Gaya Hidup dan Komoditi Ilusi

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
NEW MEDIA &
SOCIETY
Life Style dan Social Media
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasting
Tatap Muka
08
Abstract
Kode MK
Disusun Oleh
41021
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Kompetensi
Dalam dunia modern, gaya hidup Dengan
memperoleh
membantu individu mendefinisikan mahasiswa
diharapkan
materi
ini,
mengerti
sikap, nilai, identitas serta posisi dan memahami tentang Life Style
sosialnya
Pengetahuan
dalam
masyarakat. dan Social Media.
gaya
hidup
termuktahir ini tak lepas dari era
globalisasi informasi yang mengacu
pada eksistensi media baru.
Gaya hidup. Life Style. Suatu istilah yang sudah marak kita dengar saat ini. Berbagai
media mulai dari majalah hingga portal berita online menyajikan satu kolom spesial dengan
frase—Life Style yang jika kita mengkliknya, maka mucul setumpuk gambar yang sedang
‘mengantri’ dilirik dalam bentuk fashion terbaru, potongan baju teranyar, model rambut masa
kini, tempat ‘bergaul’ ala sosialita atau selebriti, serta pelbagai pilihan lainnya. Kurang lebih
begitulah media khususnya jurnalis mengasosiasikan makna sebuah Life Style ke dalam
bentuk-bentuk kegiatan konsumtif. David Chaney dalam Lifestyle menyebut gaya hidup
sebagai ciri sebuah dunia modern. Namun apakah benar gaya hidup cukup dimaknai hanya
sebatas pada tampilan-tampilan pada rubrik yang ditampilkan oleh media di atas?
Dalam bahasan ini, kita akan mencoba memahami apa yang dimaksud dengan gaya
hidup dan bentuk-bentuknya yang diakibatkan oleh new media saat ini. Namun sebelum
membahas lebih jauh, terlebih dahulu, kita perlu memahami definisi Life Style menurut pakar
budaya.
Gaya Hidup (Life Style): Pengertian dan BentukBentuknya
Seperti yang telah disebut sebelumnya, Chaney mengungkapkan bahwa dalam
tatanan masyarakat modern saat ini, gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau
juga yang biasa disebut modernitas. Siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan
menggunakan gagasan gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun
orang lain. Menurutnya, gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara
satu orang dengan orang lain. Gaya hidup membantu memahami apa yang orang lakukan,
mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya
maupun orang lain.
Gaya hidup (menurut Kotler, 2002:192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan
“keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup juga
menunjukkan
bagaimana
orang
hidup,
bagaimana
membelanjakan
uangnya,
dan
bagaimana mengalokasikan waktu dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas
sehari-seharinya dan minat apa yang menjadi kebutuhan dalam hidupnya.
Dalam pengertian yang lebih umun, Yasraf Amir Piliang, mendefinisikan gaya hidup
sebagai karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap
‘13
2
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
diri sendiri dan lingkungannya. Hal ini berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang,
ruang, dan objek yang berkaitan dengan semuanya (cara berpakaian, cara makan, cara
berbicara, kebiasaan di rumah, pilihan teman, pilihan restoran, tata rambut, tata busana,
dsb). Dengan demikian, gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas dari cara, tata,
kebiasaan, pilihan serta objek-objek yang mendukungnya, yang pelaksanaannya dilandasi
oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu.
Arti gaya hidup sendiri mengalami peningkatan yang dianggap berasal dari evaluasi
kembali budaya material, jauh dari nilai uang yang dekat dengan objek dan ke arah sosial
kulturalnya. Tak heran jika terjadi perubahan dalam masyarakat saat ini. Jika dahulu dengan
status seseorang mencari uang, kini, bisa jadi seseorang justru mencari uang demi status.
Karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gaya hidup membantu individu
mendefinisikan sikap, nilai, identitas serta posisi sosialnya dalam masyarakat.
Di tanah air, globalisasi industri media dari mancanegara dengan modal besar mulai
masuk sejak awal 1990-an. Media membentuk opsi-opsi bagi masyarakat menyoal mode
dan gaya hidup. Saat itu bermunculan beragam slogan—yang disebut Idi Subandi
menawarkan fantasi hidup. Pada waktu yang sama, muncul pula gaya hidup alternatif yang
seakan menjadi antitesis dari glamour fashion yang sudah tidak lagi malu-malu dipamerkan
oleh kaum borjuis.
