3301

advertisement
HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA
PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUSUKAN
KABUPATEN SEMARANG
Ika Nur Jannah1), Chichik Nirmasari2), Ari Andayani3)
Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo
Email : up2m@akbidngudiwaluyo
ABSTRAK
HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA
PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUSUKAN
KABUPATEN SEMARANG. World Health Organization (WHO) tahun 2005, proporsi kematian
balita dan bayi karena ISPA di dunia adalah sebesar 19% dan 26% (Depkes, 2006). Faktor risiko
untuk terjadinya ISPA diantaranya bayi kurang gizi, berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian
ASI yang tidak memadai, tingkat kepadatan hunian rumah yang tinggi, imunisasi yang tidak
lengkap, jenis kelamin, kekurangan vitamin A, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin D atau
kalsium, umur bayi, adanya perokok, musim, pelayanan kesehatan, sosial ekonomi rendah dan asap
pembakaran. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mengetahui hubungan riwayat pemberian
ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang
Jenis penelitian ini termasuk deskriptif korelasi dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang Mei 2013 sebanyak 115 balita dengan teknik simple random
sampling. Analisis data yang digunakan adalah distribusi frekuensi dan uji Chi Square.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada
anak usia 6-12 di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang, dengan menggunakan
uji Chi Square diperoleh
= 11,013 lebih besar dari
tabel = 5,591 dengan demikian Ho ditolak
dengan nilai p value 0,001 (α = 0,000).
Hendaknya Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang agar lebih intensif dalam penentuan arah
kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA yaitu dengan peningkatan
frekuensi penyuluhan tentang ISPA.
Kata kunci : Riwayat Pemberian ASI, kejadian ISPA, anak usia 6-24 bulan
ABSTRACT
RELATIONSHIP HISTORY BREASTFEEDING WITH ASI INCIDENCE IN
CHILDREN AGED 6-24 MONTHS IN THE WORK AREA HEALTH CENTER DISTRICT
SUSUKAN SEMARANG. World Health Organization (WHO) in 2005 the proportion of infant
and child mortality due to ARI in the world is 19% and 26% (MOH, 2006). Risk factors for the
occurrence of respiratory infections among infants malnourished, low birth weight (LBW),
inadequate breastfeeding, the occupancy rate of the high density, incomplete immunization, gender,
vitamin A deficiency, iron deficiency, vitamin D deficiency or calcium, the age of the baby, a
smoker,
season,
health
care,
low
socioeconomic
and
smoke
of
burning.
The purpose of this study was to determine the relationship know the history of breastfeeding with
ARI incidence in children aged 6-24 months in the working areas of Semarang District Puskesmas
Susukan
This study is descriptive correlation with cross sectional approach. The population is children
aged 6-24 months in the working area of Semarang District Puskesmas Susukan May 2013 that 115
infants with simple random sampling technique. Analysis of the data used is the frequency
distribution and Chi Square test.
The results showed no association with the incidence of breast feeding history of respiratory
infection in children aged 6-12 in the Work Area Health Center Susukan Semarang regency, using
Chi Square test obtained by = 11,013 greater than = 5,591 table thus Ho is rejected by p value
of 0,001 (α = 0,000).
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
1
Susukan health center should be more intensive Semarang District in determining the direction
of policy in particular communicable disease prevention program ISPA is to increase the frequency
of counseling about ARI.
Keywords: Breastfeeding History, the incidence of respiratory infection, children aged 6-24 months
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kematian bayi di Indonesia saat ini
masih relatif tinggi yaitu 31 per 1000
kelahiran hidup (Senewe, 2004). Angka
kematian bayi di Indonesia lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya
di Asean seperti Vietnam 24,37 per 1000
kelahiran hidup, Filipina 22,12 per 1000
kelahiran hidup, Thailand 18,85 per 1000
kelahiran hidup, Malaysia 16,62 per 1000
kelahiran hidup, Brunei Darussalam 13,12 per
1000 kelahiran hidup dan Singapura 2,30 per
1000 kelahiran hidup (The World Factbook,
2007).
