View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia yang selanjutnya
disebut PSSI, dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta
merupakan suatu organisasi olahraga yang dilahirkan pada zaman
penjajahan Belanda, terkait dengan kegiatan politik yang menentang
penjajahan. Jika meneliti dan menganalisa saat-saat sebelum, selama
dan sesudah kelahirannya, sampai 5 tahun pasca Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
jelas sekali bahwa PSSI lahir karena dibidani politisi bangsa yang baik
secara langsung maupun tidak langsung, menentang penjajahan
dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemudapemuda Indonesia.
(http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2011)
Sepakbola merupakan sarana yang sangat penting untuk
menunjang pembangunan bangsa baik dibidang fisik, mental maupun
spiritual dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
secara merata dan berimbang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Keberhasilan
pembinaan sepakbola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab
1
tingginya prestasi sepakbola menimbulkan kebanggaan Nasional.
Dengan
demikian,
keberhasilan
pembinaan
sepakbola
harus
dilakukan secara terorganisir untuk meningkatkan prestasi sepakbola
Nasional.
Dunia persepakbolaan Indonesia terus berkembang walaupun
mengalami pasang surut dalam kualitas pemain, kompetisi dan
organisasinya.
Sebagai olahraga
terpopuler di seluruh dunia,
sepertinya tak ada masyarakat yang tidak mengenal sepakbola.
Namun, sejauh ini dunia persepakbolaan Indonesia tidak dibangun
secara progresif dan menyeluruh. Kebijakan para petinggi yang
menangani persoalan sepakbola masih terkesan instan dan tidak
berkesinambungan. Contoh sederhana ada pada masalah pelatih.
(http://www.dimasprasetyo.net/totalitas-pembangunan-tim-sepakbolakelas-dunia-1572, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011)
Tim
nasional
menggunakan
jasa
Indonesia
dari
pelatih
tercatat
asing.
telah
beberapa
Dalam
sejarah
kali
dunia
persepakbolaan Indonesia, pelatih sepakbola asing yang tercatat telah
memimpin pasukan Garuda merah-putih Indonesia, yaitu sebagai
berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Choo Seng Quee asal Singapura (tahun 1951-1953);
Tony Pogacknik asal Yugoslavia (tahun 1954-1964);
Wiel Coerver asal Belanda (tahun 1975-1976);
Frans Val Balkom asal Belanda (tahun 1978-1979);
Marek Janota asal Polandia (tahun 1979-1980);
Bernd Fischer asal Jerman (tahun 1980-1981);
Anatoly Palosin asal Rusia (tahun 1987-1991);
Ivan Toplak asal Cekoslovakia (tahun 1991-1993);
2
9)
10)
11)
12)
Romano Matte asal Italia (tahun 1993-1995);
Henk Wullems asal Belanda (tahun 1996-1997);
Bernard Schumm asal Jerman (tahun 1999);
Ivan Kolev asal Bulgaria (tahun 2002-2004 dan pada tahun
2007);
13) Peter White asal Inggris (tahun 2004-2007);
14) Alfred Riedl asal Austria (tahun 2010-2011); dan
15) Wim Rijsbergen asal Belanda (tahun 2011-sekarang).
(http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6746110, diakses pada
tanggal 9 Oktober 2011)
Dibalik
kesuksesan
perkembangan
dunia
persepakbolaan
Indonesia dengan pelatih asing, belum tentu tanpa konflik yang ada di
dalam internal klub. Konflik yang sering terjadi antara pelatih asing
dengan suatu klub sepakbola adalah masalah perjanjian kerja. Selain
itu, status keimigrasian pelatih asing dan upah/gaji bulanan yang tidak
dibayarkan secara utuh menjadi salah satu masalah yang sering
terjadi dalam internal klub, salah satunya terjadi pada klub Kendari
Utama Sultra.
Menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban.
Setiap perjanjian kerja melahirkan suatu hubungan timbal balik antara
kedua belah pihak yang disebut dengan hubungan kerja dimana
hubungan tersebut merupakan hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
3
Setiap
perjanjian
mempunyai
akibat-akibat
seperti
yang
disebutkan pada Pasal 1338 ayat (1) dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pada ayat (3) Pasal 1338 dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata juga telah ditegaskan bahwa suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Ayat-ayat dari pasal tersebut telah
menegaskan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian
kerja dan setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perkembangan
hubungan
kerja
dewasa
ini
tidak
hanya
mengarah pada dunia bisnis semata, melainkan telah mencakup
bidang-bidang usaha lain yang menghasilkan keuntungan atau
menghasilkan uang saja, tetapi juga telah berkembang pada sisi lain
kehidupan manusia, seperti misalnya dalam dunia olahraga. Olahraga
merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan
nasional
kehidupan
sehingga
keberadaan
bermasyarakat,
dan
peranan
berbangsa,
dan
olahraga
dalam
bernegara
harus
ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum
nasional.
Dewasa ini, olahraga telah menjadi suatu aset yang memiliki
prospek cukup bagus di masa mendatang dan dapat menghasilkan
uang. Salah satu contohnya adalah olahraga sepakbola. Sepakbola
4
merupakan olahraga rakyat yang paling digemari dan juga merupakan
olahraga yang mendunia karena olahraga ini dapat diterima oleh
semua lapisan masyarakat serta merupakan olahraga yang paling
populer di dunia.
Kedudukan orang yang memiliki modal atau pemilik klub
sepakbola dapat dikatakan sebagai pemilik perusahaan/majikan,
sedangkan klub sepakbola disebut sebagai perusahaan, dan pelatih
sepakbola sebagai buruh/pekerja. Dewasa ini, kebanyakan klub
sepakbola Indonesia telah menggunakan jasa pelatih asing dengan
tujuan meningkatkan prestasi dari tim/klubnya. Pihak klub sepakbola
mempekerjakan pelatih asing yang mengikatkan diri untuk melatih
klub demi kepentingan pihak klub sepakbola. Sepakbola dapat
menghasilkan uang melalui penjualan tiket dari penonton. Selain itu,
dari sponsor-sponsor yang senantiasa mendukung. Oleh karena
begitu banyaknya keuntungan yang dapat dihasilkan, maka sepakbola
pada saat ini dapat dijadikan sebagai suatu profesi baru yang memiliki
prospek cukup cerah, sehingga olahraga dapat dijadikan sandaran
hidup bagi seseorang untuk mencari nafkah.
Sebelum pelatih asing bergabung dengan suatu klub, terlebih
dahulu
antara
pihak
klub
sepakbola
dengan
pelatih
asing
mengadakan suatu perjanjian kerja, dalam perjanjian kerja tersebut
dicantumkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pihak pertama
adalah pihak klub sepakbola yang merupakan anggota dari PSSI dan
5
pihak kedua adalah pelatih sepakbola asing yang menjadikan
sepakbola sebagai mata pencaharian pokok. Dalam perjanjian kerja
juga dicantumkan nilai kontrak pelatih asing beserta tata cara
pembayarannya dan masalah status keimigrasian pelatih asing yang
bersangkutan, dan lain-lain.
Meskipun telah dibuat suatu perjanjian kerja antara klub
sepakbola dengan pelatih asing, pada kenyataannya masih banyak
penyimpangan yang terjadi dalam dunia persepakbolaan seperti
pembayaran gaji/upah yang tidak sesuai dengan kontrak ataupun
masalah status keimigrasian pelatih asing. Terkadang, jaminan
kepastian
hukum
pelatih
sepakbola
asing
masih
kurang
menguntungkan bagi pihak pelatih sepakbola asing, misalnya salah
satu
pihak
tidak
melaksanakan
kewajibannya,
tidak
adanya
pengurusan masalah status keimigrasian selama dalam kontrak kerja
yang menyebabkan pelatih asing tersebut harus meninggalkan
Indonesia dengan sanksi deportasi apabila tidak dilaksanakan
dan/atau nilai kontrak yang diterima oleh pelatih sepakbola asing tidak
sesuai dengan nilai yang telah diperjanjikan sebelumnya dan lain-lain.
Seharusnya, penyelesaian permasalahan tersebut harus berdasarkan
perjanjian kerja yang telah dibuat guna kepentingan kedua belah
pihak.
6
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
penulis
melakukan
penelitian hukum dengan judul “Perjanjian Kerja Antara Klub
Sepakbola Dengan Pelatih Asing”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut
diatas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
bentuk
perjanjian
yang
dapat
memberikan
perlindungan terhadap Pelatih Asing?
2. Faktor apakah yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian
antara Pelatih Asing dengan Klub Sepakbola?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah bentuk perjanjian yang dapat
memberikan perlindungan terhadap Pelatih Asing.
2. Untuk mengetahui faktor apakah yang menjadi dasar dalam
pembuatan perjanjian kerja antara Pelatih Asing dengan Klub
Sepakbola.
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat,
adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman terhadap
ilmu hukum, khususnya di bidang keperdataan dalam aspek
perjanjian kerja.
2. Sebagai referensi terhadap penelitian selanjutnya dalam menyusun
karya tulis ilmiah yang lebih mendalam sehubungan dengan bidang
keperdataan dalam aspek perjanjian kerja.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dimana dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Namun, pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa
dimana apabila seseorang berjanji kepada seorang lainnya atau
dimana dua pihak atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu ataupun tidak untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain,
perjanjian merupakan suatu peristiwa konkret yang dapat diamati.
Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan
yang
mengandung
kesepakatan/persetujuan
para
pihak
yang
membuatnya baik secara lisan maupun dalam bentuk tertulis. Dari
peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara para pihak
tersebut yang dinamakan perikatan. Sedangkan pengertian dari
perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan. Perikatan merupakan suatu pengertian yang tidak
konkret tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan
9
merupakan akibat dari adanya suatu perjanjian yang menyebabkan
orang-orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang telah
disepakati. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Semua kesepakatan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang
ditentukan
oleh
undang-undang.
Persetujuan
harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk
berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan
pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu merupakan sesuatu
hal yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat
dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai
suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan. (Retno Prabandari, 2007:22-40)
Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa
dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya,
perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, agar keberadaan suatu
perjanjian diakui oleh undang-undang, haruslah sesuai dengan syaratsyarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sah
10
perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
1) Kesepakatan
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk
terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan
berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis.
Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja
terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi
bahkan hanya dengan simbol-simbol atau dengan cara lainnya
yang tidak secara lisan, namun yang paling penting adalah
adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.
Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat
dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang
penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa
telah terjadi penawaran dan penerimaan. (Ahmadi Miru, 2008:14)
2) Kecakapan
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai
dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah (walaupun
usianya belum mencapai 21 tahun). (Ahmadi Miru, 2011:68)
3) Suatu Hal Tertentu
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya
perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek
perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan
tanpa objek yang tertentu. (Ahmadi Miru, 2011:68)
4) Suatu Sebab Yang halal
Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan
dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan
ketertiban umum. (Ahmadi Miru, 2011:69)
Menurut Wita Sumarjono (2010:36), dua syarat pertama di atas
disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan
keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur
pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak
tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya
unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab
11
yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Dalam
suatu perjanjian dikenal beberapa unsur-unsur, yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Esensialia
Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan
berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu
pihak atau lebih, yang mencerminkan sifat dari perjanjian
tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis
perjanjian lainnya. Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam
memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu
perjanjian. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008:85)
b) Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam
undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak
dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu
dianggap ada dalam kontrak. (Ahmadi Miru, 2008:31)
c) Unsur Aksidentalia
Unsur ini merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian,
yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara
menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendaknya yang
merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara
bersama-sama oleh para pihak. (Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja, 2008:85)
Menurut Ahmadi Miru (2008:3), pada umumnya dalam hukum
kontrak dikenal banyak asas, diantaranya sebagai berikut :
1) Asas Konsesualisme
Asas konsesualisme menjelaskan bahwa lahirnya perjanjian
ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian,
apabila kesepakatan telah tercapai antara para pihak, maka
lahirlah suatu perjanjian, walaupun perjanjian tersebut tidak
langsung dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa
dengan tercapainya suatu kesepakatan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi mereka yang membuat suatu kesepakatan atau
biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat
abligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi perjanjian tersebut. Asas ini hanya berlaku terhadap
kontrak konsensual.
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan
kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian.
12
3) Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk
memenuhi perjanjian tersebut karena kontrak tersebut
mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang,
sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam
hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik diatur dalam
Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. di Negeri Belanda
memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap
praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas
itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Walaupun itikad baik
para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap
praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada
setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu
selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.
Pada dasarnya, tidak semua perjanjian lahir pada saat
tercapainya kesepakatan karena lahirnya suatu kontrak tergantung
pada jenis perjanjiannya. Secara mendasar, perjanjian dibedakan
menurut sifatnya, yaitu perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan
perjanjian formal. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang
dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang
membuat perjanjian. Perjanjian riil merupakan jenis perjanjian yang
memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan,
misalnya perjanjian penitipan barang pada Pasal 1741 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan perjanjian formil
adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-
13
undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan
bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat
umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, misalnya jual beli
tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, perjanjian perkawinan dibuat
dengan akta notaris. (Retno Prabandari, 2007:26)
Apabila suatu perjanjian berakhir, berarti semua pernyataan
kehendak atau semua hal yang telah diperjanjikan antara para pihak
menjadi terhapus. Berakhirnya suatu perjanjian sebagai hubungan
hukum
antara
menghapuskan
kreditor
seluruh
dan
debitor
dengan
perjanjian
antara
sendirinya
akan
para
pihak.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17319/3/Chapter%20I
I.pdf, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011)
Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
suatu perikatan dapat berakhir karena :
i. Karena pembayaran;
ii. Karena penawaran pembayaran tunai,
penyimpanan atau penitipan;
iii. Karena pembaharuan utang;
iv. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
v. Karena percampuran utang;
vi. Karena pembebasan utangnya
vii. Karena musnahnya barang yang terutang;
viii. Karena kebatalan atau pembatalan;
ix. Karena berlakunya suatu syarat batal; dan
x. Karena lewatnya waktu (daluwarsa).
diikuti
dengan
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para
pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah
14
diperjanjikan tanpa adanya pihak yang dirugikan. Tetapi, adakalanya
perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Kata wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi atau itikad buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, pihak tersebut tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan
bukan dalam keadaan memaksa. Menurut Ahmadi Miru (2008:74),
wanprestasi dapat berupa :
1)
2)
3)
4)
Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;
Terlambat memenuhi prestasi; dan
Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Tindakan
wanprestasi
membawa
konsekuensi
terhadap
timbulnya hak dipihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang
melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh
hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi
karena kesengajaan, kelalaian dan tanpa kesalahan. (Indrareni
Gandadinata, 2007:21)
Menurut Ahmadi Miru (2008:75), oleh karena pihak lain dirugikan
akibat wanprestasi tersebut, maka pihak yang melakukan wanprestasi
harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat
berupa tuntutan :
a) Pembatalan kontrak saja;
15
b)
c)
d)
e)
Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;
Pemenuhan kontrak saja;
Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; dan
Penuntutan ganti rugi saja.
Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan
melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah
suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari
para pihak atau tidak. Akibat umumnya tetap sama, yakni pemberian
ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak
dilaksanakannya kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure
(keadaan memaksa) yang umumnya memang membebaskan pihak
yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara waktu atau selamalamanya). Tuntutan yang harus ditanggung oleh pihak yang
wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh
pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam
bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut juga
dibebani biaya perkara. (Indrareni Gandadinata, 2007:21)
Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada
prinsipnya, asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan
kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup materiil, maka
suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat
dituntut. Asal saja ketidak terlaksanaan kewajiban tersebut bukan
karena hal-hal yang bersifat force majeure, yang untuk itu tidak diatur
oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah
merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur
16
tentang force majeure dan tentang resiko. Istilah keadaan memaksa
berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa
adalah suatu keadaan ketika debitor tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang
berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir, tanah
longsor, dan lain-lain. Peristiwa overmacht mencegah debitor
menanggung akibat dan risiko perjanjian. Overmacht merupakan
dasar hukum yang menyampingkan atau menyingkirkan asas yang
terdapat pada Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyebutkan bahwa setiap wanprestasi yang menyebabkan
kerugian,
mewajibkan
debitor
untuk
membayar
ganti
rugi.
(http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksaovermacht-dalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober
2011)
Menurut Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa hal yang disebut dapat menghalangi atau
merintangi pelaksanaan pemenuhan prestasi terbagi atas dua hal,
yaitu :
1) Overmacht (keadaan memaksa), atau keadaan yang berada di
luar kemampuan debitor; dan
2) Toeval, yaitu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya oleh debitor.
Klausula overmacht atau force majeure biasa dicantumkan
dalam pembuatan perjanjian atau kontrak dengan maksud melindungi
17
para pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari perjanjian yang
tidak dapat dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada di luar
kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan
tindakan yang sewajarnya. Dalam pencantuman klausula overmacht
biasanya terdapat penekanan kepada keadaan memaksa yang
berada di luar kekuasaan para pihak. Dalam keadaan yang demikian,
tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk
setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan kewajiban
sesuai dengan kontrak.
(http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksaovermacht-dalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober
2011)
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut
dengan Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa
pengertian. Pasal 1601 ayat (a) dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa :
“Perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak
yang satu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah
pihak yang lain (si majikan), untuk sesuatu waktu tertentu,
melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat (14) menyebutkan pula
bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
18
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak.
Perjanjian kerja merupakan perjanjian seorang “buruh” dengan
seorang “majikan”, perjanjian yang mana ditandai oleh ciri-ciri adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu
hubungan di peratas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan
perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. (Djumadi,
2006:30)
Perihal pengertian perjanjian kerja, Ridwan Halim (Djumadi,
2006:33) mengemukakan bahwa pengertian perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan
atau karyawan-karyawan tertentu, yang umumnya berkenaan dengan
segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka
masing-masing terhadap satu sama lainnya. Menurut Wiwoho
Soedjono (Djumadi, 2006:33), pengertian perjanjian kerja adalah
hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau
buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan.
2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang telah disebutkan
pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, masih
menjadi pegangan yang harus diterapkan dalam perjanjian kerja agar
19
keberadaan suatu perjanjian kerja tersebut dapat dianggap sah dan
konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Selain tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain
yang harus dipenuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari
negeri Belanda yaitu M. G. Rood (Djumadi, 2006:35), beliau
menyatakan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada manakala di
dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu
berupa unsur-unsur yang terdiri dari:
a) Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu
pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja
yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu
yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri haruslah berdasarkan
dan berpedoman pada perjanjian kerja.
b) Adanya Unsur Service atau Pelayanan
Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai
manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah
tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan
harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si majikan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa si
pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di bawah
wibawa orang lain, yaitu si majikan. Karena itu jika suatu
pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan manfaat
bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk
kemanfaatan si pekerja itu sendiri, maka tujuan si pekerja
melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek
seorang siswa atau mahasiswa, perjanjian tersebut jelas bukan
merupakan perjanjian kerja.
c) Adanya Unsur Time atau Waktu Tertentu
Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah
dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh
melakukan sekehendak dari si majikan dan juga tidak boleh
20
dilakukan dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan
tersebut dilakukan selama hidup dari si pekerja tersebut, disini
pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang
dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. Dengan kata
lain, dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, si buruh tidak
boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi
harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga
pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan
perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban
umum.
d) Adanya Unsur Pay atau Upah
Jika
seseorang
yang
bekerja,
dalam
melaksanakan
pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan
tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka
pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai
pelaksanaan perjanjian kerja. Selanjutnya jika seseorang yang
bekerja tersebut bertujuan untuk mendapatkan manfaat bagi diri
si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah, maka unsur
keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak
terpenuhi. Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan
dalam bentuk uang, namun demikian dalam praktek
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk
barang, tetapi jumlahnya harus dibatasi.
Menurut Djumadi (2006:42), dengan telah diuraikannya empat
unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian kerja, yang mana
unsur-unsur tersebut yang mengetengahkan adalah seorang pakar
Hukum Perburuhan bangsa Belanda, yaitu M. G. Rood, maka sebagai
perbandingannya perlu diketengahkan pula penelaahan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja dari pakar Hukum
Perburuhan bangsa Indonesia. Perihal syarat perjanjian kerja
tersebut, menurut Iman Soepomo dan dipadukan dengan ketentuan
yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat diambil
21
suatu kesimpulan bahwa definisi tentang perjanjian kerja mempunyai
empat unsur essensialia yaitu :
1) Melakukan Pekerjaan Tertentu
Bahwa sebagai implementasi dari perjanjian kerja tersebut, maka
salah satu pihak yaitu si pekerja, harus melakukan pekerjaan
sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja.
Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut pada prinsipnya
harus dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian kerja dan
tidak boleh digantikan oleh orang lain.
2) Di Bawah Perintah
Dalam melakukan pekerjaannya, harus tunduk pada perintah
orang lain, orang lain tersebut tidak lain adalah si majikan
sebagai pihak pemberi kerja. Hal tersebut di dalam prakteknya,
si pekerja diwajibkan untuk mentaati peraturan-peraturan kerja
yang ada pada perusahaan, sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 1603 ayat (b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Dengan Upah
Jika setelah si pekerja melakukan pekerjaannya dengan tunduk
pada perintah si majikan, dalam rangka memenuhi prestasinya
seperti yang telah mereka buat di dalam perjanjian kerja, maka si
pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan upah, sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 1602 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
4) Dalam Waktu Tertentu
Bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus
dilakukan dalam kurun waktu tertentu, dan tidak boleh
diharuskan untuk dikerjakan selama hidupnya si pekerja.
Pekerjaan tersebut dilakukan oleh si pekerja, sesuai dengan
waktu yang telah mereka sepakati atau diperjanjikan maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum
dan kebiasaan setempat.
Sendjum W. Manulang (Djumadi, 2006:44) menyebutkan bahwa
ada tiga unsur atau faktor yang menentukan adanya hubungan kerja,
yaitu adanya pekerjaan yang harus dilakukan, adanya perintah dan
adanya upah. Tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut,
maka tidak ada hubungan kerja.
22
Djumadi (2006:45) menyebutkan bahwa selain syarat-syarat
material seperti yang telah diuraikan, maka dalam hal diadakannya
perjanjian kerja yang dilaksanakan secara tertulis, dalam perjanjian
kerja tersebut harus memuat syarat-syarat formal antara lain sebagai
berikut :
a)
b)
c)
d)
Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan;
Waktu berlakunya perjanjian kerja;
Upah buruh yang berupa uang diberikan tiap bulan;
Saat istirahat bagi buruh, yang dilakukan di dalam dan kalau
perlu di luar Indonesia serta selama istirahat itu; dan
e) Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh.
Jika hanya untuk perjanjian kerja yang sifatnya sederhana saja,
maka perjanjian kerja tersebut biasanya diadakan secara lisan.
Walaupun demikian, buruh atau pekerja yang telah melaksanakan
pekerjaannya, pekerja tersebut tetap mendapatkan hak atas upah
mereka.
3. Hubungan Kerja
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Pasal 1 ayat (1) tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja
merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah.
Iman Soepomo (Agusmidah, 2010:43) menyatakan bahwa
hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh
dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh),
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
23
lainnya (majikan) yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh
itu dengan membayar upah pada pihak lainnya. Dalam pengertian
hubungan kerja, terkandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan
pekerjaan berada di bawah pimpinan pihak lain yang disebut
majikan/pimpinan/pengusaha. Pembahasan tentang hubungan kerja
pada dasarnya meliputi hal-hal yang berkenaan dengan :
a) Pembuatan perjanjian kerja sebagai dasar hubungan kerja;
b) Hak dan kewajiban para pihak (pekerja/buruh dan
majikan/pengusaha);
c) Berakhirnya hubungan kerja; dan
d) Penyelesaian perselisihan/sengketa antara pihak-pihak yang
bersangkutan. (Agusmidah, 2010:44)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 50 telah ditegaskan
bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal tersebut menetapkan pentingnya
perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum,
yaitu hubungan kerja. Dengan kata lain, untuk mengatakan ada
tidaknya suatu hubungan kerja, maka landasannya adalah ada
tidaknya perjanjian kerja.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja
sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak. Sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai
24
perjanjian kerja tunduk pada Pasal 1601 ayat (a) Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang memberikan pengertian perjanjian kerja
sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu (buruh) mengikatkan
diri untuk di bawah pimpinan pihak yang lain (majikan) untuk waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Namun, Iman
Soepomo (Agusmidah, 2010:45) mengkritisi perumusan ini, karena
dianggapnya tidak lengkap. Hal ini disebabkan dalam pengertian di
atas yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak pihak
lainnya,
yaitu
majikan.
Padahal
pada
tiap
perjanjian,
yang
mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan dan
bersifat timbal balik. Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha
menimbulkan hubungan hukum atara kedua belah pihak yang disebut
dengan hubungan kerja dan mengandung tiga ciri khas, antara lain
adanya pekerjaan, adanya perintah dan adanya upah.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat berbentuk
tertulis dan berbentuk lisan. Pembuatan perjanjian kerja secara tertulis
harus sesuai dengan aturan perundang-undangan, khususnya yang
menyangkut tentang hukum perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibuat
dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) yaitu :
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
25
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Syarat ini sebelumnya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pada Pasal 1320. Dari keempat syarat tersebut,
syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif yang
apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat dapat
dimintakan
pembatalannya
kepada
pihak
yang
berwenang.
Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat, apabila tidak terpenuhi
maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau dengan kata lain,
tidak sah sama sekali. Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah
adalah perjanjian tersebut mengikat para pihak layaknya undangundang, jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut
sehingga berakibat merugikan pihak lain, maka disebut wanprestasi.
(Wita Sumarjono, 2010:36)
Dalam hukum perjanjian, tidak ada peraturan yang mengikat
suatu perjanjian harus dalam bentuk dan isi tertentu, prinsip ini dijamin
oleh asas kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak yang
berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan
berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320 dan
Pasal 1335 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
26
C. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum
Pengertian hukum menurut Van Apeldoorn dalam bukunya yang
berjudul Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht (Pengantar
Ilmu Hukum Belanda) menyatakan bahwa hukum itu banyak seginya
dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin menyatakan dalam
satu rumusan yang memuaskan. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Lemaire dalam bukunya Het Recht in Indonesia
(Keadilan di Indonesia) yang menyatakan bahwa hukum banyak
seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tidak
mungkin orang membuat suatu definisi apa hukum sebenarnya.
Menurut pendapat I Kisch dalam karangannya Rechtswetenschap
(Ilmu Hukum), “karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera, maka sulit untuk membuat definisi hukum yang
memuaskan umum”. Utrecht dalam bukunya, Pengantar Hukum
Indonesia mengemukakan bahwa hukum adalah himpunan petunjukpetunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Wirjono Prodjodikoro dalam tulisan yang berjudul Rasa Keadilan
Sebagai Dasar Segala Hukum menyatakan bahwa, hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota suatu masyarakat. (Riduan Syahrani, 2009:78)
27
Menurut Riduan Syahrani (2009:80), berdasarkan pengertian
tersebut, hukum memiliki tujuan. Manfaat hukum merupakan tujuan
yang ingin dicapai oleh masyarakat, pemerintah atau negara yang
membuat hukum. Tujuan hukum tersebut terbagi atas beberapa teori
sebagai berikut :
1. Menurut Teori Etika (Etische Theorie)
Hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan
keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filusuf
Yunani, Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomache” dan
“Rhetorika” yang menyatakan bahwa hukum mempunyai
tugas suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak
menerimanya. Untuk itu, tentu saja peraturan hukum dibuat
untuk setiap orang atau untuk menyelesaikan suatu kasus
tertentu.
2. Menurut Teori Kegunaan (Utilities Theorie)
Hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang
berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang yang
sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy
Bentham (1748-1832), seorang ahli hukum dari Inggris
dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation”
(Pengenalan Moral dan Hukum).
3. Menurut Teori Campuran
Teori ini merupakan penggabungan dari kedua teori
diatas dikemukakan oleh para sarjana berikut ini, Bellefroid,
yang dapat dikelompokkan pada teori campuran ini, dalam
bukunya Inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland
(Pengantar Ilmu Hukum Belanda) menyatakan bahwa isi
hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan
dan faedah. Kemudian, Van Apeldoorn dalam bukunya
Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht
(Pengantar Ilmu Hukum Belanda) mengatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara
damai. Hukum menghendaki kedamaian diantara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingankepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap
apa yang merugikannya.
28
Hukum mengatur hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan
antara individu-individu dan masyarakat dimana diantara ikatan-ikatan
itu tercermin dalam hak dan kewajiban. Dalam mengatur hubunganhubungan hukum itu caranya beraneka ragam, misalnya pada hukum
pidana yang sebagian besar peraturan-peraturannya terdiri dari
kewajiban-kewajiban. Hukum sering juga merumuskan peristiwaperistiwa tertentu yang merupakan syarat timbulnya hubunganhubungan hukum. Dalam literatur hukum Belanda, hukum disebut
“objective recht”, obyektif karena sifatnya umum, mengikat setiap
orang. Kata “recht” dalam bahasa hukum Belanda dibagi menjadi dua,
yaitu “objective recht” yang berarti hukum, dan “subjective recht” yang
berarti hak dan kewajiban. Hubungan hukum memiliki bermacammacam
bentuk,
seperti
hubungan
dalam
perkawinan,
tempat
kediaman (domisili), pekerjaan, perjanjian dan lain-lain. Semua
hubungan
yang
beraneka
ragam
itu
dinamakan
hubungan
kemasyarakatan yang diatur oleh apa yang disebut hukum. Dari
beberapa perumusan tentang hukum dapat diambil kesimpulan bahwa
hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
i. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat;
ii. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi (pihak-pihak
yang berwenang);
iii. Peraturan itu bersifat memaksa; dan
iv. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas.
Untuk dapat mengenal hukum, kita harus dapat mengenal ciri-ciri
hukum, yaitu adanya perintah dan/atau larangan, perintah dan/atau
29
larangan itu harus ditaati setiap orang. Setiap orang wajib bertindak
sedemikian rupa dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tata tertib
dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan
menyatukan hubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaidah
hukum.
Berdasarkan uraian di atas mengenai apa yang dimaksud
dengan
hukum,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pengertian
perlindungan hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan
atau dibuat guna melindungi kepentingan masyarakat yang bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi dengan disertai
sanksi-sanksi
tegas
bagi
yang
melanggarnya.
