11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A

advertisement
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS
A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi
psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup,
mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang
mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara
personal (Ryff, 1989). Menurut Ramos (2007) kesejahteraan psikologis
adalah kebaikan, keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan orang lain
baik antar individu maupun dalam kelompok.
Berger (2010) Menjelaskan kesejahteraan psikologis ditempat kerja
adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki motivasi, dilibatkan dalam
pekerjaannya,
memiliki
energi positif,
menikmati semua
kegiatan
pekerjaannya dan akan bertahan lama pada pekerjaannya. Raz (2004)
menambahkan bahwa menjalankan kegiatan sepenuh hati dan sukses dalam
menjalin hubungan dengan dengan orang lain merupakan makna dari
kesejahteraan psikologis, dengan kata lain sumber dari kesejahteraan
psikologis adalah menemukan makna dalam hidupnya.
11
Universitas Sumatera Utara
12
Ryff
(1989)
menambahkan
bahwa
kesejahteraan
psikologis
merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu
mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada
pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu
sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran
tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk
pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fullyfunctioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self
actualization,pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang
kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan
individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. kesejahteraan
psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup
dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff, 1995). Bradburn menyatakan
bahwa happiness (kebahagiaan) merupakan hasil dari kesejahteraan
psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap
individu (Ryff dan Singer, 1998).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan
bahagia, memiliki kepuasan hidup dan tidak ada tanda-tanda depresi.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh adanya fungsi psikologis positif dari diri
individu yaitu : penerimaan diri, hubungan sosial yang positif, mempunyai
tujuan hidup, mengembangkan potensi dan mampu mengontrol lingkungan
eksternal.
Universitas Sumatera Utara
13
A.2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff dan Keyes (1995) pondasi kesejahteraan psikologis
adalah individu yang secara psikologis mampu berfungsi secara positif
(Possitive psychological functioning). Dimensi individu yang mempunyai
fungsi psikologis yang positif yaitu:
a. Penerimaan diri (Self-acceptance)
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan merupakan
karakteristik utama dalam aktualisasi diri,
berfungsi optimal dan
kematangan. penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan
menerima diri apa adanya. kemampuan tersebut memungkinkan seseorang
untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya.
Menurut Ryff (1989) hal tersebut menandakan kesejahteraan psikologis
yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik
ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang positif maupun negatif,
dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula
sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang
baik dan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa
kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk
menjadi pribadi yang bukan dirinya, dengan kata lain tidak menjadi dirinya
saat ini.
Universitas Sumatera Utara
14
b. Hubungan Positif dengan orang lain ( Positive relation with others)
Pada dimensi ini seringnya disebut dimensi yang paling penting dari
konsep kesejahteraan psikologis. Ryff menekankan pentingnya menjalin
hubungan hangat dan saling percaya dengan orang lain. Dimensi ini juga
menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen
kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Dalam
dimensi ini, individu yang dikatakan tinggi atau baik ditandai dengan adanya
hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain,
dan ia juga memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat terhadap orang lain.
Sementara itu, individu yang dikatakan rendah atau kurang bak dalam
dimensi ini ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dengan orang lain,
sulit bersikap hangat dan enggan memiliki ikatan dengan orang lain.
c. Memiliki Kemandirian (Autonomy)
Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan
untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah
laku. Individu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan
bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri
sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam
dimensi ini. Sementara individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan
memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, mereka akan membuat
keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan cenderung bersikap
konformis. Dengan kata lain individu yang tidak terpengaruh dengan
Universitas Sumatera Utara
15
persepsi orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain adalah individu
yang memiliki autonomy yang baik, sedangkan individu yang mudah
terpengaruh serta bergantung pada orang lain adalah individu yang memiliki
autonomy yang rendah.
d.
