POLITIK PENGELOLAAN DAS Effendi Pasandaran1, Nono Sutrisno2 dan Suherman2 1) 2) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Salah satu pertanyaan yang mengusik terkait pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) adalah: ”Mengapa diperlukan pembahasan politik pengelolaan Daerah Aliran Sungai?” Sejak beberapa abad terakhir terjadi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk berbagai kepentingan termasuk investasi di bidang perkebunan dan untuk mendukung ketersediaan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada tahap awal sumber daya yang tersedia seperti lahan dan air masih berlebihan dan memungkinkan terjadinya perluasan pemanfaatan. Pada tahap tersebut dibangun prasarana sumber daya air untuk keperluan irigasi, domestik, dan industri. Perkembangan ekonomi yang pesat memerlukan pertambahan prasarana yang dibutuhkan seiring dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap lahan dan air. Pada tahap selanjutnya ketersedian lahan dan air semakin terbatas menyebabkan munculnya konflik-konflik dalam pemanfaatan lahan dan air. Perkembangan pemanfaatan sumber daya lahan dan air di Indonesia sudah tampak sejak pertengahan abad 19 dengan dimulainya gelombang pertama pembangunan irigasi oleh pemerintah kolonial yang berlangsung selama kurang lebih satu abad (Vlughter, 1949). Pembangunan sumber daya air gelombang kedua dalam lingkup lebih luas dimulai oleh pemerintah Indonesia sebagai tindak lanjut pembangunan gelombang pertama, dan selanjutnya dipicu oleh revolusi hijau yang bergulir sejak penghujung tahun 1960-an. Pembangunan prasarana tidak saja menyangkut irigasi tetapi juga pembangunan wadukwaduk yang berfungsi luas untuk menopang keperluan energi, pengendalian banjir, menopang keperluan air untuk industri dan keperluan domestik. Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa peningkatan permintaan terhadap lahan dan air, khususnya di daerah daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa, melebihi suplai lahan dan air. Kondisi ini menimbulkan konflik-konflik dalam pembagian sumber daya. Tabel 1 menunjukkan pada fase awal terjadi konversi hutan melalui pembukaan lahan untuk keperluan pertanian. Perkembangan pengetahuan dan teknologi mengubah sebagian pertanian lahan kering yang dibuka berubah menjadi sawah tadah hujan dan sawah beririgasi. Ketika penduduk masih jarang, pembukaan lahan baru dapat berlangsung secara leluasa. Pada fase kedua, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, nilai lahan dan air semakin meningkat dan mulai terjadi proses diversifikasi. Sejalan dengan fase-fase perkembangan sumber daya lahan dan air terjadi pula perkembangan dimensi politik yang menyebabkan fase-fase perkembangan tersebut, terutama pada fase ketiga, tidak berjalan mulus. POLITIK PENGELOLAAN DAS Tulisan ini menunjukkan bahwa politik investasi yang bersifat eksploitatif seperti penebangan hutan dalam skala luas telah mempercepat proses kerusakan sumber daya alam. Makalah ini membahas pula bahwa pengelolaan DAS hendaknya tidak didikte oleh kepentingan sektor atau kepentingan birokrasi tetapi oleh kepentingan keseluruhan bangsa yang tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh investasi sektor swasta tetapi yang memperhatikan asas keadilan sosial bahwa semua lapisan masyarakat memiliki akses yang sama terhadap sumber daya lahan dan air dan yang juga memperhatikan kesadaran ekologi untuk dapat mewariskan sumber daya yang tersedia secara berlanjut pada generasi yang akan datang. Tabel 1. Fase-Fase Perkembangan Sumber Daya Lahan dan Air (SDLA) No. 1. Fase 1 Perluasan lahan kering, tadah hujan dan sawah irigasi Fase 2 Penurunan pertumbuhan tadah hujan dan irigasi 2. Monokultur Diversifikasi tanaman 3. Lahan dan air berlebihan Perbaikan efisiensi sumber daya air 4. Nilai air dan lahan rendah 5. Konflik pemanfaatan rendah Nilai air dan lahan meningkat Konflik lokal mulai muncul Fase 3 Pengurangan secara cepat sawah tadah hujan dan irigasi Diversifikasi usahatani Transfer SDLA ke sektor penggunaan yang bernilai ekonomi lebih tinggi Nilai lahan dan air tinggi Konflik lokal dan antar sektor meluas Tinjauan Historis Dimensi politik pengelolaan SDA termasuk sumber daya lahan dan air, baik secara sendiri-sendiri maupun secara terpadu, semakin mendapat perhatian luas untuk dipelajari. Dalam pengertian umum, politik adalah seni dan ilmu yang mengatur negara (Molle 2008). Politik dalam pengertian yang lain adalah hubungan kompleks dan agregat antara orang-orang dalam suatu masyarakat yang memperjuangkan kewenangan dan kekuasaan. Melalui politik, kepentingan kelompok maupun individu mengalami proses mediasi. Penggunaan istilah good water governance menunjukkan dimensi politik dalam pengelolaan sumber daya air. Krisis air sering dikaitkan dengan crisis of governance. Hal ini menunjukkan bahwa masalah air tidak semata-mata masalah pengelolaan sumber daya air atau masalah operasi dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air, tetapi mencakup pula masalah yang terkait dengan struktur sosial politik. Menurut Lombart (2000), kerusakan kerusakan SDA di Jawa sudah mulai dirasakan sejak akhir abad 19, terutama kerusakan akibat ekspansi pembukaan lahan kering di lerenglereng pegunungan oleh masyarakat. Peringatan kerusakan lingkungan sudah dinyatakan, 244 POLITIK PENGELOLAAN DAS antara lain oleh Thijsse pada tahun 1930-an (Thijse1982). Eksploitasi SDA pada masa kolonial dianggap sebagai salah satu instrumen politik untuk menunjang kepentingan perdagangan pemerintah kolonial. Proses penjarahan hutan di Pulau Jawa secara sistematik dimulai oleh Perusahan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada tahun 1611 ketika mereka memperoleh izin raja Mataram untuk menebang pohon bagi keperluan usaha. Di samping melakukan penebangan hutan sendiri lewat pengusaan kawasan hutan, VOC juga membeli kayu rakyat melalui pedagang-pedagang lokal. Praktik penebangan sembrono dan pemberian upah rendah telah menyebabkan kerusakan hutan yang berat di areal bekas tebangan hutan dan memiskinkan rakyat di sekitarnya (Nababan, 2003). Di luar Jawa pada periode yang sama keadaan hutan masih relatif utuh dan masih dikuasai oleh lembaga-lembaga adat, baik lembaga masyarakat setempat maupun kesultanan. Jangkauan pemerintah kolonial di Pulau Sumatera hanya terbatas pada konversi hutan untuk keperluan perkebunan, terutama di Sumatera Utara bagian timur. Politik konversi hutan untuk perkebunan diperkuat dengan diterbitkannya Undangundang Agraria tahun 1870 yang memperkokoh praktik-praktik eksploitasi dan juga merupakan kelanjutan kebijakan Raffles dalam sewa tanah yang bertujuan untuk investasi swasta di sektor perkebunan melalui sewa tanah. Penerbitan undang-undang ini memungkinkan semua tanah yang tidak digarap masyarakat dianggap tanah tidak terpakai dan menjadi milik pemerintah. Walaupun undang-undang ini memberikan lingkungan kondusif terhadap pelaksanaan peraturan perdagangan monopoli, upaya-upaya perlindungan sumber daya alam tetap diperhatikan oleh pemerintah kolonial dengan diterbitkan berbagai ordonansi seperti ordonansi perlindungan binatang liar (1931) dan ordonansi perlindungan alam (1941). Pada masa awal kemerdekaan pemerintah Indonesia meneruskan kebijakan-kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan SDA, termasuk pengelolaan sumber daya air. Kebijakan pemerintah Orde Lama yang terkait dengan sumber daya lahan adalah Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mencakup prinsipprinsip pengelolaan sumber daya alam secara berlanjut. Walaupun pelaksanaan undangundang ini dianggap tidak efektif, dinamika politik yang menekankan nation building pada kurun pemerintahan Orde Lama telah mengendorkan tekanan terhadap penjarahan hutan. Keterkaitan antara lahan dan air terrefleksi dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 47 menyebutkan secara eksplisit tentang Hak Guna Air yaitu hak mengenai air yang tidak berada di atas tanah miliknya. Pernyataan mengenai air yang berada di atas tanah miliknya sudah termasuk dalam isi hak milik atas tanah. Sebaliknya UU No. 11 Tahun 1974 yang dalam berbagai hal mewarisi Algemene Water Reglement tahun 1936 tidak menyebut istilah Hak Guna Air. Penyebutan 245 POLITIK PENGELOLAAN DAS Hak Guna Air baru muncul pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa hak atas air adalah hak guna air walaupun peraturan tersebut tidak mengatur bagaimana hak guna air dilaksanakan. UU No. 7 Tahun 2004 menetapkan peran Hak Guna Air yang dewasa ini sedang ditindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah. Dari perspektif politik, UU No. 5 Tahun 1960 merupakan undang-undang progresif yang membedakan ”air di atas tanah yang melekat pada kepemilikan tanah” dengan ”air di luar usahatani” yang perlu diatur penggunaannya. Dari segi politik sehari-hari (daily politics), air yang berada pada lahan usahatani menjadi kewenangan petani untuk mengaturnya, sedangkan air dari luar usahatani perlu diatur hak penggunaannya. Dalam kehidupan politik sehari-hari, air juga diatur secara kolektif oleh kelompok tani, baik di dalam desa maupun antardesa. Di samping politik kebijakan perlu pula diperhatikan politik birokrasi. Kedua kategori politik tersebut saling mempengaruhi dan memerlukan proses negosiasi dalam perumusannya. Dalam proses perumusan kebijakan yang melibatkan berbagai pihak, seperti halnya perumusan kebijakan irigasi, dapat terjadi bahwa politik kebijakan yang dihasilkan melalui proses negosiasi bertentangan dengan kepentingan birokrasi tertentu atau politik birokrasi suatu lembaga pemerintahan yang mempunyai mandat untuk melaksanakan kebijakan. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kebijakan tidak efektif dan muncul maneuver politik lebih lanjut untuk menyelaraskan rumusan kebijakan dengan kepentingan birokrasi. Sebagai contoh, kebijakan penyerahan pengelolaan irigasi kepada masyarakat tani yang dituangkan dalam PP No. 77 Tahun 2001 dianggap tidak sesuai dengan politik birokrasi yang menghendaki pengelolaan irigasi tetap berada dalam birokrasi pemerintah. UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air mencerminkan kepentingan birokrasi dalam pengelolaan irigasi dan sumber daya air pada umumnya, yang cenderung sentralistik walaupun dipengaruhi oleh politik internasional yang memberi warna pada pendekatan keterpaduan. Politik kebijakan yang berganti-ganti mungkin merupakan salah satu sebab terbengkalainya pemeliharaan jaringan irigasi di samping politik birokrasi yang cenderung bersifat rent seeking melalui pendekatan proyek yang menyebabkan kemerosotan kualitas bangunan dan siklus rehabilitasi irigasi yang pendek (Suhardiman, 2008, Pasandaran 2008). Pada era Orde Baru, politik ekonomi yang mementingkan pertumbuhan ekonomi secara