INFEKSI NOSOKOMIAL Bagian I Pendahuluan A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan diberikan di berbagai fasilitas kesehatan, mulai dari fasilitas yang mempunyai peralatan yang sangat sederhana, sampai yang memiliki teknologi modern. Meskipun telah ada perkembangan dalam pelayanan di rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainya, infeksi terus pula berkembang terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Infeksi yang terjadi di rumah sakit disebut juga “Infeksi Nosokomial”, yaitu infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal terjadi 3 x 24 jam sesudah masuk kuman. Survey prevalensi yang dilakukan oleh WHO terhadap 55 rumah sakit di 14 negara mewakili 14 daerah WHO (Eropa, Mediterania timur, Asia Selatan – Timur, dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien di rumah sakit menderita infeksi nosokomial. Tingkat infeksi nosokomial di Asia dilaporkan lebih dari 40% (Alvarado 2000). Sebagian besar infeksi nosokomial dapat dicegah dengan strategi-strategi yang sudah ada: Menaati praktek-praktek pencegahan infeksi yang direkomendasikan, khususnya cuci tangan dan pemakaian sarung tangan. Memperhatikan proses dekontaminasi dan pembersihan alat-alat kotor yang diikuti dengan sterilisasi dan desinfeksi. Meningkatkan keamanan pada area-area yang beresiko tinggi terjadi infeksi nosokomial. B. Terminologi Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi mikro organisme pathogen, berkembang biak dan menyebabkan sakit. Mikro organisme, adalah agen penyebab infeksi berupa bakteri, virus, jamur, ricketsia, dan parasit. Infeksi Nosokomial, yaitu infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal terjadi 3x24 jam sesudah masuk kuman. 1 Bagian II PATOGENESIS A. Patogenesis Interaksi antara pejamu (pasien, perawat, dokter, dll), agen (mikroorganisme pathogen) dan lingkungan (lingkungan rumah sakit, prosedur pengobatan, dll) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak. Pejamu Lingkungan Agen Untuk bakteri, virus, dan agen infeksi lainya agar bertahan hidup dan menyebabkan penyakit tergantung dari factor-faktor kondisi tertentu harus ada: AGEN PEJAMU YANG RENTAN WADUK Tempat hidup agen Orang yang dapat terinfeksi TEMPAT MASUK TEMPAT KELUAR Agen meninggalkan pejamu Agen memasuki pejamu CARA PENGELUARAN Bagaimana agen berpindah dari tempat lain Sebagaimana tampak pada gambar ini, suatu penyakit memerlukan keadaan tertentu untuk dapat menyebar ke orang lain: Harus ada agen Harus ada waduk / pejamu : manusia, binatang, tumbuhan-tumbuhan, tanah, udara, dan air. Harus ada lingkungan yang cocok di luar pejamu untuk dapat hidup. Harus ada orang untuk dapat terjangkit. Untuk dapat terjangkit penyakit infeksi harus rentan terhadap penyakit itu. Agen harus punya jalan untuk dapat berpindah dari pejamunya untuk menulasi pejamu berikutnya, terutama melalui: udara, darah atau cairan tubuh, kontak, fektal-oral, makanan, binatang atau serangga. Mikroorganisme menjadi penyebab infeksi nosokomial tergantung dari factor dalam agen: Kemampuan menempel pada permukaan sel pejamu Dosis yang tidak efektif Kemampuan untuk invasi dan reproduksi Kemampuan memproduksi toksin Kemampuan menekan system imun pejamu 2 Sedangkan factor dalam pejamu yang mempengaruhi timbulnya infeksi nosokomial adalah: Usia Penyakit dasar System imun Dan factor lingkungan: Factor fisik : suhu, kelembaban, lokasi (ICU, ruang rawat jangka panjang, sarana air). Factor biologik : serangga perantara Factor social : status ekonomi, perilaku, makanan dan cara penyajian. B. Sumber Infeksi Sumber infeksi nosokomial dapat dibagi dalam 4 bagian: a. Petugas rumah sakit (perilaku) Kurang memahami cara penularan penyakit Kurang memperhatikan kebersihan Kurang atau tidak memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic Menderita penyakit tertentu Tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan b. Alat yang dipakai Kotor Rusak Penyimpanan kurang baik Dipakai berulang-ulang Kadaluarsa c. Pasien Kondisi yang sangat lemah Kebersihan kurang Menderita penyakit kronis Menderita penyakit menular d. Lingkungan Tidak ada sinar matahari / penerangan yang masuk Ventilasi udara kurang baik Ruangan lembab Banyak serangga. C. Transmisi Mikroorganisme Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara, bias lebih dari satu cara. Ada lima cara terjadinya trasmisi mikroorganisme yaitu: contact, droplet, airbone, common vehicle, dan vertorborne. Contact