Pengaruh Managemen Konflik Terhadap Teknik Pengambilan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Manajemen Konflik Pendidikan
2.1.1 Pengertian Manajemen Konflik Pendidikan
Wirawan (2010: 129) mengemukakan bahwa
manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat
konflik dengan menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi
dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam
suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada
suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarah pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah
laku) dari pelaku maupun pihak luar, dan bagaimana
mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan
interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik)
sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Komunikasi
yang efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada
kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (Sutabri, 2010: 13) bahwa:
Manajemen konflik merupakan langkah-langkah
yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam
rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilan suatu akhir berupa penyelesaian konflik
9
dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan
ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat atau
agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri
sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah
(dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau
pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjukkan pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana
mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Menurut Husaini (2006: 361) dalam dunia
pendidikan,
dibutuhkan
seorang
pemimpin
yang
mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di lembaganya. Manajemen konflik pendidikan dapat diartikan
sebagai suatu langkah yang diambil oleh pemimpin
untuk menghindari konflik yang terjadi sehingga
tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik pendidikan adalah serangkaian upaya penanganan konflik
yang terjadi di dunia pendidikan. Penyelesaian konflik
dalam dunia pendidikan ini melibatkan elemen pendidikan sehingga dibutuhkan sebuah strategi dalam
upaya penyelesaian konflik tersebut.
Manajemen konflik pendidikan mengupayakan
terciptanya suasana kondusif dalam dunia kerja.
Dengan adanya manajemen konflik maka konflik akan
dihadapi dan diselesaikan sehingga menghasilkan
pemecahan masalah.
10
Manajemen konflik pendidikan berorientasi pada
penyelesaian persoalan yang dapat diterima oleh
semua pihak yang terlibat, dan pihak yang terlibat
tidak merasa kecewa akibat dirugikan. Manajemen
konflik pendidikan sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan tugas sebagai pendidik adalah sangat berat.
Konflik yang tidak terselesaikan akan menimbulkan suatu persoalan baru. Pendidik yang profesional diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam
manajemen konflik sehingga akan maksimal dalam
mendidik siswa.
2.1.2 Ciri-ciri Konflik
Menurut Wijono (2003: 37) ciri-ciri konflik adalah:
(1) setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam
suatu interaksi yang saling bertentangan;
(2) paling tidak timbul pertentangan antara dua
pihak secara perseorangan maupun kelompok
dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan
ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang
saling berlawanan; (3) munculnya interaksi yang
seringkali ditandai dengan gejala-gejala perilaku
yang direncanakan untuk saling meniadakan,
mengurangi dan menekan terhadap pihak lain
agar dapat memperoleh keuntungan seperti:
status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang, pangan,
materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus atau pemenuhan
kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman,
kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri; (4) munculnya tindakan yang saling
berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan
yang berlarut-larut; (5) munculnya ketidakseim-
11
bangan akibat dari usaha masing-masing pihak
yang terkait dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga
diri, prestise dan sebagainya.
Ciri-ciri konflik yaitu adanya pihak yang saling
bertentangan, nilai atau norma berlawanan, tindakan
saling berhadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut, dan adanya ketidakseimbangan.
2.1.3 Jenis-jenis Konflik dalam Pendidikan
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel
(Winardi, 2004: 68) mengemukakan bahwa ada lima
jenis konflik yaitu: konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik
antar kelompok dan konflik antar organisasi. Jenisjenis konflik ini juga terjadi dalam dunia pendidikan.
a. Konflik Intrapersonal, adalah konflik seseorang
dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila
pada waktu yang sama seseorang memiliki dua
keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu: (1) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada
dua pilihan yang sama-sama menarik:
(2) Konflik pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan
yang sama menyulitkan; (3) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai
positif dan negatif sekaligus;
b. Konflik Interpersonal, adalah pertentangan
antar seseorang dengan orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini
sering terjadi antara dua orang yang berbeda
status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain;
12
c. Konflik antar individu-individu dan kelompokkelompok. Hal ini seringkali berhubungan
dengan cara individu menghadapi tekanantekanan oleh kelompok kerja mereka;
d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang
sama. Konflik ini merupakan tipe konflik yang
banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi.
Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerjamanajemen merupakan dua macam bidang
konflik antar kelompok;
e. Konflik antara organisasi. Dalam pendidikan
konflik semacam ini dapat terjadi seperti
konflik antara satu sekolah dengan sekolah
lainnya.
