Laporan Studi Pustaka ( KPM 403 ) DAMPAK PERUBAHAN BENTANG ALAM TERHADAP STRUKTUR AGRARIA DAN TINGKAT RESILIENSI MASYARAKAT SRI ANINDYA DESTIRA DAMAYANTI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur Agraria dan Tingkat Resiliensi Masyarakat”benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, 11 November 2014 Sri Anindya Destira Damayanti NIM. I34110116 iii ABSTRAK SRI ANINDYA DESTIIRA DAMAYANTI. Dampak Perubahan Bentang Alam terhadap Struktur Agraria dan Tingkat Resiliensi Masyarakat. Dibawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO Secara umum kondisi bentang alam suatu wilayah memberikan pengaruh kepada suatu masyarakat. Perubahan bentang alam suatu wilayah yang disebabkan oleh adanya faktor faktor alam dan non alamiah yang memunculkan sumberdaya alam dan sumberdaya agraria yang baru. Pemanfaatan akan sumberdaya baru ini, menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan atas pemanfaatan sumberdaya yang ada. Perubahan ini kemudian memberikan pula perubahan pada tingkat ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis mengenai dampak perubahan bentang alam terhadap struktur agraris dan tingkat resiliensi masyarakat. Kata kunci: perubahan bentang alam, struktur agraria, resiliensi. ABSTRACT SRI ANINDYA DESTIIRA DAMAYANTI.The impact of changes in the landscape of agrarian to structure and the levelcommunity resiliensi.Supervised byENDRIATMO SOETARTO In general the condition of the landscape of a territory give impact towards a society.Change the landscape of a territory that is caused by factors are the natural factors and non natural that brings natural resources and resources of agrarian affairs new.The utilization of resources will this new give rise to the existence of different conflicts of interest on the use resources that exist.This change also then give them the change in the level of community resilience in the face of change.Hence, this paper will analyze on the impact of the change the landscape of agraris to structure and the level of resiliensi by the society. Keywords : landscape changes, Agrarian structure, resilience iv DAMPAK PERUBAHAN BENTANG ALAM TERHADAP STRUKTUR AGRARIA DAN TINGKAT RESILIENSI MASYARAKAT Oleh: SRI ANINDYA DESTIRA DAMAYANTI I34110116 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Judul : Sri Anindya Destira Damayanti : I34110116 : Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur Agraria dan TingkatResiliensi Masyarakat dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan: _______________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur Agraria dan Tingkat Resiliensi Masyarakat” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa Studi Pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. 2. Keluarga tercinta, Ibunda Umi Maryati, Ayahanda Sabar Sriyono, Eyang Putri, Alhm. Eyang Kakung, Mbah Basir dan Adik Sri Ichfana Haniftio yang selalu memberikan dukungan, semangat, doa kepada penulis 3. Teman teman seperjuangan penulis Nurlaila, Ichris Dian M, dan Ulfa Lestari 4. Sahabat sahabat penulis Fatimah Azzahra, Gita Riyana, Ade Mirza R, Diah Utari dan Nidya Cahyana W, yang telah banyak memberi masukkan dan menerima keluhan penulis. 5. Para sahabat yang sekaligus saudara tersayang yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. 6. Keluarga DPM FEMA 2013-2014 dan KPR 2014 yang memberikan tempat kepada penulis untuk berkeluh kesah dan atas segala bantuan dan doanya. 7. Keluarga Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 48 atas kebersamaanya selama ini. Penulis berharap studi pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kesalahan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. . Bogor, 11 November 2014 Sri Anindya Destira Damayanti NIM. I34110116 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN ABSTRAK LEMBAR PENGESAHAN PRAKATA DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penulisan Metode Penulisan ii iii v vi vii 1 1 2 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 3 Penguatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil 3 Suara dari Pesisir “Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir.” 4 Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan 6 Pola Penguasaan Tanah dan Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Kampung Laut, Studi Kasus Di Muara Citanduy, Cilacap. 8 Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang 9 Dampak Perubahan Lingkungan Terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kawasan Segara Anakan. 10 Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan 11 Marine Dependent Livelihoods And Resilience To Environmental Change: A Case Study Of Anguilla 13 Resilience Thinking Meets Social Theory: Situating Social Change In SocioEcological Systems (SES) Research 14 Social-Ecological Indicators Of Resilience In Agrarian And Natural Landscapes 16 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Perubahan Bentang Alam dan Tanah Timbul Struktur Agraria Resiliensi Masyarakat 18 18 18 20 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pertanyaan Penelitian Usulan Kerangka Analisis 22 22 22 23 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP 25 26 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan ( archipelagic state ) terbesar di dunia dengan jumlah pulau yang mencapai sekitar 17.504 buah. Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan dalam Angka tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia juga menjadi salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanda dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer. Indonesia juga merupakan kawasan yang memiliki berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun yang mengandung kekayaan keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan bahan tambang yang bernilai tinggi. Namun demikian, alam Indonesia juga merupakan kawasan yang paling rentan terhadap gangguan yang terkait dengan aktivitas manusia. Gangguan tersebut sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk dalam bentuk kerusakan ekosistem atau penurunan kualitas lingkungan pantai. Sumber daya lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik ini tidak dapat terpisahkan karena saling terkait satu sama lain. Seiring dengan berkembangnya waktu, kini alam mulai mengalami perubahan. Perubahan alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak terelakkan, baik disebabkan oleh faktor alam maupun campur tangan manusia. Proses perubahan ekosistem ini mengakibatkan dampak dalam bentuk perubahan sosial ekonomi suatu kawasan dan pola kehidupan penduduk yang berada pada kawasan tersebut. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berdasarkan data FAO, di antara kawasan-kawasan pesisir lain, Segara Anakan mempunyai ciri-ciri biogeofisik yang lebih unik. Kawasan ini memiliki kemampuan alamiah yang besar untuk menjamin keberlangsungan hubungan timbal balik antara ekosistem daratan, ekosistem estuari dan ekosistem lautan secara serasi, selaras dan seimbang sebagai habitat flora dan fauna langka. Kawasan ini merupakan daerah migrasi berbagai jenis satwa yang dilindungi dan daerah asuhan berbagai jenis udang dan ikan bernilai ekonomi tinggi. Selanjutnya, kawasan tersebut juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat luas. Karena itu, sangat dapat dipahami bahwa oleh pemerintah, Segara Anakan diposisikan sebagai sumberdaya alam yang merupakan menjadi modal dasar bagi pembangunan daerah, regional dan nasional sehingga perlu dilestarikan kondisi lingkungannya. Selain itu, Segara Anakan ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat 3 huruf d dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan PP. Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Ekosistem Laguna Segara Anakan merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional yang perlu mendapat perhatian khusus” dari pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, Segara Anakan menghadapi banyak perubahan bentang alam yang menimbulkan banyak permasalahan pada berbagai aspek yang salah satunya adalah disebabkan oleh deforestasi, degradasi lahan, hingga sedimentasi lahan yang menimbulkan perubahan bentang alam dari kawasan segara anakan. Perubahan bentang alam dari kawasan segara anakan ini terlihat dari munculnya tanah timbul. Tanah timbul yang merupakan sumber daya alam akibat berbagai aktifitas alam dan manusia menumbuhkan struktur baru dalam masyarakat. Perbedaan mengenai pemanfaatan tanah timbul yang kemudian menjadikan 2 peletakkan klaim klaim atas lahan lahan yang ada menimbulkan berbagai permasalahan dalam aspek-aspek sosial ekonomi kini sedang dihadapi oleh penduduk di sekitar Segara Anaka seperti. Konflik lahan, kompetisi ekonomi, penebangan liar, dilema alih fungsi lahan adalah beberapa di antara masalah sosial ekonomi tersebut. Perubahan ekosistem laut menjadi ekosistem darat menyebabkan perubahan pada pola mata pencaharian dari aktivitas penangkapan ikan tradisional (nelayan) menjadi aktivitas di bidang pertanian ataupun industri. Penduduk yang pada dasarnya sangat menggantungkan kehidupannya harus mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang ada. Banyak penelitian yang mengkaji masalah sumber daya alam yang hampir semuanya menunjukkan ada permasalahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kajian tersebut meliputi konflik dan kemiskinan yang bersumber dari ketiadaan akses terhadap tanah dan sumber-sumber alam menjadi potret yang paling banyak disajikan, bahkan hingga kini. Untuk itu, perlu adanya analisis kemungkinan pengaruh perubahan bentang alam terhadap struktur penguasaan baru serta kemungkinan pengaruhnya terhadap tingkat resiliesi atau ketahanan masyarakat. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk menganalisis faktor perubahan bentang alam yang terjadi pada laguna segara anakan, menganalisis perubahan perubahan bentang alam yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria dan menganalisis sejauhmana tingkat resiliensi Masyarakat dalam mengahadapi perubahan bentang alam laguna segara anakan Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan studi literatur yaitu dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan perubahan bentang alam, struktur agraria, penguasaan lahan dan resiliensi masyarakat. Data yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini diperoleh dari berbagai sumber rujukan ilmiah seperti buku, jurnal, laporan penelitian, tesis, dan disertasi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Kemudian data sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan cara mengikhtisarkan beberapa rujukan yang berkaitan dengan topik, kemudian disusun menjadi tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari pendahuluan, ringkasan, analisis dan sintesis, serta simpulan. 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : : : : : : : : : : : Penguatan Peran Masyarakat dalam Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil 2009 Buku Cetak Arif Satria Redaksi IPB Press Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat Bogor, IPB Press - Pengelolaan Ringkasan : Tipe tipe hak kepemilikan versi Ostrom and Schalager tahun 1990 seperti hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan menentukan status kepemilikan Sumber Daya Perikanan (SDP). Bromley telah menyebutkan paling tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property) dan masyarakat (communal property). Dalam pengelolaan SDP Indonesia menganut Rezim sentralismeyang telah diterapkan dalam pengengelolaan sumberdaya alam selama puluhan tahun. Rezim ini menekankan kepada negara dalam mengelola sumberdaya alam mulai dari merumuskan kebijakkan, pelaksanaan hungga pengawasan dan pengendalian sumberdaya alam.Pemerintah sebagai alat negara memiliki kekuasaan yang mutlak termasuk dalam menentukan siapa yang boleh mengambil sumberdaya alam tersebut. Dalam rezim ini pemerintah memiliki dua peran yakni sebagai agen pembangunan dan agen pelindung sumberdaya alam. Namun, dalam kedua peran ini sering sekali terjadi konflik kepentingan antara peran sebagai agen pelindung sumberdaya alam dan peran sebagai agen pembangunan. Sebagai agen pembangunan pemerintah memiliki tujuan pragmatis yaitu menciptakan penerimaan untuk negara. Oleh karena itu pemerintah menarik investasi melalui kolaborasi dengan para pemilik modal berupa penerimaan izin izin pemanfaatan sumberdaya alam. Kolaborasi tersebut tidak menciptakan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat itu sendiri dan kerusakkan alam. Sedangkan sebagai pelindung sumberdaya alam, pemerintah memiliki peran dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam. Kebijakan yang sentralisme ini tidak jarang menimbulkan konflik yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pemeritah menggunakan instrumen kebijakan dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi/ perlindungan diamana wilayah konservasi ini merupakan wilayah yang dimanfaatkan masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan aturan aturan yang dibuat mengeliminasi hak hak masyarakat dalam mengeakses dan mengontrol SDP tersebut.Kedua, Konflik masyarakat dan pemeritah yang melibatkan swasta. Hal ini karena pemerintah menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada pihak pihak tertentu yang 4 pada akhirnya mengbah hak hak pemanfaatan masyarakat yang secara langsung mempengaruhi ekonomi masyarakat. Perspektif politik-hukum, menguatnya pemerintah dan swasta dalam kontrol atas SDP dimana secara sistematis masyarakat diperlemah, dan modernisasi pengelolaan SDP yang memperlemah pengetahuan lokal pada akhirnya memunculkan ortodoksi lingkungan masyarakat dalam proses termarginalisaisi dengan sejumlah kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, distribusi kewenangan SDP pun perlu mengalami pergeseran dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dimana pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif solusi. Dimensi pengelolaan SDP oleh masyarakat diidentifikasikan kedalam tiga bagian yang saling terkait, yakni ; dimensi normatif yang berisi sistem nilai, dimensi regulatif yakni terkait penguatan hukum, dan dimensi kognitif yang berisi tekik pengelolaan dan pengetahuan lokal. Namun pengelolaan SDP oleh masyarakat ini masih belum dapat berjalan baik selama belum juga dapat diidentifikasikan kapan pengelolaan SDP oleh masyarakat dilakukan dan dalam kondisi SDP seperti apa masyarakat diberi hak pengelolaan. Perlu ada upaya pengelolaan oleh masyarakat yang bersifat makro sebagai tugas pemerintah dan sivil society untuk mengakui ekstistensi dan advokasi masyarakat serta upaya yang bersifat mikro yang menjadi tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi dalam pengelolaan SDP. Analisis : Dalam tulisan ini diketahui, bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam terdapat berbagai rezim, diamana Indonesia menganut rezim pengelolaan oleh negara yang sentralistik. Dalam pengelolaannya negara memiliki dua peran yakni sebagai agen pembangunan dan pelindung sumberdaya alam. Namun dalam pelaksanaannya sering sekali terjadi konflik antara dua peran ini sendiri. Diamana dalam peran sebagai agen pembangunan negara memiliki hak untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk mengelola sumberdaya yang kemudian juga membatasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya. Pengelolaan yang bersifat besar, kaya dengan teknologi maju kemudian merusak sumberdaya alam yang tersedia yang selanjutnya lebih menekan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara dalam perannya untuk melindungi sumberdaya alam juga sering sekali mengorbankan masyarakat lokal. Hal ini disebabkan karena sifat yang sentralistik dimana perlindungan dibuat melalui mekanisme kebijakkan yang salah satunya adalah penetapan kawasan konservasi yang pada akhirnya mengeliminasi masyarakat dari hak hak pengelolaannya yang secara langsung mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat. *** 2 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku : : : : : : Suara dari Pesisir “Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir.” 2007 Buku Cetak Bibik Nurududja, Siti Aminah, Sukarman Rangkuman Narasi Proses Workshop Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir 5 Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : : : : : Semarang, LBH - Ringkasan : Desa desa pesisir merupakan kantong kantong kemiskinan struktural yang potesial. Kemiskinan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Kemiskinan juga bisa diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan struktural sendiri yang terjadi pada desa desa pesisir merupakan situasi kemiskinan yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumberdaya yang terjadi dalam suatu sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan kesuburan kemiskinan. Kemiskinan struktural inilah yang juga memicu tumbuhnya kemiskinan absolut, relatif dan kultural. Namun masyarakat didesa desa pesisir tidak mau dikatakan malas, karena mereka telah bekerja namun tetap saja miskin. Mereka harus melaut selama 23 hari dan menjual ikan selama beberapa hari untuk mendapatkan penghasilan dibawah upah minimum rakyat yang tentunya jumlah itu sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup walau hanya sekedar makan. Kalaupun tangkapan