MEREKONSTRUKSI PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH

advertisement
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
MEREKONSTRUKSI PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH
APARATUR NEGARA KE DALAM GUGATAN ATAU TUNTUTAN
Velliana Tanaya
Fakultas Hukum UPH, Karawaci
[email protected]
Abstract
Initiatives to improve the Indonesian civil wrong or tort system (onrechtmatige
overheidsdaad) requires revisiting the elements of tort in order to uphold the
principle of jurisdictional competence. This is particularly relevant in the
case of state officials who commit Perbuatan Melawan Hukum which are also
deemed as corrupt practices falling under the purview of Law No 20 Year
2001 regarding Corruption. Article 32 paragraph (1) Law Number 31 Year
1999 jo. Law Number 20 Year 2001 guarantees remedies against corrupt
acts by the state apparatus. Currently claims against state officials are also
actionable as a tort in civil law (private) or as a crime (wederrechtelijk)
under the Kitab Undang-undang Hukum Pidana and other statutes regulating
corruption. In view of the alternative causes of actions available, the issue of
proper characterization of unlawful acts is crucial in view of its implications
on jurisdiction, and other substantive aspects of the claim including the
determination of remedies and compensation to injured parties, and must be
addressed in current efforts to improve the Indonesian tort system.
Keywords: tort, the state apparatus
A. Latar Belakang
Apabila mendengar kata ‘Reformasi’, mungkin bukan hal yang
baru lagi ditelinga kita, atau bahkan kita sudah tidak perduli lagi dengan
makna reformasi itu sendiri. Padahal, reformasi merupakan salah satu
amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda pembaharuan tata kelola
dan tata perilaku nasional. Reformasi hukum yang di dalamnya tercakup
agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari
tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai
perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat
123
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
Peraturan Desa dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek
perilaku masyarakat hukum kearah kondisi yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum
telah tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform),
reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya
hukum (cultural reform).
Menarik untuk dikaji disini adalah adanya reformasi kelembagaan
(institutional reform), yang sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan
reformasi kelembagaan hukum (judikatif) yang selama masa Orde Baru
dilindas oleh kekuasaan eksekutif. Sejalan dengan diberlakukannya reformasi
kelembagaan pada lembaga hukum, reformasi kelembagaan ini mulai juga
diterapkan pada kelembagaan eksekutif, atau yang disebut dengan alat
kelengkapan negara atau aparatur negara. Selama Orde Baru juga, kinerja
aparatur negara ini turut ambil bagian dalam runtuhnya pondasi pembangunan
negara yang melahirkan apa yang dinamakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN). Bahkan penyakit yang bernama KKN ini, masuk dalam agenda
Ketetapan MPR RI1 untuk segera dihapuskan dalam lingkungan aparatur
negara. Termasuk didalamnya adalah perbuatan alat kelengkapan negara atau
aparatur negara yang melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad).
Sebenarnya topik perbuatan pejabat publik yang melakukan perbuatan
melawan hukum ini bukan hal yang baru. Masih ingat kasus Mobil Nasional
(Mobnas)? Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru
merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek
penyelenggaraan negara2. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di
1 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada
pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan
sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak
atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan
tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam
praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau
diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang
dibebankan kepadanya.
124
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat
publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang
seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut
(jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu keputusan
pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak
kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap
Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada
para pengusaha.
Kasus Mobnas bukan satu-satunya kasus tentang penyalahgunaan
oleh aparatur negara, semenjak bergulirnya era reformasi pun, kasus serupa
Mobnas masih banyak ditemui. Masih ingat juga kasus Pengadaan Sistem
Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan sebesar Rp.
730 Miliar? Kasus Sisminbakum? Kasus Century? Atau lupakah dengan
kasus Gayus Tambunan Penggelap Pajak?. Kasus-kasus tersebut adalah
kasus-kasus yang melibatkan diskresi pejabat publik yang menimbulkan
kerugian pada keuangan negara ataupun perekonomian negara. Saat ini yang
terjadi adalah, bahwa kasus-kasus tersebut kemudian masuk kedalam wilayah
hukum pidana dengan melihat bahwa perbuatan yang dilakukannya masuk
dalam unsur tindak pidana. Dengan demikian, bukan lagi menjadi gugatan
tetapi berubah menjadi tuntutan oleh penuntut umum atau lembaga yang
berwenang untuk itu.