Mampu mengontrol lingkungan eksternal (Environmental Mastery)
Hal yang dimaksud dalam dimensi ini adalah seseorang yang mampu
memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara
kreatif melalui aktifitas fisik
mapupun mental. Individu dengan
kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan
kata lain, ia memiliki kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian
diluar dirinya (lingkungan eksternal). Sementara itu, Individu yang kurang
baik dalam dimensi akan menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur
kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan
luar disekitarnya.
e. Tujuan Hidup (Purpose in Life )
Pada dimensi ini menjelaskan kemampuan individu untuk mencapai
tujuan atau arti hidup. Individu yang memiliki makna dan keterarahan dalam
hidup, maka akan memiliki perasaan bahwa kehidupan baik saat ini maupun
masa lalu mempunyai makna, memiliki kepercayaan untuk mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
16
hidup, dan memiliki target terhadap apa yang ingin dicapai dalam hidup,
maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki
tujuan hidup yang baik.
Sementara, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini, ditandai dengan
memiliki perasaan tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup tidak
melihat adanya manfaat terhadap kehidupan masa lalunya, dan tidak
mempunyai kepercayaan untuk membuat hidup berarti. Dimensi ini juga
menggambarkan kesehatan mental (psikologis) seseorang, karena kita tidak
dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki seorang indvidu
mengenai tujuan dan makna kehidupannya ketika mendefenisikan kesehatan
mental.
f. Pengembangan Potensi dalam diri (Personal Growth)
Pada dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang
manusia. Personal growth ini penting untuk dimiliki setiap individu dalam
berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah
adanya kebutuhan untuk mengaktualisasi diri, misalnya keterbukaan
terhadap pengalaman. Seseorang yang memiliki personal growth yang baik
memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai sesuatu
yang bertumbuh, menyadari potensi dalam diri, dan mampu melihat
peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sementara itu,
Individu yang kurang baik dalam personal growth ini akan menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru,
Universitas Sumatera Utara
17
memiliki perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang monoton dan
stagnan, serta tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalaninya.
A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang.
1. Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan gambaran ungkapan prilaku suportif
(mendukung) yang diberikan seseorang individu kepada individu lain yang
memiliki keterikatan dan cukup bermakna dalam hidupnya. Dukungan sosial
dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat
memberikan peramalan akan well-being seseorang (Robinson 1983; Lazarus
1993). Dukungan sosial yang diberikan bertujuan untuk mendukung
penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. Adanya interaksi
yang baik dan memperoleh dukungan dari rekan kerja akan mengurangi
munculnya konflik dan perselihan ditempat kerja ( Chaiprasit, 2011)
2. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang.
Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan,
kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson,
2000). Kegagalan dalam pekerjaan dan terhambatnya income dapat
Universitas Sumatera Utara
18
mengakibatkan stres kerja yang berdampak pada menurunnya kesejahteraan
psikologis karyawan yang berakhir dengan performa kerja buruk dan
produktifitas rendah akan merugikan organisasi ataupun perusahaan. (Skakon
Nielsen, Borg, Guzman, 2010)
3.
Jaringan sosial
Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif
dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas
yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart &
Sorenson, 2000). Jaringan sosial yang baik dan menjaga kualitas hubungan
sosial dengan lingkungan akan mengurangi munculnya konflik dan
meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam hidup. (Wang & Kanungo,
2004).
4. Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan
Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai
kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna
(Bastaman, 2000).
5.
Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti
penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan
lingkungan, coping skill yang efektif akan cenderung terhindar dari konflik
Universitas Sumatera Utara
19
dan stres (Santrock,1999; Warr, 2011). Seseorang yang tidak dapat
menentukan pilihan secara bijak, tidak berani mengambil resiko, kurangnya
dalam hal kemampuan mengontrol diri dan tidak memiliki penerimaan diri
yang baik merupakan indikasi keberadaan konflik dalam dirinya yang akan
mengurangi tingkat kesejahteraan secara psikologis di kehidupannya. (Warr,
2011)
B. KONFLIK INDIVIDU DALAM ORGANISASI
B.1. Definisi Konflik Individu Dalam Organisasi
Kata konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang berarti
saling berbenturan. Sukanto (1996) mengatakan arti kata ini menunjuk pada
semua
bentuk
benturan,
tabrakan,
ketidaksesuaian,
ketidakserasian,
pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis.