Sekitar empat juta bayi di dunia
meninggal setiap tahunnya dalam empat
minggu pertama kehidupan. Intervensi yang
dapat dilakukan untuk menurunkan angka
mortalitas neonatal antara lain promosi
menyusu dini dan diikuti dengan pemberian
ASI (Roesli, 2009). Peningkatan menyusui
dalam periode neonatal akan membantu
mengurangi morbiditas dan mortalitas serta
bermanfaat untuk kesehatan, pertumbuhan
dan perkembangan bayi pada tahun pertama
(Baker, 2006).
Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura (Depkes,
2007). Penyakit ISPA merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian bayi dan balita
di negara berkembang, termasuk Indonesia
(Semba, 2004). Diperkirakan sekitar 1,9 juta
pada tahun 2000 anak meninggal karena
penyakit ISPA dan 70% terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara (Williams, 2002).
World Health Organization (WHO) tahun
2005 proporsi kematian balita dan bayi karena
ISPA di dunia adalah sebesar 19% dan 26%
(Depkes, 2006). Menurut WHO (2005) 78%
kematian balita di Indonesia terjadi pada usia
neonatus sekitar 38%, usia 1-11 bulan sekitar
40% dan 22% terjadi pada usia 1-5 tahun.
Penyebab kematian balita terbesar di
Indonesia adalah diare 18%, pneumonia 14%,
campak 5%, atau sekitar 37% dari 161.000
kernatian balita di Indonesia tahun 2005.
Berdasarkan estimasi tahun 2006 tercatat
bahwa sekitar 500 sampai 900 juta penyakit
ISPA terjadi dalam setiap tahunnya di Negara
berkembang, sehingga penyakit ISPA perlu
mendapat perhatian dan prioritas dalam
penanganan masalah kesehatan (Savitha,
2007).
Hingga saat ini penyakit ISPA masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Berdasarkan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2007
prevalensi penyakit ISPA secara keseluruhan
di Indonesia adalah 11% pada balita
berdasarkan subjektif persepsi ibu mengenai
penyakit ISPA dua minggu sebelum survey
tanpa pengesahan dari paramedis. Persentase
balita dengan demam tertinggi ditemukan
pada umur 6-11 bulan dengan 39,9% dengan
gejala ISPA 12,2%. Sedangkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007
didapatkan prevalensi nasional penyakit ISPA
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan
keluhan responden sebesar 25,50%, dimana
Provinsi Jawa Tengah prevalensi ISPA berada
dibawah prevalensi nasional yakni 22,87%.
Tingginya angka kesakitan dan kematian
bayi di Indonesia terkait dengan kemampuan
seorang ibu dalam pemberian air susu ibu
(ASI) yang tidak memadai kepada bayinya
(Semba, 2001). Air Susu Ibu (ASI)
merupakan minuman alami bagi bayi baru
lahir pada bulan pertama kehidupan (Nelson
et al., 2004). Hal ini didukung oleh Roesli
(2009) yang mengatakan bahwa ASI
bermanfaat bukan hanya untuk bayi saja,
tetapi juga untuk ibu, keluarga dan negara.
Rekomendasi World Health Organization
(WHO) dan UNICEF bahwa menyusui
(exclusive breastfeeding) diberikan kepada
bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan
tanpa makanan dan minuman tambahan,
kecuali obat dan vitamin, dan tetap disusui
bersama pemberian makanan pendamping ASI
(MP-ASI) yang cukup sampai usia 2 tahun
atau lebih.
Pemberian ASI di Indonesia saat ini masih
kurang menggembirakan, terlihat ada
penurunan dari 40% menjadi 32% (SDKI
2002 dan SDKI 2007). Penurunan pemberian
ASI ini dapat berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia yang akan datang,
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
2
berdampak
pada
pertumbuhan
dan
perkembangan, serta terjadinya peningkatan
angka kesakitan dan kematian pada bayi dan
balita (Clark, 2003).
Terdapat banyak faktor risiko untuk
terjadinya ISPA pada bayi dan balita dalam
beberapa studi diketahui. Faktor risiko
tersebut adalah bayi kurang gizi, berat badan
lahir rendah (BBLR), pemberian ASI yang
tidak memadai, tingkat kepadatan hunian
rumah yang tinggi, imunisasi yang tidak
lengkap, jenis kelamin, kekurangan vitamin
A, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin
D atau kalsium, umur bayi, adanya perokok,
musim, pelayanan kesehatan, sosial ekonomi
rendah dan asap pembakaran (Lanata et al
dalam Semba, 2001).
