CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI

advertisement
CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA
Abstrak
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan
pemerataan pendapatan ,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja
yang luas. Di Indonesia, capaian pertumbuhan ekonomi berkualitas menjadi sasaran
pembangunan dalam dokumen pembangunan seperti RPJP, RPJMN, dan RKP. Pada
dasarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah semakin meningkat, namun perlu
dikaji kualitas pertumbuhannya. Pada periode 2009-2013 pertumbuhan rata-rata
ekonomi Indonesia ialah 6,2% dimana pertumbuhannya ditopang dari komponen
konsumsi rumah tangga yang diikuti oleh sektor Pembentuk Modal Tetap Bruto
(PMTB). Selanjutnya ditinjau dari kesenjangan ekonomi, distribusi pendapatan di
Indonesia masih belum merata, dimana 20% penduduk terkaya menikmati 48,5%
“kue” pembangunan. Begitu juga kesenjangan ekonomi antar Provinsi mengalami
peningkatan. Tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, namun sejak
tahun 2010 mengalami perlambatan. Begitu juga dengan tingkat kesempatan kerja
yang pertumbuhannya cenderung menurun, bahkan pada tahun 2013 terjadi
penurunan jumlah penduduk bekerja sehingga meningkatkan tingkat pengangguran
di Indonesia. Selain itu, ditinjau dari tingkat pendidikan pencari kerja yang masih
didominasi oleh lulusan SMA dan SMP menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja di
Indonesia masih rendah sementara pasar tenaga kerja mencari tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Kondisi ini juga bisa terlihat dari sektor informal yang
mendominasi ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan begitu, indikator-indikator
diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum
berkualitas.
A.
Pengertian dan Indikator Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas
Salah satu indikator utama dalam mengukur keberhasilan pembangunan
ekonomi suatu negara ialah laju pertumbuhan ekonomi. Ekonomi dikatakan
bertumbuh jika produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya dan
menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat dalam
periode waktu tertentu. Di beberapa negara berkembang tak kecuali di Indonesia,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi sasaran utama pembangunan. Namun
persoalannya ialah sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi belumlah cukup
menjadi jaminan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara merata.
Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya harus diiringi dengan
pemerataan distribusi pendapatan agar hasil-hasil pertumbuhan tersebut
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, sasaran
pembangunan tidak hanya berhenti sampai dengan laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi saja seperti yang selama ini dilakukan. Melainkan, pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas dengan memperhitungkan pemerataan
pendapatan serta pengentasan kemiskinan dan pengangguran1. Selain itu,
Prasetyo, Eko.2008. “The Quality of Growth : Peran Teknologi dan Investasi Human Capital
Sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas”. JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 1
1
pertumbuhan ekonomi semakin berkualitas ketika semakin besar masyarakat
yang terlibat dan menikmati hasil ekonomi produktif di dalam sistem
perekonomian2.
Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat membuka kesempatan kerja yang
luas apabila didukung oleh tumbuh dan berkembangnya sektor riil. Dimana sektor
riil akan jauh menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan pertumbuhan sektor
finansial. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang rendah akan kurang menyerap
tenaga kerja yang selanjutnya menambah jumlah angka kemiskinan.3 Namun,
ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (kesenjangan ekonomi) dan
tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar dibanyak negara berkembang.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi mengalami kerentanan akan terjadinya kesenjangan. Sehingga penting
untuk diketahui bagaimana kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.
B.
Amanat Pertumbuhan
Pembangunan
Ekonomi
Berkualitas
dalam
Dokumen
Mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas menjadi tantangan
besar bagi Indonesia. Dampak positif dari pertumbuhan ekonomi tinggi
diharapkan dapat dirasakan adil dan merata berbagai lapisan masyarakat. Upaya
ini tercermin dalam strategi pembangunan Indonesia yaitu pro-growth, pro-job,
dan pro-poor atau yang disebut triple track strategy. Visi dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 adalah Indonesia yang Mandiri,
Maju, Adil dan Makmur yang selanjutnya dijabarkan kedalam delapan misi, yang
salah satunya ialah Mewujudkan Pemerataan Pembangunan dan Berkeadilan.
Selanjutnya visi misi tersebut dijabarkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), dimana tema RPJMN 2015-2019 yaitu memantapkan
pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan
pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan SDA
dan SDM berkualitas, serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat.