cepat merupakan salah satu alasan eksploitasi SDA dalam skala besar. Perambahan hutan, misalnya, dilandasi produk hukum yaitu UU Pokok Kehutanan tahun 1967. UU ini memungkinkan pemberian hak konsesi penguasaan hutan (HPH) di Indonesia, baik kepada perusahaan swasta nasional, maupun asing. BUMN di bidang kehutanan juga memperoleh HPH. Pada tahun 1995, misalnya, terdapat 586 konsesi HPH dengan luas 63 juta ha atau lebih dari separuh luas hutan tetap (Nababan 2004). Kekuatan posisi politik para pemegang HPH sering memungkinkan penyalahgunaan aturan aturan teknis seperti penebangan di luar blok tebangan atau di luar areal konsesi. Praktik-praktik penebangan 246 POLITIK PENGELOLAAN DAS ilegal sudah menjadi kelaziman dan praktik ini tidak hanya mengancam fungsi ekologi dan sosial hutan produksi, tetapi juga mengancam keberlanjutan produksi perusahan perusahan tersebut. Di Era Reformasi, politik desentralisasi ikut memacu proses kerusakan SDA. Penambahan wewenang kepada pemerintah daerah terjadi dalam pemberian izin-izin baru dalam skala kecil untuk melakukan eksploitasi hutan, sedangkan kapasitas pengawasan aparat masih terbatas. Beberapa tahun terakhir semakin tumbuh praktik-praktik penebangan hutan yang melanggar hukum nasional dan hukum adat. Penjarahan hutan seperti ini menjadi lebih berbahaya, tidak saja bagi ekosistem, tetapi juga bagi keselamatan masyarakat adat. Di samping itu terjadi pula konflik mengenai pengusahaan lahan hutan yang terus meningkat, dan sebagai akibatnya terjadi pengurangan keragaman hayati dan perluasan kerusakan hutan (Rhee et al., 2004). Pada tahun 2003, luas deforestasi di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 2,4 juta ha per tahun. Hal itu terjadi karena kapasitas pengolahan kayu yang jauh melebihi kemampuan yang resmi diijinkan untuk beroperasi (6,3 juta m3 untuk tahun 2003). Selain perusahan pengolahan kayu yang resmi terdapat juga perusahaan yang tidak mempunyai izin konsesi wilayah tebangan. Konversi hutan ke lahan pertanian juga merupakan penyebab berkurangnya luas hutan dan menyebabkan kebakaran hutan. Eforia yang terjadi sebagai akibat kejatuhan pemerintah Orde Baru direfleksikan antara lain melalui penyerobotan hutan milik Perum Perhutani di berbagai daerah oleh petani petani yang lapar lahan. Areal-areal tersebut pada umumnya ditanami tanaman semusim tanpa memperhatikan kaidah kaidah konservasi. Tekanan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat merupakan penyebab lain terjadinya ekspansi usahatani tanaman semusim di kawasan berlereng di bagian hulu DAS. Praktik-praktik seperti ini mempercepat proses degradasi lahan(Tri Pranaji, 2004). Politik Pengelolaan DAS dan Kesadaran Ekologi Politik pengelolaan DAS adalah politik sehari-hari yang menyangkut perjuangan antarpelaku untuk memperoleh akses terhadap sumber daya lahan dan air dan pemanfaatannya untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang terkait dengan sumber daya tersebut. Oleh karena air merupakan sumber daya yang mengalir, perjuangan kepentingan untuk memperoleh akses terhadap air lebih menonjol (Sneddon and Fox, 2008). Dalam wilayah DAS yang luas seperti wilayah DAS Mekong yang cakupannya meliputi beberapa negara, pelaku utama politik pengelolaan DAS adalah pemerintah negara-negara yang terkait dengan DAS yang bersangkutan. Pemerintahpemerintah tersebut berupaya membangun konsep dasar alokasi air yang disepakati bersama. Sneddon dan Fox mempersoalkan penerapan konsep-konsep demokrasi yang mencakup 247 POLITIK PENGELOLAAN DAS antarnegara (international democracy) dan demokrasi ekologi (ecological democracy) yang mendukung keberlanjutan pengelolaan sumber daya lahan dan air di seluruh kawasan DAS. Pada hakekatnya keterkaitan lahan dan air sangat erat sehingga dalam politik seharihari tidak mudah dipisahkan. Pergeseran pemanfaatan lahan dapat mempengaruhi dinamika hidrologi dan ekologi kawasan DAS. Pergeseran pemanfaatan lahan dapat mempengaruhi distribusi ketersediaan air sepanjang tahun dan dapat mempengaruhi kualitas air. Kerusakan sumber daya lahan dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi dan dapat mempengaruhi frekuensi banjir dan kekeringan. Sebaliknya, pengelolaan air dapat mempengaruhi produktivitas lahan dan dapat memperkuat sendi-sendi kehidupan masyarakat di kawasan DAS dan kawasan yang saling terkait. Sebagai contoh adalah kasus pergeseran penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu yang merupakan penentu banjir daerah hilirnya/Jakarta yang disampaikan pada Tabel 2. Tabel 2. Alih Fungsi Lahan yang Terjadi di Sub DAS Ciliwung Hulu Penggunaan lahan Hutan Semak belukar Kebun campuran Kebun karet Kebun teh Kebun terbuka Pemukiman Sawah Tegalan Total 1981 Ha 4469,5 881,3 1077,0 57,5 2928,0 73,7 699,8 3833,4 899,9 14920,2 % 30,0 5,9 7,2 0,4 19,6 0,5 4,7 25,7 6,0 100,0 1990 Ha 3143,4 87,5 1151,7 0,0 3838,6 107,2 2482,2 2703,9 6196,0 14920,2 % 21,1 5,8 7,7 0,0 25,7 0,7 16,6 18,1 4,1 100,0 2000 Ha 2993,5 278,7 1582,0 0,0 3094,8 11,7 3954,9 1363,7 1640,8 14920,2 % 20,1 1,9 10,6 0,0 20,7 0,1 26,5 9,1 11,0 100,0 Sumber: Sudadi et al. (1991) dalam Sutrisno (2004) Pergeseran penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu tercermin dalam kondisi fluktuasi debit yang sangat besar antara musim hujan dan musim kemarau. Penggunaan lahan di bagian hulu berupa hutan dan tanaman teh akan dapat menyelamatkan bagian