BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica (Kanna 2002). Menurut Kasry (1991) kepiting bakau diklasifikasikan sebagai berikut. Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Subordo : Branchyura Famili : Portunidae Sub Famili : Lipulinae Genus : Scylla Spesies : Scylla serrata Gambar 1. Kepiting Bakau Kepiting bakau tergolong kelas Krustasea dan ordo Dekapoda, dengan ditandai oleh adanya 5 pasang kaki. Pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat pemegang/penangkap makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) dan berfungsi sebagai kaki renang, dan pasangan kaki lainnya berfungsi sebagai kaki jalan (Kordi 2012). Kemudian menurut Lembaga Oceanologi Nasional (1973) kepiting bakau merupakan salah satu jenis dari sub ordo Branchyura, yang memiliki bentuk melebar melintang, serta bagian 6 7 perutnya tidak terlihat karena melipat ke dadanya, tidak ada duri ekor dan daun ekor, adapun kepiting jantan memiliki bentuk perut sempit dan meruncing ke depan sedang betina melebar dan setengah lonjong, banyak ditemukan di tambak ikan dekat pantai, hidup dalam lubang-lubang atau terdapat pada pantai-pantai yang ditumbuhi pohon mangrove, dan memiliki warna hijau kotor. Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas yang oval dengan bagian depan yang memiliki 9 duri pada pada sisi kanan dan kiri, serta 6 duri di antara kedua matanya (Kordi 2012). Kedua matanya menempel di tepi bagian depan karapas yang juga dilengkapi dengan tangkai, sehingga kedua matanya dapat digerakgerakkan lebih leluasa. Jika ada gangguan dari luar, sebagai perlindungan matanya ditempelkan rapat-rapat ke kelopaknya, serta di antara kedua matanya ini terletak mulutnya (Soim 1994). Panjang karapasnya kurang lebih dua pertiga dari lebarnya, permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk berbintik kasar (Kordi 2012). Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit yang lebih besar daripada betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama (Kordi 2012). Namun, pada kepiting betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek (Soim 1994). Jika dalam keadaan normal capit kanan lebih besar dari capit kiri dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit (Kasry 1991). Kepiting bakau jantan memiliki abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan kepiting bakau betina dewasa memiliki abdomen yang agak membundar dan melebar (Kordi 2012). Membedakan jenis kelamin juga dapat dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3-10 cm berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh, setelah ukuran karapasnya mencapai 10-15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30-35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama 22% (Soim 1994). Berikut Morfologi kepiting bakau (Gambar 2). 8 Sumber: Balai Uji Standar Karantina Ikan (2011) Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau 2.1.2 Siklus Hidup dan Habitat Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri (Kanna 2002). Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tambak, setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan (Kasry 1991). Menurut Ditjen Perikanan (1994) proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Hasil pengamatan di lapangan, ternyata kepiting bakau juga melakukan perkawinan pada siang hari. Perkawinan biasanya terjadi pada saat suhu air naik. Menjelang perkawinannya, kepiting betina akan mengeluarkan cairan kimia perangsang, yaitu pheromone ke dalam air yang akan menarik perhatian kepiting kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan yang berhasil menemukan sumber pheromone tersebut akan naik ke atas karapas kepiting betina yang sedang berada dalam kondisi pralepas cangkang dan membantu kepiting betina untuk berganti kulit atau molting. Selama kepiting betina mengalami proses ganti kulit, kepiting jantan 9 akan melindunginya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina. Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, maka kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan kopulasi. Proses kopulasi biasanya berlangsung selama 7-12 jam dan hanya dapat berlangsung bila karapas kepiting betina dalam kondisi lunak. Spermatofor kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8 juta butir telur, bergantung dari ukuran dan umur kepiting (Kordi 2012). Menurut Nuansa (2010) sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan lagi. Namun, di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil karena faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya musuh alami. Kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun, bila kondisi ekologi mendukung (Kordi 2012). Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian perairan yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut (Kasry 1991). Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kanna 2002). Menurut Afrianto dan Liviawati (1992) untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari 10 tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pada fase megalops, proses pergantian kulit berlangsung relatif lama, yaitu setiap 15 hari. Kemudian menurut Kasry (1991) pada saat pertama kali kepiting ditetaskan suhu air laut umumnya berkisar 25-27 0C dan salinitas 29-33 %0, dan secara gradual salinitas dan suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai akan dapat mentolerir salinitas air yang rendah 10-24 %0 dan suhu di atas 10 0C Kepiting bakau merupakan hewan khas hutan bakau atau ekosistem mangrove. Kepiting bakau dan seluruh suku Portunidae adalah hewan yang selalu berada di habitat berair karena alat pernapasannya berupa insang. Walaupun demikian, kepiting tidak selalu terendam dalam air karena sering juga ditemukan berada di tempat yang kering, namun lembab (Kordi 2012). Selain itu, ada beberapa jenis kepiting yang menyukai hidup di lingkungan berbatu, namun ada pula lebih senang hidup diantara akar tumbuh-tumbuhan air (Afrianto dan Liviawaty 1992). Kemudian ada juga kepiting yang hidup di laut, umumnya di zona littoral dan sebagian kecil hidup di laut dalam (Kasry 1991). 2.1.3 Kebiasaan Makan Juvenil kepiting muda jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur, sedangkan kepiting bakau dewasa biasanya keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Kepiting bakau dalam semalam mampu mencapai jarak 219-910 m untuk aktivitasnya mencari makan. Kepiting bakau kembali membenamkan diri ketika matahari akan terbit, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (Soim 1994). Kepiting adalah hewan yang hidup di dasar perairan dan merupakan karnivor (Kordi 2012). Kepiting yang masih berbentuk larva menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting yang juga relatif kecil. Jika telah mencapai fase megalops, kepiting menyukai organisme yang berukuran relatif lebih besar. Kepiting yang telah dewasa lebih senang memakan daging, bahkan bangkai juga disukainya 11 (Afrianto dan Liviawaty 1992). Menurut Kasry (1991) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit, selanjutnya merobek-robek makanannya. Makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya, didalam mulut makanan tidak langsung masuk ke dalam perut tetapi disaring dahulu dan hanya bahannya yang dapat dimakan yang terus masuk ke dalam perut (Afrianto dan Liviawati 1992). 2.1.4 Sistem Budidaya Pemilihan lokasi merupakan salah satu unsur penting dalam usaha budi daya kepiting. Lokasi yang sesuai merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha budi daya kepiting. Hal ini tidak hanya memberikan produksi yang maksimal, tetapi juga memudahkan dalam pengelolaannya. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi budi daya kepiting yaitu tersedianya sumber air yang terpenuhi syarat mutu dan jumlahnya, tipe dan tekstur tanah yang baik, tersedianya pakan yang cukup, dekat dengan sarana dan prasarana produksi, pasar yang baik, dan tersedianya tenaga lapangan yang terampil (Soim 1994). Budidaya kepiting bakau selain pemilihan lokasi tambak juga, tambak harus dilengkapi dengan pagar pengaman yang dibuat dari bambu atau seng. Pagar pengaman dimaksudkan untuk mencegah kepiting memanjat atau keluar tambak. Kebiasaan lain kepiting adalah menggali tanah. Karena itu, jika tanah pematang merupakan tanah yang mudah tergerus oleh air atau mudah digali kepiting, sebaiknya pemagaran dilakukan hingga ke dasar pematang, dengan demikian kebocoran tambak akibat digali kepiting dapat dicegah (Kordi 2012) Budidaya kepiting bakau di tambak dapat diterapkan untuk pembesaran, penggemukan, maupun produksi kepiting soka atau kepiting bertubuh lunak (Kordi 2012). Tambak kepiting diusahakan mempunyai kedalaman ± 1 meter dengan salinitas air antara 15-30 %0, pH 6,5-8,5. Bebas dari pencemaran dan pengaruh banjir, dapat terjangkau pasang surut dan dekat dengan saluran air untuk memudahkan dalam pergantian air. Kemudian tekstur tanah lumpur liat berpasir dengan kandungan pasir kurang dari 20% atau tanah liat berlumpur dan tidak bocor (Kanna 2002). 12 Kepiting bakau telah berhasil dibenihkan di bak-bak terkontrol, walaupun tingkat kematian larva dan benih relatif masih tinggi. Calon induk kepiting bakau dapat diperoleh dari hasil penangkapan di alam atau dari hasil pembesaran. Kepiting bakau sudah dapat dipijahkan pada umur 12-14 bulan atau mencapai ukuran lebar karapas 150-200 mm dan berat 180-200 g. Kepiting bakau yang dipilih untuk calon induk harus sehat, nafsu makannya tinggi, dan tidak cacat (Kordi 2012). Tambak diisi air sampai ketinggian mencapai 40 cm, penebaran benih sudah dapat dilakukan. Benih kepiting bakau berukuran rata-rata 20-40 g/ekor atau dengan panjang karapas 2-3 cm ditebar dengan kepadatan 3-5 ekor/m2 atau 30.000-50.000 ekor/ha. Jika ukuran benih yang ditebar lebih besar, misalnya 80-100 g/ekor, padat penebaran diturunkan menjadi 2-3 ekor/m2. Padat penebaran dapat ditingkatkan hingga 8-9 ekor/m2 untuk benih berukuran 20-40 g/ekor, jika tambak dikelola secara intensif dengan pergantian air 20-30% setiap hari (Kordi 2012). Tambak tradisional agar dapat menunjang pertumbuhan kepiting maka air kolam juga perlu diganti, ketika air laut sedang pasang maka air dimasukkan ke kolam dan bila air laut surut air kolam dikeluarkan (Soim 1994) 2.2 Pakan Buatan dan Kebutuhan Nutrien Pakan dalam usaha budidaya kepiting bakau dapat berupa pakan alami dan pakan buatan. Ikan rucah merupakan pakan alami atau pakan segar yang umumnya digunakan sebagai pakan utama dalam usaha budidaya kepiting bakau, karena dianggap dapat menghasilkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan pakan buatan. Permasalahan dalam penyediaan ikan rucah, yaitu pengaruh musim dan masa simpan yang pendek diduga dapat membantu penyebaran penyakit. Keunggulan pakan buatan dibandingkan dengan ikan rucah atau pakan alami, diantaranya adalah mutu pakan yang stabil, kandungan gizi yang lengkap dan seimbang, serta kemudahan dalam penyimpanan dan distribusi (Aditya et al. 2012). Pakan buatan adalah pakan yang sengaja disiapkan dan dibuat, pakan ini terdiri dari ramuan beberapa bahan baku yang kemudian diproses lebih lanjut 13 sehingga bentuknya berubah dari bentuk aslinya (Mudjiman 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa dengan meramu berbagai macam bahan makanan maka nilai gizi pakan dapat diatur, demikian pula terhadap selera makan. Pakan buatan untuk hewan uji berasal dari satu atau berbagai macam bahan baik berupa nabati, hewani, maupun hasil sampingan industri pengolahan hasil-hasil pertanian (Dwinhoven 2012). Bahan-bahan tersebut harus memenuhi beberapa syarat seperti mempunyai nilai gizi tinggi, mudah diperoleh, mudah diolah, tidak mengandung racun, harganya relatif murah, dan tidak merupakan makanan pokok manusia, sehingga tidak merupakan saingan (Mudjiman 2008). Kepiting bakau membutuhkan energi untuk pertumbuhan. Kebutuhan nutrien kepiting meliputi protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Kisaran komposisi nutrien dalam pakan kepiting adalah protein 34-54%, lemak 4,8-10,8%, serat 2,1-4,3%, BETN 18,7-42,5%, dan abu 0,6-22,0% (Anderson et al. 2004). Kadar air untuk pakan kepiting yang baik adalah kadar air kurang dari 10 % (Dwinhoven 2012). Protein merupakan bahan struktural (bahan pembangun) utama pada hewan, atau senyawa organik yang bermolekul besar, juga protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan terkadang mengandung belerang. Mutu protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta oleh kandungan asam aminonya (Mudjiman 1989). Kebutuhan kepiting akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya ukuran, temperatur air, jumlah pemberian pakan, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein. Formula pakan kepiting bakau harus mencukupi kebutuhan gizi kepiting yang dibudidayakan, seperti: protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta bahan perekat perlu diperhatikan kandungan energinya. Mutu pakan akan tergantung pada tingkatan dari bahan gizi yang dibutuhkan oleh kepiting (Dwinhoven 2012). 2.3 Cangkang Kepiting Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan yang dihasilkan dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya. Pemanfaatan sumber daya udang windu dan kepiting bakau menghasilkan limbah yang berupa kulit, 14 kepala, ekor, dan karapas (Supriyantini 2007). Menurut Wahyuni (2003) kepiting hanya dikonsumsi dagingnya saja yang rata-rata 20% dari beratnya, sehingga 80% berupa limbah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air yang disebabkan kandungan BOD, COD dan TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi (Harianingsih 2010). Limbah kulit udang dan kepiting mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Supriyantini 2007). Menurut Aslamyah dan Fujaya (2010), kandungan protein cangkang kepiting 19,00%, lemak 7,00%, BETN 55,97%, serat kasar 11,50%, abu 6,53%, dan air 7,04%. Kemudian menurut Darmawan et al. (2007) kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%), dan kitin (18,70-32,20%) hal ini tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya. Hasil penelitian Lesbani et al. (2011), kadar abu cangkang kepiting 70,493%, air 8,725%, magnesium 1,136 mg/g, kalsium 0,260 mg/g, seng 0,669 mg/g, tembaga 0,004 mg/g, natrium 17,672 mg/g, silika oksida 0,018 mg/g. Berikut ini cangkang kepiting yang di gunakan dalam penelitian (Gambar 3). Gambar 3. Cangkang Kepiting 2.4 Ikan Rucah Beberapa jenis pakan alami yang bisa diberikan pada kepiting antara lain kerang, ikan rucah, bekicot dan keong sawah (Nurdin dan Armando 2010). Pakan ikan rucah segar mudah tenggelam sehingga peluang dimakan kepiting lebih besar karena kepiting lebih suka mencari makan di dasar tambak (Soim 1994). Ikan 15 rucah bisa diperoleh di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Ikan-ikan tersebut biasanya secara ekonomis nilainya jauh lebih rendah dibandingkan ikan pokoknya. Pakan alami yang diandalkan dalam budidaya sidat, kepiting bakau, dan rajungan adalah ikan rucah seperti ikan teri (Stolephorus heterolobus, S. baganensis, S. indicus), tembang (Sardinella fimbriata), selar (Selaroides leptolepsis), petek/tatameri (Secutor ruconius, Gazza minuta, Leiognathus splendens), lamuru (Sardinella sirm), dan lain-lain (Kordi 2012). Namun, dalam penelitian ini ikan rucah yang digunakan untuk pakan pada budidaya kepiting yaitu ikan petek. Morfologi ikan petek yaitu bentuk badan ikan agak lebar, pipih, mulut lurus, bila ditarik ke depan membentuk corong serong ke bawah. Kandungan nutrisi ikan petek cukup tinggi, diantaranya: kadar air (9,22%), kadar abu (24,73%), kadar protein (54,98%), dan kadar lemak (4,51%) (Adityana 2007). Berikut ikan rucah yang digunakan dalam penelitian (Gambar 4) Gambar 4. Ikan Petek 2.5 Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Effendi (1997) menyatakan pertumbuhan didefinisikan sebagai penambahan ukuran, panjang atau bobot