ikan yang didapat banyak lika liku penjualan ikanpun sangat menyulitkan mereka sehingga mereka seolah menjadi sapi perahan. Kondisi perekomian yang kian melambungkan harga BBM memuat mereka lebih baik tidak melaut daripada melaut yang nantinya akan menghabiiskan banyak biaya dengan upah yang tidak seberapa.Untuk itu, kemiskinan haruslah dipandang sebagai masalah multidimensi. Kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau kelompok untuk menjadi miskin. Masyarakat miskin bukanlah lagi menjadi objek dalam pengentasan kemiskinan tetapi sebagai subyek yang menentukan bagaimana pengentasan kemiskinan itu dapat berjalan. Pendekatan berbasis hak berimplikasi pada peubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat kususnya masyarakat miskin.Untuk menunjang pendekatan berbasis hak (right based approach) ini digunakan Participatory Poverty Assesment (Penilaian kemiskinan Partisipatif) untuk memahami reallitas kemiskinan nelayan. Pada daasarnya kebijakkan negara yang menyebabkan kemiskinan nelaan adalah: Pertama, peraturan perundang undangan yang memihak kepentingan pemilik modal, yang pada akhirnya menyumbang kehancuran sumberdaya alam itu sendiri. Kedua, sektoralisais kebijakkan pengelolaan sumberdaya alam. Ketiga, pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Keempat, Program pemerintah yang tidak partisipatif dan transparan dan kelima tidak mengakomodasi pelaksanaan hak ulayat atas pengelolaan sumberdaya alam. Sementara itu faktor penyebab kemiskinan didalam nelayan itu sendiri adalah kondisi dimana nelayan hanya buruh sehingga tidak memiliki alat produksi dan kondisi nelayan yang tidak terorganisir. Dari hal hal tersebut yang dikatakan nelayan miskin adalah nelayan yang hidup terancam karena penghasilannya rendah, tidak memiliki akses terhadap sumberdaya alam dan tata produksi secara adil dan tidak terpeuhinya hak hak dasarnya sebagai komunitas dan masyarakat yang bermanfaat. 6 Penggolongan sosial ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama dalam penguasaan alat alat produksi dan peralatan tangkap yang digolongkan kemabali menhadi nelayan pemilik alat produksi dan nelayan buruh. Kedua dalam segi modal usaha yang digolongkan kembali menjadi nelayan golongan besar dan neayan golongan kecil. Ketiga adalah sudut pandang tekologi peralatan yang digolongkan kedalam nelayan modern dan nelayan tradisional. Didalam masyarakat pesisir program program pengentasan kemiskinan tidaklah bisa disamakan dengan kelompok kelompok masyarakat lainnya. Karena dalam masyarakat pesisir terdapat banayak kelompok masyarakat diantaranya, masyarakat nelaan tangkap, masyarakat nelayan pengumpul, masyarakat nelayan buruh, masyarakat nelayan tambak dimana setiap kelompoknya membutuhkan penanganan yang khusus sesuai dengan kelompok usaha dan aktvitas ekonomi mereka. Analisis : Dalam tulisan ini, dapat dianalisis bahwa kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pesisir terbagi menjadi empat, yakni kemiskinan sruktural, kultural, absolut dan relatif diamana kesemuanya saling berhubungan. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat pesisir Indonesia disebabkan oleh kerentanan dan kewawanan masyarakat yang dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap sda, modal, kepemilikan, alat produksi, pengorganisasian dalam masyarakat dan bahkan peraturan peraturan/kebijakkan pemerintah yang tidak mendukung masyarakat. *** 3 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : : : : : : : : : : : Ringkasan Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan 2010 Buku Cetak Moh. Shohibuddin dan Endriatmo Soetarto Sri Margana dan Widya Fitrianingsih Sejarah Indonesia: Prespektif lokal dan Global Yogyakarta, Penerbit Ombak - : Pembahasan yang akan diberikan oleh tulisan ini ada pada dua tahapan. Pertama adalah konseptualisasi mengenai bagaimana dinamika kapitalisme agraria di telah melahirkan proses akumulasi, penyisihan, diferensiasi dan eksploitasi; dan seiring dengan itu semua adalah proses terciptanya kemiskinan. Dan kedua adalah tawaran kerangka penelitian yang mengintegrasikan variabel-variabel dinamis yang berkaitan dengan soal tenurial, hubungan produksi, keberlanjutan layanan alam, dan organisasi sosial untuk mengidentifikasi kondisi socio-economic insecurity suatu masyarakat. Kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih sering dilihat sebagai sebuah “kondisi” ketimbang “konsekuensi” Sebagai kondisi, maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah ukuran-ukuran yang 7 statis. Pandangan semacam ini pada dasarnya adalah konstruksi mengenai kemiskinan yang alhistoris karena melepaskannya dari perkembangan sejarah berikut aneka faktor yang membentuk dan mempertahankannya. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama-tama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata (asumsi di balik teori modal sosial yang individualistis), melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang. Untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan atas tanah dan sumbersumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah menentukan karena hal itu merupakan “masalah penghidupan dan kemakmuran bangsa”. Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telahturun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Dengan demikian, problem kemiskinan dan krisis pedesaan yang banyak terjadi pada masyarakat lokal sebenarnya berakar dari “krisis agraria” semacam ini. Inilah krisis yang menyeruak seiring dengan terjadinya proses “ekspansi kapitalisme” ke dalam dunia pedesaan pra-kapitalis; suatu proses transformasi besar (great transformation) yang secara drastis merombak relasi-relasi sosial dalam proses produksi, terutama relasi kepemilikan (property relations). Tiga jenis “ketimpangan agraria” yang tercipta dari proses semacam ini, yaitu: (1) ketimpangan dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah; (2) ketimpangan dalam hal peruntukan tanah; dan (3) ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Namun selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan dukungan ekstra ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi agraris diantara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. “kemiskinan sebagai konsekuensi dari relasi relasi agraria yang timpang” seperti diajukan di atas tidak akan berhasil dengan baik tanpa disertai dengan sudut pandang kesejarahan yang kuat. Analisis : Dalam tulisan ini dapat diketahui bahwa kapitalisme menyebabkan munculnya akumulasi penyisihan, diferensiasi dan eksploitasi yang berujung pada kemiskinan. Persoalan tenurial yang berhubungan pada sistem produksi, keberlanjutan alam, organisasi sosial dan keamaan sosial ekonomi masyarakat menjadi bagian dari suatu krisis agraria yang menjadi penyebab utama kemiskinan di negara agraris. Kemiskinan yang disebabkan oleh relasi antara modal sosial, kekuasaan yang timpang, ekspansi kapitalisme dalam desa desa pra kapitalis menstransformasi besar relasi relasi yang ada dalam masyarakat. Kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu kondisi yakni suatu ukuran statis yang alhistoris atau sebagai konsekuensi dari suatu relational yang berlangsung. Masyarakat agraris sangatlah menjunjung penguasaan lahan sebagai sumber sumber 8 agraria yang menentukan kesejahteraannya. Relasi agraria yang menyangkut klaim penguasaann sda, hukum agraria, hak penguasaam dan legitimasi penguasan menjadi suatu relasi yang kuat terhadap kontrol, modal dan akses dalam suatu kesejahteraan. *** 4 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Nama Editor Judul Buku : : Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi : : : : Tanggal Diunduh : Ringkasan Pola Penguasaan Tanah dan Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Kampung Laut, Studi Kasus Di Muara Citanduy, Cilacap. 2010 Buku Elektronik Tatan Hermansyah, Sindu Dwi Hartanto, Rina Mardiana, Valentina Arminnah, Abdul Haris Farid, Suharno Laksmi Damayanti, Moh Sohibudin, Suryo Saluang Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta, STPN Press 139 - 174 https://www.dropbox.com/s/csg31b9r0ao8944/Laksmi %2C%20dkk.%20%28ed.%29.%202009.