Memahami Deregulasi dan Prospek Ekonomi Indonesia ke Depan Untuk memahami deregulasi dan prospek ekonomi Indonesia ke depan, kita harus memahami latar belakangnya. Sebetulnya apa yang kita hadapi sekarang ini di dalam perekonomian kita adalah gabungan dari dinamika global dengan apa yang kita kembangkan dan bangun paling tidak selama beberapa belas tahun terakhir, setelah krisis Asia tahun 1998. Sebetulnya boleh dikatakan, kita sudah mulai pulih dari dampak krisis 1998 pada sekitar tahun 2004-2005. Saya ingat waktu itu, saya masih menjabat sebagai Dirjen Pajak, awal tahun 2006. Pada waktu itu kemudian terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 2007 dan dampaknya pada perekonomian kita baru muncul pada tahun 2008. Kejadian tersebut sebetulnya pengaruhnya cukup dalam pada perekonomian Amerika Serikat. Dan semangat untuk melakukan reformasi struktural itu juga tinggi. Kalau saudara-saudara masih ingat, tahun itu dan beberapa tahun sesudahnya, ada banyak demo-demo bahkan orang menginap di Wall Street untuk memprotes gejolak yang kemudian dikaitkan dengan sektor keuangan yang sudah terlalu bergerak jauh. Di sana sendiri memang cukup kuat pandangan bahwa sektor keuangan --yang berkembang dengan berbagai instrumen dan derivatifnya-- melahirkan ketimpangan yang boleh dikatakan luar biasa. Namun menariknya, Amerika Serikat kemudian mampu mencari jalan keluar dengan Quantitative Easing yang kita kemudian kenal. Mereka kemudian mengeluarkan likuiditas besar-besaran membeli berbagai aset di dalam perekonomiannya untuk melakukan penyelamatan. Sebetulnya langkah itu langkah yang tidak lumrah di dalam khasanah ekonomi dan keuangan karena tingkat suku bunga kemudian didorong mendekati nol. Baru kemarinlah tingkat bunga dinaikkan dari 0.25% menjadi 0.50%. Nah, sebagai hasilnya, supply US dollar meningkat secara tajam. Ibarat air bah, dia mencari tempattempat yang lebih rendah untuk mengalir. Artinya, dia mencari tempat investasi yang memberikan imbal hasil yang relatif menarik dan itu tempatnya, pada umumnya, di negara-negara berkembang. Istilah yang dipakai malah negara emerging supaya lebih keren kedengarannya. Saya ingat periode itu, karena waktu itu saya adalah Gubernur BI. Yang namanya dana itu bergelombang-gelombang datang dan mendorong rupiah menjadi kuat sekali bahkan pernah mencapai Rp.8.500,00 per US Dollar karena supply dolar-nya datang begitu besar dan terus menerus. Dalam periode itu kita bersama-sama Menteri Keuangan sebetulnya sudah menyadari bahwa ini nggak boleh terlalu jauh, karena pada saatnya dia pergi, kita akan menghadapi masalah lagi. Berkah harga komoditas sudah tidak ada lagi. Harga-harga komoditas sekarang turun, termasuk harga BBM. Lalu kita sadar bahwa kita tidak membangun industri manufaktur. Nah, sayangnya memang pada waktu itu, pemerintah juga cukup menikmati supply dolar yang banyak itu. Karena begitu dollar masuk, dia mau tidak mau ditukar ke rupiah dan supply rupiah juga meningkat dengan cepat. Jadi kalau saudara-saudara ingat pada waktu itu, kredit perbankan itu pertumbuhannya setahun bisa 40%. Itu luar biasa sekali. Sayangnya pada waktu itu tidak tercapai kesepakatan bahwa arus ini harus agak ditahan karena kita juga menerbitkan surat utang yang memerlukan demand. Nah, dalam periode yang sama terjadi pula siklus naik, siklus meningkat dari harga komoditi hasil Sumber Daya Alam. Bersamaan juga dengan munculnya ekonomi Tiongkok dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan terhadap hasil-hasil Sumber Daya Alam semakin meningkat, dan boleh dikatakan itu suatu super siklus di dalam harga dan permintaan dari hasil-hasil Sumber Daya Alam. Sebetulnya kalau kita boleh mengulang sejarah, periode itu semestinya dimanfaatkan untuk mendorong lahirnya industri manufaktur. Nah, kenapa tidak terjadi, karena pertumbuhan ekonomi kita sudah lumayan tinggi pada waktu itu, sudah di atas 6%. Dan harga komoditi yang terus menerus naik membuat neraca pembayaran kita, transaksi berjalannya itu surplus. Jadi ideal sekali memang terlihat bahwa pertumbuhan yang relatif tinggi dibarengi dengan transaksi berjalan yang surplus. Sehingga ya apalagi kurangnya? Kira-kira begitu. Jadi tidak cukup lagi motivasi untuk mendorong lahirnya sektor industri manufaktur. Bukan berarti tidak lahir, tapi tidak berkembang. Ada, tetapi sektor yang memanfaatkan permintaan dalam negeri. Jadi kalau dilihat investasi di sektor industri pada waktu itu, --apakah itu investasi dari luar ataukah dari dalam negeri-- investasinya itu diarahkan ke pasar dalam negeri. Walaupun begitu, transaksi berjalan tetap positif. Tentu hal ini tidak bisa berlangsung terus menerus begitu. Siklus itu akhirnya mulai terganggu dan terus menurun dimulai dengan pindahnya krisis itu ke Eropa sehingga kita melihat bahwa Uni Eropa sempat terancam pecah karena ada persoalan di dalam. Tapi kemudian memang tekanan krisis pindah ke sana. Saya ingat siklus naik itu mulai berbalik menjadi siklus turun, di dalam komoditi Sumber Daya Alam, sejak krisis Yunani terjadi. Itu terjadi pada kuartal terakhir tahun 2011. Sejak itu sampai sekarang yang kita hadapi adalah siklus turun dari hasil-hasil Sumber Daya Alam. Nah, kira-kira dengan latar belakang seperti itu, pada waktu pemerintahan baru naik, apa yang dihadapi sebetulnya adalah tidak punya sektor industri yang cukup untuk digerakkan sementara sektor penghasil Sumber Daya Alamnya merosot dengan penurunan harga yang berlaku sampai hari ini dan bahkan sampai tahun depan. Dengan kondisi ekonomi yang seperti ini, apa yang dilakukan pemerintah? Semua menyadari bahwa perlambatan ekonomi kemudian terjadi di dalam negeri dan perlambatan itu sudah mulai terlihat sejak tahun 2012. Secara global, yang pertama-tama sebetulnya mungkin begini penjelasannya. Untuk menjawab situasi demikian, di ranking pertama yang harus dilakukan adalah mendorong ekspor. Sayangnya tidak ada yang bisa didorong. Tidak ada yang bisa didorong karena andalan hasil Sumber Daya Alam sedang merosot. Industrinya tidak cukup kuat, tidak cukup basis untuk itu. Ya sehingga pilihan sudah tinggal dua lagi