Pola Penguasaan Tanah dan Keberlanjutan Kehidupan

advertisement
Laporan Studi Pustaka ( KPM 403 )
DAMPAK PERUBAHAN BENTANG ALAM TERHADAP
STRUKTUR AGRARIA DAN TINGKAT RESILIENSI
MASYARAKAT
SRI ANINDYA DESTIRA DAMAYANTI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul
“Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur Agraria dan Tingkat
Resiliensi Masyarakat”benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak
mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali
sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat
dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, 11 November 2014
Sri Anindya Destira Damayanti
NIM. I34110116
iii
ABSTRAK
SRI ANINDYA DESTIIRA DAMAYANTI. Dampak Perubahan Bentang Alam
terhadap Struktur Agraria dan Tingkat Resiliensi Masyarakat. Dibawah bimbingan
ENDRIATMO SOETARTO
Secara umum kondisi bentang alam suatu wilayah memberikan pengaruh kepada
suatu masyarakat. Perubahan bentang alam suatu wilayah yang disebabkan oleh adanya
faktor faktor alam dan non alamiah yang memunculkan sumberdaya alam dan
sumberdaya agraria yang baru. Pemanfaatan akan sumberdaya baru ini, menimbulkan
adanya berbagai konflik kepentingan atas pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Perubahan ini kemudian memberikan pula perubahan pada tingkat ketahanan
masyarakat dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu, tulisan ini akan
menganalisis mengenai dampak perubahan bentang alam terhadap struktur agraris dan
tingkat resiliensi masyarakat.
Kata kunci: perubahan bentang alam, struktur agraria, resiliensi.
ABSTRACT
SRI ANINDYA DESTIIRA DAMAYANTI.The impact of changes in the landscape of
agrarian to structure and the levelcommunity resiliensi.Supervised byENDRIATMO
SOETARTO
In general the condition of the landscape of a territory give impact towards a
society.Change the landscape of a territory that is caused by factors are the natural
factors and non natural that brings natural resources and resources of agrarian affairs
new.The utilization of resources will this new give rise to the existence of different
conflicts of interest on the use resources that exist.This change also then give them the
change in the level of community resilience in the face of change.Hence, this paper will
analyze on the impact of the change the landscape of agraris to structure and the level
of resiliensi by the society.
Keywords : landscape changes, Agrarian structure, resilience
iv
DAMPAK PERUBAHAN BENTANG ALAM TERHADAP
STRUKTUR AGRARIA DAN TINGKAT RESILIENSI
MASYARAKAT
Oleh:
SRI ANINDYA DESTIRA DAMAYANTI
I34110116
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Judul
: Sri Anindya Destira Damayanti
: I34110116
: Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur
Agraria dan TingkatResiliensi Masyarakat
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan: _______________
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Studi Pustaka berjudul “Dampak Perubahan Bentang Alam Terhadap Struktur
Agraria dan Tingkat Resiliensi Masyarakat” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka
ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403)
pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa Studi Pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik
karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian
laporan Studi Pustaka ini.
2. Keluarga tercinta, Ibunda Umi Maryati, Ayahanda Sabar Sriyono, Eyang Putri,
Alhm. Eyang Kakung, Mbah Basir dan Adik Sri Ichfana Haniftio yang selalu
memberikan dukungan, semangat, doa kepada penulis
3. Teman teman seperjuangan penulis Nurlaila, Ichris Dian M, dan Ulfa Lestari
4. Sahabat sahabat penulis Fatimah Azzahra, Gita Riyana, Ade Mirza R, Diah Utari
dan Nidya Cahyana W, yang telah banyak memberi masukkan dan menerima
keluhan penulis.
5. Para sahabat yang sekaligus saudara tersayang yang telah memberikan banyak
dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini.
6. Keluarga DPM FEMA 2013-2014 dan KPR 2014 yang memberikan tempat
kepada penulis untuk berkeluh kesah dan atas segala bantuan dan doanya.
7. Keluarga Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (SKPM) angkatan 48 atas kebersamaanya selama ini.
Penulis berharap studi pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis
menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kesalahan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
.
Bogor, 11 November 2014
Sri Anindya Destira Damayanti
NIM. I34110116
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN
ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penulisan
Metode Penulisan
ii
iii
v
vi
vii
1
1
2
2
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
3
Penguatan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau
Kecil
3
Suara dari Pesisir “Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan
Masyarakat Pesisir.”
