etika dalam pelayanan publik

advertisement
ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Oleh
H. Abdul Azis. SH.MH
Abstraksi
Etika pelayanan Publik menjadi masalah di dalam Sistem pemerintahan
negara-negara berkembang indikasinya adalah masih banyaknya
skandal yang melibatkan Aparatur pemerintahan mereka. Etika sangat
diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan
pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh
administrasi publik. Disamping itu perilaku pemerintah akan
mempengaruhi bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat
yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para
Aparatur dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan
pelayanan publik yang dibiayai oleh dana rakyat senantiasa
mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya.
Kata Kunci : Etika, Pelayanan Publik, Masyarakat
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB
2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk,
benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena
itu dimanapun kita bermasyarakat, berbangsa
dan
bernegara
peranan etika tidak mungkin dikesampingkan. Semua warganegara
berkepentingan dengan etika.Setiap masyarakat atau bangsa pasti
mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan
perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Etika adalah
dunianya filsafat, nilai, dan moral.
Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat
abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan
administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan
(get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi
adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan
administrasi seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas
dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan
gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk
itu dapat menjelaskan hakikat administrasi. Sebagaimana diketahui,
administrasi publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam
rangka memberikan pelayanan umum serta menciptakan kesejahteraan
masyarakat untuk itu, kepada Aparatur diberikan kekuasaan regulatif,
yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat
melalui instrumen yang disebut kebijakan publik. Sebagai suatu produk
2
hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan.
Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan
tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula.
Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain,
pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan
aspek dampak dan kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah
sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering
ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan
dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, suatu
kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benarsalah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai
baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum
tentu baik secara moral dan etis.
Titik fokusnyapun terarah pada pemenuhan kebutuhan- kebutuhan
publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut. kebijakan publik,
telah
lama didengungkan
pelayanan publik. Namun
akan
makna
demikian
pentingnya orientasi pada
semakin dikaji dan ditelaah
kedalaman makna dari konsepsi pelayanan publik tersebut, dalam dunia
nyata semakin jauh makna hakiki dari pelayanan publik tersebut
diimplementasikan secara tepat. Organisasi publik (pemerintah) sebagai
institusi yang membawa misi pelayanan publik, akhir-akhir ini semakin
gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan dan
mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut,
namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang
diinginkan. Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi
3
organisasi
pemerintah
(birokrasi)
didalam
mengimplementasikan
konsepsi mengenai pelayanan publik tersebut yaitu :
1. faktor komitmen untuk melaksanakan kebijakan yang sudah ada.
Disini pemerintah dituntut untuk mempunyai komitmen yang jelas
melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi
pelayanan dengan baik.
2. faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan fungsi
pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi
pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasi yang telah
dituangkan di dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal
tersebut dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan fungsi
pelayanan, maka akan membentuk suatu etika yang dijadikan
sebagai pedoman didalam setiap perilaku aparatur pemerintah
untuk melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati. Isu tentang
etika pelayanan publik di Indonesia selama ini kurang dibahas
secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju,
meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam
pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering
dilihat sebagai suatu hal yang kurang berkaitan dengan dunia
pelayanan publik. Literatur tentang pelayanan publik dan administrasi
publik, etika merupakan salah satu cara yang sangat menentukan
kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di
dalam melaksanakan pelayanan public.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin
kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh pemerintah, maka telah
4
terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan
publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule
government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundangundangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak
hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi
melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri, pihak
swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan. Alasan mendasar
mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya publicinterest
atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam
memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana,
Kenyataannya
pemerintah
tidak memiliki tuntunan
kapan.
atau pegangan
kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat
pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau
Banyak
kasus
masyarakatnya,
membuktikan
hal ini belum terbukti.
bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang aparat pemerintahan.
B. NILAI ETIKA
Etika menurut Bertens (2000) “seperangkat nilai-nilai dan normanorma
moral
yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin dalam
5
Wahyudi (2007) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang
disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun
perilaku
individu
dalam
berhubungan
masyarakat.Selanjutnya Darwin
juga
dengan
individu
mengartikan Etika
lain
Birokrasi
(Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi
acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan
mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu
pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara
(birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat,
perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan
terpuji. Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan,
referensi, acuan, penuntun apa
yang
harus
dilakukan
dalam
menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar
untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya
dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam
etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa
sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk. Strategi untuk mengendalikan
harapan dari akuntabilitas, administrasi publik tadi akan melibatkan dua
faktor
kritis,
yaitu
bagaimana
kemampuan
mendefinisikan
dan
mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen
pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapanharapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi. Seperangkat nilai
dalam etika pemerintah yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi,
penuntun, bagi aparatur dalam menjalan tugas dan kewenangannya
6
antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor,
impersonal,
merytal
system,
responsible,
accountable,
dan
responsiveness.