%20Menemu kan%20Jalan%20Keluar.pdf 14 September 2014 pukul 02.00 WIB : Kampung Laut merupakan kecamatan yang baru berdiri sejak tahun 2004. Kampung Laut berasal dari hasil sedimentasi yang dibawa oleh sungai Cimeneng yang terkumpul di Segara Anakan. Menurut para ahli, hasil sedimentasi tertinggi terkumpul di Segara Anakan mencapai 1 juta m3 pertahun. Oleh karena munculnya tanah timbul tersebut, menjadikan pergesaran perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi bertani. Akibat perubahan tersebut, memberikan dampak berkurangnya hasil tangkapan ikan karena kerusakan ekologis di perairan Segara Anakan. Perkembangan tanah timbul yang semakin luas ternyata tidak memberikan solusi yang baik untuk kehidupan mereka. karena kebanyakan dari penduduk setempat adalah nelayan dan petani. Sementara tanah timbul bisa menjadi alternatif utama peralihan sumber pendapatan dengan mengolahnya. Terdapat beberapa peralihan atau pergeseran setelah terbentuknya tanah timbul tersebut. Peralihan atau pergeseran kekuasaan baik itu kapital maupun sosial masih terus berlanjut dan berganti. Selain itu, sekarang muncul kesadaran baru dari warga untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam pendidikan, agar bisa meningkatkan kesejahteraannya. Proses pengelolaan tanah timbul digunakan untuk pemukiman dan perumahan, untuk pertanian yang memungkinkan adalah padi sawah tadah hujan, pekarangan, budidaya udang dan kepiting, dan pembangunan pasar. Seiring dengan perubahan alih fungsi lahan non pertanian menjadi pertanian, diikuti dengan perubahan lainnya, yaitu perubahan land tenure system, dimana perubahan kepemilikan menjadi permanen atas tanah timbul dengan pengakuan formal atas sebidang tanah. Land tenancy system pada warga Kampung Laut terdiri dari penguasaan tanah berbasis jasa dengan proses trukah atau dibabat. Sistem kepemilikan areanya berlaku hukum bahwa seluruh dari Segara Anakan adalah hak warga Kampung Laut. 9 Analisis : Dari tulisan ini, dapat dianalisis bahawa munculnya tanah timbul, menjadikan pergesaran perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi bertani. Akibat perubahan tersebut, memberikan dampak berkurangnya hasil tangkapan ikan karena kerusakan ekologis di perairan Segara Anakan. Terdapat beberapa peralihan atau pergeseran setelah terbentuknya tanah timbul yakni peralihan atau pergeseran kekuasaan baik itu kapital maupun sosial masih terus berlanjut dan berganti. Tanah timbul juga memunculkan sistem land tenancy dan land teure. *** 5 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Tanggal Diunduh : Ringkasan Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang 2011 Jurnal Elektronik Puji Hardati Universitas Negeri Semarang Jurnal Geografi Vol. 8, No. 2 Juli 2011: 10 halaman http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view /1661/1868 23 Oktober 2014 : Kajian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk membawa konsekuensi pada meningkatnya penggunaan ruang baik untuk keperluan pribadi maupun umum, yang ditunjukkan dengan semakin cepat terjadinya proses alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Perhatian utama kajian ini adalah faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban dimana penulis melakukan kajian dengan menggunakan data sekunder. Penulis mengartikan transformasi wilayah sebagai representasi dari perkembangan wilayah yang digambarkan sebagai suatu proses perubahan dan pergeseran karakteristik dari komponen wilayah dalam kurun waktu tertentu sebagai akibat dari hubungan timbal balik antarkomponen wilayah tersebut, dengan demikian transformasi wilayah meliputi variabel-variabel yang bersifat multidimensional. Selain itu, penulis juga menyebutkan bahwa transformasi struktur wilayah sebagai proses kotadesasi, yakni perubahan struktur wilayah agraria ke arah struktur non-agraris. Di Kabupaten Semarang, selama kurun waktu yang lama dari tahun 1976 sampai dengan tahun 2010, terjadi spread effect dari perkembangan Kota Semarang yang merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah dan menjadi pusat kegiatan Pemerintahan dan industri. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perkembangan industri dan kegiatan non-pertanian di Kota Semarang yang memacu laju pertumbuhan penduduk di wilayah sekitarnya, salah satunya adalah di Kabupaten Semarang. Faktor penentu transformasi wilayah peri urban, selain jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk, 10 juga mata pencaharian penduduk. Ditinjau dari pengaruh keberadaan daerah kekotaan secara fisikal, terlihat bahwa makin dekat kearah kota makin banyak pula penduduk yang bekerja di sektor non-pertanian dan makin sedikit penduduk yang berkegiatan di bidang pertanian dan sebaliknya. Selain itu faktor lainnya adalah luas lahan terbangun yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non-pertanian atau didominasi oleh penggunaan lahan terbangun dan lingkungan binaan lainnya. Analisis: Transformasi wilayah disebabkan oleh variabel variabel yang bersifat multidimensional yang meliputi : perubahan struktur wilayah agraria ke arah struktur non-agraris, jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk, mata pencaharian penduduk dan juga luas lahan yang tersedia. *** 6 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit : : : : : : : Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi : : : Tanggal Diunduh : Ringkasan Dampak Perubahan Lingkungan Terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kawasan Segara Anakan. 2012 Jurnal Elektronik Andrian Ramadhan dan Rani Hafsaridewi Jakarta, Balai Besar Peneliian Sosial Ekonomi Kelautam dan Perikanan Jurrnal Sosek KP 7(1):33-53 http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_2 012_v7_no1_%283%29_full.pdf 24 Oktober 2014 : Masyarakat nelayan memiliki ketergantungan yang kuat terhadap lingkungan pesisir. Baik buruknya lingkungan pesisir akan berdampak secara langsung terhadap kehidupan mereka. Penelitian ini dilakukan di desa Ujung Alang dan desa Klaces. Kedua desa ini sebagian besar penduduknya merupakan penduduk asli yang bertahan menjalankan profesinya sebagai nelayan meski terekam pula proses adaptasi masyarakat menjadi petani yang ditandai dengan proses pembukaan lahan lahan pertaian pada zona tanah timbul yng ditumbuhi oleh semak dan mangrove. Seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi, manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tujuan dari adaptasi tersebut pada dasarnya adalah menghilangkan ketidaknyamanan dari perubahan yang terjadi. Besar atau sedikitnya kemampuan seseorang dalam melakukan kontrol inilah yang akhirnya akan menentukan kesuksesan seseorang dalam melakukan adaptasi. Salah satu cara agar seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol adalah dengan cara memiliki privasi atas situasi tersebut. Sedangkan privasi sendiri memiliki tiga dimensi yang terdiri dari pengontrolan terhadap batas (boundary), upaya mendapatkan kondisi optimal dan proses multi mekanisme. 11 Perubahan lingkungan membuat pendapatan yang diperoleh semakin menurun meski secara nominal mengalami kenaikan. Namun kenaikan nilai pendapatan nominal tidak dapat menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Analisis kesejahteraan dengan pendekatan karakteristik rumah tangga menunjukkan bahwa faktor pendapatan saja tidak dapat menggambarkan secara utuh kondisi kesejahteraan rumah tangga. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum masih kurang sejahtera meski tidak ditemukan rumah tangga yang miskin sebagaimana kriteria yang ditetapkan BPS. Secara lebih spesifik juga diketahui bahwa sumberdaya perikanan di Kawasan Segara Anakan masih memberi pengaruh penting terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti dari tingkat kesejahteraan masyarakat berdasarkan mata pencaharian dimana masyarakat nelayan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik. Analisis : Dari tulisan ini dapat dianalisis bahwa perubahan lingkungan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya alam. Perubahan Alam megharuskan masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada. Adaptasi pada lingkungan alam juga disebut sebagai kontrol terhadap alam. Kontrol sendiri terdiri dari pengontrolan terhadap batas (boundary), upaya mendapatkan kondisi optimal dan proses multi mekanisme. *** 7 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : : : : : : : : : : : Ringkasan Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan 2012 Disertasi Cetak Siti Hajar Suryawati Bogor, IPB Press - : Segara Anakan merupakan kawasan laguna atau estuari yang terbentuk dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat, yang mempunyai potensi ekonomis besar yang dimungkinkan oleh keberadaan ekosistem mangrove di wilayah ini, yang mendukung siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung dan aneka reptil. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya ancaman yang semakin besar terhadap laguna ini, yaitu prediksi akan hilangnya laguna yang kaya manfaat tersebut, karena degradasi lingkungan yang terjadi di Laguna Segara Anakan. Perkembangan baru sebagaimana tesebut di atas membawa akibat pada tumbuhnya luasan lahan timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat untuk mengembangkan pencaharian pertanian yang bertumpu pada keberadaan lanan-lahan 12 timbul tersebut. Tidak hanya penduduk setempat, pengembangan pencaharian berbasis lahan timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan Pulau Jawa, yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan lain yang menyusul kemunculan bentuk pencaharian baru tersebut adalah terjadinya perambahan hutan bakau karena berbagai alasan. Menurut hasil-hasil kajian yang telah dilakukan, permasalahan dan berbagai penyebabnya saling terkait, mencakup aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang dikenal sebagai SocialEcologicalSystems (SES). Laguna Segara Anakan merupakan sebuah SES dimana aspek sosial dan aspek ekologi terkait sangat erat dan saling berintegrasi. Kedua aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah secara dinamis. Dalam konteks peningkatan ketahanan SES ini, satu kata kunci yang sering terabaikan dalam penerapan berbagai kebijakan adalah ’kerentanan’. Tanpa memperhatikan aspek kerentanan, kebijakankebijakan yang dilaksanakan tidak dapat tepat sasaran. Hasil analisis SES menunjukkan bahwa berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat di wilayah Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik badan air maupun bagian daratannya. Sebaliknya, kondisi dan dinamika laguna sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat tersebut. Sementara itu sumberdaya perairan menurun kualitasnya karena penggunaan jenis alat yang tidak ramah lingkungan, frekuensi dan kapasitas perikanan dimiliki oleh nelayan yang semakin besar, dsb. Dinamika interaksi yang terjadi di antara aspek ekologis dan aspek sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif pada masing-masing dan membuat kondisi yang semakin memburuk pada keduanya. Dampak negatif yang terjadi akibat interaksi saling merugikan tersebut di atas sejauh ini terkurangi oleh keberadaan prasarana tertentu yang dibangun atau dipasok oleh berbagai penyedia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun kemunculan berbagai bentuk prasarana tersebut bersifat kontraproduktif. Karena memberikan dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu pada penghidupan berbasis air ke pekerjaan pekerjaan darat. Hal ini menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan mendekat kearah gaya hidup di luar wilayah yang menumbuhkan preferensi masyarakat Segara Anakan kepada budaya daratan, berpotensi mengikis kepedulian pada kelestarian laguna. Berbagai faktor kerentanan yang teridentifikasi pada masyarakat Segara Anakan adalah merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan yang terkait dimensi ekologis dimensi ekonomi, sosial dan fisik. Analisis : Dalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa sistem ekologi sangat berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ekonomi sosial masyarakat sangat bergantung pada keberadaan laguna yang kini keberadaannya semakin kritis akibat aktifitas manusia sndiri yang tidak ramah lingkungan dan aktifitas produksi yang negatif, becana alam dan bahkan disebabkan oleh munculnya sarana prasarana yang tidak pro lingkungan pesisir. Munculnya tanah timbul disegara anakan yang disebabka oleh pengrusakkan hutan mangrove, pemanfaatan sda yang negatif, peningkatan jumlah penduduk dan bencana alam menyeabkan masyarakat mengembangkan mata pecaharian yang bertumpu pada lahan yang kemudian memicu konflik akibat munculnya pula pendatang yang sama sama memperebutkan sumberdaya lahan yang ada. Masyarakat segara 13 anakan sangatlah rentan akan perubahan sehigga dalam penerapan kebijakkan dibutuhkan kebijakkan yang berlandaskan kepada kerentanan masyarakat. *** 8 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi : : : : : : : : : : Tanggal Diunduh : Ringkasan Marine Dependent Livelihoods And Resilience To Environmental Change: A Case Study Of Anguilla 2014 Jurnal Elektronik J. Forster, I.R.Lake, A.R.Watkinson, J.A.Gill Marine Policy 45:201-212 http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308 597X1300242X 23 Oktober 2014 : Ketergantungan terhadap sumber daya alam menggambarkan hubungan langsung antara mata pencaharian individu, sektor atau komunitas, dan sumber daya alam dan ekonomi lokal mereka. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya laut menjadikan sumber daya laut tersebut semakin rapuh. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi masyarakat yang mata bergantung pada laut. Selain itu, perubahan lingkungan seperti adanya perubahan iklim dapat mempengaruhi proses kehidupan di laut. Perubahan atau gangguan dalam aspek sosial, politik, atau lingkungan pada sistem penghidupan ini akan memunculkan suatu strategi penghidupan dan ketahanan dari para nelayan yang menjadikan sumber daya laut sebagai sumber penghidupannya. Pada saat terjadi badai Luis pada tahun 1995, nelayan di Pulau Karibia tidak bisa melaut selama dua bulan. Akibat dari badai ini adalah kerusakan pada perlengkapan melaut dan kapal-kapal nelayan sehingga mengurangi kemampuan nelayan untuk menangkap ikan. Selain itu, permintaan makanan laut dari restoran dan hotel juga berkurang secara signifikan sehingga nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapan mereka. Masalah lingkungan kronis yang disebutoleh over eksploitasi sumberdaya Kelautan dan pemutihan karang juga menjadi masalah bagi nelayan dan operator wisata. Namun, dengan perbandingan terhadap dampak ekonomi dan lingkungan berkelanjutan setelah angin topan, over eksploitasi dan pemutihan karang mungkin memiliki efek yang lebih kecil dan lebih inkremental terhadap mata pencaharian bergantung pada laut ini. Terdapat kohesi sosial yang kuat dalam beberapa nelayan menjadikan keluarga dan masyarakat juga sebagai penyangga individu terhadap ketidakpastian atau fluktuasi sumber daya. Para nelayan juga berbagi fitur yang berpotensi membatasi kapasitas mereka untuk mengembangkan ketahanan. Status keluarga dan pendidikan dapat menjadi langkah penting bagaimana pengguna sumber daya bergantung pada sumber dayanya dan karena itu bagaimana tangguh mereka dalam menghadapi ketidakpastian. Nelayan dapat kembali, merekonstruksi ketergantungan mereka terhadap sumber daya laut. Dengan segala faktor-faktor yang mebatasi para nelayan dalam beradaptasi 14 setelah terjadinya badai, namun terdapat “etika nelayan” yang memberikan keinginan yang kuat dalam diri nelayan untuk kembali ke laut, walaupun nelayan tersebut menderita kerugian yang besar karena rusaknya peralatan memancing dan permintaan pasar yang telah menurun secara substansial. Profesi nelayan sudah menjadi atribut dalam karakteristik psikologi-kultural dan menangkap ikan di laut bukan hanya sebagai pilihan pekerjaan, namun sebagai inti dari identitas diri nelayan. Perbandingan ketahanan antara nelayan dengan operator wisata sebagai akibat dari perubahan lingkungan ini ternyata lebih tahan operator wisata. Hal ini dikarenakan mereka lebih memiliki berbagai strategi nafkah, level pendidikan yang tinggi, dan keterampilan lain untuk bekerja di sektor lain. Namun, secara umum ada sedikit variasi antara nelayan dan operator wisata dengan strategi penghidupan mereka, mereka memiliki ketergantungan yang kuat pada lingkungan laut, dan kerentanan mereka terhadap dampak lingkungan dari badai dan degradasi terumbu karang. Ketergantungan yang kuat oleh semua pengguna sumberdaya laut di Anguilla pada industri pariwisata pada akhirnya dapat merusak kapasitas mereka untuk mengembangkan ketahanan sosial untuk perubahan lingkungan masa depan. Analisis : Didalam tulisan ini dapat diketahui bahwa, strategi nafkah, level pendidikan yang tinggi, dan keterampilan lain untuk bekerja di sektor lain mempengaruhi ketahanan suatu individu dan atau kelompok. Nelayan sangat memiliki kerentanan terhadap dampak lingkungan dan degradasi terumbu karang. Ketergantungan yang kuat oleh semua pengguna sumberdaya laut pada akhirnya dapat merusak kapasitas mereka untuk mengembangkan ketahanan sosial untuk perubahan lingkungan masa depan. Pada dasarnya ada strategi nafkah yang dilakukan oleh nelayan utuk bertahan hidup yakni melaut tidak hanya memangkap spesies tertentu namun spesies campuran. *** 9 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : : : : : : : : : : : Resilience Thinking Meets Social Theory: Situating Social Change In Socio-Ecological Systems (SES) Research 2012 Jurnal Elektronik Muriel Cote dan Andrea J. Nightingale University of Edinburgh, UK Progress in Human Gheography 36(4) sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav 23 Oktober 2014 Rangkuman : Perubahan yang terjadi pada lingkungan memberikan konsekuensi dalam sistem sosial-lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan ketahanan manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya yaitu konsep resiliensi. 