MODUL PERKULIAHAN Sosiologi Komunikasi Gender dan Media Massa Fakultas Program Studi Fakultas Ilmu Komunikas Publik Relations Tatap Muka 14 Kode MK Disusun Oleh Kode MK Dr. Heri Budianto, M.Si Abstract Kompetensi Pokok bahasan gender dan media massa membahas mengenai pemahaman gender dan jenis kelamin, gender dan sosialisasi, gender dan stratifikasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan, dan gender dan media massa Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mampu mengetahui tentang pengertian gender dan jenis kelamin. Disamping itu mahasiswa diharapkan mengetahui tentang gender dan sosialisasi, gender dan stratifikasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan. Bahkan mahasiswa diharapkan memahami dan mengetahui permasalahan-permasalahan gender dan media massa. Pembahasan PEMAHAMAN GENDER DAN JENIS KELAMIN Bahan acuan yang sering digunakan untuk mengawali suatu pembahasan mengenai masalah jenis kelamin dan gender ialah buku ahli antropologi Margaret Mead mengenai seksualitas dan tempramen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965). Mengapa hasil penelitian Mead dianggap sedemikian penting? Karena Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat dikenal pembedaan kepribadian laki-laki dan perempuan. Dalam sejarah klasifikasi tersebut (lihat Macionis, 1996) perempuan unumnya dikaitkan dengan ciri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyaiseksualitas feminim. Laki-laki, di pihak lain, dikaitkan dengan ciri kepribadian keras, agresif, mengusai dan seksualitas kuat. Namun dalam penelitianya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang tinggal di pengunungan, suku Mundurgumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut ternyata tidak berlaku bagi ketiga kelompok etnik tersebut ( lihat Mead, 1965). Menurut Mead, kepribadian kaum perempuan maupun laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung ke arah sifat tolong-menolong, tidak agresif dan penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain: di sana tidak dijumpai seksualitas kuat maupun dorongan kuat ke arah kekuasaan. Pada suku Mundurgumor, di pihak lain, baik laki-laki maupun perempan diharapkan untuk berkepribadian agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan dan watak melindungi hampir tidak nampak. Sedangkan pada suku etnik Arapesh, menurut temuan Mead, dijumpai keadaan yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena disana kaum perempuan justru menguasai sedanghakan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang bertanggung jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antarmasyarakat maupun antarindividu, menurut Mead, merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 2016 2 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Jenis Kelamin dan Gender Hasil penelitian Mead tersebut mengantarkan kita ke perbahasan mengenai seks dan gender. Apa yang dimaksudkan dengan kedua konsep tersebut, dan apa perbedaannya? Jenis Kelamin Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki: pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dikemukakan Moore dan Sinclair(1995:117): ’Sex refers to the biological differencer between men and women, the result of differences in the chromosomes of the embryo.” Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kromosom pada janin. Dengan demikian, manakala kita berbicara mengenai perbedaan jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara, pada bulu badan dan sebagainya. Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat diubah. Contoh yang diberikannya : hanya perempuanlah yang dapat melahirkan; hanya laki-lakilah yang dapat menjadikan seorang perempuan hamil. Gender Apa perbedaan dengan konsep gender yang digunakan oleh sejumlah ilmuan sosial. Menurut definisi ( Giddens, 1989:158), konsep gender menyangkut ”tentang psycholigical, social and cuktural differences between males dan females”—perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai :”the significance a society attaches to biological categories of female dan male” – arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan lasswell dan Lassweel (1987:51)mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awarness, whether conscious pr unconscoius, that one belong to one sex and not to the other” – pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain. 2016 3 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kalau Giddens menekankan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan, maka ahli lain menekankan pada perbedaan yang di konstruksikan secara sosial ( Moore dan Sinclair, 1995), perbedaan budaya, perilaku, kegiatan, sikap (Macionis, 1996), perbedaan perilaku (Horton dan Hunt, 1984:152), atau pada perbedaan pebedaan pengetahuan dan kesadaran seseorang (Lasswell dan Lasswell). Dari berbagai perumusan tersebut kita dapat melihat bahwa konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, melaikan pada perbedaan psikologi, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Contoh mengenai perbedaan gender ini dapat kita lihat, antara lain, pada suku Chambuli yang dipelajari Margaret Mead. Mead menemukan bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan pada suku Chambuli berlawanan dengan apa yang biasanya dijumpai pada masyarakat Barat. Kaum laki-laki Chambuli bersifat pemalu bila berhadapan dengan orang laki-laki lebih tua dalam keluarganya, seperti orang tua atau kakaknya. Perasaan mereka sangat peka; bilamana perasaan mereka tersinggung mereka akan cenderung mengundurkan diri dari klannya dan pindah ke tempat tinggal kerabat dari klan lain. Ciri lain kaum laki-laki Chambuli ialah bahwa mereka pada umumnya merupakan seniman yang menguasai berbagai cabang kesenian seperti seni tari, seni rupa, seni rias, seni musik, dan seni pertunjukan dan menganggap kesenian sebagai bagian terpenting dalam hidupnya. GENDER DAN SOSIALISI We are born male or female, but we learn to be masciline or feminine (Lasswell dan Lasswell, 1982:31) Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. oleh sebab itu, menurutnya, gender dapat berubah. Contoh yang diberikannya: baik lakilaki maupun perempuan dapat bekerja sebagai guru, buruh dan insinyur, dan dapat mengasuh anak dan merawat orang usia lanjut. Proses sosialiasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender (gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya (lihat Bab 3), maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media masa. 2016 4 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal pada keluarga. Keargalah yang mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran fimininitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya. Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sering sudah diberi busana yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan bayi laki-laki, dan perbedaan jenis busana dan warnanya semakin mencolok manakala mereka bertambah. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda; oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki sering diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan. Korner mengemukakan, misalnya, bahwa dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan cenderung diangkat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong di kala menangis daripada bayi laki-laki (lihat, antara lain, Korner, dlam Lasswell dan Lasswell, 1987). Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi sang ibu, bapak, kerabat lain maupun orang dewasa sering memperlakukan bayi perempuan secara berbeda dengan bayi laki-laki. Bayi laki-laki, misalnya, diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminin seperti cantik atau manis. Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin (sexdifferentiated toys atau gender-typed toys). Lihat Giddens, 1989 dan Moore dan Sinclair, 1995). Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Kalau bayi perempuan diberi boneka yang menggambarkan seorang perempuan cantik ataupun seekor hewan halus seperti kelinci dan bebek, maka bayi laki-laki diberi boneka yang menggambarkan seorang laki-laki gagah atau seekor hewan buas seperti macan dan beruang. Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis kelamin yang diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang berbentuk peralatan rumahtangga seperti perlengkapan memasak dan 2016 5 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menjahit, sedangkan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, ala pertukangan atau senjata. Buku ceritera kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisai gender. Selain menggarisbawahi peran gender, buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh laki-laki yang penuh ambisi, sedangkan perempuan yang berstatus sebagai gadis, istri ataupun ibu diberi peran sebagai tokoh pembantu yang lebih pasif. Dalam berbagai ceritera kanak-kanak perempuan diberi peran antagonis, seperti ratu ataupun ibu tiri yang jahat, atau sebagai nenek sihir. Kesadaran akan adanya sosialisasi gender melalui pola asuh anak ini telah menimbulkan keinginan untuk menerapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis ( yang oleh Giddens disebut non sexist child-rearing). Namun dalam praktik terbukti bahwa ide semacam ini tidak mudah dilaksanakan. Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain menjalankan peran cukup besar. Dijumpainya segregasi menurut jenis kelami--anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak lakilaki--merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender. Pola segresi menurut seks yang bermula di usia prasekolah ini cenderung bertahan di kala anakanak memasuki sekolah, dan bahkan sering dapat berlanjut sampai jenjang pendidikan tinggi. Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cenderung memainkan jenis permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bermain perempuan anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai memperhatikan lawan jenis, mereka pun mulai belajar berbagai teknik untuk menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari temantemannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap perempuan serta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat ”merebut” dan ”menaklukkan” mereka. Anak perempuan, di pihak lain, dididik oleh sesamanya bahwa perempuan harus cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan kehormatannya seraya mempertahankan haknya untuk memilih siapa di antara para pria yang memndekatinya pantas mendpat perhatiannya. 2016 6 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang anak laki-laki yang memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya, cenderung dicap ”sissy” atau ”banci” dan menghadapi risiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka, yang dapat dicap sebagai ” tomboy”. Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melaluai media utamanya, yaitu kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya, misalnya, ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapt diberi pelajaran berbeda. Siswi, misalnya, dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga sedangkan siswa diminta mempelajari di bidang teknik pertukangan. Dalam mata pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang berbeda dengan siswi. Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Ada, misalnya, buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian. Pun ada buku pelajaran olehraga dan kesehatan yang dalam mengajarkan berbagai olahraga mengabaikan olahragawati dengan hanya menonjolkan olahragawan. Bentuk pembelajaran lain berlangsung melalui apa yang oleh Moore dan Sinclair (1995) dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum): para guru sering memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku dan sikap yang ditolelir bila dilakukan siswa, misalnya, ada yang tidak dapat ditolelir bila dilakukan oleh siswi. Pemisahan yang mengarah ke segresi menurut jenis kelamin sering manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu. Siswi sering dikelompokkan ke bidang ilmu sosial dan humaniora, sedangkan siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam. Segregasi yang berawal di jenjang pendidikan menengah ini cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi. 2016 7 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Gender dan Stratifikasi Macionis (1996:245-246) mendefinisikan stratifikasi gender (gender stratification) sebagai ”the unequal distribution of wealth, power, and privilege between the two sexes” – sebagai ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antar laki-laki dan perempuan. Menurut Macionis, ketimpangan ini dijumpai di berbagai bidang: di dunia kerja, dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, di bidang pendidikan, dan di bidang politik. Selain itu, perempuan pun lebih cenderung menjadi korban kecelakaan laki-laki daripada sebaliknya. Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial di kalangan kaum perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan ini dinamakan feminisme, yang menurut Giddens (1989:181) telah bermula di Perancis pada abad 18 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Amerika, Afrika dan Asia. Di bidang politik, gerakan ini terpusat pada perjuangan persamaan hak pilih dengan laki-laki dan telah menghasilkan hak pilih di banyak negara. Gender dan Pendidikan Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikursertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa ”perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga” , ada yang mengatakan bahwa perempuan harus menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya dianggap ” sesuai dengan kodrat perempuan”, dan ada yang berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi ”perawan tua”. Atas dasar nilai dan aturan demikian, ada masyarakat yang mengizinkan perempuan bersekolah tetapi hanya sampai jenjang pendidikan tertentu saja atau dalam jenis atau jalur pendidikan tertentu saja; pun ada masyarakat yang sama sekali tidak membenarkan anak gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi akademik ataupun motivasi belajar sering bukan merupakan penghambat partisipasi perempuan, karena siswi berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. 