Studi-studi yang mendukung bahwa ASI
merupakan faktor protektif terhadap kejadian
ISPA telah banyak dilakukan seperti
penelitian Cunningham (1979) menunjukkan
bahwa ASI melindungi bayi dari berbagai
penyakit termasuk infeksi pernafasan dan
infeksi usus. Penelitian yang dilakukan oleh
Deb (1998) membuktikan, bahwa ASI
memiliki daya protektif terhadap kejadian
ISPA. Bayi yang mendapat ASI akan lebih
terjaga dari penyakit infeksi terutama ISPA
dan diare (Lawrence, 2005). Dilaporkan juga
bahwa ASI menurunkan risiko infeksi saluran
pernafasan atas dan bawah (Hanson, 2006).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang terhadap 10
ibu
yang
mempunyai
anak
usia
6-24 bulan menunjukan 5 anak mengalami
ISPA
di
mana
3
anak
mendapatkan ASI dan 2 anak tidak
mendapatkan ASI. Diperoleh pula 4 anak
tidak mengalami ISPA di mana 2 anak
mendapatkan ASI dan 3 anak tidak
mendapatkan ASI. Hal tersebut menunjukkan
masih banyak anak usia 6-24 bulan yang
mendapatkan ASI tetapi sering mengalami
ISPA. Tanda dan gejala ISPA yang dialami
bayi sangat bervariasi antara lain demam,
pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak
nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,
stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan
bernapas) yang dialami lebih dari 2 kali dalam
satu bulan.
Tingginya angka kejadian ISPA, serta
masih rendahnya cakupan ASI, merupakan
suatu masalah yang perlu mendapatkan
perhatian Berdasarkan latar belakang tersebut
memberikan motivasi pada penulis untuk
melakukan penelitian dengan mengambil
judul, "Hubungan riwayat pemberian ASI
dengan kejadian ISPA pada anak usia 6-24
bulan tahun di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang".
METODE PENELITIAN
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel
Variabel
independen
Riwayat
pemberian
ASI
Variabel
dependen
Kejadian
ISPA
Definisi Oprasional
Pelaksanaan ibu dalam membeirkan
ASI saja termasuk kolostrum tanpa
pemberian makanan tambahan, pada
bayi semenjak lahir sampai bayi usia
6-24 bulan dengan parameter ASI
eksklusif dan non eksklusif
Infeksi saluran
pernafasan akut
yang menyerang
tenggorokan,
hidung dan paru-paru yang
berlangsung kurang lebih 14 hari
Alat ukur
Kuesioner dengan
menggunakan satu
pertanyaan
Kuesioner dengan pilihan
jawaban ya atau tidak
dengan melihat tanda dan
gejala ISPA yang telah
dialami balita selama tiga
bulan terakhir dari rekam
medik.
Hasil ukur
ASI
eksklusif
2. ASI non
eksklusif
Skala
Nominal
1. Tidak ISPA
2. ISPA
Nominal
1.
terhadap status karakter atau variabel subjek
Desain penelitian ini menggunakan desain
pada saat penelitian.
deskriptif korelasi yaitu penelitian yang
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan
bertujuan untuk mengungkapkan hubungan
Juli 2013 dengan jumlah populasi berjumlah
korelatif antar variabel. Penelitian ini
115 bayi. Sampel dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional
sejumlah 89 bayi yang memenuhi kriteria
yaitu subjek penelitian hanya diobservasi
inklusi. penelitian ini menggunakan simple
sekali saja dan pengukuran dilakukan
random sampling jenuh yaitu pengambilan
sampel dari semua anggota populasi yang
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
3
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
dilakukan secara acak. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah anak usia 6-24 bulan
yang bertempat tinggal di di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang.
Bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi:
Menderita penyakit paru lain (misalnya
TBC).
Menderita
penyakit
imunosupresif
(misalnya AIDS, leukemia, lupus, dan
limfoma).
Instrumen Penelitian
Data sekunder dalam penelitian ini berupa
catatan medis pasien ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh
dengan teknik wawancara berdasarkan daftar
pertanyaan yang telah disusun oleh peneliti
Analisa data penelitian ini menggunakan
analisis univariat untuk mengetahui gambaran
riwayat pemberian ASI pada anak usia 6-24
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang dan mengetahui
gambaran kejadian ISPA pada anak usia 6-24
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang.
Analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi.