Rupanya, gaya hidup tidak sesederhana seperti halnya potret kehidupan kelas
menengah di kolom gaya hidup media populer. Gaya hidup bukan melulu monopoli orang
berduit. Bukankah orang miskin sekalipun masih bisa mencomot model gaya hidup tertentu.
Meskipun mungkin hanya bersandiwara, meniru-niru. Seperti halnya orang berduit juga bisa
berlagak sok miskin. Bukan karena penganut ideologi hemat tapi lebih karena pilihan gaya
(mengutip Johan Huizinga (1938), “Bukankah dalam pengertian ‘gaya’ itu sendiri sudah
terkandung
pengakuan
tentang
adanya
suatu
unsur
permainan
tertentu?”).
Idi
menambahkan, dalam masyarakat mutakhir seringkali soal cita rasa dan gaya hidup sudah
tidak jelas lagi batas-batasnya. Gaya hidup kini bukan lagi monopoli suatu kelas, tapi sudah
lintaskelas. Mana yang kelas atas/menengah/bawah sudah bercampur baur dan terkadang
dipakai berganti-ganti. Gaya hidup yang ditawarkan lewat iklan, misalnya, menjadi lebih
beraneka ragam dan cenderung mengambang bebas, sehingga ia tidak lagi menjadi milik
eksklusif kelas tertentu dalam masyarakat. Ia menjadi citra netral yang mudah ditiru, dijiplak,
dipakai sesuka hati oleh setiap orang. Di sinilah terlihat betapa tidak sederhananya istilah
atau konsep gaya hidup.
‘13
3
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selanjutnya, Gaya hidup dipahami sebagai proyek refleksif dan penggunaan fasilitas
konsumen secara sangat kreatif. Anthony Giddens menyebutkan bahwa dalam tatanan
postradisional, diri (self) menjadi suatu proyek refleksif. Perlu keterbukaan yang terbatas
terhadap makna-makna gaya hidup dalam konteks apa pun. “...makna praktik gaya hidup
tidak sepenuhnya ditentukan oleh ‘kekuatan-kekuatan dalam masyarakat’ yang lebih luas
(dari jenis apa pun). Ia menunjukkan bahwa dalam negosiasi praktis dari dunia kehidupan
tertentu, makna dari cara menggunakan sumber daya simbolik konsumsi massa diubah
menjadi objek-objek atau praktik-praktik yang kasat mata yang merupakan metafor bagi diri
mereka sendiri.” Chaney menambahkan bahwa perkembangan gaya hidup dan perubahan
struktural modernitas saling terhubung melalui reflektivitas institusional: “karena keterbukaan
(openness) kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam
‘otoritas’, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktivitas
keseharian.”
Maka penting untuk menyadari bahwa identitas diri adalah satu proyek yang
diwujudkan oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri. Cara khusus
yang dipilih seseorang untuk mengekspresikan diri, tak disangsikan merupakan bagian dari
usahanya mencari gaya hidup pribadinya. Dalam perburuan akan gaya, kita senantiasa
mencari “pahlawan-pahlawan” untuk ditokohkan dan ditiru.
Dalam menyoroti gaya hidup, setidaknya ada dua pendekatan yang menonjol yaitu:
1) pendekatan ideologis (yang mengingatkan kita pada analisis sosial Marxisme). Gaya
hidup dilandasi oleh satu ideologi tertentu yang menentukan bentuk dan arahnya. Cara
berpakaian, gaya makan, jenis bacaan dikatakan merupakan ekspresi dari cara kelompok
masyarakat mengaitkan hidup mereka dengan kondisi eksistensi mereka. Gaya hidup
merefleksikan kesadaran kelas kelompok masyarakat tetentu, dan dengan demikian ia
merupakan satu bentuk ideologi kelas. 2) pendekatan sosiokultural yang melihat gaya hidup
sebagai satu bentuk pengungkapan makna sosial dan kultural. Setiap bentuk penggunaan
waktu, ruang, dan objek mengandung di dalamnya aspek-aspek pertandaan dan semiotik
yang mengungkapkan maknsa sosial dan kultural tertentu. Menurut para kulturalis, gaya
visual merupakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup
dan yang
berperan besar dalam membentuk Life Style kini adalah iklan.
