BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi ekonomi di berbagai belahan dunia dewasa ini semakin berkembang pesat, sehingga hampir semua negara memiliki keterbukaan dan ketergantungan yang semakin erat dengan negara lain. Hal ini mengakibatkan peningkatan pertukaran barang dan modal antar negara, baik hubungan perdagangan maupun hubungan ekonomi lainnya. Pergerakan barang dan modal yang relatif bebas tersebut juga berimplikasi pada persaingan global yang semakin ketat. Hal inilah yang menyebabkan hampir semua kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi global sehingga tidak ada lagi negara yang bersifat autarki yaitu terisolasi tanpa mempunyai hubungan ekonomi dan keuangan dengan negara lainnya. Globalisasi ekonomi menuntut negara-negara di dunia untuk saling terbuka dalam berbagai hal terutama di bidang ekonomi dan keuangan sehingga keterbukaan tersebut mendorong terjadinya integrasi ekonomi. Kajian integrasi ekonomi dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ekonom, termasuk integrasi ekonomi di negara-negara ASEAN (Association of South East Asia Nations) yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Fhilipina yang lebih dikenal dengan nama ASEAN 5. Negara ASEAN 5 tumbuh sebagai kawasan integrasi ekonomi yang dipandang oleh negara dunia sebagai pasar potensial dan sumber penyedia kebutuhan dalam negeri bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Dengan begitu, negara-negara ASEAN 5 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau 1 2 suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan asian single market atau pasar tunggal asia (Girardin dan Steinherr, 2008). Pengaruh integrasi ekonomi di ASEAN 5 berdampak pada peningkatan kerjasama ekonomi yang semakin luas sehingga berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara kawasan ASEAN. Beberapa dekade ini pertumbuhan ekonomi ASEAN terus mengalami peningkatan yang mengesankan, sebagaimana ditunjukkan pada periode tahun 1992 - 2012 (Gambar1.1). Perekonomian Malaysia, Singapura, Thailand mencatat prestasi jauh diatas perkiraan, pertumbuhan ekonomi Singapura melesat hingga mencapai 8,8% di tahun 2004 sementara Indonesia dan Fhilipina juga mengalami pertumbuhan walaupun tekesan lambat dengan pertumbuhan masing-masing mencapai 5% dan 6,4%. Thailand misalnya telah mampu meningkatkan perdagangan dengan negara di Asia Timur dengan pertumbuhan rata-rata 5 sampai 10%. Gambar 1.1. : Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN 5 Periode 1992-2012 Sumber : worldbank.com (data diolah 2013) Integrasi ekonomi memiliki peluang dan tantangan tersendiri. Peluang yang dapat diperoleh dari integrasi ekonomi yakni adanya manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong 3 pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan ini pada dasarnya dilandasi oleh alasan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2002). Ekonom terkemuka Mudell (1961) dalam teorinya yang terkenal Optimum Currency Areas (OCA) mengatakan bahwa salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan single currency. Single currency merupakan penyatuan mata uang tunggal negara-negara kawasan sebagai bentuk dari kebijakan moneter yang terintegrasi. Pembentukan mata uang tunggal memiliki manfaaat untuk mengontrol maupun memitigasi gejolak ekonomi negara-negara yang mengadopsi. Menurut Mudell (1961) ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan oleh negara-negara yang ingin mengadopsi mata uang tunggal salah satunya yaitu mempunyai sedikit guncangan (shock) asimetrik atau dengan kata lain memiliki kesamaan guncangan (shock) yang simetris. McKinnon (1963) berpendapat pula bahwa kesamaan guncangan (shock) yang simetris antar negara-negara kawasan yang mengadopsi prinsip-prinsip teori Optimum Currency Areas (OCA) salah satunya dapat dilihat dari kesamaan respon dari nilai