politik pengelolaan das

advertisement
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Effendi Pasandaran1, Nono Sutrisno2 dan Suherman2
1)
2)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura
Salah satu pertanyaan yang mengusik terkait pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
adalah: ”Mengapa diperlukan pembahasan politik pengelolaan Daerah Aliran Sungai?”
Sejak beberapa abad terakhir terjadi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk berbagai
kepentingan termasuk investasi di bidang perkebunan dan untuk mendukung ketersediaan
pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada tahap awal sumber daya
yang tersedia seperti lahan dan air masih berlebihan dan memungkinkan terjadinya
perluasan pemanfaatan. Pada tahap tersebut dibangun prasarana sumber daya air untuk
keperluan irigasi, domestik, dan industri. Perkembangan ekonomi yang pesat memerlukan
pertambahan prasarana yang dibutuhkan seiring dengan semakin meningkatnya permintaan
terhadap lahan dan air.
Pada tahap selanjutnya ketersedian lahan dan air semakin terbatas menyebabkan
munculnya konflik-konflik dalam pemanfaatan lahan dan air. Perkembangan pemanfaatan
sumber daya lahan dan air di Indonesia sudah tampak sejak pertengahan abad 19 dengan
dimulainya gelombang pertama pembangunan irigasi oleh pemerintah kolonial yang
berlangsung selama kurang lebih satu abad (Vlughter, 1949).
Pembangunan sumber daya air gelombang kedua dalam lingkup lebih luas dimulai
oleh pemerintah Indonesia sebagai tindak lanjut pembangunan gelombang pertama, dan
selanjutnya dipicu oleh revolusi hijau yang bergulir sejak penghujung tahun 1960-an.
Pembangunan prasarana tidak saja menyangkut irigasi tetapi juga pembangunan wadukwaduk yang berfungsi luas untuk menopang keperluan energi, pengendalian banjir,
menopang keperluan air untuk industri dan keperluan domestik. Namun demikian terdapat
kecenderungan bahwa peningkatan permintaan terhadap lahan dan air, khususnya di
daerah daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa, melebihi suplai lahan dan air. Kondisi
ini menimbulkan konflik-konflik dalam pembagian sumber daya.
Tabel 1 menunjukkan pada fase awal terjadi konversi hutan melalui pembukaan
lahan untuk keperluan pertanian. Perkembangan pengetahuan dan teknologi mengubah
sebagian pertanian lahan kering yang dibuka berubah menjadi sawah tadah hujan dan
sawah beririgasi. Ketika penduduk masih jarang, pembukaan lahan baru dapat berlangsung
secara leluasa. Pada fase kedua, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, nilai
lahan dan air semakin meningkat dan mulai terjadi proses diversifikasi. Sejalan dengan
fase-fase perkembangan sumber daya lahan dan air terjadi pula perkembangan dimensi
politik yang menyebabkan fase-fase perkembangan tersebut, terutama pada fase ketiga,
tidak berjalan mulus.
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Tulisan ini menunjukkan bahwa politik investasi yang bersifat eksploitatif seperti
penebangan hutan dalam skala luas telah mempercepat proses kerusakan sumber daya
alam. Makalah ini membahas pula bahwa pengelolaan DAS hendaknya tidak didikte oleh
kepentingan sektor atau kepentingan birokrasi tetapi oleh kepentingan keseluruhan bangsa
yang tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh investasi sektor
swasta tetapi yang memperhatikan asas keadilan sosial bahwa semua lapisan masyarakat
memiliki akses yang sama terhadap sumber daya lahan dan air dan yang juga memperhatikan
kesadaran ekologi untuk dapat mewariskan sumber daya yang tersedia secara berlanjut
pada generasi yang akan datang.
Tabel 1. Fase-Fase Perkembangan Sumber Daya Lahan dan Air (SDLA)
No.
1.
Fase 1
Perluasan lahan kering, tadah
hujan dan sawah irigasi
Fase 2
Penurunan pertumbuhan
tadah hujan dan irigasi
2.
Monokultur
Diversifikasi tanaman
3.
Lahan dan air berlebihan
Perbaikan efisiensi sumber
daya air
4.
Nilai air dan lahan rendah
5.
Konflik pemanfaatan rendah
Nilai air dan lahan
meningkat
Konflik lokal mulai
muncul
Fase 3
Pengurangan secara cepat
sawah tadah hujan dan
irigasi
Diversifikasi usahatani
Transfer SDLA ke sektor
penggunaan yang bernilai
ekonomi lebih tinggi
Nilai lahan dan air tinggi
Konflik lokal dan antar
sektor meluas
Tinjauan Historis
Dimensi politik pengelolaan SDA termasuk sumber daya lahan dan air, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara terpadu, semakin mendapat perhatian luas untuk dipelajari.
Dalam pengertian umum, politik adalah seni dan ilmu yang mengatur negara (Molle
2008). Politik dalam pengertian yang lain adalah hubungan kompleks dan agregat antara
orang-orang dalam suatu masyarakat yang memperjuangkan kewenangan dan kekuasaan.
Melalui politik, kepentingan kelompok maupun individu mengalami proses mediasi.
Penggunaan istilah good water governance menunjukkan dimensi politik dalam pengelolaan
sumber daya air. Krisis air sering dikaitkan dengan crisis of governance. Hal ini menunjukkan
bahwa masalah air tidak semata-mata masalah pengelolaan sumber daya air atau masalah
operasi dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air, tetapi mencakup pula masalah
yang terkait dengan struktur sosial politik.
Menurut Lombart (2000), kerusakan kerusakan SDA di Jawa sudah mulai dirasakan
sejak akhir abad 19, terutama kerusakan akibat ekspansi pembukaan lahan kering di lerenglereng pegunungan oleh masyarakat. Peringatan kerusakan lingkungan sudah dinyatakan,
244
POLITIK PENGELOLAAN DAS
antara lain oleh Thijsse pada tahun 1930-an (Thijse1982). Eksploitasi SDA pada masa
kolonial dianggap sebagai salah satu instrumen politik untuk menunjang kepentingan
perdagangan pemerintah kolonial.