2016 8 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan jenis pendidikan pun meningkat dengan pesat pula, baik angka absolutnya maupun proporsi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian hingga kini kesenjangan kesempatan pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan di lapangan. Gender dan Pekerjaan Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan perempuan, maka yang dibayangkan mungkin hanyalah jenis pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: pekerjaan di tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang sering melupakan bahwa di rumahnya pun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana. Ada yang menawarkan berbagai jenis jasa; ada yang melakukan perdagangan eceran; pun ada yang memproduksi atau memproses hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan maupun produk lain untuk dipasarkan. Disamping itu, sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan jasa bagi sesama anggota keluarga termasuk suami, merupakan suatu pekerjaan produktif. Jenis pekerjaan ini menyita banyak waktu dan tenaga dan menguntungkan suami, keluarga serta masyarakat, namun tidak diberi imbalan materi dan umumnya dianggap sebagai pekerjaan yang rendah. Bagaimana kedudukan perempuan di ranah publik? Berbagai penelitian terhadap angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja umumnya mengidentifikasikan berbagai bentuk kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan apa sajakah yang ditemukan di lapangan? Moore dan Sinclair (1995) mengidentifikasikan dua macam segregasi segregasi vertikal dan segregasi horizontal. jenis kelamin dalam angkatan kerja: Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi, seperti misalnya jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari, sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak, perawat, kasir dan sebagainya. Segregasi horizontal, di pihak lain, mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan erempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki. Adanya segregasi vertikal memberikan kesan bahwa dalam tangga jabatan seakan-akan ada suatu ”langit-langit kaca” (glass ceiling) yang menghalangi mobilitas kaum 2016 9 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id perempuan ke jenjang jabatan lebih tinggi. Adanya segregasi horizontal pun memberi kesan seakan-akan dalam dalam pasar kerja ada jenis pekerjaan tertentu yang relatif tertutup bagi kaum perempuan, seperti misalnya di bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan di berbagai masyarakat ialah adanya diskriminasi terhadap perempuan (sex discrimination) di bdang pekerjaan. Kasus ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Pun ada masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, atau pemutusan hubungan kerja. Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerjaan perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil (pregnancy discrimination). Diskriminasi terhadap orang hamil tersebut dapat berbentuk penolakan untuk mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti, dan sanksi lain. MEDIA MASSA DAN GENDER Membicarakan media massa dan gender akan sangat erat kaitanya dengar memunculkan beberapa pertanyaan antara lain : bagaimana posisi perempuan dan manajemen Media Massa?, bagaimana potret perempuan dalam periklanan?, bagaimana potret perempuan dan sinetron indonesia?, bagaimana perempuan dan program hiburan media televisi?, dan bagaimana pemberitaan masalah perempuan dila ditinjau dari konstruksi bahasa? Untuk menjawab beberapa hal tersebut kita langsung saja melihat pada realitas yang terjadi pada kondisi perempuan dan media massa yang ada di Indonesia. Perempuan dan Manajemen Media Massa Memasuki era reformasi 1998, sesuatu yag sangat mengembirakan adalah kebebasan pers yang mendorong pertumbuhan media menuju industri yang sangat berkembang baik dari sisi jumlah media maupun kualitas program maupun isi. Hal itu ditandai dengan makin banyaknya jumlah stasiun televisi dan radio, banyaknya jumlah penerbitan surat kabar, majalah dan tabloid, dan bermunculannya media on-line. Seiring dengan itu, kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM) di bidang media sangat dibutuhkan. Perempuan menempatkan diri sebagai SDM yang siap berkompetisi untuk menduduki posisi-posisi di dalam organisasi media, bahkan sampai pada top manajemen di 2016 10 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id organisasi media. Beberapa perempuan yang saat ini mempunyai peran sentral dan menduduki posisi top manejemen di media massa antara lain Tuti Adhitama (dewan redaksi Media Group), Rosianna Silalahi (Pemimpin Redakasi SCTV), Siane Indriane (Pemimpin Redaksi GlobalTV). Potret Perempuan dalam periklanan. Perkembangan dunia advertising saat ini sangatlah pesat, seiring dangan perkembangan industri media. Dominasi perempuan dalam iklan atau bintang iklan sangatlah nyata. Bintang iklan perempuan terperangkap dalam relitas semu yang diinginkan oleh pemasang iklan. Perempuan masuk dalam perangkap ”pemanis” dalam pesan iklan. Kecenderungan perempuan sebagai objek sangat mendominasi iklan terutama televisi. Berbagai iklan yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari atau dunia kewanitaan, menjadikan perempuan sebagai daya tarik iklan. Tidak itu saja