Manajemen Krisis PR

advertisement
1
Fakultas Ilmu Komunikasi
MATA KULIAH: MANAJEMEN KRISIS PR (3 SKS)
MODUL VIII
Pada minggu kedelapan dan kesembilan perkuliahan, mahasiswa diharapkan akan
dapat mengetahui serta memahami bagaimana mengelola hubungan dengan para stakeholder
(karyawan, investor & pemegang saham, konsumen, pemerintah dan komunitas) di saat krisis
menyerang perusahaan/organisasi.
PENGELOLAAN HUBUNGAN DENGAN STAKEHOLDER PADA SAAT KRISIS
Pada saat krisis menyerang perusahaan/organisasi, pengelolaan hubungan dengan para
stakeholder memegang peranan yang sangat penting. Kesalahan dalam mengelola hubungan
dengan mereka pada saat krisis akan berakibat buruk pada perusahaan/organisasi. Parahnya
suatu krisis yang menyerang perusahaan/organisasi tidak ditentukan oleh masalah itu sendiri
tetapi oleh para stakeholder yang terkena dampak serta bagaimana mereka bereaksi sebagai
hasil dari apa yang terjadi.
Tidak ada cara menilai seberapa baik sebuah organisasi berhasil mengatasi krisis. Pada
akhirnya, penilaian tersebut hanyalah persepsi dan opini saja yang didasarkan pada seberapa
efektif perusahaan/organisasi berkomunikasi dengan para stakeholder-nya pertama kali
hingga masalah yang menimpa perusahaan/organisasi benar-benar terpecahkan.
I. PENGERTIAN STAKEHOLDER
Stakeholders adalah kelompok-kelompok yang berada di dalam maupun di luar
perusahaan/organisasi yang mempunyai peranan dalam menentukan keberhasilan perusahaan.
Mereka juga adalah pihak-pihak yang menjadi khalayak sasaran kegiatan PR (Kasali,
2003:63).
Menurut Frank Jefkins, seorang pakar PR, khalayak (public) adalah kelompok atau
orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun
eksternal (Jefkins, 2003:80).
Rhenald Kasali menambahkan bahwa istilah publik dalam PR merupakan khalayak
sasaran dari kegiatan PR tersebut. Publik ini merupakan kumpulan dari orang-orang atau
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (Kasali, 2003:10).
Menurut definisi yang dirumuskan oleh IPR, istilah khalayak sengaja dituangkan
dalam istilah bermakna majemuk, yakni publics, dikarenakan kegiatan-kegiatan PR tidak
diarahkan kepada khalayak dalam pengertian yang seluas-luasnya (masyarakat umum).
Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan PR tersebut diarahkan kepada khalayak terbatas atau
pihak-pihak tertentu yang berbeda-beda, dan masing-masing dengan cara yang berlainan pula
(Jefkins, 2003:80).
Khalayak/publik perlu ditetapkan dalam suatu program humas agar seluruh kegiatan
yang dikerjakan praktisi PR lebih terarah, terutama pesan-pesan yang akan disampaikannya
agar menjadi lebih efektif. Penyebaran suatu pesan PR tidak dilakukan secara merata ke
semua orang seperti halnya pesan-pesan iklan melalui media massa. PR bersifat diskriminatif
dalam memilih khalayak.
Setiap perusahaan/organisasi memiliki sendiri khalayak khususnya. Kepada khalayak
yang terbatas itulah perusahaan/organisasi selalu menjalin komunikasi, baik secara internal
2
maupun eksternal. Oleh karena itu, khalayak atau publik perusahaan/organisasi pun dibedakan
menjadi Publik Internal dan Publik Eksternal.
1. Publik Internal
Publik internal adalah publik yang berada di dalam lingkup perusahaan/organisasi.