Menurut Schermerhorn,John., Hunt, & Osborn, (2002) yang dimaksud
dengan konflik dalam ruang lingkup organisasi adalah suatu situasi dimana
individu atau banyak orang (kelompok) saling tidak setuju terhadap suatu
permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan
timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Konflik organisasi sebagai ketidaksesuaian antara dua atau lebih
anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena
adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang terbatas
atau kegiatan-kegiatan kerja, atau karena mereka mempunyai perbedaan
status, tujuan, nilai, atau persepsi (Stoner & Freeman, 1986; Robins, 2007).
Universitas Sumatera Utara
20
Robins (1996) menguraikan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi
yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat atau sudut
pandang yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh
positif maupun pengaruh negatif, dengan kata lain konflik diartikan sebagai
suatu proses yang timbul karena pihak pertama merasa bahwa pihak lain
memberi pengaruh negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif
terhadap yang diharapkan oleh pihak pertama.
Schemerhorn dkk (2002) menyatakan bahwa konflik organisasi
digolongkan menjadi 2 level yaitu konflik individu dalam organisasi dan
konflik kelompok. Konflik individu adalah konflik dalam organisasi yang
terjadi pada diri individu itu sendiri atau disebut juga konflik intrapersonal
dan konflik yang terjadi antara satu individu dengan individu lain atau
disebut juga konflik intrapersonal. Sedangkan konflik kelompok adalah
konflik dalam organisasi yang terjadi pada kelompok-kelompok dalam satu
organisasi atau disebut juga konflik intergroup dan konflik yang terjadi
antara satu organisasi dengan organisasi lain atau disebut juga konflik
interorganizational (Schemerhorn dkk, 2002).
Menurut Robins (1996) konflik individu dalam organisasi
ditentukan oleh persepsi individu. Jika individu tidak menyadari adanya
konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap
tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Universitas Sumatera Utara
21
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Konflik individu di organisasi adalah konflik interpersonal yang dirasakan
individu karena tekanan atau ketidaksesuain tujuan serta harapan dan konflik
intrapersonal ialah pertentangan yang terjadi antara dua atau lebih individu
anggota organisasi yang saling berlawanan.
B.2. Tipe-Tipe Konflik dalam Organisasi
Menurut Schermerhorn dkk (2002) konflik dalam suatu organisasi
terjadi karena ada ketidaksesuai kepentingan beberapa orang atau pihak di
suatu organisasi. Berikut ini dijelaskan tipe-tipe konflik organisasi yang
biasa terjadi menurut Schemerhorn dkk (2002), yaitu :
1. Intrapersonal Conflicts
Konflik intrapersonal ini terjadi dalam diri individu karena
tekanan sebenarnya atau yang dirasakan dari ketidaksesuaian tujuan dan
harapan. Konflik intrapersonal ini terbagi atas 3 jenis :
a. Approach – Approach conflict.
Konflik ini terjadi ketika seseorang harus memilih antara dua hal
alternatif yang positif dan sama-sama menarik. Seperti: memilih
menghadiri makan malam dengan Bos dan rekan kerja atau makan malam
bersama keluarga besar diwaktu bersamaan. Di satu sisi, menghadiri
acara makan malam bersama bos dan rekan kerja penting untuk membina
hubungan baik dan kerja sama dalam tim disisi lain makan malam dengan
Universitas Sumatera Utara
22
keluarga yang sudah lama direncanakan ingin juga terlaksana untuk
menjaga kualitas family time.
b. Avoidance-avoidance conflict.
Konflik ini merupakan kebalikan dari jenis konflik interpersonal
yang pertama, sebab konflik ini terjadi ketika seseorang harus memilih
antara dua hal pilihan yang negatif dan tidak menarik sama sekali.