15 Konsep resiliensi sosial diperkenalkan oleh Jansen (2007) sebagai kemampuan kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan. Ketergantungan pada prinsipprinsip ekologi untuk menganalisis dinamika sosial telah menyebabkan jenis analisis sosial yang menyembunyikan kemungkinan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang peran kekuasaan dan budaya dalam kapasitas adaptif, atau untuk membongkar pertanyaan normatif seperti “ketahanan apa?” dan “untuk siapa?” bila diterapkan dalam bidang sosial. Permasalahan dalam mendefinisikan konsep resiliensi dalam sistem sosiallingkungan adalah keterbatasan menganalisis trade-off dan keputusan manajemen aspek tata kelola dalam bingkai sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk memahami resiliensi pendekatan yang digunakan dengan menjawab pertanyaanpertanyaan normatif untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan stakeholder pada berbagai skala, dengan beberapa pendekatan untuk penilaian sumber daya dan kepemimpinan yang berbeda, dan hubungan jaringan sosial heterogen yang mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk resiliensi tersebut. Ketahanan sosial berfokus pada fungsi institusi dan menganggap isu-isu normatif sebagai hasil desain kelembagaan atau struktur. Dengan demikian, konsep ini mengadopsi pendekatan konservatif dalam memahami dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa isu-isu normatif termasuk hubungan kekuasaan dan nilai-nilai budaya, merupakan bagian integral untuk perubahan sosial dan dinamika kelembagaan yang memediasi hubungan manusia lingkungan Peletakan analisis ketahanan dalam operasi hubungan kekuasaan atau pengetahuan dalam dinamika kelembagaan membuka isu-isu seputar nilai-nilai, tetapi juga tentang kesetaraan dan keadilan, yang memungkinkan kita untuk merumuskan pertanyaan tentang hasil ketahanan yang diinginkan. Dalam analisis ketahanan sosial, hubungan sosial dibedakan menjadi kekuasaan antara kelompok dan representasi budaya. Kedua konsep ini membantu individu atau kelompok mengerti posisi mereka dalam kaitannya dengan perubahan sosial-lingkungan. Adaptasi manusia untuk menghadapi perubahan muncul dari proses heterogen yang harus dipahami melalui rekursif hubungan antara pengetahuan, agenda konteks seperti yang diperantarai oleh kekuasaan, budaya dan sejarah. Analisis : Dalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa untuk memahami resiliensi pendekatan yang digunakan adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan stakeholder pada berbagai skala, penilaian sumber daya dan kepemimpinan dan hubungan jaringan sosial heterogen yang mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk resiliensi. Tulisan ini mengangkat urgensi analisis ketahan sosial dalam pendekatan sistem sosial-lingkungan. Konsep resiliensi sendiri merupakan hal yang penting yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang alam menghadap perubahan lingkungan sosial, politik, dan ekologi. Bentuk resiliensi yang dilakukan akan bervariasi sesuai dengan konteks dan sistem budaya setempat. *** 16 10 Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume(edisi):hal Alamat URL/doi : : : : : : Tanggal Diunduh : Ringkasan Social-Ecological Indicators Of Resilience In Agrarian And Natural Landscapes 2011 Jurnal Elektronik Frederik J.W. Van Oudenhoven, Dunja Mijatovic, Pablo B. Eyzaguirre Emerald Group, Publishing Limited Management of Environmental Quality 22(2):154-173 http://www.emeraldinsight.com/doi/pdfplus/10.1108/1 4777831111113356 23 Oktober 2014 : Makalah ini membahas yang pertama yaitu kerangka konseptual pada pendekatan berbeda untuk konservasi alam. Kedua, menjelaskan fungsi sistem socialecological dalam konteks konservasi dan menguraikan berbagai praktik dan kondisi dimana adat dan masyarakat pedesaan dapat memiliki dampak positif pada integritas dan ketahanan dari ekosistem dan lanskap. Ketiga, mengusulkan indikator dari ketahanan dimensi sosial dan budaya yang berfungsi untuk pengawasan integritas dan ketahanan dari sistem social-ecological oleh masyarakat daerah, dan sebagai alat untuk membantu pelaksanaan konservasi dan evaluasi. Wacana konservasi yang terjadi selama ini mengabaikan aspek sejarah sehingga gagal untuk menginternalisasi gagasan bahwa sistem manusia dan alam sering bersama berkembang. Selain itu, wacana konservasi juga bersifat depolitized yaitu megabaikan hak masyarakat adat untuk wilayah mereka dan sumber-sumber penghidupan. Adaptasi yang dilakukan manusia sesuai dengan kondisi lingkungannya Untuk mempertimbangkan masyarakat manusia sebagai elemen dasar dari ekosistem dan lanskap dan menghargai kontribusi mereka untuk adaptasi dan Konservasi, kawasan lindung harus dipahami dan dikelola sebagai sistem ekologi sosial, di mana perubahan dan kompleksitas adalah ciri-ciri yang mendasar. Pengetahuan ekologi tradisional, nilai-nilai budaya, kelembagaan sosial, dan manajemen praktek pertaniandapat dilihat sebagai memori dinamika manusialingkungan di lanskap. Semakin dalam memori ini, semakin akurat Tradisional ekologi yang diharapkan untuk mencerminkan kompleksitas dinamika dan memfasilitasi adaptasi masyarakat terhadap perubahan. Nilai-nilai budaya merujuk pada hubungan sosial, etis, dan spiritual memiliki landasan ekologi; dan manifestasi praktis dari nilainilai budaya, pada gilirannya, memiliki konsekuensi bagi ekosistem. Kelembagaan sosial merupakan seperangkat nilai-nilai budaya, pengetahuan tradisional dan peran sosial tertentu dalam struktur sosial, yang memfasilitasi tindakan kolektif dan mengatur aktivitas manusia terkait dengan penggunaan sumber daya alam dan lanskap. Manajemen praktek pertanian tradisional membantu mempertahankan fungsi ekosistem dan berkontribusi, melalui berbagai praktek, untuk konservasi keanekaragaman hayati baik yang liar maupun yang ditanam. Masyarakat beradaptasi dengan lingkungan mereka dan proses dalam mengubah lingkungan. Praktek dapat dilihat sebagai contoh dari organisasi diri yang berkontribusi 17 bagi struktur dan fungsi dari lanskap sebagai sistem. Ketahanan sistem ini, tergantung pada praktik-praktik hubungan antara manusia dan komponen ekologi, seperti halnya pada karakteristik ekologis (keanekaragaman hayati, habitat, Jasa ekosistem) dan sosial yang (lembaga, Jaringan, pendidikan). Memantau sejauh mana praktik ini digunakan dan disesuaikan dengan perubahan kondisi dapat menawarkan indikasi ketahanan sistem ekologi sosial. Namun mengukur ketahanan sosial-ekologi dapat menantang, terutama karena untuk memperjelas fitur yang berkontribusi, proses kelembagaan dan organisasi harus dipahami dengan hati-hati sebagai pertimbangan ekologi. Analisis : Didalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa adaptasi yang dilakukan manusia selalu sesuai dengan kondisi lingkungannya. Masyarakat sebagai elemen dasar dari ekosistem dan lanskap yang akan beradaptasi dan melakukan Konservasi. Pengetahuan ekologi tradisional, nilai-nilai budaya, kelembagaan sosial, dan manajemen praktek pertanian dapat dilihat sebagai memori dinamika manusia-lingkungan di lanskap. *** 18 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Perubahan Bentang Alam dan Tanah Timbul Bentang alam atau kenampakan di atas permukaan bumi merupakkan komponen penyusun hasil kegiatan dan pengaruh manusia yang mencakup elemen fisik, elemen biotik dan elemen dari hasil budidaya manusia. Suryawati (2012) menuliskan bahwa, ”perubahan bentang alam yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi”. Manusia dan lingkungan memiliki konektifitas yang tinggi karena manusia menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya alam dan sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam memberikan pengaruh terhadap keberadaan sumberdaya alam, begitu pula sebaliknya alam memberikan kehidupan dan memenuhi kebutuhan manusia, kondisi suatu sumberdaya alam mempengaruhi keadaan manusianya. Berbagai cara yang dilakukan manusia terhadap alam memiliki resiko tersendiri. Ramadhan (2012) menulis, “selain disebabkan oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi secara alamiah yakni disebabkan oleh alam yang memiliki karakteristik yang unik dan berbeda beda dan selalu berubah”. Perubahan bentang alam disebabkan pula oleh variabel variabel yang bersifat multidimensional yang meliputi : perubahan struktur, jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk, mata