Mereka terdiri dari:
1) Perusahaan Induk / Prinsipal (bila ada)
2) Anak Perusahaan / Perusahaan Cabang / Sister Company
3) Para Investor
4) Para Pemegang Saham
5) Dewan Direksi / Komisaris
6) Para Karyawan Perusahaan yang sudah ada
7) Serikat Pekerja / SPSI (terutama perwakilan yang ada dalam perusahaan/organisasi)
8) Keluarga dari para karyawan / anggota organisasi
9) Calon Karyawan perusahaan / anggota organisasi
2. Publik Eksternal
Publik eksternal adalah mereka yang berada di luar perusahaan/organisasi namun
berkepentingan terhadap perusahaan/organisasi. Mereka adalah:
1) Pelanggan / Konsumen / Pengguna produk & jasa perusahaan/organisasi
2) Media Massa (pers cetak, radio, televisi, internet)
3) Mitra Usaha / Pemasok jasa dan berbagai macam barang (supplier)
4) Para Distributor
5) Pemerintah
6) Masyarakat sekitar perusahaan/organisasi (Komunitas)
7) Masyarakat Keuangan / Perbankan
8) Retailer
9) Kelompok Penekan (Pressure Groups)
10) Para Pembentuk Opini (Opinion Leaders)
11) Calon Pelanggan / Konsumen Potensial
12) Pesaing / Kompetitor / Asosiasi perusahaan-perusahaan sejenis
13) Organisasi Perburuhan (di luar Serikat Pekerja yang berada di dalam perusahaan/
organisasi)
14) Masyarakat Umum
II. MENGENALI KHALAYAK SASARAN
Dalam menjalankan program komunikasi krisis, pertama-tama perusahaan/organisasi
perlu mempertimbangkan publik atau khalayak sasaran, karena itu perusahaan/organisasi
perlu mengenal siapa yang menjadi publik atau stakeholder-nya.
Fearn-Banks membagi publik ke dalam kategori berikut (Putra, 1999:99):
1) Enabling public
 Yakni publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan suatu persoalan. Termasuk di
dalamnya antara lain Dewan Direktur, pemegang saham, komisaris perusahaan dan
pemerintah.
2) Functional public
 Yakni kelompok orang yang menjadikan sebuah organisasi dapat berputar. Termasuk
di dalamnya antara lain para karyawan, konsumen, dan lain-lain.
3) Normative public
3
 Yakni kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dengan organisasi/
perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah para anggota asosiasi atau perkumpulan
perusahaan-perusahaan sejenis.
4) Diffused public
 Yakni kelompok orang yang secara tidak langsung berhubungan dengan organisasi/
perusahaan dalam suatu krisis. Yang tergolong dalam kategori ini antara lain media
dan kelompok-kelompok komunitas.
Di samping kategori-kategori yang bersifat umum, dalam mengenali publik, Laurence
Barton menekankan pentingnya pengenalan publik secara lebih mendetil berkaitan misalnya
dengan lokasi tempat tinggal publik, bagaimana perusahaan dapat mencapai mereka, cara
berkomunikasi mana yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan publik dan bagaimana
komposisi demografi dari publik.
Walaupun publik secara garis besar sudah dikenali, penting untuk disadari bahwa akan
ada kelompok-kelompok yang tidak dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai publik.
Sturges dkk berpendapat, dalam situasi krisis penekanan komunikasi sering ditujukan kepada
kelompok-kelompok yang terkena akibat suatu krisis yang memang sudah teridentifikasi
sebelumnya. Di samping itu, ada kelompok yang sering tidak teridentifikasi sebagai publik
langsung, tetapi ketika krisis terjadi mereka berubah menjadi korban yang paling layak
mendapat perhatian. Kasus melelehnya pabrik kimia Union Carbide di Bhopal, India menjadi
sebuah contoh munculnya kelompok yang tak teridentifikasi sebagai publik, yang kemudian
menjadi penuntut gigih terhadap Union Carbide. Mereka adalah penduduk miskin yang
bermigrasi ke dekat lokasi perusahaan dan kemudian menjadi korban yang paling merasakan
lelehan gas kimia Union Carbide. Seperti yang dikatakan oleh Shrivastava, dalam suatu krisis
para korban merupakan stakeholder baru bagi perusahaan yang sering dilupakan, walaupun
mereka mungkin paling merasakan akibat suatu krisis. Dalam kasus likuidasi bank, para
karyawan dan nasabah, tampaknya kurang mendapat perhatian yang memadai.
Pada dasarnya, masing-masing publik punya kepentingan yang berbeda-beda. Inilah
yang menyebabkan sebuah krisis ditandai oleh adanya konflik kepentingan di antara
stakeholder perusahaan. Namun demikian, penting juga disadari bahwa dalam beberapa hal
orang sebagai anggota publik dapat menjadi anggota berbagai publik. Sebuah perusahaan/
organisasi memang harus dapat melayani kepentingan berbagai pihak, seperti para pemegang
saham (apalagi perusahaan yang sudah go public), para karyawan, konsumen, dan lain-lain.
