Kelembagaan Desa dan Rekonstruksi pengelolaan

advertisement
 Kelembagaan Desa dan Rekonstruksi
pengelolaan Kawasan Hulu DAS
Ciliwung, Kabupaten Bogor.
Thomas Oni Veriasa (H152150031)
Program Studi Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD)
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
Pendahuluan
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur
(Jabodetabekpunjur) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008,
merupakan kawasan strategis nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan
sebagai kedaulatan negara, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Selain sebagai kawasan strategis nasional, kawasan Puncak juga merupakan
destinasi wisata internasional. Sebagai destinasi wisata internasional, kawasan ini
erat kaitannya dengan alih fungsi lahan dan pembangunan fisik yang masif serta
tidak terkontrol sehingga menyebabkan berkurangnya tutupan hutan sebagai
daerah resapan air. Data P4W-LPPM IPB dan Forest Watch Indonesia (FWI)
menyebutkan kawasan Puncak sebagai hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ciliwung, pada tahun 2013 menyisakan hutan alam seluas 2.684 ha atau hanya
7% dari total luasnya yang berperan sebagai penjaga keseimbangan ekologi untuk
resapan air dan penyeimbang iklim mikro bagi kawasan strategis nasional.
Padahal hutan yang tersisa adalah kawasan lindung yang penting untuk
mengendalikan bencana banjir dan kekeringan yang berdampak ke hilir di
Kab.Bogor dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Jakarta. Akibatnya bisa
dilihat pada kejadian banjir tahun 2002 dan 2007 dimana total curah hujan yang
tidak mampu diresapkan sebesar 62,3% sehingga menghasilkan debit maksimum
hingga 525 meter kubik per detik. Selain itu, di sisi lain pemerintah dianggap
belum konsisten melaksanakan sejumlah aturan hukum yang terkait dengan
pengelolaan sungai, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38/2011 tentang
Sungai dan PP nomor 26/2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang
mengatur pengelolaan sungai, termasuk sempadan sungai. (Sigit, 2015: Online)
Dampak sosial budaya yang ditimbulkan akibat dari kerusakan lingkungan
dan kegiatan pariwisata adalah hilangnya martabat dan budaya lokal akibat
budaya-budaya negatif dari luar, masyarakat tidak memiliki hak terhadap
pengelolaan lahan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan di
sekitar mereka. Alih fungsi penggunaan lahan yang terjadi banyak disebabkan
oleh pembangunan villa, resort, dan pemukiman baik yang legal maupun ilegal di
kawasan lindung daerah Puncak. (Rahmawati, 2015: Online)
Kelembagaan Desa: Peluang Rekonstruksi Pengelolaan Kawasan Hulu DAS
Ciliwung
Lahirnya UU no 6 tahun 2014 tentang Desa, merupakan rangkaian proses
yang panjang dan penuh lika-liku dari upaya reformasi di Indonesia. Gerakangerakan untuk merubah paradigma kebijakan yang sentralistik dengan kebijakan
yang desentralistik semakin terus menguat sejak lahirnya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, digantikan lagi dengan UU 23 tahun
2014 tentang pemerintahan daerah serta direvisi 2 (dua) kali melalui UU no
9/2015. Undang-Undang ini menegaskan bahwa pelibatan aktif masyarakat mulai
dari tingkat desa di dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah mutlak
diperlukan.
Gagasan-gagasan tentang otonomi desa ini terus bergulir dan semakin
menguat sehingga dirasa perlu untuk membuat Undang-Undang tentang desa
secara tersendiri. Butuh waktu 16 tahun bagi pemerintah untuk mengakui bahwa
desa merupakan bagian yang penting dalam proses pembangunan nasional.
Sesuai dengan amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, tujuan pembangunan
desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana desa, membangun potensi ekonomi lokal,
serta pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Undang-undang Desa ini dipandang sebagai peluang untuk mewujudkan
proses-proses partisipatif dalam pengelolaan di kawasan hulu DAS Ciliwung.
Keterlibatan kelembagaan desa dalam pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung
juga telah diatur dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, pasal 67 ayat 1 (b)
yang berbunyi “desa berhak menetapkan dan mengelola kelembagaan desa”. Pada
pasal 81 ayat 3 djuga dijelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan desa
dilaksanakan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa.
Upaya penyelamatan dan pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung perlu
segera dilakukan. Sebuah rekonstruksi di dalam pengelolaannya perlu dilakukan
dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat melalui kelembagaan desa
sebagai motor penggeraknya. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan
pengelolaan kawasan menjadi sangat penting karena masyarakat tersebut
merupakan benteng terakhir bagi kelangsungan keberadaan kawasan hulu DAS
Ciliwung dari kerusakan yang masif saat ini.