Sejalan dengan tema tersebut, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun
2015 mengangkat tema pembangunan yaitu “Melanjutkan Reformasi
Pembangunan Bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan”. Tematema pembangunan tersebut mengandung makna bahwa target pembangunan
Indonesia ekonomi bukan hanya sekedar mengejar angka pertumbuhan ekonomi
yang tinggi namun mencapai pembangunan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Dalam Undang-Undang APBN, juga disebutkan bahwa
Pemerintah dalam melaksanakan APBN harus mengupayakan pemenuhan sasaran
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Firmanzah. “Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas”.
http://www.neraca.co.id/article/38452/Pertumbuhan-Berkualitas [diakses 5 Agustus 2014]
3 Amrin, Hamden.2013. “Merawat Pertumbuahan Ekonomi yang Berkualitas”
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/05/03/merawat-pertumbuhan-ekonomi-yangberkualitas-556547. [diakses 8 Agustus 2014]
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 2
2
C.
Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas
Dalam lima tahun terakhir (2009-2013), perekonomian Indonesia
mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 5,86 persen. Di tahun 2009, perekonomian Nasional mengalami
perlambatan yang cukup signifikan yaitu menjadi 4,6% dari sebelumnya tahun
2008 sebesar 6%. Perlambatan ini disebabkan oleh krisis global yang berdampak
pada kontraksinya ekspor impor karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dan
volume perdagangan dunia. Dengan kondisi ekonomi global yang belum stabil,
Indonesia mampu melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011
menjadi 6,5%. Namun di tahun 2012 mengalami perlambatan menjadi 6,2% dan
terus melambat hingga 5,8% pada tahun 2013 (lihat gambar 1).
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB Per Kapita Tahun 2009-2013
Pertumbuhan ekonomi pada periode 2009-2013 masih ditopang oleh
konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi sebesar 56,06% setiap
tahunnya terhadap PDB dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya sebesar 5%.
Setelah Konsumsi Rumah Tangga, Pembentukan Modal Tetap bruto memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap PDB yaitu 31,8% dengan rata-rata
pertumbuhan 7,8%. Komponen konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan
pada pertumbuhan ekonomi karena permintaannya terhadap barang bisa
menggerakan produksi barang tersebut. Bila dilihat dari sisi produksinya, sektor
yang paling besar berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi ialah sektor nontradable khususnya pengangangkutan dan komunikasi. Sektor tradable4 yang
seharusnya dapat meningkat lapangan kerja justru pertumbuhannya lebih lambat
yaitu 3,7% sementara sektor non tradable sebesar 7,3% pada periode 2010-2013.
Namun pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang
didorong oleh aktivitas ekonomi atau suatu perusahaan untuk memproduksi
barang dan membuka pabrik baru atau kantor cabang baru. Sehingga
44
Sektor tradable adalah sektor yang dapat menghasilkan devisa (baik dari jasa maupun barang)
dan dapat meningkatkan standar hidup (living standard) masyarakat. Sektor ini terdiri dari sektor
pertanian, pertambangan dan pengalian serta industri pengolahan.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 3
Pembentukan Modal Tetap yang sebaiknya lebih besar menopang pertumbuhan
ekonomi untuk mendorong aktivitas kegiatan ekonomi yang lebih produktif serta
didorong oleh pertumbuhan sektor-sektor tradable.
Gambar 2. Kontribusi Rata-Rata Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2010-2013
1. Kesenjangan Ekonomi Semakin Melebar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tidak diikuti dengan
penurunan kesenjangan ekonomi dimana porsi terbesar “kue” nasional
dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tinggi dan 40% penduduk
berpendapatan menengah. Hal ini ditinjau dari koefisien gini5 yang terus
meningkat pada periode 2005-2013. Dalam kurun waktu 2005-2007
memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,85%
dengan koefisien gini sebesar 0,35. Namun, di tahun 2011-2013 dengan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi yaitu 6,1% kesenjangan ekonominya
pun juga semakin tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai rasio gini sebesar 0,41
(lihat gambar 3).