Di era globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi kini, kita sedang
kedapatan ratusan mall baru yang menjamur di kota-kota besar, industri kecantikan, industri
kuliner, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, real estate, gencarnya iklan
barang-barang supermewah dan liburan wisata ke luar negeri, berdirinya sekolah-sekolah
mahal (dengan label “plus”), kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan
‘13
4
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(fast food), telepon seluler, dan tentu saja serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan
televisi yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi, dan bahkan mungkin ke
relung-relung jiwa kita yang paling dalam.
Dalam menyoroti gaya hidup di Indonesia, khususnya yang berkembang sebagai
akibat globalisasi ekonomi dan informasi sejak dua dasawarsa ini, setidaknya ada empat
pengaruh ideologi yang melandasi gaya-gaya hidup, yaitu: 1) gerakan etnik dan subkultur, 2)
gerakan pecinta lingkungan dan ekologis, 3) gerakan spiritual dan keagamaan, dan 4)
kegiatan ekonomi kapitalisme global sebagai satu bentuk ideologi.
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy, 1997) ada beberapa bentuk gaya hidup antara
lain, pertama, Industri Gaya Hidup. Di dalam abad gaya hidup, penampilan adalah
segalanya. Penampilan diri mengalami estetisasi, “estetisasi kehidupan sehari-sehari.” Dan,
bahkan tubuh/diri (body/self) pun
justru mengalami estetisasi tubuh. Tubuh/diri dan
kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu
bergaya maka kamu ada!” dirasa menjadi jargon yang cukup representatif untuk melukiskan
kegandrungan manusia modern akan gaya.
Maka tak heran jika sebagian besar orang menganggap industri penampilan sebagai
sinonim dari industri gaya hidup. “Penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting
bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada substansi. Gaya
dan desain lebih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan substansi. Kulit akan
mengalahkan isi. Pemasaran, penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat
permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup. Chaney juga mengatakan
bahwa pad akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan ( a
culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Ingin
melihat tapi sekaligus juga dilihat. Di sinilah gaya mulai menjadi modus keberadaan manusia
modern: Kamu bergaya maka kamu ada! Kalu kamu tidak bergaya, siap-siaplah untuk
dianggap “tidak ada”: diremehkan, diabaikan, atau mungkin dilecehkan. Itulah sebabnya
mungkin orang sekarang perlu bersolek atau berias diri. Jadilah kita menjadi “masyarakat
pesolek” (dandy society).
Kedua, Iklan Gaya Hidup. Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan
(korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di era
globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya
citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang
menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan
merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya
‘13
5
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan
cita rasa yang kita buat. Kritikus media terkemuka, Marshal McLuhan, menyebut iklan
sebagai karya seni terbesar abad ke-20. Iklan sering dianggap sebagai penentu
kecenderungan, tren, mode, dan bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia
modern. Tentu saja tidak semua orang atau konsumen bisa terpengaruh begitu saja oleh
bujuk rayu iklan. Tidak setiap orang akan membeli setiap barang yang diiklankan dengan
menawan sekalipun.
Ketiga, Public Relations dan Jurnalisme Gaya Hidup. Pemikiran dalam dunia promosi
sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture),
para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer.
Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran “aksesori fashion”. Wajah
generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini
dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)—cara
mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalanjalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk
membantu konsumen dalam parade identitas.
Sedangkan Yasraf melihat setidaknya ada empat gaya hidup, antara lain:
1) Gaya hidup etnik dan subkultur. Paruh kedua abad ke-20 ditandai oleh
pergerakan-pergerakan politik, sosial, dan kultural ke arah heterogenitas
lokal, regional, dan isolasionisme. Ketersediaan informasi, hiburan, makanan,
bahasa, dan gaya hidup dari berbagai suku, kebudayaan, dan kebangsaan
semakin
terbuka
untuk
setiap
individu,
memberikan
lebih
banyak
kemungkinan bagi heterogenisasi diri. Seseorang dapat menikmati McDonald
sambil menonton Wayang Golek di sebuah hotel, lalu pulang ke rumah
sederhana menggunakan taksi President.