Selain jenis konflik di atas juga dikenal jenisjenis konflik lainnya (Widoyoko, 2012: 3), yaitu:
(1) Dari segi pihak yang terlibat dalam konflik:
Konflik individu dengan individu, Konflik individu
dengan kelompok, Konflik kelompok dengan kelompok; (2) Dari segi dampak yang ditimbulkan:
konflik fungsional dan konflik infungsional.
Konflik fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi,
sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi.
Pada latar persekolahan, konflik yang sering
timbul adalah konflik hubungan antar pribadi, sebagaimana
dikemukakan
oleh
Campell,
R.F.
et
al
(Wahyudi, 2011: 34), “the most common and visible
type of conflict in schools as well as other organizations
is interpersonal conflict”. Konflik antar individu di
sekolah melibatkan siswa, guru, kepala sekolah dan
orang tua. Konflik dapat terjadi karena di pihak yang
bekerja sama saling mempunyai ketergantungan dan
mempunyai pandangan yang berbeda. Konflik antara
13
guru dengan siswa berkenaan penegakan disiplin oleh
guru, proses belajar yang kurang memuaskan siswa,
atau guru kurang perhatian terhadap siswa. Konflik
antara guru dengan kepala sekolah menyangkut
masalah pembagian tugas yang tidak merata, sistem
ganjaran tidak berdasarkan prestasi kerja. Perbedaan
pendapat antara orang tua dengan guru sering terjadi
karena orang tua terlalu banyak mencampuri kurikulum sekolah, orang tua memandang guru tidak
mampu meningkatkan prestasi belajar anak.
Penulis menyimpulkan bahwa jenis-jenis konflik
dalam pendidikan adalah konflik intrapersonal, interpersonal, antar individu dan kelompok, konflik antar
kelompok, dan konflik antar organisasi.
2.1.4 Dampak Konflik
Gibson (dalam Wahyudi, 2011: 28) mengemukakan bahwa konflik mempunyai dampak positif dan
negatif.
Dampak negatif dari konflik interpersonal pada
tahap awal menyebabkan stres dan mempengaruhi psikologis dan perilaku orang yang mengalami. Pada tahap berikutnya, mempengaruhi prestasi secara keseluruhan.
Sedangkan dampak positif konflik:
(1) dapat menimbulkan perubahan secara konstruktif; (2) segala daya dan motivasi tertuju pada
pencapaian tujuan; (3) merangsang inovasi, meningkatkan keeratan kelompok; (4) menggantikan
tujuan yang tidak relevan; (5) manajemen konflik
menguntungkan organisasi; (6) hubungan antar
pribadi dan antar kelompok mendorong ke arah
14
peningkatan kesehatan organisasi; (7) konflik
dapat mengurangi ketegangan dalam bekerja.
Wijono (2003: 2-3) mengemukakan bahwa konflik
dapat berdampak positif dan negatif yaitu sebagai
berikut:
a. Dampak positif konflik meliputi: (1) meningkatnya
ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan
waktu bekerja; (2) meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif; (3) meningkatnya motivasi
kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat
antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi; (4) semakin berkurangnya tekanan dan
intrik yang dapat membuat stres bahkan produktivitas kerja semakin meningkat; (5) banyaknya
pegawai yang dapat mengembangkan kariernya
sesuai dengan potensinya melalui pelayanan
pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif
dan psikomotor;
b. Dampak negatif konflik, meliputi: (1) meningkatkan jumlah absensi pegawai dan seringnya pegawai tidak bekerja pada waktu jam-jam kerja
berlangsung; (2) banyak pegawai mengeluh karena
sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan
tanggung jawab; (3) banyak pegawai yang sakitsakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya dan muncul perasaan-perasaan kurang aman
dan nyaman; (4) seringnya pegawai melakukan
mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan; (5) meningkatnya kecenderungan pegawai yang keluar masuk dan ini
disebut labor turn over.
Sementara itu Stevenin (Sutabri, 2010: 131-132)
menjelaskan bahwa konflik yang tidak terselesaikan
dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orangorang di dalamnya. Oleh karena itu konflik harus
15
mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang pemimpin akan terjebak pada hal-hal seperti:
(a) kehilangan pegawai yang berharga dan memiliki
keahlian teknis; (b) menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang
lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi;
(c) keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh
perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya bukan pada
masalahnya; (d) kemungkinan sabotase terhadap
pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”; (e) sabotase
terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota
tim melalui gosip dan kabar burung; (f) menurunkan moral, semangat dan motivasi kerja; (g) masalah yang berkaitan dengan stres.
Konflik mempunyai dua dampak yaitu dampak
positif dan dampak negatif. Dengan demikian kemampuan manajemen konflik menjadi prasyarat penting
dalam dunia pendidikan karena akan berpengaruh
terhadap kelangsungan sekolah.