Adanya peralihan fungsi peradilan dari gugatan menjadi tuntutan pada
saat ini, tidak menyurutkan para aparatur negara untuk tidak henti-hentinya
melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan umum, khususnya
kerugian yang ditanggung oleh negara. Yang menarik untuk didalami lebih
lanjut adalah bahwa ketika perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
aparatur negara tersebut terjadi, maka tuntutan pidana akan terlebih dahulu
dilakukan, namun apabila dugaan tindak pidana tidak cukup bukti dan
ternyata ada kerugian yang diderita negara, maka dapat dilakukan gugatan
125
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
secara perdata3.
Sampai saat ini masih belum ada kesamaan persepsi/pengertian
mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, apakah
dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana. Akibatnya adalah
bahwa banyak gugatan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh aparatur negara ditolak oleh majelis hakim dengan alasan adanya asas
kompetensi absolut yang dilanggar. Sebagai contoh adalah LSM Riau Madani
yang menggugat Pemkab Rohul terkait pengadaan genset sebesar Rp. 45
miliar ditolak majelis hakim Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian pada tanggal
11 Nov 2010, dengan alasan bahwa seharusnya yang di gugat dugaan tindak
pidana korupsi, bukan perkara perdata4. Kompetensi absolut atau wewenang
mutlak adalah menyangkut kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat
dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk
mengadili, dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmachts5.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, oleh karena itu,
penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam melalui sebuah artikel
ilmiah dengan rumusah masalah sebagai berikut:
Seberapa jauh suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
aparatur Negara telah dapat memenuhi unsur perbuatan pidana dan
perbuatan melawan hukum dalam asas-asas hukum perdata.
C. Metode Penelitian dan Bahan Penelitian
Penulisan ini akan mengkaji kualitas dari suatu norma sehingga
3 Lihat Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara
untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan”.
4 http://pekanbarumx.net/content/view/1292/53/
5 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori
dan praktek, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hal. 7
126
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
didapati suatu rekomendasi hukum dalam rangka pembaharuan hukum,
maka penulisan hukum yang digunakan adalah dengan metode penelitian
hukum normatif, dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian dengan
melakukan analisis terhadap asas perbuatan melawan hukum sebagai dasar
gugatan dan tuntutan. Asas perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur
dalam pasal 1365 KUHPerdata mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Dengan unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Ada
Suatu Perbuatan; 2) Perbuatan Itu Melawan Hukum; 3) Ada Kesalahan dari
Pelaku; 4) Ada Kerugian Korban; 5) Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan
dan Kerugian. Sementara dalam hukum pidana sebagai dasar tuntutan oleh
jaksa penuntut umum, pengertian perbuatan melawan hukum harus dilihat
dari sifat melawan hukumnya. Istilah sifat melawan hukum memiliki empat
makna. 1) Sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya
suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan
manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dapat dicela; 2) Kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik.
Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan. 3) Sifat melawan hukum formal mengandung
arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi; dan 4) Sifat melawan
hukum material.6
Pada penulisan hukum jenis ini, sering kali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas7. Untuk menilai kualitas dari
suatu norma hukum dengan sasaran agar tercipta suatu rekomendasi hukum
maka diperlukan pendekatan-pendekatan dalam penelitian hukum normatif.
6 Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 23 – 28
7 Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hal. 118
127
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dan
konseptual.
Bahan dalam penelitian kepustakaan ini terdiri: Data sekunder,
data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur. Data
sekunder dalam penelitian ini dibedakan menjadi: Pertama, bahan hukum
primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan memiliki kekuatan hukum
terdiri dari: Undang-undang Dasar 1945; Tap MPR RI No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme; UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember
1983, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23
Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18
Januari 1995; Asas-asas hukum yang berlaku umum. Kedua, Bahan hukum
sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum
primer berupa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, Journal, bukubuku ilmu hukum, majalah, koran, dan sebagainya yang berkaitan dengan
materi penelitian. Ketiga, bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier yaitu
bahan yang mendukung penjelasan bahan hukum primer dan sekunder.