Proses penjarahan hutan di Pulau Jawa secara sistematik dimulai oleh Perusahan
Dagang Hindia Belanda (VOC) pada tahun 1611 ketika mereka memperoleh izin
raja Mataram untuk menebang pohon bagi keperluan usaha. Di samping melakukan
penebangan hutan sendiri lewat pengusaan kawasan hutan, VOC juga membeli kayu
rakyat melalui pedagang-pedagang lokal. Praktik penebangan sembrono dan pemberian
upah rendah telah menyebabkan kerusakan hutan yang berat di areal bekas tebangan hutan
dan memiskinkan rakyat di sekitarnya (Nababan, 2003).
Di luar Jawa pada periode yang sama keadaan hutan masih relatif utuh dan masih
dikuasai oleh lembaga-lembaga adat, baik lembaga masyarakat setempat maupun kesultanan.
Jangkauan pemerintah kolonial di Pulau Sumatera hanya terbatas pada konversi hutan
untuk keperluan perkebunan, terutama di Sumatera Utara bagian timur.
Politik konversi hutan untuk perkebunan diperkuat dengan diterbitkannya Undangundang Agraria tahun 1870 yang memperkokoh praktik-praktik eksploitasi dan juga
merupakan kelanjutan kebijakan Raffles dalam sewa tanah yang bertujuan untuk
investasi swasta di sektor perkebunan melalui sewa tanah. Penerbitan undang-undang
ini memungkinkan semua tanah yang tidak digarap masyarakat dianggap tanah tidak
terpakai dan menjadi milik pemerintah. Walaupun undang-undang ini memberikan
lingkungan kondusif terhadap pelaksanaan peraturan perdagangan monopoli, upaya-upaya
perlindungan sumber daya alam tetap diperhatikan oleh pemerintah kolonial dengan
diterbitkan berbagai ordonansi seperti ordonansi perlindungan binatang liar (1931) dan
ordonansi perlindungan alam (1941).
Pada masa awal kemerdekaan pemerintah Indonesia meneruskan kebijakan-kebijakan
terkait pemanfaatan dan pengelolaan SDA, termasuk pengelolaan sumber daya air.
Kebijakan pemerintah Orde Lama yang terkait dengan sumber daya lahan adalah Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mencakup prinsipprinsip pengelolaan sumber daya alam secara berlanjut. Walaupun pelaksanaan undangundang ini dianggap tidak efektif, dinamika politik yang menekankan nation building
pada kurun pemerintahan Orde Lama telah mengendorkan tekanan terhadap penjarahan
hutan.
Keterkaitan antara lahan dan air terrefleksi dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 47 menyebutkan secara eksplisit
tentang Hak Guna Air yaitu hak mengenai air yang tidak berada di atas tanah miliknya.
Pernyataan mengenai air yang berada di atas tanah miliknya sudah termasuk dalam isi hak
milik atas tanah. Sebaliknya UU No. 11 Tahun 1974 yang dalam berbagai hal mewarisi
Algemene Water Reglement tahun 1936 tidak menyebut istilah Hak Guna Air. Penyebutan
245
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Hak Guna Air baru muncul pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 yang
menyatakan bahwa hak atas air adalah hak guna air walaupun peraturan tersebut tidak
mengatur bagaimana hak guna air dilaksanakan. UU No. 7 Tahun 2004 menetapkan peran
Hak Guna Air yang dewasa ini sedang ditindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah.
Dari perspektif politik, UU No. 5 Tahun 1960 merupakan undang-undang progresif
yang membedakan ”air di atas tanah yang melekat pada kepemilikan tanah” dengan
”air di luar usahatani” yang perlu diatur penggunaannya. Dari segi politik sehari-hari
(daily politics), air yang berada pada lahan usahatani menjadi kewenangan petani untuk
mengaturnya, sedangkan air dari luar usahatani perlu diatur hak penggunaannya. Dalam
kehidupan politik sehari-hari, air juga diatur secara kolektif oleh kelompok tani, baik di
dalam desa maupun antardesa.
Di samping politik kebijakan perlu pula diperhatikan politik birokrasi. Kedua
kategori politik tersebut saling mempengaruhi dan memerlukan proses negosiasi dalam
perumusannya. Dalam proses perumusan kebijakan yang melibatkan berbagai pihak, seperti
halnya perumusan kebijakan irigasi, dapat terjadi bahwa politik kebijakan yang dihasilkan
melalui proses negosiasi bertentangan dengan kepentingan birokrasi tertentu atau politik
birokrasi suatu lembaga pemerintahan yang mempunyai mandat untuk melaksanakan
kebijakan. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kebijakan tidak efektif dan muncul
maneuver politik lebih lanjut untuk menyelaraskan rumusan kebijakan dengan kepentingan
birokrasi. Sebagai contoh, kebijakan penyerahan pengelolaan irigasi kepada masyarakat
tani yang dituangkan dalam PP No. 77 Tahun 2001 dianggap tidak sesuai dengan politik
birokrasi yang menghendaki pengelolaan irigasi tetap berada dalam birokrasi pemerintah.
UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air mencerminkan kepentingan birokrasi
dalam pengelolaan irigasi dan sumber daya air pada umumnya, yang cenderung sentralistik
walaupun dipengaruhi oleh politik internasional yang memberi warna pada pendekatan
keterpaduan. Politik kebijakan yang berganti-ganti mungkin merupakan salah satu sebab
terbengkalainya pemeliharaan jaringan irigasi di samping politik birokrasi yang cenderung
bersifat rent seeking melalui pendekatan proyek yang menyebabkan kemerosotan kualitas
bangunan dan siklus rehabilitasi irigasi yang pendek (Suhardiman, 2008, Pasandaran
2008).
Pada era Orde Baru, politik ekonomi yang mementingkan pertumbuhan ekonomi
secara cepat merupakan salah satu alasan eksploitasi SDA dalam skala besar. Perambahan
hutan, misalnya, dilandasi produk hukum yaitu UU Pokok Kehutanan tahun 1967. UU
ini memungkinkan pemberian hak konsesi penguasaan hutan (HPH) di Indonesia, baik
kepada perusahaan swasta nasional, maupun asing. BUMN di bidang kehutanan juga
memperoleh HPH. Pada tahun 1995, misalnya, terdapat 586 konsesi HPH dengan luas 63
juta ha atau lebih dari separuh luas hutan tetap (Nababan 2004). Kekuatan posisi politik
para pemegang HPH sering memungkinkan penyalahgunaan aturan aturan teknis seperti
penebangan di luar blok tebangan atau di luar areal konsesi. Praktik-praktik penebangan
246
POLITIK PENGELOLAAN DAS
ilegal sudah menjadi kelaziman dan praktik ini tidak hanya mengancam fungsi ekologi
dan sosial hutan produksi, tetapi juga mengancam keberlanjutan produksi perusahan
perusahan tersebut.
