Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 MEREKONSTRUKSI PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH APARATUR NEGARA KE DALAM GUGATAN ATAU TUNTUTAN Velliana Tanaya Fakultas Hukum UPH, Karawaci [email protected] Abstract Initiatives to improve the Indonesian civil wrong or tort system (onrechtmatige overheidsdaad) requires revisiting the elements of tort in order to uphold the principle of jurisdictional competence. This is particularly relevant in the case of state officials who commit Perbuatan Melawan Hukum which are also deemed as corrupt practices falling under the purview of Law No 20 Year 2001 regarding Corruption. Article 32 paragraph (1) Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 guarantees remedies against corrupt acts by the state apparatus. Currently claims against state officials are also actionable as a tort in civil law (private) or as a crime (wederrechtelijk) under the Kitab Undang-undang Hukum Pidana and other statutes regulating corruption. In view of the alternative causes of actions available, the issue of proper characterization of unlawful acts is crucial in view of its implications on jurisdiction, and other substantive aspects of the claim including the determination of remedies and compensation to injured parties, and must be addressed in current efforts to improve the Indonesian tort system. Keywords: tort, the state apparatus A. Latar Belakang Apabila mendengar kata ‘Reformasi’, mungkin bukan hal yang baru lagi ditelinga kita, atau bahkan kita sudah tidak perduli lagi dengan makna reformasi itu sendiri. Padahal, reformasi merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda pembaharuan tata kelola dan tata perilaku nasional. Reformasi hukum yang di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat 123 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... Peraturan Desa dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kearah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum telah tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform). Menarik untuk dikaji disini adalah adanya reformasi kelembagaan (institutional reform), yang sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan reformasi kelembagaan hukum (judikatif) yang selama masa Orde Baru dilindas oleh kekuasaan eksekutif. Sejalan dengan diberlakukannya reformasi kelembagaan pada lembaga hukum, reformasi kelembagaan ini mulai juga diterapkan pada kelembagaan eksekutif, atau yang disebut dengan alat kelengkapan negara atau aparatur negara. Selama Orde Baru juga, kinerja aparatur negara ini turut ambil bagian dalam runtuhnya pondasi pembangunan negara yang melahirkan apa yang dinamakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bahkan penyakit yang bernama KKN ini, masuk dalam agenda Ketetapan MPR RI1 untuk segera dihapuskan dalam lingkungan aparatur negara. Termasuk didalamnya adalah perbuatan alat kelengkapan negara atau aparatur negara yang melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Sebenarnya topik perbuatan pejabat publik yang melakukan perbuatan melawan hukum ini bukan hal yang baru. Masih ingat kasus Mobil Nasional (Mobnas)? Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara2. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di 1 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. 124 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha. Kasus Mobnas bukan satu-satunya kasus tentang penyalahgunaan oleh aparatur negara, semenjak bergulirnya era reformasi pun, kasus serupa Mobnas masih banyak ditemui. Masih ingat juga kasus Pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan sebesar Rp. 730 Miliar? Kasus Sisminbakum? Kasus Century? Atau lupakah dengan kasus Gayus Tambunan Penggelap Pajak?. Kasus-kasus tersebut adalah kasus-kasus yang melibatkan diskresi pejabat publik yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara ataupun perekonomian negara. Saat ini yang terjadi adalah, bahwa kasus-kasus tersebut kemudian masuk kedalam wilayah hukum pidana dengan melihat bahwa perbuatan yang dilakukannya masuk dalam unsur tindak pidana. Dengan demikian, bukan lagi menjadi gugatan tetapi berubah menjadi tuntutan oleh penuntut umum atau lembaga yang berwenang untuk itu. Adanya peralihan fungsi peradilan dari gugatan menjadi tuntutan pada saat ini, tidak menyurutkan para aparatur negara untuk tidak henti-hentinya melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan umum, khususnya kerugian yang ditanggung oleh negara. Yang menarik untuk didalami lebih lanjut adalah bahwa ketika perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara tersebut terjadi, maka tuntutan pidana akan terlebih dahulu dilakukan, namun apabila dugaan tindak pidana tidak cukup bukti dan ternyata ada kerugian yang diderita negara, maka dapat dilakukan gugatan 125 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... secara perdata3. Sampai saat ini masih belum ada kesamaan persepsi/pengertian mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, apakah dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana. Akibatnya adalah bahwa banyak gugatan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara ditolak oleh majelis hakim dengan alasan adanya asas kompetensi absolut yang dilanggar. Sebagai contoh adalah LSM Riau Madani yang menggugat Pemkab Rohul terkait pengadaan genset sebesar Rp. 45 miliar ditolak majelis hakim Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian pada tanggal 11 Nov 2010, dengan alasan bahwa seharusnya yang di gugat dugaan tindak pidana korupsi, bukan perkara perdata4. Kompetensi absolut atau wewenang mutlak adalah menyangkut kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmachts5. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam melalui sebuah artikel ilmiah dengan rumusah masalah sebagai berikut: Seberapa jauh suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur Negara telah dapat memenuhi unsur perbuatan pidana dan perbuatan melawan hukum dalam asas-asas hukum perdata. C. Metode Penelitian dan Bahan Penelitian Penulisan ini akan mengkaji kualitas dari suatu norma sehingga 3 Lihat Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”. 4 http://pekanbarumx.net/content/view/1292/53/ 5 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hal. 7 126 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 didapati suatu rekomendasi hukum dalam rangka pembaharuan hukum, maka penulisan hukum yang digunakan adalah dengan metode penelitian hukum normatif, dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian dengan melakukan analisis terhadap asas perbuatan melawan hukum sebagai dasar gugatan dan tuntutan. Asas perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Ada Suatu Perbuatan; 2) Perbuatan Itu Melawan Hukum; 3) Ada Kesalahan dari Pelaku; 4) Ada Kerugian Korban; 5) Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian. Sementara dalam hukum pidana sebagai dasar tuntutan oleh jaksa penuntut umum, pengertian perbuatan melawan hukum harus dilihat dari sifat melawan hukumnya. Istilah sifat melawan hukum memiliki empat makna. 1) Sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela; 2) Kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. 3) Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi; dan 4) Sifat melawan hukum material.6 Pada penulisan hukum jenis ini, sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas7. Untuk menilai kualitas dari suatu norma hukum dengan sasaran agar tercipta suatu rekomendasi hukum maka diperlukan pendekatan-pendekatan dalam penelitian hukum normatif. 6 Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 23 – 28 7 Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 118 127 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan dalam penelitian kepustakaan ini terdiri: Data sekunder, data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur. Data sekunder dalam penelitian ini dibedakan menjadi: Pertama, bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan memiliki kekuatan hukum terdiri dari: Undang-undang Dasar 1945; Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995; Asas-asas hukum yang berlaku umum. Kedua, Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer berupa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, Journal, bukubuku ilmu hukum, majalah, koran, dan sebagainya yang berkaitan dengan materi penelitian. Ketiga, bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang mendukung penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Berupa kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus hukum. D. Pembahasan 1. Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Perdata (Onrechtmatigedaad) Perbuatan melawan hukum dalam hukum keperdataan dengan hukum pidana mempunyai arti dan konotasi yang berbeda. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad oleh penguasa, juga memiliki arti, konotasi serta pengaturan hukum yang berbeda pula8. Perbuatan melawan hukum dibidang keperdataan, dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut dengan tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya 8 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya, 2005), hal. 5 128 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wan prestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata tort berasal dari kata latin torquere atau tortus dalam bahasa Perancis, seperti kata wrong berasal dari kata Perancis wrung yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). Dalam hukum perdata di Indonesia ada 2 (dua) jenis gugatan perdata yang menjadi dasar sebuah gugatan, yaitu perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata menjadi dasar hukum atas gugatan tersebut. Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Sementara Pasal 1367 KUHPerdata berbunyi: “majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusanurusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Menurut Moegini Djodjodirdjo, perbuatan melawan hukum jikalau perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau 129 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang9. Bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan kewenangan yang berasal dari suatu kaidah hukum, dimana yang diakui dalam yurisprudensi, diakui adalah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, hak atas kehormatan dan hak atas kekayaan. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah berbuat atau melalaikan dengan bertentangan dengan kaharusan atau larangan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan; Melanggar kesusilaan yang baik adalah perbuatan atau melalaikan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan, sepanjang norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis. Sedangkan bertentangan dengan peraturan yang diindahkan adalah bertentangan dengan sesuatu yang menurut hukum tidak tertulis harus diindahkan dalam lalulintas masyarakat10. Sedangkan menurut Hoge Raad, pengertian perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang memperkosa hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain11. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai Berikut12: 9 M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), hal. 35 10 Ibid. 11Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, (Bandung: Bina Cipta, 1977), hal. 77- 78 12 Munir Fuady, Op, Cit, hal. 10 130 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 1. Ada Suatu Perbuatan Perbuatan di sini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan hukum ini, harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperberbolehkan seperti yang terdapat dalam suatu perjanjian kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 KUHPerdata. 2. Perbuatan Itu Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti seluas-luasnya, sehingga meliputi hal-hal sebagai telah disampaikan oleh M.A.Moegni Djojodirjo tersebut diatas, yaitu perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Adalah kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang 3. Ada Kesalahan dari Pelaku Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban hukum, jika memenuhi 131 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... unsur- unsur sebagai berikut: a. Ada unsur kesengajaan b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa) c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain13. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan hukum adalah kesalahan dalam arti kesalahan hukum dan kesalahan sosial. Dalam hal ini, hukum menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man). 4. Ada Kerugian Korban Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan hukum wan prestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan berdasarkan wan prestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan dalam gugatan perbuatan melawan hukum selain mengandung kerugian materil juga mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan uang. 5. Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian. Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi, merupakan syarat dari suatu perbuatan melan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut hukum mengenai ”sine qua non” . Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapai elemen kepastian hukum dan hukum yang adil, maka lahirlah konsep sebab kira-kira (proximate cause). 13 Lihat: Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, (Bandung: Bina Cipta, 1991), hal. 15 - 17 132 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 Teori ini, adalah bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai perbuatan melawan hukum ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori legal cause, penulis berpendapat, semakin banyak orang mengtahui hukum, maka perbuatan melawan hukum akan Semakin berkurang. 2. Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Pidana (Wederrechtelijk) Sementara itu dalam ilmu pidana, perbuatan melawan hukum dilihat dari sifatnya, mempunyai empat makna. Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum material14. Khusus sifat melawan hukum material, melahirkan dua pandangan, yaitu dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik; dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum ini mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, sifat melawan hukum material dibagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum material dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum material dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka 14 Komariah Supardjaja, Ibid. 133 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... perbuatan itu dapat dipidana15. Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi 15 Ibid, hal. 30 134 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/ negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi positif, terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995). Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.” Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang 135 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.” Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi positif. Konklusi dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik tolak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan. 3. Perbuatan Melawan Hukum oleh Aparatur Negara (Onrechtmatige Overheidsdaad) Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dan 1367 KUHPerdata, dalam perkembangannya, kata orang tidak hanya yang dilakukan oleh orang perorangan, akan tetapi juga badan hukum termasuk oleh penguasa. Pada tahun 1942, terdapat dua putusan dari Peradilan Tertinggi di Negeri Belanda (Ostermann-arrest), yang menentukan bahwa Pemerintah berdasarkan atas Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 BW Indonesia) bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya yang melanggar hukum perdata saja melainkan juga melanggar hukum publik. Dengan putusan ini Pengadilan Perdata diperbolehkan menginjakkan lapangan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan. Tanggung jawab negara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah ini 136 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad.16 Dalam kaitan ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dapat dibedakan kedalam: Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunya hak melakukannya. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya17. Perbuatan alatperlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat, apabila Pemerintah memakai kekuasaannya menurut Hukum Publik itu untuk tujuan yang tidak dimaksudkan oleh Hukum Publik itu, atau dalaman bahasa Prancis kalau ada ‘detournement de pouvoir’. Sekiranya juga dapat dikatakan, bahwa perbuatan Pemerintah tidak pantas dalam masyarakat, apabila perbuatannya bersifat sewenang-wenang (willekeur). Di Indonesia sendiri, putusan MA menunjukkan perkembangan sama. Misalkan saja Putusan MA Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969 kurang lebih menyatakan: Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan terhadap Pemerintah RI. (Kasus Oentoeng Sediatmo melawan Kejaksaan Agung). Kemudian putusan MA No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31 Oktober 1974 yang berbunyi antara lain, Berdasarkan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri/Umum. (Kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah Daerah Kabupaten Panarukan cs.). Lalu, mengenai luas pengertian PMH bisa dilihat putusan MA Nomor 838 K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971 yang berbunyi kira-kira sebagai berikut: Hal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa harus dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa (Kasus W. Josopandojo melawan Pemerintah DKI Jakarta Raya) 16 Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Jakarta: Ichtiar, 1974), hal. 30 17 Munir Fuady, Op., cit, hal. 1-9 137 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... Semenjak diberlakukan UU No. 5 Tahun 1986 yang dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, PTUN yang berwenang mengadili terkait sengketa tata usaha negara (TUN), dimana sengketa tersebut timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk didalamnya sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dianggap keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, oleh UU dianggap tidak termasuk kompetensi absolut PTUN. Sehingga pada dasarnya jika terjadi PMH oleh penguasa terkait perbuatan hukum perdata (di luar objek PTUN mengadili) masih tetap menjadi kewenangan Peradilan Umum untuk mengadilinya. Perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum oleh penguasa atau aparatur negara mengalami pasang surut. Kalau dahulu negara tidak dapat digugat dengan alasan bahwa hal tersebut masuk dalam hukum publik sehingga tidak ada dasar untuk menggugat di wilayah privat. Namun demikian, banyaknya hak perorangan yang diperkosa atau dizalimi oleh negara cq penguasa ditambah lagi banyak conflict of interest dari negara cq penguasa menyebabkan negara dapat ditarik ke dalam ruang privat dan bertanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, untuk dapat menarik penguasa atau aparatur negara dalam ruang privat perlu dicari kriteria perbuatan melawan hukumnya, yaitu; (1) Apakah aparatur negara dalam bertindak dan melakukan perbuatan berdasarkan pada aturan hukum atau tidak. Karena apabila aparatur negara cq penguasa bertindak tanpa dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku maka negara dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. (2) Apabila tindakan aparatur negara cq penguasa tersebut berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang perlu dilihat apakah aparatur negara cq penguasa tersebut bertindak berdasarkan ukuran kepantasan artinya apakah tindakan aparatur negara cq penguasa itu sesuai atau tidak dengan maksud dan tujuan dari peraturan perundang-undangan. 138 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 (3) Apabila aparatur negara cq penguasa bertindak demi “kepentingan umum” harus dipertanyakan apakah alasan atau tindakan demi “kepentingan umum” itu penting atau tidak penting untuk dilakukan. Karena tindakan untuk mendahulukan kepentingan umum tetapi tidak begitu penting dan mengorbankan kepentingan perorangan yang lebih penting dan mendesak menyebabkan negara dapat dituntut dengan PMH. (4). Apakah ada unsur kesewenang-wenangan aparatur negara cq penguasa. Sebagai contoh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara cq pemerintah adalah sebagai berikut: Pada tanggal 11 Desember 1968, Gubernur DKI Jaya, mengeluarkan Keputusan untuk memerintahkan agar ruangan-ruangan sengketa rumah Jalan Gajah Mada No. 9 yang disewa oleh W. Josopandojo (Penggugat) harus diserahkan kepada Ali Husin Tajibally (Tergugat II), dengan alasan ruangan tersebut dipergunakan untuk tempat usaha yang seharusnya untuk tempat tinggal. Hal itu menyebabkan Pemerintah DKI Jaya digugat dengan alasan perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 216/1969/G pada tanggal 25 Oktober 1969 mengabulkan gugatan tersebut dengan menyatakan Pemerintah DKI Jaya selaku Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Pengadilan memutuskan pula mengangkat penyegelan yang dilakukan Tergugat I. Sebagai pertimbangan antara lain, bahwa Tergugat I tidak menghiraukan pasal 10 PP No. 49/1963 tentang pertimbangan ekonomi dan keadilan sosial. Oleh karena itu Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, kecuali mengenai tuntutan ganti rugi. Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding 7 September 1970 menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Ditambahkan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa jalan di mana rumah terletak adalah untuk pertokoan tidak khusus untuk perumahan dan Penggugat sebelum 1942 telah menempati rumah tersebut bukan berdasarkan SIP tetapi berdasarkan sewa menyewa tanpa batas waktu. 