Berupa kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus hukum.
D. Pembahasan
1. Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Perdata (Onrechtmatigedaad)
Perbuatan melawan hukum dalam hukum keperdataan dengan hukum
pidana mempunyai arti dan konotasi yang berbeda. Demikian juga dengan
perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan
onrechmatige overheidsdaad oleh penguasa, juga memiliki arti, konotasi serta
pengaturan hukum yang berbeda pula8. Perbuatan melawan hukum dibidang
keperdataan, dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan
dalam bahasa Inggris disebut dengan tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya
8 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra
Aditya, 2005), hal. 5
128
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum,
kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan
perdata yang bukan berasal dari wan prestasi dalam suatu perjanjian
kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut
onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara
Eropa Kontinental lainnya.
Kata tort berasal dari kata latin torquere atau tortus dalam bahasa
Perancis, seperti kata wrong berasal dari kata Perancis wrung yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan
dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan
melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan
dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere,
alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup
secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).
Dalam hukum perdata di Indonesia ada 2 (dua) jenis gugatan perdata
yang menjadi dasar sebuah gugatan, yaitu perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi. Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata menjadi dasar hukum atas
gugatan tersebut. Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Setiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”. Sementara Pasal 1367 KUHPerdata berbunyi: “majikan-majikan
dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusanurusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan
oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan
pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”.
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena
kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Menurut
Moegini Djodjodirdjo, perbuatan melawan hukum jikalau perbuatan tersebut
bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau
129
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan
yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau
barang9.
Bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan
kewenangan yang berasal dari suatu kaidah hukum, dimana yang diakui dalam
yurisprudensi, diakui adalah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, hak
atas kehormatan dan hak atas kekayaan. Bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri adalah berbuat atau melalaikan dengan bertentangan
dengan kaharusan atau larangan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan; Melanggar kesusilaan yang baik adalah perbuatan atau melalaikan
sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan, sepanjang
norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturan
hukum yang tidak tertulis. Sedangkan bertentangan dengan peraturan yang
diindahkan adalah bertentangan dengan sesuatu yang menurut hukum tidak
tertulis harus diindahkan dalam lalulintas masyarakat10.
Sedangkan menurut Hoge Raad, pengertian perbuatan melawan
hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang memperkosa
hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda
orang lain11.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung
unsur-unsur sebagai Berikut12:
9 M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pradya
Paramita, 1982), hal. 35
10 Ibid.
11Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, (Bandung: Bina Cipta,
1977), hal. 77- 78
12 Munir Fuady, Op, Cit, hal. 10
130
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
1. Ada Suatu Perbuatan
Perbuatan di sini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti
aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat
sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat,
kewajiban itu timbul dari hukum (ada pula kewajiban yang timbul dari
suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan hukum ini, harus tidak ada
unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang
diperberbolehkan seperti yang terdapat dalam suatu perjanjian kontrak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 KUHPerdata.
2. Perbuatan Itu Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919,
unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga
meliputi hal-hal sebagai telah disampaikan oleh M.A.Moegni Djojodirjo
tersebut diatas, yaitu perbuatan tersebut bertentangan dengan hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau
bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau bertentangan dengan
keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang
3. Ada Kesalahan dari Pelaku
Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat
dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus
mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan
perbuatan tersebut. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum
harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur
kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan,
sehingga dapat diminta pertanggungjawaban hukum, jika memenuhi
131
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
unsur- unsur sebagai berikut: a. Ada unsur kesengajaan b. Ada unsur
kelalaian (negligence, culpa) c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan
pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela
diri, tidak waras dan lain-lain13. Kesalahan yang diharuskan dalam
perbuatan melawan hukum adalah kesalahan dalam arti kesalahan hukum
dan kesalahan sosial. Dalam hal ini, hukum menafsirkan kesalahan itu
sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal,
yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap
demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan
wajar (reasonable man).