Di Era Reformasi, politik desentralisasi ikut memacu proses kerusakan SDA.
Penambahan wewenang kepada pemerintah daerah terjadi dalam pemberian izin-izin baru
dalam skala kecil untuk melakukan eksploitasi hutan, sedangkan kapasitas pengawasan
aparat masih terbatas. Beberapa tahun terakhir semakin tumbuh praktik-praktik
penebangan hutan yang melanggar hukum nasional dan hukum adat. Penjarahan hutan
seperti ini menjadi lebih berbahaya, tidak saja bagi ekosistem, tetapi juga bagi keselamatan
masyarakat adat. Di samping itu terjadi pula konflik mengenai pengusahaan lahan hutan
yang terus meningkat, dan sebagai akibatnya terjadi pengurangan keragaman hayati
dan perluasan kerusakan hutan (Rhee et al., 2004). Pada tahun 2003, luas deforestasi
di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 2,4 juta ha per tahun. Hal
itu terjadi karena kapasitas pengolahan kayu yang jauh melebihi kemampuan yang resmi
diijinkan untuk beroperasi (6,3 juta m3 untuk tahun 2003). Selain perusahan pengolahan
kayu yang resmi terdapat juga perusahaan yang tidak mempunyai izin konsesi wilayah
tebangan.
Konversi hutan ke lahan pertanian juga merupakan penyebab berkurangnya luas
hutan dan menyebabkan kebakaran hutan. Eforia yang terjadi sebagai akibat kejatuhan
pemerintah Orde Baru direfleksikan antara lain melalui penyerobotan hutan milik Perum
Perhutani di berbagai daerah oleh petani petani yang lapar lahan. Areal-areal tersebut pada
umumnya ditanami tanaman semusim tanpa memperhatikan kaidah kaidah konservasi.
Tekanan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat
merupakan penyebab lain terjadinya ekspansi usahatani tanaman semusim di kawasan
berlereng di bagian hulu DAS. Praktik-praktik seperti ini mempercepat proses degradasi
lahan(Tri Pranaji, 2004).
Politik Pengelolaan DAS dan Kesadaran Ekologi
Politik pengelolaan DAS adalah politik sehari-hari yang menyangkut perjuangan
antarpelaku untuk memperoleh akses terhadap sumber daya lahan dan air dan
pemanfaatannya untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat
yang terkait dengan sumber daya tersebut. Oleh karena air merupakan sumber daya yang
mengalir, perjuangan kepentingan untuk memperoleh akses terhadap air lebih menonjol
(Sneddon and Fox, 2008). Dalam wilayah DAS yang luas seperti wilayah DAS Mekong
yang cakupannya meliputi beberapa negara, pelaku utama politik pengelolaan DAS adalah
pemerintah negara-negara yang terkait dengan DAS yang bersangkutan. Pemerintahpemerintah tersebut berupaya membangun konsep dasar alokasi air yang disepakati bersama.
Sneddon dan Fox mempersoalkan penerapan konsep-konsep demokrasi yang mencakup
247
POLITIK PENGELOLAAN DAS
antarnegara (international democracy) dan demokrasi ekologi (ecological democracy) yang
mendukung keberlanjutan pengelolaan sumber daya lahan dan air di seluruh kawasan
DAS.
Pada hakekatnya keterkaitan lahan dan air sangat erat sehingga dalam politik seharihari tidak mudah dipisahkan. Pergeseran pemanfaatan lahan dapat mempengaruhi
dinamika hidrologi dan ekologi kawasan DAS. Pergeseran pemanfaatan lahan dapat
mempengaruhi distribusi ketersediaan air sepanjang tahun dan dapat mempengaruhi
kualitas air. Kerusakan sumber daya lahan dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi
dan dapat mempengaruhi frekuensi banjir dan kekeringan. Sebaliknya, pengelolaan air
dapat mempengaruhi produktivitas lahan dan dapat memperkuat sendi-sendi kehidupan
masyarakat di kawasan DAS dan kawasan yang saling terkait. Sebagai contoh adalah kasus
pergeseran penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu yang merupakan penentu banjir
daerah hilirnya/Jakarta yang disampaikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alih Fungsi Lahan yang Terjadi di Sub DAS Ciliwung Hulu
Penggunaan lahan
Hutan
Semak belukar
Kebun campuran
Kebun karet
Kebun teh
Kebun terbuka
Pemukiman
Sawah
Tegalan
Total
1981
Ha
4469,5
881,3
1077,0
57,5
2928,0
73,7
699,8
3833,4
899,9
14920,2
%
30,0
5,9
7,2
0,4
19,6
0,5
4,7
25,7
6,0
100,0
1990
Ha
3143,4
87,5
1151,7
0,0
3838,6
107,2
2482,2
2703,9
6196,0
14920,2
%
21,1
5,8
7,7
0,0
25,7
0,7
16,6
18,1
4,1
100,0
2000
Ha
2993,5
278,7
1582,0
0,0
3094,8
11,7
3954,9
1363,7
1640,8
14920,2
%
20,1
1,9
10,6
0,0
20,7
0,1
26,5
9,1
11,0
100,0
Sumber: Sudadi et al. (1991) dalam Sutrisno (2004)
Pergeseran penggunaan lahan di DAS Ciliwung hulu tercermin dalam kondisi fluktuasi
debit yang sangat besar antara musim hujan dan musim kemarau. Penggunaan lahan di
bagian hulu berupa hutan dan tanaman teh akan dapat menyelamatkan bagian hilir DAS.