urutannya. Satu, investasi terutama mengundang investor dari luar. Yang kedua, pengeluaran pemerintah. Investasi juga itu, belanja barang pemerintah. Diakui atau tidak, APBN kita kemudian didesain sangat optimis karena semangat untuk mendorong kegiatan ekonomi itu kembali melalui belanja barang pemerintah. Sedangkan dalam hal investasi, disadari bahwa dunia memang sedang tidak begitu berminat untuk melakukan investasi. Satu-satunya cara adalah mencoba menawarkan infrastruktur yang kemudian ditawarkan kepada perusahaanperusahaan atau bahkan negara-negara lain. Jadi bukan mekanisme pasar yang normal yang ditempuh. Menawarkan pembangkit listrik 35.000 MW, misalnya. Kita mengundang investor dari China, dari Tiongkok, dari Jepang dan dari Timur Tengah. Juga menawarkan pembangunan Pelabuhan dan kereta api, ingat kan Kereta Api Cepat, termasuk Kereta Api Ringan. Intinya adalah mengundang dana masuk. Itu bisa terjadi, tapi tidak bisa cepat. Investasi ratusan juta dolar untuk satu investasi, pasti memerlukan waktu bahkan meminta berbagai kemudahan. Baru investornya tertarik. Kalau Anda ingat, harapan terhadap peranan pengeluaran pemerintah itu cukup tinggi. Bukan hanya terlihat dari target APBN yang cukup ambisius, tetapi pada waktu kuartal kedua tahun 2015, ada suatu harapan bahwa dana akan keluar pada akhir kuartal ketiga. Ya, jangan anggap langsung keluar pada kuartal kedua juga. Saya rasanya sudah mulai bergabung di pemerintahan pada waktu itu, pada bulan Agustus-September tahun 2015. Harapan bahwa pertumbuhan akan didorong naik oleh pengeluaran, terlalu optimis. Keluar angka pertumbuhan 4,7% tapatnya 4,67%. Nah, pada waktu itu sebenarnya disadari betul bahwa kita sangat memerlukan investasi masuk. Kita harus menarik investasi masuk. Caranya bagaimana? Reformasi struktural, deregulasi. Kita praktis tidak punya hal lain lagi selain mencoba mengundang investor dengan memberikan sweetener. Ekonomi perlu tumbuh untuk menyerap tenaga kerja. Ada analis yang mengatakan, “Kenapa kok repot-repot? Nggak apa-apa kan pertumbuhan 4-5%? Oke, memang situasi sedang begini.” Ya memang tidak apa-apa. Tapi untuk menyerap 2,5 juta tambahan angkatan kerja setiap tahun, dilihat dari pengalaman ekonomi kita, kita perlu pertumbuhan di atas 6%. Nah, itu dia. Kecuali kita terima pengangguran akan makin banyak. Atau ekonomi kita sebenarnya cukup lentur. Jadi jangan dianggap ekonomi kita itu begitu kaku sehingga dia selalu hanya bisa menyerap tambahan angkatan kerja kalau pertumbuhannya 6,5% atau bahkan 7%. Kalaupun pertumbuhan 5%, dia serap juga, tapi menyerapnya melalui sektor informal. Jadi, orang tetap berkerja. Kalau enggak kerja, ya nggak makan dia. Jadi bagaimana caranya? Ya apa sajalah di sektor informal, terima saja. Ada satu gejala yang relatif positif, yaitu di sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian, Rumah Tangga Petani istilahnya, itu selama periode 2003-2013 jumlahnya turun. Secara absolute turun jumlahnya, karena beberapa hal. (1) Kita punya saluran tenaga kerja dalam bentuk TKI. (2) Di pihak lain, memang proses perpindahan penduduk dari sektor pertanian ke sektor modern itu sudah berlangsung lama walaupun pelan. Sebetulnya indikasinya tidak susah. Perhatikan saja, apalagi ibu-ibu ini pasti tahu, mencari pembantu rumah tangga belakangan ini makin susah. Apalagi dari Jawa. Iya kan? Dapatnya dari Lampung. Di rumah saya, malah ada pembantu sekarang dari mana? Dari NTT. Itu adalah petunjuk bahwa memang jumlah orang di sektor pertanian mulai turun. Itu berita bagusnya. Jadi walaupun secara total jumlah angkatan kerja yang masuk mencari kerja kira-kira 2,5 juta per tahun, akan tetapi pertambahannya itu tidak melulu dari sektor pertanian. Mereka datang ke perkotaan, hal ini terlihat dari data jumlah Rumah Tangga Petani yang terus menurun. Kalau Anda lihat data sensus pertanian 2003-2013 akan terlihat dengan jelas betapa mereka-mereka yang mengolah tanah dengan luas di bawah 1.000 meter itu mulai pindah. Wah,sudah mulai turun dia. Itu gejala baik atau gejala buruk? Ada yang mengira, “Wahitu bahaya, kalau turun bagaimana?” Memang harus turun! Negara yang berkembang, jumlah orang di sektor tradisional, sektor pertanian, itu arahnya turun. Kalau enggak, ekonomi negara itu tidak bergerak sama sekali, dan itu akan membuat ruang lebih longgar di sana. Orang bekerja sedikit berkurang dengan jumlah luas tanah yang sama. Nah, kira-kira latar belakang dari semua ini adalah gabungan dari cerita saya di atas. Ada satu lagi yang mau saya tambahkan. Mudah-mudahan Anda jangan jadi pesimis kalau saya cerita begini. Maksudnya bukan itu sebenarnya, tapi mencoba membacanya seobyektif mungkin. Satu lagi yang kita saksikan sejak tahun 2012 sampai sekarang adalah ekonomi kita, walaupun terjadi perlambatan pertumbuhan, tapi turunnya tidak drastis. Jadi sebetulnya ekonomi kita dilihat dari segi pertumbuhannya tidak terlalu volatile, tidak terlalu naik turun, relatif stabil. Turun tetapi tidak drastis. Namun di pihak lain, kalau Anda lihat kurs, kalau Anda lihat nilai tukar itu volatile sekali. Dilihat dari tahun 2012 sampai sekarang, sebentar-sebentar ada kecemasan. Iya kan? “Kecemasan” bahasa Indonesia, bukan bahasa Malaysia. Kalau bahasa Malaysia, “Kecemasan” lain artinya. Ruang Kecemasan, dia bilang, artinya adalah Ruang Gawat Darurat. Investasi seharusnya dibiayai oleh tabungan. Tapi karena tabungan dalam negeri kita rendah, kita harus meminjam dari luar negeri. Di masa Orde Baru, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia dijaga tidak lebih dari 20%. Saat ini, DSR kita lebih dari 50% Kenapa kita begitu volatile di keuangan khususnya nilai tukar dan tingkat bunga? Karena di sana, sebetulnya kita sangat kurang. Secara globalnya kira-kira begini. Semua orang tahu, investasi itu harus dibiayai dengan tabungan. Iya kan? Semua orang tahu itu. Dibiayai dengan saving. Kemampuan kita membentuk tabungan agak jauh di bawah kebutuhan investasi kita. Kalau itu terjadi, maka pilihannya hanya tinggal dua. Kita rela menerima pertumbuhan yang rendah supaya bisa dibiayai oleh investasi yang berdasarkan