2.1.5 Tahap-tahap Manajemen Konflik
Menurut Stevenin (Sutabri, 2010: 134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik.
Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut
bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
(a) pengenalan yaitu kesenjangan antara keadaan
yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan
yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi
perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi
(tidak mempedulikan masalah atau menganggap
ada masalah padahal sebenarnya tidak ada);
(b) diagnosis inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,
16
mengapa, dimana dan bagaimana berhasil dengan
sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele; (c) menyepakati suatu solusi merupakan kumpulan masukan
mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah
penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau
tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan
dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang
terbaik; (d) pelaksanaan bahwa akan selalu ada
keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok; (e)evaluasi sebagai penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian
masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak
berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (Sutabri, 2010: 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal
yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik,
yaitu:
(a) jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan
dengan orang lain. Ada pepatah dalam masya-rakat
yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang,
demikian pula sebaliknya; (b) jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik
dapat ditangani secara paling baik dari dalam,
tanpa melibatkan pihak ketiga; (c) jangan biarkan
visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara
pandang dengan berkonsentrasi pada masalahmasalah penting. Masalah yang paling mendesak
belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (2003: 42-125) cara mengatasi
konflik yaitu:
a. mengatasi konflik dalam diri individu (Intraindividual Conflict) dengan tujuh cara yaitu:
(1) menciptakan kontak dan membina hubung-
17
an, (2) menumbuhan rasa percaya dan penerimaan, (3) menumbuhkan kemampuan/kekuatan diri sendiri, (4) menentukan tujuan,
(5) mencari beberapa alternatif, (6) memilih
alternatif, dan (7) merencanakan pelaksanaan
jalan keluar;
b. mengatasi konflik antar pribadi (Interpersonal
Conflict): (1) kalah-kalah (Lose-lose). Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang samasama kalah; (2) menangkanlah (Win-Lose). Menekankan adanya salah satu pihak yang sedang
konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain
memperoleh kemenangan; (3) menang-menang
(Win-win). Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi
komunikasi dan interaksi;
c. mengatasi konflik organisasi (Organizational
Conflict): (1) pendekatan birokratis (Bureaucratic
Approach) dengan munculnya konflik karena
adanya hubungan birokratis yang terjadi secara
vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal
model ini, pemimpin cenderung menggunakan
struktur hirarki (hierarchical structure) dalam
hubungannya secara otokritas; (2) pendekatan
intervensi otoritatif dalam konflik lateral
(Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
yang biasanya akan diselesaikan sendiri oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik; (3) pendekatan sistem (System Approach) dengan model
pendekatan perundingan yang menekankan
pada masalah kompetisi dan model pendekatan
birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan
dalam kontrol, maka pendekatan sistem
(System Approach) adalah mengkoordinasikan
masalah konflik yang muncul; (4) reorganisasi
struktural (Structural Reorganization) dengan
merubah sistem untuk melihat kemungkinan
terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan, kepentingan dan tujuan
yang hendak dicapai kedua belah pihak.
18
Dari
berbagai
pendapat
para
ahli,
penulis
menyimpulkan tahap-tahap dasar manajemen konflik
terdiri dari pengenalan, diagnosis, menyepakati suatu
solusi, pelaksanaan dan evaluasi. Adanya tahap-tahap
dasar dalam manajemen konflik ini bertujuan agar
konflik dapat tertangani dengan baik sehingga tidak
semakin meluas dan merugikan banyak pihak. Dalam
pelaksanaan manajemen konflik sangat dibutuhkan
membina hubungan sehingga dapat mencari, memilih
dan merencanakan pelaksanaan jalan keluar dari
konflik.
2.2 Teknik Pengambilan Keputusan
2.2.1 Pengertian Pengambilan Keputusan
Morgan dan Cerullo (Meyka, 2013: 2) mendefinisikan keputusan sebagai sebuah kesimpulan yang
dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi
setelah satu kemungkinan dipilih sementara yang lain
dikesampingkan.
Pengambilan keputusan adalah proses memilih
suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang
efisien sesuai situasi. Proses tersebut untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Suatu
aturan kunci dalam pengambilan keputusan ialah
sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus dibuat (Brinckloe dalam Meyka, 2013: 3).
Dengan kata lain, keputusan mempercepat diambilnya
tindakan, mendorong lahirnya gerakan dan perubahan (Hill dalam Meyka, 2013: 3).
19
Menurut Inbar (Meyka, 2013: 4) pengambilan
keputusan hendaknya dipahami dalam dua pengertian
yaitu: (1) penetapan tujuan yang merupakan terjemahan cita-cita dan aspirasi; (2) pencapaian tujuan melalui
implementasinya.
