II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Deskripsi Itik Itik di Indonesia merupakan keturunan dari itik Indian Runner yang mampu bertelur hingga 300 butir per tahun dengan kondisi peternakan (intensif), dengan berat telur rata-rata 65-70gram per butir (Rasyaf, 1993). Indonesia memiliki berbagai bangsa itik lokal yang telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan dimana mereka dikembangkan dan dinamakan berdasarkan letak geografis asalnya. Itik lokal merupakan itik domestikasi dan telah beradaptasi dengan lingkungannya. Beberapa jenis itik lokal yang diberi nama sesuai lokasinya memiliki ciri morfologi yang khas, seperti itik Alabio, Bali, Cihateup, Mojosari, Tegal, Lombok, Rambon, dan Magelang (Prasetyo dkk., 2004). Itik memiliki kelebihan dibanding ternak unggas lainnya. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), kelebihan itik antara lain: a. Itik mampu mempertahankan produksi lebih lama dibanding ayam sehingga dapat mengurangi biaya penggantian itik setiap tahunnya. b. Pada sistem pemeliharaan sederhana, itik mampu berproduksi dengan baik (itik gembala yang dipelihara disawah dengan kandang sederhana dari bambu dan sebagian ditutup atap jerami mampu berproduksi dengan baik). c. Angka kematian (mortalitas) itik pada umumnya rendah, sehingga itik dikenal sebagai unggas yang tahan terhadap penyakit. d. Itik bertelur pada pagi hari sehingga pengumpulan telur hanya dilakukan satu kali. e. Itik dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Klasifikasi itik Menurut Campbell dan Lack (1985) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal Subkingdom : Metazoa Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Anseriformes Family : Anasidae Genus : Anas Spesies : Anas javanica 1.1.1 Itik Cihateup Itik Cihateup berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Itik ini hidup pada ketinggian 378 meter diatas permukaan laut yang merupakan dataran tinggi, sehingga daya adaptasi terhadap lingkungan dingin cukup baik (Wulandari, 2005). Itik Cihateup memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan itik Rambon. Walaupun hampir sama, itik Cihateup dan Itik Rambon berbeda dari bentuk mata, kaki, dan warna bulu. Mata itik Cihateup lebih bulat dan tidak kecil seperti mata itik Rambon, kaki itik Cihateup lebih panjang dari itik Rambon dan warna bulu itik Cihateup lebih terang daripada itik Rambon yang kusam (Wahid, 2003). Itik Cihateup merupakan komoditas ternak unggas lokal yang sangat potensial sebagai penghasil telur dari Tasikmalaya. Perannya dalam menunjang perekonomian petani cukup besar, karena produktivitasnya sangat tinggi yakni rataan produksi telur 290 butir per ekor per tahun, tingkat kematian dewasa sekitar 2-5%, dan berdaya adaptasi dengan kondisi lingkungan agraris cukup tinggi (Dudi, 2007). 1.2 Glukosa Glukosa darah merupakan metabolit utama yang berkaitan erat dengan kelangsungan pasokan energi untuk pelaksanaan fungsi fisiologis dan biokimia dalam tubuh (Hernawan dkk, 2012 dalam Utari dkk., 2013). Kadar glukosa darah diatur agar selalu berada dalam kondisi stabil dalam tubuh melalui proses homeostasis (Adisuworjo dkk, 2001 dalam Utari dkk., 2013), proses ini melibatkan sumber lain glukosa dalam tubuh seperti glikogen, asam-asam lemak, dan asam amino. Glukosa darah didapatkan dari sumber makanan yang utamanya berasal dari karbohidrat dan sumber makanan lainnya seperti protein dan lemak (Widodo, 2006 dalam Utari dkk., 2013). Glukosa merupakan bahan bakar utama pada hampir semua organisme. Glukosa dapat dengan cepat diperoleh dari cadangan energi yaitu glikogen jika sel sewaktu-waktu memerlukan energi. Untuk memperoleh energi tersebut, glukosa perlu dipecah dengan cara glikolisis. Glikolisis merupakan suatu proses penguraian molekul glukosa yang memiliki 6 atom karbon, secara enzimatik, untuk menghasilkan 2 asam piruvat yang memiliki 3 karbon. Selama reaksi-reaksi glikolisis yang berurutan, banyak energi yang dihasilkan dalam bentuk ATP (Lehninger, 1982). Mekanisme yang dipakai dalam pengaturan kadar glukosa darah melibatkan berbagai peran sebagai berikut (Guyton, 2006): 1. Pengaturan kadar glukosa darah sangat tergantung pada keberadaan penyimpanan glikogen di hati. Jika kadar glukosa darah rendah, glikogen di hati akan dipecah menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis dan kemudian mengalir di darah untuk dikirim ke otot rangka dan organ lain yang membutuhkannya, dan jika kadar glukosa darah tinggi glukosa akan diserap oleh jaringan oleh bantuan hormon insulin. 