Harus diingat, sejumlah orang mungkin menjadi pemegang saham, karyawan dan konsumen
sekaligus. Sehingga perlu disadari bahwa pesan yang disampaikan kepada publik yang
berbeda-beda tidak mengandung pertentangan yang dapat memperkeruh suasana. Dalam suatu
krisis, pengumuman yang akan dibuat perusahaan bisa jadi secara tidak disadari
menguntungkan publik tertentu, seperti pemegang saham, sementara merugikan publik lain,
misalnya para korban. Jika pengumuman yang dibuat sebuah perusahaan tentang
kebijakannya lebih mementingkan korban dengan memberikan santunan kepada korban dan
tentunya bagi pemegang saham kebijakan seperti ini dapat dianggap mengorbankan
kepentingannya, sehingga mungkin kemudian para pemegang saham akan menjual saham
mereka (Putra, 1999:100).
Pada dasarnya, seluruh unsur yang terdapat dalam stakeholder internal dan eksternal
perusahaan merupakan publik atau khalayak sasaran yang penting dari program komunikasi
krisis perusahaan. Stakeholder kunci suatu organisasi/perusahaan bervariasi tergantung dari
karakter/jenis organisasi/perusahaan tersebut serta krisis itu sendiri. Dengan kata lain, krisis
yang berbeda akan menghasilkan stakeholder kunci yang berbeda pula.
Para praktisi PR di A.S. dan Kanada cenderung berpikir bahwa krisis adalah
pemberitaan negatif di media massa, sehingga menghasilkan pertimbangan bahwa organisasi
pemberitaan (media) merupakan kelompok stakeholder utama. Hal ini salah besar.
Kelompok stakeholder yang terkena dampak krisis butuh diprioritaskan karena
pentingnya mereka terhadap masa depan organisasi/perusahaan. Kecuali jika bencana tersebut
4
mengakibatkan kerusakan properti dan atau menimbulkan korban jiwa, media pemberitaan
seharusnya menjadi pertimbangan sekunder.
Pertanyaan yang butuh ditanyakan baik untuk situasi krisis yang menyerang tiba-tiba
atau situasi krisis yang telah diprediksi sebelumnya adalah:
1) Kelompok stakeholder mana selain media massa yang akan tertarik atau terkena dampak
oleh masalah yang sedang terjadi, serta yang paling penting terhadap kelangsungan bisnis
dan pertumbuhan masa depan perusahaan/organisasi?
2) Siapa saja stakeholder kunci dalam tiap kelompok merupakan 20% yang
bertanggungjawab untuk menghasilkan 80% yang dibutuhkan bisnis untuk tetap berjalan?
Rencana kelangsungan bisnis perusahaan/organisasi membutuhkan strategi untuk
mencapai orang-orang kunci ini dengan informasi tentang situasi krisis sebelum mereka
mendengarnya melalui media ataupun orang lain. Dengan demikian, organisasi/perusahaan
akan mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan cerita dari sisinya pertama kali.
Kelompok stakeholder kunci yang menduduki tingkat atas dalam daftar adalah para
karyawan, para investor & pemegang saham (publik internal), konsumen, pemerintah dan
komunitas (publik eksternal).
III. PENGELOLAAN HUBUNGAN DENGAN KARYAWAN
1. Hubungan dengan karyawan
Yang dimaksud dengan karyawan adalah orang-orang dalam perusahaan yang tidak
memegang jabatan struktural dan program komunikasi yang ditujukan kepada mereka disebut
komunikasi internal (Kasali, 2003:72).
Suatu perusahaan/organisasi harus menyelenggarakan komunikasi internal yang baik,
karena komunikasi internal bukan hanya memperlancar kegiatan saja tapi justru yang
menggerakkan perusahaan/organisasi tersebut.
Komunikasi yang baik antara pihak manajemen dengan para karyawannya akan dapat
memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran perusahaan/organisasi.