hilir DAS. Kondisi bagian atas yang ideal dan berguna dari sudut pandang konservasi tanah dan air mampu mengurangi erosi tanah, dan air yang mengalir di permukaan tanah (runoff) yang mencapai sungai akan berkurang. Karena tertahan oleh barisan tanaman teh, teras-teras dan rorak-rorak yang dibuat pada beberapa tempat yang dapat menahan kecepatan aliran air dan banyak yang meresap ke dalam tanah. Di wilayah hulu DAS Ciliwung terdapat empat penggunaan lahan yang dominan yaitu hutan, pemukiman, kebun teh, dan sawah. Seluruhnya mencakup sekitar 80 persen dari luasan wilayah tersebut. Gambar 1 menunjukkan perubahan keempat tipologi penggunaan 248 POLITIK PENGELOLAAN DAS tersebut selama dua dasawarsa terakhir. Areal hutan mengalami penyusutan sekitar 10 persen antara tahun 1980 sampai 1990, kemudian melandai antara 1990 dan 2000. Pada lahan persawahan terdapat kecenderungan penyusutan yang semakin tajam dalam kurun waktu dua dasawarsa tersebut. Dalam kurun waktu tersebut areal sawah menurun drastis dari 25,7 persen menjadi 9,1 persen. Sebaliknya areal pemukiman meningkat pesat dari 4,7 persen pada tahun 1980 menjadi 26,5 persen pada tahun 2000. Gambar 1. Alih Fungsi Lahan di DAS Ciliwung Politik pemukiman oleh birokrasi pemerintahan yang bersifat permisif merupakan alasan utama terjadinya pergeseran penggunaan lahan. Kecenderungan yang terjadi seperti pada Gambar 1 dapat menyebabkan erosi, yang tercermin pada besarnya sedimentasi. Hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan frekuensi banjir besar dengan dampak yang meluas pada sungai. Penelitian Putuhena et al., (2002) berdasarkan data antara 1919 dan 2001 di berbagai DAS di Pulau Jawa, menunjukkan pada kurun waktu antara 1970 dan 2000 banjir besar lebih sering terjadi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penyebabnya adalah keragaman iklim dan pergeseran penggunaan lahan. Sejak tahun 1970 pembangunan yang pesat di segala bidang dan tekanan populasi penduduk yang meningkat khususnya di Pulau Jawa, telah mendorong proses urbanisasi termasuk yang terjadi di wilayah hulu Ciliwung. Gejala tersebut mendorong akselerasi kerusakan sumber daya alam yang disebut sebagai Java Syndrome (Pasandaran, 2008). Gambaran yang lebih detail pengaruh perbedaan penggunaan lahan dalam sub DAS Ciliwung hulu yang dapat menentukan besarnya sedimen dan debit yang terjadi, disajikan pada Tabel 3. 249 POLITIK PENGELOLAAN DAS Tabel 3. Hasil Pengamatan Sedimen Sungai sub DAS Ciliwung Hulu 1, 2, 3, 4,5, 6 dan 7 (10 hari hujan, bulan Januari 2001) Sub DAS Tugu Utara (Ciliwung Hulu) Sub DAS Ciliwung Hulu 1 (hutan, teh lereng atas dan tengah, vila dan pemukiman), Sub DAS Ciliwung Hulu 2 (pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, vila dan pemukiman) Sub DAS Ciliwung Hulu 3 (kebun campuran yang diteras, pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, vila dan pemukiman) Sub DAS Ciliwung Hulu 4 (pangan dan sayuran, pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, lahan terbuka dan lahan diberakan kemudian ditanami tanaman pangan diteras petani) Sub DAS Ciliwung Hulu 5 (kebun campuran yang diteras, pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik, teh lereng atas dan tengah, vila dan pemukiman) Sub DAS Ciliwung Hulu 6 (kebun campuran yang diteras, pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik pangan pada lereng bawah, teh lereng atas dan tengah, vila dan pemukiman) Sub DAS Ciliwung Hulu 7 (teh pada lereng bawah dan tengah, pangan dan sayuran, kebun campuran yang diteras, pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik, pangan pada lereng bawah, lahan terbuka, lahan diberakan kemudian ditanami tanaman pangan diteras petani, teh lereng atas dan tengah, vila dan pemukiman Sedimen Sungai Debit rata-rata (kg ha-1) (*) (m3 detik-1) 24,59 0,153 502,67 0,104 186,39 0,219 671,88 0,171 60,28 0,167 47,48 0,151 212,92 0,366 Keterangan:Curah hujan: 210,40 mm (10 hari hujan). EI30: 105,96 (Ek = ton-m ha-1 cm-1). Sumber: Sutrisno, 2002. Berdasarkan sepuluh kejadian hujan, sedimen di muara sub DAS Ciliwung Hulu 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 sangat bervariasi. Perbedaan-perbedaan kemiringan lereng, panjang lereng, sistem pertanaman, seperti perkebunan teh atau tanaman sayuran atau hutan, tindakan konservasi tanah yang diterapkan dan sifat-sifat tanah atau erodibilitas tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan, kekasaran permukaan atau n Manning’s, seluruhnya mempengaruhi sedimen sungai. Beberapa hasil penelitian yang menunjang dikemukakan oleh Kuhnle et al., (1996) dan Frangipane dan Paris (1994) yang mengemukakan bahwa 250 POLITIK PENGELOLAAN DAS perbedaan penggunaan lahan menyebabkan perbedaan hasil sedimen di muara DAS. Ditambahkan pula oleh Takken et al., (1998), bahwa lereng yang semakin miring akan menyebabkan debit semakin besar. Keputusan pemanfatan lahan di kawasan hulu DAS dapat mempengaruhi performa pengelolaan air di daerah hilir, seperti yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu, tengah dan hilir. Pada bagian bawah, areal kebun teh yang rapat diikuti areal tanaman pangan (sayuran) dan vila-vila serta perumahan (daerah terbangun) yang tidak beraturan. Vila-vila dan perumahan serta pertanaman tanaman pangan merupakan sumber aliran permukaan paling banyak yang akan masuk ke Sungai Ciliwung. Kondisi demikian diperparah oleh posisi vila-vila