tabungan kita. Masalahnya adalah yaitu kita perlu pertumbuhan yang agak tinggi, 6% lebih itu. Terus bagaimana? Kita harus pinjam. Kita harus mengundang dana dari luar kalau pinjam sudah nggak cukup. Dan memang tidak cukup. Pinjaman bukan hanya oleh pemerintah, ya. Kalau Anda perhatikan, pertumbuhan pinjaman yang paling cepat justru oleh swasta ke luar negeri. Sehingga sejak dua tahun yang lalu, pinjaman swasta sudah melebihi pinjaman pemerintah. Dan yang namanya Debt Service Ratio (DSR) --rasio antara pembayaran bunga dan pokok utang yang jatuh tempo dibagi dengan ekspor itu namanya Debt Service Ratio-- sudah meningkat dengan cepat. Dulu di jaman orde baru, kita memelihara DSR jangan lebih dari 20%. Dia kemudian mencapai 30% pada waktu kita krisis 1998. Sekarang angkanya sudah tinggi sekali. Sudah berada pada angka 50% lebih. Swasta pinjam. Pemerintah pinjam. Nggak cukup juga. Undang investasi asing, nggak cukup juga. Kita harus mengundang dana segar dari luar, yang main di pasar modal dan main di surat utang. Sehingga di surat utang kita ada 38% dana asing, padahal ini surat utang dalam negeri. Di pasar modal kita ada dana asing mungkin 60%. Di negara lain berapa? Di Thailand itu kira-kira 12-14%. Maka, tidak heran kalau ada dana asing pergi sedikit, langsung kursnya goyang. Paket deregulasi dimaksudkan untuk menangkal perlambatan ekonomi yang masih terus terjadi. Investasi dipermudah dan kepastian usaha semakin jelas. Ekspor didukung dan ekonomi rakyat digerakkan. Kembali ke persoalan apa yang kemudian kita lakukan menghadapi volatilitas dan perlambatan di bidang keuangan, kurs dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Penjelasan tadi menunjukkan, diperlukan sesuatu yang agak cepat menunjukkan hasil. Ya secepat-cepatnya yang dilakukan adalah paket-paket deregulasi. Jadi, kalau Anda perhatikan paket-paket deregulasi kita itu, maka yang pokok pertama yang banyak dilakukan adalah menyangkut investasi, ekspor dan termasuk di dalamnya persoalan seperti infrastruktur. Jadi kita mengeluarkan peraturan pemerintah untuk proyek-proyek strategis. Dalam paket deregulasi, kita mengeluarkan perubahan peraturan perundangan untuk harga gas, kita mengeluarkan peraturan perundangan untuk investasi, kawasan industri, kita mengeluarkan kemudahan dalam peraturan untuk kawasan ekonomi khusus. Yang namanya kawasan itu ada beberapa, ada inland free trade, ada lagi nanti pusat logistik berikat. Itu semua kawasan. Kenapa itu semua agak fokus pada kawasan, karena biasanya yang makan waktu lama adalah izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kalau sudah ada AMDAL kawasan, tidak perlu lagi izin satu per satu. Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) nya pun sudah sangat rinci, termasuk RDTR nya sudah ada di kawasan, berbeda dengan investasi di luar kawasan. Untuk infrastruktur juga begitu. Kita bahkan sudah mulai mengumumkan adanya Perpres untuk pembangunan kilang. Anda tahu, kita membangun kilang terakhir 25 tahun yang lalu. Ada banyak orang yang senang tidak ada kilang di sini, sehingga perlu waktu lama agar kita bisa membangun kilang lagi. Harga komoditas tahun 2016 depan relatif masih rendah. Penerimaan pajak juga tidak bisa didongkrak karena kita mengandalkan penerimaan pajak perusahaan, bukan perorangan. Di saat ekonomi melambat, keuntungan perusahaan pun turun dan penerimaan pajak kita terganggu. Kalau kita lihat bulan-bulan terakhir tahun 2015 ini, sebetulnya ada indikasi bahwa ekonomi mulai menggeliat. Perhatikan misalnya pertumbuhan yang sedikit membaik, neraca perdagangan yang --ya, memang ironisnya agak defisit-- tetapi itu menunjukkan impornya mulai bergerak. Itu adalah indikasi bahwa ekonomi mulai menggeliat. Jadi sebenarnya di 2016 kebanyakan ahli dan peneliti memperkirakan belum ada peningkatan hargaharga komoditas. Situasi itu masih tetap akan kita hadapi. Yang kedua, pengalaman kita menunjukkan kalau ekonomi melambat penerimaan pemerintahnya itu melambatnya lebih cepat. Jadi dia tidak simetris, kalau ekonomi naik, naik juga penerimaan. Kenapa begitu? Karena yang mendominasi penerimaan pajak kita berasal dari perusahaan. Kalau perusahaan, begitu ekonomi melambat profitnya langsung turun drastis dan berarti penerimaan negara juga melambat. Berbeda kalau penerimaan didominasi oleh pajak perorangan, seperti di negara yang lebih maju. Negara yang lebih maju ditandai dengan besarnya penerimaan dari personal income. Yang namanya gaji, biar ekonomi melambat, jaranglah gaji turun. Kalau gaji diturunkan, ngamuk orangnya. Biasanya yang terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan gajinya yang turun. Akibatnya apa, kalau suatu negara penerimaannya sudah didominasi oleh pajak perorangan maka dia lebih simetris naik dan turunnya. Nah bagaimana ke depan? Ke depan yang kita lakukan adalah meneruskan apa yang relatif berhasil pada tahun 2015 ini. Di satu pihak kita mendorong lebih jauh pelaksanaan dari investasi infrastruktur. Supaya berhasil, ya memang perlu perbaikan peraturan, deregulasi dan sebagainya. Seperti apa misalnya? kita sudah mengeluarkan formula untuk upah minimum sehingga bisa diprediksi, walaupun belum 100% comply setiap provinsi, tetapi sekarang kita punya formula itu sehingga bisa diprediksi tahun 2016 akhir berapa kenaikan gaji buruh. Tinggal anda kalkulasi berapa pertumbuhan ekonomi dan berapa inflasi. Apa kelebihannya kalau bisa diperkirakan dan dihitung? Investor jauh lebih mudah mengambil keputusan, akan beda dengan kalau investor menduga-duga, tahun depan gimana ya? Nah kalau kita bisa melakukan hal yang sama, misalnya untuk tarif listrik, kapan dan berapa kenaikan tarifnya, tentu akan makin memberikan kejelasan dan kepastian kepada investor. Salah satu area yang belum kita sentuh untuk deregulasi adalah perizinan di daerah. Mau tidak mau, kita harus masuk ke area itu, ya mungkin sedikit lebih ramai, karena pemerintah otonom yang dihadapi. Kita perlu mendorong kegiatan Menabung Nasional. Juga program-program Keuangan Inklusif dan sistem logistik nasional. Tahun depan terus terang pajak belum bisa diharapkan