4. Ada Kerugian Korban
Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan
hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia. Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wan
prestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Gugatan berdasarkan wan prestasi hanya mengenal kerugian materil,
sedangkan dalam gugatan perbuatan melawan hukum selain mengandung
kerugian materil juga mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan
uang.
5. Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian.
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang
terjadi, merupakan syarat dari suatu perbuatan melan hukum. Untuk
hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan
faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara
faktual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang
secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian
adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan hukum, sebab akibat
jenis ini sering disebut hukum mengenai ”sine qua non” . Selanjutnya,
agar lebih praktis dan agar tercapai elemen kepastian hukum dan hukum
yang adil, maka lahirlah konsep sebab kira-kira (proximate cause).
13 Lihat: Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan
Kesatu, (Bandung: Bina Cipta, 1991), hal. 15 - 17
132
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
Teori ini, adalah bagian yang paling membingungkan dan paling banyak
pertentangan mengenai perbuatan melawan hukum ini. Kadang-kadang
teori ini disebut juga teori legal cause, penulis berpendapat, semakin
banyak orang mengtahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan
Semakin berkurang.
2. Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Pidana (Wederrechtelijk)
Sementara itu dalam ilmu pidana, perbuatan melawan hukum dilihat
dari sifatnya, mempunyai empat makna. Pertama, sifat melawan hukum
diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana
definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata
melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua
unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum
material14.
Khusus sifat melawan hukum material, melahirkan dua pandangan,
yaitu dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan
delik; dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum ini mengandung
pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di
masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, sifat melawan hukum material
dibagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif dan
fungsi positif. Sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif berarti
meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat
melawan hukum material dalam fungsi positif mengandung arti, meski
perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap
tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka
14 Komariah Supardjaja, Ibid.
133
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
perbuatan itu dapat dipidana15.
Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana
korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum
formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum
materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan
yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan
hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut dalam
hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan
hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31
Januari 1919.
Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi
perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui
yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung
RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum
bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan
yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan
pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan
hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari
pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata.
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi
maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan
melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai
alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas
maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan
tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan
pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui
kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi
rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi
15 Ibid, hal. 30
134
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/
negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak
memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang
menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi positif, terdapat
dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983
atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993,
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari
1995). Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan
putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru
pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan
peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan
redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran
terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu
hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang
menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum
yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang
sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur
berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit
memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada
pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail
dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat
khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila
seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta
keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai
negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang
135
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah
merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut
kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau
perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah
yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami
perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya
berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil
telah mempunyai fungsi positif. Konklusi dari apa yang telah diuraikan
konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan
dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam
fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila dijabarkan, walaupun yurisprudensi
tersebut bertitik tolak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam
perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, ajaran perbuatan melawan hukum
materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan
praktik peradilan.
3. Perbuatan Melawan Hukum oleh Aparatur Negara (Onrechtmatige
Overheidsdaad)
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa Pasal 1365 KUHPerdata
dan 1367 KUHPerdata, dalam perkembangannya, kata orang tidak hanya yang
dilakukan oleh orang perorangan, akan tetapi juga badan hukum termasuk
oleh penguasa. Pada tahun 1942, terdapat dua putusan dari Peradilan Tertinggi
di Negeri Belanda (Ostermann-arrest), yang menentukan bahwa Pemerintah
berdasarkan atas Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 BW Indonesia)
bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya
yang melanggar hukum perdata saja melainkan juga melanggar hukum
publik. Dengan putusan ini Pengadilan Perdata diperbolehkan menginjakkan
lapangan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan. Tanggung jawab negara atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah ini
136
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad.16
Dalam kaitan ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
aparatur negara dapat dibedakan kedalam: Nonfeasance, yakni merupakan
tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. Misfeasance, yakni
merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana
merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunya hak
melakukannya. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan
padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya17. Perbuatan alatperlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat,
apabila Pemerintah memakai kekuasaannya menurut Hukum Publik itu
untuk tujuan yang tidak dimaksudkan oleh Hukum Publik itu, atau dalaman
bahasa Prancis kalau ada ‘detournement de pouvoir’. Sekiranya juga dapat
dikatakan, bahwa perbuatan Pemerintah tidak pantas dalam masyarakat,
apabila perbuatannya bersifat sewenang-wenang (willekeur).