2) Gaya hidup konsumerisme. Konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai
satu lalu lintas kebudayaan benda, akan tetapi menjadi sebuah panggung
sosial, yang di dalamnya makna-makna sosial diperebutkan, yang di
dalamnya terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang
terlibat. Relasi sosial sehari-hari tidak lagi berhenti sebagai relasi di antara
sesama manusia, melainkan sebagai fungsi dari pemilikan dan penggunaan
benda-benda dan gaya hidup. Jam tangan emas, pulpen, dasi, ikat pinggang,
mobil luks, dan rumah mewah, semuanya merupakan kata-kata yang
bercerita mengenai gaya hidup dan posisi kelas menengah baru.
‘13
6
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kecenderungan ini menimbulkan semacam fetisisme komoditi, yaitu simbol,
yang sebenarnya tidak merupakan substansi dari komoditi, yang dianggap
suatu kebenaran. Kecenderungan ini menciptakan istilah-istalah baru seperti
hyper commodity dan ekstrimisme pasar, seperti Mall yang berkembang
menjadi pusat pembentukan gaya hidup.
3)
Gaya hidup spiritualisme dan neospiritualisme. Kini tengah terjadi
perkembangan
masyarakat
kontemporer
Indonesia
yang
ditandai
meningkatnya tempo kehidupan sosial akibat globalisasi ekonomi dan
informasi. Dalam kondisi ini, fungsi adat, tabu, ideolgi, bahkan agama
sebagai perekat sosial mulai digeser oleh fungsi-fungsi simbol status,
prestise, dan citraan yang disampaikan berbagai media massa. Sehingga
tercipta satu kesan seolah-olah masyarakat dan kebudayaan kontemporer
telah memudar perekat moral dan spiritual.
Akan tetapi ada beberapa
kecenderungan gaya hidup lain yang hidup di masyarakat, yang arahnya
justru
bersebrangan
dengan
ideologi
konsumerisme,
misalnya
berkembangnya kelompok-kelompok keagamaan (seperti Darul Arqam).
Kelompok ini menjadikan kepercayaan keagamaan sebagai landasan
kehidupan sosial.
4) Gaya hidup hijau. Dampak pemanasan global sebagai akibat dari produksi
dan konsumsi yang melampaui kemampuan sumberdaya alam yang ada,
mengharuskan dilakukannya perubahan-perubahan pada setiap tingkat
masyarakat dan kebudayaan. Maka muncul tuntutan untuk menciptakan
bentuk kehidupan dan gaya hidup yang lebih hijau, tidak berarti harus
kembali ke alam, dan juga tidak berarti menentang sains dan teknologi. Ada
tuntutan lingkungan global untuk mengembangkan semacam eco-estate atau
kampung hijau alternatif. Oleh
karena itu peran media massa juga perlu
diarahkan untuk mencapai masyarakat yang berkeseimbangan. Media massa
harus digunakan dalam rangka membangun kesadaran baru ke arah etika,
moral, lingkungan, dan spiritual yang berkeseimbangan bukan lagi terprogam
untuk tujuan komersial, sebagai bagian dari komoditi, yang mengikuti logika
pasar, logika hasrat, dan logika libido.
Semakin banyak gaya hidup yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi, informasi,
dan kebidayaan di satu pihak telah membuka cakrawala yang tak terbatas dan kreatif bagi
setiap individu untuk menentukan pilihan dan seleranya; namun di pihak lain telah
menggiring masyarakat kontemporer kita ke arah krisis identitas, krisis kebudayaan, bahkan
‘13
7
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
krisis kepercayaan. Semua ini adalah beberapa alternatif pilihan sekaligus tantangan
kebudayaan dalam menjalani abad ke-21 ini.
