Humanity, Humanism, Humanitarianism in Contemporary International Relations By : Irza Khurun’in (14/376424/PSP/05357) Istilah humanity, humanism, dan humanitarianism memberikan warna baru dalam kajian hubungan internasional. Jika dilihat secara awam, ketiga term tersebut berarti kemanusiaan. Lebih dari itu, ketiganya memiliki makna masing-masing beserta konteks penggunaannya. Tantangan baru dalam ranah hubungan internasional adalah dengan munculnya konsep tentang kemanusiaan. Hal itu membuat pengkaji hubungan internasional di era modern meletakkan sisi kemanusiaan dalam memandang sistem internasional. Semakin berkembangnya peradaban manusia, pandangan terhadap hubungan internasional pun mengalami pergeseran. Muncul perspektif-perspektif baru untuk menjelaskan hubungan internasional. Term kemanusiaan pun muncul sebagai sesuatu yang melekat pada diri manusia itu sendiri. 1. Humanity and Its Origin Dalam perkembangan dunia, term humanity muncul sebagai pendobrak akan pandangan bahwa hubungan internasional konfliktual dan anarki. Di awal abad 20, masyarakat Eropa sudah mulai mengakui adanya otoritas moral dan etika. Di mana moral maupun etika menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan oleh negara. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya ‘hukum moral’ (Glover, 1999, hal. 1). Immanuel Kant menulis dua hal, 'the starry heavens above me and the moral law within me' (Glover, 1999, hal. 1). Yang mana pada saat itu, etika, moral, nilai-nilai agama mulai dipertanyakan kembali. Selanjutnya istilah 'men' atau 'manusia' menjadi suatu hal yang mutlak dan memiliki konotasi positif di abad ke-18 dan muncul pula istilah 'kemanusiaan' atau humanity yang mengesankan bahwasanya manusia merupakan spesies yang membutuhkan eksistensi (Douzinas, 2007). Dalam kaca mata humanisme, ada esensi universal manusia yang mana merupakan atribut dari setiap individu sebagai subyek nyata (Douzinas, 2007). Merujuk pada Heidegger, subjektifitas adalah prinsip metafisika dalam modernitas, yang merupakan kepribadian hukum, 'manusia' dalam hak asasi manusia subjek dalam hak asasi. Minimnya 'humanity' membuat manusia untuk mengklaim otonomi, tanggung jawab moral dan subjektivitas hukum (Douzinas, 2007). Gagasan tentang kemanusiaan lebih didominasi oleh ideologi liberalism yang mana menekankan pada hakekat manusia yang memuliki keunikan masing-masing (Douzinas, 2007). Gagasan tentang moralitas dan kemanusiaan juga diilhami dari pemikir terkenal Immanuel Kant dengan teori tentang moralitas, yang mana menitik beratkan pada sisi kemanusiaan dan tanggung jawab moral. Kant membedakan politik sebagai hak, dan menganggap moralitas sebagai sebuah komponen teoritis (Franke, 2001, hal. 35). Selain itu, Kant memahami bahwa politik dalam internasional akan berhasil jika terdapat keseimbangan antara politik dan moral. Dan dorongan moral yang dapat diadopsi secara bebas oleh negara- negara (Franke, 2001, hal. 35). Pandangan Kant tentang moral menganggap bahwa tindakan moral bukan berarti hanya sekedar untuk bertindak yang benar, tapi bertindak demi moral itu sendiri, meskipun Kant juga mengamini bahwa dorongan moral juga bisa menjadi alat politik bagi aktor untuk mencapai kepentingan (Franke, 2001, hal. 35). Immanuel Kant melanjutkan seperti yang dikutip oleh Glover, bahwa humanity itu sendiri merupakan sebuah harga diri, yang mana akan terus melekat pada diri manusia sebagai sebuah pengakuan sebagai ‘manusia’ (Glover, 1999, hal. 23). Humanity dapat dipahami sebagai sifat manusiawi yang dimiliki oleh manusia, yang pada hakekatnya manusia terlahir menjadi baik. Atau lebih singkatnya humanity adalah rasa manusiawi dan merupakan kebalikan dari inhumanity atau ketidakmanusiawian. Humanity juga dipahami sebagai sumber moral. Seperti