4
Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju Pandangan Relasional
Mengenai Kemiskinan
6
Pola Penguasaan Tanah dan Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Kampung Laut,
Studi Kasus Di Muara Citanduy, Cilacap.
8
Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang
9
Dampak Perubahan Lingkungan Terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan
Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kawasan Segara Anakan.
10
Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan
11
Marine Dependent Livelihoods And Resilience To Environmental Change: A Case
Study Of Anguilla
13
Resilience Thinking Meets Social Theory: Situating Social Change In SocioEcological Systems (SES) Research
14
Social-Ecological Indicators Of Resilience In Agrarian And Natural Landscapes 16
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Perubahan Bentang Alam dan Tanah Timbul
Struktur Agraria
Resiliensi Masyarakat
18
18
18
20
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Pertanyaan Penelitian
Usulan Kerangka Analisis
22
22
22
23
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
25
26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan ( archipelagic state ) terbesar di
dunia dengan jumlah pulau yang mencapai sekitar 17.504 buah. Berdasarkan data Kelautan
dan Perikanan dalam Angka tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia juga menjadi salah
satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanda dengan
panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer. Indonesia juga merupakan kawasan yang
memiliki berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang,
padang lamun yang mengandung kekayaan keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya
alam seperti ikan, dan bahan tambang yang bernilai tinggi.
Namun demikian, alam Indonesia juga merupakan kawasan yang paling rentan
terhadap gangguan yang terkait dengan aktivitas manusia. Gangguan tersebut sering
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk dalam bentuk kerusakan ekosistem
atau penurunan kualitas lingkungan pantai. Sumber daya lingkungan yang terdiri dari
komponen biotik dan abiotik ini tidak dapat terpisahkan karena saling terkait satu sama lain.
Seiring dengan berkembangnya waktu, kini alam mulai mengalami perubahan. Perubahan
alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak terelakkan, baik disebabkan oleh faktor
alam maupun campur tangan manusia.
Proses perubahan ekosistem ini mengakibatkan dampak dalam bentuk perubahan
sosial ekonomi suatu kawasan dan pola kehidupan penduduk yang berada pada kawasan
tersebut. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Berdasarkan data FAO, di antara kawasan-kawasan pesisir lain, Segara
Anakan mempunyai ciri-ciri biogeofisik yang lebih unik. Kawasan ini memiliki kemampuan
alamiah yang besar untuk menjamin keberlangsungan hubungan timbal balik antara ekosistem
daratan, ekosistem estuari dan ekosistem lautan secara serasi, selaras dan seimbang sebagai
habitat flora dan fauna langka. Kawasan ini merupakan daerah migrasi berbagai jenis satwa
yang dilindungi dan daerah asuhan berbagai jenis udang dan ikan bernilai ekonomi tinggi.
Selanjutnya, kawasan tersebut juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat
luas. Karena itu, sangat dapat dipahami bahwa oleh pemerintah, Segara Anakan diposisikan
sebagai sumberdaya alam yang merupakan menjadi modal dasar bagi pembangunan daerah,
regional dan nasional sehingga perlu dilestarikan kondisi lingkungannya. Selain itu, Segara
Anakan ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai
satu kesatuan Ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat 3 huruf d dalam UU
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan PP.
Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Ekosistem Laguna Segara Anakan
merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional yang perlu mendapat perhatian khusus”
dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Namun demikian, Segara Anakan menghadapi banyak perubahan bentang alam yang
menimbulkan banyak permasalahan pada berbagai aspek yang salah satunya adalah
disebabkan oleh deforestasi, degradasi lahan, hingga sedimentasi lahan yang menimbulkan
perubahan bentang alam dari kawasan segara anakan. Perubahan bentang alam dari kawasan
segara anakan ini terlihat dari munculnya tanah timbul. Tanah timbul yang merupakan sumber
daya alam akibat berbagai aktifitas alam dan manusia menumbuhkan struktur baru dalam
masyarakat. Perbedaan mengenai pemanfaatan tanah timbul yang kemudian menjadikan
2
peletakkan klaim klaim atas lahan lahan yang ada menimbulkan berbagai permasalahan dalam
aspek-aspek sosial ekonomi kini sedang dihadapi oleh penduduk di sekitar Segara Anaka
seperti. Konflik lahan, kompetisi ekonomi, penebangan liar, dilema alih fungsi lahan adalah
beberapa di antara masalah sosial ekonomi tersebut. Perubahan ekosistem laut menjadi
ekosistem darat menyebabkan perubahan pada pola mata pencaharian dari aktivitas
penangkapan ikan tradisional (nelayan) menjadi aktivitas di bidang pertanian ataupun industri.