Gambar 3. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi diikuti dengan Meningkatnya Kesenjangan
Distribusi Pendapatan
5
Koefisien Gini merupakan koefisien yang digunakan untuk mengukur ketimpangan atau ketidakmerataan
agregat yang dapat bervariasi antara 0 sampai satu. Koefisien gini sama dengan 0 menunjukkan adanya
pemerataan sepenuhnya, sedangkan koefisien gini sama dengan satu menunjukkan adanya ketidakmerataan
distribusi pendapatan.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 4
Untuk lebih jelasnya gambar 4 menunjukkan adanya ketimpangan
pembagian hasil pembangunan. Pada tahun 2010, 20% jumlah penduduk
terkaya menikmati “kue” pembangunan sebesar 41,24 persen, dan terus
mengalami peningkatan hingga 48,5% pada tahun 2013. Meningkatnya
ketimpangan distribusi pendapatan ditengah-tengah pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tinggi menunjukkan laju kecepatan pertumbuhan kelas
menengah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan
pendapatan kelas menengah ke bawah.
Gambar 4. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia Tahun 2009-2013
Berdasarkan standar World Bank, ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara
berkembang, dimana pada tahun 2010 angka koefisien gini Indonesia sebesar
0,35. Gambar 5 merupakan kurva lorenz yang menggambarkan distribusi
pendapatan antara empat negara berkembang yaitu Indonesia, India, Thailand
dan Mexico. Bila dibandingkan dengan keempat negara tersebut, ketimpangan
di Indonesia lebih rendah dibandingkan Thailand dan Mexico.
Gambar 5. Ketimpangan Indonesia Relatif Rendah Berdasarkan Standard World Bank
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 5
Selain adanya ketimpangan distribusi pendapatan, dalam pembangunan
perekonomian nasional menunjukkan adanya ketimpangan antar provinsi
yang cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan indeks williamson6 yang tinggi,
terutama pada kurun waktu 2009-2012 dengan nilai 0,78. Sedangkan pada
periode sebelumnya yaitu 2005-2007 berada pada nilai 0,63 (lihat gambar 6).
Gambar 6. Derajat Ketimpangan Antar Provinsi Berdasarkan PDRB Perkapita
2. Kesenjangan Sosial : Penurunan Tingkat Kemiskinan yang Melambat
Sejak Tahun 2010
Adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi di Indonesia, juga ditunjukkan
dengan tingkat kemiskinan Indonesia yang masih tinggi. Salah satu sasaran
pertumbuhan ekonomi berkualitas dalam Undang-Undang APBN 2013 yaitu
tingkat kemiskinan di kisaran 9,5%-10,5% tidak sesuai dengan realisasinya
yaitu 11,37%. Target tingkat kemiskinan ini juga tidak tercapai pada tahun
sebelumnya yaitu tahun 2012. (lihat tabel 1)
Tabel 1. Target dan Realisasi Tingkat Kemiskinan Menurut UU APBN
Undang-Undang
Kemiskinan
Target
Capaian
UU APBN 2010
12%-13,5%
13,33%
UU APBN 2011
11,5% - 12,5%
12,36%
UU APBN 2012
10,5%-11,5%
UU APBN 2013
9,5% - 10,5%
UU APBN 2014
9%-10,5%
Sumber : UU APBN, Bappenas 2014
11,6%
11,37%
na
Walaupun tingkat kemiskinan menurun secara bertahap dari periode 20062013 namun sejak tahun 2010, penurunan kemiskinan melambat. Pada
6
Indeks Williamson merupakan pendekatan untuk mengukur derajat ketimpangan antar wilayah berdasarkan
PDRB perkapita. Jika ketimpangan Williamson mendekati 0 maka ketimpangan distribusi pendapatan antar
provinsi di Indonesia adalah rendah, namun apabila mendekati 1 maka ketimpangan distribusi pendapatan
antar provinsi di Indonesia adalah tinggi atau pertumbuhan ekonomi antara daerah tidak merata.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 6
periode 2010-2013 penurunan kemiskinan hanya sebesar 1,96% atau secara
absolut menurun sekitar 1 juta penduduk miskin per tahun, dibandingkan
dengan periode 2006-2009 sebesar 3,6% (lihat gambar 7).