Seorang manajer PR yang bertugas membantu manajemen perusahaan/organisasi
dalam menyelenggarakan komunikasi internal yang baik harus menguasai masalah dasar
perusahaan/organisasi dan teknik-teknik komunikasi. Ia juga harus merumuskan dengan tepat
program PR internalnya untuk jangka pendek maupun panjang dari sudut pandang yang luas.
Tugas ini menjadikan PR berhubungan dengan hampir setiap anggota organisasinya.
Yang perlu diketahui oleh seorang PR bahwa dalam perusahaan/organisasi,
komunikasi berlangsung secara vertikal, horizontal dan diagonal (Effendy, 2002:76-77):
A. Komunikasi Vertikal
Vertical Communication merupakan komunikasi yang dilakukan oleh pegawai
bawahan kepada atasan maupun sebaliknya, pegawai atasan kepada bawahan. Komunikasi
vertikal ke atas (vertical upward communication) baik melalui telepon maupun surat, bersifat
resmi dan sungguh-sungguh. Dan pesan-pesan yang dikomunikasikan umumnya bersifat
informatif. Sedangkan komunikasi vertikal ke bawah (vertical downward communication),
pesan-pesannya lebih bersifat instruktif di samping bernada resmi dan sungguh-sungguh.
B. Komunikasi Horizontal
Horizontal Communication adalah komunikasi antara seorang pegawai dengan
pegawai lain yang sama kedudukannya, misalnya antara seorang kepala bagian dengan kepala
bagian lainnya, contohnya antara seorang manajer produksi dengan manajer pemasaran.
Dalam situasi seperti itu, meskipun dalam situasi kerja, komunikasi dapat berlangsung lancar.
Misalnya dalam percakapan telepon, tampak adanya keakraban yang tidak jarang diselingi
5
tawa karena kedua orang yang sedang berkomunikasi itu saling mengenal dan memiliki
kedudukan yang setara.
C. Komunikasi Diagonal
Diagonal Communication atau komunikasi silang ialah komunikasi yang berlangsung
antara seorang pegawai dari sebuah departemen dengan pegawai dari departemen lainnya
dalam kedudukan yang berbeda, dalam arti yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya,
misalnya percakapan antara manajer pemasaran kepada supervisor produksi. Situasi
komunikasi pada jalur ini umumnya tidak leluasa seperti pada jalur horizontal, tetapi juga
tidak kaku seperti pada jalur vertikal.
Ada beberapa alasan lain mengapa praktisi PR perlu menangani karyawan, yakni
(Kasali, 2003:72):
1) Meskipun kedudukan karyawan dalam pengambilan keputusan tidak besar, tetapi jumlah
mereka adalah yang paling banyak di dalam perusahaan. Karena secara struktural lemah,
para karyawan cenderung membentuk kelompok informal untuk membela kepentingan
mereka. Persatuan kuat di antara mereka dapat membahayakan manajemen jika mereka
tidak mendapatkan perhatian yang layak. Namun bila mereka diperhatikan dengan baik,
maka persatuan mereka justru akan dapat membantu manajemen saat diperlukan ataupun
pada situasi krisis, misalnya.
2) Seperti pernah dibahas sebelumnya, rumor sangat mudah beredar di antara karyawan bila
saluran komunikasi yang semestinya ditutup. Terutama rumor mengenai masalah gaji,
tunjangan, kenaikan jabatan ataupun PHK. Karena itu, saluran komunikasi resmi
seharusnya juga memuat informasi yang dibutuhkan mereka agar mereka tidak
mencarinya melalui grapevine.
3) Karyawan adalah ujung tombak perusahaan, terutama perusahaan jasa. Hanya dengan
memberikan perhatian yang baik, perusahaan akan dapat memperbaiki pelayanannya.
4) Di negara-negara berkembang, karyawan merupakan sumber suara potensial dalam
pemilihan umum, sehingga pemerintah yang sedang berkuasa sering membela
kepentingan mereka. Contohnya menaikkan standar upah minimum, peningkatan fasilitas
kerja, dan sebagainya.
5) Pers umumnya sangat bersimpati pada karyawan yang hak-haknya dilanggar oleh pihak
manajemen. Peristiwa PHK yang tidak adil dapat merusak citra perusahaan bila diangkat
oleh pers dan menjadi berita utama.