transmission Contact transmission adalah yang paling sering pada infeksi nosokomial, dibagi dalam dua grup; direct contact, dan indirect contact. Direct contact (kontak langsung): transmisi mikroorganisme langsung permukaan tubuh ke permukaan tubuh, seperti saat memandikan, membalikkan pasien, kegiatan asuhan keperawatan yang menyentuh permukaan tubuh pasien, dapat juga terjadi di antara dua pasien. Indirect contact (kontak tidak langsung): kontak dengan kondisi orang yang lemah melalui peralatan yang terkontaminasi, seperti peralatan instrument yang terkontaminasi : jarum, alat dressing, tangan yang terkontaminasi tidak dicuci, dan sarung tangan tidak diganti di antara pasien. 3 Droplet transmission (Percikan) Secara teoritikal merupakan bentuk kontak transmisi, namun mekanisme transfer mikroorganisme pathogen ke pejamu agak ada jarak dari transmisi kontak. Mempunyai partikel sama atau lebih besar dari 5 mikron. Droplet transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, beribicara, dan saat melakukan tindakan khusus, seperti saat melakukan pengisapan lendir, dan tidakan broschoskopi. Transmisi terjadi ketika droplet berisi mikroorganisme yang berasal dari orang terinfeksi dalam jarak dekat melalui udara menetap / tinggal pada konjunctiva, mukosa, hidung, dan mulut yang terkena. Karena droplet tidak meninggalkan sisa di udara, maka penangan khusus udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet transmisi. Airbone transimisi (melalui udara) Transimisi melalui udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen, memiliki partikel kurang atau sama dengan 5 mikron. Transmisi terjadi ketika menghirup udara yang mengandung mikroorganisme pathogen. Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu sehingga penanganan khusus udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme yang ditransmisi melalui udara adalah mycrobacterium tubercolusis, rubeola, dan varicella virus. Common Vehicle Transmission Transmisi mikroorganisme melalui makanan, minuman, alat kesehatan, dan peralatan lain yang terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen. Vectorborne transmission Transmisi mikroorganisme melalui vector seperti nyamuk, lalat, tikus, serangga lainya. 4 Bagian III UPAYA PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL Pengendalian infeksi nosokomial merupakana kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan denga tujuan untuk menurunkan kejadian infeksi nosokomial. Pengendalian infeksi sudah dilakukan sejak lama di AS sedangkan di Indonesia baru mulai dilakukan pada tahun 1980an dan dianggap sebagai salah satu managemen resiko dan kendali mutu pelayanan rumah sakit. Upaya pengendalian / pemberantasan infeksi nosokomial terutama ditujukan pada penurunan laju infeksi (VAP, ISK, decubitus, MRSA, dll). Untuk itu perlu disusun pedoman standar / kebijakan pengendalian infeksi nosokomial, meliputi: 1. Penerapan standar precaution (cuci tangan dan penggunaan alat pelindung) 2. Isolasi precaution 3. Antiseptik dan aseptic 4. Desinfeksi dan sterilisasi 5. Edukasi 6. Antibiotik 7. Survelians Tujuan pengendalian infeksi nosokomial ini terutama : 1. Melindungi pasien 2. Melindungi tenaga kesehatan, pengunjung 3. Mencapai cost effective Dampak yang dapat dirasakan apabila terjadi infeksi nosokomial adalah sebagai berikut: 1. Bagi pasien LOS lebih panjang Cost / pembiayaan meningkat Penyakit lain yang mungkin lebih berbahaya daripada penyakit dasarnya GDR meningkat 2. Bagi staff: medis dan non medis Beban kerja bertambah Terancam rasa aman dalam menjalankan tugas / pekerjaan Memungkinkan terjadi tuntutan malpraktek A. Penerapan Standar Precaution Standar precaution pertama kali disusun pada tahun 1985 oleh CDC dengan tujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari terinfeksi HIV dan infeksi melalui darah, seperti hepatitis virus. Standar precaution adalah petunjuk untuk mencegah penularan infeksi melalui darah dan cairan tubuh tanpa memandang diagnosa medisnya atau dengan kata lain diterapkan pada semua pasien yang berobat / dirawat di rumah sakit. Prinsip Dasar Standar Precaution: Bahwa darah dan semua jenis cairan tubuh, secret, eksreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir penderita dianggap sebagai sumber potensial untuk penularan infeksi termasuk HIV. 5 Komponen utama standar precaution : 1. Cuci tangan 2. Penggunaan alat pelindung: sarung tangan, masker, kaca mata, apron, sepatu bot. 1. Cuci