(http://zona-
prasko.blogspot.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html,
diakses pada tanggal 9 Oktober 2011)
D. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan TKA di Indonesia
1. Pengertian Tenaga Kerja Asing
Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud
dengan Tenaga Kerja Asing (selanjutnya disebut dengan TKA) adalah
warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia, dalam hal ini berarti setiap warga negara asing
30
tanpa terkecuali baik pria maupun wanita yang memperoleh izin untuk
tinggal dan bekerja di wilayah Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, menyebutkan bahwa Tenaga Kerja
Asing adalah warga Negara Asing pemegang visa kerja warga Negara
Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping
Tenaga Kerja Asing. Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing merupakan
badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Menurut
Pasal
2
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pemberi kerja Tenaga
Kerja Asing meliputi :
i. Kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan
asing atau kantor perwakilan berita asing yang melakukan
kegiatan di Indonesia;
ii. Perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia;
iii. Badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek
bantuan luar negeri;
iv. Badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;
v. Lembaga-lembaga sosial, pendidikan, kebudayaan atau
keagamaan; dan
vi. Usaha jasa impresariat.
Menurut Pasal 1 ayat (8) dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/III/2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, usaha jasa
31
impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan di
Indonesia, baik yang mendatangkan maupun mengembalikan Tenaga
Kerja Asing di bidang seni dan olahraga. Sehingga dalam hal pelatih
sepakbola asing, keberadaan mereka di wilayah Indonesia merupakan
bagian dari usaha jasa impresariat. Keberadaan pelatih sepakbola
asing di wilayah Indonesia menjadi tanggung jawab dari pihak
perusahaan impresariat yang mendatangkan pelatih sepakbola asing
tersebut. Perusahaan impresariat itu sendiri merupakan perusahaan
yang bergerak dalam bidang usaha untuk mendatangkan dan
memulangkan
pelaku
seni
hiburan,
serta
olahragawan
yang
berkewarganegaraan asing.
2. Latar Belakang Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia telah ada sejak
dimulainya industrialisasi. Menurut Agusmidah (2010:111), dilihat dari
perkembangannya, latar belakang digunakannya Tenaga Kerja Asing
di Indonesia telah mengalami perubahan sesuai zamannya. Ketika
Belanda
membuka
perkebunan
besar
dibeberapa
daerah
di
Indonesia, seperti Sumatera Timur, alasan kelangkaan sumber daya
manusia sebagai pekerja/buruh yang mendorong pemerintah Belanda
ketika itu mendatangkan Tenaga Kerja Asing dari negara lain. Kini,
dengan semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK), maka alasan kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki
32
keahlian dalam bidang tertentu menjadi alasan utama digunakannya
Tenaga Kerja Asing.
Pada prinsipnya, filosofi penggunaan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia adalah mereka yang dibutuhkan dalam dua hal sebagai
berikut :
a) Tenaga kerja asing yang membawa modal (sebagai investor);
dan
b) Tenaga kerja asing yang membawa skill (keahlian) dalam rangka
transfer teknologi ataupun keterampilan. (Rendy Andaria
Bangun, 2007:35)
Tujuan pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing ditinjau dari
aspek hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah untuk menjamin
dan memberi kesempatan kerja yang layak bagi warga negara
Indonesia di berbagai lapangan dan tingkatan. Karenanya, dalam
mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia dilakukan melalui
mekanisme dan prosedur yang ketat dimulai dengan seleksi dan
prosedur perizinan hingga pengawasan. (Agusmidah, 2010:111)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja Tenaga Kerja Asing
memiliki kewajiban-kewajiban dalam penggunaan Tenaga Kerja Asing
di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
(Pasal 42);
2) Pemberi kerja yang menggunakan Tenaga Kerja Asing harus
memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 43);
3) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing wajib menaati ketentuan
mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku yang
33
diatur dalam Keputusan Menteri. Standar kompetensi yang
dimaksud adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh Tenaga
Kerja Asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di
bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia (Pasal 44);
4) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing Wajib membayar kompensasi
atas Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakannya (Pasal 47); dan
5) Pemberi kerja wajib memulangkan Tenaga Kerja Asing ke
negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir (Pasal 48).
Adapun syarat-syarat dalam penggunaan Tenaga Kerja Asing
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan di Indonesia meliputi :
a) Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
i. Memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki;
ii. Bersedia
memuat
pernyataan
untuk
mengalihkan
keahliannya kepada tenaga kerja Indonesia khususnya
tenaga kerja Indonesia Pendamping; dan
iii. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
b) Dalam hal jabatan yang akan diduduki Tenaga Kerja Asing telah
mempunyai standar kompetensi kerja, maka Tenaga Kerja Asing
yang akan dipekerjakan harus memenuhi standar tersebut; dan
c) Tenaga kerja pendamping sebagaimana dimaksud diatas, harus
memiliki latar belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan
jabatan yang akan diduduki oleh Tenaga Kerja Asing.
Menurut Rendy Andaria Bangun (2007:34), sampai saat ini dan
mungkin juga untuk beberapa waktu yang akan datang, penggunaan
Tenaga Kerja Asing di Indonesia sulit untuk dihindari atau dicegah,
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
i. Adanya Tenaga Kerja Asing dimungkinkan karena ada kaitannya
dengan penanaman modal dan masuknya barang-barang modal
dari luar yang masih dibutuhkan sebagai pelengkap dalam
rangka pembangunan nasional serta penguasaan dan alih
teknologi
yang
merupakan
proses
berlanjut
dan
berkesinambungan;
ii. Proses “peng-Indonesiasi-an” tenaga kerja masih memerlukan
persiapan dan waktu dalam upaya tersedianya cukup jumlah
34
tenaga kerja yang ahli dan terampil untuk menggantikan Tenaga
Kerja Asing. Maksud dari peng-Indonesiasi-an yaitu usaha
pemerintah untuk menyediakan dan mendidik tenaga kerja
Indonesia untuk menggantikan Tenaga Kerja Asing;
iii. Kurang cukup tersedianya tenaga kerja Indonesia yang
memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan yang tersedia;
iv. Pemakaian mesin-mesin yang bersifat canggih dan beresiko
tinggi, sehingga bila tidak ditangani oleh mereka yang ahli, dapat
mengakibatkan kerugian yang besar, berupa kehilangan baik
yang bersifat materi maupun non materi; dan
v. Semakin luas dan berkembangnya berbagai usaha yang
membutuhkan Tenaga Kerja Asing.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pada dasarnya, sejak
berdirinya Republik ini, pemerintah telah menyadari akan adanya
persaingan global yang tak terhindarkan di pasar tenaga kerja
sehingga merasa perlu menyusun dan menerbitkan ketentuan yang
bertujuan mengatur dan mengawasi penggunaan Tenaga Kerja Asing.
3. Dasar Hukum Penggunaan TKA di Indonesia
Tenaga Kerja Asing yang melakukan pekerjaan di wilayah
Indonesia, wajib mendapatkan izin kerja sesuai dengan ketentuan
Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, selain itu
pada Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah disebutkan bahwa
pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing, hal ini dimaksudkan agar penggunaan Tenaga Kerja
Asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan
35
Tenaga Kerja Indonesia secara optimal. Dari ketentuan pasal
tersebut, dinyatakan bahwa Tenaga Kerja Asing yang bekerja di
Indonesia harus memiliki izin bekerja yang jelas dan mengikuti
ketentuan dari peraturan-peraturan yang ada, yaitu dalam hal
penggunaan Tenaga Kerja Asing. Selain itu, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
juga menjelaskan bahwa setiap tenaga kerja yang bekerja di
Indonesia, baik Tenaga Kerja Lokal maupun Tenaga Kerja Asing
memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan dilindungi oleh
hukum, terutama dalam hal penggunaan Tenaga Kerja Asing yang
jumlahnya semakin meningkat dan tidak menutup kemungkinan untuk
terjadinya pelanggaran-pelanggaran maupun penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal
penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia.
E. Dasar Hukum Kedudukan PSSI di Indonesia
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) telah menjadi
anggota The Federation Internationale De Football Association (FIFA)
sejak tanggal 1 November 1952 pada saat kongres FIFA di Helsinki.
Setelah diterima menjadi anggota FIFA, selanjutnya PSSI diterima
pula menjadi anggota The Asian Football Confederation (AFC) pada
tahun 1952, bahkan menjadi pelopor pembentukan The Asean
Football Federation (AFF). Lebih dari itu, pada tahun 1953 PSSI
memantapkan posisinya sebagai organisasi yang berbadan hukum
36
dengan mendaftarkan ke Departemen Kehakiman dan mendapat
pengesahan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor J.A.5/11/6 pada tanggal 2 Februari 1953, tambahan
berita Negara Republik Indonesia tanggal 3 Maret 1953 Nomor 18,
berarti PSSI adalah satu-satunya induk organisasi olahraga yang
terdaftar dalam berita Negara sejak 8 tahun setelah Indonesia
merdeka.