Penduduk yang pada dasarnya sangat menggantungkan kehidupannya harus mampu
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang ada.
Banyak penelitian yang mengkaji masalah sumber daya alam yang hampir semuanya
menunjukkan ada permasalahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kajian
tersebut meliputi konflik dan kemiskinan yang bersumber dari ketiadaan akses terhadap tanah
dan sumber-sumber alam menjadi potret yang paling banyak disajikan, bahkan hingga kini.
Untuk itu, perlu adanya analisis kemungkinan pengaruh perubahan bentang alam terhadap
struktur penguasaan baru serta kemungkinan pengaruhnya terhadap tingkat resiliesi atau
ketahanan masyarakat.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan
Studi Pustaka ini adalah untuk menganalisis faktor perubahan bentang alam yang terjadi pada
laguna segara anakan, menganalisis perubahan perubahan bentang alam yang berimplikasi
pada perubahan struktur agraria dan menganalisis sejauhmana tingkat resiliensi Masyarakat
dalam mengahadapi perubahan bentang alam laguna segara anakan
Metode Penulisan
Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan studi literatur yaitu
dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan perubahan bentang alam, struktur
agraria, penguasaan lahan dan resiliensi masyarakat. Data yang digunakan dalam penulisan
studi pustaka ini diperoleh dari berbagai sumber rujukan ilmiah seperti buku, jurnal, laporan
penelitian, tesis, dan disertasi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Kemudian data
sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan cara
mengikhtisarkan beberapa rujukan yang berkaitan dengan topik, kemudian disusun menjadi
tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari pendahuluan, ringkasan,
analisis dan sintesis, serta simpulan.
3
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Penguatan Peran Masyarakat dalam
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
2009
Buku
Cetak
Arif Satria
Redaksi IPB Press
Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat
Bogor, IPB Press
-
Pengelolaan
Ringkasan :
Tipe tipe hak kepemilikan versi Ostrom and Schalager tahun 1990 seperti hak
akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan menentukan
status kepemilikan Sumber Daya Perikanan (SDP). Bromley telah menyebutkan paling
tidak ada empat rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state
property), swasta (private property) dan masyarakat (communal property).
Dalam pengelolaan SDP Indonesia menganut Rezim sentralismeyang telah
diterapkan dalam pengengelolaan sumberdaya alam selama puluhan tahun. Rezim ini
menekankan kepada negara dalam mengelola sumberdaya alam mulai dari merumuskan
kebijakkan, pelaksanaan hungga pengawasan dan pengendalian sumberdaya
alam.Pemerintah sebagai alat negara memiliki kekuasaan yang mutlak termasuk dalam
menentukan siapa yang boleh mengambil sumberdaya alam tersebut. Dalam rezim ini
pemerintah memiliki dua peran yakni sebagai agen pembangunan dan agen pelindung
sumberdaya alam.
Namun, dalam kedua peran ini sering sekali terjadi konflik kepentingan antara
peran sebagai agen pelindung sumberdaya alam dan peran sebagai agen pembangunan.
Sebagai agen pembangunan pemerintah memiliki tujuan pragmatis yaitu menciptakan
penerimaan untuk negara. Oleh karena itu pemerintah menarik investasi melalui
kolaborasi dengan para pemilik modal berupa penerimaan izin izin pemanfaatan
sumberdaya alam. Kolaborasi tersebut tidak menciptakan kesenjangan sosial ekonomi
dalam masyarakat itu sendiri dan kerusakkan alam. Sedangkan sebagai pelindung
sumberdaya alam, pemerintah memiliki peran dalam menjaga dan melestarikan
sumberdaya alam.
Kebijakan yang sentralisme ini tidak jarang menimbulkan konflik yang
disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pemeritah menggunakan instrumen kebijakan
dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi/ perlindungan diamana
wilayah konservasi ini merupakan wilayah yang dimanfaatkan masyarakat. Kondisi
tersebut mengakibatkan aturan aturan yang dibuat mengeliminasi hak hak masyarakat
dalam mengeakses dan mengontrol SDP tersebut.Kedua, Konflik masyarakat dan
pemeritah yang melibatkan swasta. Hal ini karena pemerintah menggunakan otoritasnya
untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam kepada pihak pihak tertentu yang
4
pada akhirnya mengbah hak hak pemanfaatan masyarakat yang secara langsung
mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Perspektif politik-hukum, menguatnya pemerintah dan swasta dalam kontrol atas
SDP dimana secara sistematis masyarakat diperlemah, dan modernisasi pengelolaan
SDP yang memperlemah pengetahuan lokal pada akhirnya memunculkan ortodoksi
lingkungan masyarakat dalam proses termarginalisaisi dengan sejumlah kearifan lokal
dan pengetahuan tradisional yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, distribusi
kewenangan SDP pun perlu mengalami pergeseran dari sentralisasi menjadi
desentralisasi. Dimana pengelolaan SDP oleh masyarakat dijadikan alternatif solusi.