Etika penelitian
Penelitian dilakukan setelah mendapat
rekomendasi dari institusi pendidikan
kemudian mengajukan permohonan ijin
kepada tempat penelitian dan setelah
mendapat persetujuan baru melaksanakan
penelitian. Kuesioner diberikan kepada
responden dengan menekankan masalah etik
yang meliputi:
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan pada
responden dan disampaikan keterangan
tentang judul dan manfaat penelitian. Bila
responden menolak maka peneliti tetap
menghormati dan tidak memaksakan diri.
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Pada lembar kuesioner peneliti tidak
mencantumkan nama tetapi diberi kode
untuk
menjaga
kerahasiaan
tiap
responden.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Informasi yang diberikan oleh
responden serta semua data yang
terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hal ini tidak akan dipublikasikan
ataupun diberikan kepada orang lain tanpa
seijin responden.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Analisis Univariat
1. Riwayat Pemberian ASI pada Anak Usia
6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang
Tabel 2. Tabel Distribusi Frekuensi
Pemberian ASI Eksklusif
pada Anak Usia 6-24 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan
Kabupaten
Semarang
Riwayat
Pemberian ASI
ASI
non
Eksklusif
ASI Eksklusif
Jumlah
Frekuensi
(f)
76
Prosentase
(%)
85,4
13
89
14,6
100,0
Berdasarkan
tabel
2
diatas
menunjukkan anak usia 6-24 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang sebagian besar
diberikan ASI non eksklusif yaitu
sebanyak 76 anak (85,4%).
2. Kejadian ISPA pada anak usia 6-24 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang
Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi
Kejadian ISPA pada anak
usia 6-24 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang
Kejadian ISPA
Tidak ISPA
ISPA
Jumlah
Frekuensi
(f)
48
41
89
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
Prosentase
(%)
53,9
46,1
100,0
4
Tabel 3 diatas menunjukkan anak usia
6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang sebagian
besar tidak ISPA yaitu sebanyak 48 orang
(53,9%).
Analisis Bivariat
Tabel 4. Hubungan Riwayat Pemberian
ASI dengan Kejadian ISPA
pada Anak Usia 6-24 di
Wilayah Kerja
Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang
Riwayat
pemberian
ASI
ASI non
eksklusif
ASI
eksklusif
Total
Kejadian ISPA
ISPA
Tidak
Total
OR
p value
ISPA
(CI 95%)
f % f % f %
47 52,8 29 32,6 76 85,4 11,013 0,001
1
1,1 12 13,5 13 14,6
48 53,9 41 46,1 89 100,0
Hasil
analisis
hubungan
riwayat
pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada
anak usia 6-24 di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang, diperoleh
hasil anak usia 6-24 di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
yang tidak diberikan ASI eksklusif
mengalami ISPA sebanyak 47 responden
(52,8%) lebih besar dari pada yang tidak
mengalami ISPA yaitu sebanyak 29 anak
(32,6%). Sedangkan anak usia 6-24 di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Susukan
Kabupaten Semarang yang diberikan ASI
eksklusif yang tidak mengalami ISPA
sebanyak 12 responden (13,5%) lebih besar
dari pada yang mengalami ISPA yaitu
sebanyak 1 anak (1,1%).
Hasil uji statistik didapatkan nilai χ2
sebesar 11,013 dan nilai
p value
sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada
hubungan riwayat pemberian ASI dengan
kejadian ISPA pada anak usia 6-24 di
Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang. Kemudian dari hasil
analisis diperoleh OR sebesar 19,448 artinya
responden yang tidak diberikan ASI eksklusif
cenderung 19,448 kali mengalami ISPA
dibandingkan responden yang diberikan ASI
eksklusif.
Pembahasan
Analisis Univariat
1. Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
Hasil penelitian menunjukkan anak
usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
yang tidak diberikan ASI eksklusif
sebanyak 76 orang (85,4%), sedangkan
yang diberikan ASI eksklusif sebanyak 13
orang (14,6%). Hal ini menunjukkan
sebagian besar anak usia 6-24 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang tidak diberikan ASI
eksklusif.
Air susu ibu (ASI) adalah makanan
ideal yang tiada bandingnya untuk.
pertumbuhan dan perkembangan bayi
karena mengandung
nutrient yang
dibutuhkan untuk membangun dan
penyediaan energi, pengaruh biologis dan
emosional antara ibu dan bayi, serta
meningkatkan sistem kekebalan pada bayi
(Hanson, 2003).