Di Indonesia sendiri, putusan MA menunjukkan perkembangan sama.
Misalkan saja Putusan MA Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969
kurang lebih menyatakan: Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus
gugatan terhadap Pemerintah RI. (Kasus Oentoeng Sediatmo melawan
Kejaksaan Agung). Kemudian putusan MA No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31
Oktober 1974 yang berbunyi antara lain, Berdasarkan yurisprudensi perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi
Pengadilan Negeri/Umum. (Kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah
Daerah Kabupaten Panarukan cs.). Lalu, mengenai luas pengertian PMH
bisa dilihat putusan MA Nomor 838 K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971
yang berbunyi kira-kira sebagai berikut: Hal perbuatan melawan hukum oleh
Penguasa harus dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku, dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya
dipatuhi oleh Penguasa (Kasus W. Josopandojo melawan Pemerintah DKI
Jakarta Raya)
16 Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Jakarta: Ichtiar, 1974), hal. 30
17 Munir Fuady, Op., cit, hal. 1-9
137
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
Semenjak diberlakukan UU No. 5 Tahun 1986 yang dirubah dengan
UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986
tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, PTUN yang berwenang mengadili
terkait sengketa tata usaha negara (TUN), dimana sengketa tersebut timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun didaerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk didalamnya sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dianggap keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata,
oleh UU dianggap tidak termasuk kompetensi absolut PTUN. Sehingga pada
dasarnya jika terjadi PMH oleh penguasa terkait perbuatan hukum perdata
(di luar objek PTUN mengadili) masih tetap menjadi kewenangan Peradilan
Umum untuk mengadilinya.
Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum oleh penguasa
atau aparatur negara mengalami pasang surut. Kalau dahulu negara tidak
dapat digugat dengan alasan bahwa hal tersebut masuk dalam hukum publik
sehingga tidak ada dasar untuk menggugat di wilayah privat. Namun demikian,
banyaknya hak perorangan yang diperkosa atau dizalimi oleh negara cq
penguasa ditambah lagi banyak conflict of interest dari negara cq penguasa
menyebabkan negara dapat ditarik ke dalam ruang privat dan bertanggung
jawab dalam perbuatan melawan hukum.
Dengan demikian, untuk dapat menarik penguasa atau aparatur negara
dalam ruang privat perlu dicari kriteria perbuatan melawan hukumnya, yaitu;
(1) Apakah aparatur negara dalam bertindak dan melakukan perbuatan
berdasarkan pada aturan hukum atau tidak. Karena apabila aparatur negara cq
penguasa bertindak tanpa dasar hukum atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku maka negara dapat dikatakan telah melakukan perbuatan
melawan hukum. (2) Apabila tindakan aparatur negara cq penguasa tersebut
berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang perlu dilihat
apakah aparatur negara cq penguasa tersebut bertindak berdasarkan ukuran
kepantasan artinya apakah tindakan aparatur negara cq penguasa itu sesuai
atau tidak dengan maksud dan tujuan dari peraturan perundang-undangan.
138
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
(3) Apabila aparatur negara cq penguasa bertindak demi “kepentingan
umum” harus dipertanyakan apakah alasan atau tindakan demi “kepentingan
umum” itu penting atau tidak penting untuk dilakukan. Karena tindakan
untuk mendahulukan kepentingan umum tetapi tidak begitu penting dan
mengorbankan kepentingan perorangan yang lebih penting dan mendesak
menyebabkan negara dapat dituntut dengan PMH. (4). Apakah ada unsur
kesewenang-wenangan aparatur negara cq penguasa.
Sebagai contoh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
aparatur negara cq pemerintah adalah sebagai berikut: Pada tanggal 11
Desember 1968, Gubernur DKI Jaya, mengeluarkan Keputusan untuk
memerintahkan agar ruangan-ruangan sengketa rumah Jalan Gajah Mada
No. 9 yang disewa oleh W. Josopandojo (Penggugat) harus diserahkan
kepada Ali Husin Tajibally (Tergugat II), dengan alasan ruangan tersebut
dipergunakan untuk tempat usaha yang seharusnya untuk tempat tinggal.