Dimensi pengelolaan SDP oleh masyarakat diidentifikasikan kedalam tiga
bagian yang saling terkait, yakni ; dimensi normatif yang berisi sistem nilai, dimensi
regulatif yakni terkait penguatan hukum, dan dimensi kognitif yang berisi tekik
pengelolaan dan pengetahuan lokal. Namun pengelolaan SDP oleh masyarakat ini masih
belum dapat berjalan baik selama belum juga dapat diidentifikasikan kapan pengelolaan
SDP oleh masyarakat dilakukan dan dalam kondisi SDP seperti apa masyarakat diberi
hak pengelolaan. Perlu ada upaya pengelolaan oleh masyarakat yang bersifat makro
sebagai tugas pemerintah dan sivil society untuk mengakui ekstistensi dan advokasi
masyarakat serta upaya yang bersifat mikro yang menjadi tugas pemerintah dan civil
society untuk melakukan langkah aksi dalam pengelolaan SDP.
Analisis :
Dalam tulisan ini diketahui, bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam
terdapat berbagai rezim, diamana Indonesia menganut rezim pengelolaan oleh negara
yang sentralistik. Dalam pengelolaannya negara memiliki dua peran yakni sebagai agen
pembangunan dan pelindung sumberdaya alam. Namun dalam pelaksanaannya sering
sekali terjadi konflik antara dua peran ini sendiri. Diamana dalam peran sebagai agen
pembangunan negara memiliki hak untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
mengelola sumberdaya yang kemudian juga membatasi masyarakat dalam mengelola
sumberdaya. Pengelolaan yang bersifat besar, kaya dengan teknologi maju kemudian
merusak sumberdaya alam yang tersedia yang selanjutnya lebih menekan masyarakat
lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Sementara dalam perannya untuk
melindungi sumberdaya alam juga sering sekali mengorbankan masyarakat lokal. Hal
ini disebabkan karena sifat yang sentralistik dimana perlindungan dibuat melalui
mekanisme kebijakkan yang salah satunya adalah penetapan kawasan konservasi yang
pada akhirnya mengeliminasi masyarakat dari hak hak pengelolaannya yang secara
langsung mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat.
***
2
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
:
:
:
:
:
:
Suara dari Pesisir “Penanggulangan Kemiskinan di
Komunitas Nelayan dan Masyarakat Pesisir.”
2007
Buku
Cetak
Bibik Nurududja, Siti Aminah, Sukarman
Rangkuman Narasi Proses Workshop Penanggulangan
Kemiskinan di Komunitas Nelayan dan Masyarakat
Pesisir
5
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
:
:
:
:
:
Semarang, LBH
-
Ringkasan :
Desa desa pesisir merupakan kantong kantong kemiskinan struktural yang
potesial. Kemiskinan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan
kekurangan di berbagai keadaan hidup. Kemiskinan juga bisa diartikan sebagai suatu
kondisi dimana individu atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemiskinan struktural sendiri yang terjadi pada desa desa pesisir merupakan situasi
kemiskinan yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumberdaya yang terjadi
dalam suatu sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan
kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan kesuburan kemiskinan.
Kemiskinan struktural inilah yang juga memicu tumbuhnya kemiskinan absolut,
relatif dan kultural. Namun masyarakat didesa desa pesisir tidak mau dikatakan malas,
karena mereka telah bekerja namun tetap saja miskin. Mereka harus melaut selama 23
hari dan menjual ikan selama beberapa hari untuk mendapatkan penghasilan dibawah
upah minimum rakyat yang tentunya jumlah itu sangat tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup walau hanya sekedar makan. Kalaupun tangkapan ikan
yang didapat banyak lika liku penjualan ikanpun sangat menyulitkan mereka sehingga
mereka seolah menjadi sapi perahan.
Kondisi perekomian yang kian melambungkan harga BBM memuat mereka
lebih baik tidak melaut daripada melaut yang nantinya akan menghabiiskan banyak
biaya dengan upah yang tidak seberapa.Untuk itu, kemiskinan haruslah dipandang
sebagai masalah multidimensi. Kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi
juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau kelompok untuk menjadi miskin.