Pemberian
ASI
non
eksklusif
merupakan pemberian ASI yang ditambah
dengan pemberian makanan tambahan
atau yang biasa dikenal dengan nama MPASI, pemberian ASI non eksklusif
diberikan karena kurangnya pengetahuan,
pemahaman tentang ASI eksklusif dan
pengaruh promosi susu formula. ASI non
eksklusif atau PASI adalah makanan bayi
yang secara tunggal dapat memenuhi
kebutuhan gizi bagi pertumbuhan dan
perkembangan sampai dengan umur 6
bulan (Rusli, 2005).
Banyak hal yang menyebabkan ASI
Ekslusif tidak diberikan khususnya bagi
ibu-ibu di Indonesia, hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh diantaranya Adanya
perubahan struktur masyarakat dan
keluarga.Hubungan kerabat yang luas di
daerah pedesaan menjadi renggang setelah
keluarga pindah ke kota. Pengaruh orang
tua seperti nenek, kakek, mertua dan
orang terpandang dilingkungan keluarga
secara berangsur menjadi berkurang,
karena mereka itu umumnya tetap tinggal
di desa sehingga pengalaman mereka
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
5
dalam merawat makanan bayi tidak dapat
diwariskan.
Kemudahan-kemudahan yang didapat
sebagai
hasil
kemajuan
teknologi
pembuatan
makanan
bayi
seperti
pembuatan tepung makanan bayi, susu
buatan bayi, mendorong ibu untuk
mengganti ASI dengan makanan olahan
lain. Iklan yang menyesatkan dari
produksi makanan bayi menyebabkan ibu
beranggapan bahwa makanan-makanan itu
lebih baik dari ASI. Ibu sering keluar
rumah baik karena bekerja maupun karena
tugastugas sosial, maka susu sapi adalah
satu-satunya
jalan
keluar
dalam
pemberian makanan bagi bayi yang
ditinggalkan dirumah.
Adanya anggapan bahwa memberikan
susu botol kepada anak sebagai salah satu
simbol bagi kehidupan tingkat sosial yan
lebih tinggi, terdidik dan mengikuti
perkembangan zaman. Ibu takut bentuk
payudara rusak apabila menyusui dan
kecantikannya akan hilang. Sering juga
ibu tidak menyusui bayinya karena
terpaksa, baik karena faktor intern dari ibu
seperti terjadinya bendungan ASI yang
mengakibatkan ibu merasa sakit sewaktu
bayinya menyusu, luka-luka pada putting
susu yang sering menyebabkan rasa nyeri,
kelainan pada putting susu dan adanya
penyakit tertentu seperti tuberkolose,
malaria yang merupakan alasan untuk
tidak menganjurkan ibu menyusui
bayinya. Demikian juga ibu yang gizinya
tidak baik akan menghasilkan ASI dalam
jumlah yang relatif lebih sedikit
dibandingkan ibu yang sehat dan gizinya
baik. Disamping itu juga karena faktor
dari pihak bayi seperti bayi lahir sebelum
waktunya (prematur) atau bayi lahir
dengan berat badan yang sangat rendah
yang mungkin masih telalu lemah abaila
mengisap ASI dari payudara ibunya, serta
bayi yang dalam keaadaan sakit.