melakukan perbaikan yang berarti. Kalau realisasi tahun 2015 dipake sebagai tahun dasar basis untuk penerimaan tahun 2016 yang ada di APBN sekarang, pertumbuhan penerimaannya meledak lagi, naik sangat tinggi. Oleh karena itu walaupun ada rencana menjalankan tax amnesty, kelihatannya APBN 2016 harus agak cepat diamandemen. Jangan sampai seperti tahun 2015 ini, selalu dibilang ohnanti bisa segini, tahu-tahu hasilnya lain. Kepastian dan kejelasan harus ada. Kalau bisa dibuat APBNP lebih cepat, itu akan menolong dan risiko menjadi lebih kecil. Bagaimanapun, APBN tetap menjadi salah satu sumber untuk mendorong pertumbuhan, disamping investasi. Sekarang di ekspor bagaimana? Ekspor hasil manufaktur yang pertumbuhannya tinggi itu bisa dihitung dengan jari. Yang pertama alas kaki sepatu, yang kedua adalah perhiasan, ya itu yang saya bilang batu akik. Yang ketiga adalah alat angkutan. Itu menunjukkan betapa industri manufaktur kita tidak cukup solid, dan memang itu agak ketinggalan selama 10-15 tahun terkahir. Nah kalau situainya begitu, apa yang bisa dilakukan. Pemerintah sebetulnya melihat situasi ini. Promosi ekspor harus dikembangkan. Promosi dalam bentuk lembaga yang sifatnya nasional, untuk mendorong ekspor hasil kayu, mebel, mungkin tekstil yang sampai sekarang belum bisa berkembang dengan baik. Ini adalah salah satu langkah yang akan dikembangkan pada 2016. Pada tahun 2015 ini di kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi kita juga tidak akan terlalu bagus. Tentu kita berharap kuartal empat pertumbuhannya bisa lebih sedikit, tapi kalaupun lebih, tidak akan bisa mencapai 5%, mungkin di angka 4,8% - 4,9%, sehingga sepanjang tahun 2015 pertumbuhannya mungkin hanya di 4,7% lebih sedikit. Tahun depan APBN menggariskan pertumbuhan 5,3%, bisakah itu dicapai? Itu hanya bisa kalau investasinya berjalan lebih baik tahun depan; infrastruktur, industri dan ekspornya juga bisa jalan. Kalau itu bisa terjadi, maka 5,3 itu bisa dicapai. Untuk ke depan saya juga ingin menyampaikan bahwa sebetulnya ekonomi kita memang belum membaik benar, neraca perdagangannya, tapi perdagangannya mulai defisit lagi. Kenapa? Karena kita tidak cukup menghasilkan bahan baku dan barang modal. Kalau bicara bahan baku dan barang modal, yang paling besar di dalam impor kita sebetulnya ada di tiga kelompok besar. Yang pertamakelompok petrokimia. Yang kedua kelompok besi dan baja. Dan yang ketigakelompok kimia dan farmasi. Oleh karena itu orang bijak ya kan bayar pajak katanya. Orang bijak mestinya tahu kalau itu penting, harus dikembangkan. Oleh sebab itu, pemerintah memang mencoba mendorong betul perkembangan tiga kelompok industri yang besar ini. Nah,ada hal yang sebetulnya menarik bagi kita, yaitu pengeluaran kita untuk BPJS khusunya jaminan kesehatan itu cukup besar setiap tahun. Padahal kebutuhan kita akan farmasi, hasil farmasi dan alat kesehatan, obat dan alat kesehatan, itu 90% masih diimpor. Sebetulnya orang bijak mestinya tahu kalau pengeluarannya akan banyak di situ, ya dia dorong supaya industrinya berkembang supaya jangan impor terus. Maka tahun depan kita akan menyusun berbagai langkah termasuk deregulasi, tapi bisa juga regulasi, agar pemakaian obat di pelayanan-pelayan kesehatan yang dibiayai negara itu akan dibuat standarnya sehingga lebih memakai hasil dalam negeri, selain mendorong investasi dalam bidang ini, termasuk dalam bahan-bahan obat. Bahkan sebenarnya walaupun belum ketemu benar bentuknya, pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW akan sayang sekali kalau berlalu begitu saja. Kita hanya mengimpor pembangkit listrik begitu saja, mestinya kalaupun yang ada sekarang yang akan dibangun diimpor, tapi perlu ada aliansi strategis antara swasta atau BUMN kita dengan investor yang masuk untuk mengembangkan atau apakah industri besi dan baja, atau yang namanya spare part untuk pembangkit listrik dan sebagainya. Sebetulnya kita tidak perlu lari terlalu jauh, sudah ada di dalam area ini. Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, kita semua tahu ekonomi kita menghasilkan ketimpangan yang lebih buruk dari negara lain. Cina juga buruk sebenarnya, tapi dibanding dengan negara yang seimbang dengan kita, ketimpangan di dalam perekonomian kita ya memang ukuran yang ada gini ratio (ketimpangan pendapatan di suatu negara atau daerah). Gini ratio kita memang relatif timpang, padahal 20-30 tahun yang lalu, Indonesia membanggakan diri sebagai negara yang pertumbuhan tinggi, gini ratio rendah. Nah perlu dilakukan hal besar untuk menjawab ini. Oleh karena itu yang sedang kita persiapkan dengan Kementerian Agraria, OJK, Menkominfo, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian adalah membuat satu desain besar untuk mendorong financial inclusion. Nanti akan dikaitkan dengan sertifikasi tanah rakyat secara besar-besaran. Ada 40% - 60% tanah rakyat kita yang belum disertifikasi. Di pihak lain, kita punya kredit usaha rakyat (KUR) yang akan mencapai Rp 100 triliun lebih dengan bunga 9%. Kita juga punya dana desa Rp 40 triliun lebih tahun depan, dikombinasi denganagent bank, --kalau di OJK namanya laku pandai, namanya saja aneh. Itu sebenarnya terjemahan dari agent bank. Maksudnya, ya supaya jangan setiap bank harus bikin kantor sampai di desa-desa, tapi pakailah warung, pakailah toko yang menjual voucher, yang menjual dengan standar dan perjanjian tertentu, dia bisa bertindak sebagai agen dari bank. Di pihak lain kemudian ada e-commerce, e-money dan macam-macam. Saya belum ingin menjelaskan semua. Ini mestinya sekaligus meningkatkan jumlah dana yang ada di perbankan, sehingga pertumbuhan kredit kalau meningkat 30% lagi --bukan tahun depan tentu saja--, itu bisa diimbangi dengan pertumbuhan dana masyarakat. Karena sekarang ini hampir semua petani kita soal jual beli hasil dan semua kebutuhannya cash, tidak pernah menggunakan bank, sehingga dananya tidak pernah mampir di bank. Sekaligus juga kita harus mendorong sistem logitik nasionalnya. Ini adalah blok dari sebagian financialinclusion, tapi sifatnya korporat. Unilever punya sistem logistik secara nasional, indomart