dan sebagian besar tanaman pangan yang terletak pada areal (zona) yang mempunyai jaringan hidrografik terbanyak (zona prioritas 1, 2, dan 3). Kondisi demikian menyebabkan fluktuasi debit Sungai Ciliwung sangat tajam. Saat curah hujan tinggi menyebabkan peningkatan debit sungai menjadi sangat besar, namun pada saat tidak ada hujan, dalam beberapa hari saja air sungai hampir habis atau bahkan tidak ada air di sungai. Sebagai gambaran kejadian banjir, pada saat Jakarta hampir tenggelam dan mengalami banjir berkepanjangan (episode banjir tanggal 18 Januari 2002), tinggi muka air maksimum di bendung Katulampa, Bogor, menunjukkan angka 200 cm yang setara dengan debit air 500 m3/detik. Pada kondisi aman, tinggi muka air di bendung Katulampa harus lebih rendah dari 150 cm yang setara dengan 350 m3/detik. Bila angka menunjukkan lebih besar dari 150 cm artinya warning untuk Jakarta, yaitu akan terjadi banjir. Selanjutnya, kalau dihitung kelebihan air yang terjadi pada waktu Jakarta banjir tahun 2002, menunjukkan terjadi kelebihan air sebanyak 10 mm curah hujan neto atau setara dengan 1.069.350 m3 dengan mempertimbangkan kontribusi luas DAS (Sutrisno, 2004). Mitigasi, upaya perbaikan dan penertiban dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung telah banyak dilakukan, walaupun tidak terpadu dan tidak kontinu. Bahkan lebih dari 100 proyek sudah dilaksanakan untuk mengatasi banjir Jakarta, antara lain berupa penghijauan, sumur resapan, dam penghambat (check dam), peraturan-peraturan yang sifatnya menjaga keseimbangan lingkungan sub DAS Ciliwung Hulu seperti KEPPRES dan pembongkaran beberapa vila, yang kesemuanya bertujuan untuk memperbaiki DAS Ciliwung secara keseluruhan, khususnya sub DAS Ciliwung Hulu agar dapat mengendalikan aliran permukaan dan mencegah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat mengatasi banjir Jakarta. Tetapi hasil yang dicapai masih belum memuaskan, banjir di Jakarta masih kerap terjadi. Untuk mengatasi banjir DAS Ciliwung hilir/Jakarta, perlu dilakukan tahapantahapan pengendalian banjir secara sistematis. Tahap awal adalah menghitung banyaknya aliran permukaan yang terjadi dan yang akan masuk ke Sungai Ciliwung. Caranya adalah dengan melakukan prediksi melalui analisis hubungan antara kerusakan penggunaan lahan 251 POLITIK PENGELOLAAN DAS di kawasan bagian hulu dan fluktuasi debit sungai. Data debit sungai dari sub-sub DAS Ciliwung Hulu dapat di up scale ke skala yang lebih luas, dan akhirnya dapat dihitung kelebihan air dari Sungai Ciliwung. Selanjutnya dapat ditentukan zona-zona penyumbang aliran permukaan terbanyak sampai banyak yang merupakan sumber air penyebab banjir Sungai Ciliwung. Zona-zona tersebut merupakan zona prioritas untuk penanganan banjir Sungai Ciliwung di mana dam parit diterapkan agar dapat mengurangi banjir secara efektif dan efisien. Zona prioritas tersebut ditentukan berdasarkan analisis kerapatan jaringan hidrografik (hydrographic network) yang ada. Penerapan praktik sipil teknis untuk mengurangi jumlah aliran permukaan yang masuk ke sungai belum cukup. Air aliran permukaan yang banyak dapat diatasi dengan penerapan kombinasi tindakan vegetatif dan sipil teknis, termasuk panen hujan dan aliran permukaan. Lokasi yang tepat untuk penerapannya adalah pada zona prioritas 1, 2, dan 3. Sebagai contoh, dam parit yang dibuat di sub-sub DAS Ciliwung (Sungai Cipucung) dengan volume 107 m3, terletak di zona prioritas 1, dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 0,5 persen (Sutrisno et al., 2004 ). Selanjutnya, bila dam parit yang kecil-kecil dibangun dengan jumlah banyak (1000 dam parit misalnya), akan dapat mengurangi volume air yang masuk ke Sungai Ciliwung dan mengurangi waktu respons, yang pada akhirnya banjir Jakarta dapat dikurangi secara signifikan. Berdasarkan hasil tersebut, dam parit yang dibangun di lokasi yang tepat akan sangat bermanfaat karena dapat mengurangi air aliran permukaan yang masuk ke Sungai Ciliwung atau dapat mengurangi risiko banjir Jakarta. Kelebihan lain dari panen hujan dan aliran permukaan dam parit adalah pada saat tidak ada hujan, air hasil panen dapat berfungsi sebagai sumber air yang dapat didistribusikan ke areal tanaman petani. Pendekatan vegetatif maupun struktural (teknis sipil) tidak memadai kalau kerakusan terhadap lahan, terutama ekspansi pemukiman, berlangsung terus. Dalam hal ini diperlukan politik tata ruang dalam penggunaan lahan untuk menangkal pergeseran lebih lanjut yang perlu diawasi secara ketat. Di samping dimensi tata ruang terdapat pula dimensi waktu yang perlu diperhatikan sebagai akibat keputusan politik dalam pengelolaan DAS. Dari dimensi waktu dapat dijumpai keputusan-keputusan yang terjadi sehari-hari pada kawasan yang kecil, misalnya dalam pembagian air irigasi dalam suatu blok persawahan dalam suatu daerah irigasi. Walaupun dalam ukuran kecil, konflik kepentingan dapat timbul dalam upaya memperebutkan air yang tersedia secara terbatas. Dimensi waktu juga menyangkut alokasi air dalam suatu musim antardaerah irigasi dalam suatu wilayah DAS. Termasuk di dalamnya adalah keputusan tentang areal tanam yang perlu dilayani oleh irigasi. Selain itu, terdapat juga keputusan-keputusan politik yang mempunyai dampak jangka panjang dan mempengaruhi keseluruhan kawasan DAS, bahkan mungkin dampaknya melampaui batas batas kawasan DAS. Pembangunan waduk di kawasan hulu DAS akan membawa efek jangka panjang dan mempengaruhi perekonomian yang melampaui batas wilayah DAS. Demikian pula upaya reforestasi dan konservasi mempengaruhi performa DAS dalam jangka panjang. 