Gaya Hidup, Hasrat, dan Masyarakat Konsumer
Dalam wacana gaya hidup, sulit untuk memisahkan frase tersebut dengan kata
konsumerisme yang merupakan produk dari hasrat. Maka, dalam tulisan ini, kita perlu
menggambarkan relasi antar ketiganya atau bahkan menilik lebih jauh mengenai definisi
(atau mungkin esensi) dari ketiga hal di atas.
Berangkat dari penjabaran mengenai pengertian dan bentuk-bentuk gaya hidup
sebelumnya, kita akan melaju pada pemahaman mengapa manusia berpotensi mengalami
fenomena kebaruan (bentuk-bentuk gaya hidup) dalam era posmodern saat ini. Menurut
Yasraf Amir Piliang, manusia mempunyai hasrat (desire) yang memerlukan sesuatu di luar
dirinya sebagai sumber pemenuhan hasrat dikarenakan adanya rasa kurang (lack), dan ia
tidak
dapat
memenuhi
sendiri
hasrat
tersebut.
Upaya
pemenuhan
itulah
yang
menggerakkan. Hal ini tampaknya bisa menjadi alasan mengapa manusia selalu mendapati
dirinya pada sesuatu yang baru, berubah. Di dalam psikiatri, hasrat dipandang sebagai
lawan dari ego. Kesenjangan sosial dan berbagai bentuk muslihat yang berujung pada
eksploitasi dapat berhasil karena bekerjanya hasrat. Hasrat kemudian dianggap sesuatu
yang harus dikurung, dibatasi, dan dipasung demi terwujudnya impian utopis manusia.
Konsumerisme sendiri merupakan suatu pola pikir dan tindakan di mana orang
membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang itu, melainkan karena tindakan
membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Istilah Konsumerisme dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai paham/gaya hidup yang beranggapan
barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, gaya hidup tidak hemat,
dsb.
Wiliamson berpandangan positif terhadap konsumerisme, yang melihatnya sebagai
media
representasi
kekuasaan,
khususnya
dalam
mengontrol
objek-objek.
Kita
mengkkonsumsi objek-objek bukan sekadar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya,
akan tetapi juga untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu. Kita menggunakan
objek-objek untuk mengkomunikasikan/merepresentasikan/menandai/mengirim pesan. Kita
menggunakan perhiasan mahal untuk menandai kekayaan dan status sosial kita. Dalam
relasi semcam ini, kita mengontrol objek dalam proses pertandaan dan komunikasi sosial.
Akan tetapi benarkah kita mengontrol objek dalam tindakan konsumsi? Baudrillard melihat
‘13
8
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kekuasaan ini sebagai bersifat semu belaka. Kita tidak lagi mengontrol objek, akan tetapi
dikontrol oleh objek-objek ini. kita “....hidup sesuai dengan iramanya, sesuai dengan siklus
perputarannya yang tak putus-putusnya.”
Konsumsi terkait erat dengan pembentukan diri yang menekankan keunikan pada
makna. Sedangkan Charles Revlon, pendiri Revlon, seperti dikutip The Jakarta Post
mengatakan bahwa “di dalam perusahaan kami membuat kosmetik, di dalam toko kami
menjual harapan.” Harapan yang ditanamkan melalui imaji ideal sebagai konsumen, yang
tidak pernah dapat dipuaskan, itulah salah satu unsur dalam konsumerisme. Dengan begitu,
konsumerisme telah menjadi cara hidup bagi masyarakat kontemporer.
Bagi masyarakat tertentu yang memiliki budaya konsumsi berlebihan (conspicuous
consumption), seperti kaum selebriti, jet set, remaja menengah ke atas perkotaan, yang
sudah mencapai tahap belanja gaya hidup (life style-shopping), apa yang dicari bukan lagi
makna-makna ideologis melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan ekstasi dalam
pergantian objek-objek konsumsi; yang dicari dalam komunikasi bukan pesan-pesan dan
informasi, melainkan kegairahan dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain dengan
tanda, citraan, dan medianya. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan
ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need)
melainkan logika hasrat (desire).