Rencana pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung berbasis masyarakat
idealnya disinergikan dengan perencanaan daerah sehingga tidak terjadi lagi
inkonsistensi kebijakan tata guna lahan di kawasan tersebut.
Desain Proses Partisipatif: Sebuah Gagasan
Dari berbagai permasalahan yang terjadi di kawasan Hulu DAS Ciliwung
terdapat 3 (tiga) permasalahan utama yang mengemuka yang perlu segera di
selesaikan yaitu 1) kurangnya kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam
pengelolaan kawasan. 2) tidak adanya lembaga desa yang secara khusus bertugas
menjaga dan mengelola kawasan. 3) Tidak adanya sinergi kebijakan diantara para
pemangku kepentingan dan kemitraan dengan masyarakat didalam mendorong
tegaknya hukum dalam pengelolaan kawasan Puncak.
Permasalahan ini muncul sebagai akibat lemahnya modal sosial (social
capital) masyarakat dan tidak adanya kolaborasi dari pemangku kepentingan
untuk menyelesaikan permasalahan di kawasan Hulu DAS Ciliwung. Uphoff di
dalam Yustika (2013:140) mendefinisikan modal sosial sebagai akumulasi dari
beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya kelembagaan dan aset tak
terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama. Modal sosial baru
terasa bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur
sosial (Yustika, 2013). Sedangkan kolaborasi adalah proses partisipatif melalui
kerja bersama diantara pemangku kepentingan untuk mencapai hasil yang
diinginkan bersama (Hogue, 1993).
Tiga tahapan penting (Gambar 1) yang perlu dilakukan untuk mencapai
tujuan dari rekonstruksi pengelolaan kawasan Hulu DAS Ciliwung adalah 1)
Rekonstruksi dan penguatan modal sosial (Social Capital), 2) Penguatan kapasitas
kelembagaan desa, 3) Inisiasi kolaborasi pengelolaan dengan pemangku
kepentingan di kawasan hulu DAS Ciliwung.
Ciliwung Upstream
Area Level
Village
Level
Reconstruction
of Social
Capital
Kampung Level
Gambar 1. Tahapan Rekonstruksi Pengelolaan Kawasan Hulu DAS Ciliwung
Rekonstruksi dan penguatan modal sosial (social capital) masyarakat
menjadi pra syarat utama yang harus dikondisikan. Agar masyarakat memiliki
modal sosial yang kuat dan mampu mengelola kawasan hulu DAS Ciliwung maka
perlu serangkaian kegiatan penyadaran dan pelibatan aktif masyarakat di dalam
penyelamatan dan pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung. Kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan melalui metode partisipatif dengan cara pengkajian perdesaan
secara cepat (Rapid Rural Appraisal /RRA) dan pengkajian perdesaan secara
partisipatif (Participatory Rural Appraisal /PRA) dimana masyarakat dilibatkan
dalam berbagai tahap, yaitu mengumpulkan, mengkategorikan masalah, dan
menganalisanya dan menemukan solusinya (Chambers, 1992.). Beberapa teknik
lain yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) dan konsultasi
publik. Setiap tahapan dalam kegiatan ini merupakan upaya penyadaran bertahap
bagi masyarakat dan upaya membangkitkan nilai-nilai sosial seperti gotong
royong dan kerjasama masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan melalui RRA/PRA dalam kegiatan ini lebih
menekankan kepada basis wilayah dibandingkan isu. Pendekatan berbasis isu
yang selama ini sering dilakukan, kurang mampu menyelesaikan masalah
terutama karena informasinya yang terbatas akibat tidak dilibatkannya seluruh
pihak, yang kemudian bisa menimbulkan kecemburuan. (Baehaqie, 2004).
Penguatan kapasitas kelembagaan desa di mulai dengan melibatkan
pemerintah desa dan lembaga desa lainnya didalam proses perencanaan
partisipatif mengenai pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung yang ada di
wilayah desa mereka. Proses perencanaan merupakan suatu proses yang
berkesinambungan yang mencangkup keputusan- keputusan atau pilihan – pilihan
berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan – tujuan
tertentu pada masa yang akan datang (Conyers & Hills , 1984). Perencanaan
Partisipatif Pengelolaan Kawasan Hulu DAS Ciliwung ini harus dibangun
berdasarkan logika dan struktur dari proses perencanaan strategis. Logika dari
perencanaan strategis adalah mengembangkan visi menjadi tindakan yang spesifik
dan rencana-rencana aksinya. Proses tersebut menghubungkan visi, misi, tujuan
dan tindakan ke dalam logika dan struktur yang saling berhubungan ( Frank and
Smith, 1999) .