Seperti:
seorang karyawan yang gagal memenuhi tuntutan organisasi
harus memperoleh konsekuensi antara lain: diturunkan jabatan dari posisi
saat ini ke posisi paling bawah atau harus pindah kerja ke daerah terpencil
dan jauh dari keluarga namun posisi jabatannya tidak diturunkan. Hal ini
menjadi konflik tersendiri bagi karyawan tersebut karena ia harus
memilih mengulang jabatan dari nol lagi atau pindah tugas dimana ia
akan jauh dari keluarga untuk waktu yang lama.
c. Approach-avoidance Conflict.
Konflik ini terjadi ketika seseorang harus memutuskan untuk
melakukan sesuatu yang menyebabkan konsekuensi positif dan negatif
terjadi bersamaan. Seperti: Menawarkan pekerjaan dengan bayaran tinggi
namun pekerjaannya sulit dan memerlukan tanggung jawab yang sangat
besar pada seorang karyawan.
2. Interpersonal Conflict.
Merupakan konflik pada level individu yang terjadi antar satu
individu dengan individu lain atau lebih individu anggota organisasi yang
Universitas Sumatera Utara
23
saling berlawanan. Konflik bersifat substantif atau emosional. Konflik
substantif adalah konflik yang melibatkan ketidaksepakatan mendasar
atas akhir atau tujuan yang harus dikejar dan sarana atas prestasi mereka.
Sementara konflik Emotional melibatkan hubungan interpersonal yang
sulit karena timbulnya perasaan marah, curiga, kebencian, ketakutan,
ketidaksukaan dan sebagainya. Biasanya yang sering terjadi adalah
konflik antara sesama teman kerja, antara bawahan dan atasan atau atasan
dengan atasan.
Konflik antarpribadi (interpersonal conflict) adalah suatu konflik
yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitannya
antara individu dengan individu yang ada dalam suatu organisasi
(Wijono, 2011; Rahayu, 2013). Konflik interpersonal adalah konflik
antarpribadi adalah suatu situasi dimana tindakan seseorang berakibat
menghalangi, menghambat, mengganggu tindakan orang lain (Rahayu,
2013). Dari pendapat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
konflik interpersonal adalah pertentangan kepentingan yang terjadi antar
individu dalam suatu organisasi.
3. Intergroup Conflict,
Konflik ini merupakan konflik pada tingkat yang terjadi antar
kelompok, yang biasanya timbul dari kesulitan koordinasi dan integrasi
kegiatan tugas. Perbedaan tugas dalam koordinasi tersebut sering tampak
setelah terjadi penyimpangan tujuan dari suatu pengambilan keputusan
Universitas Sumatera Utara
24
organisasi. Konflik antargroup ini biasanya terjadi ketika dalam suatu
organisasi dibagi atas beberapa divisi yang bekerja dengan tugas yang
berbeda-beda. Dengan kata lain adanya kelompok kerja yang terbagibagi akan berpotensi munculnya konflik di dalam organisasi.
4. Interorganizational Conflict
Konflik yang terjadi antar organisasi dalam proses kompetisi
Konflik antar personal, kelompok dan organisasi tersebut pada prinsip
merupakan kejadian konflik akibat ketidaksetujuan dalam isu situasi
sosial tertentu yang subtansinya merupakan pertentangan emosional.
Konflik jenis ini seringnya terjadi antar organisasi yang bergerak
dibidang yang sama dan saling berkompetisi untuk kepentingan tertentu.
Konflik antar organisasi ini tidak selalu terjadi pada setiap organisasi,
hanya beberapa organisasi atau perusahaan saja yang mungkin pernah
mengalami ini. Seperti: persaingan antar klub sepak bola, dan sebagainya.
Selain ke empat jenis konflik organisasi yang dijelaskan diatas,
Schermerhorn dkk (2002) juga menambahkan bahwa ada empat jenis tipe
peranan konflik yang biasanya muncul dalam suatu organisasi,sebagai
berikut :
1. Person-role conflict
Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang di mana peraturan
yang berlaku tak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang tersebut
memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan
yang berlaku tersebut. Konflik ini biasanya terjadi pada karyawan yang
Universitas Sumatera Utara
25
merasa peraturan atau kebijakan organisasi tidak bisa dipenuhi,
sehingga membuat karyawan tersebut sering mendapat sanksi. Seperti:
Perusahaan yang mewajibkan seluruh karyawan hadir tepat pukul 7.30
wib setiap hari, karyawan yang lokasi rumah dengan kantornya cukup
jauh akan kesulitan hadir setiap hari tepat waktu.