Dampak dari pemberian ASI non
eksklusif diantaranya memburuknya gizi
anak
dapat
juga
terjadi
akibat
ketidaktahuan ibu mengenai cara-cara
pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai
aspek kehidupan kota telah membawa
pengaruh terhadap ibu untuk tidak
menyusui bayinya, padahal makanan
penganti yang bergizi tinggi jauh dari
jangkauan mereka. Kurangnya pengertian
dan pengetahuan ibu tentang manfaat ASI
dan menyusui menyebabkan ibu – ibu
mudah terpengaruh dan beralih kepada
susu botol (susu formula). Kesehatan atau
status gizi bayi serta kelangsungan
hidupnya akan lebih buruk pada ibu- ibu
yang berpendidikan rendah. Hal ini karena
seorang ibu yang berpendidikan tinggi
akan memiliki pengetahuan yang luas
serta kemampuan untuk menerima
informasi lebih tinggi. Pada penelitian di
Pakisttan dimana tingkat kematian anak
pada ibu–ibu yang lama pendidikannya 5
tahun adalah 50 % lebih rendah daripada
ibu-ibu yang buta huruf. Demikian juga di
Indonesia bahwa pemberian makanan
padat yang terlalu dini. Sebagian besar
dilakukan
oleh
ibu-ibu
yang
berpendidikan
rendah,
jadi faktor
ketidaktauanlah yang menyebabkannya
(Siregar, 2004).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap
pemberian ASI adalah sikap ibu terhadap
lingkungan sosialnya dan kebudayaan
dimana para ibu ini dididik. Apabila
pemikiran tentang menyusui dianggap
tidak sopan dan memerlukan, maka “let
down reflex” (reflex keluar) akan
terhambat. Sama halnya suatu kebudayaan
tidak
mencela
menyusui,
maka
pengisapan akan tidak terbatas dan “du
demand” (permintaan) akan menolong
pengeluaran ASI.
Selain itu kemampuan ibu yang
usianya lebih tua juga amat rendah
produksi
ASInya,
sehingga
bayi
cenderung mengalami malnutrisi. Alasan
lain ibu-ibu tidak menyusui bayinya
adalah karena ibu tersebut secara tidak
sadar berpendapat bahwa menyusui hanya
merupakan beban bagi kebebasan
pribadinya atau hanya memperburuk
penampilannya. Kendala lain yang
dihadapi dalam upaya peningkatan
penggunaan ASI adalah sikap sementara
petugas kesehatan dari berbagai tingkat
yang
tidak
bergairah
mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran dan
kesehatan.
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
6
Konsep baru tentang pemberian ASI
dan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
menyusui dan bayi baru lahir. Disamping
itu juga sikap sementara penanggung
jawab ruang bersalin dan perawatan
dirumah sakit, rumah bersalin yang
berlangsung memberikan susu botol pada
bayi baru lahir ataupun tidak mau
mengusahakan
agar
ibu
mampu
memberikan ASI kepada bayinya, serta
belum diterapkannya pelayanan perawatan
bagi ibu yang tidak bias memberikan
ASInya disebagian besar rumah sakit atau
klinik bersalin.
2. Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan anak usia 6-24 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten
Semarang
yang
tidak
mengalami ISPA sebanyak 48 orang
(53,9%) dan yang mengalami ISPA
sebanyak 41 orang (46,1%). Hal ini
menunjukkan sebagian besar anak usia 624 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Susukan Kabupaten Semarang pernah
mengalami ISPA.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan
pleura (Depkes, 2007). Sedangkan
menurut Nelson et al (2000) ISPA adalah
infeksi yang terutama mengenai struktur
saluran pernafasan diatas laring, tetapi
kebanyakan penyakit ini mengenai saluran
pernafasan atas dan bawah secara
simultan atau berurutan. Tanda dan gejala
penyakit ISPA dapat berupa batuk,
kesukaran bernafas, sakit tenggorokan,
pilek, sakit telinga dan demam. Infeksi
saluran pernafasan akut adalah penyakit
yang sering diderita oleh anak-anak baik
di negara berkembang maupun di negara
maju (Simoes et al., 2006).
ISPA disebabkan oleh bakteri atau
virus yang masuk kesaluran nafas. Salah
satu penyebab ISPA yang lain adalah asap
pembakaran bahan bakar kayu yang
biasanya digunakan untuk memasak. Asap
bahan bakar kayu ini banyak menyerang
lingkungan
masyarakat,
karena
masyarakat terutama ibu-ibu rumah
tangga selalu melakukan aktifitas
memasak tiap hari menggunakan bahan
bakar kayu, gas maupun minyak.
Timbulnya
asap
tersebut
tanpa
disadarinya telah mereka hirup seharihari, sehingga banyak masyarakat
mengeluh batuk, sesak nafas dan sulit
untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar
kayu tersebut mengandung zat-zat seperti
Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur,
Nitrogen dan Oxygen yang sangat
berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI,
2002).