Proses perencanaan sendiri akan menggunakan analisis SWOT atau analisis
situasi. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats)
(Rangkuti, 1997).
Proses-proses perencanaan partisipatif dilakukan berjenjang mulai dari
tingkat dusun/kampung sampai tingkat desa. Kajian partisipatif dan kajian
teknokratik (akademik) serta pemetaan kawasan dilakukan sebagai data dasar
perencanaan. Perencanaan pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung disusun oleh
masyarakat dengan melibatkan para pihak terkait akan menghasilkan sebuah
dokumen rencana strategis pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung di level
desa. Proses ini juga akan memunculkan kebutuhan terhadap sebuah
kelembagaan desa yang akan mengawal implementasi rencana-rencana tersebut.
Dengan berbekal dokumen rencana pengelolaan kawasan Hulu DAS
Ciliwung, masyarakat melalui lembaga desa yang dimandatkan akan melakukan
serangkaian kegiatan konsultasi multipihak melalui koordinasi dan komunikasi
intensif dengan pihak-pihak terkait agar tujuan sinergi kebijakan pengelolaan
ditingkat lokal dan regional (daerah) dapat tercapai. Dari proses ini juga
masyarakat bersama pihak terkait diharapkan dapat mendorong penegakan hukum
atas pelanggaran yang terjadi di wilayah hulu DAS Ciliwung.
Penutup
Pendekatan yang digunakan dalam rekonstruksi pengelolaan kawasan hulu
DAS Ciliwung adalah pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan
partisipatif digunakan agar masyarakat dapat menjadi pelaku utama di dalam
pengelolaan kawasan. Pendekatan ini juga untuk menaikkan posisi tawar
masyarakat ketika akan bersinergi dengan pemangku kepengtingan (stake holder)
lainnya. Pendekatan kolaboratif digunakan untuk mensinergikan kebijakan
pengelolaan kawasan di antara pemangku kepentingan terkait dan menempatkan
posisi masyarakat (kelembagaan desa) menjadi setara di dalam pengelolaan
kawasan hulu DAS Ciliwung, kabupaten Bogor.
Rekonstruksi pengelolaan kawasan hulu DAS Ciliwung dengan melibatkan
lembaga desa di dalam pengelolaannya memiliki target-target perubahan.
Perubahan besar yang diharapkan adalah meningkatnya kesadaran dan
keterlibatan aktif masyarakat melalui kelembagaan desa untuk mengelola kawasan
hulu DAS Ciliwung. Sehingga masyarakat memiliki fungsi kontrol terhadap
tindakan negatif pada kelangsungan kawasan hulu DAS Ciliwung. Dengan
demikian laju perubahan fungsi lahan yang mengganggu kawasan tersebut dapat
di tekan semaksimal mungkin dan upaya merehabilitasinya dapat dilakukan secara
efisien dan efektif. Hal ini akan meningkatkan daya dukung kawasan hulu DAS
Ciliwung, kabupaten Bogor sehingga berdampak positif bagi daerah hulu dan
daerah hilir (DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok).
DAFTAR PUSTAKA
Baehaqie, Ahmad. 2004. Penilaian Pembangunan Secara Partisipatif di Desa
Dan Kelurahan. Tesis pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah Dan Perdesaan , Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor:
Tidak diterbitkan.
Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory.
Institute of Development Studies Discussion Paper 311. Sussex: HELP.
Conyers, Diana and Peter Hills. 1984. An Introduction to Planning in the Third
World. New York. John Wiley and Sons.
Frank, Flo and Anne Smith. 1999. The Community Development Handbook: A
Tool To Build Community Capacity. Canada. Minister of Public Works and
Government Services Canada.
Hogue, Teresa. (1993). Community Based Collaboration: Community Wellness
Multiplied. Oregon State University. Oregon Center for Community
Leadership.
Rahmawati, Laily (2015, 23 April). Vila-vila bekas bongkar di Puncak dibangun
kembali. [online]. Tersedia: http://www.antaranews.com/berita/492388/vilavila-bekas-bongkar-di-puncak-dibangun-kembali. [Januari 2016]
Rangkuti, Freddy. 1997.Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus BisnisReorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang. Bekasi,
Puncak, Cianjur.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 43 tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 tahun 2014
tentang Desa.
Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2015. Undang-undang No 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Sigit, Ridzki (2015, 20 November). Keberhasilan Pengelolaan Ciliwung
Tergantung Restorasi di Wilayah Hulu. [online]. Tersedia :
http://www.mongabay.co.id/2015/11/20/pengelolaan-ciliwung-tergantungkeberhasilan-restorasi-sungai-di-wilayah-hulu/ [21 Januari 2016.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan
Kebijakan. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Download