Hal itu menyebabkan Pemerintah DKI Jaya digugat dengan alasan perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 216/1969/G
pada tanggal 25 Oktober 1969 mengabulkan gugatan tersebut dengan
menyatakan Pemerintah DKI Jaya selaku Tergugat I telah melakukan
perbuatan melanggar hukum. Pengadilan memutuskan pula mengangkat
penyegelan yang dilakukan Tergugat I. Sebagai pertimbangan antara lain,
bahwa Tergugat I tidak menghiraukan pasal 10 PP No. 49/1963 tentang
pertimbangan ekonomi dan keadilan sosial. Oleh karena itu Pengadilan Negeri
mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, kecuali mengenai tuntutan
ganti rugi. Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding 7 September
1970 menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Ditambahkan dalam
pertimbangan hukumnya, bahwa jalan di mana rumah terletak adalah untuk
pertokoan tidak khusus untuk perumahan dan Penggugat sebelum 1942 telah
menempati rumah tersebut bukan berdasarkan SIP tetapi berdasarkan sewa
menyewa tanpa batas waktu.
139
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya
No. 838K/Sip/1970 telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri tersebut. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung
menyatakan :
1. bahwa judex-factie telah salah menerapkan pasal 10 PP No. 49/1963
di atas dengan menganggap bahwa Penggugat masih menggunakan
secara layak rumah yang disewanya walaupun telah disewakan secara
di bawah tangan dan menjadikan ruangan-ruangan sengketa untuk
usaha di bidang perdagangan dan jasa-jasa;
2. bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa harus diukur
dengan UU, peraturan-peraturan formal yang berlaku (khususnya
undang-undang dan peraturan-peraturan tentang perumahan) dan
kepatutan dalam masyarakat, yang dalam hal ini semua tidak ada yang
dilanggar oleh Kepala Daerah (Tergugat I);
3. bahwa penilaian tentang faktor sosial ekonomi dari penyewa dan
pemilik adalah wewenang Kepala Daerah sebagai Penguasa dan
harus dianggap sebagai perbuatan kebijaksanaan penguasa yang tidak
termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau
wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar undang-undang dan
peraturan formal atau melewati batas kepatutan dalam masyarakat
yang dalam perkara ini tidak terbukti adanya;
4. bahwa judex - facti telah keliru menetrapkan hukum dengan tidak
membedakan perbuatan-perbuatan Penguasa yang berupa “tindakan
kebijaksanaan penguasa” dengan perbuatan melanggar hukum oleh
Penguasa.
Pertimbangan-pertimbangan hukum dalam yurisprudensi tersebut di
atas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung baru-baru ini telah dibandingkan
dengan keputusan Hoge Raad di negeri Belanda dalam perkara Ostermann
(Oestermann Arrest HR 20 Nopember 1924). E. Ostremann seorang pedagang
mewakili firma E. Oestermann & Co di Amsterdam telah menggugat
Pemerintah Belanda di Den Haag. Oestermann merasa dirugikan, karena
140
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
barang-barang ekspornya tak dapat dikirim, sebab pejabat-pejabat yang
bersangkutan dengan pengisian pernyataan untuk dapat dikirimkannya
barang-barang tersebut menolak untuk mengisi surat-surat yang diperlukan.
Pemerintah Belanda digugat atas dasar perbuatan melanggar hukum.
Perumusan “perbuatan melanggar hukum” oleh Penguasa menurut
Surat Edaran MA tersebut di Negeri Belanda sendiri telah mengalami
perubahan-perubahan. Keputusan dalam “Oestermann Arrest” banyak
mendapat kritik. Di samping itu yurisprudensi di Negeri Belanda sendiri
mengenai tanggung jawab negara dalam hal kerugian yang ditimbulkan
karena perbuatan atau kelalaiannya ternyata juga tidak tetap. Sebagai contoh
adalah pertimbangan Hoge Raad dalam Strooppot Arrest 1928 G. Rijsdjk
pedagang di Zwijndrecht telah menggugat Pemerintah Belanda, karena
pekerjaan peninggian dan penutupan dengan cara demikian rupa sehingga
kanal Strooppot menjadi dangkal. Hal tersebut mengakibatkan Penggugat
tidak dapat mempergunakan Strooppot sebagai alur pelayaran menuju
perusahaan perkapalannya. Menurut Surat Edaran MA terdapat empat unsur
dalam pengertian perbuatan melanggar hukum sesudah tahun 1919, yaitu :
1. Pelanggaran terhadap hak subyektif dari orang lain.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri.
3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik.