ikan dalam kurun waktu yang dipengaruhi pakan tersedia, jumlah ikan yang mengkonsumsi pakan, suhu, umur, dan ukuran ikan. Pertumbuhan merupakan salah satu kriteria yang paling penting untuk pengukuran respon ikan terhadap pakan, meskipun dapat diteliti dan mudah diukur, pertumbuhan merupakan salah satu aspek kehidupan yang rumit dari suatu organisme (Subakti 2008). Pertumbuhan merupakan hasil bersih dari rangkaian proses pencernaan dan tingkah laku ikan yang dimulai dengan intake pakan (konsumsi) dan diakhiri oleh deposit jaringan tubuh, dimana sistem sekresi mempengaruhi hasil akhir dari 16 pertumbuhan tersebut. Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan input energi dan protein yang berasal dari makanan. Pada hewan krustasea tingkat pertumbuhan dapat diukur dengan menghitung pertambahan berat atau panjang karapas per periode waktu tertentu (Subakti 2008). Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, jenis kelamin, umur, ketahanan terhadap parasit dan penyakit serta kemampuan memanfaatkan makanan. Faktor eksternal yaitu makanan, kondisi fisik dan kimia perairan, kuantitas dan kualitas pakan serta ruang gerak (Effendi 1997). Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersediaan makanan. Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan ikan untuk hidup dan tumbuh. Menurut Zaidy (2007) pakan yang masuk ke dalam tubuh kepiting akan digunakan sebagai sumber energi (metabolisme) untuk menggerakkan semua fungsi tubuh dan bahan untuk pembangunan biomassa tubuh (anabolisme). Peningkatan biomassa kepiting bergantung pada energi yang tersedia dalam tubuh kepiting dan ke mana energi tersebut didistribusikan serta digunakan dalam tubuh. Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tiga fase yaitu: fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat zoea I, II, III, IV, V dan megalopa, sedangkan pada fase kepiting dikenal dengan tingkat kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur merujuk pada tingkat kematangan indung telur (Kasry 1991). Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan kepiting dikelompokkan menjadi kepiting juwana, kepiting muda, dan kepiting dewasa, yang masing-masing berukuran 20-70 mm, 70-150 mm, dan 150-200 mm (Kordi 2012). Jumlah makanan yang dimakan oleh seekor ikan, kurang lebih hanya 10% saja yang dapat digunakan untuk pertumbuhan atau penambahan bobot badan, selebihnya makanan tersebut digunakan untuk pemeliharaan tubuh atau memang tidak dapat dicerna. Jumlah bobot makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan atau penambahan bobot badan itu disebut nilai ubah makanan atau konversi makanan (Mudjiman 2008). 17 Jumlah makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan penambahan berat daging ikan sebanyak 1 kg disebut faktor konversi. Jadi apabila untuk menambah berat 1 kg daging itu dibutuhkan 5 kg makanan, maka berarti faktor konversi makanan yang bersangkutan adalah 5. Tergantung pada macam makanannya, faktor konversi pada ikan berkisar antara 1,5-8. Makanan nabati faktor konversinya lebih besar daripada makanan hewani, ini berarti untuk menambah berat 1 kg daging ikan dibutuhkan makanan nabati lebih banyak daripada makanan hewani (Mudjiman 2008). 2.6 Kualitas Air untuk Pemeliharaan Kepiting Bakau Kualitas air merupakan media yang paling penting dalam usaha budidaya kepiting bakau. Pengelolaan kualitas air merupakan suatu usaha untuk mengusahakan dan mempertahankan agar air tersebut tetap berkualitas dan dapat dimanfaatkan untuk budidaya. Beberapa parameter penting yang perlu dikontrol, yaitu: suhu, pH, salinitas, DO, dan amoniak. Kualitas air untuk pemeliharaan kepiting bakau yaitu suhu, pH, salinitas, DO, dan amoniak disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kualitas Air untuk Pemeliharaan Kepiting Bakau Parameter Suhu pH Salinitas DO Amoniak Sumber : Kordi (2012)1) Kuntinyo et al. (1994)2) Nilai yang dianjurkan 23-32°C1) 7,0-8,51) 10-30 0/001) 4-7 ppm1) ≤ 0,1 ppm2)