punya, alfamart punya, tapi mana sistem logistik dari pedesaan ke kota belum lahir. Sistem logistik nasional ini penting supaya jangan 50% - 60% dari harga produk pertanian atau kerajinan, habis diambil oleh logistiknya, oleh jaringannya. Sementara petaninya, hanya dapat 40% - 50%. Nah semua ini adalah blok besar untuk mendorong transformasi struktural sekaligus juga akan memperbaiki tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Tanya jawab: Pertanyaan: 1. Deregulasi dan paket ekonomi yang sudah diumumkan, arahnya adalah reformasi struktural dan dampaknya lebih jangka panjang. Sedangkan perlambatan ekonomi butuh antisipasi segera, jangka pendek. Bagaimana ini? 2. Soal ketimpangan. Social spending kita sejauh ini seperti apa dan bagaimana mengatasi isu ketimpangan kita? 3. Perlu segera melakukan revisi APBN 2016. Revisinya akan seperti apa? 4. Soal sertifikasi tanah, kalau bisa lebih didetail, impact-nya seperti apa? 5. Soal pembangunan kilang, detailnya seperti apa? 6. Tahun 2016 akan ada desain besar untuk mendorong financial inclusion dikaitkan dengan sertifikasi tanah rakyat secara besar-besaran. Regulasinya apakah ini nanti lebih seperti reformasi agraria? 7. Formula perhitungan UMP masih didemo buruh. Bagaimana perhitungan yang benar? 8. Apa tanggapan Anda soal tax amnesty? 9. Bagaimana menghitung pertumbuhan penerimaan dari pajak yang realistis? 10. Bagaimana soal suku bunga perbankan dan intervensi pemerintah ke BI? 11. Bagaimana sebenarnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)? Dampak Deregulasi Sebagian dari paket kebijakan itu memang dampaknya dalam jangka menengah- panjang. Tapi tidak semua. Ada juga yang segera dampaknya. Segera itu maksudnya semester satu tahun depan sudah akan kelihatan, seperti apa maksudnya. Paket converter LPG untuk nelayan, itu akan berjalan mulai awal tahun depan. Dengan menggunakan LPG, biaya untuk nelayan akan turun signifikan. Ada satu lagi dampak paket deregulasi yaitu dampak terhadap confidentdari pasar dan masyarakat. Mungkin kalau kita pada waktu itu membuat satu atau dua paket kemudian paket berikutnya lama tidak dikeluarkan, pasar akan menganggap, ya segitu saja. Tapi kalau kita urut setiap minggu, pada paket ketiga kelihatan betul market mulai percaya. Sehingga kalau Anda perhatikan, kurs kita bergerak yang tadinya mencapai Rp 14.800 per US dollar, kemudian dengan perlahan-lahan dia bergerak ke angka 13, bahkan sempat Rp 13.300 per US dollar. Social spending atau belanja sosial di APBN Bantuan tunai tetap ada, walaupun kita jauh lebih banyak menjalankan bantuan itu dalam bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Artinya, pengeluaran sosial kita lebih difokuskan pada bagaimana memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat, bagaimana memperbaiki pendidikan dan bagaimana membantu mereka yang pensiun. Walaupun belum ideal, tapi itu mestinya lebih baik daripada terus menerus memberikan bantuan tunai. Bantuan tunai itu oke pada saat situasi yang betulbetul buruk. Dan sebetulnya kalau Anda perhatikan, memang istilahnya dibagus-baguskan ini, beras sejahtera namanya, tadinya beras miskin, tetepkita berikan. Jangan anggap remeh dengan ini, besarnya 230 ribu ton setiap bulan dan kita keluarkan 12-14 kali dalam setahun. Itu menolong bukan hanya kesejahteraan masyarakat miskinnya, tetapi juga sedikit banyak ikut mengendalikan harga beras. Ambil contoh misalnya pada tahun ini, pada waktu el nino begitu berat dalam indeks el nino tahun ini lebih berat daripada tahun 1997 - 1998 sampai hari ini. Sampai hari ini, mudah-mudahan tidak apa-apa. Tahun 1997 - 1998 crash, kenapa? Salah satu di antaranya beras sejahtera, dia mempengaruhi betul masyarakat di bawah. Belakangan ini ada upaya untuk diubah kembali namanya kalau tidak sungguh-sungguh untuk belanja sosial. Tadinya begitu banyak belanja sosial, begitu dicek, itu bukan belanja sosial tapi belanja barang. Misalnya seperti memperbaiki sekolah, dulu dia cukup lama namanya belanja sosial. Presiden berkali-kali mengatakan, jangan sekali-kali pakai istilah yang rancu dan tidak jelas. Seperti kata – kata memberdayakan petani. Apa itu memberdayakan? Tidak ada takarannya. Kalau beli benih, ya bilang saja beli benih. Kalau beli jaring, ya beli jaring. Jadi dalam hal ini, APBN sulit dibandingkan yang sekarang dengan tahun-tahun sebelumnya, karena akan kelihatan turun banyak. Bukan karena diubah sasarannya, tapi namanya diubah. Kemudian ketimpangan. Soal sertifikasi tanah itu hanya satu bagian dari program besar finansial inklusif. Kenapa penting sekali sertifikasi tanah itu? Sejauh ini sektor keuangan hanya bisa menjangkau mereka melalui KUR yang disubisidi pemerintah dan dijamin. Nah, pertanyaannya, kalau sudah dijamin kenapa ditanya sertifikasinya lagi? Sebetulnya rakyat perlu lebih banyak lagi uangnya dan akan mereka dapatkan kalau mereka memiliki sertifikat tanah. Rakyat cuman punya tanah dan dirinya sendiri. Sayang, dirinya tidak bisa dijaminkan. Inklusi Keuangan Ada sistem informasi yang tidak terlalu rumit di setiap kabupaten yang bisa diakses pakai HP. Isinya bukan hanya harga dan cuaca, tetapi daftar pedagang-pengumpul yang ada di sekitar petani di kebupaten itu. Misalnya ada petani cabe. Jangan seperti sekarang, dia cari-cari orang yang beli panennya pada saat panen sudah terjadi. Dibikin lama sedikit sama pembelinya, udah pusing dia. Harganya ditekan, udah kalah dia. Tapi dengan sistem informasi ini, dia bisa masuk pakaiHP, dia lihat siapa pedagang-pengumpul yang paling dekat dengan dia. Dia bisa telepon, “Saya mau panen cabe merah kira-kira satu kuintal besok, berapa harganya?” Naah, ada bargaining ini. Jangan anggep remeh, itu yang tidak dipunyai oleh petani kita. Petani bisa bertanya pada pedagang-pengumpul berapa harga cabe nya. Kalau calon pembeli bilang, harganya Rp 14.000 per kuintal, maka petani bisa jawab, “Kalau Rp 20.000 saya lepas.” Terjadi tawar-menawar, misalnya berenti di angka Rp 18.000, dia bisa masuk ke daftar kedua. Bahkan kita sebenarnya berharap mulai lahir anak-anak muda yang menggunakan alat-alat yang radarada