Kondisi bagian atas yang ideal dan berguna dari sudut pandang konservasi tanah dan air
mampu mengurangi erosi tanah, dan air yang mengalir di permukaan tanah (runoff) yang
mencapai sungai akan berkurang. Karena tertahan oleh barisan tanaman teh, teras-teras
dan rorak-rorak yang dibuat pada beberapa tempat yang dapat menahan kecepatan aliran
air dan banyak yang meresap ke dalam tanah.
Di wilayah hulu DAS Ciliwung terdapat empat penggunaan lahan yang dominan yaitu
hutan, pemukiman, kebun teh, dan sawah. Seluruhnya mencakup sekitar 80 persen dari
luasan wilayah tersebut. Gambar 1 menunjukkan perubahan keempat tipologi penggunaan
248
POLITIK PENGELOLAAN DAS
tersebut selama dua dasawarsa terakhir. Areal hutan mengalami penyusutan sekitar 10
persen antara tahun 1980 sampai 1990, kemudian melandai antara 1990 dan 2000. Pada
lahan persawahan terdapat kecenderungan penyusutan yang semakin tajam dalam kurun
waktu dua dasawarsa tersebut. Dalam kurun waktu tersebut areal sawah menurun drastis
dari 25,7 persen menjadi 9,1 persen. Sebaliknya areal pemukiman meningkat pesat dari
4,7 persen pada tahun 1980 menjadi 26,5 persen pada tahun 2000.
Gambar 1. Alih Fungsi Lahan di DAS Ciliwung
Politik pemukiman oleh birokrasi pemerintahan yang bersifat permisif merupakan
alasan utama terjadinya pergeseran penggunaan lahan. Kecenderungan yang terjadi seperti
pada Gambar 1 dapat menyebabkan erosi, yang tercermin pada besarnya sedimentasi.
Hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan frekuensi banjir besar dengan dampak
yang meluas pada sungai. Penelitian Putuhena et al., (2002) berdasarkan data antara 1919
dan 2001 di berbagai DAS di Pulau Jawa, menunjukkan pada kurun waktu antara 1970
dan 2000 banjir besar lebih sering terjadi dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Penyebabnya adalah keragaman iklim dan pergeseran penggunaan lahan.
Sejak tahun 1970 pembangunan yang pesat di segala bidang dan tekanan populasi
penduduk yang meningkat khususnya di Pulau Jawa, telah mendorong proses urbanisasi
termasuk yang terjadi di wilayah hulu Ciliwung. Gejala tersebut mendorong akselerasi
kerusakan sumber daya alam yang disebut sebagai Java Syndrome (Pasandaran, 2008).
Gambaran yang lebih detail pengaruh perbedaan penggunaan lahan dalam sub DAS
Ciliwung hulu yang dapat menentukan besarnya sedimen dan debit yang terjadi, disajikan
pada Tabel 3.
249
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Tabel 3. Hasil Pengamatan Sedimen Sungai sub DAS Ciliwung Hulu 1, 2, 3, 4,5, 6 dan
7 (10 hari hujan, bulan Januari 2001)
Sub DAS Tugu Utara (Ciliwung Hulu)
Sub DAS Ciliwung Hulu 1 (hutan, teh lereng atas dan tengah,
vila dan pemukiman),
Sub DAS Ciliwung Hulu 2 (pangan sebagian besar ditanam
searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan, vila dan
pemukiman)
Sub DAS Ciliwung Hulu 3 (kebun campuran yang diteras,
pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah
dan atas, hutan, vila dan pemukiman)
Sub DAS Ciliwung Hulu 4 (pangan dan sayuran, pangan sebagian
besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan atas, hutan,
lahan terbuka dan lahan diberakan kemudian ditanami tanaman
pangan diteras petani)
Sub DAS Ciliwung Hulu 5 (kebun campuran yang diteras,
pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah
dan atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik, teh
lereng atas dan tengah, vila dan pemukiman)
Sub DAS Ciliwung Hulu 6 (kebun campuran yang diteras,
pangan sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah
dan atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik
pangan pada lereng bawah, teh lereng atas dan tengah, vila dan
pemukiman)
Sub DAS Ciliwung Hulu 7 (teh pada lereng bawah dan tengah,
pangan dan sayuran, kebun campuran yang diteras, pangan
sebagian besar ditanam searah lereng pada lereng tengah dan
atas, hutan, sayuran dan diteras dengan teras yang baik, pangan
pada lereng bawah, lahan terbuka, lahan diberakan kemudian
ditanami tanaman pangan diteras petani, teh lereng atas dan
tengah, vila dan pemukiman
Sedimen Sungai Debit rata-rata
(kg ha-1) (*)
(m3 detik-1)
24,59
0,153
502,67
0,104
186,39
0,219
671,88
0,171
60,28
0,167
47,48
0,151
212,92
0,366
Keterangan:Curah hujan: 210,40 mm (10 hari hujan). EI30: 105,96 (Ek = ton-m ha-1 cm-1).
Sumber: Sutrisno, 2002.
Berdasarkan sepuluh kejadian hujan, sedimen di muara sub DAS Ciliwung Hulu 1, 2,
3, 4, 5, 6 dan 7 sangat bervariasi. Perbedaan-perbedaan kemiringan lereng, panjang lereng,
sistem pertanaman, seperti perkebunan teh atau tanaman sayuran atau hutan, tindakan
konservasi tanah yang diterapkan dan sifat-sifat tanah atau erodibilitas tanah, jumlah
dan kecepatan aliran permukaan, kekasaran permukaan atau n Manning’s, seluruhnya
mempengaruhi sedimen sungai. Beberapa hasil penelitian yang menunjang dikemukakan
oleh Kuhnle et al., (1996) dan Frangipane dan Paris (1994) yang mengemukakan bahwa
250
POLITIK PENGELOLAAN DAS
perbedaan penggunaan lahan menyebabkan perbedaan hasil sedimen di muara DAS.
Ditambahkan pula oleh Takken et al., (1998), bahwa lereng yang semakin miring akan
menyebabkan debit semakin besar.