4. Bertentangan dengan kepatutan yang ada dalam masyarakat.
Maka Strooppot Arrest juga mengeluarkan dua unsur terakhir dalam
pengertian tersebut, sehingga unsur bertentangan dengan kesusilaan yang
baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat tadi tidak dapat diterapkan
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Penguasa.
Surat Edaran tersebut dikeluarkan seakan-akan karena empat hal: 1.
banyaknya gugatan terhadap Pemerintah dengan dasar perbuatan melanggar
hukum oleh Penguasa; 2. gugatan itu timbul karena kerugian-kerugian yang
diderita oleh individu-individu disebabkan tindakan-tindakan Pemerintah
dalam pelaksanaan pembangunan; 3. padahal tindakan-tindakan Pemerintah
tersebut adalah untuk kepentingan umum; 4. perlu keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan umum.
141
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
Menarik untuk disimak adalah perbedaan penafsiran kata “kepentingan
umum” diantara hakim. Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur dalam
putusannya No. 69/1973G dalam perkara antara Soritoan Harahap (Penggugat)
lawan Yayasan Pulo Mas (Tergugat I) dan Pemerintah RI cq Gubernur KDH
Jaya cq Walikota Jakarta Timur (Tergugat II) telah menyatakan, bahwa
perumahan yang akan dibangun oleh Tergugat I, walaupun sesuai dengan
peruntukkan rencana Pemerintah DKI, tidaklah dapat diartikan sebagai
demi “kepentingan umum” menurut UU No. 20 Tahun 1961 jo. Lampiran
Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang
Ada di Atasnya. (Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1973). Sebagai alasannya
Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa bila bangunan rumah sudah selesai
kelak akan dijual kepada umum secara perdagangan dalam arti perhitungan
untung rugi. Ditambahkan lagi, bilamana rumah sudah dijual, kepada pembeli
diperkenankan memperoleh hak atas tanah.
Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding telah membatalkan
keputusan Pengadilan Negeri tersebut, dengan pertimbangan bahwa
penguasaan tanah oleh Pemerintah DKI Jaya atas dasar SK Menteri Pertanian
dan Agraria No. SK VI/ 9/Ka/64 10 April 1964 adalah sah dan Yayasan Pulo
Mas telah diberi wewenang sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jaya.
Berdasarkan hal itu Pemerintah DKI Jaya mempunyai wewenang
meliputi pengosongan tanah dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya
dan bagi mereka yang meninggalkan tanah dan bangunan itu Pemerintah
telah menyediakan tempat penampungan diserta biaya pindah. Dalam tingkat
kasasi, Mahkamah Agung RI telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya. Sebagai
pertimbangannya antara lain disebutkan bahwa penguasaan tanah dan
bangunan seperti yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian dan Agraria
No. SK/9/Ka/64 pada hakekatnya adalah pencabutan hak. Keputusan Menteri
tersebut harus segera diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkan
atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu (Pasal 6 ayat
2 UU No. 20/1961). Keputusan Presiden yang dimaksud mengenai hal ini,
yang mana adalah suatu keharusan/syarat mutlak, tidak pernah dikeluarkan.