tangan Pedoman mencuci tangan telah memberikan anjuran tentang kapan dan bagaimana melakukan cuci tangan atau menggosok tangan untuk pembedahan, telah mengalami perubahan secara cepat pada masa 15 tahun terakhir, dengan munculnya AIDS pada tahun 1980 an. Cuci tangan dengan sabun biasa dan air sama efektifnya dengan cuci tangan memakai sabun antimicrobial (Pereira, Lee dan Wade 1990). Pittet dan kawan-kawan pada tahun 2000, melaporkan hasil penelitian tentang kepatuhan tenaga kesehatan dalam mencuci tangan, bahwa ada 4 alasan mengapa kepatuhan mencuci tangan masih kurang, yaitu: Skin irritation Inaccessible handwashing supplies Being too bussy No thinking abut it Kepatuhan mencuci tangan di ICU (Spraot, I,J, 1994) kurang dari 50%, sedangkan Galleger 1999 melaporkan bahwa kepatuhan mencuci tangan tersebut : Individu Dokter Perawat Tenaga kesehatan lainya Mahasiswa perawat Patuh % Tidak Patuh % 33 36 43 0 67 64 57 100 Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular dan penyebaran mikroorganisme multiresisten serta diakui sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pittet, 2002), hal ini disebabkan karena pada lapisan kulit terdapat flora tetap dan sementara yang jumlahnya sangat banyak. Flora tetap hidup pada lapisan kulit yang lebih dalam dan juga akar rambut, tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, walaupun dengan dicuci dan digosok keras. Flora tetap, berkemungkinan kecil menyebabkan infeksi nosokomial, namun lapisan dalam tangan dan kuku jari tangan sebagian besar petugas dapat berkolonisasi dengan organisme yang dapat menyebabkan infeksi seperti : s.Auresus, Basili Gram Negative, dan ragi. Sedangkan flora sementara, ditularkan melalui kontak dengan pasien, petugas kesehatan lainya, atau permukaan yang terkontaminasi. Organisme ini hidup pula pada permukaan atas kulit dan sebagian besar dapat dihilangkan dengan mencucinta memakai sabun biasa dan air. Organisme inilah yang sering menyebabkan infeksi nosokomial (JHPIEGO, 2004). Secara umum langkah cuci tangan dikenal dengan seven step cuci tangan : 1) Telapak tangan dengan telapak tangan 2) Telapak kanan di atas punggung tangan kiri dan sebaliknya 3) Jari saling berkaitan 6 4) Punggung jari pada telapak tangan lainya 5) Jempol digosok memutar oleh telapak tangan lainya 6) Jari-jari menguncup digosokkan memutar pada telapak tangan lainya 7) Cuci pergelangan tangan Cuci tangan digolongkan atas 3 bagian : 1) Cuci tangan rutin / social 2) Cuci tangan procedural 3) Cuci tangan pembedahan Ketiga bagian cuci tangan di atas dilakukan sesuai “seven step” cuci tangan. Cuci tangan rutin dilakukan dengan tujuan cuci tangan adalah proses pembuangan kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air. Prosedur cuci tangan rutin : Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir Gunakan sabun biasa (bahan antiseptic tidak perlu) yang memiliki pH normal di telapak tangan yang sudah dibasahi. Buat busa secukupnya. Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun ikuti 7 langkah (seven step) selama 10 – 15 detik dengan memperhatikan daerah di bawah kuku tangan dan di antara jari-jari. Bilas dengan air bersih Tutup kran dengan siku / tissue (hindarkan menyentuh benda di sekitar / kran setelah cuci tangan ) Keringkan dengan handuk kering / kertas tissue. Cuci tangan rutin bagi tenaga kesehatan, sebaiknya dilakukan pada : Waktu tiba di RS Sebelum masuk ruang rawat dan setelah meninggalkan ruang rawat Di antara 2 tindakan atau pemeriksaan Di antara pasien Setelah melepas sarung tangan Sebelum dan sesudah makan Setelah membersihkan sekresi hidung Jika tangan kotor Setelah ke kamar kecil Sebelum meninggalkan rumah sakit Cuci tangan antiseptic dilakukan dengan tujuan menghilangkan kotoran, debu serta mengurangi baik flora sementara maupun flora tetap menggunakan sabun yang mengandung antiseptic (klorheksidin, iodofor, atau triclosan) selain sabun biasa. Prosedur cuci tangan antiseptic: Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir Gunakan sabun anti microbial di telapak tangan yang sudah dibasahi Buat busa secukupnya Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun ikuti 7 langkah cuci tangan selama 1 menit (60 detik) Bilas dengan air bersih Tutup kran dengan siku / tissue 7 (hindarkan menyentuh benda di sekitar / kran setelah cuci tangan ) Keringkan dengan handuk kering / tissue. Cuci tangan procedural / antiseptic dilakukan pada waktu : Memeriksa / merawat pasien yang