BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang selanjutnya disebut PSSI, dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta merupakan suatu organisasi olahraga yang dilahirkan pada zaman penjajahan Belanda, terkait dengan kegiatan politik yang menentang penjajahan. Jika meneliti dan menganalisa saat-saat sebelum, selama dan sesudah kelahirannya, sampai 5 tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, jelas sekali bahwa PSSI lahir karena dibidani politisi bangsa yang baik secara langsung maupun tidak langsung, menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemudapemuda Indonesia. (http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011) Sepakbola merupakan sarana yang sangat penting untuk menunjang pembangunan bangsa baik dibidang fisik, mental maupun spiritual dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara merata dan berimbang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Keberhasilan pembinaan sepakbola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab 1 tingginya prestasi sepakbola menimbulkan kebanggaan Nasional. Dengan demikian, keberhasilan pembinaan sepakbola harus dilakukan secara terorganisir untuk meningkatkan prestasi sepakbola Nasional. Dunia persepakbolaan Indonesia terus berkembang walaupun mengalami pasang surut dalam kualitas pemain, kompetisi dan organisasinya. Sebagai olahraga terpopuler di seluruh dunia, sepertinya tak ada masyarakat yang tidak mengenal sepakbola. Namun, sejauh ini dunia persepakbolaan Indonesia tidak dibangun secara progresif dan menyeluruh. Kebijakan para petinggi yang menangani persoalan sepakbola masih terkesan instan dan tidak berkesinambungan. Contoh sederhana ada pada masalah pelatih. (http://www.dimasprasetyo.net/totalitas-pembangunan-tim-sepakbolakelas-dunia-1572, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011) Tim nasional menggunakan jasa Indonesia dari pelatih tercatat asing. telah beberapa Dalam sejarah kali dunia persepakbolaan Indonesia, pelatih sepakbola asing yang tercatat telah memimpin pasukan Garuda merah-putih Indonesia, yaitu sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Choo Seng Quee asal Singapura (tahun 1951-1953); Tony Pogacknik asal Yugoslavia (tahun 1954-1964); Wiel Coerver asal Belanda (tahun 1975-1976); Frans Val Balkom asal Belanda (tahun 1978-1979); Marek Janota asal Polandia (tahun 1979-1980); Bernd Fischer asal Jerman (tahun 1980-1981); Anatoly Palosin asal Rusia (tahun 1987-1991); Ivan Toplak asal Cekoslovakia (tahun 1991-1993); 2 9) 10) 11) 12) Romano Matte asal Italia (tahun 1993-1995); Henk Wullems asal Belanda (tahun 1996-1997); Bernard Schumm asal Jerman (tahun 1999); Ivan Kolev asal Bulgaria (tahun 2002-2004 dan pada tahun 2007); 13) Peter White asal Inggris (tahun 2004-2007); 14) Alfred Riedl asal Austria (tahun 2010-2011); dan 15) Wim Rijsbergen asal Belanda (tahun 2011-sekarang). (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6746110, diakses pada tanggal 9 Oktober 2011) Dibalik kesuksesan perkembangan dunia persepakbolaan Indonesia dengan pelatih asing, belum tentu tanpa konflik yang ada di dalam internal klub. Konflik yang sering terjadi antara pelatih asing dengan suatu klub sepakbola adalah masalah perjanjian kerja. Selain itu, status keimigrasian pelatih asing dan upah/gaji bulanan yang tidak dibayarkan secara utuh menjadi salah satu masalah yang sering terjadi dalam internal klub, salah satunya terjadi pada klub Kendari Utama Sultra. Menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Setiap perjanjian kerja melahirkan suatu hubungan timbal balik antara kedua belah pihak yang disebut dengan hubungan kerja dimana hubungan tersebut merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 3 Setiap perjanjian mempunyai akibat-akibat seperti yang disebutkan pada Pasal 1338 ayat (1) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pada ayat (3) Pasal 1338 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga telah ditegaskan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ayat-ayat dari pasal tersebut telah menegaskan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian kerja dan setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perkembangan hubungan kerja dewasa ini tidak hanya mengarah pada dunia bisnis semata, melainkan telah mencakup bidang-bidang usaha lain yang menghasilkan keuntungan atau menghasilkan uang saja, tetapi juga telah berkembang pada sisi lain kehidupan manusia, seperti misalnya dalam dunia olahraga. Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional kehidupan sehingga keberadaan bermasyarakat, dan peranan berbangsa, dan olahraga dalam bernegara harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional. Dewasa ini, olahraga telah menjadi suatu aset yang memiliki prospek cukup bagus di masa mendatang dan dapat menghasilkan uang. Salah satu contohnya adalah olahraga sepakbola. Sepakbola 4 merupakan olahraga rakyat yang paling digemari dan juga merupakan olahraga yang mendunia karena olahraga ini dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat serta merupakan olahraga yang paling populer di dunia. Kedudukan orang yang memiliki modal atau pemilik klub sepakbola dapat dikatakan sebagai pemilik perusahaan/majikan, sedangkan klub sepakbola disebut sebagai perusahaan, dan pelatih sepakbola sebagai buruh/pekerja. Dewasa ini, kebanyakan klub sepakbola Indonesia telah menggunakan jasa pelatih asing dengan tujuan meningkatkan prestasi dari tim/klubnya. Pihak klub sepakbola mempekerjakan pelatih asing yang mengikatkan diri untuk melatih klub demi kepentingan pihak klub sepakbola. Sepakbola dapat menghasilkan uang melalui penjualan tiket dari penonton. Selain itu, dari sponsor-sponsor yang senantiasa mendukung. Oleh karena begitu banyaknya keuntungan yang dapat dihasilkan, maka sepakbola pada saat ini dapat dijadikan sebagai suatu profesi baru yang memiliki prospek cukup cerah, sehingga olahraga dapat dijadikan sandaran hidup bagi seseorang untuk mencari nafkah. Sebelum pelatih asing bergabung dengan suatu klub, terlebih dahulu antara pihak klub sepakbola dengan pelatih asing mengadakan suatu perjanjian kerja, dalam perjanjian kerja tersebut dicantumkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pihak pertama adalah pihak klub sepakbola yang merupakan anggota dari PSSI dan 5 pihak kedua adalah pelatih sepakbola asing yang menjadikan sepakbola sebagai mata pencaharian pokok. Dalam perjanjian kerja juga dicantumkan nilai kontrak pelatih asing beserta tata cara pembayarannya dan masalah status keimigrasian pelatih asing yang bersangkutan, dan lain-lain. Meskipun telah dibuat suatu perjanjian kerja antara klub sepakbola dengan pelatih asing, pada kenyataannya masih banyak penyimpangan yang terjadi dalam dunia persepakbolaan seperti pembayaran gaji/upah yang tidak sesuai dengan kontrak ataupun masalah status keimigrasian pelatih asing. Terkadang, jaminan kepastian hukum pelatih sepakbola asing masih kurang menguntungkan bagi pihak pelatih sepakbola asing, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, tidak adanya pengurusan masalah status keimigrasian selama dalam kontrak kerja yang menyebabkan pelatih asing tersebut harus meninggalkan Indonesia dengan sanksi deportasi apabila tidak dilaksanakan dan/atau nilai kontrak yang diterima oleh pelatih sepakbola asing tidak sesuai dengan nilai yang telah diperjanjikan sebelumnya dan lain-lain. Seharusnya, penyelesaian permasalahan tersebut harus berdasarkan perjanjian kerja yang telah dibuat guna kepentingan kedua belah pihak. 6 Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitian hukum dengan judul “Perjanjian Kerja Antara Klub Sepakbola Dengan Pelatih Asing”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk perjanjian yang dapat memberikan perlindungan terhadap Pelatih Asing? 2. Faktor apakah yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian antara Pelatih Asing dengan Klub Sepakbola? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk perjanjian yang dapat memberikan perlindungan terhadap Pelatih Asing. 2. Untuk mengetahui faktor apakah yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja antara Pelatih Asing dengan Klub Sepakbola. 7 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat, adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman terhadap ilmu hukum, khususnya di bidang keperdataan dalam aspek perjanjian kerja. 2. Sebagai referensi terhadap penelitian selanjutnya dalam menyusun karya tulis ilmiah yang lebih mendalam sehubungan dengan bidang keperdataan dalam aspek perjanjian kerja. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Namun, pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana apabila seseorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua pihak atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu ataupun tidak untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, perjanjian merupakan suatu peristiwa konkret yang dapat diamati. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung kesepakatan/persetujuan para pihak yang membuatnya baik secara lisan maupun dalam bentuk tertulis. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara para pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Sedangkan pengertian dari perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan merupakan suatu pengertian yang tidak konkret tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan 9 merupakan akibat dari adanya suatu perjanjian yang menyebabkan orang-orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang telah disepakati. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua kesepakatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu merupakan sesuatu hal yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. (Retno Prabandari, 2007:22-40) Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya, perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, haruslah sesuai dengan syaratsyarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sah 10 perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut : 1) Kesepakatan Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. (Ahmadi Miru, 2008:14) 2) Kecakapan Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah (walaupun usianya belum mencapai 21 tahun). (Ahmadi Miru, 2011:68) 3) Suatu Hal Tertentu Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu. (Ahmadi Miru, 2011:68) 4) Suatu Sebab Yang halal Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. (Ahmadi Miru, 2011:69) Menurut Wita Sumarjono (2010:36), dua syarat pertama di atas disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab 11 yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Dalam suatu perjanjian dikenal beberapa unsur-unsur, yaitu sebagai berikut : a) Unsur Esensialia Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008:85) b) Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. (Ahmadi Miru, 2008:31) c) Unsur Aksidentalia Unsur ini merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendaknya yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008:85) Menurut Ahmadi Miru (2008:3), pada umumnya dalam hukum kontrak dikenal banyak asas, diantaranya sebagai berikut : 1) Asas Konsesualisme Asas konsesualisme menjelaskan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila kesepakatan telah tercapai antara para pihak, maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun perjanjian tersebut tidak langsung dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya suatu kesepakatan menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka yang membuat suatu kesepakatan atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat abligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut. Asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual. 2) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian. 12 3) Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 4) Asas Itikad Baik Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya. Pada dasarnya, tidak semua perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan karena lahirnya suatu kontrak tergantung pada jenis perjanjiannya. Secara mendasar, perjanjian dibedakan menurut sifatnya, yaitu perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formal. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil merupakan jenis perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan, misalnya perjanjian penitipan barang pada Pasal 1741 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang- 13 undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. (Retno Prabandari, 2007:26) Apabila suatu perjanjian berakhir, berarti semua pernyataan kehendak atau semua hal yang telah diperjanjikan antara para pihak menjadi terhapus. Berakhirnya suatu perjanjian sebagai hubungan hukum antara menghapuskan kreditor seluruh dan debitor dengan perjanjian antara sendirinya akan para pihak. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17319/3/Chapter%20I I.pdf, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011) Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perikatan dapat berakhir karena : i. Karena pembayaran; ii. Karena penawaran pembayaran tunai, penyimpanan atau penitipan; iii. Karena pembaharuan utang; iv. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; v. Karena percampuran utang; vi. Karena pembebasan utangnya vii. Karena musnahnya barang yang terutang; viii. Karena kebatalan atau pembatalan; ix. Karena berlakunya suatu syarat batal; dan x. Karena lewatnya waktu (daluwarsa). diikuti dengan Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah 14 diperjanjikan tanpa adanya pihak yang dirugikan. Tetapi, adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi atau itikad buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, pihak tersebut tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Menurut Ahmadi Miru (2008:74), wanprestasi dapat berupa : 1) 2) 3) 4) Sama sekali tidak memenuhi prestasi; Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; Terlambat memenuhi prestasi; dan Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak dipihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian dan tanpa kesalahan. (Indrareni Gandadinata, 2007:21) Menurut Ahmadi Miru (2008:75), oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, maka pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan : a) Pembatalan kontrak saja; 15 b) c) d) e) Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; Pemenuhan kontrak saja; Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; dan Penuntutan ganti rugi saja. Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakannya kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure (keadaan memaksa) yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara waktu atau selamalamanya). Tuntutan yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara. (Indrareni Gandadinata, 2007:21) Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada prinsipnya, asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup materiil, maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat dituntut. Asal saja ketidak terlaksanaan kewajiban tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat force majeure, yang untuk itu tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur 16 tentang force majeure dan tentang resiko. Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Peristiwa overmacht mencegah debitor menanggung akibat dan risiko perjanjian. Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan atau menyingkirkan asas yang terdapat pada Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitor untuk membayar ganti rugi. (http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksaovermacht-dalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011) Menurut Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa hal yang disebut dapat menghalangi atau merintangi pelaksanaan pemenuhan prestasi terbagi atas dua hal, yaitu : 1) Overmacht (keadaan memaksa), atau keadaan yang berada di luar kemampuan debitor; dan 2) Toeval, yaitu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat diperhitungkan sebelumnya oleh debitor. Klausula overmacht atau force majeure biasa dicantumkan dalam pembuatan perjanjian atau kontrak dengan maksud melindungi 17 para pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada di luar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sewajarnya. Dalam pencantuman klausula overmacht biasanya terdapat penekanan kepada keadaan memaksa yang berada di luar kekuasaan para pihak. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan kewajiban sesuai dengan kontrak. (http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksaovermacht-dalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011) B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pasal 1601 ayat (a) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : “Perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain (si majikan), untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat (14) menyebutkan pula bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan 18 pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja merupakan perjanjian seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. (Djumadi, 2006:30) Perihal pengertian perjanjian kerja, Ridwan Halim (Djumadi, 2006:33) mengemukakan bahwa pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lainnya. Menurut Wiwoho Soedjono (Djumadi, 2006:33), pengertian perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan. 2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang telah disebutkan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, masih menjadi pegangan yang harus diterapkan dalam perjanjian kerja agar 19 keberadaan suatu perjanjian kerja tersebut dapat dianggap sah dan konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda yaitu M. G. Rood (Djumadi, 2006:35), beliau menyatakan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu berupa unsur-unsur yang terdiri dari: a) Adanya Unsur Work atau Pekerjaan Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. b) Adanya Unsur Service atau Pelayanan Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa si pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu si majikan. Karena itu jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja itu sendiri, maka tujuan si pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek seorang siswa atau mahasiswa, perjanjian tersebut jelas bukan merupakan perjanjian kerja. c) Adanya Unsur Time atau Waktu Tertentu Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh melakukan sekehendak dari si majikan dan juga tidak boleh 20 dilakukan dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari si pekerja tersebut, disini pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. Dengan kata lain, dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, si buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum. d) Adanya Unsur Pay atau Upah Jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan perjanjian kerja. Selanjutnya jika seseorang yang bekerja tersebut bertujuan untuk mendapatkan manfaat bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah, maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi. Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian dalam praktek pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang, tetapi jumlahnya harus dibatasi. Menurut Djumadi (2006:42), dengan telah diuraikannya empat unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian kerja, yang mana unsur-unsur tersebut yang mengetengahkan adalah seorang pakar Hukum Perburuhan bangsa Belanda, yaitu M. G. Rood, maka sebagai perbandingannya perlu diketengahkan pula penelaahan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja dari pakar Hukum Perburuhan bangsa Indonesia. Perihal syarat perjanjian kerja tersebut, menurut Iman Soepomo dan dipadukan dengan ketentuan yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat diambil 21 suatu kesimpulan bahwa definisi tentang perjanjian kerja mempunyai empat unsur essensialia yaitu : 1) Melakukan Pekerjaan Tertentu Bahwa sebagai implementasi dari perjanjian kerja tersebut, maka salah satu pihak yaitu si pekerja, harus melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya harus dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan tidak boleh digantikan oleh orang lain. 2) Di Bawah Perintah Dalam melakukan pekerjaannya, harus tunduk pada perintah orang lain, orang lain tersebut tidak lain adalah si majikan sebagai pihak pemberi kerja. Hal tersebut di dalam prakteknya, si pekerja diwajibkan untuk mentaati peraturan-peraturan kerja yang ada pada perusahaan, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1603 ayat (b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Dengan Upah Jika setelah si pekerja melakukan pekerjaannya dengan tunduk pada perintah si majikan, dalam rangka memenuhi prestasinya seperti yang telah mereka buat di dalam perjanjian kerja, maka si pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan upah, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1602 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 4) Dalam Waktu Tertentu Bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu, dan tidak boleh diharuskan untuk dikerjakan selama hidupnya si pekerja. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh si pekerja, sesuai dengan waktu yang telah mereka sepakati atau diperjanjikan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum dan kebiasaan setempat. Sendjum W. Manulang (Djumadi, 2006:44) menyebutkan bahwa ada tiga unsur atau faktor yang menentukan adanya hubungan kerja, yaitu adanya pekerjaan yang harus dilakukan, adanya perintah dan adanya upah. Tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut, maka tidak ada hubungan kerja. 22 Djumadi (2006:45) menyebutkan bahwa selain syarat-syarat material seperti yang telah diuraikan, maka dalam hal diadakannya perjanjian kerja yang dilaksanakan secara tertulis, dalam perjanjian kerja tersebut harus memuat syarat-syarat formal antara lain sebagai berikut : a) b) c) d) Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan; Waktu berlakunya perjanjian kerja; Upah buruh yang berupa uang diberikan tiap bulan; Saat istirahat bagi buruh, yang dilakukan di dalam dan kalau perlu di luar Indonesia serta selama istirahat itu; dan e) Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh. Jika hanya untuk perjanjian kerja yang sifatnya sederhana saja, maka perjanjian kerja tersebut biasanya diadakan secara lisan. Walaupun demikian, buruh atau pekerja yang telah melaksanakan pekerjaannya, pekerja tersebut tetap mendapatkan hak atas upah mereka. 3. Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Iman Soepomo (Agusmidah, 2010:43) menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak 23 lainnya (majikan) yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah pada pihak lainnya. Dalam pengertian hubungan kerja, terkandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan berada di bawah pimpinan pihak lain yang disebut majikan/pimpinan/pengusaha. Pembahasan tentang hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal yang berkenaan dengan : a) Pembuatan perjanjian kerja sebagai dasar hubungan kerja; b) Hak dan kewajiban para pihak (pekerja/buruh dan majikan/pengusaha); c) Berakhirnya hubungan kerja; dan d) Penyelesaian perselisihan/sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. (Agusmidah, 2010:44) Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 50 telah ditegaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal tersebut menetapkan pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum, yaitu hubungan kerja. Dengan kata lain, untuk mengatakan ada tidaknya suatu hubungan kerja, maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian kerja. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai 24 perjanjian kerja tunduk pada Pasal 1601 ayat (a) Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri untuk di bawah pimpinan pihak yang lain (majikan) untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Namun, Iman Soepomo (Agusmidah, 2010:45) mengkritisi perumusan ini, karena dianggapnya tidak lengkap. Hal ini disebabkan dalam pengertian di atas yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak pihak lainnya, yaitu majikan. Padahal pada tiap perjanjian, yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan dan bersifat timbal balik. Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan hukum atara kedua belah pihak yang disebut dengan hubungan kerja dan mengandung tiga ciri khas, antara lain adanya pekerjaan, adanya perintah dan adanya upah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat berbentuk tertulis dan berbentuk lisan. Pembuatan perjanjian kerja secara tertulis harus sesuai dengan aturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut tentang hukum perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) yaitu : 1) Kesepakatan kedua belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 25 3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan 4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Syarat ini sebelumnya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1320. Dari keempat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau dengan kata lain, tidak sah sama sekali. Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian tersebut mengikat para pihak layaknya undangundang, jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut sehingga berakibat merugikan pihak lain, maka disebut wanprestasi. (Wita Sumarjono, 2010:36) Dalam hukum perjanjian, tidak ada peraturan yang mengikat suatu perjanjian harus dalam bentuk dan isi tertentu, prinsip ini dijamin oleh asas kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320 dan Pasal 1335 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 26 C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Pengertian hukum menurut Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum Belanda) menyatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin menyatakan dalam satu rumusan yang memuaskan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Lemaire dalam bukunya Het Recht in Indonesia (Keadilan di Indonesia) yang menyatakan bahwa hukum banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tidak mungkin orang membuat suatu definisi apa hukum sebenarnya. Menurut pendapat I Kisch dalam karangannya Rechtswetenschap (Ilmu Hukum), “karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, maka sulit untuk membuat definisi hukum yang memuaskan umum”. Utrecht dalam bukunya, Pengantar Hukum Indonesia mengemukakan bahwa hukum adalah himpunan petunjukpetunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Wirjono Prodjodikoro dalam tulisan yang berjudul Rasa Keadilan Sebagai Dasar Segala Hukum menyatakan bahwa, hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. (Riduan Syahrani, 2009:78) 27 Menurut Riduan Syahrani (2009:80), berdasarkan pengertian tersebut, hukum memiliki tujuan. Manfaat hukum merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat, pemerintah atau negara yang membuat hukum. Tujuan hukum tersebut terbagi atas beberapa teori sebagai berikut : 1. Menurut Teori Etika (Etische Theorie) Hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomache” dan “Rhetorika” yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Untuk itu, tentu saja peraturan hukum dibuat untuk setiap orang atau untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu. 2. Menurut Teori Kegunaan (Utilities Theorie) Hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang yang sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832), seorang ahli hukum dari Inggris dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation” (Pengenalan Moral dan Hukum). 3. Menurut Teori Campuran Teori ini merupakan penggabungan dari kedua teori diatas dikemukakan oleh para sarjana berikut ini, Bellefroid, yang dapat dikelompokkan pada teori campuran ini, dalam bukunya Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland (Pengantar Ilmu Hukum Belanda) menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Kemudian, Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum Belanda) mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingankepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap apa yang merugikannya. 28 Hukum mengatur hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan antara individu-individu dan masyarakat dimana diantara ikatan-ikatan itu tercermin dalam hak dan kewajiban. Dalam mengatur hubunganhubungan hukum itu caranya beraneka ragam, misalnya pada hukum pidana yang sebagian besar peraturan-peraturannya terdiri dari kewajiban-kewajiban. Hukum sering juga merumuskan peristiwaperistiwa tertentu yang merupakan syarat timbulnya hubunganhubungan hukum. Dalam literatur hukum Belanda, hukum disebut “objective recht”, obyektif karena sifatnya umum, mengikat setiap orang. Kata “recht” dalam bahasa hukum Belanda dibagi menjadi dua, yaitu “objective recht” yang berarti hukum, dan “subjective recht” yang berarti hak dan kewajiban. Hubungan hukum memiliki bermacammacam bentuk, seperti hubungan dalam perkawinan, tempat kediaman (domisili), pekerjaan, perjanjian dan lain-lain. Semua hubungan yang beraneka ragam itu dinamakan hubungan kemasyarakatan yang diatur oleh apa yang disebut hukum. Dari beberapa perumusan tentang hukum dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu: i. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; ii. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi (pihak-pihak yang berwenang); iii. Peraturan itu bersifat memaksa; dan iv. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas. Untuk dapat mengenal hukum, kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum, yaitu adanya perintah dan/atau larangan, perintah dan/atau 29 larangan itu harus ditaati setiap orang. Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan menyatukan hubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaidah hukum. Berdasarkan uraian di atas mengenai apa yang dimaksud dengan hukum, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan atau dibuat guna melindungi kepentingan masyarakat yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi dengan disertai sanksi-sanksi tegas bagi yang melanggarnya. (http://zona- prasko.blogspot.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 9 Oktober 2011) D. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan TKA di Indonesia 1. Pengertian Tenaga Kerja Asing Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Asing (selanjutnya disebut dengan TKA) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia, dalam hal ini berarti setiap warga negara asing 30 tanpa terkecuali baik pria maupun wanita yang memperoleh izin untuk tinggal dan bekerja di wilayah Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, menyebutkan bahwa Tenaga Kerja Asing adalah warga Negara Asing pemegang visa kerja warga Negara Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping Tenaga Kerja Asing. Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing merupakan badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pemberi kerja Tenaga Kerja Asing meliputi : i. Kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia; ii. Perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia; iii. Badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri; iv. Badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; v. Lembaga-lembaga sosial, pendidikan, kebudayaan atau keagamaan; dan vi. Usaha jasa impresariat. Menurut Pasal 1 ayat (8) dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, usaha jasa 31 impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan di Indonesia, baik yang mendatangkan maupun mengembalikan Tenaga Kerja Asing di bidang seni dan olahraga. Sehingga dalam hal pelatih sepakbola asing, keberadaan mereka di wilayah Indonesia merupakan bagian dari usaha jasa impresariat. Keberadaan pelatih sepakbola asing di wilayah Indonesia menjadi tanggung jawab dari pihak perusahaan impresariat yang mendatangkan pelatih sepakbola asing tersebut. Perusahaan impresariat itu sendiri merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha untuk mendatangkan dan memulangkan pelaku seni hiburan, serta olahragawan yang berkewarganegaraan asing. 2. Latar Belakang Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia telah ada sejak dimulainya industrialisasi. Menurut Agusmidah (2010:111), dilihat dari perkembangannya, latar belakang digunakannya Tenaga Kerja Asing di Indonesia telah mengalami perubahan sesuai zamannya. Ketika Belanda membuka perkebunan besar dibeberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera Timur, alasan kelangkaan sumber daya manusia sebagai pekerja/buruh yang mendorong pemerintah Belanda ketika itu mendatangkan Tenaga Kerja Asing dari negara lain. Kini, dengan semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), maka alasan kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki 32 keahlian dalam bidang tertentu menjadi alasan utama digunakannya Tenaga Kerja Asing. Pada prinsipnya, filosofi penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia adalah mereka yang dibutuhkan dalam dua hal sebagai berikut : a) Tenaga kerja asing yang membawa modal (sebagai investor); dan b) Tenaga kerja asing yang membawa skill (keahlian) dalam rangka transfer teknologi ataupun keterampilan. (Rendy Andaria Bangun, 2007:35) Tujuan pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah untuk menjamin dan memberi kesempatan kerja yang layak bagi warga negara Indonesia di berbagai lapangan dan tingkatan. Karenanya, dalam mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang ketat dimulai dengan seleksi dan prosedur perizinan hingga pengawasan. (Agusmidah, 2010:111) Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja Tenaga Kerja Asing memiliki kewajiban-kewajiban dalam penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia, yaitu sebagai berikut : 1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 42); 2) Pemberi kerja yang menggunakan Tenaga Kerja Asing harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 43); 3) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku yang 33 diatur dalam Keputusan Menteri. Standar kompetensi yang dimaksud adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh Tenaga Kerja Asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia (Pasal 44); 4) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing Wajib membayar kompensasi atas Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakannya (Pasal 47); dan 5) Pemberi kerja wajib memulangkan Tenaga Kerja Asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir (Pasal 48). Adapun syarat-syarat dalam penggunaan Tenaga Kerja Asing menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di Indonesia meliputi : a) Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : i. Memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki; ii. Bersedia memuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Indonesia khususnya tenaga kerja Indonesia Pendamping; dan iii. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. b) Dalam hal jabatan yang akan diduduki Tenaga Kerja Asing telah mempunyai standar kompetensi kerja, maka Tenaga Kerja Asing yang akan dipekerjakan harus memenuhi standar tersebut; dan c) Tenaga kerja pendamping sebagaimana dimaksud diatas, harus memiliki latar belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki oleh Tenaga Kerja Asing. Menurut Rendy Andaria Bangun (2007:34), sampai saat ini dan mungkin juga untuk beberapa waktu yang akan datang, penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia sulit untuk dihindari atau dicegah, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : i. Adanya Tenaga Kerja Asing dimungkinkan karena ada kaitannya dengan penanaman modal dan masuknya barang-barang modal dari luar yang masih dibutuhkan sebagai pelengkap dalam rangka pembangunan nasional serta penguasaan dan alih teknologi yang merupakan proses berlanjut dan berkesinambungan; ii. Proses “peng-Indonesiasi-an” tenaga kerja masih memerlukan persiapan dan waktu dalam upaya tersedianya cukup jumlah 34 tenaga kerja yang ahli dan terampil untuk menggantikan Tenaga Kerja Asing. Maksud dari peng-Indonesiasi-an yaitu usaha pemerintah untuk menyediakan dan mendidik tenaga kerja Indonesia untuk menggantikan Tenaga Kerja Asing; iii. Kurang cukup tersedianya tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan yang tersedia; iv. Pemakaian mesin-mesin yang bersifat canggih dan beresiko tinggi, sehingga bila tidak ditangani oleh mereka yang ahli, dapat mengakibatkan kerugian yang besar, berupa kehilangan baik yang bersifat materi maupun non materi; dan v. Semakin luas dan berkembangnya berbagai usaha yang membutuhkan Tenaga Kerja Asing. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pada dasarnya, sejak berdirinya Republik ini, pemerintah telah menyadari akan adanya persaingan global yang tak terhindarkan di pasar tenaga kerja sehingga merasa perlu menyusun dan menerbitkan ketentuan yang bertujuan mengatur dan mengawasi penggunaan Tenaga Kerja Asing. 3. Dasar Hukum Penggunaan TKA di Indonesia Tenaga Kerja Asing yang melakukan pekerjaan di wilayah Indonesia, wajib mendapatkan izin kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, selain itu pada Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah disebutkan bahwa pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, hal ini dimaksudkan agar penggunaan Tenaga Kerja Asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan 35 Tenaga Kerja Indonesia secara optimal. Dari ketentuan pasal tersebut, dinyatakan bahwa Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Indonesia harus memiliki izin bekerja yang jelas dan mengikuti ketentuan dari peraturan-peraturan yang ada, yaitu dalam hal penggunaan Tenaga Kerja Asing. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menjelaskan bahwa setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia, baik Tenaga Kerja Lokal maupun Tenaga Kerja Asing memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan dilindungi oleh hukum, terutama dalam hal penggunaan Tenaga Kerja Asing yang jumlahnya semakin meningkat dan tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran maupun penyimpangan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia. E. Dasar Hukum Kedudukan PSSI di Indonesia Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) telah menjadi anggota The Federation Internationale De Football Association (FIFA) sejak tanggal 1 November 1952 pada saat kongres FIFA di Helsinki. Setelah diterima menjadi anggota FIFA, selanjutnya PSSI diterima pula menjadi anggota The Asian Football Confederation (AFC) pada tahun 1952, bahkan menjadi pelopor pembentukan The Asean Football Federation (AFF). Lebih dari itu, pada tahun 1953 PSSI memantapkan posisinya sebagai organisasi yang berbadan hukum 36 dengan mendaftarkan ke Departemen Kehakiman dan mendapat pengesahan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.A.5/11/6 pada tanggal 2 Februari 1953, tambahan berita Negara Republik Indonesia tanggal 3 Maret 1953 Nomor 18, berarti PSSI adalah satu-satunya induk organisasi olahraga yang terdaftar dalam berita Negara sejak 8 tahun setelah Indonesia merdeka. (http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011) Dalam perkembangannya, kepengurusan PSSI telah sampai ke pengurusan di tingkat daerah-daerah di seluruh Indonesia. Hal ini membuat sepakbola semakin menjadi olahraga dari rakyat dan untuk rakyat. Penyusunan landasan organisasi yang ditetapkan dalam statuta PSSI atas dasar upaya untuk meningkatkan pembinaan organisasi persepakbolaan nasional yang kuat dan teratur serta menyelenggarakan kegiatan-kegiatan persepakbolaan dengan memperhatikan seluruh ketentuan dan peraturan organisasi. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merupakan organisasi kemasyarakatan dan independen yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berdomisili di Jakarta. PSSI merupakan satu-satunya organisasi sepakbola nasional yang berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan semua kegiatan atau kompetisi sepakbola di 37 Indonesia. Dalam Statuta PSSI, disebutkan bahwa tujuan dari PSSI adalah sebagai berikut : 1) Mengembangkan dan mempromosikan sepakbola secara terus menerus, mengatur dan mengawasinya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semangat fair play (bermain adil) dan menyatukannya melalui pendidikan, budaya dan nilai-nilai kemanusiaan terutama melalui program pengembangan pemain usia muda; 2) Mengadakan kompetisi-kompetisi internal dalam semua bentuk dan tingkatan pada tingkat nasional, dengan menentukan secara tepat, wilayah kewenangan yang diakui sesuai dengan tujuan pembentukan dari berbagai liga sepakbola; 3) Menyusun peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan sepakbola dan memastikan penegakannya; 4) Melindungi kepentingan anggota; 5) Mencegah segala pelanggaran Statuta, peraturan-peraturan, instruksi dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan FIFA, AFC, AFF dan PSSI serta peraturan permainan dan memastikan bahwa semua peraturan tersebut dipatuhi oleh seluruh anggotanya; 6) Membentuk metode dan sistem yang tepat untuk mencegah terjadinya intervensi dari pihak manapun yang mengakibatkan tercederainya nilai-nilai sportivitas dalam sepakbola; 7) Mengendalikan dan mengawasi semua bentuk pertandingan persahabatan yang berlangsung di wilayah Indonesia; 8) Memelihara hubungan internasional di bidang keolahragaan dengan Asosiasi Sepakbola lainnya dalam segala bentuk dan aktivitas olahraga; dan 9) Menjadi tuan rumah dari kompetisi pada tingkat internasional dan level-level lainnya. Menurut Pasal 10 Statuta PSSI, bahasa resmi yang digunakan PSSI adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dokumen resmi dan teks ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara pengertian teks yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka teks dalam bahasa Inggris yang dianggap berlaku dan mengikat. 38 Pasal 22 Statuta PSSI menyebutkan bahwa kongres merupakan forum pertemuan anggota PSSI dan merupakan badan supremasi dan legislatif tertinggi PSSI yang mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan-keputusan. Kongres merupakan lembaga yang berwenang menetapkan apakah akan mengakui atau mengesahkan, menghentikan sementara atau menskorsing maupun memberhentikan anggotanya. Keanggotaan dapat berakhir melalui pengunduran diri maupun suatu pemberhentian. Namun, kehilangan hak keanggotaan tidak membebaskan anggota yang diberhentikan dari kewajiban keuangannya terhadap PSSI atau kepada anggota PSSI lainnya, sebaliknya menyebabkan pembatalan atas semua haknya didalam PSSI secara otomatis. Berdasarkan Pasal 12 Statuta PSSI, anggotaanggota PSSI meliputi : i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Klub; Pengurus provinsi; Asosiasi sepakbola wanita; Asosiasi klub futsal; Asosiasi wasit; Asosiasi pemain; dan Asosiasi pelatih. Kewajiban-kewajiban para anggota PSSI diatur pada Pasal 15 Statuta PSSI. Kongres dapat melakukan pemberhentian apabila anggotanya tidak memenuhi kewajiban keuangannya kepada PSSI dan apabila secara serius telah melanggar statuta, peraturanperaturan, instruksi atau keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh 39 FIFA, AFC, AFF dan PSSI. Pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67 Statuta PSSI pada menyebutkan badan peradilan PSSI yang terdiri dari : 1) Komisi Disiplin yang ketentuan-ketentuan mengenai komisi ini tunduk pada ketentuan mengenai kekuasaan kedisiplinan suatu Kongres dan Komite Eksekutif khususnya atas hal mengenai skorsing dan pemecatan anggota; 2) Komisi Banding yang bertanggung jawab untuk mendengarkan kesaksian banding terhadap keputusan-keputusan Komisi Disiplin yang belum dinyatakan final; dan 3) Komisi Etika yang fungsinya diatur dalam Kode Etika PSSI sebagaimana disusun oleh Komite Eksekutif PSSI. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia memiliki pengadilan arbitrase yang menangani semua perselisihan atau sengketa internal nasional antara PSSI, anggotanya, pemain, pelatih, petugas dan pertandingan serta agen pemain yang tidak berada dibawah kewenangan badan hukumnya. Komite eksekutif menyusun peraturan khusus mengenai komposisi, yurisdiksi dan prosedur peraturan mengenai pengadilan arbitrase ini. 40 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar berdasarkan lokasi dari Kantor Pengurus Provinsi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia Sulawesi Selatan untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan. Penelitian kepustakaan dilakukan di Kota Makassar pada Perpustakaan Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Wilayah Makassar, karena penulis menganggap bahwa perpustakaan tersebut memiliki buku-buku reverensi yang relevan dengan penulisan skripsi ini. B. Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pendekatan empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan melalui wawancara dengan koresponden dan studi kepustakaan untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di masyarakat. 41 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan dalam 2 (dua) bagian yaitu : 1. Data primer, merupakan data yang diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak terkait sehubungan dengan penulisan skripsi ini. 2. Data sekunder, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research) terutama data yang diperoleh dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum, karangan ilmiah, dan bacaan-bacaan lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. C. Teknik Pengumpulan Data Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Penelitian lapangan (Field Research). Dalam penelitian lapangan, cara pengumpulan datanya adalah melalui pedoman wawancara yang sifatnya terbuka, yaitu dengan mengadakan tanya jawab secara langsung guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada. Tipe pedoman wawancara yang digunakan adalah tipe terstruktur dan tidak terstruktur, artinya bahwa di dalam melakukan wawancara, penulis telah menetapkan terlebih dahulu pedoman wawancara 42 yang berupa daftar pertanyaan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses tanya jawab tersebut, penulis juga menanyakan hal-hal lain diluar dari kerangka pedoman wawancara yang mana hal tersebut dapat timbul secara langsung pada saat wawancara dilakukan. Adapun subyek dari penelitian ini terbagi atas : a) Informan Dalam hal ini, yang menjadi responden penelitian adalah pelatih asing Rodrigo Gonzalez dan Simon Elissetche. b) Narasumber Dalam hal ini, yang menjadi narasumber adalah pihak yang tidak terkait secara langsung dengan permasalahan penelitian ini, tetapi mempunyai pengetahuan yang luas dan dianggap mengetahui, terutama yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Faisal Abdullah sebagai tim ahli Kementerian Pemuda dan Olahraga. 2. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Yaitu dengan cara pengumpulan data dengan jalan membaca dan menelaah beberapa literatur maupun buku-buku serta peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk mendapatkan data-data sekunder 43 untuk mempermudah dalam menganalisa permasalahan yang ada. D. Analisa Data Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ini dianalisis secara kualitatif guna menjawab, memecahkan serta pendalaman secara menyeluruh dan utuh dari objek yang diteliti kemudian disajikan secara deskriptif untuk mendapatkan saran-saran apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di lapangan. 44 BAB IV PEMBAHASAN A. Bentuk Perjanjian Yang Dapat Memberikan Perlindungan Terhadap Pelatih Asing Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, kemasyarakatan, segala aspek kebangsaan, dan kehidupan dalam kenegaraan bidang termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Pasal tersebut secara tegas telas menjelaskan bahwa perjanjian melahirkan perikatan. Dengan kata lain, Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyatakan bahwa tidak ada suatu perikatan yang berasal dari luar perjanjian dan karena hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan 45 kewajiban bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela telah mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Pasal tersebut menjelaskan 2 (dua) jenis perjanjian yaitu : 1) Perjanjian yang dikenal dengan suatu nama khusus, yaitu perjanjian yang diatur secara khusus didalam undang-undang dan diberi nama resmi didalam undang-undang atau disebut juga dengan perjanjian khusus. Yang termasuk perjanjian khusus ialah : a) Perjanjian jual beli, b) Perjanjian tukar menukar, c) Perjanjian sewa menyewa, d) Perjanjian untuk melakukan pekerjaan, e) Perjanjian persekutuan, f) Perjanjian perkumpulan, g) Perjanjian hibah, h) Perjanjian penitipan barang, i) Perjanjian pinjam pakai, j) Perjanjian pinjam meminjam, k) Perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, l) Perjanjian untung-untungan, m) Perjanjian pemberian kuasa, n) Perjanjian penanggungan, dan o) Perjanjian perdamaian. 