142
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
Bandingkanlah perkara ini dengan “kasus hotel “Yen Pin”, di mana
dengan suatu Keputusan Presiden telah dilakukan pencabutan hak atas tanah dan
bangunan hotel tersebut untuk suatu pern bangunan proyek baru. Kasus-kasus
tersebut di atas dapat kita bandingkan lagi dengan perkara gugatan Nungtjik
Djahri Cs (Penggugat) lawan Gubernur DKI Jaya cq Walikota Jakarta Timur
mengenai tanah untuk terminal bus Pulo Gadung. Pengadilan Negeri Jakarta
Timur dalam putusannya no. 151/1975 G 6 Januari 1976 mempertimbangkan,
bahwa keberatan Penggugat atas tindakan Kamtib melakukan pembongkaran
milik para Penggugat dapat dirasakan, jika tidak ada alasan-alasan mendesak
tentunya melalui proses hukum sebagaimana mestinya, atau sebaliknya tidak
dapat meniadakan kepentingan umum yang sangat mendesak penyelesaian
dan pelaksanaannya dalam rangka pembangunan terminal bus yang sungguhsungguh merupakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi “kepentingan
umum” dapat dibagi dalam dua pengertian: 1. Langsung untuk pelayanan
masyarakat semata-mata, yang hampir seluruhnya diselenggarakan oleh
Pemerintah tanpa menghitung untung rugi. 2. Pelayanan masyarakat dalam
rangka peningkatan pembangunan yang pelaksanaannya diserahkan kepada
sektor swasta dengan dorongan pemerintah. Unsur untung rugi adalah
dominan.
Dengan demikian dapatlah dibedakan proyek untuk kantor Departemen
Pemerintah dengan gedung perkantoran swasta, Puskesmas dengan poliklinik
swasta, asrama dengan hotel, pasar Inpres dengan Super Market, jalan,
jembatan, perumahan pegawai dengan suatu kompleks perumahan real estate,
tanah-tanah untuk perkebunan swasta dengan tanah-tanah untuk transmigran.
Adalah tidak adil jika dalam proyek-proyek yang di dalamnya unsur untung
rugi dominan, akhimya keuntungan hanya dikecap oleh sekelompok orang
(pengusaha) dengan mengorbankan pihak lainnya.
Jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi oleh perbuatan aparatur negara
cq pemerintah, maka kewenangan untuk melakukan gugatan berada pada
peradilan perdata dengan mendasar pada Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata.
Namun jika aparatur negara cq pemerintah telah melakukan perbuatan yang
143
Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara...
tidak berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak berdasar
pada asas kepantasan dan kepentingan umum, yang menimbulkan kerugian
materiil dan/atau perekonomian negara, maka aparatur negara cq pemerintah
tersebut dapat dilakukan tuntutan pidana dengan mendasar pada UU Tindak
Pidana Korupsi. Dengan ketentuan bahwa aparatur negara tersebut sesuai
dengan pengertian aparatur negara atau pegawai negeri dalam UU Tindak
Pidana Korupsi, yaitu: 1) pegawai negeri sebagaimana undang-undang
tentang Kepegawaian; 2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 3) orang yang menerima gaji atau
upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau
upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah; atau 5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
E. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tuntutan perbuatan
melawan hukum oleh aparatur negara dalam bidang publik merupakan bagian
dari perkembangan definisi perbuatan melawan hukum yang ada dalam
hukum perdata (privat) dan juga tuntutan pidana tersebut merupakan bagian
dari penjabaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Bahwa
perbuatan melawan hukum dalam pidana (wederrechtelijk), khususnya
perbuatan melawan hukum materiil mendapat pengaruh kuat dari pengertian
perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Khusus tindak
pidana korupsi telah diatur dalam pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999
Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ketentuan
bahwa aparatur negara tersebut telah sesuai dengan kriteria sebagaimana
disebut dalam Pasal 1 UU Tindak Pidana Korupsi. Selebihnya perbuatan
melawan hukum oleh aparatur negara (onrechtmatige overheidsdaad) dapat
dilakukan gugatan secara perdata.
144
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006
Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Hukum oleh Penguasa
(Onrechtmatige Overheidsdaad) Tahun 1950 sampai dengan 1977,
Bandung: Bina Cipta, 1978
Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam
Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan
Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer,
Bandung: Citra Aditya, 2005
M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua,
Jakarta: Pradya Paramita, 1982.
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan
Kesatu, Bandung: Bina Cipta, 1991
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung: Bina
Cipta, 1977
Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta: Ichtiar, 1974
Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember
1983.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993,
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995
145
Download