yang diungkapkan oleh Glover (1999) bahwa inti dari dari humanity adalah human response. Human response di sini dibagi menjadi dua, yakni respect dan sympathy. Respect atau rasa menghormati, dipahami dalam dua hal, yang pertama adalah tendensi untuk menghormati orang lain dalam kategori ‘hormat’ yang datang dari ide akan harga diri sebagai manusia yang melekat, atau menjalankan apa yang sudah ada di masyarakat sebagai sesama manusia (Glover, 1999, hal. 22). Sedangkan simpati adalah rasa kasih atau keikutsertaan seseorang dalam merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain baik perasaan senang maupun susah. Glover (1999, hal. 22) memberikan salah satu contoh dengan gambaran bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi yang ditayangkan melalui siaran televisi. Ferris (2011), menjelaskan humanity dengan merujuk pada prinsip dari humanity yakni untuk mencegah dan meringankan penderitaan manusia, tanpa motif tersembunyi. Kesimpulan dari makna humanity dapat dipahami dalam quote Mahatma Gandhi “You must not lose faith in humanity. Humanity is an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean doesn’t become dirty”. 2. Humanism and its critique Humanism merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata human (-isme). Atau mungkin secara kasar dapat dipahami sebagai sebuah ideologi atau sudut pandang yang memfokuskan pada manusia sebagai tujuannya. Kata humanism mulai tersebar luas dengan adanya publikasi ‘Humanist Manifesto I’ tahun 1933 yang dilanjutkan dengan ‘Humanist Manifesto II’ di 40 tahun setelahnya (Penman & Adams, 1982, hal. 308-309). Istilah humanism sendiri muncul setelah adanya pengauan akan moralitas dan etika dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Konsep kemanusiaan merupakan sebuah penemuan dalam dunia modernitas (Douzinas, 2007, hal. 51). Kata 'humanitas' muncul di Republik Roma yang merupakan arti dari paideia (Douzinas, 2007). Pada jaman romawi kuno, istilah humanism pertama kali digunakan untuk mengesankan keunggulannya, yang diambil dari perpaduan antara peradaban Yunani kuno dan Romawi (Douzinas, 2007). Penggunaan term humanism masih dalam perdebatan. United States Supreme Court mendefinisikan humanism sebagai sebuah agama (Penman & Adams, 1982, hal. 308). Sebanyak sembilan kali dalam Humanist Manifesto I mendefinisikan humanism sebagai sebuah agama yang kemudian sebanyak tujuh kali dalam humanist Manifesto II justru enggan jika menyebut humanism sebagai agama, melalui statemenya yang mengatakan bahwa humanism adalah kekuatan moral, sebuah ekspresi dari iman yang hidup dan berkembang (Penman & Adams, 1982, hal. 308). Asumsi dalam pandangan humanism secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga hal. Yang pertama adalah humanism as humanism it self. Humanism bukan sebagai wacana yang berdiri sendiri melainkan orientasi filosofis yang pada akhirnya mempengaruhi domain penelitian (Noonan, 2003, hal 67). Tidak ada science of humanism, politic of humanism, maupun religion of humanism. Bagi humanism, ilmu pengetahuan adalah alat untuk mengejar tujuan humanistik guna perbaikan kondisi material manusia (Noonan, 2003, hal. 67). Tidak ada politk humanisme, melainkan ‘prinsip-prinsip’ yang ditafsirkan beragam oleh kaum liberal, sosialis, maupun konservatif, bahwa peradaban manusia harus mewujudkan apa yang terbaik dan tertinggi dalam manusia sendiri (Noonan, 2003, hal 67). Tidak ada "agama humanisme", melainkan gagasan bahwa manusia harus menyadari kasih Tuhan, tanpa membandingkan antara Tuhan satu dengan yang lain dalam berbagai kepercayaan yang diyakini manusia, dalam perilaku mereka terhadap satu sama lain (Noonan, 2003, hal 67). Yang kedua adalah asumsi humanism akan keyakinannya terhadap the idea of humanity. Karena