Sedangkan
Siagian
(Meyka,
2013: 4) menjelaskan ringkasnya keputusan dibuat
untuk mencapai tujuan melalui pelaksanaan dan ini
semua
berintikan
pada
hubungan
kemanusiaan.
Untuk suksesnya pengambilan keputusan itu maka
sepuluh hukum hubungan kemanusiaan hendaknya
menjadi acuan dari setiap pengambilan keputusan.
Dari berbagai pendapat para ahli maka penulis
menyimpulkan
bahwa
pengambilan
keputusan
(desicion making) adalah melakukan penilaian dan
menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah
melalui
beberapa
perhitungan
dan
pertimbangan
alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa
tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi
masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih
dan sampai pada pengambilan keputusan yang terbaik.
2.2.2 Proses Pengambilan Keputusan
Ada dua pandangan dalam pencapaian proses
mencapai
suatu
keputusan
organisasi
menurut
Brinckloe (Rubbiana, 2013: 2) yaitu:
(a) optimasi dimana seorang eksekutif yang penuh
keyakinan berusaha menyusun alternatif-alternatif,
20
memperhitungkan untung rugi dari setiap alternatif
itu terhadap tujuan organisasi. Sesudah itu memperkirakan kemungkinan timbulnya bermacammacam kejadian ke depan, mempertimbangkan
dampak dari kejadian-kejadian itu terhadap alternatif-alternatif yang telah dirumuskan dan kemudian menyusun urut-urutannya secara sistematis
sesuai dengan prioritas lalu dibuat keputusan.
Keputusan yang dibuat dianggap optimal karena
setidak-nya telah memperhitungkan semua faktor
yang berkaitan dengan keputusan tersebut;
(b) satisficing dimana seorang eksekutif cukup menempuh suatu penyelesaian yang lebih memuaskan daripada mengejar penyelesaian yang terbaik.
Model satisficing berkembang karena adanya pengakuan terhadap rasionalitas terbatas (bounded
rationality). Rasionalitas terbatas adalah batasbatas pemikiran yang memaksa orang membatasi
pandangan mereka atas masalah dan situasi.
Pemikiran itu terbatas karena pikiran manusia
tidak mengolah dan memiliki kemampuan untuk
memisahkan infor-masi yang tertumpuk.
Menurut Frank Harison (Rubbiana, 2013: 2),
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rasionalitas terbatas antara lain informasi yang datang dari
luar sering sangat kompetitif atau informasi itu tidak
sempurna, kendala waktu dan biaya, serta keterbatasan seseorang mengambil keputusan yang rasional
untuk mengerti dan memahami masalah dan informasi, terutama informasi dan teknologi.
Selanjutnya Meyka (2013: 4) mengemukakan
proses pengambilan keputusan sebagai berikut:
(a) pendekatan yang interdisipliner ialah proses
pengambilan keputusan tidak bisa dilihat sebagai
suatu tindakan tunggal dan tidak sebagai suatu
tindakan yang seragam yang berlaku untuk semua
keadaan serta dapat digunakan oleh pengambil
21
keputusan yang berbeda dengan tingkat efektivitas
yang sama; (b) proses yang sistematis merupakan
suatu proses logis yang melibatkan pengambilan
langkah-langkah secara berturut atau sekuensial
dengan merinci proses tersebut menjadi bagianbagian yang lebih kecil (pendekatan atomik);
(c) proses berdasarkan informasi, pengambilan keputusan tanpa informasi berarti menghilangkan
kesempatan belajar secara adaptif; (d) memperhitungkan faktor-faktor ketidakpastian, betapa pun
telitinya perkiraan keadaan, dalamnya kajian terhadap berbagai alternatif, tetap tidak ada jaminan
bebas dari resiko ketidakpastian; (e) diarahkan
pada tindakan nyata sehingga mengambil suatu
tindakan harus dapat ditentukan secara pasti,
kapan pemecahan berakhir dan proses pengambilan keputusan dimulai.
Penulis menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan melalui pendekatan yang
interdisipliner, proses yang sistematis berdasarkan
informasi, memperhitungkan faktor ketidakpastian,
dan diarahkan pada tindakan nyata. Dalam proses
mencapai suatu keputusan harus mempertimbangkan
berbagai hal yang terkait dengan persoalan yang
sedang dihadapi. Hal yang tidak kalah penting adalah
informasi yang diperoleh juga harus akurat sehingga
menghasilkan ketepatan dalam pengambilan keputusan.