Keputusan pemanfatan lahan di kawasan hulu DAS dapat mempengaruhi performa
pengelolaan air di daerah hilir, seperti yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu, tengah
dan hilir. Pada bagian bawah, areal kebun teh yang rapat diikuti areal tanaman pangan
(sayuran) dan vila-vila serta perumahan (daerah terbangun) yang tidak beraturan. Vila-vila
dan perumahan serta pertanaman tanaman pangan merupakan sumber aliran permukaan
paling banyak yang akan masuk ke Sungai Ciliwung. Kondisi demikian diperparah oleh
posisi vila-vila dan sebagian besar tanaman pangan yang terletak pada areal (zona) yang
mempunyai jaringan hidrografik terbanyak (zona prioritas 1, 2, dan 3). Kondisi demikian
menyebabkan fluktuasi debit Sungai Ciliwung sangat tajam. Saat curah hujan tinggi
menyebabkan peningkatan debit sungai menjadi sangat besar, namun pada saat tidak
ada hujan, dalam beberapa hari saja air sungai hampir habis atau bahkan tidak ada air di
sungai.
Sebagai gambaran kejadian banjir, pada saat Jakarta hampir tenggelam dan mengalami
banjir berkepanjangan (episode banjir tanggal 18 Januari 2002), tinggi muka air maksimum
di bendung Katulampa, Bogor, menunjukkan angka 200 cm yang setara dengan debit air
500 m3/detik. Pada kondisi aman, tinggi muka air di bendung Katulampa harus lebih
rendah dari 150 cm yang setara dengan 350 m3/detik. Bila angka menunjukkan lebih besar
dari 150 cm artinya warning untuk Jakarta, yaitu akan terjadi banjir. Selanjutnya, kalau
dihitung kelebihan air yang terjadi pada waktu Jakarta banjir tahun 2002, menunjukkan
terjadi kelebihan air sebanyak 10 mm curah hujan neto atau setara dengan 1.069.350 m3
dengan mempertimbangkan kontribusi luas DAS (Sutrisno, 2004).
Mitigasi, upaya perbaikan dan penertiban dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten
Bogor, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung telah banyak dilakukan, walaupun
tidak terpadu dan tidak kontinu. Bahkan lebih dari 100 proyek sudah dilaksanakan untuk
mengatasi banjir Jakarta, antara lain berupa penghijauan, sumur resapan, dam penghambat
(check dam), peraturan-peraturan yang sifatnya menjaga keseimbangan lingkungan sub
DAS Ciliwung Hulu seperti KEPPRES dan pembongkaran beberapa vila, yang kesemuanya
bertujuan untuk memperbaiki DAS Ciliwung secara keseluruhan, khususnya sub DAS
Ciliwung Hulu agar dapat mengendalikan aliran permukaan dan mencegah kerusakan
lingkungan yang pada akhirnya dapat mengatasi banjir Jakarta. Tetapi hasil yang dicapai
masih belum memuaskan, banjir di Jakarta masih kerap terjadi.
Untuk mengatasi banjir DAS Ciliwung hilir/Jakarta, perlu dilakukan tahapantahapan pengendalian banjir secara sistematis. Tahap awal adalah menghitung banyaknya
aliran permukaan yang terjadi dan yang akan masuk ke Sungai Ciliwung. Caranya adalah
dengan melakukan prediksi melalui analisis hubungan antara kerusakan penggunaan lahan
251
POLITIK PENGELOLAAN DAS
di kawasan bagian hulu dan fluktuasi debit sungai. Data debit sungai dari sub-sub DAS
Ciliwung Hulu dapat di up scale ke skala yang lebih luas, dan akhirnya dapat dihitung
kelebihan air dari Sungai Ciliwung. Selanjutnya dapat ditentukan zona-zona penyumbang
aliran permukaan terbanyak sampai banyak yang merupakan sumber air penyebab banjir
Sungai Ciliwung. Zona-zona tersebut merupakan zona prioritas untuk penanganan banjir
Sungai Ciliwung di mana dam parit diterapkan agar dapat mengurangi banjir secara efektif
dan efisien. Zona prioritas tersebut ditentukan berdasarkan analisis kerapatan jaringan
hidrografik (hydrographic network) yang ada.
Penerapan praktik sipil teknis untuk mengurangi jumlah aliran permukaan yang
masuk ke sungai belum cukup. Air aliran permukaan yang banyak dapat diatasi dengan
penerapan kombinasi tindakan vegetatif dan sipil teknis, termasuk panen hujan dan aliran
permukaan. Lokasi yang tepat untuk penerapannya adalah pada zona prioritas 1, 2, dan
3. Sebagai contoh, dam parit yang dibuat di sub-sub DAS Ciliwung (Sungai Cipucung)
dengan volume 107 m3, terletak di zona prioritas 1, dapat mengurangi aliran permukaan
sebesar 0,5 persen (Sutrisno et al., 2004 ). Selanjutnya, bila dam parit yang kecil-kecil
dibangun dengan jumlah banyak (1000 dam parit misalnya), akan dapat mengurangi
volume air yang masuk ke Sungai Ciliwung dan mengurangi waktu respons, yang pada
akhirnya banjir Jakarta dapat dikurangi secara signifikan. Berdasarkan hasil tersebut, dam
parit yang dibangun di lokasi yang tepat akan sangat bermanfaat karena dapat mengurangi
air aliran permukaan yang masuk ke Sungai Ciliwung atau dapat mengurangi risiko
banjir Jakarta. Kelebihan lain dari panen hujan dan aliran permukaan dam parit adalah
pada saat tidak ada hujan, air hasil panen dapat berfungsi sebagai sumber air yang dapat
didistribusikan ke areal tanaman petani. Pendekatan vegetatif maupun struktural (teknis
sipil) tidak memadai kalau kerakusan terhadap lahan, terutama ekspansi pemukiman,
berlangsung terus. Dalam hal ini diperlukan politik tata ruang dalam penggunaan lahan
untuk menangkal pergeseran lebih lanjut yang perlu diawasi secara ketat.