rentan (mis. Bayi premature, pasien manula, penderita AIDS stadium lanjut) Melakukan prosedur inversive. Seperti pemasangan IV line, kateter, dll) Meninggalkan ruang isolasi (mis. Hepatitis atau penderita yang kebal terhadap obat seperti MRSA). Cuci tangan bedah yaitu menghilangkan kotoran, debu, organisme sementara secara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama pembedahan. Tujuanya adalah mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme dari kedua belah tangan dan lengan dokter bedah dan asistenya. Selama bertahun-tahun tangan pra bedah menghendaki sekurangkurangnya 6-10 menit penggosokan dengan sikat / spon antiseptic namun sejumlah penelitian melaporkan bahwa iritasi kulit akibat penggosokan dapat mengakibatkan meningkatnya pergantian bacteri dari kedua telapak tangan (Dineen, 1966; Kakuchi-Numagami dkk, 1999) Sikat dan spon tidak dapat mengurangi jumlah bakteri pada kedua telapak tangan petugas hingga tingkat yang dapat diterima. Misalnya cuci tangan selama 2 menit dengan sabun dan air bersih diikuti dengan penggunaan khlorheksidin 2 – 4% atau povidon iodine 7,5 – 10% sama efektifnya dengan cuci tangan selama 5 menit dengan sabun antiseptic (Deshmukh, Kramer, dan Kjellberg 1996; Pereira, Lee dan Weda 1997) Prosedur cuci tangan pembedahan: Pakailah tutup kepala dan masker Lepaskan semua perhiasan yang ada di tangan Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir sampai siku Gunakan sabun anti microbial 2 – 5 cc di telapak tangan yang sudah dibasahi Buat busa secukupnya Gosok tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun ikuti 7 langkah cuci tangan selama 5 menit pertama kemudian di ulang selama 3 menit Usahakan posisi tangan lebih tinggi dari pada siku Bilas dengan air bersih dengan tetap posisi tangan lebih tinggi dari siku Tutup kran dengan siku Hindarkan menyentuh benda di sekitar setelah mencuci tangan Keringkan dengan handuk / tissue steril Penggosok Antiseptik Tangan Bukan pengganti cuci tangan, akan tetapi antiseptis tangan dilakukan hanya dengan tujuan mengurangi baik flora sementara atau tetap. Teknik antiseptic tangan sama dengan teknik mencuci tangan biasa. Penggosok antiseptic tangan yang dianjurkan adalah larutan berbasisi alcohol 60 – 90% (Larson, 1990; Pierce, 1990) Teknik melakukanya adalah : Gunakan cairan antiseptis secukupnya untuk melumuri seluruh permukaan tangan dan jari tangan 8 Gosokkanlah larutan tersebut dengan cara menekan pada kedua belah telapak tangan khususnya di antara jari-jari dan bawah kuku hingga kering. Isu – isu dan pertimbangan lain yang berkaitan dengan kesehatan dan kebersihan tangan : 1) Sarung tangan : bahwa tangan tidak memberikan perlindungan penuh terhadap kontaminasi tangan, bakteri dan pasien ditemukan hingga 30% petugas yang memakai sarung tangan sewaktu merawat pasien. (Kotilanen dkk, 1989). Doubeling dan koleganya pada tahun 1988 menemukan bahwa sejumlah bakteri yang cukup banyak pada kedua tangan petugas yang tidak mengganti sarung tangan di antara pasien dengan pasien lainya, tetapi hanya mencuci tangan memakai sarung tangan. 2) Pelumas dan krim tangan. Dalam upaya untuk meminimalkan dermatitis kontak akibat seringkali mencuci tangan (>30 kali per shift) pelembab / sabun antiseptis (alcohol 60 – 90%) kurang mengiritasi kulit. Penggunaan pelumas tangan atau krim pelembab pada kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian pelumas atau krim yang teratur (sekurangkurangnya 2 kali sehari) dapat membantu mencegah dan merawat dermatitis kontak (McCormickk dkk, 2000). 3) Kulit pecah dan lesi lainya Kulit kuku, tangan, dan lengan bawah harus bebas lesi dan pecah kulit. Luka dan lecet harus ditutup dengan pembalut tahan air. Apabila tidak mungkin membalut, bagi petugas bedah dengan lesi di kulit tangan / lengan bawah sebaiknya tidak melakukan pembedahan hingga lesi tersebut sembuh. 4) Kuku jari : Penelitian membuktikan bahwa di sekitar pangkal kuku (ruang subungal) mengandung jumlah mikrobia terbanyak dari seluruh bagian tangan (McGinley, Larson dan Leydon 1988), kuku panjang dapat berfungsi sebagia waduk bagi basil gram negative (P.Aeruginosa), ragi dan pathogen lainya (Hedderwick, 2000) 5) Kuku palsu yang dipakai oleh petugas kesehatan dapat menambah penularan infeksi nosokomial (Hedderwick, 2000) 6) Cat kuku: tidak ada larangan untuk memakai cat kuku, tetapi tenaga kesehatan sebaiknya memakai cat kuku cerah yang baru dipoles, cat kuku yang berwarna gelap akan menghalangi penglihatan dan pembersihan terhadap kotoran dan debu di bawah kuku jari. 7) Perhiasan: Sejumlah studi telah mengungkapkan bahwa kulit di balik cincin lebih banyak terkontaminasi daripada arua kulit yang sama tanpa cincin (Jacobson dkk, 1985), tetapi pada saat ini belum diketahui apakah memakai cincin akan menyebabkan penularan pathogen yang besar atau tidak. 