2.2.3 Aspek-aspek Pengambilan Keputusan
Brinckloe (Rubbiana, 2013: 3) menjelaskan ada
empat aspek dalam pengambilan keputusan yaitu:
(a) keputusan otomatis (outomatic decisions), keputusan yang dibuat dengan sangat sederhana, meski
sederhana informasi tetap diperlukan; (b) keputus-
22
an berdasar informasi yang diharapkan (Expected
information decision), tingkat informasi mulai sedikit kompleks artinya informasi yang ada sudah
memberi aba-aba untuk mengambil keputusan.
Tetapi keputusan belum segera diambil karena
informasi tersebut perlu dipelajari; (c) keputusan
berdasar berbagai pertimbangan (factor weighting
decisions), informasi-informasi yang telah dikumpulkan dianalisis, lalu dipertimbangkan dan diperhitungkan sebelum keputusan diambil; (d) keputusan berdasar ketidakpastian ganda (Dual
uncertainty decisions), dalam setiap informasi yang
ada masih diharapkan terdapat ketidakpastian artinya semakin luas ruang lingkup dan semakin jauh
dampak dari suatu keputusan, semakin banyak
informasi yang dibutuhkan semakin tinggi ketidakpastian itu.
Aspek dalam pengambilan keputusan terdiri dari
keputusan otomatis, keputusan berdasar informasi
yang diharapkan, keputusan berdasar berbagai pertimbangan dan keputusan berdasar ketidakpastian
ganda.
2.2.4 Klasifikasi Pengambilan Keputusan
Menurut Rubbiana (2013: 4) klasifikasi pengambilan keputusan terbagi menjadi:
a. Keputusan terprogram yaitu tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali,
dan diambil secara rutin dalam organisasi.
Biasanya menyangkut pemecahan masalahmasalah yang sifatnya teknis serta tidak memerlukan pengarahan dari tingkat manajemen
yang lebih tinggi. Pengambilan keputusan terprogram akan berlangsung dengan efektif apabila empat kriteria dasar dipenuhi: (1) Tersedia
waktu dan dana yang memadai untuk pengumpulan dan analisis data; (2) Tersedia data yang
bersifat kuantitatif; (3) Kondisi lingkungan yang
23
relatif stabil, yang didalamnya tidak dapat
tekanan yang kuat untuk secara cepat melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap kondisi yang selalu berubah; (4) Tersedia
tenaga trampil untuk merumuskan permasalahan secara tepat, termasuk tuntutan operasional yang harus dipenuhi
b. Keputusan yang tidak terprogram biasanya diambil dalam usaha memecahkan masalahmasalah baru yang belum pernah dialami
sebelumnya, tidak bersifat repetitif (berulangulang), tidak terstruktur, dan sukar mengenali
bentuk, hakikat dan dampaknya. Sebagai akibat keadaan demikian, para ahli belum mampu
menyajikan teknik pemecahan yang sudah terbukti efektif di masa lalu, baik karena sifatnya
yang baru itu maupun karena sukar untuk
mendefinisikan hakikatnya secara tepat. Keputusan yang tidak Terprogram tidak menyangkut
hal-hal yang sifatnya operasional, akan tetapi
menyangkut kebijaksanaan organisasi dengan
dampak yang strategis bagi eksistensi organisasi.
Dari segi struktur keputusan tertinggi adalah
yang berhubungan dengan cita-cita, tujuan, menyusul
keputusan strategik, lalu keputusan taktis, dan yang
paling bawah adalah keputusan operasional. Keputusan tertinggi hanya dibuat satu atau dua kali, makin ke
bawah tingkat keputusan makin tinggi frekuensi
pembuatannya.
2.2.5 Kategori Pengambilan Keputusan
Ditinjau dari sudut perolehan informasi dan
cara memproses informasi, menurut Nutt (Brigida,
2013: 1), pengambilan keputusan dibagi menjadi
empat kategori:
24
(a) keputusan representasi, pengambilan keputusan menghadapi informasi yang cukup banyak dan
mengetahui dengan tepat bagaimana memanipulasikan data tersebut. Keputusan ini banyak
menggunakan model-model matematik seperti
operation research, cost-benefit analysis dan simulasi; (b) keputusan empiris, suatu keputusan yang
sedikit informasi tetapi memiliki cara yang jelas
untuk memproses informasi pada saat informasi
itu diperoleh; (c) keputusan informasi, suatu situasi yang banyak informasi tetapi meliputi kontroversi tentang bagaimana memproses informasi
tersebut; (d) keputusan eksplorasi, suatu situasi
yang sedikit informasi dan tidak ada kata sepakat
tentang cara yang hendak dianut untuk memulai
mencari informasi.
Pengambilan keputusan dibagi menjadi keputusan representasi, keputusan empiris, keputusan informasi dan keputusan eksplorasi.