Di Indonesia sendiri, kecenderungan umum ke arah pembentukan simbol sosial dan
identitas kultural melalui gaya pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi
simbolik dan makna-makna sosial telah mewabahi masyarakat Indonesia lima tahun terakhir
ini. Yasraf mengatakan bahwa manusia masa kini tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia
lain seperti pada masa lalu, melainkan oleh objek-objek. Relasi sosial mereka tidak lagi
berhenti sebagai relasi di antara sesama manusia, melainkan sebagai fungsi dari
kepemilikan dan penggunaan benda-benda dan gaya hidup.
Kecenderungan ini
menimbulkan semacam fetisisme komoditi, yaitu simbol, yang sebenarnya tidak merupakan
substansi dari komoditi, dianggap sebagai satu kebenaran.
Pada awal abad ke-20, kapitalisme konsumsi benar-benar telah telah ikut berperan
penting dalam memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen. Konsumsi
sebagai bentuk gaya hidup. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural
seseorang di dalam masyarakat. Jika sebelumnya gaya hidup ditampilkan lewat penampilan,
berikut ini kita juga akan melihat gaya hidup yang dimunculkan lewat wujud kebudayaan
lain, salah satunya yaitu aktivitas makan (culinary culture). Yasraf menambahkan, aktivitas
makan tidak hanya melibatkan unsur budaya fisik (material culture), yaitu makanan,
‘13
9
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
peralatan makan, dan tempat makan, akan tetapi unsur-unsur budaya nonfisik (nonmaterial
culture), yaitu: 1) selera (taste), tidak saja selera terhadap makanan itu sendiri secara
psikologis (selera makan), tetapi selera dalam dalam pengertian sosialnya, yaitu klasifikasi
dan hierarki sosial selera; 2) makna, yaitu bagaimana makanan, tata cara makan dan
teknologi makanan mengandung berbagai makna di baliknya; 3) nilai (cultural value), yaitu
bagaimana makan dan aktivitas makan bermakna secara sosial, politik, ekonomi, sosial,
kultural, dan spiritual.
Gaya Hidup dan Komoditi Ilusi
Seperti yang telah dijelaskan pada modul sebelumnya, bahwasanya kita telah
sampai pada kondisi dimana masyarakat telah dijejali banyak media. Lebih jelas lagi, Yasraf
menyebut era ini sebagai era yang melampai—hyper. Baudrillard melihat apa yang
sebenarnya terjadi terhadap kencenderungan pada kondisi hyper, adalah berkembangnya
wacana
sosial-kebudayaan
menuju
apa
yang
disebut
sebagai
hipermodernitas
(hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo
kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana (ekonomi, seni, seksual) bertumbuh
ke arah ekstrim, sebagai meningkat dan diumbarnya setiap potensi, sebagai logika proses
ekstrimitas, dan percepatan proses kehancuran.
Akan tetapi kini, di dalam ekonomi pasar bebas, energi kemajuan tersebut lebih
banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer, semata agar
ekonomi (kapitalisme) dapat
terus berputar,
yang
pada gilirannya menghasilkan
kesejahteraan semu.
Kecenderungan hyper juga terlihat pada fenomena perkembangan media.
Perkembangan teknologi mutakhir (seperti televisi, komputer, multimedia, internet) telah
memungkinkan diciptakannya satu rekayasa realitas, yaitu satu realitas yang tampak seperti
nyata, padahal semuanya hanyalah simulasi image yang tercipta lewat teknologi elektronik.
Di dalamnya antara realitas dan halusinasi atau antara kebenaran dan rekayasa kebenaran
bercampur aduk di dalam media.
Kecenderungan yang sama juga terlihat pada perkembangan komoditi dan pasar
dalam kapitalisme mutakhir menjelang abad ke-21. Di dalam kapitalisme mutakhir, komoditi
tidak lagi berfungsi sekadar objek utilitas, akan tetapi telah berkembang menjadi virtualcommodity, yaitu komoditi yang menjadi ajang permainan semiotika, status, prestise, dan
‘13
10
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sensualitas komunikasi pemasaran. Apa pun kini dijadikan komoditi, mulai gosip, skandal,
tubuh, kebugaran, sampai kematian.
Daftar Pustaka
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melalui Batas-Batas Kebudayaan.
Yogyakarta: Jalasutra
Chaney, David. 2003. Life Style: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
‘13
11
New Media & Society
Rahmadya Putra Nugraha, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download