(http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#,
diakses pada tanggal 1 Oktober 2011)
Dalam perkembangannya, kepengurusan PSSI telah sampai ke
pengurusan di tingkat daerah-daerah di seluruh Indonesia. Hal ini
membuat sepakbola semakin menjadi olahraga dari rakyat dan untuk
rakyat. Penyusunan landasan organisasi yang ditetapkan dalam
statuta PSSI atas dasar upaya untuk meningkatkan pembinaan
organisasi persepakbolaan nasional yang kuat dan teratur serta
menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan
persepakbolaan
dengan
memperhatikan seluruh ketentuan dan peraturan organisasi.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merupakan organisasi
kemasyarakatan dan independen yang didirikan berdasarkan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan
berdomisili di Jakarta. PSSI merupakan satu-satunya organisasi
sepakbola nasional yang berwenang untuk mengatur, mengurus dan
menyelenggarakan semua kegiatan atau kompetisi sepakbola di
37
Indonesia. Dalam Statuta PSSI, disebutkan bahwa tujuan dari PSSI
adalah sebagai berikut :
1) Mengembangkan dan mempromosikan sepakbola secara terus
menerus, mengatur dan mengawasinya di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semangat fair play
(bermain adil) dan menyatukannya melalui pendidikan, budaya
dan nilai-nilai kemanusiaan terutama melalui program
pengembangan pemain usia muda;
2) Mengadakan kompetisi-kompetisi internal dalam semua bentuk
dan tingkatan pada tingkat nasional, dengan menentukan secara
tepat, wilayah kewenangan yang diakui sesuai dengan tujuan
pembentukan dari berbagai liga sepakbola;
3) Menyusun peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tentang
penyelenggaraan sepakbola dan memastikan penegakannya;
4) Melindungi kepentingan anggota;
5) Mencegah segala pelanggaran Statuta, peraturan-peraturan,
instruksi dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan FIFA, AFC,
AFF dan PSSI serta peraturan permainan dan memastikan
bahwa semua peraturan tersebut dipatuhi oleh seluruh
anggotanya;
6) Membentuk metode dan sistem yang tepat untuk mencegah
terjadinya intervensi dari pihak manapun yang mengakibatkan
tercederainya nilai-nilai sportivitas dalam sepakbola;
7) Mengendalikan dan mengawasi semua bentuk pertandingan
persahabatan yang berlangsung di wilayah Indonesia;
8) Memelihara hubungan internasional di bidang keolahragaan
dengan Asosiasi Sepakbola lainnya dalam segala bentuk dan
aktivitas olahraga; dan
9) Menjadi tuan rumah dari kompetisi pada tingkat internasional dan
level-level lainnya.
Menurut Pasal 10 Statuta PSSI, bahasa resmi yang digunakan
PSSI adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dokumen resmi
dan teks ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Apabila terjadi
ketidaksesuaian antara pengertian teks yang dibuat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, maka teks dalam bahasa Inggris yang
dianggap berlaku dan mengikat.
38
Pasal 22 Statuta PSSI menyebutkan bahwa kongres merupakan
forum pertemuan anggota PSSI dan merupakan badan supremasi dan
legislatif
tertinggi
PSSI
yang
mempunyai
kewenangan
dalam
mengambil keputusan-keputusan. Kongres merupakan lembaga yang
berwenang menetapkan apakah akan mengakui atau mengesahkan,
menghentikan sementara atau menskorsing maupun memberhentikan
anggotanya. Keanggotaan dapat berakhir melalui pengunduran diri
maupun suatu pemberhentian. Namun, kehilangan hak keanggotaan
tidak membebaskan anggota yang diberhentikan dari kewajiban
keuangannya terhadap PSSI atau kepada anggota PSSI lainnya,
sebaliknya menyebabkan pembatalan atas semua haknya didalam
PSSI secara otomatis. Berdasarkan Pasal 12 Statuta PSSI, anggotaanggota PSSI meliputi :
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Klub;
Pengurus provinsi;
Asosiasi sepakbola wanita;
Asosiasi klub futsal;
Asosiasi wasit;
Asosiasi pemain; dan
Asosiasi pelatih.
Kewajiban-kewajiban para anggota PSSI diatur pada Pasal 15
Statuta PSSI. Kongres dapat melakukan pemberhentian apabila
anggotanya tidak memenuhi kewajiban keuangannya kepada PSSI
dan apabila secara serius telah melanggar statuta, peraturanperaturan, instruksi atau keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh
39
FIFA, AFC, AFF dan PSSI. Pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67 Statuta
PSSI pada menyebutkan badan peradilan PSSI yang terdiri dari :
1) Komisi Disiplin yang ketentuan-ketentuan mengenai komisi ini
tunduk pada ketentuan mengenai kekuasaan kedisiplinan suatu
Kongres dan Komite Eksekutif khususnya atas hal mengenai
skorsing dan pemecatan anggota;
2) Komisi Banding yang bertanggung jawab untuk mendengarkan
kesaksian banding terhadap keputusan-keputusan Komisi
Disiplin yang belum dinyatakan final; dan
3) Komisi Etika yang fungsinya diatur dalam Kode Etika PSSI
sebagaimana disusun oleh Komite Eksekutif PSSI.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia memiliki pengadilan
arbitrase yang menangani semua perselisihan atau sengketa internal
nasional antara PSSI, anggotanya, pemain, pelatih, petugas dan
pertandingan serta agen pemain yang tidak berada dibawah
kewenangan badan hukumnya. Komite eksekutif menyusun peraturan
khusus mengenai komposisi, yurisdiksi dan prosedur peraturan
mengenai pengadilan arbitrase ini.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar berdasarkan lokasi dari
Kantor Pengurus Provinsi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia
Sulawesi Selatan untuk memperoleh data-data dan informasi yang
dibutuhkan.
Penelitian kepustakaan dilakukan di Kota Makassar pada
Perpustakaan Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Wilayah
Makassar, karena penulis menganggap bahwa perpustakaan tersebut
memiliki buku-buku reverensi yang relevan dengan penulisan skripsi
ini.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan
pendekatan empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk
mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran yang diperoleh
langsung dari penelitian lapangan melalui wawancara dengan
koresponden dan studi kepustakaan untuk menemukan teori-teori
mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum
di masyarakat.
41
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan
dalam 2 (dua) bagian yaitu :
1. Data primer, merupakan data yang diperoleh melalui penelitian
lapangan
(Field
Research)
yang dilakukan
dengan
cara
wawancara dengan pihak terkait sehubungan dengan penulisan
skripsi ini.
2. Data sekunder, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) terutama data yang
diperoleh
dari
buku-buku,
peraturan
perundang-undangan,
artikel-artikel hukum, karangan ilmiah, dan bacaan-bacaan
lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini.
C. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan
dengan
penulisan
skripsi
ini,
penulis
akan
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Penelitian lapangan (Field Research).
Dalam penelitian lapangan, cara pengumpulan datanya adalah
melalui pedoman wawancara yang sifatnya terbuka, yaitu
dengan mengadakan tanya jawab secara langsung guna
memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada. Tipe
pedoman wawancara yang digunakan adalah tipe terstruktur dan
tidak terstruktur, artinya bahwa di dalam melakukan wawancara,
penulis telah menetapkan terlebih dahulu pedoman wawancara
42
yang
berupa
daftar
pertanyaan,
namun
tidak
menutup
kemungkinan bahwa dalam proses tanya jawab tersebut, penulis
juga menanyakan hal-hal lain diluar dari kerangka pedoman
wawancara yang mana hal tersebut dapat timbul secara
langsung pada saat wawancara dilakukan. Adapun subyek dari
penelitian ini terbagi atas :
a) Informan
Dalam hal ini, yang menjadi responden penelitian adalah
pelatih asing Rodrigo Gonzalez dan Simon Elissetche.
b) Narasumber
Dalam hal ini, yang menjadi narasumber adalah pihak yang
tidak
terkait
secara
langsung
dengan
permasalahan
penelitian ini, tetapi mempunyai pengetahuan yang luas dan
dianggap mengetahui, terutama yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Dalam hal ini yang
menjadi narasumber adalah Faisal Abdullah sebagai tim ahli
Kementerian Pemuda dan Olahraga.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research).
Yaitu dengan cara pengumpulan data dengan jalan membaca
dan menelaah beberapa literatur maupun buku-buku serta
peraturan perundangan-undangan yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti untuk mendapatkan data-data sekunder
43
untuk mempermudah dalam menganalisa permasalahan yang
ada.
D. Analisa Data
Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ini dianalisis
secara kualitatif guna menjawab, memecahkan serta pendalaman
secara menyeluruh dan utuh dari objek yang diteliti kemudian
disajikan secara deskriptif untuk mendapatkan saran-saran apa yang
seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di
lapangan.
44
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk
Perjanjian
Yang
Dapat
Memberikan
Perlindungan
Terhadap Pelatih Asing
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan
tersebut,
kemasyarakatan,
segala
aspek
kebangsaan,
dan
kehidupan
dalam
kenegaraan
bidang
termasuk
pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat
kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau
lebih”. Pasal tersebut secara tegas telas menjelaskan bahwa
perjanjian melahirkan perikatan. Dengan kata lain, Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyatakan bahwa tidak ada suatu perikatan
yang berasal dari luar perjanjian dan karena hal-hal yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan
45
kewajiban bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan
membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara
sukarela telah mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan sifat sukarela,
perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai
dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.
Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus,
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab
yang lalu”. Pasal tersebut menjelaskan 2 (dua) jenis perjanjian yaitu :
1) Perjanjian yang dikenal dengan suatu nama khusus, yaitu
perjanjian yang diatur secara khusus didalam undang-undang
dan diberi nama resmi didalam undang-undang atau disebut
juga dengan perjanjian khusus. Yang termasuk perjanjian
khusus ialah :
a) Perjanjian jual beli,
b) Perjanjian tukar menukar,
c) Perjanjian sewa menyewa,
d) Perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
e) Perjanjian persekutuan,
f) Perjanjian perkumpulan,
g) Perjanjian hibah,
h) Perjanjian penitipan barang,
i) Perjanjian pinjam pakai,
j) Perjanjian pinjam meminjam,
k) Perjanjian bunga tetap atau bunga abadi,
l) Perjanjian untung-untungan,
m) Perjanjian pemberian kuasa,
n) Perjanjian penanggungan, dan
o) Perjanjian perdamaian.
2) Perjanjian tidak bernama (innominat contract), yaitu
perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang tetapi
terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini tidak terbatas dan
46
nama yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak.
Contohnya adalah :
a) Perjanjian kerjasama,
b) Perjanjian pemasaran, dan
c) Perjanjian pengolahan.
(http://alfanaikkelas.wordpress.com/2011/01/07/jenisjenis-perjanjian/, diakses pada tanggal 15 April 2012)
Berdasarkan sifatnya secara mendasar, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, membedakan perjanjian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu
sebagai berikut :
1) Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah
apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat
perjanjian,
2) Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata
sepakat tetapi barangnya harus diserahkan, dan
3) Perjanjian formal adalah perjanjian yang memerlukan kata
sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian
tersebut dibuat oleh pejabat umum Notaris atau Pejabat
Pembuat Akta Tanah. (Retno Prabandari, 2007:26)
Menurut
Subekti
(1989:57),
dalam
hal
perjanjian
untuk
melakukan suatu pekerjaan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
membedakannya menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yang mana
suatu pihak menghendaki dari pihak-lawannya dilakukannya
suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana
ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali
terserah kepada pihak-lawan itu. Biasanya pihak lawan ini
adalah seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan
tertentu dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk
jasanya. Contohnya, hubungan antara dokter dan pasien.
b) Perjanjian Kerja/Perburuhan dimana yang dimaksudkan
dengan jenis ini adalah perjanjian antara seorang “buruh”
dengan seorang “majikan” yang ditandai dengan adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya
“hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”)
yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu
47
(majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati
oleh yang lainnya.
c) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah suatu perjanjian
antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan)
dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan),
dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil
pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas
pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.