2.2.6 Teknik Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan meliputi antara lain
hal-hal
yang
berhubungan
dengan
pengumpulan
fakta. Teknik pengambilan keputusan dalam klasifikasi ada dua yaitu teknik tradisional dan teknik
modern. Teknik pengambilan keputusan juga sering
dibagi dalam teknik pengambilan keputusan matematik atau kuantitatif (Robbins dalam Brigida, 2013:
2), dan teknik pengambilan keputusan non-matematik
atau kualitatif (Moody dalam Brigida, 2013: 2). Teknik
matematik biasa diberi nama multivariate analysis
(analisis variabel ganda atau analisis berdimensi
ganda). Teknik non-matematik, yang lebih sering digu-
25
nakan untuk keputusan strategik antara lain sumbang
saran, consensus, Delphi, fish bowling, interaksi didaktik, tawar-menawar kolektif.
Teknik pengambilan keputusan dapat dilakukan
dengan teknik tradisional, modern, kuantitatif dan
kualitatif. Dalam teknik pengambilan keputusan hal
terpenting adalah keakuratan pengumpulan data dan
fakta serta informasi. Hal tersebut mempengaruhi
kualitas dari keputusan yang akan diambil. Pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan hasil analisis
yang tepat dapat menghasilkan keputusan yang tidak
tepat pula.
2.3 Pelatihan Manajemen Konflik
Pelatihan manajemen konflik merupakan proses
penyusunan rencana untuk memanajemeni konflik
karena jika konflik tidak dikendalikan maka akan berkembang menjadi konflik destruktif sehingga individu
hanya akan memfokuskan perhatian, tenaga dan
pikiran, bukan mengembangkan potensi diri dalam
menyelesaikan konflik. Pelatihan manajemen konflik
sangat dibutuhkan karena berpengaruh terhadap ketepatan pengambilan keputusan, hal ini dikarenakan
setiap kelompok dalam satu organisasi dimana di
dalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, maka memiliki kecenderungan timbulnya konflik.
Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan
manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan,
26
tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel
karena kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan
tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya
kemarahan yang berujung pada konflik. Keadaan tersebut akan mempengaruhi individu dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja secara tidak langsung
dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja
maupun tidak disengaja.
Dalam suatu organisasi (institusi maupun lokal
pemerintah), kecenderungan terjadinya konflik dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba,
antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan
ketat, perbedaan kebudayaan, perubahan sistem nilai,
serta berbagai macam kepribadian individu. Melalui
pelatihan
manajemen
konflik
membantu
individu
dalam memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di dalam individu maupun konflik antar perorangan, konflik di
dalam kelompok maupun konflik antar kelompok.
Pemahaman faktor-faktor tersebut akan lebih
memudahkan
tugasnya
dalam
hal
menyelesaikan
konflik-konflik yang terjadi dan menyalurkannya ke
arah perkembangan yang positif. Layaknya suatu
organisasi, dunia pendidikan juga tidak lepas dari
konflik. Konflik pendidikan dapat terjadi disebabkan
adanya pertentangan maupun kesenjangan dari pihakpihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik itu
guru, kepala sekolah maupun lainnya. Oleh karena itu
27
diperlukan strategi manajemen yang tepat agar konflik
dapat ditanggulangi sehingga tepat dalam pengambilan keputusan sehingga tercipta lingkungan kerja yang
nyaman dan kondusif.
Pendekatan dalam pelatihan manajemen konflik
berorientasi pada proses yang mengarahkan pada
bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari
pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi
demi tercapainya penyelesaian suatu persoalan yang
terjadi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi
yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena
komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika
ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Dalam pelatihan manajemen konflik langkahlangkah yang diambil individu dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang
mungkin/tidak mungkin menghasilkan suatu akhir
berupa
penyelesaian
konflik
dan
mungkin/tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif
dan bermufakat. Pelatihan manajemen konflik dapat
melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam
memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan
pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga.
Tujuan adanya pelatihan manajemen konflik
pendidikan antara lain sebagai berikut: (1) konflik bisa
28
jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang
positif apabila dikelola dengan baik; (2) membantu
setiap individu untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka; (3) memberikan saluran baru untuk komunikasi; (4) menumbuhkan semangat baru pada individu; (5) memberikan
kesempatan untuk menyalurkan emosi; (6) menghasilkan distribusi sumber tenaga
yang lebih merata
dalam organisasi.
Pelatihan manajemen konflik mencegah terjadinya konflik yang mengarah pada kondisi destruktif
yang mana hal ini dapat berdampak pada penurunan
efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok. Biasanya tiap kelompok
berupaya melakukan aksi berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh,
bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif,
berupa demonstrasi.