humanism menitikberatkan pada pencapaian tujuan kemanusiaan, maka ide-ide dalam humanity menjadi landasan mereka. Humanism merupakan the idea of humanity yang didalamnya tidak hanya menyangkut perihal kemanusiaan secara umum yang berarti tidak ada penindasan, tapi juga menyangkut aspek tidak ada diskriminasi antara bangsa kulit putih dan hitam, laki-laki dan perempuan (Noonan, 2003, hal 107). Humanism menitik beratkan pada manusia sebagai bukan sebagai tools melainkan sebagai subyek. Seperti yang dikatakan Noonan dalam bukunya yang berjudul Critical Humanism and The Politics of Difference : “Human being are not simply subject in some contexts (that subjecthood is identical simply to the empirical practices through which we shape our selves” (Noonan, 2003, hal. 69) Yang ketiga adalah self-determination. Dalam humanism meyakini bahwa manusia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Manusia bukanlah abstraksi maupun ansambel hubungan sosial, seperti yang diungkapkan oleh Derrida, humanism sebagai kerangka kerja untuk rekonsiliasi yang harmonis dalam perbedaan (Noonan, 2003, hal. 156). Humanism juga dapat dipahami sebuah doktrin yang memusatkan pada nilai-nilai kemanusiaan atau pada manusia itu sendiri, bahwasanya ‘the center of humanity is human itself”. Meskipun para penganut humanism Humanism mengklaim sebagai "nonteistik", atau tidak melibatkan kepercayaan pada Tuhan atau dewa-dewa, yang mana secara langsung berkebalikan dengan traditional theism (Penman & Adams, 1982, hal. 308). Oleh karenanya muncul banyak penentang yang mengkritik pandangan humanism ini karena dianggap bertentangan dengan agama, atau sering disebut sebagai doktrin yang erat dengan atheisme. Akan terlepas dari hal itu, kaum humanis percaya bahwa tidak ada yang absolut; bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan nilai-nilai dan tujuan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Penman & Adams, 1982, hal. 309). 3. Humanitarianism in world politics Mengambil pendapat dari Michael Barnett (2010) : Humanitarianism is generally understood as assistance that occurs in the context of disasters; consequently, it is most readily applied to emergency relief and post-conflict recovery (Barnett, 2010, hal 2). Selaras dengan Barnett, Anthonio Donini mendefinisikan humanitarianism sebagai komitmen untuk mengurangi penderitaan dan melindungi warga sipil dalam kondisi konflik atau krisis (Donini, 2010, hal. 220). Dalam penggunaannya, humanitarianism memiliki arti yang ambigu, dapat dikatakan sebagai ideologi, gerakan, maupun pekerjaan (Donini, 2010, hal. 220). Sebagai ideologi, humanitarianisme berarti (-isme) atau pandangan tentang humanitarian. Jika humanitarianisme merupakan ide untuk menolong manusia dari kondisi kesengsaraan dan perbudakan, maka humanitarian adalah tindakan kemanusiaan itu sendiri. Dalam pelaksanannya, humanitarianisme mengakui prinsip-prinsip yang diyakini secara universal, diantaranya adalah (Feris, 2011, hal. 11): - Humanity : untuk mencegah dan meringankan penderitaan manusia, tanpa motif tersembunyi - Impartiality: untuk meringankan penderitaan individu semata-mata atas dasar kebutuhan mereka, tanpa diskriminasi yang berkaitan dengan kebangsaan, ras, agama, atau opini politik - Neutrality : untuk menahan diri dari mengambil sisi dalam permusuhan atau "terlibat setiap saat dalam kontroversi yang bersifat politik, ras, agama atau ideologi - Independence: untuk mempertahankan otonomi dari pemerintah Dalam perkembangannya, humanitarianism yang netral lebih cenderung menjadi perdebatan. Forsythe (2005) justru mengatakan bahwa neutral humanism bukanlah hal yang ada dengan sendirinya, melainkan atas dasar konstruksi (Forsythe, 2005, hal 181). Organisasi kemanusiaan sebagai salah aktor dalam gerakan