simbol-simbol kewanitaan juga menjadi komuditas sendiri dalam wajah iklan kita, yang dikait-kaitkan untuk menarik rasa penasaran pemirsa yang berujung pada rasa ingin tahu dan bahkan membeli satu produk tertentu. Misalnya : Iklan produk eletronik pompa air, menggambarkan perempuan berbusana hanya dengan kain yang melilit dan terlihat basah kuyup terkena derasnya air yang dikeluarkan dari selang air. Produk kopi digambarkan ”Pas Kopinya, Pas Susunya!” ”Dingin-Dingin Empuk” yang menggambarkan visual seorang remaja pria memeluk remaja perempuan sambil mengenyam permen. Stereotip banyak iklan didapatkan di media massa digambarkan secara bebas, misalnya perempuan penindas (iklan sabun Omo serial putih dan si merah), perempuan digambarkan agar tetap cantik secara fisik dan tetap awet muda bila ingin sukses, mampu mengurus semua keprluan rumah tangga dan anggota keluarganya, menjadi objek seks, dan streotip lama perempuan bahwa sejauh-jauhnya perempuan pergi, akhirnya akan kembali ke dapur juga. 2016 11 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Potret perempuan dan sinetron indonesia. Sinetron merupakan tayangan hiburan yang saat ini “booming” di televisi-televisi di tanah air. Wajah perempuan di sinetron nasional tak ubahnya pada dunia iklan. Perempuan ”dikemas” dalam berbagai bentuk untuk mereput selera pasar. Taklah mengherankan bila wajah perempuan dalam sinetron sangatlah memprihatinkan. Adegan-adegan yang menjurus pada pornomedia (pornografi) dengan adegan seks-nya, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, dan marginalisisasi dari hasil konstruksi sosial oleh media mewarnai wajah sinetron kita. Perempuan dan program hiburan media televisi. Fenomena Inul si ”raja ngebor”, ”goyang patah-patah” si Anisa Bahar, Trio Macan dengan aksi fantastisnya, Uut permatasari dengan ”Goyang Kayang” nya merupakan wajah ekspolitasi perempuan dalam jagad hiburan kita. Perempuan dalam program hiburan televisi kembali digunakan untuk merebut pasar dunia hiburan. Ekspolitasi terhadap perempuan dengan berbagai daya tarik seksualitas menjadi ”senjata” yang paling ampuh untuk memenangkan persaingan di dunia hiburan. Pemberitaan masalah perempuan: antara kualiatas dan kuantitas Secara global struktur muatan pemberitaan media massa pada umumnya belum secara berimbang perespons kepentingan perempuan. Pemberitaan media massa umumnya masih mendominasi ruang publik bagi laki-laki. Kalaupun ada pemberitaan perempuan hanya sebatas persoalan-persoalan kecantikan, keterampilan rumah tangga, pengasuh anak. Sangatlah terbatas persolan politik, militer, olahraga, pemerintahan lokal yang memuat tentang perempuan. Dari segi konstruksi bahasa banyak media me-marginalkan posisi perempuan. Sebutlah contoh kasus perkosaan yang dialami oleh seorang remaja perempuan misalnya, maka kecenderungan konstruksi bahasa media akan lebih banyak mengupas dari sisi perempuan si korban perkosaan. Sedangkan laki-laki si pemerkosa akan sangatlah diuntungkan dengan pemberitaan. 2016 12 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Banyak kata, kalimat yang makin memperburuk kondisi perempuan si korban perkosaan misalnya ”Gadis 12 tahun diperkosa, tak sadarkan diri”, ”Habis digilir, cewek kos dihabisi”. Penggunaan kata dan kalimat seperti contoh diatas merupakan konstruksi bahasa yang digunakan media massa untuk menggambarkan perempuan korban perkosaan. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender Sebagaimana halnya dengan buku keritera untuk kanak-kanak dan remaja serta buku pelajaran di sekolah, maka media massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik melalui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang di dalamnya. Media massa, baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti zat pembersih lantai, pembasmi serangga, sabun cuci, tapal gigi, bumbu masak, minyak goreng, bakmi cepat saji, misalnya, cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan pada jenis pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris, atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbangan. Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah mulai membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan media massa kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipiun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum mampu menganggulangi praktik pemuatan iklan yang mengandung stereotip gender. 2016 13 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka 1. Pengantar Komunikasi, Sasa Djuarsa Sendjaja, Universitas Terbuka, Jakarta, 2001. 2. Sosiologi Komunikasi-Perspektif Teoritik, Sutaryo, ArtiBumi Intaran, Yogyakarta, 2005. 3. Nasution, Zulkarimen, Sosiologi Komunikasi Massa, UT, Jakarta, 1993. 4. Sosiologi Komunikasi, Burhan Bungin, Prenada Media, Jakarta, 2006 2016 14 Sosiologi Komunikasi Dr. Heri Budianto, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id