Materi
dalam
modul
pelatihan
manajemen
konflik tidak menguraikan topik-topik secara spesifik
untuk kasus tertentu tetapi lebih mengarah pada
refleksi pengalaman yang dilengkapi penjelasan teoritis
dan praktis yang lebih menonjolkan kebermanfaatan
dan keterpaduan dengan situasi yang dihadapi oleh
para pendidik yang telibat dalam penyelesaian konflik.
dalam modul pelatihan manajemen konflik ini terdiri
dari empat pokok bahasan yaitu: (1) memahami
konflik, (2) identifikasi dan analisis konflik, (3) meru-
29
muskan program dan strategi mengelola konflik,
(4) mengelola konflik.
2.4 Penelitian Relevan
Penelitian Ashela Troth (2011) yang meneliti
hubungan Emotional Intelligence (EI), konflik dan kompleksitas tugas dengan pengambilan keputusan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa EI, konflik dan kompleksitas tugas secara tidak langsung mempengaruhi
pengambilan
keputusan.
Pengambilan
keputusan
memiliki efek pada hubungan antara EI, konflik dan
kemudian pada kompleksitas yang melekat dalam
tugas yang dikerjakan. Kompleksitas tugas mengubah
tuntutan yang melekat pada diri dan kemampuan
mereka untuk mengelola konflik dan emosi sehingga
mampu membuat keputusan efektif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama
meneliti tentang manajemen konflik dengan pengambilan keputusan, namun penelitian ini menggunakan
tiga variabel yaitu ditambah kecerdasan emosional
sehingga diduga ada pengaruh antara manajemen
konflik dengan pengambilan keputusan.
Penelitian Alireza Pooya (2013), penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional, strategi manajemen konflik dan
pengambilan keputusan. Instrumen penelitian adalah
kuesioner 55 item yang didistribusikan kepada 90
karyawan Golestan perusahaan gas di Iran. Sebanyak
30
82 dikembalikan tetapi hanya 79 orang yang dapat
digunakan. Oleh karena itu, tingkat respons dalam
penelitian ini adalah 91%. Sementara Validitas disetujui berdasarkan hasil analisis faktor kesesuaian dan
keandalan dengan Alpha Cronbach yang lebih dari 0,7
itu. Untuk menguji hipotesis menggunakan analisis
korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan
emosional, strategi manajemen konflik pemecahan
masalah dengan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini selain membahas bagaimana hubungan strategi manajemen konflik dengan pengambilan keputusan juga membahas tentang kecerdasan emosional
dengan pengambilan keputusan. Berdasarkan hal
tersebut diduga ada pengaruh manajemen konflik
terhadap pengambilan keputusan.
Penelitian Mohammad (2013), penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pengambilan
keputusan dengan manajemen konflik di SMA Kristen
Pirngadi
Surabaya.
Penelitian
ini
menggunakan
metode kuantitatif korelasional. Skala yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skala pengambilan keputusan dan skala manajemen konflik. Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 95 responden di SMA Kristen
Pirngadi Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pengambilan keputusan memiliki hubungan
yang signifikan dengan manajemen konflik dengan
arah hubungan yang positif yang dapat dilihat dari
nilai signifikan sebesar 0,021 dengan nilai koefisien
31
sebesar 0,229. Penelitian ini mempunyai kesamaan
dengan penelitian yang penulis lakukan namun yang
menjadi perbedaan variabel terikat dalam penelitian
ini adalah manajemen konflik, sedangkan dalam penelitian penulis variabel terikatnya pengambilan keputusan.
Penelitian Dede Daud (2010) dengan sampel berjumlah 275 dari 881 populasi dengan karakteristik
mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya. Teknik pengambilan sampel dengan proportioned random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel manajemen konflik dan kecerdasan emosi secara bersama-sama berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Nilai R Square sebesar 0,073 yang menunjukkan besar kontribusi manajemen konflik dan kecerdasan emosi dalam mempengaruhi pengambilan
keputusan adalah sebesar 0,073. Artinya, sebesar
7,3% pengambilan keputusan dipengaruhi oleh manajemen konflik dan kecerdasan emosi, sisanya sebesar 93,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang
tidak diukur oleh peneliti. Penelitian ini dan penelitian
yang penulis lakukan mempunyai kesamaan yaitu
meneliti tentang pengaruh manajemen konflik terhadap pengambilan keputusan, namun dalam penelitian
ini
meneliti
juga
tentang
pengaruh
kecerdasan
emosional.