humanitarianisme lebih rentan terhadap kontrol eksternal, dengan kemampuan negara untuk membatasi praktik dan prinsipprinsipnya (Stein, 2005, hal 741). Tidak dapat dipungkiri lagi, keterlibatan negara dalam praktik humanitarianisme tidak lepas dari kepentingan politis. Meski di sisi lain, masih terdapat organisasi internasional dalam bidang kemanusiaan yang mengklain dirinya sebagai pegiat kemanusiaan yang netral, salah satunya adalah ICRC (International Committee of the Red Cross). Adanya ikut campur tangan negara dalam aksi humaniter bukan suatu hal yang aneh ketika melihat ada beberapa tipologi dalam humanitarianism, yakni tipologi Wilsonian, Dunantist, Faith – Based, dan Solidarist. Tipologi disebut juga sebagai humanitarian enterprsie, yang mana masing-masing memiliki pemahaman sendiri mengenai humanitarianism. Varian tersebut berawal dari Henry Dunant dan Woodrow Wilson yang membedakan tindakan kemanusiaan, yang mana Henry Dunant sebagai pendiri ICRC lebih menekankan pada sisi kemanusiaan murni tanpa adanya campur tangan pemerintah. Sedangkan Woodrow Wilson di sisi yang lain, yang mana bantuan kemanusiaan itu tidak terlepas dari pemberian bantuan dari satu negara ke negara yang lain. Sedangkan Faith-Based merupakan bantuan kemanusiaan yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan. Dan yang terakhir adalah solidarist yang mana bantuan kemanusiaan sebenarnya merujuk pada dukungan antar sesama suku, ras, maupun golongan untuk menunjukkan aksi solidaritasnya. 4. Kesimpulan Kesimpulan dari diskursus di atas mengenai term humanity, humanism, dan humanitarianism adalah yang pertama, ketiga term tersebut memiliki interpretasi sendiri tentang kemanusiaan. Jika humanity dipahami sebagai sifat dasar yang melekat pada diri manusia. Sedangkan humanism merupakan suatu pandangan yang menitikberatkan pada pencapaian tujuan akan nilai kemanusiaan itu sendiri. Di sisi lain, humanitarianism, seperti yang diungkapkan oleh Donini, dapat diartikan sebagai sebuah pandangan atau ide yang komitmen untuk mengurangi penderitaan dan melindungi warga sipil dalam kondisi konflik atau krisis. Dalam hubungan internasional kontemporer, ketiga term tersebut memiliki porsi masing-masing. Humanity sebagai landasan munculnya humanism dan humanitarianism. Dalam hubungan internaisonal, humanitarianism sendiri mengalami pergeseran dan menjadi perdebatan dalam praktik humaniternya. Dimana secara normatif, humanitarian action yang merupakan pokok dari humanitarianism, adalah bebas nilai, tetapi pada praktiknya masih banyak kepentingan-kepentingan di dalamnya. Daftar Pustaka Barnett, M.N. (2010). The International Humanitarian Order. New York: Routledge Donini, A. (2010). The Far Side: The Meta Functions of Humanitarianism in Globalized World. Disaster, Vol. 34, Issue Supplement s2, pp S220-S237 Douzinas, C. (2007). Human Rights and Empire: The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Abingdon: Routledge. Feris, E. G. (2011). The Politics of Protection: The Limits of Humanitarian Action. Washington D.C.: Brookings Institution Press. Forsythe, D. (2005). The Humanitarians: The International Committee of the Red Cross. Cambridge: Cambridge University Press. Franke, M. F. (2001). Global limits : Immanuel Kant, International Relations, and Critique of World Politics. New York: State University of New York Press. Glover, J. (1999). Humanity A Moral History of The Twentieth Century. Yale: Yale University Press. Noonan, J. (2003). Critical Humanism and The POlitics of Difference. London: McGillQueen's University Press. Penman, K. A., & Adams, S. H. (1982, Maret). Humane, Humanities, Humanitarian, Humanism. The Clearing House, 55(7), 308-310. Stein, J. (2005, December). Humanitarianism as Political Fusin. 3(4), 741-744.