tukar (exchange rate). Selain faktor alasan teoritis ada beberapa faktor empiris yang melatarbelakangi pembentukan integrasi ekonomi khususnya ide penyatuan mata uang tunggal pada kawasan ASEAN 5, yang pertama gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan efek penularan (contagion effect) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Peristiwa ini menimbulkan kesadaran dari berbagai pihak mengenai 4 pentingnya memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan Asia sehingga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi krisis pada waktu yang akan datang serta untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Krisis Finansial Asia tahun 1997 silam telah membuat para ahli ekonomi negara-negara ASEAN 5 berpikir untuk membentuk suatu integrasi ekonomi di kawasan ini guna menjaga kestabilan nilai tukar (kurs) jika terjadi guncangan pada negara luar. Krisis ini menyebabkan penurunan output dan standar hidup secara signifikan di negara-negara Asia. Krisis Asia ini menunjukkan bahwa softly peg regime yang rentan krisis tidak sesuai seiring dengan tingginya mobilitas modal sekarang ini. Sistem yang dianggap sesuai pada kondisi saat ini adalah purely flexible rates dan hard peg (Eichengreen 1998). Berdasarkan pandangan tersebut, setiap negara harus memilih salah satu dari dua sistem kurs (two corner bipolar solutions), yaitu sistem kurs mengambang bebas dengan independensi kebijakan moneter dan sistem kurs tetap dengan tidak adanya independensi kebijakan moneter. Purely flexible rates adalah sistem kurs yang membiarkan kurs mata uang suatu negara ditentukan oleh kekuatan pasar, artinya permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut dalam kaitannya dengan mata uang negara lain. Sedangkan hard peg diartikan sebagai suatu sistem mata uang dimana satu negara menetapkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain yang dijadikan sebagai peg atau patokan. Negara yang dijadikan sebagai patokan adalah negara maju atau negara industri besar, seperti Singapura (di kawasan ASEAN) dan Amerika Serikat. Berikut disajikan tabel tentang sistem kurs negara ASEAN secara lengkap. 5 Tabel 1.1. : Sistem Kurs Nagara ASEAN+3 Negara Mata Uang Sistem Kurs Indonesia Rupiah Mengambang Bebas Jepang Yen Mengambang Bebas Fhilipina Peso Mengambang Bebas Kamboja Riel Mengambang Terkendali China Yuan Mengambang Terkendali Korea Selatan Won Mengambang Terkendali Laos Kip Mengambang Terkendali Myanmar Singapura Kyat Mengambang Terkendali Dollar Singapura Mengambang Terkendali Thailand Baht Mengambang Terkendali Vietnam Dong Mengambang Terkendali Malaysia Ringgit Tetap/peg Currency Board/pegged terhadap Dollar Singapura Brunai Dollar Brunai (BRD) Sumber : IMF Annual Report 2007 Faktor kedua yang melatarbelakangi ide pembentukan integrasi ekonomi dan keuangan di kawasan ASEAN 5 adalah kecenderungan bertumbuhnya perdagangan atau arus investasi dan integrasi ekonomi di kawasan ini. Pertumbuhan tersebut telah memicu berkembangnya ide bahwa ASEAN memerlukan suatu mata uang bersama (common currency). Seiring dengan globalisasi di pasar uang dan modal dunia, hampir di semua negara ASEAN aliran masuk dan keluar modal menjadi semakin terbuka. Mundell (1961) berpendapat bahwa currency union dapat memfasilitasi perdagangan internasional dan single medium dari kurs mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan regional. Rezim baru ini akan mendorong arus modal dan investasi, meningkatkan pertumbuhan dan kesempatan kerja, dan mengembangkan performa balance of payment (BOP). Ketiga, keberhasilan Euro. Pengalaman Eropa dalam membangun European Unit of Account (EUA) di awal tahun 1970, kemudian dapat membentuk European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit 6 (ECU) pada tahun 1979, dan membentuk European Monetary Union (EMU) dengan lahirnya mata uang Euro sebagai mata uang regional baru (new single currency) pada Januari 1999, memberikan pelajaran dan pengalaman yang relevan untuk membentuk mata uang bersama. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat negara-negara di kawasan ASEAN berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka. Akan tetapi, proses integrasi ekonomi dengan pembentukan mata uang tunggal mengalami banyak kendala karena besarnya perbedaan struktur ekonomi serta tahapan liberalisasi perdagangan dan keuangan yang menyebabkan tingkat disparitas yang tinggi dalam kemajuan ekonomi dan sistem keuangan antar negara di kawasan ASEAN 5. Dalam kawasan ASEAN 5 masih terdapat kesenjangan antara negara maju dan berkembang. Selain itu, negara ASEAN 5 menerapkan rezim kurs yang berbeda-beda yang menjadi tantangan tersendiri dalam proses penyatuan mata uang tersebut (Kurniati, 2007). Menurut Eun et al. (2012) keragaman rezim kurs ini dapat menyebabkan kegagalan kerjasama dalam menyatuan mata uang tunggal. Perbedaan kebijakan rezim kurs dalam suatu negara yang ingin mangadopsi mata uang tunggal menjadi penghalang dalam proses perdagangan atau barrier of entry. 7 Gambar 1.2. : Indeks Nilai Tukar Nominal Negara-negara ASEAN 5 Sumber : Worldbank (data diolah 2013) Falianty (2006) rezim nilai tukar yang berbeda dalam suatu negara memiliki implikasi respon yang berbeda-beda terhadap gejolak ekonomi luar. Perbedaan itu bisa terlihat dari fluktuatifnya nilai tukar suatu negara. Terlihat dalam Gambar 1.2 bahwa trend perkembangan nilai tukar lima negara ASEAN pada periode Januari 1994 sampai dengan 2013. Rupiah berfluktuasi paling tajam dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Pada pertengahan bulan Juni 1998 kurs rupiah sempat terdepresiasi mencapai Rp 15.000/US$ dari sebelumya yang berada pada nilai Rp 4.650/US$ di bulan Desember 1997. Dapat dilihat bahwa Indonesia mengalami depresiasi kurs tertajam dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut Abimanyu dalam Rusniar (2009) pada awal Januari 1998 nilai Bath telah jatuh 40% Rupiah 80%, Peso 30%, Ringgit 40% terhadap Dolar dari nilai bulan Juli 1997. Dengan melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor dan impor maupun dalam pembayaran hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah sehingga dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang domestik. Nilai tukar yang paling stabil pergerakannya diantar negara ASEAN 5 adalah Dollar Singapura dan Ringgit baik sebelum 8 maupun setelah krisis ekonomi. Otoritas moneter harus menetapkan sebuah kebijakan kurs untuk mengatasi kegagalan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan kurs bersama. Kebijakan ini harus dapat menciptakan stabilitas kurs intra-regional di antara mata uang negara-negara ASEAN 5 (Eun et al., 2012). Berdasarkan teori Optimum Currency Areas (OCA) ide pembentukan single currency di kawasan negara-negara ASEAN 5 dimaksudkan sebagai patokan nilai mata uang bersama yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Nilai tukar (kurs) merupakan salah satu instrumen kebijakan ekonomi yang dapat memberikan sinyal kondisi perikonomian suatu negara (Krugman, 1999). Kestabilan nilai tukar merupakan instrumen penting yang dapat menandakan tingkat kestabilan perekononomian suatu negara. Stabilitas nilai tukar diperlukan untuk menciptakan kepastian usaha dan investasi kawasan yang pada gilirannya akan mempengaruhi arus barang dan jasa lintas batas terutama pada negara-negara yang sangat tergantung pada pasar internasional. Stabilitas nilai tukar kawasan menjadi tujuan jangka panjang sejalan dengan tujuan peningkatan integrasi ekonomi regional secara substansial. Ketidakpastian nilai tukar di kawasan tidak saja akan menghambat arus barang dan jasa tetapi juga arus modal. Dengan semakin tertintegrasinya pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan Internasional dan sejalan dengan diterapkan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997, telah menyebabkan pergerakan nilai tukar Rupiah menjadi rentan akibat pengaruh faktor internal dan eksternal. Nilai tukar yang sangat berfluktuasi sangat menganggu proses bekerjanya kehidupan ekonomi banyak negara yang mata uangnya bebas dipertukarkan dengan mata uang negara lain, apalagi bagi negara dengan tingkat keterbukaan ekonomi dan keuangannya tinggi. 