2. Peran insulin dan glukagon adalah sebagai system pengatur umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah agar normal. Bila konsentrasi glukosa darah meningkat tinggi, maka timbul sekresi insulin, insulin selanjutnya akan mengurangi konsentrasi glukosa darah agar kembali ke nilai normal. 1.3 Kreatinin Kreatinin adalah produk masa otot yang merupakan hasil pemecahan keratin phosphate (Meyer dan Harvey, 2003). Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari keratin. Kreatin secara umum diproduksi tubuh dalam jumlah yang tetap dan dilepaskan ke dalam darah. Kreatinin di filtrasi oleh glomerulus di dalam ginjal dan jika terdapat gangguan pada fungsi filtrasi ginjal maka kadar kreatinin dalam darah akan meningkat dan kenaikan ini dapat digunakan sebagai indikator gangguan fungsi ginjal dan dapat digunakan sebagai petunjuk rendahnya kemampuan filtrasi glomerulus (Baron, 1992; Levey dkk 1999; dan Levey, 2004). Peredaran kreatin dikeluarkan dari darah oleh ginjal. Ginjal hampir tidak sama sekali melakukan reabsorpsi kreatinin. Kadar kreatinin dalam darah akan tinggi jika filtrasi yang diakukan glomerulus berkurang (Putri, 2015). Menurut Lehniger (1982), fosfokreatin berperan sebagai bentuk cadangan sementara gugus fosfat berenergi tinggi. Fosfokreatin (disebut juga kreatinin fosfat) memiliki bagi hidrolisis ATP. Fosfokreatin dapat memindahkan gugus fosfatnya kepada ATP, dalam suatu reaksi yang dikatalis oleh enzim kreatin kinase. Fosfokreatin + ADP kreatin + ATP Fosfokreatin mempunyai fungsi yaitu mempertahankan konsentrasi ATP didalam sel otot pada tingkatan yang tetap, terutama pada otot kerangka yang harus melakukan kerja berselang-seling dan terkadang kerja keras pada kecepatan tinggi. Jika sebagian ATP pada otot dipergunakan untuk kontraksi, terjadi pembentukan ADP melalui kerja keratin kinase, fosfokreatin dengan cepat memberikan gugus fosfatnya ke ADP untuk mengembalikan tingkat normal ATP. Karena kandungan fosfokreatin otot kira-kira 3 sampai 4 kali lebih besar dari kandungan ATP, senyawa ini dapat menyimpan gugus fosfat dalam jumlah cukup untuk mempertahankan tingkat ATP supaya tetap selama selang waktu yang singkat pada aktivitas intensif ini (Putri, 2015). Pembentukan kreatinin dari kreatin fosfat berlangsung secara konstan. Berikut ini adalah proses pembentukan kreatinin pada ilustrasi 1. Ilustrasi 1. Proses Pembentukan Kreatin Kreatin fosfat merupakan simpanan energi pertama yang digunakan pada awal aktivitas kontraktil seperti ATP, kreatin fosfat mengandung sebuah gugus fosfat berenergi tinggi, yang dapat diberikan secara langsung ke ADP untuk membentuk ATP. Reaksi ini yang dikatalis oleh enzim sel otot kreatin kinase bersifat reversible, energi dan fosfat dari ATP dapat dipindahkan kreatin untuk membentuk kreatin fosfat. Ketika cadangan energi bertambah pada otot yang beristirahat, peningkatan konsentrasi ATP cenderung menyebabkan pemindahan gugus fosfat berenergi tinggi ke kreatin fosfat, sesuai dengan hukum aksi massa. Sebagian besar energi di dalam otot tersimpan dalam bentuk kreatin fosfat (Sherwood, 2001). Jalur metabolisme kreatin tampak sederhana, namun sebenarnya pada sebagian besar jaringan mengalami kekurangan enzim yang diperlukan, sehingga mengharuskan pengangkutan antar jaringan melalui darah untuk memungkinkan seluruh kaskade reaksi untuk melanjutkan. Sebagian kreatin akan mengalami refosforilasi kembali menjadi kreatin fosfat dan sebagian lagi akan mengalami degradasi menjadi kreatinin (Marks, 2000). 