2) Perjanjian tidak bernama (innominat contract), yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini tidak terbatas dan 46 nama yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak. Contohnya adalah : a) Perjanjian kerjasama, b) Perjanjian pemasaran, dan c) Perjanjian pengolahan. (http://alfanaikkelas.wordpress.com/2011/01/07/jenisjenis-perjanjian/, diakses pada tanggal 15 April 2012) Berdasarkan sifatnya secara mendasar, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, membedakan perjanjian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai berikut : 1) Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian, 2) Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan, dan 3) Perjanjian formal adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut dibuat oleh pejabat umum Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Retno Prabandari, 2007:26) Menurut Subekti (1989:57), dalam hal perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yang mana suatu pihak menghendaki dari pihak-lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak-lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya. Contohnya, hubungan antara dokter dan pasien. b) Perjanjian Kerja/Perburuhan dimana yang dimaksudkan dengan jenis ini adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” yang ditandai dengan adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya “hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu 47 (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh yang lainnya. c) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Menurut Shamad (Abdul Khakim, 2003:28), perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja dibawah perintah dengan menerima upah. Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja dibawah perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan diperatas”. Menurut Abdul Khakim (2003:28), tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan 48 memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Lalu Husni (2010:69), perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat sahnya perjanjian kerja dibuat atas dasar : 1) 2) 3) 4) Kesepakatan kedua belah pihak, Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Hidayat Muharam (2006:2-4), kata-kata sepakat mereka mengikatkan diri pada Pasal 52 ayat (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini adalah asas konsesualisme yang menentukan adanya perjanjian. Artinya, pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu telah dilahirkan 49 sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak memerlukan bentuk yang formil (tertulis). Pasal 52 ayat (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mempersyaratkan para pihak yakni pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja sebagai penerima kerja mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Pasal 1329, Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, subjek hukum yang membuat perjanjian harus cakap untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum. Hakikat subjek hukum dibedakan antara pribadi kodrati (natuurlijk persoon) yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum (recht persoon), dan badan hukum seperti perseroan terbatas. Mengenai syarat subjektif, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian kerja adalah subjek hukum dan tidak membatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata tetapi juga termasuk subjek hukum publik, yakni badan hukum yang mengemban kepentingan publik yang dikelola atau ditangani oleh negara. Berdasarkan Pasal 52 ayat (c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, suatu perjanjian 50 kerja harus mempunyai pekerjaan yang diperjanjikan. Hal tersebut mengandung makna bahwa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Berdasarkan Pasal 52 ayat (d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1320 jo. Pasal 1335-Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian kerja harus berdasarkan suatu sebab yang halal. Maksud sebab yang halal disini adalah tujuan atau maksud yang dikehendaki dari suatu perjanjian kerja. Adapun yang dimaksud dengan halal adalah isi pekerjaan tersebut tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat : a) b) c) d) e) f) Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan, Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh, Jabatan atau jenis pekerjaan, Tempat pekerjaan, Besarnya upah dan cara pembayarannya, Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Menurut Hidayat Muharam (2006:5), berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulangulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja 51 dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja yang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian kerja tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis sesuai dengan Pasal 57 ayat 1 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian kerja. (Lalu Husni, 2010:70) Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. (Hidayat Muharam, 2006:6) Sesuai ketentuan Pasal 56-Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : (a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, (b) Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia, (c) Tidak boleh ada masa percobaan, (d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dan 52 (e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputusputus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. (Hidayat Muharam, 2006:7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu membedakan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi 4 (empat) bagian, yaitu : i. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, yang dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, tidak boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, sesuai dengan Pasal 3 ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang 53 Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. ii. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman, yang dimaksud adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu, sesuai ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaharuan (Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). iii. Perjanjian kerja waktu tertentu yang berhubungan dengan produk baru. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu) tahun tetapi tidak dapat dilakukan pembaharuan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan (Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). iv. Perjanjian kerja harian lepas, perjanjian ini mengenai pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu 54 Tertentu. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap (Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan tersebut, pengusaha dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama waktu 3 (tiga) bulan masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan penghentian yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1603 I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa syarat masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang 55 Ketenagakerjaan. Surat pengangkatan tersebut sekurangkurangnya memuat : (a) Nama dan alamat pekerja, (b) Tanggal mulai bekerja, (c) Jenis pekerjaan, dan (d) Besarnya upah. Dalam hal penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia, selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia wajib memperhatikan peraturan lain seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan dalam hal penggunaan Pelatih Asing, wajib memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, dan Statuta PSSI yang menjadi dasar dalam penggunaan pelatih sepakbola asing di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja antara Simon Elissetche dengan Klub PSSB Bireuen dan perjanjian kerja antara Rodrigo Gonzalez dengan Klub Kendari Utama Sultra, bentuk perjanjian tersebut merupakan bentuk perjanjian untuk melakukan suatu jasa tertentu, yang mana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya, dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan 56 kepada pihak lawan itu, dimana yang menjadi pihak lawan tersebut merupakan seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan dan biasanya ia juga sudah memasang tarif tertentu untuk jasanya, dalam hal ini adalah pelatih asing. Bentuk perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Statuta PSSI. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja antara Rodrigo Gonzales dengan Klub Kendari Utama, bentuk perjanjian tersebut merupakan perjanjian kerja yang tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Statuta PSSI. Setiap pelatih asing yang ingin bekerja di Indonesia sebaiknya didampingi oleh seorang Agen Pelatih yang berarti setiap orang yang mewakili, bernegosiasi atas nama atau bertindak bagi pelatih (selain seorang ahli hukum yang memberikan saran resmi profesional) dalam konteks registrasi maupun transfer dari registrasi Pelatih atau memperkerjakan dan atau jangka waktu penempatan Pelatih oleh Klub dan telah mempunyai perizinan yang diatur dalam regulasi Agen FIFA untuk urusan tersebut. Agen tersebut yang akan mempromosikan pelatih kepada klub sepakbola serta melakukan negosiasi dengan klub yang tertarik untuk menggunakan jasa pelatih asing. Selain mendapatkan 57 klub untuk pelatih asing, agen tersebut juga bertugas untuk membuat perjanjian kerja kedua belah pihak (pelatih asing dan klub sepakbola) sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati dengan memperhatikan segala hal dan kepentingan pelatih asing untuk menghindari terjadinya hal-hal yang dapat merugikan pelatih asing. Perjanjian kerja tersebut dibuat 3 (tiga) rangkap asli dengan isi yang sama diatas kertas bermaterai cukup serta memiliki kekuatan hukum yang sama setelah ditanda tangani oleh para pihak, termasuk oleh Agen Pelatih. Namun, posisi agen pelatih dalam hal ini hanya sebagai pihak ketiga yang merupakan konsultan bagi pelatih asing, dimana agen tersebut biasanya sudah memasang tarif tertentu untuk jasanya. Isi dari suatu perjanjian kerja antara klub dengan pelatih asing sekurang-kurangnya memuat tentang : 1) Identitas pelatih asing sebagai pekerja, 2) Identitas klub sebagai pemberi kerja, 3) Tanggal pembuatan perjanjian kerja, 4) Jabatan atau jenis pekerjaan, 