti badai atau banjir, tingginya jumlah anak-anak yang ditemukan menunjukkan gejala gangguan stres post-traumatic. Anak-anak di bawahusiasatu tahun sangat rentan terhadappanas. Menurut AAP, suhumusim panas rata-rata mengalami lebih dari 90% kenaikan hingga suhu tertinggi, tercatat di berbagai daerah pada akhir abad ke-21. Pernyataan itu juga menyebutkan perubahan iklim dapatm enimbulkan ancaman persediaan makanan dan air. Misalnya, peningkatan karbondioksida di atmosfer dapat mempengaruhi kualitas gabah dan menurunkan kadar protein dari gandum danberas. “Sebuah perubahan iklim memiliki berbagai efek pada tanaman, hewan dan sistem alam di mana kesehatan, keselamatan, dan keamananan anak-anak juga bergantung pada individu,” kata Ahdoot. Masalah kesehatan tambahan lainnyamuncul. Menurut World Health Organization (WHO), lebih dari 88% penyakit disebabkan perubahan iklim terjadi pada anak-anak muda di bawah usia lima tahun. Laporan AAP melaporkan banyak penyakit menular yang dipengaruhio leh perubahan iklim, termasuk malaria, demam berdarah, virus West Nile, chikungunya, penyakit Lyme, penyakit diare, meningitis dan demam lembah (koksidioidomikosis) Ini diklaim, misalnya, bahwa pada tahun 2030, terutama di Asia dan sub-Sahara Afrika, perubahan iklim akan menyebabkan kematian lebih dari 48.000 anak di bawah usia 15 tahun karena penyakit diare. Menurut pernyataan itu, ini disebabkan anak-anak berasal dari negara-negara termiskin di dunia, di mana beban penyakit Lindungi anak yang tidak proporsional, akan menjadi yang paling berpengaruh oleh perubahan iklim. Pernyataan AAP menjabarkan rekomendasi untuk dokter anak, sektor kesehatan termasuk pemerintah membangun koalisi yang lebih luas di seluruh disiplin ilmu, untuk mengatasi perubahan iklim, kampanye pendidikan, dan pendanaan system trasportasi umum. (National geographic.co.id -11)