1.4 Kitosan Iradiasi Kitosan merupakan polimer karbohidrat yang diturunkan dari deasetilasi kitin yang merupakan biopolimer alami yang berlimpah setelah selulosa (No H.K, 2007). Kitin merupakan penyusun utama eksokeleton dari hewan air golongan crustacea seperti kepiting dan udang. Kulit udang mengandung protein (25%40%), kalsium karbonat (45%-50%), dan kitin (15%-20%), besarnya kandungan tersebut tergantung dari jenis udang. Kitosan merupakan polimer rantai panjang glukosamin dengan rumus molekul (C6H11NO4)n. Kitin dan kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa. Perbedaannya terletak pada posisi C2 dimana pada kitin posisi C2 adalah gugus asetamida, sedangkan pada kitosan posisi C2 adalah gugus amina (Kim, 2011). Ilustrasi 2. Perbedaan Struktur Kimia Kitin dan Kitosan (Kim, 2011). Kitosan dibentuk melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku. Deasetilasi untuk menghilangkan gugus asetil (Kim, 2011). Menurut Dutta (2004), kitosan mempunyai karakteristik kimia dan biologi sebagai berikut: Karakteristik kimia: 1. Memiliki gugus amino reaktif 2. Memiliki gugus hidroksil reaktif 3. Mampu mengkelar logam-logam transisi Karakteristik biologi: 1. Biokompatibel (polimer alami, biodegradabel didalam tubuh manusia, aman, dan tidak toksik) 2. Mampu berikatan dengan sel mamalia dan mikroba dengan kuat 3. Mempercepat pembentukan osteoblas yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang 4. Hemostatik 5. Fungistatik dan spermisid 6. Antitumor dan antikolesterol 1.5 Perubahan Metabolisme pada Tubuh Itik Itik pada umumnya memiliki tingkah laku atau terbiasa berenang di dalam kolam air maupun di sawah. Itik senang dekat dengan air dikarenakan itik merupakan unggas air yang cara melepaskan panasnya dengan cara membasahi tubuhnya, ini adalah cara itik berevaporasi dengan panas dalam tubuhnya dengan cara konveksi dalam kolam air. Sistem pemeliharaan yang masih dipergunakan saat ini pada umumnya yaitu dengan cara tradisional yaitu itik dipelihara secara intensif serta dilengkapi dengan kolam air (Prasetyo, 2007). Kebiasaan itik dengan cara membasahi tubuhnya dengan cara berenang dalam kolam air menyebabkan kondisi fisiologik pada itik dalam kondisi tidak adanya kolam untuk berenang (minim air) menyebabkan itik mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya. Akibatnya, ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stressor lain yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh ternak yang dapat menimbulkan radikal bebas yang diakibatkan dari stres karena tidak cukupnya ketersediaan antioksidan yang ada dalam tubuh itik (Ewing dkk., 1999). Cekaman lingkungan menyebabkan meningkatnya ACTH yang menyebabkan korteks adrenal meningkatkan sekresi glukokortikoid (Von Borell, 2001;Hardydkk., 2005; Garriga dkk., 2006). Menurut Abbas (2009) bahwa meningkatnya glukokortikoid menyebabkan naiknya metabolisme protein dan glukoneogenesis, karena perlu segera menyediakan substrat energi untuk proses thermoregulasi dan homeostasis. Laju glikogenolisis ini terjadi dalam tubuh karena kadar glukosa dalam tubuh sudah mulai kekurangan akibat berbagai aktivitas baik dalam maupun luar tubuh. Glikogenolisis terjadi jika asupan makanan tidak cukup memenuhi energi yang dibutuhkan tubuh sehingga untuk mendapatkan energi tubuh mengambil alternatif lain yaitu dengan menggunakan simpanan glikogen yang terdapat dalam hati atau otot karena darah ingin segera membutuhkan energi. Laju glikogenolisis merupakan reaksi hidrolisis glikogen menjadi glukosa, perubahan glikogen menjadi sumber energi merupakan proses katabolisme cadangan sumber energi. Enzim utama yang berperan dalam glikogenolisis ini adalah glikogen fosforilase. Suatu proses hidrolisa glikogen sel posporolitik di dalam saluran gastrointestinal (disitosol). Didalam dinding sel terdapat reseptor yang disebut reseptor Prot-G-terkopol yang mengaktifkan second messenger yang berada di membrane sel yang di sebut adenily cyclise. Adenily cyclise ini mengaktifkan ATP dariADP, mengaktifkan protein kinase yang tidak aktif menjadi protein kinase aktif, kemudian mengaktifkan glikogen menjadi glukosa6-phosfat lalu mengubah glukosa-6-phosfat menjadi glukosa-3-phossfat kemudian menjadi glukosa (Mushawwir, 2014), yang berbeda dalam proses glikogenolisis dihati dan otot adalah hormone yang terlibat yaitu glukagon. Bila dihati terjadi konsentrasi gula darah menurun, maka glucagon diproduksi tinggi di sel, maka glikogen hati akan didegradasi akibatnya glukosa darah normal kembali.