2. Alat Pelindung diri a. Sarung Tangan Cuci tangan dan penggunaan sarung tangan merupakan komponen kunci (penerapan standar precaution standar kewaspadaan) dalam menimialkan penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas infeksi (Garner dan Favero 1986). 9 Ada tiga alasan petugas kesehatan menggunakan sarung tangan, yaitu : Mengurangi resiko petugas terkena infeksi bacterial dari pasien Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke lainya (kontaminasi langsung) Sarung tangan dipakai pada waktu melakukan kontak langsung dengan benda / alat yang diduga / terbukti secara nyata terkontaminasi oleh cairan tubuh penderita (darah, pus, urine, faeces dan muntahan), melakukan tidakan-tindakan invasive. Penggunaan sarung tangan bukan pengganti cuci tangan. Sarung tangan terdiri dari 2 macam : 1) Steril 2) Non steril / re-use Sarung tangan steril dipakai pada waktu melakukan tindakan invasive. Sedang sarung tangan non steril digunakan pada waktu melakukan tindakan non invasive yang diduga atau secara nyata terdapat cairan tubuh, sebelum kontak dengan alat / benda yang terkontaminasi cairan tubuh . lihat table penerapan standar precaution b. Masker, pelindung mata dan wajah 1) Memakai masker selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terkena percikan darah / cairan tubuh pasien 2) Melepaskan masker setelah dipakai dan segera mencuci tangan. c. Gaun / apron Memakai gaun selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien. Segera melepas gaun dan cuci tangan untuk mencegah berpindahnya mikroorganisme ke pasien dan lingkunganya. d. Kegiatan lainya tentang kapan cuci tangan dan penggunaan alat pelindung dilakukan ? No. Kegiatan Cuci tangan Sarung tangan Steril biasa Jubah/ Celemek Masker/ Google Perawatan umum 1. Tanpa luka Memandikan bedding Reposisi 2. Luka terbuka Memandikan bedding Reposisi 3. Perawatan perianal 4. Perawatan mulut 5. Pemeriksaan fisik 6. Penggantian balutan Luka operasi Luka decubitus Central line Arteri line Cateter intravena Tindakan Khusus. / / √ √ √ √ √ √ K/P √ √ √ √ √ √ √ K/P K/P √ K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 10 7. Pasang cateter urine 8. Ganti bag urine / ostomil 9. Pembilasan lambung 10. Pasang NGT 11. Mengukur suhu axilia 12. Mengukur suhu rectal 13. Kismia 14. Memandikan jenazah Perawatan saluran nafas √ √ √ √ √ √ √ √ 15. Tubbing ventilator 16. Suction 17. Mengganti plaster ETT 18. Perawatan TT 19. PF dengan stethoscope 20. Resusitasi 21. Airway management Perawatan Vasculer √ √ √ √ √ √ √ 22. Pemasangan infuse √ 23. Pengambilan darah vena √ 24. Punksi arteri √ 25. 26. 27. Penyuntikan IM / IV / SC Penggantian botol infuse Pelesapan dan penggantian selang infuse Percikan darah / cairan tubuh Membuang sampah medis Penanganan alat tenun. √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 28. 29. 30. √ √ √ √ K/P √ √ √ √ √ √ Lebih baik Lebih baik Lebih baik K/P K/P K/P K/P K/P K/P √ K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P K/P √ K/P √ K/P √√ K/P √ √ √ √ √√ √ K/P K/P √ K/P K/P √ K/P K/P √ √ √ K/P √ Kesehatan karyawan dan daerah yang terinfeksi pathogen Untuk mencegah luka tusuk benda tajam : Berhati-hati saat menangani jarum , scapel, instrument yang tajam atau alat kesehatan lainya yang menggunakan permukaan tajam. Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasinya dengan kedua tangan Jangan pernah membengkokkan / mematahkan jarum Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakai ke wadah yang tahan tusuk dan air, dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan. Gunakan mouthpieces, resusitasi bags, atau peralatan ventilasi lain sebagai alternative mulut ke mulut. B. Isolasi Precaution Early Isolation Practise Isolation precaution pertama kali dipublikasikan di AS pada tahun 1877, dimana pada waktu itu buku pegangan rumah sakit merekomendasikan penempatan pasien infeksi di fasilitas terpisah. Penempatan pasien penyakit infeksi pada fasilitas terpisah pada akhirnya menjadi dikenal sebagai rumah sakit penyakit infeksi. Walaupun demikian pasien penyakit infeksi dipisahkan dari pasien penyakit non infeksi, transmisi infeksi nosokomial berlangsung terus, sebab pasien penyakit infeksi tidak dipisahkan menurut jenis penyakit infeksinya. 