252 POLITIK PENGELOLAAN DAS Dalam konteks politik pengelolaan DAS di Indonesia, relevansi masalah transboundary muncul pada DAS besar seperti DAS Brantas, Bengawan Solo, Citarum, Cimanuk dan Batanghari, yang memerlukan kesepakatan bersama antara pemerintah-pemerintah kabupaten dan kota yang terkait. Dengan semakin seringnya muncul fenomena banjir dan kekeringan dengan dampak yang semakin meluas muncul pula kesadaran ekologi melalui upaya advokasi untuk memulihkan sumber daya yang rusak agar dapat mewariskan sumber daya tersebut ke generasi yang akan datang. Keterkaitan geografis antarwilayah dalam suatu DAS juga mendorong terjadinya hubungan interaktif antarpelaku pelaku. Sumber daya yang bersifat mengalir seperti air tidak dapat diklaim menjadi suatu kepemilikan yang bersifat eksklusif. Sebagai contoh: pemanfaatan mata air di hilir untuk keperluan air minum dapat berlangsung karena lingkungan yang masih terpelihara di hulu. Air sebagai common pool reources membawa implikasi bahwa keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan air hendaknya dapat dibagi secara adil dengan para pihak yang memelihara kelestarian lingkungan. Dalam hubungan tersebut akhir-akhir ini muncul politik advokasi berupa iuran jasa lingkungan atau environmental service fee. Walaupun dalam praktiknya sudah ada contoh-contoh pelaksanaan yang dianggap berhasil seperti pengelolaan sungai oleh Perum Jasa Tirta I di Jawa Timur, namun pada umumnya konsep tersebut tidak mudah dilaksanakan secara adil. Hal tersebut di atas disebabkan oleh sangat beragamnya pemanfaatan dan kemampuan untuk mengakses sumber daya tersebut. Dampak eksternalitas seperti pemompaan air tanah yang berlebihan oleh pihak yang mempunyai kemampuan finansial membawa dampak negatif bagi pihak yang relatif rendah kemampuan finansialnya. Politik perundangundangan sangat diperlukan dalam mengatur hak guna air, khususnya di wilayah DAS yang sudah dianggap tertutup (river basin closure). Pada DAS seperti itu, tambahan pemanfaatan air oleh salah satu pihak dapat mengurangi ketersediaan air untuk pihak lain. Oleh karena itu politik advokasi tentang jasa air tidak lepas kaitannya dengan politik perundang undangan tentang hak guna air. Pergeseran Paradigma Politik Politik pengelolaan DAS di Indonesia masih menonjolkan politik birokrasi oleh pemerintah yang antara lain menyangkut pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Walaupun pada era reformasi dewasa ini semestinya peran pemerintah daerah dalam pengelolalan DAS semakin menonjol, namun warisan Orde Baru dengan pendekatan yang bersifat sentralistik dalam politik praktis sehari hari tetap dominan. Hal ini antara lain terlihat dalam organisasi birokrasi pengelolalan sumber daya air dengan munculnya berbagai balai dan balai besar yang mengelola wilayah sungai. Pendekatan yang dilakukan tetap sektoral yang dituangkan dalam berbagai program birokrasi pusat. 253 POLITIK PENGELOLAAN DAS Di masa yang lampau penonjolan fungsi ekonomi dalam politik pengelolaan DAS yang mementingkan berlangsungnya investasi sektor swasta telah menyebabkan terjadinya politik kebijakan permisif dalam pengelolaan DAS, khususnya yang menyangkut eksploitasi hutan. Demikian pula telah terjadi konversi lahan untuk berbagai tujuan yang menyebabkan berkurangnya kemampuan ekosistem dalam memelihara keberlanjutan lingkungan dan ekosistem. Kesadaran pengelolaan sumber daya secara terpadu telah merupakan kesepakatan internasional yang antara lain dideklarasikan dalam forum internasional seperti Johanesburg Declaration tahun 2002. Politik internasional tersebut turut mempengaruhi politik pengelolaan dalam negeri yang memunculkan kesadaran pendekatan keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air. Lebih jauh lagi, muncul pula gagasan-gagasan tentang Integrated Water Resource Management dan Integrated River Basin Management. Pendekatan tersebut pada mulanya menekankan pentingnya keterpaduan antarsektor dan antarwilayah dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air, namun konsep dasar yang mendukung asas keterpaduan pada hakekatnya adalah keterpaduan yang didasarkan pada keselarasan dan keseimbangan tiga fungsi dasar, yaitu fungsi yang menopang efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, fungsi yang mewujudkan keadilan sosial dan fungsi yang mewujudkan kesadaran ekologi untuk mewariskan keberlanjutan lingkungan pada generasi yang akan datang. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mengintegrasikan ketiga fungsi dasar atau pilar tersebut. Gambar 2 menunjukkan keterkaitan antara ketiga fungsi dasar tersebut yang oleh Molle (2008) khususnya ditujukan untuk keterpaduan pengelolaan sumber daya air. Pilar pertama cenderung diminati sektor swasta karena kecenderungan orientasi keuntungan yang diutamakan dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Kasus pemanfaatan sumber daya air untuk keperluan air minum oleh swasta dapat menyebabkan akses masyarakat yang berkekurangan menjadi terhalang. Demikian pula pemanfaatan sumber daya hutan tanpa memperhatikan asas kelestarian akan menghilangkan kesempatan generasi yang akan datang memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah DAS sebaikbaiknya. 