2. Inter-role conflict
Konflik antar peranan di mana individu menghadapi persoalan karena
menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan seperti
seseorang yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga sebagai
ketua serikat pekerja.
3. Intersender conflict
Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan
beberapa orang. Konflik ini terjadi pada karyawan memiliki beban
harus menyenangkan beberapa orang,seperti seorang karyawan yang
harus menuruti perintah pimpinan untuk mengatur posisi atau jabatan
karyawan lain sementara ia tidak tega memindahkan posisi atau
jabatan rekan-rekannya sendiri.
4. Intrasenderconflict
Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling
bertentangan. konflik ini terjadi akibat kesalahpahaman penyampai
informasi, seperti karyawan yang menerima informasi dari kedua rekan
kerjanya mengenai pengauditan pembukuan produksi barang, namun
informasi yang disampaikan berbeda. Penerima akan merasa bingung
Universitas Sumatera Utara
26
dengan
informasi
yang
disampaikan
sehingga
bisa
terjadi
kesalahpahaman dan human error.
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan tipe-tipe konflik
organisasi pada level
konflik yang dialami individu dalam organisasi
berdasarkan yang disampaikan oleh Schermerhorn dkk (2002) yang
menyatakan konflik pada level individu dalam organisasi terbagi atas:
1. Intrapersonal conflict
2. Interpersonal conflict
C. KARYAWAN
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,
karyawan dapat diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan
dari tempat ia bekerja dan memiliki hubungan kerja dengan adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan pekerja/karyawan. Karyawan atau pekerja di suatu
organisasi menerima imbalan atau upah sesuai konrtribusi pekerjaannya dan
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
27
D. HUBUNGAN ANTARA KONFLIK INDIVIDU DI ORGANISASI
DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KARYAWAN.
Karyawan merupakan sumber penentu keberhasilan utama disebuah
organisasi. Organisasi memerlukan karyawan yang mampu bekerja secara
produktif, inovatif, dan memiliki performa kerja yang baik. Untuk
memperoleh karyawan yang memiliki kemampuan kerja yang baik, salah
satu caranya dengan mensejahterakan psikologis karyawan (Vallerand,
2012). Karyawan yang sejahtera baik secara fisik maupun psikologis akan
memiliki performa kerja yang baik serta mampu produktif berkerja secara
maksimal di tempat ia bekerja. Menurut Maenapothi (2007) Kesejahteraan
psikologis karyawan merupakan situasi dimana ketika individu bekerja akan
merasa senang dan tidak merasa seperti bekerja, lebih efektif dan memiliki
target pencapaian kerja baik untuk dirinya sendiri maupun untuk organisasi.
Kesejahteraan psikologis karyawan akan rendah ketika karyawan berada
dalam keadaan tidak nyaman, terganggu dan mengalami stres ditempat kerja
yang pada akhirnya akan menganggu performasi kerja, produktifitas, tingkat
absen dan kepuasan (Akintayo, 2012). Stres yang terjadi pada karyawan
akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan mengganggu aktifitas
harian karyawan ketika bekerja, sesuai pendapat Atkinson (2000),
mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan
membahayakan kesejahteraan baik fisik maupun psikologis seseorang.
Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan
kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai
Universitas Sumatera Utara
28
aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Ryff&
Keyes, 1995).