digital, sebagai bisnis agregator. Bisnis Agregator ini yang kemudian bersaing membeli dan memotong jalur distribusi yang telalu panjang untuk sampai ke kota. Anak-anak muda ini bisa mencari pasar jaket kulit di kota atau negara-negara lain. Kemudian dia pergi ke pengrajin jaket kulit di Garut. Kalau memakai sistem atau aplikasi digital, dia bisa tahu ada sekian pengrajin jaket kulit dan bisa memproduksi berapa banyak dalam seminggu. Hal-hal seperti ini yang tidak kita kerjakan selama ini, sehingga rakyat kita tercecer. Jadi ada logisitk, ada bisnis agregator. Intinya mencoba mentransformasikan berbagai kegiatan yang tadinya terlalu dieksploitir oleh pasar. Petani kopi itu tetap miskin, yang kaya eksportirnya. Lebih kaya lagi orang singapura-nya. Petani, sekolahin anak aja nggak bisa. Itu yang harus dibenahi. Ini namanya masalah yang sudah laten dan mendalam di dalam ekonomi kita, sehingga kenapa saya kaitkan ke masalah ketimpangan dan mengatasi ketimpangan. Revisi APBN Sederhananya begini. Akan bagaimana revisinya kalo revisi penerimaan APBN 2015 hanya 82,34% dari target. Anda mesti menghitung ulang kalau basisnya yang 82% itu. Targetnya yang ada di APBN 2016 pertumbuhannya berapa? Ya, itu termasuk yang harus diamandemen. Lebih baik kita mengamandemennya relistis daripada kita selalu optimistis. “Oh tercapai kok, tenang…” Tapi tidak tercapai. Kalau nggaktercapai, bilang aja nggaktercapai dan ubah angkanya. Itu lebih kredibel. Soal Pajak dan Pengampunan Pajak (tax amnesty) Memang tax amnesty ini perlu ditunggu undang-undangnya seperti apa. Tapi kalau Anda tanya saya, ini pendapat pribadi saya, saya tetap selalu menganggap yang diperlukan pertama-tama memang pembenahan administrasi perpajakan dengan sistem informasinya. Saya bekas dirjen pajak dan dalam beberapa hal saya merasa berhasil cukup baik. Tapi saya tidak pernah bisa membuat sistem IT untuk pemeriksaan. Segala macam cara mereka buat untuk mengganjalnya. Saya ingat kita bekerjasama dengan World Bank. Akhirnya bisa dibawa ke DPR untuk dimaki-maki kenapa penerimaan saja perlu pakai World Bank? Lho, tidak pakai World Bank, sudah gagal. Akhirnya gagal lagi, karena apa? Karena dibubarkan oleh mereka perjanjiannya. Padahal apa yang paling bermasalah di pajak? Pemeriksaan! Di pemeriksaan itu kalau tidak tertangkap basah, tidak akan pernah ketahuan orang korupsi. Negara belum terima, dia sudah terima. Itu gampang sekali, You periksa wajib pajak (WP) dan You gertak, “Anda bayar pajak kurang 13 miliar.” Belum apa-apa, sudah gemetar orangnya. Tidak ada yang tahu apa yang mereka kerjakan. Saya sebagai dirjen pajak merasakan apa yang dilakukan orang-orang ini di bawah. Pemeriksaan itu harus selesai dalam waktu satu tahun dan diatur dalam undang-undang. Dibagi saja ke dalam empat tahap. Tahap pertama harus masuk ke sistem, bilang WP ini, dimulai pemeriksaan tanggal segini. Lalu di „lock‟. Hanya Dirjen Pajak yang boleh membuka „lock‟-nya. Itu sistem yang saya minta, pada waktu itu. Setelah itu tahap kedua, dua bulan atau setengah bulan kemudian, pemeriksa pajak harus melaporkan apa temuannya, lalu di „lock‟ lagi oleh sistem. Tidak bisa pemeriksa mempengaruhi, tidak bisa mengubah. Begitu pun tahap ketiga, dia masuk ke laporannya, di „lock‟ lagi oleh sistem dan kalau ia mau berunding tidak bisa dia ubah. Dengan begitu tidak bisa main-main. Kekuatan pemeriksa pajak itu, dia bisa bolak balik dari sekarang ke depan. Dari belakang, ke depan lagi. Orang terbaik di Ditjen Pajak yang paling sering saya ganti adalah direktur pemeriksaan. Karena apa? Dia ditekan oleh semua pihak, jangan bikin sistem ini karena mereka tahu kalau bikin, itu susah. Sampai saya berhenti jadi Dirjen Pajak, sistem itu tidak ada. Sampai sekarang, tidak ada. Yang kedua, sebetulnya saya sudah mewariskan metode yang namanya benchmarkingwalaupun baru hanya pada dua sektor, kelapa sawit --karena dia booming pada waktu itu-- dan batu bara. Itu satu perusahaan yang besar kekurangan pajaknya bisa sampai Rp 500 miliar setahun. Saya sampai tidak berani mengejar pajaknya tiga tahun ke belakang, terlalu banyak yang harus dia bayar. Pemilik perusahan dan tim dari pajak duduk, sehingga satu perusahaan perlu membayar Rp 1 triliun, Rp 1,5 triliun. Itu sebabnya tahun 2008, penerimaan pajak di atas target. Kalau menurut saya, itu saja yang dikerjakan sehingga akan bagus hasilnya. Tapi saya tidak anti untuk menjalankan tax amnesty. Oke kalau itu memang mau dijalankan, tapi tetap minta Direktorat Jenderal Pajak untuk mulai mengumpulkan data mengenai WP. Anda tahu, kenapa tadi penerimaan pajak pribadi, personal income tax itu nggak sampe 10%? Saya ingat ketika dibikin High Wealth Individual, pajak individual orang-orang kaya itu, itu saya pernah minta diperlihatkan pembayar pajak tertinggi di jakarta sebanyak 800 orang. Begitu kita lihat, nama saya ada. Artinya apa? Saya membayar pajak lebih tinggi daripada konglomerat. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Satu yang paling tidak jelas dalam perpajakan kita yaitu pajak deviden. Kalau WP nya sudah go public pasti ada pembagian deviden, pajaknya pasti dibayar. Tapi kan 90 sekian persen perusahaan kita itu tidak go public. Mana ada yang mengaku dia sudah bagi deviden tapi duitnya diambil terus dari situ. Bayangkan kalau dia perusahaan punya seratus. Banyak konglomerat kita yang punya perusahaan beratus-ratus dan tidak ketahuan bagi-bagi deviden. Kumpulkanlah datanya siapa punya apa, kira-kira begitu. Kalau itu dilakukan, tax amnesty pun hasilnya akan lebih bagus. Ada filosofi yang selalu saya yakinkan ke teman-teman kita di pajak, kita tidak perlu tahu persis WP-WP kita, apalagi yang kaya-kaya. Yang penting, mereka kira kita tahu. Kalau kita bisa bikin situasi itu, mereka akan takut. Market juga begitu, ketika di BI orang-orang bilang, “Pak Darmin kok bisa menggertak pasar.” Kilang Minyak Hanya ada dua jalur investasi pembangunan kilang. Satu, pertamina ditugaskan negara, tugas dari negara. Kedua, swasta masuk tapi harus join dengan Pertamina. Saya bilang, “Ya kalau harus join dengan kalian, sudah jelas kalian tidak efisien. Sama