pencaharian penduduk dan juga luasan lahan yang tersedia. Perubahan lingkungan di Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul sebagai akibat dari proses laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini terjadi karena beberapa hal salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan (unsustainabe land use). “Perubahan bentang alam yang terjadi di Segara Anakan tidak hanya terkait dimensi ekologis namun juga terkait oleh dimensi manusia, sosial dan fisik” (Ramadhan 2012). Kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat di wilayah Laguna Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan laguna, baik perairan maupun daratannya. Aktivitas masyarakat ini berdampak pada kondisi dan dinamika laguna. Dinamika interaksi yang terjadi antara aspek ekologis dan aspek sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif dan membuat kondisi yang semakin memburuk. Perubahan bentang alam yang terjadi tidak hanya terjadi secara alamiah namun juga dapat terjadi karena aktivitas manusia. Struktur Agraria Agraria mempunyai arti yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya (Shohibudin dan Soetarto 2010). Lingkup agraria itu sendiri terdiri atas dua unsur, yaitu obyek agraria atau sering disebut sebagai sumber-sumber dan subyek agraria. Unsur yang pertama, yaitu sumber-sumber agraria yang terdiri atas 1) tanah atau “permukaan bumi” 2) perairan, 3) hutan, 4) bahan tambang, dan 5) udara, sangat erat kaitannya dengan ruang 19 fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi dan sosial). Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Subyek agraria memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan (tenure institution). Menurut Shohibudin dan Soetatarto (2010), “Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai struktur agraria”. Hermasyah et al (2010) megatakan, “dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan”. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial di antara ketiga subyek agraria yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institution). Kebijakan yang sentralisme yang saat ini diterapkan di Indonesia pada akhirnya menimbulkan konflik terkait penguasaan dan pengelolaan yang berbeda kepentingan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pemeritah menggunakan instrumen kebijakan dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi/ perlindungan diamana wilayah konservasi ini merupakan wilayah yang dimanfaatkan masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan aturan aturan yang dibuat mengeliminasi hak hak masyarakat dalam mengeakses dan mengontrol SDP tersebut. Kedua, Konflik masyarakat dan pemeritah yang melibatkan swasta. Hal ini karena pemerintah menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada pihak pihak tertentu yang pada akhirnya mengubah hak hak pemanfaatan masyarakat yang secara langsung mempengaruhi ekonomi masyarakat. Perspektif politik-hukum, menguatnya pemerintah dan swasta dalam kontrol atas SDP dimana secara sistematis masyarakat diperlemah, dan modernisasi pengelolaan SDP yang memperlemah pengetahuan lokal pada akhirnya memunculkan ortodoksi lingkungan masyarakat dalam proses termarginalisaisi dengan sejumlah kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang dimiliki. Persoalan lain adalah konflik kepentiingan pemanfaatan sumberdaya yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan orientasi pemanfaatan, yaitu orientasi konservasi berhadapan dengan orientasi ekonomi. Usaha mempertahankan kawasan sebagai daerah konservasi berhadapan dengan pemanfaatan ekonomi masyarakat, seperti tambak, lahan pertanian dan pemukiman. Menurut Nurududja (2010), “untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah menentukan karena hal itu merupakan masalah penghidupan dan kemakmuran bangsa”. Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena aturan 20 hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telahturun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Tipe tipe hak kepemilikan versi Ostrom and Schalager tahun 1990 seperti hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan menentukan status kepemilikan SDP. Bromley telah menyebutkan paling tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property) dan masyarakat (communal property). Pendekatan berbasis hak berimplikasi pada peubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat kususnya masyarakat miskin. Untuk menunjang pendekatan berbasis hak (right based approach) ini digunakan Participatory Poverty Assesment (Penilaian kemiskinan Partisipatif) Dalam hubungan antara subyek subeyek agrari perlu adanya kelembagaan pengelolaan yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan sustainable development yakni pemerintah, masyarakat dan perguruan tinggi, untuk mewujudkan pengembangan masyarakat dengan tatus keberlanjutan yang optimal. Resiliensi Masyarakat Perubahan yang terjadi pada lingkungan memberikan konsekuensi dalam sistem sosial-lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan ketahanan manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya yaitu konsep resiliensi. Menurut Cote dan Nightingale 2012, “konsep resiliensi diartikan sebagai kemampuan kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan”. Permasalahan dalam mendefinisikan konsep resiliensi dalam sistem sosial-lingkungan adalah keterbatasan menganalisis trade-off dan keputusan manajemen aspek tata kelola dalam bingkai sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk memahami resiliensi, pendekatan yang digunakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan stakeholder pada berbagai skala, dengan beberapa pendekatan untuk penilaian sumber daya dan kepemimpinan yang berbeda, dan hubungan jaringan sosial heterogen yang mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk resiliensi tersebut. Peletakan analisis ketahanan dalam operasi hubungan kekuasaan atau pengetahuan dalam dinamika kelembagaan membuka isu-isu seputar nilai-nilai, tetapi juga tentang kesetaraan dan keadilan, yang memungkinkan kita untuk merumuskan pertanyaan tentang hasil ketahanan yang diinginkan. Ketahanan ekologi dipahami sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan sementara tetap mempertahankan populasi dan variabel yang sama. Karakteristik ekologi (keanekaragaman hayati, habitat, Jasa ekosistem) dan aspek-aspek sosial (lembaga, jaringan, pendidikan) merupakan indikator sosial-ekologi pada resiliensi dalam suatu sistem konservasi. Resiliensi memahami tekanan dan guncangan dalam sistem ekologi sosial, dan secara khusus dinamika mata pencaharian masyarakat pedesaan yang bergantung pada sumber daya. “Resiliensi didefinisikan pula sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan reorganisasi sementara ketika mengalami perubahan sehingga masih mempertahankan fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik, yang pada dasarnya sama” (Oudenhoven 2011). Oleh karena itu, resiliensi menjadi ciri sistem kemampuan 21 untuk menghadapi perubahan. Adaptasi, sebagai bagian dari ketahanan, adalah kemampuan untuk menyesuaikan tanggapan terhadap perubahan eksternal driver (misalnya, globalisasi, kebijakan pemerintah) dan proses internal (misalnya, peningkatan populasi, migrasi keluar), dan dengan demikian memungkinkan untuk pengembangan sepanjang lintasan saat ini (stabilitas domain). Transformability, sebaliknya, adalah kemampuan untuk menyeberangi batas ke lintasan baru “Konsep resiliensi merupakan konsep yang umum dalam menggambarkan kapasitas adaptasi masyarakat desa dalam menghadapi setiap guncangan atau perubahan dalam lingkungan sosial, ekologi, maupun politik” (Suryawati 2011). Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa resiliensi tidak hanya dipandang sebagai aspek ekologi. Aspek-aspek sosial seperti pengetahuan lokal, nilai-nilai budaya, dan kelembagaan adat juga berpengaruh besar terhadap bentuk resiliensi yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Pilihan adaptasi dan resiliensi masyarakat di pesisir cenderung masih terkait dengan sumberdaya alam yang tersedia karena ketersediaan sumberdaya di sekitarnya, sedangkan semakin ke hulu ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas sehingga mencari pola yang semakin jauh keterkaitannya denga sumberdaya alam.Masyarakat beradaptasi dengan lingkungan mereka dan proses dalam mengubah lingkungan. Ketahanan sistem ini, tergantung pada praktik-praktik hubungan antara manusia dan komponen ekologi, seperti halnya pada karakteristik ekologis (keanekaragaman hayati, habitat, Jasa ekosistem) dan sosial yang (lembaga, Jaringan, pendidikan). 