Menurut Shamad (Abdul Khakim, 2003:28), perjanjian kerja ialah
suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja
pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai
dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Prinsip
yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan
seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk
bekerja dibawah perintah dengan menerima upah. Jadi, bila
seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja, berarti
ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja dibawah perintah
orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan
diperatas”.
Menurut Abdul Khakim (2003:28), tidak ada 1 (satu) pun
peraturan yang mengikat bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin
dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat
kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan
48
memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Lalu Husni (2010:69), perjanjian kerja dapat dibuat
dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban
para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu
proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak
perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian
kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber
daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar
kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.
Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat sahnya perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
1)
2)
3)
4)
Kesepakatan kedua belah pihak,
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Menurut
Hidayat Muharam (2006:2-4), kata-kata sepakat
mereka mengikatkan diri pada Pasal 52 ayat (a) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
ini adalah asas konsesualisme yang menentukan adanya perjanjian.
Artinya, pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu telah dilahirkan
49
sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah
sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan
tidak memerlukan bentuk yang formil (tertulis). Pasal 52 ayat (b)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mempersyaratkan para pihak yakni pengusaha
sebagai
pemberi
kerja
dan
pekerja
sebagai
penerima
kerja
mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah
para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat
perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata jo. Pasal 1329, Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, subjek hukum yang membuat perjanjian harus cakap untuk
melakukan tindakan hukum menurut hukum. Hakikat subjek hukum
dibedakan antara pribadi kodrati (natuurlijk persoon) yaitu manusia
tanpa terkecuali, pribadi hukum (recht persoon), dan badan hukum
seperti perseroan terbatas. Mengenai syarat subjektif, Pasal 1 angka
6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian kerja adalah subjek
hukum dan tidak membatasi hanya untuk subjek hukum menurut
hukum perdata tetapi juga termasuk subjek hukum publik, yakni badan
hukum yang mengemban kepentingan publik yang dikelola atau
ditangani oleh negara. Berdasarkan Pasal 52 ayat (c) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, suatu perjanjian
50
kerja harus mempunyai pekerjaan yang diperjanjikan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian
kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1320 jo. Pasal 1335-Pasal
1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian kerja
harus berdasarkan suatu sebab yang halal. Maksud sebab yang halal
disini adalah tujuan atau maksud yang dikehendaki dari suatu
perjanjian kerja. Adapun yang dimaksud dengan halal adalah isi
pekerjaan tersebut tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan,
Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh,
Jabatan atau jenis pekerjaan,
Tempat pekerjaan,
Besarnya upah dan cara pembayarannya,
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh,
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Menurut Hidayat Muharam (2006:5), berdasarkan jangka waktu
(sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulangulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja
51
dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja yang dibagi menjadi 2 (dua)
macam, yaitu :
1) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
Republik
Indonesia
Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang
dimaksud dengan perjanjian kerja tertentu adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus
dibuat secara tertulis sesuai dengan Pasal 57 ayat 1 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan
berakhirnya perjanjian kerja. (Lalu Husni, 2010:70)
Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan
kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang
diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih
rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan). Yang dimaksud dengan tidak boleh lebih
rendah atau bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah
ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi
perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh
lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama di perusahaan yang bersangkutan. (Hidayat
Muharam, 2006:6)
Sesuai ketentuan Pasal 56-Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan
perjanjian kerja waktu tertentu harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
(a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu,
(b) Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan
Bahasa Indonesia,
(c) Tidak boleh ada masa percobaan,
(d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, dan
52
(e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
Dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud
dengan pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang
sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi
dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman. Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan yang
bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung
pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputusputus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau
pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi
tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman
yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi
objek perjanjian kerja waktu tertentu. (Hidayat Muharam,
2006:7)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
membedakan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi 4
(empat) bagian, yaitu :
i. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang
sekali selesai atau sementara sifatnya yang
penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, yang
dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu
dan dibuat untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun
sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam
hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan
selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi
tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan,
maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja
waktu tertentu yang dilakukan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya
perjanjian kerja. Selama masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari tersebut, tidak boleh ada hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan pengusaha, sesuai dengan
Pasal 3 ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang
53
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
ii. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang
bersifat musiman, yang dimaksud adalah pekerjaan
yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau
cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis
pekerjaan pada musim tertentu, sesuai ketentuan Pasal
4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk
memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan
dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai
pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk
pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang
bersifat
musiman
ini
tidak
dapat
dilakukan
pembaharuan (Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu).
iii. Perjanjian kerja waktu tertentu yang berhubungan
dengan produk baru. Perjanjian kerja waktu tertentu
dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama
2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling
lama 1 (satu) tahun tetapi tidak dapat dilakukan
pembaharuan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar
pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan (Pasal 9
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).
iv. Perjanjian kerja harian lepas, perjanjian ini mengenai
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam
hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan
pada kehadiran, sesuai dengan ketentuan Pasal 10
ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
54
Tertentu. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi
ketentuan bahwa pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21
hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang
bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian
lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat
(2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap (Pasal 1
angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor
Kep.100/Men/VI/2004
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Perjanjian
kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa
percobaan selama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan
tersebut, pengusaha dilarang membayarkan upah minimum
yang berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jika diperjanjikan mengenai masa
percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu,
selama waktu 3 (tiga) bulan masing-masing pihak berhak
mengakhiri
seketika
hubungan
kerjanya
dengan
pemberitahuan penghentian yang sesuai dengan ketentuan
Pasal 1603 I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa syarat masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan
dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan
secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat pengangkatan. Apabila tidak
dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat
pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap
tidak ada. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu
yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui
masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
55
Ketenagakerjaan. Surat pengangkatan tersebut sekurangkurangnya memuat :
(a) Nama dan alamat pekerja,
(b) Tanggal mulai bekerja,
(c) Jenis pekerjaan, dan
(d) Besarnya upah.
Dalam hal penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia, selain
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, penggunaan tenaga kerja asing di
Indonesia wajib memperhatikan peraturan lain seperti Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian, dan dalam hal penggunaan Pelatih Asing, wajib
memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun
2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, dan Statuta PSSI yang
menjadi dasar dalam penggunaan pelatih sepakbola asing di
Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja
antara Simon Elissetche dengan Klub PSSB Bireuen dan perjanjian
kerja antara Rodrigo Gonzalez dengan Klub Kendari Utama Sultra,
bentuk perjanjian tersebut merupakan bentuk perjanjian untuk
melakukan suatu jasa tertentu, yang mana satu pihak menghendaki
dari pihak lawannya, dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan
56
kepada pihak lawan itu, dimana yang menjadi pihak lawan tersebut
merupakan seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan dan
biasanya ia juga sudah memasang tarif tertentu untuk jasanya, dalam
hal ini adalah pelatih asing. Bentuk perjanjian tersebut harus sesuai
dengan ketentuan perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Statuta PSSI.
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja
antara Rodrigo Gonzales dengan Klub Kendari Utama, bentuk
perjanjian tersebut merupakan perjanjian kerja yang tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian
kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Statuta PSSI. Setiap
pelatih asing yang ingin bekerja di Indonesia sebaiknya didampingi
oleh seorang Agen Pelatih yang berarti setiap orang yang mewakili,
bernegosiasi atas nama atau bertindak bagi pelatih (selain seorang
ahli hukum yang memberikan saran resmi profesional) dalam konteks
registrasi maupun transfer dari registrasi Pelatih atau memperkerjakan
dan atau jangka waktu penempatan Pelatih oleh Klub dan telah
mempunyai perizinan yang diatur dalam regulasi Agen FIFA untuk
urusan tersebut. Agen tersebut yang akan mempromosikan pelatih
kepada klub sepakbola serta melakukan negosiasi dengan klub yang
tertarik untuk menggunakan jasa pelatih asing. Selain mendapatkan
57
klub untuk pelatih asing, agen tersebut juga bertugas untuk membuat
perjanjian kerja kedua belah pihak (pelatih asing dan klub sepakbola)
sesuai
dengan
kesepakatan
yang
telah
disepakati
dengan
memperhatikan segala hal dan kepentingan pelatih asing untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang dapat merugikan pelatih asing.
Perjanjian kerja tersebut dibuat 3 (tiga) rangkap asli dengan isi yang
sama diatas kertas bermaterai cukup serta memiliki kekuatan hukum
yang sama setelah ditanda tangani oleh para pihak, termasuk oleh
Agen Pelatih. Namun, posisi agen pelatih dalam hal ini hanya sebagai
pihak ketiga yang merupakan konsultan bagi pelatih asing, dimana
agen tersebut biasanya sudah memasang tarif tertentu untuk jasanya.
Isi dari suatu perjanjian kerja antara klub dengan pelatih asing
sekurang-kurangnya memuat tentang :
1) Identitas pelatih asing sebagai pekerja,
2) Identitas klub sebagai pemberi kerja,
3) Tanggal pembuatan perjanjian kerja,
4) Jabatan atau jenis pekerjaan,
5) Defenisi-defenisi,
6) Ruang lingkup perjanjian,
7) Jangka waktu perjanjian,
8) Nilai dasar perjanjian dan metode pembayaran upah/gaji,
9) Kewajiban para pihak,
10) Pengakhiran perjanjian,
58
11) Penyelesaian keluhan,
12) Regulasi sepakbola,
13) Penutup, dan
14) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Selain itu, suatu perjanjian kerja antara pelatih asing dengan klub
wajib menggunakan dua bahasa resmi PSSI, yaitu bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Statuta PSSI
yang menyebutkan bahwa bahasa resmi yang digunakan oleh PSSI
adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dokumen resmi dan
teks ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Dalam hal terjadi
ketidaksesuaian antara pengertian teks yang dibuat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, maka teks dalam bahasa Inggris yang
dianggap berlaku dan mengikat. Apabila hal tersebut diatas tidak
tercantum dalam suatu perjanjian kerja antara klub dan pelatih asing,
maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah atau tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian kerja
yang sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Statuta PSSI.