11 Selanjutnya petugas di rumah sakit penyakit infeksi mulai memikirkn masalah transmisi penyakit infeksi nosokomial, dengan menata menempatkan pasien penyakit infeksi yang sama jenisnya dan melakukan teknik aseptic pada prosedur tindakan pada tahun 1890 – 1900. Pada tahun 1910 praktek isolasi di AS diubah dengan memperkenalkan system kubikel, dimana pasien pada system kubikel ini pasien penyakit infeksi ditempatkan di ruang multiple bed. Pada system kubikel petugas rumah sakit memakai gaun terpisah dan mencuci tangan dengan larutan antiseptic setelah kontak dengan pasien dan melakukan desinfeksi peralatan yang terkontaminasi dengan pasien. Prosedur perawatan ini dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen kepada pasien lain dan petugas rumah sakit dan akhirnya prosedur ini dikenal sebagai “barrier nursing”. Dengan menggunakan isolasi system kubikel dan prosedur “barrier nursing” maka rumah sakit umum mulai mengambil alternative menempatkan beberapa pasien di rumah sakit penyakit infeksi. Sepanjang tahun 1950 di AS rumah sakit penyakit infeksi mulai tutup kecuali khusus untuk pasien infeksi tuberculosis. Pada pertengahan tahun 1960 rumah sakit penyakit infeksi tuberculosis juga mulai tutup, Karena pasien-pasien tuberculosis lebih menyukai rumah sakit umum dan rawat jalan. Akhirnya pada tahun 1960 pasien penyakit infeksi ditempatkan di rumah sakit umum dengan menempatkan di ruang isolasi satu kamar atau multiple-patient room. CDC Isolation Manual Pada tahun 1970 di Centers of Dissease Control (CDC) mempublikasikan secara detail menual isolasi “isolation techniques for Use in Hospital” untuk membantu rumah sakit umum dalam isolation precaution. Direvisi pada tahun 1975. manual ini dapat diaplikasikan pada rumah sakit kecil dengan sumbersumber terbatas. Manual ini memperkenalkan isolation precaution dengan system kategori. Direkomendasikan bajwa rumah sakit menggunakan satu dari tujuh kategori isolasi. Ketujuh kategori isolasi adalah: Stric Isolation, Respiratory Isolation, Protective isolation, Enteric Isolation, Wound and Skin Precaution, Discharge precaution, dan Blood Precaution. Pada pertengahan tahun 1970, 93% rumah sakit di US mengadopsi Isolation Manual ini. Pada tahun 1980 rumah sakit mengalami endemic dan epidemic masalah infeksi nosokomial, beberapa disebabkan oleh multi-drug resistant mikroorganisme, adanya pathogen yang baru dikenal, yang memerlukan isolation precaution yang berbeda dari kategori isolasi yang ada. Adanya peningkatan kebutuhan isolasi precaution ditunjukkan lebih spesifik pada transmisi nosokomial di unit perawatan khusus / intensif. Selanjutnya sesuai dengan epidemiologi dan metode transmisi beberapa penyakit infeksi, CDC perlu merevisi isolation manual. Pada tahun 1981 – 1983 CDC Hospital Infection Program bersama spesialis penyakit infeksi, pediatric bedah, epidemiologi rumah sakit, petgas pengendalian infeksi melakukan revisi Isolation Manual. CDC Isolation Guideline Pada tahun 1983 “CDC guideline for Isolation Practice in Hospital” dipublikasikan. Pada Isolation Guideline, ada beberapa kategori yang dimodifikasi. Kategori Blood Precaution yang pada awalnya hanya ditujukan pada pasien dengan kronik Hepatitis B virus diubah menjadi Blood and Body Fluid Precaution dan diperluas dengan memasukkan AIDS dan cairan tubuh. 12 Kategeri Protective Isolation dihapus, sehingga Isolation Guideline terdiri dari strict Isolation, Contact Isolation, Respiratory Isolation, Tuberculosis Isolation, Enteric Isolation, Drainage / Secretion Precaution, dan Blood and Body Fluid Precaution. A New Isolation Guideline Guideline for Isolation Precaution in Hospital telah direvisi pata tahun 1990. Revisi Isolation Guideline terdiri dari dua baris precaution yaitu standard precaution, dan Transmission based Precaution. C. Penerapan Isolasi Precaution di Rumah Sakit Isolation precaution merupakan bagian integral dari program pengendalian infeksi nosokomial Tujuan Isolation Precaution bertujuan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen dari satu pasien ke pasien lain dan dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya. Karena agen dan host lebih sulit dikontrol maka pemutusan mata rantai infeksi dengan cara Isolation Precaution sangat diperlukan. Airborne