254 POLITIK PENGELOLAAN DAS Privatisasi Efisiensi Ekonomi Hijau Pengelolaan Terpadu Keadilan sosial Kemitraan Lingku ngan Konservasi Pendekatan ekosistem Gambar 2: Keterkaitan antara Ketiga Fungsi Dasar Pengelolaan Sumber Daya Air Sumber: Molle, 2008. Menurut Sehring (2009), berdasarkan pengalamannya di negara negara Asia Tengah, bekas Uni Soviet, diperlukan proses demokratisasi untuk mewujudkan keterpaduan ketiga pilar tersebut. Masalah yang timbul adalah pertanyaan apakah demokratisasi merupakan suatu prakondisi bagi proses keterpaduan ketiga pilar tersebut, atau demokratisasi merupakan salah satu pilar yang perlu dibangun bersama sama untuk mewujudkan keterpaduan? Dimensi politik di Indonesia dapat dianggap sebagai pilar tersendiri bersama-sama dengan ketiga pilar lainnya. Dengan demikian terdapat empat pilar yang perlu diperhatikan dan keterkaitan yang erat antar pilar-pilar tersebut yang perlu dibangun melalui upaya-upaya kebijakan untuk mewujudkan keterpaduan dan good governance dalam pengelolaan DAS. Gambar 3 menunjukan upaya-upaya kebijakan yang perlu dibangun pada setiap kuadran. Kondisi ini memerlukan komitmen politik untuk mendukung upaya-upaya kebijakan dan gerakan gerakan masyarakat untuk membangun interaksi antarpilar. Hubungan antara pilar politik dan ekonomi adalah upaya membangun demokrasi ekonomi. Pemberdayaan ekonomi rakyat dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti lahan dan air dalam wilayah DAS, merupakan amanah UUD 45 Pasal 33. Lahan dan 255 POLITIK PENGELOLAAN DAS air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Akses terhadap kedua sumber daya tersebut harus diprioritaskan kepada rakyat banyak, termasuk masyarakat petani yang merupakan pemanfaat terbesar ekosistem DAS. Reforma agraria dalam gambar 2 yang mengaitkan dimensi politik dan sosial mencerminkan kebutuhan akan dukungan politik terhadap keadilan sosial dalam mengakses sumber daya lahan. Politik hak guna air pada hakekatnya sama dengan reforma agraria, yaitu memperbaiki akses masyarakat luas, termasuk kelompok miskin yang ada dalam masyarakat untuk memperoleh air bagi keperluan sehari-hari. Baik reforma agraria dan reforma air (water reform) yang didukung oleh politik hak guna air juga merupakan prasyarat bagi kelangsungan proses pemberdayaan ekonomi rakyat yang merupakan keterkaitan politik ekonomi (kuadran I) dan politik keadilan sosial (kuadran IV). Ekonomi • Ekonomi Hijau: Eco- Labelling Jasa Lingkungan • Demokrasi Ekonomi : - Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Lingkungan Politik • Ketangguhan Sosial dan Ekologi • ReformaAgraria • Hak Guna Air Sosial Gambar 3. Keterkaitan Antara Dimensi Politik, Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dalam Pengelolaan DAS Ekonomi Hijau adalah upaya mengintegrasikan variabel lingkungan sebagai instrumen kebijakan ekonomi untuk mendukung proses keberlanjutan. Seperti yang terlihat pada kuadran II salah satu instrumen kebijakan adalah eco-labelling yaitu penelusuran rekam jejak (foot-print) produk-produk yang diperdagangkan antar negara dari perspektif lingkungan. 256 POLITIK PENGELOLAAN DAS Konsep pembayararan jasa lingkungan (environmental service fee) merupayakan upaya menginternalisasi efek eksternal (externality) baik yang positif maupun negatif. Walaupun sudah ada rintisan kasus kasus pelaksanaan iuran jasa lingkungan, namun tidak mudah melaksanakannya karena keragaman kepentingan dan kemampuan dalam mengakses sumber daya lahan dan air. Demikian pula keterkaitan antara dimensi sosial dan lingkungan (kuadran III) diwujudkan melalui upaya membangun ketangguhan sosial dan ekologi oleh masyarakat lokal. Pendekatan yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk berbagai kearifan dalam mengantisipasi dan mengadaptasi keragaman iklim merupakan upaya memperkuat interaksi lingkungan dan masyarakat. Keterkaitan dan keterpaduan seperti pada gambar 3 merupakan sesuatu yang ideal walaupun banyak tantangan yang dihadapi. Pihak yang berpandangan pesimistik seperti Molle (2008) mengemukakan konsep keterpaduan tersebut adalah Nirvana Concept, yaitu sesuatu yang sifatnya visioner dan hanya terjadi di Nirwana. Untuk mendorong terwujudnya konsep tersebut diperlukan suatu prakondisi atau enabling environment. Salah satu prakondisi yang diperlukan untuk membangun politik pengelolaan DAS yang didasarkan pada keterpaduan fungsional adalah perubahan pola pikir seperti yang terdapat pada tabel 4. setidaknya terdapat tiga dimensi pola pikir yang perlu diperbaharui, yaitu peran masyarakat, prinsip-prinsip pengelolaan, dan pendekatan pengelolaan. Tabel 4. Perubahan Pola Pikir Pengelolaan SDLA Dimensi Pola Pikir Peran Pola Pikir Lama Peran masyarakat tani sekunder. Potensi petani tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Prinsip Mengutamakan fungsi penyediaan jasa ekosistem untuk mendukung pertumbuhan tinggi dalam Jangka Pendek Pendekatan Mengutamakan pendekatan sektoral dan birokrasi Berpikir Nasional Bertindak Lokal Pola Pikir Baru Masyarakat tani sebagai arus utama Pemanfaatan penuh potensi masyarakat tani termasuk kearifan lokal Mengutamakan keseimbangan dan keselarasan berbagai jasa ekosistem untuk mendukung keberlanjutan pembangunan dan keadilan sosial dalam Jangka Panjang Mengintegrasikan semua pihak yang terkait dalam forum kemitraan dengan peran dan prinsip yang sesuai Berpikir