Di samping dimensi tata ruang terdapat pula dimensi waktu yang perlu diperhatikan
sebagai akibat keputusan politik dalam pengelolaan DAS. Dari dimensi waktu dapat
dijumpai keputusan-keputusan yang terjadi sehari-hari pada kawasan yang kecil,
misalnya dalam pembagian air irigasi dalam suatu blok persawahan dalam suatu daerah
irigasi. Walaupun dalam ukuran kecil, konflik kepentingan dapat timbul dalam upaya
memperebutkan air yang tersedia secara terbatas. Dimensi waktu juga menyangkut
alokasi air dalam suatu musim antardaerah irigasi dalam suatu wilayah DAS. Termasuk
di dalamnya adalah keputusan tentang areal tanam yang perlu dilayani oleh irigasi. Selain
itu, terdapat juga keputusan-keputusan politik yang mempunyai dampak jangka panjang
dan mempengaruhi keseluruhan kawasan DAS, bahkan mungkin dampaknya melampaui
batas batas kawasan DAS. Pembangunan waduk di kawasan hulu DAS akan membawa
efek jangka panjang dan mempengaruhi perekonomian yang melampaui batas wilayah
DAS. Demikian pula upaya reforestasi dan konservasi mempengaruhi performa DAS
dalam jangka panjang.
252
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Dalam konteks politik pengelolaan DAS di Indonesia, relevansi masalah transboundary
muncul pada DAS besar seperti DAS Brantas, Bengawan Solo, Citarum, Cimanuk dan
Batanghari, yang memerlukan kesepakatan bersama antara pemerintah-pemerintah
kabupaten dan kota yang terkait. Dengan semakin seringnya muncul fenomena banjir dan
kekeringan dengan dampak yang semakin meluas muncul pula kesadaran ekologi melalui
upaya advokasi untuk memulihkan sumber daya yang rusak agar dapat mewariskan sumber
daya tersebut ke generasi yang akan datang.
Keterkaitan geografis antarwilayah dalam suatu DAS juga mendorong terjadinya
hubungan interaktif antarpelaku pelaku. Sumber daya yang bersifat mengalir seperti air
tidak dapat diklaim menjadi suatu kepemilikan yang bersifat eksklusif. Sebagai contoh:
pemanfaatan mata air di hilir untuk keperluan air minum dapat berlangsung karena
lingkungan yang masih terpelihara di hulu. Air sebagai common pool reources membawa
implikasi bahwa keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan air hendaknya dapat
dibagi secara adil dengan para pihak yang memelihara kelestarian lingkungan. Dalam
hubungan tersebut akhir-akhir ini muncul politik advokasi berupa iuran jasa lingkungan
atau environmental service fee. Walaupun dalam praktiknya sudah ada contoh-contoh
pelaksanaan yang dianggap berhasil seperti pengelolaan sungai oleh Perum Jasa Tirta I di
Jawa Timur, namun pada umumnya konsep tersebut tidak mudah dilaksanakan secara
adil.
Hal tersebut di atas disebabkan oleh sangat beragamnya pemanfaatan dan kemampuan
untuk mengakses sumber daya tersebut. Dampak eksternalitas seperti pemompaan air tanah
yang berlebihan oleh pihak yang mempunyai kemampuan finansial membawa dampak
negatif bagi pihak yang relatif rendah kemampuan finansialnya. Politik perundangundangan sangat diperlukan dalam mengatur hak guna air, khususnya di wilayah DAS
yang sudah dianggap tertutup (river basin closure). Pada DAS seperti itu, tambahan
pemanfaatan air oleh salah satu pihak dapat mengurangi ketersediaan air untuk pihak
lain. Oleh karena itu politik advokasi tentang jasa air tidak lepas kaitannya dengan politik
perundang undangan tentang hak guna air.
Pergeseran Paradigma Politik
Politik pengelolaan DAS di Indonesia masih menonjolkan politik birokrasi oleh
pemerintah yang antara lain menyangkut pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
Walaupun pada era reformasi dewasa ini semestinya peran pemerintah daerah dalam
pengelolalan DAS semakin menonjol, namun warisan Orde Baru dengan pendekatan
yang bersifat sentralistik dalam politik praktis sehari hari tetap dominan. Hal ini antara
lain terlihat dalam organisasi birokrasi pengelolalan sumber daya air dengan munculnya
berbagai balai dan balai besar yang mengelola wilayah sungai. Pendekatan yang dilakukan
tetap sektoral yang dituangkan dalam berbagai program birokrasi pusat.
253
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Di masa yang lampau penonjolan fungsi ekonomi dalam politik pengelolaan DAS
yang mementingkan berlangsungnya investasi sektor swasta telah menyebabkan terjadinya
politik kebijakan permisif dalam pengelolaan DAS, khususnya yang menyangkut
eksploitasi hutan. Demikian pula telah terjadi konversi lahan untuk berbagai tujuan yang
menyebabkan berkurangnya kemampuan ekosistem dalam memelihara keberlanjutan
lingkungan dan ekosistem.
Kesadaran pengelolaan sumber daya secara terpadu telah merupakan kesepakatan
internasional yang antara lain dideklarasikan dalam forum internasional seperti Johanesburg
Declaration tahun 2002. Politik internasional tersebut turut mempengaruhi politik
pengelolaan dalam negeri yang memunculkan kesadaran pendekatan keterpaduan dalam
pengelolaan sumber daya lahan dan air. Lebih jauh lagi, muncul pula gagasan-gagasan
tentang Integrated Water Resource Management dan Integrated River Basin Management.
Pendekatan tersebut pada mulanya menekankan pentingnya keterpaduan antarsektor dan
antarwilayah dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air, namun konsep dasar yang
mendukung asas keterpaduan pada hakekatnya adalah keterpaduan yang didasarkan pada
keselarasan dan keseimbangan tiga fungsi dasar, yaitu fungsi yang menopang efisiensi
dalam pengelolaan sumber daya, fungsi yang mewujudkan keadilan sosial dan fungsi
yang mewujudkan kesadaran ekologi untuk mewariskan keberlanjutan lingkungan pada
generasi yang akan datang.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mengintegrasikan
ketiga fungsi dasar atau pilar tersebut. Gambar 2 menunjukkan keterkaitan antara ketiga
fungsi dasar tersebut yang oleh Molle (2008) khususnya ditujukan untuk keterpaduan
pengelolaan sumber daya air.
Pilar pertama cenderung diminati sektor swasta karena kecenderungan orientasi
keuntungan yang diutamakan dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Kasus
pemanfaatan sumber daya air untuk keperluan air minum oleh swasta dapat menyebabkan
akses masyarakat yang berkekurangan menjadi terhalang. Demikian pula pemanfaatan
sumber daya hutan tanpa memperhatikan asas kelestarian akan menghilangkan kesempatan
generasi yang akan datang memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah DAS sebaikbaiknya.