59
Berdasarkan uraian diatas, bentuk perjanjian kerja yang dapat
memberikan perlindungan terhadap pelatih asing adalah :
i. Bentuk perjanjian tertentu yang mempunyai karakter khusus,
dimana
yang
menjadi
obyek
dari
perjanjian
tersebut
ditentukan secara terperinci dan jelas,
ii. Bentuk
perjanjian
dengan
ketetapan
waktu,
dimana
pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau
dengan peristiwa tertentu yang sudah pasti terjadi,
iii. Bentuk perjanjian yang menggunakan dua bahasa resmi
PSSI, yaitu dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
iv. Perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak
ketiga guna pemberian perlindungan pada pelatih asing,
dalam hal ini, Agen sebagai pihak ketiga yang merupakan
konsultan bagi pelatih asing.
B. Faktor Yang Menjadi Dasar Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja
Antara Pelatih Asing Dengan Klub Sepakbola
Berdasarkan hasil wawancara (tanggal 25 Juli 2012 di Makassar)
dengan Simon Elissetche dan Rodrigo Gonzalez, pelatih asing
tersebut menjelaskan sejarah penggunaan pelatih asing pada Klub
Kendari Utama, pada tahun 2003 dibentuk sebuah klub sepakbola
amatir yang bernama Mustika Utama Kendari dengan menggunakan
jasa pelatih asing Manuel R. Vega dan Sowite Raha FC yang dilatih
60
oleh Juan R. Vega, klub tersebut mulai bermain di turnamen kampung
(tarkam). Kedua klub ini menjadi sejarah terbentuknya klub Kendari
Utama Sultra. Pada tahun 2004, keberadaan pelatih sepakbola asing
di klub Mustika Utama Kendari dan Sowite Raha FC bertambah
dengan bergabungnya Rodrigo Gonzalez sebagai asisten pelatih dari
klub Mustika Utama Kendari, dan Simon Elissetche sebagai asisten
pelatih klub Sowite Raha FC. Di tahun 2005, kedua klub tersebut
tergabung menjadi klub Kendari Utama Sultra dengan menggunakan
jasa pelatih asing yang sama, yaitu Manuel R. Vega, Juan R. Vega,
Simon Elissetche, dan Rodrigo Gonzalez. Klub Kendari Utama Sultra
memiliki tim utama dan tim junior, dimana tim junior terdiri dari tim U20, tim U-17, tim U-15, dan tim U-13. Selain itu, tim tersebut memiliki
sebuah sekolah sepakbola (SSB) Kendari Utama Sultra yang dibuka
untuk masyarakat umum secara gratis dengan tingkatan usia mulai
dari U-8 sampai dengan U-16. Pembentukan SSB Kendari Utama
Sultra dimaksudkan guna mencari bibit-bibit pemain baru yang
berbakat demi kelangsungan perkembangan tim Kendari Utama
Sultra. Pada saat penandatanganan perjanjian kerja dengan klub
Kendari Utama Sultra, para pelatih asing Kendari Utama Sultra tidak
diberikan salinan kontrak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Di tahun 2005, pelatih asing Kendari Utama Sultra yang bernama
Simon
Elissetche,
dan
Rodrigo
Gonzalez
dikejutkan
dengan
kedatangan pihak dari Imigrasi Kendari yang menjelaskan mengenai
61
penyalahgunaan status keimigrasian mereka selama berada di
Indonesia yang hanya menggunakan Visa Sosial Budaya yang telah
selesai batas kunjungannya. Mereka diwajibkan untuk meninggalkan
Indonesia dengan sanksi deportasi apabila tidak dilaksanakan dan
pihak manajemen klub Kendari Utama Sultra diharuskan membayar
sanksi denda akibat penyalahgunaan ijin tinggal sementara bagi
warga negara Asing selama di Indonesia dimana klub Kendari Utama
Sultra mempekerjakan pelatih asing dengan menggunakan Visa
Sosial Budaya yang seharusnya menggunakan Kartu Ijin Tinggal
Sementara (KITAS). Selain itu, masalah yang dialami oleh para pelatih
asing tersebut selama melatih di klub Kendari Utama Sultra adalah
tidak adanya pembayaran upah/gaji dari manajemen klub Kendari
Utama Sultra selama kurang lebih 5 bulan terakhir sebelum masa
perjanjian kerja berakhir. Untuk memperjuangkan haknya, para pelatih
asing Kendari Utama Sultra telah menempuh upaya musyawarah
dengan pihak klub mengenai hal upah/gaji, masalah status imigrasi
dan mengenai penyediaan tiket pulang ke negara asal para pelatih
asing tersebut. Namun, upaya musyawarah yang ditempuh tidak
mendapatkan hasil yang baik bagi para pelatih asing tersebut.
Pasalnya, pihak manajemen tidak memberikan tanggapan yang baik
terhadap masalah yang para pelatih asing tersebut hadapi. Hal
tersebut mendorong para pelatih asing klub Kendari Utama Sultra
untuk mendatangi kantor manajemen klub guna mencari perjanjian
62
kerja yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak sebagai barang
bukti untuk membela hak-hak mereka yang tidak dipenuhi oleh pihak
manajemen. Berdasarkan perjanjian
kerja yang telah mereka
dapatkan, para pelatih asing tersebut mendatangi salah satu agen
pemain dan pelatih sepakbola yang juga berasal dari negara Chile
yang bernama Nelson Sanchez untuk konsultasi mengenai masalah
yang sedang mereka hadapi dengan klub Kendari Utama Sultra.
Namun, setelah Nelson Sanchez melihat perjanjian kerja tersebut,
beliau menjelaskan bahwa perjanjian kerja yang mereka miliki
merupakan perjanjian kerja yang tidak sah atau tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga tidak dapat ditindak lanjuti, dengan kata
lain mereka tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan Indonesia
tanpa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka.
Selain itu, para pelatih asing tersebut menempuh upaya pelaporan
mengenai masalah yang sedang mereka hadapi di Kedutaan Besar
Chile yang berada di Jakarta. Pihak Kedutaan Besar Chile langsung
menanggapi
laporan
tersebut
dengan
menempuh
cara
yaitu
menghubungi Presiden klub Kendari Utama Sultra untuk memberikan
apa yang seharusnya menjadi hak bagi warga negara mereka yang
telah memenuhi kewajibannya sebagai pelatih di klub Kendari Utama
Sultra. Berdasarkan laporan di Kedutaan Besar Chile, klub Kendari
Utama Sultra memenuhi kewajibannya sebagai yang mempekerjakan
pelatih asing. Pihak manajemen klub menyelesaikan kewajibannya
63
dengan pihak imigrasi. Namun, pihak manajemen klub Kendari Utama
Sultra menyatakan tidak dapat melanjutkan perjanjian kerja dengan
pelatih asing yang bernama Manuel R. Vega, Juan R. Vega dan
Simon Elissetche, serta tidak dapat memberikan tiket pulang ke
negara asalnya dan tidak dapat membayar sepenuhnya upah/gaji
yang belum terlaksana. Hal tersebut membuat para pelatih asing
tersebut tidak memiliki pilihan selain meninggalkan Indonesia.
Sehingga pada tahun 2005, Manuel R. Vega, Juan R. Vega dan
Simon Elissetche meninggalkan Indonesia dimana pada saat itu,
Simon Elissetche mendapatkan pengawasan ketat dari pihak imigrasi
yang mengantarkan beliau sampai diatas pesawat menuju negara
asalnya, Chile, dikarenakan penyalahgunaan ijin tinggal sementara di
Indonesia yang dilakukan oleh pihak klub Kendari Utama Sultra. Pihak
manajemen menyatakan ingin tetap melanjutkan perjanjian kerjanya
dengan Rodrigo Gonzalez dan akan menyelesaikan mengenai
masalah keimigrasian pelatih asing tersebut sehingga Rodrigo
Gonzalez tetap berada di Indonesia pada waktu itu. Klub Kendari
Utama Sultra menjadi klub divisi 3 (tiga) pada tahun 2006 di bawah
masa kepemimpinan pelatih asing Rodrigo Gonzalez dan dinyatakan
lolos ke divisi 2 (dua) di tahun yang sama setelah mengikuti beberapa
turnamen sepakbola profesional. Prestasi klub Kendari Utama Sultra
terus meningkat di masa kepemimpinan pelatih asing Rodrigo
Gonzalez yang membawa klub tersebut ke divisi 1 (satu) sepakbola
64
profesional Indonesia pada tahun 2007. Namun, perjanjian kerja yang
diberikan oleh pihak klub kepada Rodrigo Gonzalez ternyata masih
tetap seperti perjanjian kerja yang sebelumnya. Selain itu, Rodrigo
Gonzalez
tidak
mengetahui
secara
jelas
mengenai
status
keimigrasiannya selama masa kontrak tersebut. Setelah mengalami
overstay (lewat batas waktu tinggal), Rodrigo Gonzalez diharuskan
meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu guna pembuatan ijin
tinggal baru oleh pihak klub. Masalah pembayaran upah/gaji yang
tidak terpenuhi masih tetap dialami oleh Rodrigo Gonzalez dengan
klub. Hal tersebut tidak sejalan dengan prestasi klub yang telah
diberikan oleh pelatih asing Rodrigo Gonzalez. Upaya musyawarah
telah dilakukan oleh Rodrigo Gonzalez namun upaya tersebut tidak
mendapatkan hasil yang baik. Pelatih asing tersebut akhirnya memilih
meninggalkan Indonesia pada tahun 2007 sebelum mendapatkan
masalah seperti yang dihadapi oleh pelatih asing Kendari Utama
Sultra sebelumnya. Kondisi tersebut tidak berjalan sesuai dengan
prestasi yang telah diberikan oleh pelatih. Pelatih bukan hanya
sekedar guru mengenai teknik, pelatih merupakan sosok penentu
kesuksesan timnya. Pendidikan pelatih asing dan pengalamannya
melatih menjadi pertimbangan utama dalam penggunaan jasanya
dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Keberadaan pelatih asing di
dunia persepakbolaan Indonesia dirasa perlu karena mereka dinilai
memiliki pengalaman yang lebih baik dibanding pelatih lokal.