Lokal bertindak lokal dan nasional 257 POLITIK PENGELOLAAN DAS Pola pikir pertama yang harus diperbaharui adalah pola pikir tentang masyarakat tani masih tetap merupakan pengguna terbesar ekosistem dalam DAS. Masyarakat tani hendaknya ditempatkan sebagai arus utama dalam berbagai keputusan yang menyangkut pengelolaan DAS dan potensi yang ada pada masyarakat tani termasuk kearifan lokal perlu dimanfaatkan sepenuhnya. Pola pikir kedua adalah diperlukan pemahaman yang lebih mendalam asas keselarasan dan keseimbangan antara tiga fungsi dasar yang menunjang pertumbuhan ekonomi, dan yang menerapkan asas keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Pola pikir ketiga adalah membangun forum kemitraan berdasarkan asas kesamaan kepentingan dalam pengelolaan DAS dengan memperhatikan kesesuaian peran dan prinsip pengelolaan DAS. Membangun kemitraan diperlukan dalam upaya membangun atau memberdayakan kapital sosial yang sudah ada untuk menunjang terwujudnya ketangguhan sosial dan ekologi dalam pengelolaan ekosistem. Membangun kemitraan yang memadukan ketiga pilar di atas tidak mudah. Walaupun selama ini pengalaman kemitraan adalah untuk kasus-kasus tertentu dalam suatu sektor, namun pengalaman kemitraan yang baru perlu dibangun dengan dukungan komitmen politik. Penutup Walaupun di Indonesia terdapat tiga pilar kepentingan yang memberi warna pengelolaan DAS, yaitu pilar ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan, namun untuk membangun keterpaduan ketiga pilar tersebut dalam wilayah DAS diperlukan pilar politik yang menopang berbagai kebijakan pembangunan seperti demokrasi ekonomi termasuk pemberdayaan ekonomi rakyat, praktik praktik ekonomi hijau, membangun ketangguhan sosial dan ekologi, reforma agraria, dan hak guna air yang berpihak pada ekonomi rakyat. Salah satu prasyarat untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan DAS adalah perubahan dimensi pola pikir yang memberikan peran sebagai arus utama kepada masyarakat tani dengan memanfaatkan potensi penuh yang mereka miliki, termasuk kearifan lokal. Prinsip keserasian dan keselerasan berbagai jasa ekosistem untuk mendukung keberlanjutan pembangunan dan keadilan sosial dalam jangka panjang hendaknya dilaksanakan melalui pendekatan kemitraan dengan membangun kemampuan lokal dalam pemikiran dan pelaksanaan pengelolaan DAS. Daftar Pustaka Frangipane, A. and E. Paris. 1994. Long term variability of sediment transport in the Ombrone River Basin (Italy). Dalam: Olive LJ, Loughran RJ, Kesby JA, editor. Variability in Stream Erosion and Sediment Transport. IAHS Publication No. 224. hlm 317-324. 258 POLITIK PENGELOLAAN DAS Kuhnle RA, RL Binger, GR Foster and EH Grissinger. 1996. Effect of land use changes on sediment transport in Goodwin Creek. Water Resources Lombart D. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris Molle F. 2008. Nirvana concepts, narratives and policy models: Insight from the water sector. Water Alternatives 1(1): 131156. www.water.alternatives.org Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. jakarta Nababan A. 2003. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Mei-Juli 2003 Nababan A. 2004. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Februari 2004 Pasandaran E. 2008. Irigasi Masa Depan. Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan. JKI- Indonesia. Putuhena William M, Wanny K Adidarma, dan Sri Mulat Yuningsih. 2002. Karakteristik Banjir Puncak Pada Sungai-Sungai di Pulau Jawa (The Characteristics of Peak Flood of Rivers in Java Island). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Bandung. Rhee S., Darrell Kitchener, Tim Brown, Reed Merrill, Russ Dilts, and Stacey Tighe. Report on Biodiversity and Tropical Forests in Indonesia. Submitted in accordance with Foreign. Assistance Act Sections 118/119. February 20, 2004. Prepared for USAID/Indonesia Research. 32(10): 3189-3196. Sehring J. 2009. Path dependencies and institutional bricolage in post-Soviet water governance. Water Alternatives 2(1): 61-81. www.water-alternatives.org. Suhardiman 2008. Bureaucratic Designs: The Paradox of Irrigation Management Transfer in Indonesia. Wageningen UR. Sutrisno N. 2004. Mangatasi Banjir Jakarta Dengan Penerapan Dam Parit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Sutrisno N. 2002. Pendugaan Erosi Skala Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Erosi Pada Lahan. Tesis.IPB. Sneddon, C. and Fox, C. 2008. River basin politics and the rise of ecological and transnational democracy in Southeast Asia and Southern Africa. Water Alternatives 1(1): 66-88 Volume 1 | Issue 1. www.water.alternatives.org. Takken I, G Govers, CAA Ciesiolka, DM Silburn and RJ Loch. 1998. Factors influencing the velocity discharge relationship in rills Dalam Summer W, Klaghofer E, Zhang W. editor Modelling Soil Erosion, Sediment Transport and Closely Related Hydrological Process IAHS Publication no 249.hlm 63-69. 259 POLITIK PENGELOLAAN DAS Thijse, J.P. 1982. Apakah Jawa akan menjadi Padang Pasir?. Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga rampai. Penerbit CV Rajawali. Jakarta. Tri Pranaji. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Vlughter H. 1949. Honderd Jaar Irrigatie. Voordracht gehouden op 18 October 1949 ter gelegen-heid van de herdenking van de overdracht van de Technische Hogeschool aan den Lande in 1924. Druk Vorkink Bandung. 1949. 260