Melihat hal-hal di atas, sangat jelas bahwa karyawan merupakan suatu kekuatan dalam
perusahaan yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
2. Pengelolaan hubungan dengan karyawan pada saat krisis
Pada saat krisis menyerang perusahaan/organisasi, sangatlah vital untuk terus
memberikan informasi kepada seluruh karyawan tentang situasi dan perkembangannya.
Jangan sampai mereka mengetahui berita mengenai krisis yang menimpa perusahaan/
organisasi mereka melalui media, seperti yang sering terjadi akibat pihak manajemen
menutup-nutupi peristiwa yang sebenarnya terjadi. Para karyawan merupakan duta organisasi/
perusahaan dan mereka harus diposisikan untuk menjelaskan kepada para konsumen/
pelanggan, keluarga dan teman-teman mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi pada
perusahaan/organisasi mereka (Regester & Larkin, 2003:198).
Dalam menghadapi karyawan, departemen PR dapat meminta dukungan dari
departemen Personalia karena mereka yang lebih mengetahui teknis hukum kepegawaian.
Para karyawan ini seharusnya memiliki akses terhadap pernyataan-pernyataan
perusahaan kepada pers sebelum pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan. Jika
memungkinkan, briefing harus dilakukan untuk memberikan kesempatan mereka untuk
bertanya. Alternatif lainnya, mereka dapat terus diberi informasi melalui e-mail (intranet),
6
surat dari manajemen senior, buletin (newsletter) yang dicetak atau majalah dinding. Dengan
karyawan, penting untuk mendapatkan kesadaran mereka bahwa masalah yang sedang
menimpa perusahaan/organisasi juga menjadi masalah mereka, karena bila terjadi sesuatu
dengan perusahaan, mereka juga yang akan terkena dampaknya. Perusahaan/organisasi harus
jujur dan terbuka tentang keputusan-keputusan yang sudah diambil untuk memecahkan
masalah serta berbagi rencana “pemulihan” dengan para karyawan. Dan jangan lupa untuk
terus memberitahukan perkembangan situasi secara teratur (Regester & Larkin, 2003:198).
Juga harus ada kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan/organisasi yang
menjelaskan bagaimana peran karyawan untuk menjelaskan tentang situasi krisis kepada
media. Sangat tidak mungkin dan salah jika perusahaan/organisasi mencoba untuk mengekang
para karyawan, tetapi setidaknya mereka diharapkan dapat mengetahui apa yang diharapkan
dari mereka jika mereka sadar akan kebijakan perusahaan. Berikut adalah contoh
pengumuman kebijakan tersebut (Regester & Larkin, 2003:198):
“Jika kalian didekati oleh seorang anggota pers untuk berkomentar tentang aspekaspek kegiatan perusahaan, tolong katakan bahwa kalian bukanlah orang yang tepat untuk
membantu permintaan mereka dan para wartawan seharusnya mengkontak kantor pers di
Crisis Center perusahaan.”
Bila peristiwa krisis yang terjadi di perusahaan melibatkan karyawan sebagai
korbannya, yang harus diperhatikan perusahaan adalah bagaimana memberikan informasi
kepada keluarga karyawan tersebut karena hal ini sering terlupakan dalam manajemen
komunikasi krisis.
Perusahaan-perusahaan yang sangat rawan terhadap peristiwa krisis seperti perusahaan
konstruksi, pertambangan, transportasi hingga perusahaan-perusahaan yang memiliki pabrik
sebaiknya meminta karyawannya mengisi form tentang siapa dari keluarga karyawan yang
harus dihubungi perusahaan jika sampai terjadi kecelakaan terhadap karyawan tersebut. Dan
data ini harus terus diperbaharui mengingat situasi keluarga karyawan pasti mengalami
perubahan sehingga perusahaan tidak salah alamat dalam pemberitahuan kepada keluarga
para karyawannya (Regester & Larkin, 2003:194).
Contoh kekacauan akibat tidak adanya data keluarga karyawan pernah dialami oleh
Occidental Oil dalam tragedi Piper Alpha di Aberdeen ketika para karyawannya yang bekerja
di lepas pantai mengalami musibah. Perusahaan tersebut tidak memiliki data yang akurat
tentang siapa keluarga karyawan yang harus pergi ke Aberdeen. Ternyata beberapa di antara
karyawan yang bekerja di lepas pantai tersebut memiliki istri lebih dari satu orang, sehingga
dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi ketika mereka berkumpul di satu tempat.