254
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Privatisasi
Efisiensi
Ekonomi
Hijau
Pengelolaan
Terpadu
Keadilan
sosial
Kemitraan
Lingku
ngan
Konservasi
Pendekatan ekosistem
Gambar 2: Keterkaitan antara Ketiga Fungsi Dasar Pengelolaan Sumber Daya Air
Sumber: Molle, 2008.
Menurut Sehring (2009), berdasarkan pengalamannya di negara negara Asia Tengah,
bekas Uni Soviet, diperlukan proses demokratisasi untuk mewujudkan keterpaduan ketiga
pilar tersebut. Masalah yang timbul adalah pertanyaan apakah demokratisasi merupakan
suatu prakondisi bagi proses keterpaduan ketiga pilar tersebut, atau demokratisasi merupakan
salah satu pilar yang perlu dibangun bersama sama untuk mewujudkan keterpaduan?
Dimensi politik di Indonesia dapat dianggap sebagai pilar tersendiri bersama-sama dengan
ketiga pilar lainnya. Dengan demikian terdapat empat pilar yang perlu diperhatikan dan
keterkaitan yang erat antar pilar-pilar tersebut yang perlu dibangun melalui upaya-upaya
kebijakan untuk mewujudkan keterpaduan dan good governance dalam pengelolaan DAS.
Gambar 3 menunjukan upaya-upaya kebijakan yang perlu dibangun pada setiap
kuadran. Kondisi ini memerlukan komitmen politik untuk mendukung upaya-upaya
kebijakan dan gerakan gerakan masyarakat untuk membangun interaksi antarpilar.
Hubungan antara pilar politik dan ekonomi adalah upaya membangun demokrasi
ekonomi. Pemberdayaan ekonomi rakyat dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti
lahan dan air dalam wilayah DAS, merupakan amanah UUD 45 Pasal 33. Lahan dan
255
POLITIK PENGELOLAAN DAS
air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Akses terhadap kedua
sumber daya tersebut harus diprioritaskan kepada rakyat banyak, termasuk masyarakat
petani yang merupakan pemanfaat terbesar ekosistem DAS.
Reforma agraria dalam gambar 2 yang mengaitkan dimensi politik dan sosial
mencerminkan kebutuhan akan dukungan politik terhadap keadilan sosial dalam
mengakses sumber daya lahan. Politik hak guna air pada hakekatnya sama dengan reforma
agraria, yaitu memperbaiki akses masyarakat luas, termasuk kelompok miskin yang ada
dalam masyarakat untuk memperoleh air bagi keperluan sehari-hari. Baik reforma agraria
dan reforma air (water reform) yang didukung oleh politik hak guna air juga merupakan
prasyarat bagi kelangsungan proses pemberdayaan ekonomi rakyat yang merupakan
keterkaitan politik ekonomi (kuadran I) dan politik keadilan sosial (kuadran IV).
Ekonomi
• Ekonomi Hijau:
Eco- Labelling
Jasa Lingkungan
• Demokrasi Ekonomi :
- Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat
Lingkungan
Politik
• Ketangguhan
Sosial dan Ekologi
• ReformaAgraria
• Hak Guna Air
Sosial
Gambar 3. Keterkaitan Antara Dimensi Politik, Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dalam
Pengelolaan DAS
Ekonomi Hijau adalah upaya mengintegrasikan variabel lingkungan sebagai instrumen
kebijakan ekonomi untuk mendukung proses keberlanjutan. Seperti yang terlihat pada
kuadran II salah satu instrumen kebijakan adalah eco-labelling yaitu penelusuran rekam jejak
(foot-print) produk-produk yang diperdagangkan antar negara dari perspektif lingkungan.
256
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Konsep pembayararan jasa lingkungan (environmental service fee) merupayakan upaya
menginternalisasi efek eksternal (externality) baik yang positif maupun negatif. Walaupun
sudah ada rintisan kasus kasus pelaksanaan iuran jasa lingkungan, namun tidak mudah
melaksanakannya karena keragaman kepentingan dan kemampuan dalam mengakses
sumber daya lahan dan air. Demikian pula keterkaitan antara dimensi sosial dan lingkungan
(kuadran III) diwujudkan melalui upaya membangun ketangguhan sosial dan ekologi oleh
masyarakat lokal. Pendekatan yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk
berbagai kearifan dalam mengantisipasi dan mengadaptasi keragaman iklim merupakan
upaya memperkuat interaksi lingkungan dan masyarakat. Keterkaitan dan keterpaduan
seperti pada gambar 3 merupakan sesuatu yang ideal walaupun banyak tantangan yang
dihadapi. Pihak yang berpandangan pesimistik seperti Molle (2008) mengemukakan
konsep keterpaduan tersebut adalah Nirvana Concept, yaitu sesuatu yang sifatnya visioner
dan hanya terjadi di Nirwana. Untuk mendorong terwujudnya konsep tersebut diperlukan
suatu prakondisi atau enabling environment. Salah satu prakondisi yang diperlukan untuk
membangun politik pengelolaan DAS yang didasarkan pada keterpaduan fungsional adalah
perubahan pola pikir seperti yang terdapat pada tabel 4. setidaknya terdapat tiga dimensi
pola pikir yang perlu diperbaharui, yaitu peran masyarakat, prinsip-prinsip pengelolaan,
dan pendekatan pengelolaan.
Tabel 4. Perubahan Pola Pikir Pengelolaan SDLA
Dimensi Pola Pikir
Peran
Pola Pikir Lama
Peran masyarakat tani
sekunder.
Potensi petani tidak
dimanfaatkan sepenuhnya.