65
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perjanjian kerja
antara Rodrigo Gonzales dengan klub Kendari Utama, klub Kendari
Utama sebagai pemberi kerja, tidak memenuhi prosedur-prosedur
yang berlaku mengenai penggunaan tenaga kerja asing. Selain itu,
klub tersebut tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati oleh para pihak, padahal pelatih asing tersebut
telah
menjalankan
tugasnya
sesuai
dengan
perjanjian
kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat antara klub dengan pelatih pada
dasarnya merupakan keseluruhan perjanjian antara klub dengan
pelatih yang mengandung mengenai pokok perjanjian dan pasal
pengganti pemahaman sebelumnya, perwakilan atau perjanjian antara
para pihak, termasuk setiap penawaran dari klub. Dalam hal terjadinya
sebuah keluhan, pelatih dan klub hendaknya berusaha untuk
menyelesaikan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Apabila
pelatih dan klub tidak mampu untuk menyelesaikan keluhan, dengan
mempertimbangkan keadilan bagi pelatih dan klub, keduanya diminta
untuk mengacu permasalahan kepada Pengadilan Ketenagakerjaan
atau kedua belah pihak dapat menyerahkan keluhan kepada
penyelesaian yang dapat dicapai melalui National Dispute Resolution
Chamber
(badan
yang
dibentuk
oleh
PSSI
yang
bertujuan
menyelesaikan perselisihan antara klub, pemain dan pelatih) atau
dengan cara mengajukan perselisihan tersebut kepada Pengadilan
Arbitrase untuk Olahraga (Court of Arbitration For Sport) yang
66
berkedudukan di Lausanne, Swiss. Apabila ada ketidakcocokan
antara regulasi sepakbola dan perjanjian kerja antara klub dan pelatih
asing, maka apapun yang menguntungkan bagi pelatih dalam
perjanjian kerja harus dipertahankan. Selain itu, tidak ada isi dari
perjanjian kerja antara klub dengan pelatih yang mengusik hak pelatih
didalam Hukum Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Faktor yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja
antara pelatih asing dengan klub sepakbola adalah pemenuhan
kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih asing dan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pelatih asing mengenai hakhaknya apabila terjadi perselisihan atau tidak terpenuhinya kewajiban
oleh klub, pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih
asing meliputi :
1. Pendapatan pelatih (uang kontrak dan gaji bulanan),
2. Bonus penghargaan pelatih,
3. Asuransi dan pembayaran pendapatan saat pelatih tidak bisa
melakukan kewajibannya dikarenakan sakit atau cedera yang
dialami pelatih oleh karena atau hal lain berdasarkan instruksi
atau perintah dari klub,
4. Biaya penggantian terhadap biaya yang telah dikeluarkan pelatih
untuk keperluan atau kepentingan klub yang telah disepakati
oleh para pihak, contohnya biaya pembuatan ijin tinggal pelatih
67
selama berada dan bekerja di Indonesia serta tiket pesawat
pulang pelatih ke negara asalnya,
5. Penyediaan seluruh fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan
pelatih sehubungan dengan pertandingan yang diikuti oleh klub,
contohnya akomodasi, makanan, transportasi,
6. Pemberian jaminan kesehatan dalam bentuk asuransi atau
bentuk perlindungan lain kepada pelatih,
7. Pemberian hak kepada pelatih sehubungan dengan hari libur
klub maupun hari libur nasional, dan
8. Pemberian
perlindungan
terhadap
hak
asasi
dan
non-
diskriminasi pelatih.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan secara tegas telah mengatur mengenai
ketentuan
pidana
dan
sanksi
administratif
untuk
memberikan
perlindungan hukum bagi Tenaga Kerja Asing di Indonesia yang akan
diuraikan sebagai berikut :
a) Pasal 185 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa barang
siapa yang melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) akan
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana tersebut
merupakan tindak pidana kejahatan.
b) Pasal 187 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa barang
siapa yang melanggar ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45
ayat (1) dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) bulan
atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
68
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana
ini merupakan tindak pidana pelanggaran.
c) Pasal 190 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Menteri
atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan yang diatur pada Pasal 45
ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 48. Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud berupa :
i. Teguran,
ii. Peringatan tertulis,
iii. Pembatasan kegiatan usaha,
iv. Pembekuan kegiatan usaha,
v. Pembatalan persetujuan,
vi. Pembatalan pendaftaran,
vii. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi,
viii. Pencabutan ijin.
Berdasarkan uraian dari penjelasan diatas, faktor yang menjadi
dasar dalam pembuatan perjanjian kerja antara pelatih asing dengan
klub sepakbola adalah :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan,
2. Statuta PSSI sebagai dasar dunia persepakbolaan Indonesia,
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian,
4. Pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan pelatih
asing, dan
5. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi pelatih asing
mengenai hak-haknya apabila terjadi perselisihan atau tidak
terpenuhinya kewajiban oleh klub.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan :
1. Bentuk perjanjian kerja yang dapat memberikan perlindungan
terhadap pelatih asing adalah bentuk perjanjian tertentu yang
mempunyai karakter khusus, dimana yang menjadi obyek dari
perjanjian tersebut ditentukan secara terperinci dan jelas dengan
ketetapan waktu, dimana pemenuhan prestasinya dikaitkan pada
waktu tertentu atau dengan peristiwa tertentu yang sudah pasti
terjadi dengan menggunakan dua bahasa resmi PSSI, yaitu dengan
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan juga adanya suatu
perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga guna pemberian
perlindungan pada pelatih asing, dalam hal ini, Agen sebagai pihak
ketiga yang merupakan konsultan bagi pelatih asing.
2. Faktor yang menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kerja
antara klub dengan pelatih asing adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Statuta
PSSI sebagai dasar dunia persepakbolaan Indonesia, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, pemenuhan kewajiban klub untuk kesejahteraan
pelatih asing dan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
70
pelatih asing mengenai hak-haknya apabila terjadi perselisihan atau
tidak terpenuhinya kewajiban oleh klub.
B. Saran
Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubungan dengan
penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagi pelatih asing, sudah seharusnya didampingi oleh seorang
agen
ataupun
penerjemah
dalam
proses
penandatanganan
perjanjian kerja dengan klub. Sebelum menandatangani perjanjian
kerja, pelatih asing harus lebih memahami dan teliti terhadap
klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian kerja, jangan
sampai ketidakpahaman dan kurang telitinya, pelatih tersebut
mengalami perselisihan dengan pihak klub yang akan merugikan
dirinya sendiri.
2. Bagi pihak klub, sudah seharusnya memperhatikan kepentingankepentingan pelatih asing, tidak hanya mencari keuntungan untuk
kemajuan klubnya sendiri. Jaminan kepastian hukum pelatih asing
perlu mendapat perhatian khusus dari pihak klub dengan cara
pembentukan dan pengembangan hubungan kerja para pihak yang
terkait
secara
harmonis,
terbuka,
timbal
balik,
dan
saling
menguntungkan, sehingga memungkinkan semua pihak untuk
melaksanakan kewajibannya secara optimal dan kepastian untuk
memperoleh haknya, serta memungkinkan berjalannya mekanisme
kontrol
untuk
menghindari
kekurangan
dan
penyimpangan
71
sehingga tujuan dan target kemajuan dunia persepakbolaan
Indonesia dapat tercapai.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khakim. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
Agusmidah. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Dinamika dan
Kajian Teori. Bogor : Ghalia Indonesia.
Ahmadi Miru. 2008. Hukum kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta :
PT. Rajagrafindo Persada.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Cetakan 3, Juni 2011. Hukum Perikatan :
Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW. Jakarta : Rajawali
Pers.
Djumadi. 2006. Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja. Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada.
Hidayat Muharam. 2006. Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan
Serta Pelaksanaannya di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
Indrareni Gandadinata. 2007. Wanprestasi dan Penyelesaiannya Dalam
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank Internasional
Indonesia Kantor Cabang Purwokerto. Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2008. Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian (Seri Hukum Perikatan). Jakarta : PT. Rajagrafindo
Persada.
Rendy Andaria Bangun. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga
Kerja Asing Di Sumatera Utara, Studi Pada Pt Tolan Tiga Indonesia.
Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Retno Prabandari. 2007. Jenis-jenis Perjanjian Sebagai Dasar Hukum
Dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Objek Hak Tanggungan.
Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
73
Riduan Syahrani. 2009. Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum.
Bandung : Alumni.
R. Subekti. 1989. Cetakan 8. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
R. Subekti. 2002. Cetakan 19. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa.
Yahya Harahap. 1982. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni.
Wita Sumarjono C. Setiawan. 2010. Penerapan Asas Kebebasan
Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Franchise Pizza Hut. Tesis.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang
Sistem Keolahragaan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing
Multimedia / Internet :
Dari Singapura Ke Austria, Inilah Daftar Pelatih Asing Timnas Sepakbola
Indonesia. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6746110, diakses
pada tanggal 9 Oktober 2011.
Keadaan
Memaksa
(Overmacht)
Dalam
Hukum
Perdata.
http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmachtdalam-hukum-perdata/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.
74
Pengertian
Perlindungan
Hukum.
http://zonaprasko.blogspot.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html,
diakses pada tanggal 9 Oktober 2011.
Sejarah Dan Perkembangan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.
http://www.pssi-football.com/id/view.php?page=pssi#,
diakses
pada
tanggal 1 Oktober 2011.
Tinjauan
Umum
Tentang
Perjanjian.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17319/3/Chapter%20II.pdf
diakses pada tanggal 8 Oktober 2011)
Totalitas
Pembangunan
Tim
Sepakbola
Kelas
Dunia.
http://www.dimasprasetyo.net/totalitas-pembangunan-tim-sepakbolakelas-dunia-1572, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.
Tidak
Semua
Cabang
Olahraga
Butuh
Pelatih
Asing.
http://www.jurnas.com/news/30967/Tidak%20Semua%20Cabang%20Butu
h%20Pelatih%20Asing/13/Olahraga, diakses pada tanggal 8 Oktober
2011.
75
Download