Gambar 7. Tingkat Kemiskinan Terus Menurun, Namun Melambat Sejak Tahun 2010
Sementara itu, disparitas antar Provinsi tingkat kemiskinan masih cukup
tinggi di Indonesia. Dimana terdapat 16 provinsi yang tingkat kemiskinannya
berada diatas rata-rata nasional yaitu 11,25%. Pada gambar 8 dapat dilihat
bahwa tingkat kemiskinan Jakarta sebesar 3,92% sementara di Papua sebesar
30,05%. Hal ini sejalan dengan nila Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
dimana IPM terus mengalami peningkatan, namun disparitas yang cukup
tinggi antar Provinsi masih terjadi. Disparitas IPM yang tinggi juga terlihat dari
Provinsi DKI Jakarta dan Papua. Dimana Pada tahun 2012, nilai IPM tertinggi
yaitu DKI Jakarta sebesar 78,3 sementara Papua berada di posisi terendah
dengan angka 65,86.
Gambar 8. Tingkat Kemiskinan Semua Provinsi Menurun, Namun Ketimpangan Antar
Provinsi Masih Tinggi (Maret 2014)
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 7
Dalam menanggulangi kemiskinan Indonesia saat ini, maka ada beberapa
tantangan yang dihadapi Pemerintah yaitu; pertumbuhan penduduk masih
cukup besar, kapasitas dan peluang usaha masyarakat miskin masih rendah
(lahan, modal,keahlian), laju urbanisasi yang pesat berpotensi memperparah
kemiskinan perkotaan, peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor formal
menghadapi tantangan isu ketenaga kerjaan, masih banyak daerah terisolir
sehingga akses pelayanan dasar rendah, dan belum tersedianya Jaminan
Perlindungan Sosial yang komprehensif (Kemenko Perekonomian, 2012)
3. Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia : Angka Kesempatan Kerja
Menurun dan Pekerja Informal Masih Mendominasi
Berdasarkan target pertumbuhan ekonomi berkualitas dalam UU APBN,
disebutkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun 2012
sebesar 6,4%-6,6% sudah dapat tercapai dengan angka realisasi 6,14%.
Sebaliknya, pada tahun 2013 dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar
6,3% , TPT sebesar 6,4%-6,6% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 450.000,
belum dapat direalisasikan. Namun yang terjadi pada tahun 2013, angka
kesempatan bekerja menurun sebanyak 10.000 orang, dari 110,81 juta jiwa
pada tahun 2012 menjadi 110,80 juta jiwa pada tahun 2013. Hal itu berdampak
pada peningkatan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0,12%, yaitu 6,14%
pada tahun 2012 menjadi 6,25% pada tahun 2013 (lihat tabel 2).
Tabel 2 Target Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas Belum Tercapai Berdasarkan UndangUndang APBN
Penyerapan Tenaga Kerja
UndangUndang
UU APBN
2010
UU APBN
2011
Target
na
Pertumbuhan ekonomi
1% menyerap 400.000
tenaga kerja
UU APBN
Pertumbuhan ekonomi
2012
1% menyerap 450.000
tenaga kerja
UU APBN
Pertumbuhan ekonomi
2013
1% menyerap 450.000
tenaga kerja
UU APBN
Pertumbuhan ekonomi
2014
1% menyerap 200.000
tenaga kerja
Sumber : UU APBN dan BPS, diolah
Capaian
Tingkat Pengangguran
Terbuka
Target
Capaian
Penurunan tenaga kerja
na
7,14%
Pertumbuhan ekonomi
1% menyerap 225.000
tenaga kerja
Pertumbuhan ekonomi
1% menyerap 175.000
tenaga kerja
Penurunan 10.000
tenaga kerja
na
6,56%
6,4% - 6,6%
6,14%
5,8% - 6,1%
6,25%
na
5,7% - 5,9%
na
Kondisi ketenagakerjaan pada periode 2011-2013 ternyata tidak lebih baik
dibanding periode 2005-2007. Dimana dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang hampir sama, penciptaan atau penyerapan tenaga kerja baru pada
rentang tahun 2011-2013 hanya sebesar 1,13 juta sedangkan pada rentang
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 8
waktu 2005-2007 mampu meningkatkan penduduk bekerja sebesar 4,08 juta
jiwa (lihat gambar 9). Kondisi ini menunjukkan adanya masalah
tersembunyi dalam perekonomian Indonesia, yaitu terjadinya fenomena
jobless growth. Bila dilihat lebih mendalam mengenai fenomena
tersebut, diketahui bahwa sektor-sektor yang merupakan mesin
pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah mesin penciptaan lapangan
kerja. Sektor-sektor tradable yang memiliki daya serap tenaga kerja yang
tinggi ternyata mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan
sektor non-tradable, dimana pada periode 2011-2013 rata-rata pertumbuhan
sektor tradable sebesar 3,6% sedangkan non-tradable sebesar 7,2%.