5) Defenisi-defenisi, 6) Ruang lingkup perjanjian, 7) Jangka waktu perjanjian, 8) Nilai dasar perjanjian dan metode pembayaran upah/gaji, 9) Kewajiban para pihak, 10) Pengakhiran perjanjian, 58 11) Penyelesaian keluhan, 12) Regulasi sepakbola, 13) Penutup, dan 14) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Selain itu, suatu perjanjian kerja antara pelatih asing dengan klub wajib menggunakan dua bahasa resmi PSSI, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Statuta PSSI yang menyebutkan bahwa bahasa resmi yang digunakan oleh PSSI adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dokumen resmi dan teks ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pengertian teks yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka teks dalam bahasa Inggris yang dianggap berlaku dan mengikat. Apabila hal tersebut diatas tidak tercantum dalam suatu perjanjian kerja antara klub dan pelatih asing, maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah atau tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian kerja yang sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Statuta PSSI. 59 Berdasarkan uraian diatas, bentuk perjanjian kerja yang dapat memberikan perlindungan terhadap pelatih asing adalah : i. Bentuk perjanjian tertentu yang mempunyai karakter khusus, dimana yang menjadi obyek dari perjanjian tersebut ditentukan secara terperinci dan jelas, ii. Bentuk perjanjian dengan ketetapan waktu, dimana pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang sudah pasti terjadi, iii. Bentuk perjanjian yang menggunakan dua bahasa resmi PSSI, yaitu dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. iv. Perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga guna pemberian perlindungan pada pelatih asing, dalam hal ini, Agen sebagai pihak ketiga yang merupakan konsultan bagi pelatih asing. B. Faktor Yang Menjadi Dasar Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Antara Pelatih Asing Dengan Klub Sepakbola Berdasarkan hasil wawancara (tanggal 25 Juli 2012 di Makassar) dengan Simon Elissetche dan Rodrigo Gonzalez, pelatih asing tersebut menjelaskan sejarah penggunaan pelatih asing pada Klub Kendari Utama, pada tahun 2003 dibentuk sebuah klub sepakbola amatir yang bernama Mustika Utama Kendari dengan menggunakan jasa pelatih asing Manuel R. Vega dan Sowite Raha FC yang dilatih 60 oleh Juan R. Vega, klub tersebut mulai bermain di turnamen kampung (tarkam). Kedua klub ini menjadi sejarah terbentuknya klub Kendari Utama Sultra. Pada tahun 2004, keberadaan pelatih sepakbola asing di klub Mustika Utama Kendari dan Sowite Raha FC bertambah dengan bergabungnya Rodrigo Gonzalez sebagai asisten pelatih dari klub Mustika Utama Kendari, dan Simon Elissetche sebagai asisten pelatih klub Sowite Raha FC. Di tahun 2005, kedua klub tersebut tergabung menjadi klub Kendari Utama Sultra dengan menggunakan jasa pelatih asing yang sama, yaitu Manuel R. Vega, Juan R. Vega, Simon Elissetche, dan Rodrigo Gonzalez. Klub Kendari Utama Sultra memiliki tim utama dan tim junior, dimana tim junior terdiri dari tim U20, tim U-17, tim U-15, dan tim U-13. Selain itu, tim tersebut memiliki sebuah sekolah sepakbola (SSB) Kendari Utama Sultra yang dibuka untuk masyarakat umum secara gratis dengan tingkatan usia mulai dari U-8 sampai dengan U-16. Pembentukan SSB Kendari Utama Sultra dimaksudkan guna mencari bibit-bibit pemain baru yang berbakat demi kelangsungan perkembangan tim Kendari Utama Sultra. Pada saat penandatanganan perjanjian kerja dengan klub Kendari Utama Sultra, para pelatih asing Kendari Utama Sultra tidak diberikan salinan kontrak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Di tahun 2005, pelatih asing Kendari Utama Sultra yang bernama Simon Elissetche, dan Rodrigo Gonzalez dikejutkan dengan kedatangan pihak dari Imigrasi Kendari yang menjelaskan mengenai 61 penyalahgunaan status keimigrasian mereka selama berada di Indonesia yang hanya menggunakan Visa Sosial Budaya yang telah selesai batas kunjungannya. Mereka diwajibkan untuk meninggalkan Indonesia dengan sanksi deportasi apabila tidak dilaksanakan dan pihak manajemen klub Kendari Utama Sultra diharuskan membayar sanksi denda akibat penyalahgunaan ijin tinggal sementara bagi warga negara Asing selama di Indonesia dimana klub Kendari Utama Sultra mempekerjakan pelatih asing dengan menggunakan Visa Sosial Budaya yang seharusnya menggunakan Kartu Ijin Tinggal Sementara (KITAS). Selain itu, masalah yang dialami oleh para pelatih asing tersebut selama melatih di klub Kendari Utama Sultra adalah tidak adanya pembayaran upah/gaji dari manajemen klub Kendari Utama Sultra selama kurang lebih 5 bulan terakhir sebelum masa perjanjian kerja berakhir. Untuk memperjuangkan haknya, para pelatih asing Kendari Utama Sultra telah menempuh upaya musyawarah dengan pihak klub mengenai hal upah/gaji, masalah status imigrasi dan mengenai penyediaan tiket pulang ke negara asal para pelatih asing tersebut. Namun, upaya musyawarah yang ditempuh tidak mendapatkan hasil yang baik bagi para pelatih asing tersebut. Pasalnya, pihak manajemen tidak memberikan tanggapan yang baik terhadap masalah yang para pelatih asing tersebut hadapi. Hal tersebut mendorong para pelatih asing klub Kendari Utama Sultra untuk mendatangi kantor manajemen klub guna mencari perjanjian 62 kerja yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak sebagai barang bukti untuk membela hak-hak mereka yang tidak dipenuhi oleh pihak manajemen. Berdasarkan perjanjian kerja yang telah mereka dapatkan, para pelatih asing tersebut mendatangi salah satu agen pemain dan pelatih sepakbola yang juga berasal dari negara Chile yang bernama Nelson Sanchez untuk konsultasi mengenai masalah yang sedang mereka hadapi dengan klub Kendari Utama Sultra. Namun, setelah Nelson Sanchez melihat perjanjian kerja tersebut, beliau menjelaskan bahwa perjanjian kerja yang mereka miliki merupakan perjanjian kerja yang tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat ditindak lanjuti, dengan kata lain mereka tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan Indonesia tanpa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Selain itu, para pelatih asing tersebut menempuh upaya pelaporan mengenai masalah yang sedang mereka hadapi di Kedutaan Besar Chile yang berada di Jakarta. Pihak Kedutaan Besar Chile langsung menanggapi laporan tersebut dengan menempuh cara yaitu menghubungi Presiden klub Kendari Utama Sultra untuk memberikan apa yang seharusnya menjadi hak bagi warga negara mereka yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pelatih di klub Kendari Utama Sultra. Berdasarkan laporan di Kedutaan Besar Chile, klub Kendari Utama Sultra memenuhi kewajibannya sebagai yang mempekerjakan pelatih asing. Pihak manajemen klub menyelesaikan kewajibannya 63 dengan pihak imigrasi. Namun, pihak manajemen klub Kendari Utama Sultra menyatakan tidak dapat melanjutkan perjanjian kerja dengan pelatih asing yang bernama Manuel R. Vega, Juan R. Vega dan Simon Elissetche, serta tidak dapat memberikan tiket pulang ke negara asalnya dan tidak dapat membayar sepenuhnya upah/gaji yang belum terlaksana. Hal tersebut membuat para pelatih asing tersebut tidak memiliki pilihan selain meninggalkan Indonesia. Sehingga pada tahun 2005, Manuel R. Vega, Juan R. Vega dan Simon Elissetche meninggalkan Indonesia dimana pada saat itu, Simon Elissetche mendapatkan pengawasan ketat dari pihak imigrasi yang mengantarkan beliau sampai diatas pesawat menuju negara asalnya, Chile, dikarenakan penyalahgunaan ijin tinggal sementara di Indonesia yang dilakukan oleh pihak klub Kendari Utama Sultra. Pihak manajemen menyatakan ingin tetap melanjutkan perjanjian kerjanya dengan Rodrigo Gonzalez dan akan menyelesaikan mengenai masalah keimigrasian pelatih asing tersebut sehingga Rodrigo Gonzalez tetap berada di Indonesia pada waktu itu. Klub Kendari Utama Sultra menjadi klub divisi 3 (tiga) pada tahun 2006 di bawah masa kepemimpinan pelatih asing Rodrigo Gonzalez dan dinyatakan lolos ke divisi 2 (dua) di tahun yang sama setelah mengikuti beberapa turnamen sepakbola profesional. Prestasi klub Kendari Utama Sultra terus meningkat di masa kepemimpinan pelatih asing Rodrigo Gonzalez yang membawa klub tersebut ke divisi 1 (satu) sepakbola 64 profesional Indonesia pada tahun 2007. Namun, perjanjian kerja yang diberikan oleh pihak klub kepada Rodrigo Gonzalez ternyata masih tetap seperti perjanjian kerja yang sebelumnya. Selain itu, Rodrigo Gonzalez tidak mengetahui secara jelas mengenai status keimigrasiannya selama masa kontrak tersebut. Setelah mengalami overstay (lewat batas waktu tinggal), Rodrigo Gonzalez diharuskan meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu guna pembuatan ijin tinggal baru oleh pihak klub. Masalah pembayaran upah/gaji yang tidak terpenuhi masih tetap dialami oleh Rodrigo Gonzalez dengan klub. Hal tersebut tidak sejalan dengan prestasi klub yang telah diberikan oleh pelatih asing Rodrigo Gonzalez. Upaya musyawarah telah dilakukan oleh Rodrigo Gonzalez namun upaya tersebut tidak mendapatkan hasil yang baik. Pelatih asing tersebut akhirnya memilih meninggalkan Indonesia pada tahun 2007 sebelum mendapatkan masalah seperti yang dihadapi oleh pelatih asing Kendari Utama Sultra sebelumnya. Kondisi tersebut tidak berjalan sesuai dengan prestasi yang telah diberikan oleh pelatih. Pelatih bukan hanya sekedar guru mengenai teknik, pelatih merupakan sosok penentu kesuksesan timnya. Pendidikan pelatih asing dan pengalamannya melatih menjadi pertimbangan utama dalam penggunaan jasanya dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Keberadaan pelatih asing di dunia persepakbolaan Indonesia dirasa perlu karena mereka dinilai memiliki pengalaman yang lebih baik dibanding pelatih lokal. 