Pertanyaan yang akan diajukan oleh keluarga karyawan tidak akan terlalu jauh
berbeda dari contoh-contoh yang diberikan berikut ini, sehingga perusahaan dapat
mempersiapkan jawabannya jika terjadi kecelakaan pada karyawan perusahaannya (Regester
& Larkin, 2003:195):
1) Apakah suami/istri/orang tua/anak kami ada di lokasi kejadian ketika kecelakaan terjadi?
2) Kalau ya, apakah ia selamat?
3) Jika dia terluka, di manakah dia sekarang dan kapan kami bisa berbicara kepadanya/
menjenguknya?
4) Jika dia memang terluka, seberapa parahkah lukanya dan sekarang dirawat di mana?
5) Apakah perusahaan akan membantu kami mendatangi lokasi kejadian/tempat keluarga
kami dirawat?
Jika yang terjadi adalah hal yang terburuk, yaitu kematian karyawan perusahaan,
informasinya jangan pernah disampaikan melalui telepon. Seorang wakil senior dari
perusahaan harus mendatangi keluarga karyawan, mungkin dengan ditemani oleh pihak yang
berwenang seperti polisi atau wakil dari rumah sakit, untuk memberitahukan berita duka
tersebut langsung kepada keluarga karyawan yang bersangkutan.
IV. PENGELOLAAN HUBUNGAN DENGAN INVESTOR & PEMEGANG SAHAM
7
1. Hubungan dengan investor & pemegang saham
Para investor dan pemegang saham merupakan publik internal. Namun yang disebut
sebagai investor bukan hanya para individu yang membeli surat-surat berharga saja, tetapi
juga para analis investasi (yang memberi nasihat dan petunjuk untuk membeli atau tidak
membeli surat berharga tertentu) dan pembeli partai besar yang merupakan suatu lembaga
atau badan usaha (perusahaan yang khusus bergerak dalam usaha jual beli surat-surat
berharga di bursa), yakni antara lain Yayasan Dana Pensiun, perbankan, perusahaan asuransi
dan lembaga trust (Jefkins, 2003:83-84).
Di kebanyakan negara yang baru memulai pembangunan industrinya, pemegang
saham memiliki kekuasaan yang sangat besar terutama bila perusahaan tersebut belum go
public. Namun bila perusahaan tersebut sudah go public dan tidak ada lagi konsentrasi
kepemilikan saham pada pihak tertentu, manajemen akan dapat lebih berkuasa (Kasali,
2003:66-67).
Seorang praktisi PR perlu merencanakan dan menjalankan program komunikasi
keuangan untuk menjalin hubungan yang baik dengan para investor & pemegang saham serta
menjaga kepercayaan mereka terhadap perusahaan.
Program komunikasi keuangan biasanya bertolak dari ‘kalender keuangan’, yakni
(Beard, 2004:11; Effendy, 2002:110-111):
1) Produksi laporan dan catatan keuangan perusahaan
2) Pengumuman hasil periode awal dan pertengahan masa kerja
3) Dokumen-dokumen untuk pertemuan dengan para pialang dan pemegang saham
4) Pengorganisasian pertemuan tahunan dan kegiatan lain yang berhubungan dengannya.
5) Pertemuan berupa tatap muka dengan para investor dan perjalanan keliling para pemegang
saham perorangan
6) Presentasi kepada para kreditor dan pihak media
7) Majalah/buletin perusahaan untuk publik eksternal
8) Laporan tahunan yang lebih berisi mengenai kegiatan perusahaan secara umum dan semua
aspek dalam kehidupan perusahaan (bukan laporan keuangan)
Jika suatu perusahaan gagal memberi informasi yang baik dan teratur kepada para
investor & pemegang saham sehingga hubungannya menjadi tidak harmonis, maka harga
sahamnya bisa merosot tajam yang pada akhirnya akan mengancam kelangsungan perusahaan
tersebut.
2. Pengelolaan hubungan dengan para investor & pemegang saham pada saat krisis
Para investor & pemegang saham adalah stakeholder internal yang sangat penting
setelah karyawan. Kesalahan dalam mengelola hubungan dengan para investor & pemegang
saham pada saat krisis menyerang perusahaan bisa berakibat fatal. Mereka menjadi
kehilangan kepercayaan pada perusahaan dan menjual saham/melepas investasi mereka,
sehingga harga saham perusahaan jatuh dan mudah diakuisisi oleh perusahaan lain yang jauh
lebih kuat.