9 Beberapa hasil studi mengenai ide penyatuan mata uang tunggal melalui pendekatan nilai tukar (exchange rate) negara-negara kawasan memiliki kesimpulan yang bervariatif. Partisiwi (2008) menganalisis kemungkinan penyatuan mata uang (currency unification) di ASEAN+3 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Flipina, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan). Menggunakan variabel keragaman nilai tukar dan mengpeg nilai mata uang terhadap Dolar Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN+3 memiliki kecocokan menyandarkan mata uangnya kepada Singapura sebagai leader negara ASEAN dan Jepang sebagai leader di luar negara ASEAN. Artinya untuk khusus negara-negara kawasan ASEAN ada kemungkinan penyatuan mata uangnya didasarkan kepada mata uang Dolar Singapura, sedangkan diluar ASEAN mata uangnya lebih cocok didasarkan kepada mata uang Yen Jepang. Euistina (2007) menganalisis pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar dan tiga mata uang asing di negara Asia Timur serta dianalisis keterkaitannya terhadap IHSG. Variabel yang digunakan yaitu kurs Rupiah terhadap Dollar, Yen, Yuan, Won serta IHSG. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap Dolar terintegrasi dengan tiga mata uang negara Asia Timur (Yen, Yuan dan Won), sehingga jika terjadi pergerakan pada salah satu nilai tukar maka akan direspon dengan pergerakan nilai tukar mata uang lainnya. Sedangkan fluktuasi nilai tukar berpengaruh terhadap IHSG hanya pada periode sebelum krisis saja. Berbeda halnya penelitian yang dilakukan Doddy dan Warjiyo (2010). Penelitian menganalisis tentang faktor dibalik pergerakan bersama (comovement) atas nilai tukar mata uang negara-negara ASEAN 4. Hasil penelitian menyimpulkan co-movement yang teridentifikasi diantara mata uang ASEAN 4 adalah tidak robust yang artinya tidak benar-benar merepresentasikan kemiripan atau kesamaan. Sedangkan kaitannya dengan OCA dalam model bivariat 10 menjelaskan bahwa IDR adalah variabel terikat (IDR-SGD, IDR-PHP dan IDRTHB) dan model bivariat yang lain yakni, (SGD-PHP, SGD-THB dan PHP-THB). Sehingga dapat dikesimpulkan bahwa untuk membentuk mata uang tunggal hanya bisa beberapa mata uang saja. Penelitian Doddy dan Warjiyo (2010) sejalan dengan hasil penelitian Bagus dan Dwi (2010), yang menganalisis tentang hubungan Exchange Rate Volatility ERV (volatilitas nilai tukar) terhadap criteria OCA. Peneliti ingin melihat guncangan yang mampu menjelaskan keterlibatan dari ERV terhadap kesesuaian syarat daripada OCA. Variabel penelitiannya adalah krus nominal dari mata uang negara ASEAN 5+3 terhadap dolar yaitu Yuan/SD, Yen/SD, Won/SD, RM/SD, Bath/ SD, Peso/SD, dan Rp/SD. Hasil penelitian bahwa ASEAN 5+3 dianggap tidak benar-benar siap untuk membentuk kawasan single currency. Dengan paparan di atas dan perbedaan hasil dari para peneliti terdahulu mendorong peneliti ingin mencoba menggali penelitian baru dengan melihat pergerakan nilai tukar antar negara-negara ASEAN 5 dengan memberikan tambahan perbandingan analisis jiika nilai tukar didasarkan (peg) terhadap dua negara maju yakni Singapura dan Amerika Serikat. Serta peneliti ingin mengkaitkan pergerakan nilai tukar mata uang negara ASEAN 5 menjadi kesesuaian prasyarat sebagai kriteria penyatuan mata uang tunggal (single currency). Menurut Bayoumi dan Eichengreen (1997) menyebutkan bahwa kestabilan nilai tukar mata uang akan