Lemahnya kontribusi sektor tradable, mengindikasikan bahwa penyerapan
lapangan kerja dan manfaat pertumbuhan PDB itu kurang dinikmati oleh
rakyat banyak. Padahal jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor, banyak
berada di sektor pertanian yakni sebesar 35% pada periode 2010-2013.
Gambar 9. Angka Kesempatan Kerja Pada Periode 2011-2013 Menurun Drastis
Selain itu, bila dilihat kualitas tenaga kerjanya, dapat dikatakan bahwa
kualitas tenaga kerja Indonesia masih rendah. Hingga saat ini pekerja informal
masih mendominasi dalam ketenagakerjaan Indonesia yaitu Dari 149,8 juta
total tenaga kerja di Indonesia, ternyata 103,2 juta adalah pekerja sektor
informal dan setengah pengangguran sedangkan 7,2 juta berstatus
pengangguran
(lihat gambar 10). Sementara itu tingginya angka
pengangguran
karena
selain
terjadi
ketidaksesuaian
antara
ketidakseimbangan pasar di mana pencari kerja lebih banyak daripada
penyedia lapangan kerjajuga disebabkan tenaga kerja yang dihasilkan oleh
institusi pendidikan dengan kebutuhan pasar. Bila dilihat data pengangguran
terbuka tahun 2013, maka sebanyak 21,5% diantara para pencari kerja yang
merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP), sementara lulusan Diploma dan Sarjana hanya 8,5%.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 9
Gambar 10. Tenaga Kerja di Indonesia didominasi oleh Sektor Informal (juta jiwa)
Keterangan : Data Ketenagakerjaan Februari 2013 (Sakrenas 2013)
Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
D. Penutup
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
ekonomi di Indonesia belum berkualitas. Gambar 11 menunjukkan bahwa angka
pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode 2010-2013 yaitu diatas 6%,
belum dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, bahkan
kondisinya tidak lebih baik pada periode sebelumnya yaitu 2005-2007. Hal ini
ditunjukkan dengan melebarnya kesenjangan ekonomi, angka kemiskinan yang
menurun namun melambat serta tingkat penambahan angka kesempatan kerja
yang menurun. Bila dilihat lebih mendalam lagi, tahun terberat Indonesia dimana
indikator pertumbuhan berkualitas mengalami kemunduran ialah pada tahun
2013. Pada tahun tersebut Indonesia mengalami tekanan ekonomi yang cukup
tinggi. Sebagai contoh, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) meningkat, dibarengi
dengan pelemahan nilai tukar rupiah. Inflasi pun berada di atas sasaran inflasi
yang ditetapkan Bank Indonesia ketika awal tahun 2013 yang lalu yakni di 4,5%
±1%. (Bank Indonesia)7.
http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Evaluasi-Perekonomian-2013,Prospek-2014-dan-Arah-Kebijakan-Bank-Indonesia-Ke-Depan.aspx
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 10
7
Gambar 11 Pertumbuhan Ekonomi Belum Berkualitas di Tunjukkan dengan Kesenjangan
Melebar, Penurunan Kemiskinan Melambat dan Angka Kesempatan Kerja Menurun
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara dominan ditopang oleh sektor
yang kurang menyerap tenaga kerja dan menghasilkan aktivitas produktif.
Diketahui bahwa sektor pertanian menyerap jumlah tenaga kerja yang banyak, dan
dilihat dari kualifikasi pendidikan pencari kerja yang masih dibawah Sekolah
Menengah Atas dapat menjadi peluang bagi para pencari kerja untuk bekerja di
sektor pertanian. Dengan didukung dengan peningkatan kapasitas para pencari
kerja, tentunya dapat mendorong untuk lebih produktif. Sehingga dengan kualitas
tenaga kerja yang lebih baik di sektor pertanian dan didukung oleh peningkatan
produktivitas pertanian, maka diharapkan angka kemiskinan semakin berkurang
dan menciptakan tenaga kerja. Selain itu kondisi ini dapat menjadi tantangan bagi
Pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan program-program pro-rakyat
dan perlindungan sosial agar dapar kelas menengah kebawah dapat menjadi lebih
mandiri dan dapat keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap). (DRP)
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 11
Download