139 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 838K/Sip/1970 telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri tersebut. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan : 1. bahwa judex-factie telah salah menerapkan pasal 10 PP No. 49/1963 di atas dengan menganggap bahwa Penggugat masih menggunakan secara layak rumah yang disewanya walaupun telah disewakan secara di bawah tangan dan menjadikan ruangan-ruangan sengketa untuk usaha di bidang perdagangan dan jasa-jasa; 2. bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa harus diukur dengan UU, peraturan-peraturan formal yang berlaku (khususnya undang-undang dan peraturan-peraturan tentang perumahan) dan kepatutan dalam masyarakat, yang dalam hal ini semua tidak ada yang dilanggar oleh Kepala Daerah (Tergugat I); 3. bahwa penilaian tentang faktor sosial ekonomi dari penyewa dan pemilik adalah wewenang Kepala Daerah sebagai Penguasa dan harus dianggap sebagai perbuatan kebijaksanaan penguasa yang tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar undang-undang dan peraturan formal atau melewati batas kepatutan dalam masyarakat yang dalam perkara ini tidak terbukti adanya; 4. bahwa judex - facti telah keliru menetrapkan hukum dengan tidak membedakan perbuatan-perbuatan Penguasa yang berupa “tindakan kebijaksanaan penguasa” dengan perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa. Pertimbangan-pertimbangan hukum dalam yurisprudensi tersebut di atas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung baru-baru ini telah dibandingkan dengan keputusan Hoge Raad di negeri Belanda dalam perkara Ostermann (Oestermann Arrest HR 20 Nopember 1924). E. Ostremann seorang pedagang mewakili firma E. Oestermann & Co di Amsterdam telah menggugat Pemerintah Belanda di Den Haag. Oestermann merasa dirugikan, karena 140 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 barang-barang ekspornya tak dapat dikirim, sebab pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan pengisian pernyataan untuk dapat dikirimkannya barang-barang tersebut menolak untuk mengisi surat-surat yang diperlukan. Pemerintah Belanda digugat atas dasar perbuatan melanggar hukum. Perumusan “perbuatan melanggar hukum” oleh Penguasa menurut Surat Edaran MA tersebut di Negeri Belanda sendiri telah mengalami perubahan-perubahan. Keputusan dalam “Oestermann Arrest” banyak mendapat kritik. Di samping itu yurisprudensi di Negeri Belanda sendiri mengenai tanggung jawab negara dalam hal kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan atau kelalaiannya ternyata juga tidak tetap. Sebagai contoh adalah pertimbangan Hoge Raad dalam Strooppot Arrest 1928 G. Rijsdjk pedagang di Zwijndrecht telah menggugat Pemerintah Belanda, karena pekerjaan peninggian dan penutupan dengan cara demikian rupa sehingga kanal Strooppot menjadi dangkal. Hal tersebut mengakibatkan Penggugat tidak dapat mempergunakan Strooppot sebagai alur pelayaran menuju perusahaan perkapalannya. Menurut Surat Edaran MA terdapat empat unsur dalam pengertian perbuatan melanggar hukum sesudah tahun 1919, yaitu : 1. Pelanggaran terhadap hak subyektif dari orang lain. 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri. 3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik. 4. Bertentangan dengan kepatutan yang ada dalam masyarakat. Maka Strooppot Arrest juga mengeluarkan dua unsur terakhir dalam pengertian tersebut, sehingga unsur bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat tadi tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Penguasa. Surat Edaran tersebut dikeluarkan seakan-akan karena empat hal: 1. banyaknya gugatan terhadap Pemerintah dengan dasar perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa; 2. gugatan itu timbul karena kerugian-kerugian yang diderita oleh individu-individu disebabkan tindakan-tindakan Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan; 3. padahal tindakan-tindakan Pemerintah tersebut adalah untuk kepentingan umum; 4. perlu keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. 141 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... Menarik untuk disimak adalah perbedaan penafsiran kata “kepentingan umum” diantara hakim. Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur dalam putusannya No. 69/1973G dalam perkara antara Soritoan Harahap (Penggugat) lawan Yayasan Pulo Mas (Tergugat I) dan Pemerintah RI cq Gubernur KDH Jaya cq Walikota Jakarta Timur (Tergugat II) telah menyatakan, bahwa perumahan yang akan dibangun oleh Tergugat I, walaupun sesuai dengan peruntukkan rencana Pemerintah DKI, tidaklah dapat diartikan sebagai demi “kepentingan umum” menurut UU No. 20 Tahun 1961 jo. Lampiran Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. (Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1973). Sebagai alasannya Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa bila bangunan rumah sudah selesai kelak akan dijual kepada umum secara perdagangan dalam arti perhitungan untung rugi. Ditambahkan lagi, bilamana rumah sudah dijual, kepada pembeli diperkenankan memperoleh hak atas tanah. Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding telah membatalkan keputusan Pengadilan Negeri tersebut, dengan pertimbangan bahwa penguasaan tanah oleh Pemerintah DKI Jaya atas dasar SK Menteri Pertanian dan Agraria No. SK VI/ 9/Ka/64 10 April 1964 adalah sah dan Yayasan Pulo Mas telah diberi wewenang sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jaya. Berdasarkan hal itu Pemerintah DKI Jaya mempunyai wewenang meliputi pengosongan tanah dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya dan bagi mereka yang meninggalkan tanah dan bangunan itu Pemerintah telah menyediakan tempat penampungan diserta biaya pindah. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya. Sebagai pertimbangannya antara lain disebutkan bahwa penguasaan tanah dan bangunan seperti yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian dan Agraria No. SK/9/Ka/64 pada hakekatnya adalah pencabutan hak. Keputusan Menteri tersebut harus segera diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu (Pasal 6 ayat 2 UU No. 20/1961). Keputusan Presiden yang dimaksud mengenai hal ini, yang mana adalah suatu keharusan/syarat mutlak, tidak pernah dikeluarkan. 142 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 Bandingkanlah perkara ini dengan “kasus hotel “Yen Pin”, di mana dengan suatu Keputusan Presiden telah dilakukan pencabutan hak atas tanah dan bangunan hotel tersebut untuk suatu pern bangunan proyek baru. Kasus-kasus tersebut di atas dapat kita bandingkan lagi dengan perkara gugatan Nungtjik Djahri Cs (Penggugat) lawan Gubernur DKI Jaya cq Walikota Jakarta Timur mengenai tanah untuk terminal bus Pulo Gadung. Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam putusannya no. 151/1975 G 6 Januari 1976 mempertimbangkan, bahwa keberatan Penggugat atas tindakan Kamtib melakukan pembongkaran milik para Penggugat dapat dirasakan, jika tidak ada alasan-alasan mendesak tentunya melalui proses hukum sebagaimana mestinya, atau sebaliknya tidak dapat meniadakan kepentingan umum yang sangat mendesak penyelesaian dan pelaksanaannya dalam rangka pembangunan terminal bus yang sungguhsungguh merupakan pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi “kepentingan umum” dapat dibagi dalam dua pengertian: 1. Langsung untuk pelayanan masyarakat semata-mata, yang hampir seluruhnya diselenggarakan oleh Pemerintah tanpa menghitung untung rugi. 2. Pelayanan masyarakat dalam rangka peningkatan pembangunan yang pelaksanaannya diserahkan kepada sektor swasta dengan dorongan pemerintah. Unsur untung rugi adalah dominan. Dengan demikian dapatlah dibedakan proyek untuk kantor Departemen Pemerintah dengan gedung perkantoran swasta, Puskesmas dengan poliklinik swasta, asrama dengan hotel, pasar Inpres dengan Super Market, jalan, jembatan, perumahan pegawai dengan suatu kompleks perumahan real estate, tanah-tanah untuk perkebunan swasta dengan tanah-tanah untuk transmigran. Adalah tidak adil jika dalam proyek-proyek yang di dalamnya unsur untung rugi dominan, akhimya keuntungan hanya dikecap oleh sekelompok orang (pengusaha) dengan mengorbankan pihak lainnya. Jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi oleh perbuatan aparatur negara cq pemerintah, maka kewenangan untuk melakukan gugatan berada pada peradilan perdata dengan mendasar pada Pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata. Namun jika aparatur negara cq pemerintah telah melakukan perbuatan yang 143 Velliana Tanaya: Merekontruksi Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara... tidak berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak berdasar pada asas kepantasan dan kepentingan umum, yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau perekonomian negara, maka aparatur negara cq pemerintah tersebut dapat dilakukan tuntutan pidana dengan mendasar pada UU Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan bahwa aparatur negara tersebut sesuai dengan pengertian aparatur negara atau pegawai negeri dalam UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu: 1) pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian; 2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau 5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. E. Kesimpulan Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tuntutan perbuatan melawan hukum oleh aparatur negara dalam bidang publik merupakan bagian dari perkembangan definisi perbuatan melawan hukum yang ada dalam hukum perdata (privat) dan juga tuntutan pidana tersebut merupakan bagian dari penjabaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Bahwa perbuatan melawan hukum dalam pidana (wederrechtelijk), khususnya perbuatan melawan hukum materiil mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata. Khusus tindak pidana korupsi telah diatur dalam pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ketentuan bahwa aparatur negara tersebut telah sesuai dengan kriteria sebagaimana disebut dalam Pasal 1 UU Tindak Pidana Korupsi. Selebihnya perbuatan melawan hukum oleh aparatur negara (onrechtmatige overheidsdaad) dapat dilakukan gugatan secara perdata. 144 Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012 DAFTAR PUSTAKA Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) Tahun 1950 sampai dengan 1977, Bandung: Bina Cipta, 1978 Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya, 2005 M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Pradya Paramita, 1982. Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Bandung: Bina Cipta, 1991 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung: Bina Cipta, 1977 Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta: Ichtiar, 1974 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995 145