Precaution a. Penempatan pasien Tempatkan pasien di kamar tersendiri yang mempunyai persyaratan sebagai berikut: Tekanan udara kamar negative dibandingkan dengan area skitarnya. Pertukaran udara 6 – 12 kali/jam. Pengeluaran udara keluar yang tepat mempunyai penyaringan udara yang efisien sebelum udara dialirkan ke area lain di rumah sakit. Selalu tutup pintu dan pasien berada di dalam kamar Bila kamar tersendiri tidak ada, tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien lain dengan infeksi mikroorganisme yang sama atau ditempatkan secara kohort. Tidak boleh menempatkan pasien satu kamar dengan infeksi berbeda. b. Respiratory Protection Gunakan perlindungan pernapasan (N 95 respirator) ketika memasuki rungan pasien yang diketahui infeksi pulmonary tuberculosis Orang yang rentan tidak diberarkan memasuki ruang pasien yang diketahui atau diduga mempunyai measles (rubeola) atau varicella, mereka harus memakai respiratory protection (N 95) respirator. Orang yang immune terhadap measles (rubeola), atau varicella tidak perlu memakai perlindungan pernafasan. c. Patient Transport Batasi area gerak pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya tujuan yang penting saja. Jika berpindah atau transportasi gunakan masker bedah pada pasien Droplet Precaution a. Penempatan Pasien Tempatkan pasien di kamar tersendiri Bila pasien tidak mungkin di kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart 13 Bila hal ini tidak memungkinkan, tempatkan pasien dengan jarak 3 ft dengan pasien lainya b. Masker Gunakan masker bila bekerja dengan jarak 3 ft Beberapa rumah sakit menggunakan masker jika masuk ruangan c. Pemindahan pasien Batasi pemindahan dan transportasi pasien dari kamar pasien, kecuali untuk tujuan yang perlu Untuk meminimalkan penyebaran droplet selama transportasi, pasien dianjurkan pakai masker Contact Precaution a. Penempatan pasien Tempatkan pasien di kamar tersendiri Bila tidak ada kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart b. Sarung tangan dan cuci tangan. Gunakan sarung tangan sesuai prosedur Ganti sarung tangan jika sudah kontak dengan peralatan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme Lepaskan sarung tangan sebelum meninggalkan ruangan Segera cuci tangan dengan antiseptic / antimicrobial atau handscrub Setelah melepas sarung tangan dan cuci tangan yakinkan bahwa tangan tidak menyentuh peralatan atau lingkungan yang mungkin terkontaminasi, untuk mencegah berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain. c. Gaun Pakai gaun bersih / non steril bila memasuki ruang pasien bial diantisipasi bahwa pakaian akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau peratalan pasien di dalam kamar atau jika pasien menderita inkontaneia, diare, fleostomy, colonostomy, luka terbuka Lepas gaun setelah meninggalkan ruangan. Setelah melepas gaun pastikan pakaian tidak mungkin kontak dengan permukaan lingkungan untuk menghindari berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain d. Transportasi pasien Batasi pemindahan pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya untuk tujuan yang penting saja. Jika pasien harus pindah atau keluar dari kamarnya, pastikan bahwa tindakan pencegahan dipelihara untuk mencegah dan meminimalkan resiko transmisi mikroorganisme ke pasien lain atau permukaan lingkungan dan peralatan. Peralatan Perawatan Pasien Jika memungkinkan gunakan peralatan non kritikal kepada pasien sendiri, atau secara kohort Jika tidak memungkinkan pakai sendiri atau kohort, lakukan pembersihan atau desinfeksi sebelum dipakai kepada pasien lain. 14 Recommendation Isolation Precaution “administrative Controls” 1. Pendidikan Mengembangkan system pendidikan tentang pencegahan kepada pasien, petugas, dan pengunjung rumah sakit untuk meyakinkan mereka dan bertanggung jawab dalam menjalankanya. Adherence to Precaution (ketaatan terhadap tindakan pencegahan) 2. Secara periodic menilai ketaatan terhadap tindakan pencegahan dan adanya perbaikan langsung. 15 BAGIAN IV PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL Hemodialisis merupakan pilihan pengobatan bagi pasien yang mengalami gagal ginjal tahap akhir, selain itu juga merupakan metode awal pengobatan sampai menjalani transplantasi atau peritoneal dialysis (PD). Untuk fasilitas HD, vascular akses melalui autologus arteriovenous (AV) Fistula, CVC External Cuff merupakan jalan masuknya infeksi aliran darah (BSIs : Blood Stream Infections). 