22 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Bentang alam merupakkan komponen penyusun hasil kegiaan pengaruh manusia yang mencakup elemen fidik, biotik dan hasil budidaya manusia. Manusia dan alam memiliki konektifitas yang tinggi sehingga perubahan bentang alam yang disebabkan aktifitas manusia maupun aktifitas alam itu sendiri memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Perubahan lingkungan yang kemudian memunculkan sumber sumberdaya baru menimbulkan pula perubahan pada pola pola masyarakat. Struktur agraria yang diartikan sebagai tat hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasan dan peruntukan sumberdaya alampun mengalami pergeseran akibat perubahan sumberdaya alam yang ada. Perubahan perubahan struktur agraria ini dapat dilihat melalui perubahan pola hubungan antara penguasa, pemilik dan pemanfaat yang kemudian berimplikasi pada perubahan ragam sosial dalam masyarakat. Perubahan struktur agraria ini dapat pula pada permasalahan konflik pemanfaatan atas sumberdaya alam. Kebijakan yang sentralisme yang saat ini diterapkan di Indonesia pada akhirnya memperkuat konflik terkait akan penguasaan dan pemanfaatan atas sumberdaya baru ini. Perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam sebagai obyek agraria akibat adanya pemanfaatan yang berbeda oleh ketiga subyek agraria merupakkan masalah besar bagi negara agraris seperti Indonesia yang menganggap masalah agraria adalah masalah penghidupan dan kemakmuran. Masalah tenurial yang mencuat terjadi ketika dominasi relasi relasi agraria yang menyangkut penguasaan bertolak belakkang dengan praktik praktik sehari hari dalam sebuah masyarakat. Peubahan perubahan tersebut pada akhirnya memberikan konsekuensi dalam sistem sosial lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan ketahanan manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya adalah konsep resiliensi. Konsep resiliensi diartikan sebagai kemampuan kelompok untuk mengatasi tekanan eksternal dan ganguan akibat perubahan. Resiliensi melihat bagaimana kapasitas manusia menyerap gangguan, bertahan dan mereorganisasi sementara ketika mengalami perubahan. Pertanyaan Penelitian Dari penelitian penelitian yang telah dikaji dan dianalisis, maka penulis akan meninjau dan menganalisis perubahan bentang alam dan resiliensi melalui pertanyaan spesifik dari topik tersebut. Rumusan pertanyaan spesifik yang dapat dibangun adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan bentang alam yang terjadi dalam lingkugan masyarakat? 2. Bagaimana konektifitas adaptasi yang dilakukan masyarakat menghadapi perubahan bentang alamnya? 3. Bagaimana perubahan bentang alamdapat mempengaruhi tingkat resiliensi masyarakat? 23 Usulan Kerangka Analisis Faktor Alamiah - Karakteristik Alam - Bencana Alam Faktor Non Alamiah - Aktifitas Manusia - Politik - Ekonomi - Sosial - Teknologi Perubahan Bentang Alam (Tanah Timbul) dan Dampaknya Perubahan Struktur Agraria Struktur Penguasaan - Pola Penguasaan - Pola Kepemilikan - Tingkat ketergantungan lahan - Konflik - Kelembagaan Corak Usaha - Tigkat Pendapatan - Pola Ketenagakerjaan pada Tingkat Resiliensi Keterangan : = Cara Pandan g = Terdiri Dari = Fokus Penelitian =Menyebabkan = Mempengaruhi 24 Masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alamnya. Namun ditengah kekayaan sumberdaya alam yang ada sumberdaya pesisir dan laut adalah sumberdaya yang paling rentan dengan aktiifitas yang ada. Perubahan bentang alam dan dampaknya yang ditandai oleh adanya tanah timbul, merupakan penampakkan alam yang disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah ,meiputi karakteristik alam dan bencana alam sementara faktor non alamiah menyangkut aktifitas manusia itu sediri yang meliputi aktifitas politik, ekonomi, sosial dan teknologi. Manusia dan alam memiliki konektifitas ekologi yang tinggi karena keduanya saling memberi pengaruh dan saling bergantung. Perubahan bentang alam yang terjadi kemudian mempengaruh pada struktur agraria yang menyangkut polaa penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan suatu sumberdaya. Perubahan struktur agraria sendiri terdiri dari perubahan struktur penguasaan dan corak usaha yang dilakukan masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Perubahan tersebut berpengaruh pula pada tingkat resiliensi masyarakat. 25 DAFTAR PUSTAKA Cote M, Nightingale AJ. 2012. Resilience thinking meets social theory: Situating social change in socio-ecological systems (SES) research. Progress in Human Gheography. 36(4): 475-489. [Internet]. diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada: http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav. Foster J, Lake IR, Watkinson AR, Gill JA.2014. Marine dependent livelihoods and resilience to environmental change: A case study ofAnguilla. Marine Polic. 45: 201-2012. [Internet]. diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308597X1300242X Hardati P. 2011. Transformasi Wilayah Peri Urban: Kaus di Kabupaten Semarang. Jurnal Geografi. Volume (edisi): hal : Vol. 8, No. 2 Juli 2011: 10 halaman. [diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view/1661/1868 Hermasyah T, Hartanto SD, Mardiana R, et al. 2010. Pola penguasaan tanah dan keberlanjutan kehidupan masyarakat Kampung Laut, studi kasus di muara Citanduy, Cilacap. Dalam: Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta (ID): STPN Press. Nurududja B, Amiah S, Sukarman. 2007. Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir. Semarang (ID): LBH Oudenhoven FJW et al. 2011. Social-ecological indicators of resilience in agrarian and natural landscapes. Management of Environmental Quality. 22(2): 154-173. [Internet]. diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada:http://www.emeraldinsight.com/doi/pdfplus/10.1108/1477783111111335 6. Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak perubahan lingkungan terhadap perkembangan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan Segara Anakan. J Sosek KP. Volume (edisi): hal: 7(1):33-53. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada: http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_2012_v7_no1_%283%29 _full.pdf. Satria A. 2009. Penguatan Peran Masyarakat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Di dalam:Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Shohibudin M, Soetarto E. 2010. Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan. Di dalam: Sejarah Indonesia : Perspektif lokal dan Global. Yogyakarta (ID): Ombak Suryawati SH. 2012. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 26 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan suami istri Sabar Sriyono dan Umi Maryati yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 bulan Desember tahun 1994. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SD IT PLUS ASY SYAAKIRIIN pada tahun 1999 – 2005, SMP NEGERI 51 JAKARTA pada tahun 2005 – 2008, SMA NEGERI 44 JAKARTA pada tahun 2008 – 2011. Kemudian pada tahun 2011, tepatnya pada bulan Juni penulis memasuki gerbang kampus Institut Pertanian Bogor, pada Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat yang terdaftar dalam jajaran mahasiswa baru melalui seleksi SNMPN Tulis. Selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam kegiatan keorganisasian kampus dan berbagai kepanitiaan. Keorganisasian yang diikuti penulis pada tingkat pertama adalah DPM TPB IPB periode kepengurusan 2011 – 2012 yang memiliki nama “Dewan Imperium Peradaban” dalam keorganisasian ini peulis menjabat sebagai bendahara umum, yang kemudian memberi bekal pada penulis mengenai keadministrasian dan pengauditan keunangan. Memasuki tingkat dua penulis kembali masuk dalam ranah keorganisasian legislatif fakultas yakni DPM FEMA. Keikut sertaan penulis dalam DPM Fema berlangsung selama dua kepengurusan yakni kepengurusan “Dewan Kaizen” dan “Dewan Goleon” diamana penulis menajabat sebagai Sekertaris Komisi 2 pada periode pertama dan Ketua Komisi 1 pada periode ke dua. Selanjutnya penulis juga aktif dalam MPM KM IPB pada periode 2012 – 2013 sebagai sekertaris Badan Pekerja Kajian Sistem KM IPB. Didalam bidang sosial penulis aktif dalam komunitas pemberdayaan masyarakat yang dibangun bersama beberapa sahabat penulis yang diberi nama “Pondok Kreasi Mimpi”, yang dibangun atas dasar kreatifitas dan mimpi penulis dan para sahabat penulis. Adapun beberapa kepanitiaan yang penulis ikuti adalah MPMKMB 49, Open House Mahasiswa Baru 49, Panitia Pemilihan Raya, Masa Perkenalan Fakultas, Masa Perkenalan Departemen dan Komisi Pemilihan Raya Keluarga Mahasiswa IPB. Selain itu penulis juga menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam selama tiga periode.