65 Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja antara Rodrigo Gonzales dengan klub Kendari Utama, klub Kendari Utama sebagai pemberi kerja, tidak memenuhi prosedur-prosedur yang berlaku mengenai penggunaan tenaga kerja asing. Selain itu, klub tersebut tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, padahal pelatih asing tersebut telah menjalankan tugasnya sesuai dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dibuat antara klub dengan pelatih pada dasarnya merupakan keseluruhan perjanjian antara klub dengan pelatih yang mengandung mengenai pokok perjanjian dan pasal pengganti pemahaman sebelumnya, perwakilan atau perjanjian antara para pihak, termasuk setiap penawaran dari klub. Dalam hal terjadinya sebuah keluhan, pelatih dan klub hendaknya berusaha untuk menyelesaikan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Apabila pelatih dan klub tidak mampu untuk menyelesaikan keluhan, dengan mempertimbangkan keadilan bagi pelatih dan klub, keduanya diminta untuk mengacu permasalahan kepada Pengadilan Ketenagakerjaan atau kedua belah pihak dapat menyerahkan keluhan kepada penyelesaian yang dapat dicapai melalui National Dispute Resolution Chamber (badan yang dibentuk oleh PSSI yang bertujuan menyelesaikan perselisihan antara klub, pemain dan pelatih) atau dengan cara mengajukan perselisihan tersebut kepada Pengadilan Arbitrase untuk Olahraga (Court of Arbitration For Sport) yang 66 berkedudukan di Lausanne, Swiss. Apabila ada ketidakcocokan antara regulasi sepakbola dan perjanjian kerja antara klub dan pelatih asing, maka apapun yang menguntungkan bagi pelatih dalam perjanjian kerja harus dipertahankan. Selain itu, tidak ada isi dari perjanjian kerja antara klub dengan pelatih yang mengusik hak pelatih didalam Hukum Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Faktor yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja antara pelatih asing dengan klub sepakbola adalah pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih asing dan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pelatih asing mengenai hakhaknya apabila terjadi perselisihan atau tidak terpenuhinya kewajiban oleh klub, pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih asing meliputi : 1. Pendapatan pelatih (uang kontrak dan gaji bulanan), 2. Bonus penghargaan pelatih, 3. Asuransi dan pembayaran pendapatan saat pelatih tidak bisa melakukan kewajibannya dikarenakan sakit atau cedera yang dialami pelatih oleh karena atau hal lain berdasarkan instruksi atau perintah dari klub, 4. Biaya penggantian terhadap biaya yang telah dikeluarkan pelatih untuk keperluan atau kepentingan klub yang telah disepakati oleh para pihak, contohnya biaya pembuatan ijin tinggal pelatih 67 selama berada dan bekerja di Indonesia serta tiket pesawat pulang pelatih ke negara asalnya, 5. Penyediaan seluruh fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan pelatih sehubungan dengan pertandingan yang diikuti oleh klub, contohnya akomodasi, makanan, transportasi, 6. Pemberian jaminan kesehatan dalam bentuk asuransi atau bentuk perlindungan lain kepada pelatih, 7. Pemberian hak kepada pelatih sehubungan dengan hari libur klub maupun hari libur nasional, dan 8. Pemberian perlindungan terhadap hak asasi dan non- diskriminasi pelatih. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tegas telah mengatur mengenai ketentuan pidana dan sanksi administratif untuk memberikan perlindungan hukum bagi Tenaga Kerja Asing di Indonesia yang akan diuraikan sebagai berikut : a) Pasal 185 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan. b) Pasal 187 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling 68 banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana ini merupakan tindak pidana pelanggaran. c) Pasal 190 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan yang diatur pada Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 48. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud berupa : i. Teguran, ii. Peringatan tertulis, iii. Pembatasan kegiatan usaha, iv. Pembekuan kegiatan usaha, v. Pembatalan persetujuan, vi. Pembatalan pendaftaran, vii. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, viii. Pencabutan ijin. Berdasarkan uraian dari penjelasan diatas, faktor yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja antara pelatih asing dengan klub sepakbola adalah : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 2. Statuta PSSI sebagai dasar dunia persepakbolaan Indonesia, 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, 4. Pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih asing, dan 5. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi pelatih asing mengenai hak-haknya apabila terjadi perselisihan atau tidak terpenuhinya kewajiban oleh klub. 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan : 1. Bentuk perjanjian kerja yang dapat memberikan perlindungan terhadap pelatih asing adalah bentuk perjanjian tertentu yang mempunyai karakter khusus, dimana yang menjadi obyek dari perjanjian tersebut ditentukan secara terperinci dan jelas dengan ketetapan waktu, dimana pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang sudah pasti terjadi dengan menggunakan dua bahasa resmi PSSI, yaitu dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan juga adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga guna pemberian perlindungan pada pelatih asing, dalam hal ini, Agen sebagai pihak ketiga yang merupakan konsultan bagi pelatih asing. 2. Faktor yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja antara klub dengan pelatih asing adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Statuta PSSI sebagai dasar dunia persepakbolaan Indonesia, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih asing dan untuk memberikan perlindungan hukum bagi 70 pelatih asing mengenai hak-haknya apabila terjadi perselisihan atau tidak terpenuhinya kewajiban oleh klub. B. Saran Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagi pelatih asing, sudah seharusnya didampingi oleh seorang agen ataupun penerjemah dalam proses penandatanganan perjanjian kerja dengan klub. Sebelum menandatangani perjanjian kerja, pelatih asing harus lebih memahami dan teliti terhadap klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian kerja, jangan sampai ketidakpahaman dan kurang telitinya, pelatih tersebut mengalami perselisihan dengan pihak klub yang akan merugikan dirinya sendiri. 2. Bagi pihak klub, sudah seharusnya memperhatikan kepentingankepentingan pelatih asing, tidak hanya mencari keuntungan untuk kemajuan klubnya sendiri. Jaminan kepastian hukum pelatih asing perlu mendapat perhatian khusus dari pihak klub dengan cara pembentukan dan pengembangan hubungan kerja para pihak yang terkait secara harmonis, terbuka, timbal balik, dan saling menguntungkan, sehingga memungkinkan semua pihak untuk melaksanakan kewajibannya secara optimal dan kepastian untuk memperoleh haknya, serta memungkinkan berjalannya mekanisme kontrol untuk menghindari kekurangan dan penyimpangan 71 sehingga tujuan dan target kemajuan dunia persepakbolaan Indonesia dapat tercapai. 72 DAFTAR PUSTAKA Abdul Khakim. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Agusmidah. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Dinamika dan Kajian Teori. Bogor : Ghalia Indonesia. Ahmadi Miru. 2008. Hukum kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Cetakan 3, Juni 2011. Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW. Jakarta : Rajawali Pers. Djumadi. 2006. Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. Hidayat Muharam. 2006. Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Indrareni Gandadinata. 2007. Wanprestasi dan Penyelesaiannya Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank Internasional Indonesia Kantor Cabang Purwokerto. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2008. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Seri Hukum Perikatan). Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. Rendy Andaria Bangun. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing Di Sumatera Utara, Studi Pada Pt Tolan Tiga Indonesia. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Retno Prabandari. 2007. Jenis-jenis Perjanjian Sebagai Dasar Hukum Dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Objek Hak Tanggungan. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang. 73 Riduan Syahrani. 2009. Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung : Alumni. R. Subekti. 1989. Cetakan 8. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. R. Subekti. 2002. Cetakan 19. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa. Yahya Harahap. 1982. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. Wita Sumarjono C. Setiawan. 2010. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Franchise Pizza Hut. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang. Peraturan Perundang-Undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Multimedia / Internet : Dari Singapura Ke Austria, Inilah Daftar Pelatih Asing Timnas Sepakbola Indonesia. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6746110, diakses pada tanggal 9 Oktober 2011. Keadaan Memaksa (Overmacht) Dalam Hukum Perdata. http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmachtdalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011. 74 Pengertian Perlindungan Hukum. http://zonaprasko.blogspot.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 9 Oktober 2011. Sejarah Dan Perkembangan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17319/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 8 Oktober 2011) Totalitas Pembangunan Tim Sepakbola Kelas Dunia. http://www.dimasprasetyo.net/totalitas-pembangunan-tim-sepakbolakelas-dunia-1572, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011. Tidak Semua Cabang Olahraga Butuh Pelatih Asing. http://www.jurnas.com/news/30967/Tidak%20Semua%20Cabang%20Butu h%20Pelatih%20Asing/13/Olahraga, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011. 75