saja kalian menular-nularkan inefisiensi kepada swasta. Ya kan?” Dan kita tidak punya benchmarkyang lain. Oleh karena itu harus ada yang ketiga. Swasta boleh masuk 100%, dia toh tidak bisa jual minyaknya, hasilnya kita buat saja kesepakatan. Off taker-nya pertamina. Jadi kalaudia masuk seperti di PLN itu, dengan sistem tender. Kalau Anda mau membuat kilang di sini, berapa harganya? Maksud saya, begitu ortodoksnya kita. Kita tak pernah mengurusi hal seperti ini dari dulu sehingga patut dicurigai, memang ada banyak orang yang merasa lebih baik dengan itu. Supaya lapangannya jadi berbelukar-belukar. Eksploitasi Sumber Daya Alam Sebetulnya sih bukan korban mode –mengikuti trend kenaikan harga komoditas, lalu Indonesia ikut mengekspor komoditas pada saat harga komoditas tinggi, beberapa tahun silam.red-- karena di pihak lain nanti orang bisa bilang, “Syukur kita masih punya sumber daya alam.” Pada waktu krisis ekonomi tahun 1998, waktu itu kita berjuang keluar dari krisis. Kebetulan pada saat itu harga sumber daya alam, naik. Ya sudah, kebetulan kita punya. Tapi memang akibatnya terlupakan. Bukan hanya industrinya terlupakan, infrastruktur pun terlupakan. Kenapa terlupakan? Eksploitasi sumber daya alam tidak urgent memerlukan jalan raya. Karena di tengah-tengah hutan sana, dia bisa bikin pelabuhan sendiri. Dengan demikian, kalaupun tidak ada infrastruktur jalan raya, mereka tetap bisa menambang dan membawanya keluar. Jadi, yang ingin saya katakan adalah Indonesia bukan korban mode, dalam arti ikut-ikutan. Ini adalah cara mudah untuk mendapatkan hasil. Memang itu cara mudah dan harus diakui sebenarnya ada juga cara susah. Tapi orang bisa bilang kenapa repot-repot susah kalaubisa mudah? Sayangnya, ada negara lain yang sebetulnya tidak terjebak dengan situasi ini. Mereka tetap mengerjakan sumber daya alamnya, tapi berhasil juga melahirkan industri dan infrastruktur yang didanai oleh hasil pengelolaan sumber daya alam itu. Di Afrika ada beberapa negara yang demikian. Sementara kita tidak punya kontrol. Hampir-hampir boleh dibilang nol, kontrolnya. Ini tidak benar juga. Sebab kita tidak tahu ada berapa kapal yang datang, mengambil batubara, mengambil macam-macam. Dengan demikian, bukan kebetulan ada banyak uang orang Indonesia di luar negeri. Itu sebabnya pada tahun 2012 sewaktu saya di BI, kami membuat aturan untuk memaksa mereka harus memasukan devisanya ke Indonesia, walaupun tidak bisa memaksa untuk mengkonversinya ke rupiah. Karena undang-undang kita begitu liberal, hanya melapor yang diwajibkan, sisanya suka-suka. Perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) Peraturan Pemerintah (PP)-nya bilang, lima tahun lagi akan di-review. Kita akan lihat, jauh nggak bedanya tingkat upah minimum pada waktu itu, dengan kebutuhan hidup minimum. Kira-kira demikian. Jangan samapi kita merancang kebijakan, tahu-tahu ketinggalan zaman. Kebutuhan hidup minimumnya tidak bisa dicapai dengan formula upah minimum yang dibuat. Walaupun saya yakin, sebenarnya tidak mungkin itu terjadi. Karena sesungguhnya, rumus yang paling benar itu bukan seluruh dampak inflasi dan pertumbuhan jadi hak buruh. Pertumbuhan itu adalah peranan dari buruh, pengusaha, barang modal dan sebagainya. Rumus yang obyektif sebetulnya adalah inflasi plus nol koma tiga (0,3) atau nol koma empat (0,4) kali (x) pertumbuhan. Tapi kemudian dalam pembicaraan sudahlah kita lihat lima tahun lagi, supaya lebih mudah diterima, kasihlah di atas dari yang seharusnya. Jadi walaupun ramai, ramai bangetsih tidak, karena kalau ramai, kita sebenarnya sudah lumpuh dengan pemogokan dan demo. Itu kan sudah tinggal satu tokoh buruh saja yang tetap mencoba menggerakan buruh. Mayoritasnya sudah tidak demo karena rumus itu lebih dari seharusnya. Rumus yang ada ini harusnya adalah inflasi plus (+) nol koma tiga (0,3) atau nol koma empat (0,4) kali (x) pertumbuhan. Jadi kalo pertumbuhannya 5, buruh akan dapat 4 ya. Jadi inflasi ditambah 4, bukan ditambah 5. Jadi kalau inflasinya 4, sekarang dia menjadi 4 tambah 5. Jadi kenaikan UMP 9%, bahkan 10 koma sekian persen. Nah seharusnya bukan 9 tapi inflasinya 4 ditambah 5 kali (x) nol koma tiga (0,3) atau nol koma (0,4). Jadi artinya, dengan perhitungan seperti ini, dunia akhirat dapat dipertanggungjawabkan. Jangan khawatir soal demo itu. Kita tidak grogi, jika harus mempertanggung jawabkan, formula ini sebenarnya memihak buruh. Yang kedua, juga perlu diingat pemerintah itu kan tidak hanya bertanggungjawab untuk memelihara penerimaan upah minimum yang sudah bekerja. Pemerintah juga harus bertanggungjawab membuat orang bekerja, membuat orang bisa bekerja (job creation) Ya tapi bukan pekerjaan asal-asalan di sektor informal gitu. Oleh karena itu, pemerintah juga harus memikirkan orang bisa lebih banyak bekerja. Dan jangan lupa, upah minimum itu hanya berlaku buat buruh yang baru bekerja, bujangan dan seterusnya. Kalo setahun dia bekerja dan sudah memiliki keterampilan, hitungannya lain. Di atas itu, kalaudia punya istri, hitungannya juga lain. Gitu loh. Suku Bunga dan Inflasi. Kita lihat dulu policy rate-nya bank sentral amerika atau The Federal Reserve (The Fed). Apa yang dijalankan Amerika selama beberapa tahun ini, di mana tingkat bunga kebijakan yang mendekati nol, 0,25%, itu betul-betul tidak lumrah. Nggakada di text book itu. Dan pemahaman orang selama ini, kalau tingkat bunga mendekati nol, maka sebetulnya kebijakan moneter juga sudah tidak bisa berbuat banyak, kecuali dalam bentuk pelonggaran likuiditas. Kenapa itu dilakukan oleh Amerika? Utangnya kebanyakan. Anda ingat nggak? Tahun berapa itu tiba-tiba bayar gaji saja mandeg. Pemerintah Amerika tidak bisa membayar gaji karena tidak disetujui parlemen. Rencana menaikkan utang tidak boleh, akhirnya APBN-nya tidak disetujui. Akibatnya sempat beberapa bulan gajinya nggakjalan. Nah, begitu situasinya Amerika. Dalam situasi seperti itu, waktu krisis datang, Amerika tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan moneter. Fiskal mereka selesai. Sudah mentok istilahnya. Nah, namanya Amerika, ternyata relatif berhasil. Kebijakan yang