Untuk memberitahukan situasi krisis, perusahaan dapat mengadakan pertemuan secara
periodik dan menyiapkan berbagai data tertulis yang memberitahukan perkembangan
perusahaan dalam mengatasi krisis, terutama adalah masalah keuangan perusahaan. Dalam hal
ini, departemen PR sebaiknya bekerja sama dengan Corporate Secretary yang lebih paham
mengenai seluk beluk saham, terutama jika perusahaan sudah go public.
Jika pertemuan secara periodik sulit dilakukan, mereka tetap harus diberi informasi
mengenai perkembangan perusahaan mengatasi krisis melalui laporan yang teratur, bisa
melalui e-mail, surat tertulis dari manajemen perusahaan ataupun buletin (newsletter).
8
Selain itu, dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), masalah krisis yang telah
terjadi harus dilaporkan dan dibicarakan dengan para investor & pemegang saham karena
sangat berbahaya apabila mereka mendapatkan informasi tersebut dari pihak lain, seperti dari
jurnalis keuangan misalnya.
Bila krisis yang terjadi adalah akibat penawaran yang tidak diinginkan dari perusahaan
lain untuk mengakuisisi perusahaan kita atau disebut dengan hostile takeover, langkah awal
kita adalah membagi kategori para pemegang saham ini berdasarkan ukurannya, yaitu apakah
mereka perorangan, institusi atau calon pembeli saham. Kemudian juga dibagi kategorinya
berdasarkan area geografis serta rata-rata lamanya mereka menjadi pemegang saham
perusahaan. Hak-hak atas hukum untuk menemukan identitas para investor di belakang calon
pemegang saham harus diminta dan firma-firma broker yang terlibat dalam transaksi saham
yang lebih besar harus terus dimonitor (Regester, 1996:160-161).
Pengetahuan tentang ukuran pemegang saham serta detil tipe-tipe mereka akan
memberikan indikasi yang baik tentang kemana arah pengambilan suara. Penyebaran
geografis akan memberikan ide di daerah mana iklan perusahaan akan mengambil perannya.
Sedangkan lamanya waktu mereka menjadi pemegang saham perusahaan akan menunjukkan
kesetiaan mereka pada perusahaan. Jika misalnya, sebagian besar pemegang saham
perusahaan telah menjadi pemegang saham selama lima tahun tetapi harga saham, profit atau
pertumbuhan dividen telah jatuh selama masa periode yang sama, kesetiaan pemegang saham
bisa dipertanyakan bila mereka mendapat penawaran pembelian saham yang menarik dari
pihak yang ingin mengakuisisi perusahaan kita (Regester, 1996:161).
Untuk masalah di atas, perusahaan juga harus mengadakan pertemuan secara periodik
dengan para pemegang saham tersebut, baik yang perorangan maupun yang institusi, dan
memberikan presentasi yang komprehensif tentang strategi bisnis perusahaan. Selain itu,
pertemuan periodik juga dapat dilakukan dengan para pialang saham dan para jurnalis
keuangan yang dapat membantu menaikkan citra perusahaan karena para pemegang saham
biasanya lebih mempercayai pihak ketiga ini dibandingkan orang dalam perusahaan.
Survey tentang sikap pemegang saham juga dapat dilakukan untuk terus memantau
kesetiaan mereka terhadap perusahaan. Selain itu, data kunci tentang seluruh pemegang
saham ini harus terus diperbaharui, termasuk data finansial per saham dan ramalan kinerja
perjualbelian saham (Regester, 1996:161-162).
DAFTAR REFERENSI
Beard, Mike. Manajemen Departemen Public Relations. Edisi Kedua. Terjemahan
Drs. Haris Munandar, M.A. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
Effendy, Drs. Onong Uchjana. Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Jefkins, Frank disempurnakan oleh Daniel Yadin. Public Relations. Edisi Kelima.
Terjemahan Haris Munandar, M.A. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.
Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 1999.
Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public
Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.
Regester, Michael. Crisis Management. Jakarta: Financial PR London School of
Public Relations, January 1996.
Artikel-artikel dari internet.
Download