Penelitian Heri Hasan tahun 2012, berdasarkan
hasil penelitian yang diperoleh hasil sebagai berikut:
32
(1) Terdapat pengaruh antara sistem manajemen
konflik dengan pengambilan keputusan kepala
sekolah; (2) Terdapat Pengaruh antara kecerdasan
emosional dengan pengambilan keputusan kepala
sekolah; (3) Terdapat pengaruh antara sistem
manajemen konflik dan kecerdasan emosional
secara bersama-sama dengan pengambilan keputusan kepala sekolah.
Manajemen konflik memberi pengaruh terhadap pengambilan keputusan dengan arah positif, yang berarti
semakin
tinggi
tingkat
manajemen
konflik
maka
semakin tinggi pula tingkat pengambilan keputusan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah: responden penelitian ini adalah
kepala sekolah sedangkan responden dalam penelitian
penulis adalah guru.
Berdasarkan
penelitian
di
atas
ditemukan
bahwa terdapat pengaruh manajemen konflik terhadap
teknik pengambilan keputusan. Hal ini berarti manajemen konflik memegang peranan penting dalam setiap
pengambilan keputusan. Manajemen konflik berpengaruh
terhadap
ketepatan
pengambilan
keputusan,
sehingga sangat penting bagi individu untuk mempunyai kemampuan mengelola konflik dengan baik.
Dalam memanage konflik setiap individu mempunyai cara tersendiri, meskipun demikian muaranya
tetap satu yaitu terselesaikannya persoalan yang
sedang
dihadapi.
Pentingnya
manajemen
konflik
dalam setiap pengambilan keputusan menjadikan individu berusaha untuk bisa menguasainya. Hal ini tidak
33
mudah karena banyak juga yang mengalami hambatan
dan kendala.
Penelitian tentang pengaruh manajemen konflik
terhadap
teknik
pengambilan
keputusan
adalah
sangat diperlukan. Sehingga perlu diadakan pula
pelatihan
khususnya
untuk
para
mengelola
pendidik
konflik
mampu
agar
individu
menyelesaikan
setiap persoalannya dengan baik.
2.5 Kerangka Pikir
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu
tidak pernah lepas dari konflik. Keberhasilan individu
dalam mengatasi konflik dapat dilihat dari keterampilan individu dalam ketepatan pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil tidak semata-mata untuk
kepentingan diri sendiri, namun keputusan yang
diambil dapat dipertanggung jawabkan.
Setiap pengambilan keputusan bertolak dari
beberapa kemungkinan atau alternatif sebagai wujud
dari manajemen konflik pada individu. Manajemen
konflik membawa konsekuensi dan sejumlah alternatif
yang berbeda satu sama lain mengingat perbedaan
dari konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Pilihan
yang dijatuhkan pada alternatif itu harus dapat memberikan kebahagiaan atau kepuasan karena merupakan salah satu aspek paling penting dalam keputusan.
Dengan demikian dapat dikatakan manajemen konflik
34
berpengaruh terhadap keterampilan pengambilan keputusan.
Pelatihan
manajemen
konflik mengupayakan
kedua belah pihak menyadari bahwa konflik yang
terjadi merupakan masalah bersama untuk dicari
penyelesaian secara memuaskan. Pemecahan masalah
sebagai usaha untuk mendapatkan penyelesaian secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
kedua belah pihak. Reaksi terhadap konflik dengan
cara mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh
pihak-pihak
yang
terlibat.
Masing-masing
pihak
mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian perselisihan sehingga pengambilan keputusan
dapat dilakukan dengan tepat.
Pengambilan
Keputusan (Y)
Manajemen Konflik
(X)
Pelatihan
Manajemen Konflik
Gambar 2.1
Kerangka Pikir
Dalam penelitian ini penulis menduga bahwa
manajemen
konflik
mempunyai
pengaruh
dalam
pengambilan keputusan sehingga sangat dibutuhkan
sebuah modul pelatihan manajemen konflik yang akan
membantu para pendidik dalam mengelola konflik
35
yang dihadapi, dan pada akhirnya menghasilkan ketepatan dalam setiap pengambilan keputusan.
Dengan adanya modul pelatihan manajemen
konflik maka para pendidik dapat belajar mengupayakan
untuk
ditemukannya
alternatif
pemecahan
masalah antar pihak yang terlibat konflik sehingga
konflik menjadi teratasi dengan menimbulkan dampak
semua pihak yang terlibat tidak merasa terabaikan
dan keputusan yang diambil dapat diterima oleh
semua pihak yang terlibat konflik.
2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Terdapat pengaruh antara manajemen konflik terhadap teknik pengambilan keputusan pada guru
SMP Negeri 4 Ambarawa Kabupaten Semarang;
b. Modul pelatihan manajemen konflik efektif dipergunakan dalam rangka ketepatan pengambilan keputusan.
36
Download