tidak lumrah ini, lumayan berhasil. Jangan dikira tidak ada negara lain yang tidak mencoba. Jepang, sudah beberapa tahun dia coba. Nggakkeluar hasilnya. Cara yang sama, nggakjalan di negara lain, kenapa? Cuma dolar yang orang senang betul menyimpannyimpannya, ya kan? Makin banyak dolarnya, makin disimpan pula sama orang. Jadi dolar nggak pernah jatuh. Cara ini sebenarnya juga mengandung risiko. Itu. Kalau diteruskan, Amerika juga sebetulnya tidak punya pilihan. Dia harus cari momen keluar dari situasi ini. Dan dia sebetulnya sejak tahun 2013, sudah mencari momentum untuk keluar, tapi nggakbisa-bisa. Kenapa? Dia takut begitu dia lakukan itu, ekonominya drop lagi. Nah, satu-dua kuartal terakhir ini, indikator apa yang dia pakai? Indikator yang dia pakai, menariknya adalah, penyerapan permintaan tenaga kerja, penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi. Konflasi dan inflasi seperti apa? Kenapa kok harus naik? Naiknya inflasi itu menunjukkan ekonominya menggeliat. Nah, dua kuartal terakhir ini memang walaupun tidak ideal, ya membaiklah. Kemudian apa lagi yang dipersiapkan Indonesia menghadapi itu? Tapi kemudian ada juga yang bilang, kelihatannya kurs rupiah terhadap dollar sudah di-price in oleh market. Sebetulnya memang sudah diprice in. Sehingga bunga The Fed itu tinggal mitos. Orang sudah men-judge dirinya karena sudah berkalikali The Fed merencanakan kenaikan suku bunga, tapi batal. Semua di dunia bergoyang-goyang dibikinsama dia, batal lagi. Artinya orang sudah melakukan price in dengan perkiraan tingkat bunga yang naik. Dan kemudian terlihat kan, di seluruh dunia tidak ada pergerakan yang signifikan dengan kenaikan 25 basis poin saja. Sebetulnya yang harus diperhatikan betul, dia akan naik 100 basis poin dalam setahun. Ya, artinya ada tekanan terutama kepada negara-negara yang transaksi berjalannya defisit. Ada tekanan yang agak terus-menerus dan ini bisa berlangsung 3 tahun, tahun 2016, 2017, 2018. Walaupun dia pasti tidak akan menaikkan sekaligus 1%, mungkin setahun dia bagi empat. The Fed itu rapat 1,5 bulan sekali, jadi setahun dia rapat delapan kali. Ya, jadi rata-rata setiap dua kali rapat dia naikkan 25 basis poin kalau situasinya baik-baik saja. Nah apa yang harus dilakukan menghadapi itu? Kalau gejolak ke jangka pendeknya, Bank Indonesia yang harus menghadapi itu, karena kurs. Dalam hal ini, pemerintah tidak memegang cadangan devisa. Cadangan devisa punya republik ini, apakah punya pemerintah atau bukan, itu adanya di BI. Oke? Jadi ada pembagian pekerjaan. Tetapi, kan bukan cuma gejolaknya yang harus dihadapi. Karena gejolak-gejolak jangka pendek itu beberapa minggu juga balik lagi dia. Yang perlu sekali dijaga adalah tendensi jangka menengahnya. Dan itu hanya bisa dijawab dengan perkembangan ekonomi yang jelas. Kalau ekonomi kita malah tersendat pertumbuhannya, sementara transaksi berjalannya juga defisit, ah itu repot. Jadi tidak ada rumus khusus lagi. Kuncinya adalah investasi, pertumbuhan. Sebetulnya bukan BI ratenya pokok persoalannya, tapi tingkat bunga. Cuma di dalam perekonomian kita, kalau BI rate naik, tingkat bunga perbankan naik. Kalau BI rate turun, tingkat bunga perbankan turun sedikit, tidak selalu 1:1, ya. Memang ada sejumlah catatan yang patut dikemukakan. BI Rate itu dipakai sebagai jangkar terhadap inflasi, untuk membentuk inflasi. Kebijakannya bernama inflation targeting framework (ITF). Kalo BI Rate dinaikkan, itu berarti terjadi pengetatan di dalam likuiditas. Bagaimana logikanya? Kalo BI Rate naik, maka tingkat bunga deposito naik, kredit juga naik bunganya. Kreditnya melambat tapi dana yang masuk ke bank naik karena tingkat bunga depositonya naik. Artinya apa, pengetatan likuiditas di masyarakat. Uang yang semula beredar di masyarakat, masuk ke bank. Dan bank, karena tidak meminjamkan sebanyak sebelumnya, juga bukan orang bodoh, ya kan. Di Bank Indonesia ada fasilitas lain namanya FasBI, fasilitas bank Indonesia overnight. Itu openterhadap semua bank. Kalau Anda punya Rp 1 triliun sore ini yang tidak dipinjamkan, Anda boleh taruh di BI. Bunganya FasBI. Sekarang pada saat BI rate 7,5%, FasBI bunganya 5,5%. Overnight ya. Nah, jadi kalau terjadi pengetatan dan deposito bertambah, kredit menurun, likuiditas di masyarakat berkurang, ke mana likuiditasnya pergi? Uang tidak ditaruh di bank, tapi taruh di BI. Demikian pula sebaliknya kalau bunga turun. Ini kuliah semester ketiga, mata kuliahnya uang dan bank. Setelah deposito naik, ujung-ujungnya uang masuk ke BI. Maka inflasi arahnya akan turun atau sebaliknya kalo terjadi pelonggaran, likuiditas bertambah di masyarakat, inflasi akan cenderung naik. Catatannya adalah, tidak ada bukti di Indonesia bahwa kalau bunga BI Rate naik-turun, inflasinya akan terpengaruh. Inflasi kita, tipikalnya supply side bukan demand side. Dia akan terpengaruh kalau inflasi kita demand side. Apa bedanya? Supply sideitu inflasi terjadi kalau barang berkurang, terutama pangan. Inflasi itu ada tiga kelompok barang di dalamnya. Ini benar-benar semester tiga ini. Satukelompok namanya volatile food, harga pangan yang berfluktuasi. Yang kedua namanya administrate prices yang tarifnya di tangan pemerintah, dan yang ketigaitu yang namanya sisa dari semua itu, core inflation, inflasi inti. Sebagian besar barang masuk di inflasi inti ini. Kalau Anda lihat, inflasi inti kita 10 tahun terakhir praktis datar deh. Sebenarnya ini yang dipengaruhi atau tidak oleh BI Rate. Ternyata dia terus saja selamat. Nggakada bedanya, sedikit sekali. Inflasi kita naik kalo harga cabe naik. Kenapa harga cabe naik? Hujannya terlalu banyak atau kekeringannya terlalu panjang. Nih, harga cabe sedang naik hari-hari ini karena panennya sudah mau habis, hujannya baru mulai. Harga bawang naik, inflasi naik. Atau harga BBM naik, inflasi naik. Jadi ada hal yang sebetulnya perlu dibicarakan lebih dalam. Ini nggak ada urusannya dengan inflasi sebenarnya, entah kenapa kita diyakin-yakinkan ini ada hubungannya. (PENJELASAN MENKO PEREKONOMIAN DARMIN NASUTION PADA ACARA PRESS GATHERING KEMENKO PEREKONOMIAN KARAWACI, KAMIS, 17 DESEMBER 2015).