Akuntabilitas negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembagalembaga
publik
(Agencies)
dan
birokrat
untuk
mengendalikan
bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan dari luar
organisasinya.
C. KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 yang mengatur tentang
Pelayanan Publik. Pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administrasif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian
pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima
pelayanan
maupun
pelaksanaan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Pelayanan prima merupakan terjemahan dari
istilah “Excellent Service” yang secara harfiah berarti pelayanan yang
sangat baik dan atau pelayanan yang terbaik. Disebut sangat baik atau
terbaik, karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau
dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi
pelayanan belum memiliki standar pelayanan, maka pelayanan disebut
7
sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima, manakala dapat atau
mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan
prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.
Lembaga Administrasi Negara (2009), memberikan kriteria-kriteria
pelayanan tersebut antara lain:
(1) Kesederhanaan,;
(2) Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja;
(3) Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi
pelayanan sesuai dengan urutan waktunya;
(4) Kecakapan para petugas pelayanan,; (5) Pendekatan kepada
pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas,; (6)
Keramahan,; (7) Keterbukaan,; (8) Komunikasi antara petugas dan
pelanggan; (9) Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara
pelanggan dan penyedia pelayanan; (10) Kejelasan dan kepastian, yaitu
mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya,
jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut; (11) Keamanan, yaitu usaha
untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan; (12) Mengerti
apa yang diharapkan pelanggan,; (13) Kenyataan, meliputi bukti-bukti
atau wujud nyata dari pelayanan; (14) Efisien, yaitu bahwa persyaratan
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan
pencapai ; (15) Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus
ditetapkan secara realistis. Berdasarkan penjelasan di atas pelayanan
dapat diartikan memproses pelayanan kepada masyarakat,
baik
berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur, persyaratan-
8
persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara transparan
untuk mencapai kepuasan penerima layanan.
D. ETIKA PEMERINTAHAN
Seperti di Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua
seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya
menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak
negara lain,
dan
yang
administrasinya
juga
menjadi
rujukan
administrasi di banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah
lanjut usianya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami
masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika pemerintahannya.
Masalah etika dalam pemerintahan adalah masalah yang menjadi
kepedulian dan keprihatinan para pakar dibidang ini. Ia menjadi masalah
di negara yang paling maju sekalipun, Namun, ternyata mereka tetap
saja menghadapi masalah dalam pemerintahannya, yang terlihat dari
banyaknya skandal yang melibatkan aparatur pemerintahan mereka.
Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila
di negara yang baru membangun ditemukan pula masalah yang
sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang
lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya
jauh lebih besar. Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum
dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara
lain sebagai berikut:
1. Belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya
masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang
mengembangkan
administrasinya,
yang
sesuai
dengan
9
kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum.
Negara- negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak
dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial,
yang tujuan keberadaannya berbeda dengan administrasi dalam
negara yang merdeka.
2. Keterbatasan
dalam
sumber
daya,
yang
menyebabkan
pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan.
Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber
daya manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas,
kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh
imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
3. Administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara
berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang.Peran politik
yang
besar
itu,
kebertanggungjawaban
acapkali
tidak
(accountability)
diimbangi
kepada
layaknya dalam sebuah sistem demokrasi.
dengan
rakyat
seperti
Dengan demikian,
masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun
jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara
yang sudah maju, yang dari uraian di atas juga kita ketahui sudah
cukup rumit. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang
berpendapat
bahwa
memperbaiki
pemerintahan
di
negara
berkembang adalah pekerjaan mudah.
Upaya memperbaiki pemerintahan termasuk didalamnya upaya
menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang
tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi adalah
10
pekerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat
diharapkan yang spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat
inkremental.
E. ETIKA ADMINISTRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Berkaitan dengan nilai-nilai etika administrasi sebagaimana
digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai
etika administrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan
dipatuhi oleh aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan
kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan
lainnya dalam tubuh pemerintahan, kendatipun tidak ada lembaga
pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika
administrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada
tubuh pemerintahan. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada
kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain
bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang
melekat pada diri setiap individu aparatur sangat berperan dalam
membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada
diri setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk
melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan). Kode
etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi
seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi
yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak
perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama,
etika moral Pancasila, bahkan sudah
ada
sumpah pegawai
negeri
11
yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah,
namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang
bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan
publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol
langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam
konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya
sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan.
Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut
kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki
kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika
dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi
pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh
yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki
ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi
berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para
anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan
anggotanya antara lain integritas,
pegangan
perilaku
para
kebenaran, kejujuran, ketabahan,
respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan
kepentingan
publik
diatas
kepentingan
lain,
bekerja
profesional,
pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi,
kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan
terhadap
informasi
yang
12
sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program
affirmative action.
Etika administrasi negara dari American Society for Public
Administration
Perhimpunan
Amerika
untuk
Administrasi
Negara,
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut :
1.
Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
2.
Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam
pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya;
3.
Hukum
yang
mengatur
semua
kegiatan
pelayanan
publik.
Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka
kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4.
Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi
dministrator publik.
5.
Penyalahgunaan,
pemborosan,
dan
berbagai
aspek
yang
merugikan tidak dapat ditolerir;
6
Sistem merit
dan kesempatan kerja yang sama harus didukung,
diimplementasikan dan dipromosikan;
7.
Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak
dapat dibenarkan;
8.
Keadilan,
kejujuran,
keberanian,
kesamaan,
kepandaian,
dan
empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif
harus dipromosikan;
9. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif
keputusan;
13
10. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari
kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode
etika yang memuat 5 asas etika dan 6 asas mutu yang wajib di indahkan
dan
dijalankan
oleh
para
anggota
perhimpunan
yang
menjadi
administrator negara, yaitu sebagai berikut :
1.
Menunjukkan
ukuran
baku
tertinggi
tentang
keutuhan
watak
pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan
umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan
rakyat terhadap pranata-pranata negara;
2.
Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada
dalam pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban
resmi;
3.
Mendukung,
tenaga
melaksanakan,
kerja
tindakan
kenaikan
memajukan
penempatan
menurut penilaian kecakapan serta tata-acara
yang
kesempatan
dan
tidak
yang
membeda-bedakan
sama
pangkat
pada
terhadap
penerimaan,
orang-orang
guna
menjamin
pemilihan,
yang
dan
memenuhi
persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.
Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan
salah pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan
kalau
mereka
berada
dalam
kesulitan
karena
usaha
yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan,
salah urus, atau salah penggunaan yang demikian;
14
5.
Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan
tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat
adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri;
6.
Berjuang
dan
kearah
keunggulan
berkeahlian
perseorangan
menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk
mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara;
7.
Menghampiri tugas organisasi
dengan
suatu
dan
kewajiban-kewajiban
kerja
sikap yang positif dan secara membangun
mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian,
dan welas asih;
8.
Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak
istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajibankewajiban resmi;
9.
Menjalankan
menurut
wewenang
hukum
untuk
kebijaksanaan
memajukan
apapun
kepentingan
yang
dimiliki
umum
atau
masyarakat;
10. Menerima
untuk
sebagai
suatu
kewajiban
pribadi
tanggung
jawab
mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-
permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat
dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak,
efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati,
berusaha
mendukung,
menelaah,
dan
bilamana
perlu
untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara
serikat dan negara bagian serta hukum- hukum
lainnya
yang
15
mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan pemerintah,
pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara
Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk
dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus
dilakukan oleh administrasi publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi
akan
mempengaruhi
bukan
hanya
dirinya
sendiri,
tetapi
juga
masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa
para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan
pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan
diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Pemerintah
merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan
untuk terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun
kewenangannya
(big
bureaucracy,
giant
bureaucracy),
perlu
menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian maka etika
(termasuk etika pemerintah/ birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu :
1. sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam
organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela;
2. etika pemerintahan sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku
dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika pemerintah yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, penuntun bagi pemerintah publik dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah :
(1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien;
16
(2)
membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik
kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi;
(3)
impersonal,
maksudnya
dalam
melaksanakan
hubungan
kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif
diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan
perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi.
Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya
mendapatkan penghargaan;
(4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi
pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai
tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan
(knowledge),
keterampilan
(skill),
sikap
(attitude),
kemampuan
(capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya);
(5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban
birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya;
(6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat
obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai
obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan
segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada
pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan
mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
17
(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan
publik);
(7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap
terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat
dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu
atau memperpanjang alur pelayanan.
18
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema
tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode
etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan
norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku
terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat
perubahan jaman. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia,
seharusnya para pemberi pelayanan publik harus mempelajari normanorma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai
penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat
situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak
secara kaku.
19
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Bertens, K, 2000, Etika, Seri Filsafat Atma Jaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.,
Wahyudi Kumorotomo, 2007, Etika Adminstrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta
Dokumen :
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003,
Tentang Pelayanan Publik
Akses Internet
Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov. go.id
20
Download