ISPA merupakan proses inflamasi
yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang
meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa,
kongestif
vaskuler,
bertambahnya sekresi mukus serta
perubahan struktur fungsi siliare. Tanda
dan gejala ISPA banyak bervariasi antara
lain demam, pusing, malaise (lemas),
anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus
(muntah), photophobia (takut cahaya),
gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara
nafas), dyspnea (kesakitan bernafas),
retraksi suprasternal (adanya tarikandada),
hipoksia (kurang oksigen), dan dapat
berlanjut pada gagal nafas apabila tidak
mendapat pertolongan dan mengakibatkan
kematian.
Analisis Bivariat
Hubungan Riwayat Pemberian ASI
dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang. Hasil penelitian
menunjukkan diperoleh hasil anak usia 6-24
di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang yang tidak diberikan
ASI eksklusif dan tidak mengalami ISPA
sebanyak 47 responden (52,8%), diperoleh
pula hasil anak usia 6-24 di Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
yang diberikan ASI eksklusif dan mengalami
ISPA sebanyak 12 responden (13,5%).
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
7
Bayi dengan BBLR (<2500 gr)
mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan tidak BBLR. Hal ini
disebabkan oleh karena pembentukan zat
kekebalan yang kurang sempurna sehingga
sistem pertahanan tubuh rendah terhadap
mikroorganisme pathogen. Sukar et al., tahun
1996 melaporkan adanya hubungan signifikan
antara BBLR dengan risiko kejadian ISPA.
Penelitian Ariyanto (2008) melaporkan
adanya hubungan riwayat berat badan lahir
rendah 2,21 kali (95% CI: 1,00-4,42), secara
statistik bermakna dengan nilai p=0,04
terhadap kejadian ISPA pada balitanya
dibandingkan balita dengan riwayat berat
lahir normal. Status kesehatan bayi saat lahir
menentukan proses tumbuh kembang anak
pada periode kehidupan selanjutnya baik dari
segi fisik maupun intelektualnya (Milleton
et.,al, 1987 dalam Setiawan, 2005).
Hasil uji statistik didapatkan nilai χ2
sebesar 11,013 dan nilai
p value
sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada
hubungan riwayat pemberian ASI dengan
kejadian ISPA pada anak usia 6-24 di
Wilayah Kerja
Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang. Kemudian dari hasil
analisis diperoleh OR sebesar 19,448 artinya
responden yang tidak diberikan ASI eksklusif
cenderung 19,448 kali mengalami ISPA
dibandingkan responden yang diberikan ASI
eksklusif.
Penelitian
Leung
et.,al.
(2006),
mengatakan bahwa pemberian ASI sangat
menguntungkan jika dilihat dari beberapa
aspek, baik pada bayi, ibu, maupun sosial
ekonomi. Rekomendasi dari WHO bahwa
pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
dapat menurunkan angka insidensi infeksi
yang sering terjadi pada bayi seperti ISPA,
diare, otitis media, infeksi saluran kemih,
diabetes mellitus, obesitas dan asma. ASI
mengandung zat kekebalan terhadap infeksi
yang disebabkan bakteri, virus, jamur, dan
lain-lain, sehingga dapat mencegah terjadinya
infeksi pada bayi. Hal ini disebabkan karena
ASI mengandung zat kekebalan terhadap
infeksi diantaranya protein, laktoferin,
imunoglobin dan antibody.
Pemberian ASI eksklusif memberikan
protektif melalui antibodi SigA yang dapat
melindungi bayi dari kuman Haemophilus
Influenza yang terdapat pada mulut dan
hidung, serta menurunkan risiko terkena
infeksi (Hanson, 2006). ASI proteksi
melawan penyakit enterik dan lainnya.
Colostrum atau foremilk, dan ASI
mengandung elemen yang memproteksi bayi
dari penyakit saluran respirasi dan
gatrointestinal. ASI mengandung komponen
yang mencegah penempelan salmonella
pneumonia dan Haemophilus Influenza pada
reseptor permukaan sel pejamu (Story et al,
2008).
Penelitian
Cushing
et.,al.
(1998)
menunjukkan bahwa keseluruhan insiden
penyakit pernafasan, termasuk saluran
pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah
tidak signifikan dipengaruhi oleh ASI.
Sedangkan Quigley et., al. (2007) diperoleh
hasil bahwa 27% infeksi saluran pernafasan
bawah yang dirawat di rumah sakit dapat
dicegah setiap bulan dengan pemberian ASI
eksklusif dan 25% oleh ASI parsial.