Prinsip
Mengutamakan fungsi
penyediaan jasa ekosistem
untuk mendukung
pertumbuhan tinggi dalam
Jangka Pendek
Pendekatan
Mengutamakan pendekatan
sektoral dan birokrasi
Berpikir Nasional Bertindak
Lokal
Pola Pikir Baru
Masyarakat tani sebagai arus
utama
Pemanfaatan penuh potensi
masyarakat tani termasuk
kearifan lokal
Mengutamakan keseimbangan
dan keselarasan berbagai jasa
ekosistem untuk mendukung
keberlanjutan pembangunan
dan keadilan sosial dalam
Jangka Panjang
Mengintegrasikan semua pihak
yang terkait dalam forum
kemitraan dengan peran dan
prinsip yang sesuai
Berpikir Lokal bertindak lokal
dan nasional
257
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Pola pikir pertama yang harus diperbaharui adalah pola pikir tentang masyarakat
tani masih tetap merupakan pengguna terbesar ekosistem dalam DAS. Masyarakat tani
hendaknya ditempatkan sebagai arus utama dalam berbagai keputusan yang menyangkut
pengelolaan DAS dan potensi yang ada pada masyarakat tani termasuk kearifan lokal perlu
dimanfaatkan sepenuhnya. Pola pikir kedua adalah diperlukan pemahaman yang lebih
mendalam asas keselarasan dan keseimbangan antara tiga fungsi dasar yang menunjang
pertumbuhan ekonomi, dan yang menerapkan asas keadilan sosial dan keberlanjutan
lingkungan. Pola pikir ketiga adalah membangun forum kemitraan berdasarkan asas
kesamaan kepentingan dalam pengelolaan DAS dengan memperhatikan kesesuaian
peran dan prinsip pengelolaan DAS. Membangun kemitraan diperlukan dalam upaya
membangun atau memberdayakan kapital sosial yang sudah ada untuk menunjang
terwujudnya ketangguhan sosial dan ekologi dalam pengelolaan ekosistem.
Membangun kemitraan yang memadukan ketiga pilar di atas tidak mudah. Walaupun
selama ini pengalaman kemitraan adalah untuk kasus-kasus tertentu dalam suatu sektor,
namun pengalaman kemitraan yang baru perlu dibangun dengan dukungan komitmen
politik.
Penutup
Walaupun di Indonesia terdapat tiga pilar kepentingan yang memberi warna pengelolaan
DAS, yaitu pilar ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan, namun untuk
membangun keterpaduan ketiga pilar tersebut dalam wilayah DAS diperlukan pilar politik
yang menopang berbagai kebijakan pembangunan seperti demokrasi ekonomi termasuk
pemberdayaan ekonomi rakyat, praktik praktik ekonomi hijau, membangun ketangguhan
sosial dan ekologi, reforma agraria, dan hak guna air yang berpihak pada ekonomi rakyat.
Salah satu prasyarat untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan DAS adalah
perubahan dimensi pola pikir yang memberikan peran sebagai arus utama kepada masyarakat
tani dengan memanfaatkan potensi penuh yang mereka miliki, termasuk kearifan lokal.
Prinsip keserasian dan keselerasan berbagai jasa ekosistem untuk mendukung keberlanjutan
pembangunan dan keadilan sosial dalam jangka panjang hendaknya dilaksanakan melalui
pendekatan kemitraan dengan membangun kemampuan lokal dalam pemikiran dan
pelaksanaan pengelolaan DAS.
Daftar Pustaka
Frangipane, A. and E. Paris. 1994. Long term variability of sediment transport in the
Ombrone River Basin (Italy). Dalam: Olive LJ, Loughran RJ, Kesby JA, editor.
Variability in Stream Erosion and Sediment Transport. IAHS Publication No. 224.
hlm 317-324.
258
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Kuhnle RA, RL Binger, GR Foster and EH Grissinger. 1996. Effect of land use changes
on sediment transport in Goodwin Creek. Water Resources
Lombart D. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris
Molle F. 2008. Nirvana concepts, narratives and policy models: Insight from the water
sector. Water Alternatives 1(1): 131156. www.water.alternatives.org Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. jakarta
Nababan A. 2003. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Mei-Juli 2003
Nababan A. 2004. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Februari 2004
Pasandaran E. 2008. Irigasi Masa Depan. Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan
Ketahanan Pangan. JKI- Indonesia.
Putuhena William M, Wanny K Adidarma, dan Sri Mulat Yuningsih. 2002. Karakteristik
Banjir Puncak Pada Sungai-Sungai di Pulau Jawa (The Characteristics of Peak Flood
of Rivers in Java Island). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air.
Bandung.
Rhee S., Darrell Kitchener, Tim Brown, Reed Merrill, Russ Dilts, and Stacey Tighe.
Report on Biodiversity and Tropical Forests in Indonesia. Submitted in accordance
with Foreign. Assistance Act Sections 118/119. February 20, 2004. Prepared for
USAID/Indonesia Research. 32(10): 3189-3196.
Sehring J. 2009. Path dependencies and institutional bricolage in post-Soviet water
governance. Water Alternatives 2(1): 61-81. www.water-alternatives.org.
Suhardiman 2008. Bureaucratic Designs: The Paradox of Irrigation Management Transfer
in Indonesia. Wageningen UR.
Sutrisno N. 2004. Mangatasi Banjir Jakarta Dengan Penerapan Dam Parit. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Sutrisno N. 2002. Pendugaan Erosi Skala Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Erosi Pada
Lahan. Tesis.IPB.
Sneddon, C. and Fox, C. 2008. River basin politics and the rise of ecological and
transnational democracy in Southeast Asia and Southern Africa. Water Alternatives
1(1): 66-88 Volume 1 | Issue 1. www.water.alternatives.org.
Takken I, G Govers, CAA Ciesiolka, DM Silburn and RJ Loch. 1998. Factors influencing
the velocity discharge relationship in rills Dalam Summer W, Klaghofer E, Zhang W.
editor Modelling Soil Erosion, Sediment Transport and Closely Related Hydrological
Process IAHS Publication no 249.hlm 63-69.
259
POLITIK PENGELOLAAN DAS
Thijse, J.P. 1982. Apakah Jawa akan menjadi Padang Pasir?. Ekologi Pedesaan: Sebuah
Bunga rampai. Penerbit CV Rajawali. Jakarta.
Tri Pranaji. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan
Agroekosistem Lahan Kering. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor.
Vlughter H. 1949. Honderd Jaar Irrigatie. Voordracht gehouden op 18 October 1949 ter
gelegen-heid van de herdenking van de overdracht van de Technische Hogeschool aan
den Lande in 1924. Druk Vorkink Bandung. 1949.
260
Download