11 rumah sakit dari 9 propinsi di AS dilakukan surveillance dari Desember 1998 – Mei 1999, dari 233.158 prosedur dialysis selama 6 bulan ditemukan 184 BSIs (0,14%). 57 menunjukkan BSIs dan 127 menunjukkan masalah HD melalui AV Fistula seperti demam (45,9% dari prosedur dialisisi). Melalui kultur darah ditemukan 4 mikroorganisme dari 184 BSIs yakni : S.Aureus (36,8%), Coaulosis Negative Staphylococus (35,1%), Enterococus species (98%), 10 % dari S.Aureus menunjukkan MRSA, tidak ditemukan VRE. Dalam diskusi, infeksi yang didapat merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai Negara. Infeksi nosokomial merupakan kontributror penting pada morbiditas dan mortalitas. Infeksi akan lebih penting sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan dampat ekonomis dan manusiawi karena: Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk Semakin seringnya masalah dengan gangguan imunitas Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducci 1995). Infeksi nosokomial merupakan focus penting pencegahan infeksi di negara berkembang. Infeksi ini adalah penyebab utama penyakit dan kematian yang dapat dicegah, yang paling penting adalah: Infeksi aliran darah Peritonitis (CAPD) Hepatitis (HD) Pengelolaan benda-benda tajam Benda-benda tajam yang sering dijumpai adalah : 1. Jarum suntik / jarum hipodermik 2. Jarum jahitan 3. Silet 4. Pisau scapel Memerlukan penanganan khusus karena benda-benda tajam ini dapat menyebabkan luka bagi petugas kesehatan, dan juga masyarakat sekitar jika sampah dibuang di tempat sampah umum. Enkapsulasi Enkapsulasi dianjurkan sebagai cara termudah membuang benda-benda tajam, benda tajam dikumpulkan dalam wadah tahan tusukan dan antibocor. Sesudah ¾ penuh, bahan seperti semen, pasien, atau bubuk plastic dimasukkan dalam wadah sampai penuh. Sesudah bahan menjadi padat dan kering, wadah ditutup, disebarkan pada tanah rendah, ditimbun dan dapat dikuburkan. Bahan sisa kimia dapat dimasukkan bersama dengan benda-benda tajam. (WHO 1999). 16 Pembuangan di daerah tindakan Ingat: Untuk menghindari luka tertusuk jarum, jangan membengkokkan, mematahkan, atau menyarugkan jarum ketika akan membuang. Tempatkan container di tempat yang mudah dicapai, sehingga petugas kesehatan tidak perlu membawa-bawa benda tajam. Langkah-langkah: 1. Jangan menyarungkan kembali penutup atau melepaskan jarum spuit 2. Masukkan benda-benda tajam tersebut dalam wadah yang tahan tusukan misalnya kotak kardus tebal, botol plastic, atau kaleng berpenutup. Bukaan penutup harus cukup lebar untuk mudah memasukkan benda-benda tersebut, tatapi cukup kecil supaya sukar untuk dikeluarkan lagi. (botol cairan infuse intravena dapat digunakan tetapi mudah pecah). 3. Jika wadah sudah terisi ¾, pindahkan dari area tindakan untuk dibuang. 4. Waktu membuang benda-benda tajam: a. Pakailah sarung tangan rumah tangga yang tebal b. Jika container sudah ¾ penuh, tutup/sumbat atau plaster dengan rapat. Pastikan tidak ada bagian benda tajam yang menonjol keluar wadah. c. Buanglah wadah benda tajam tersebut secara dibakar, enkasulasi, atau dikubur. d. Lepaskan sarung tangan (cuci setiap hari atau setiap kali terlihat kotor dan keringkan) e. Cuci tangan dan keringkan dengan kain atau handuk bersih atau alat pengering lainya. 17 BAGIAN V PENUTUP Infeksi nosokomial merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pelayanan rumah sakit secara keseluruhan Upaya untuk mencegah kejadian infeksi nosokomial yang penting adalah penerapan standar precaution baik bagi pasien, petugas, lingkungan dan alat kesehatan, dengan tujuan untuk memutuskan rantai penularanya. Pendidikan bagi tenaga kesehatan sangat mendukung dalam upaya pengendalian infeksi, untuk itu pendidikan infeksi harus diberikan secara terus menerus. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi peserta maupun pembaca. Referensi: 1. Tietjen, L.,dkk (terj. Saifuddin, AB,dkk): Panduan Pencegahan Infeksi : Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas 2. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi di ICU, Dep.Kes.RI, Jakarta 2004 3. Kumpulan Makalah Kursus Dasar : Pengendalian Infeksi Nosokomial, PERDALIN JAYA, Jakarta, Februari 2005 4. Panduan Bagi Pengendalian Infeksi, www.ansellhealthcare.com, Ansell, 2002 5. Australian Dendal Association, Systemic Operating Procedures, ADA,2003 6. Larson, Elaine L,. RN, Phd, FAAN, CIC,. APIC Guidline for Handwashing and Hend Antiseptic in Healt Care Setting, Washington, 1995. 18