Penelitian Talayero et al. (2006) diperoleh
hasil bahwa pemberian ASI penuh
menurunkan risiko untuk dirawat di rumah
sakit sebagai akibat dari penyakit infeksi pada
tahun pertama kehidupan.
Penelitian
Abdullah
(2003)
yang
dilakukan dengan desain nested case control
di Kota Palu memperlihatkan hubungan
signifikan antara pemberian ASI terhadap
kejadian ISPA dengan OR=5,63 (95% CI:
3,03- 10, 41) setelah dikontrol berat badan
lahir bayi dan letak dapur. Penelitian Aklima
di Kota Padang (2009) menyimpulkan bahwa
proporsi penyapihan dini yang didefinisikan
dengan menghentikan pemberian ASI pada
usia bayi < 6 bulan mempunyai hubungan
yang signifikan pada kelompok ISPA 2,8 kali
lebih besar dibandingkan dengan kelompok
tidak ISPA (OR=2,79: 95% CI: 1,11-6,98).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemberian ASI pada anak usia 6-24 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang sebagian besar ASI
non eksklusif yaitu sebanyak 76 orang
(85,4%).
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
8
2. Kejadian ISPA pada anak usia 6-24 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang sebagian besar tidak
mengalami ISPA yaitu sebanyak 48 orang
(53,9%).
3. Ada hubungan riwayat pemberian ASI
dengan kejadian ISPA pada anak usia 612 di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan
Kabupaten Semarang, dengan nilai χ2
sebesar 11,013 dan nilai p value sebesar
0,001 diperoleh pula nilai OR sebesar
19,448
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka
saran yang dapat diberikan adalah
1. Bagi Instansi
Hendaknya pemerintah khususnya
bagi Puskesmas Susukan Kabupaten
Semarang agar lebih intensif dalam
penentuan arah kebijakan program
penanggulangan
penyakit
menular
khususnya ISPA yaitu dengan peningkatan
frekuensi penyuluhan tentang ISPA.
2. Bagi Masyarakat
Hendaknya
masyarakat
(baik
ilmuwan, praktisi maupun masyarakat
umum) meningkatkan kesehatan dan
menambah ilmu pengetahuan di bidang
kesehatan khususnya pengetahuan tentang
ISPA dan pemberian ASI dengan aktif
menggali informasi baik dari tenaga
kesehatan
maupun
penyuluhanpenyuluhan.
3. Bagi penulis
Hendaknya penulis mengaplikasikan
ilmu yang telah didapat dan menambah
wawasan dengan mengaplikasikan hasil
penelitian di masyarakat secara langsung.
Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman
Pekan Kesehatan Nasional. Pusat
Promosi Kesehatan Depkes. Rl Jakarta.
Depkes Rl. 2007. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi kurang
pada anak umur 4-6 tahun pada keluarga
petani di Desa Sungai Pandan Hilir Rt
002 Rw 93 Kecamatan Sungai Padan
Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi
Kalimantan Selatan tahun 2011
Dinkes Propinsi Jawa Tengah. 2011 Profil
Kesehatan Jawa Tengah. Semarang :
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
2011
Elly. 2011. Produksi AS/ dan faktor yang
mempengaruhinya. Diakses tanggal. 11.
April. 2011.
Machfoedz, 2009. Metodologi Penelitian
Bidang
Kesehatan,
Keperawatan,
Kebidanan, Kedokteran, Edisi Kelima,
Yogyakarta: Fitramaya.
Nelson. 2004. Ilrnu Kesehatan Anak. Edisi
15. Jakarta.: EGC
Notoatmodjo.
2010.
Ilrnu
Perilaku
Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan
Metode Penelitian Ilrnu Keperawatan.
Jakarta: Safemba Medika
Perinasia. 2004.
Manajemen Laktasi.
Meningkatkan. Cara Pintar Merawat
Bayi dan Balita. Araska.
DAFTAR PUSTAKA
Roesli. 2009. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta
: Trubus Argriwidya
Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Semba. 2001. Nutrition and Health \n
Developing Countries, Human Press
Totowa New Jersey.
Clark. 2003. Psychology and Language: An
Introduction to Psycholinguistics. New
York : Harcourt Brace Jovannovich
Publishers
Senewe.
2004.
Berhubungan
Tiga Tahun
Faktor-Faktor
Yang
Komplikasi Persalinan
Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 6-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Susukan Kabupaten Semarang
9
Download