Owens (1991) menjelaskan adanya suatu konflik akan menghasilkan
stres kerja dan berdampak pada penurunan performa kerja karyawan, dan
bila konflik ini berlangsung lama akan berakibat pada intensitas turnover
dan rendahnya kesejahteraan psikologis ditempat kerja. Rice (1992;
Akintayo, 2012) mengungkapkan seseorang akan mengalami stres ketika
tidak bisa menentukan sebuah keputusan, ada pertentangan dengan nilainilai, tidak bisa membangun hubungan baik dengan orang lain yang
mengindikasikan telah timbulnya konflik. Penelitian lain juga menambahkan
bahwa stres kerja memiliki dampak pada kesehatan dan kesejahteraan
psikologis karyawan dan efek tugas pada sikap mereka ketika bekerja (
Akintayo, 2012)
Munculnya konflik dalam suatu organisasi tentunya saling terkait
dengan keberadaan karyawan yang bekerja diorganisasi tersebut. Konflik
individu akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada karyawan, karyawan akan tidak nyaman dengan adanya konflik
sehingga berpengaruh pada produktifitas kerja dan performa yang dihasilkan
(Robins & Judge, 2007).
Ketidakseimbangan dalam bekerja dan tingginya konflik ditempat
kerja akan mengurangi kepuasan kerja, rendahnya komitmen terhadap
organisasi, rendahnya produktifitas dan performa kerja, meningkatnya absen
dan turnover serta menurunkan kesejahteraan psikologis dan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
29
fisiologis. (Waltman & Sullivan, 2007; Wang, 2006; Bell, Rajendran,
Theiler, 2012). Karyawan yang mengalami konflik akan merasa tidak
nyaman dan terganggu dengan konflik yang muncul di dalam organisasi.
Konflik individu yang muncul akan berpengaruh pada kesejahteraan
psikologis, kinerja dan efektifitas karyawan diorganisasi. (Robbins, 1996)
Schermerhorn dkk (2002) mengungkapkan dampak-dampak yang
muncul dari konflik individu di organisasi pada karyawan. Konflik
interpersonal yang terjadi dalam organisasi akan berpengaruh dengan
kesejahteraan psikologis karyawan pada dimensi positive relationship
terganggu, artinya ketika interaksi atau hubungan dengan atasan, bawahan
maupun sesama rekan kerja tidak harmonis maka positive relation rendah.
Hubungan positif yang dibangun dilingkungan kerja akan meningkatkan
komunikasi dan dukungan sosial yang akan mengurangi absensi dan
turnover (Gilbert & Benson, 2004)
Intrapersonal conflict dikatakan oleh Schermerhorn dkk (2002)
terjadi pada diri individu karena tekanan sebenarnya atau yang dirasakan
dari ketidaksesuaian tujuan dan harapan, ketika konflik intrapersonal
muncul maka akan mengganggu kesejahteraan pada dimensi Selfacceptance, autonomy, environmental mastery, dan purpose in life.
Karyawan yang tidak bisa memenuhi harapan dirinya sendiri dan menjadi
pribadi yang memenuhi harapan orang lain (intrapersonal conflict) maka
dapat dikatakan dimensi pada self-acceptance rendah. Karyawan yang tidak
mampu untuk menentukan diri sendiri dan tidak mampu mengatur tingkah
Universitas Sumatera Utara
30
laku maka pada dimensi autonomy rendah sehingga performa kerja
karyawan akan rendah ketika dimensi well being juga rendah (Cropanzano
& Wright, 1999).
Karyawan tidak bisa mengatur kehidupan sehari-hari, serta tidak
memiliki kontrol terhadap lingkungan luar disekitarnya dengan kata lain
karyawan yang mudah terpengaruh dengan lingkungan, tidak bisa
menciptakan keadaan yang sesuai dengan dirinya serta tidak memiliki
kontrol terhadap lingkungan dikatakan memiliki konflik intrapersonal dan
kemampuan pada dimensi enviromental mastery rendah (Ryff, 1989).
Karyawan yang tidak memiliki tujuan dan target pencapaian kerja serta
merasa bahwa tidak ada kesesuaian antara dirinya dengan tujuan dan
harapan ia dalam bekerja maka ia memiliki konflik intrapersonal
(Schermerhorn dkk, 2002).
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas terdapat kaitan antara
Konflik individu di organisasi dengan kesejahteraan psikologis pada
karyawan.
E.
HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang ingin diajukan oleh
peneliti adalah ada hubungan negatif antara konflik individu dengan
kesejahteraan psikologis karyawan di organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Download