menjadi kriteria bahwa negara tersebut mengindikasikan tingkat intergrasi ekonomi yang tinggi. Sejalan dengan teori Optimum Currency Area (OCA) Mundell (1967) negara-negara sebagai persayaratan OCA akan mampu memperkecil guncangan (shock) nilai tukar (fluktuasi) jika nilai harga dan upah sangat fleksibel. Oleh karena itu, peneliti memilih topik penelitian dengan judul: “Studi Optimum Currency Area Pada ASEAN 5 Melalui Pendekatan Nilai Tukar” 11 1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latarbelakang di atas pembentukan ide mata uang tunggal pada kawasan ASEAN 5 bersumber dari ide memitigasi resiko goncangan (shock) ekonomi yang ditimbulkan negara lain dengan melihat pendekatan dari nilai tukar kawasan. Sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki hubungan ekonomi dengan negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Hubungan ekonomi dan keuangan melalui perdagangan bilateral maupun internasional negara-negara ASEAN 5 lebih banyak terikat dengan negara-negara maju yakni Singapura dan Amerika Serikat. Singapura dan Amerika merupakan negara industri dan jasa yang berperan sebagai eksportir barang tersebar terhadap negara ASEAN 5. Dengan demikian nilai tukar negara-negara ASEAN 5 kurang lebih banyak dipengaruhi atau mengikuti pergerakan nilai tukar kedua negara tersebut. Untuk itu penelitian ini mempunyai 5 (lima) pokok permasalahan yang harus dipaparkan terlebih dahulu, yaitu: 1. Bagaimanakah respon nilai tukar Rupiah terhadap guncangan nilai tukar negara ASEAN lain (Ringgit, Peso, dan Baht yang berdasarkan base country Singapura ? 2. Bagaimanakah respon nilai tukar negara ASEAN 5 (Ringgit, Peso, Bath dan Dolar Singapura) terhadap guncangan nilai tukar Rupiah yang berdasarkan base country Singapura ? 3. Bagaimanakah respon nilai tukar Rupiah terhadap guncangan nilai tukar negara ASEAN 5 lain (Ringgit, Peso, dan Baht) yang berdasarkan base country Amerika ? 4. Bagaimanakah respon nilai tukar negara ASEAN 5 (Ringgit, Peso, Bath dan Dolar Singapura) terhadap guncangan nilai tukar Rupiah yang berdasarkan base country Amerika ? 12 5. Apakah terdapat kemungkinan penyatuan mata uang tunggal (single currency antar negara-negara ASEAN 5 (optimum currency area) ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui respon nilai tukar Rupiah terhadap guncangan nilai tukar negara ASEAN lain (Ringgit, Peso, dan Baht) yang berdasarkan base country Singapura. 2. Untuk mengetahui respon nilai tukar negara ASEAN 5 (Ringgit, Peso, Bath dan Dolar Singapura) terhadap guncangan nilai tukar yang berdasarkan base country Singapura. 3. Untuk mengetahui respon nilai tukar Rupiah terhadap guncangan nilai tukar negara ASEAN 5 lain (Ringgit, Peso, dan Baht) yang berdasarkan base country Amerika. 4. Untuk mengetahui respon nilai tukar negara ASEAN 5 (Ringgit, Peso, Bath dan Dolar Singapura) terhadap guncangan nilai tukar Rupiah yang berdasarkan base country Amerika. 5. Untuk mengetahui kemungkinan penyatuan mata uang tunggal (single currency antar negara-negara ASEAN 5 (optimum currency area). 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari adanya penelitian yang dilakukan, yaitu sebagai berikut: 1. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa pengetahuan wawasan dan pemahaman khususnya yang berkenaan dengan Economic Integration dan nilai tukar pada penilai terhadap mata uang tunggal (Single 13 Currency). Selain itu, diharapkan mampu melatih kemampuan analisis dan menjadi sarana untuk mempraktikan teori yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Bagi Penelitian selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti tambahan terhadap penelitian sebelumnya mengenai kecocokan Negara-negara ASEAN terhadap isu penyatuan mata uang, serta bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya serta menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.