Masyarakat miskin bukanlah lagi menjadi objek dalam pengentasan kemiskinan tetapi
sebagai subyek yang menentukan bagaimana pengentasan kemiskinan itu dapat
berjalan.
Pendekatan berbasis hak berimplikasi pada peubahan cara pandang terhadap
hubungan negara dan masyarakat kususnya masyarakat miskin.Untuk menunjang
pendekatan berbasis hak (right based approach) ini digunakan Participatory Poverty
Assesment (Penilaian kemiskinan Partisipatif) untuk memahami reallitas kemiskinan
nelayan. Pada daasarnya kebijakkan negara yang menyebabkan kemiskinan nelaan
adalah: Pertama, peraturan perundang undangan yang memihak kepentingan pemilik
modal, yang pada akhirnya menyumbang kehancuran sumberdaya alam itu sendiri.
Kedua, sektoralisais kebijakkan pengelolaan sumberdaya alam. Ketiga, pembangunan
yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Keempat, Program pemerintah yang tidak
partisipatif dan transparan dan kelima tidak mengakomodasi pelaksanaan hak ulayat
atas pengelolaan sumberdaya alam.
Sementara itu faktor penyebab kemiskinan didalam nelayan itu sendiri adalah
kondisi dimana nelayan hanya buruh sehingga tidak memiliki alat produksi dan kondisi
nelayan yang tidak terorganisir. Dari hal hal tersebut yang dikatakan nelayan miskin
adalah nelayan yang hidup terancam karena penghasilannya rendah, tidak memiliki
akses terhadap sumberdaya alam dan tata produksi secara adil dan tidak terpeuhinya hak
hak dasarnya sebagai komunitas dan masyarakat yang bermanfaat.
6
Penggolongan sosial ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut
pandang. Pertama dalam penguasaan alat alat produksi dan peralatan tangkap yang
digolongkan kemabali menhadi nelayan pemilik alat produksi dan nelayan buruh.
Kedua dalam segi modal usaha yang digolongkan kembali menjadi nelayan golongan
besar dan neayan golongan kecil. Ketiga adalah sudut pandang tekologi peralatan yang
digolongkan kedalam nelayan modern dan nelayan tradisional.
Didalam masyarakat pesisir program program pengentasan kemiskinan tidaklah
bisa disamakan dengan kelompok kelompok masyarakat lainnya. Karena dalam
masyarakat pesisir terdapat banayak kelompok masyarakat diantaranya, masyarakat
nelaan tangkap, masyarakat nelayan pengumpul, masyarakat nelayan buruh, masyarakat
nelayan tambak dimana setiap kelompoknya membutuhkan penanganan yang khusus
sesuai dengan kelompok usaha dan aktvitas ekonomi mereka.
Analisis :
Dalam tulisan ini, dapat dianalisis bahwa kemiskinan yang terjadi pada
masyarakat pesisir terbagi menjadi empat, yakni kemiskinan sruktural, kultural, absolut
dan relatif diamana kesemuanya saling berhubungan. Kemiskinan yang terjadi di
masyarakat pesisir Indonesia disebabkan oleh kerentanan dan kewawanan masyarakat
yang dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap sda, modal, kepemilikan, alat
produksi,
pengorganisasian
dalam
masyarakat
dan
bahkan
peraturan
peraturan/kebijakkan pemerintah yang tidak mendukung masyarakat.
***
3
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Ringkasan
Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju
Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan
2010
Buku
Cetak
Moh. Shohibuddin dan Endriatmo Soetarto
Sri Margana dan Widya Fitrianingsih
Sejarah Indonesia: Prespektif lokal dan Global
Yogyakarta, Penerbit Ombak
-
:
Pembahasan yang akan diberikan oleh tulisan ini ada pada dua tahapan. Pertama
adalah konseptualisasi mengenai bagaimana dinamika kapitalisme agraria di telah
melahirkan proses akumulasi, penyisihan, diferensiasi dan eksploitasi; dan seiring
dengan itu semua adalah proses terciptanya kemiskinan. Dan kedua adalah tawaran
kerangka penelitian yang mengintegrasikan variabel-variabel dinamis yang berkaitan
dengan soal tenurial, hubungan produksi, keberlanjutan layanan alam, dan organisasi
sosial untuk mengidentifikasi kondisi socio-economic insecurity suatu masyarakat.
Kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih
sering dilihat sebagai sebuah “kondisi” ketimbang “konsekuensi” Sebagai kondisi,
maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah ukuran-ukuran yang
7
statis. Pandangan semacam ini pada dasarnya adalah konstruksi mengenai kemiskinan
yang alhistoris karena melepaskannya dari perkembangan sejarah berikut aneka faktor
yang membentuk dan mempertahankannya.
Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama-tama
sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan
efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan
semata (asumsi di balik teori modal sosial yang individualistis), melainkan dalam
pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang.
Untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan atas tanah dan sumbersumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah menentukan karena hal itu
merupakan “masalah penghidupan dan kemakmuran bangsa”. Oleh karena itu, jaminan
tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan
rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan
tersendiri.
Masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria
menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena aturan
hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan
sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak
belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telahturun temurun
berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan,
yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto.
Dengan demikian, problem kemiskinan dan krisis pedesaan yang banyak terjadi
pada masyarakat lokal sebenarnya berakar dari “krisis agraria” semacam ini. Inilah
krisis yang menyeruak seiring dengan terjadinya proses “ekspansi kapitalisme” ke
dalam dunia pedesaan pra-kapitalis; suatu proses transformasi besar (great
transformation) yang secara drastis merombak relasi-relasi sosial dalam proses
produksi, terutama relasi kepemilikan (property relations). Tiga jenis “ketimpangan
agraria” yang tercipta dari proses semacam ini, yaitu: (1) ketimpangan dalam hal
pemilikan dan penguasaan tanah; (2) ketimpangan dalam hal peruntukan tanah; dan (3)
ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Namun selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan dukungan ekstra
ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi
kapitalisme sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi
agraris diantara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol
atas tanah, modal dan tenaga kerja. “kemiskinan sebagai konsekuensi dari relasi relasi
agraria yang timpang” seperti diajukan di atas tidak akan berhasil dengan baik tanpa
disertai dengan sudut pandang kesejarahan yang kuat.
Analisis
:
Dalam tulisan ini dapat diketahui bahwa kapitalisme menyebabkan munculnya
akumulasi penyisihan, diferensiasi dan eksploitasi yang berujung pada kemiskinan.
Persoalan tenurial yang berhubungan pada sistem produksi, keberlanjutan alam,
organisasi sosial dan keamaan sosial ekonomi masyarakat menjadi bagian dari suatu
krisis agraria yang menjadi penyebab utama kemiskinan di negara agraris. Kemiskinan
yang disebabkan oleh relasi antara modal sosial, kekuasaan yang timpang, ekspansi
kapitalisme dalam desa desa pra kapitalis menstransformasi besar relasi relasi yang ada
dalam masyarakat. Kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu kondisi yakni suatu ukuran
statis yang alhistoris atau sebagai konsekuensi dari suatu relational yang berlangsung.
Masyarakat agraris sangatlah menjunjung penguasaan lahan sebagai sumber sumber
8
agraria yang menentukan kesejahteraannya. Relasi agraria yang menyangkut klaim
penguasaann sda, hukum agraria, hak penguasaam dan legitimasi penguasan menjadi
suatu relasi yang kuat terhadap kontrol, modal dan akses dalam suatu kesejahteraan.
***
4
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Nama Editor
Judul Buku
:
:
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan
Pola Penguasaan Tanah dan Keberlanjutan Kehidupan
Masyarakat Kampung Laut, Studi Kasus Di Muara
Citanduy, Cilacap.
2010
Buku
Elektronik
Tatan Hermansyah, Sindu Dwi Hartanto, Rina
Mardiana, Valentina Arminnah, Abdul Haris Farid,
Suharno
Laksmi Damayanti, Moh Sohibudin, Suryo Saluang
Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari
Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi.
Yogyakarta, STPN Press
139 - 174
https://www.dropbox.com/s/csg31b9r0ao8944/Laksmi
%2C%20dkk.%20%28ed.%29.%202009.%20Menemu
kan%20Jalan%20Keluar.pdf
14 September 2014 pukul 02.00 WIB
:
Kampung Laut merupakan kecamatan yang baru berdiri sejak tahun 2004.
Kampung Laut berasal dari hasil sedimentasi yang dibawa oleh sungai Cimeneng yang
terkumpul di Segara Anakan. Menurut para ahli, hasil sedimentasi tertinggi terkumpul
di Segara Anakan mencapai 1 juta m3 pertahun. Oleh karena munculnya tanah timbul
tersebut, menjadikan pergesaran perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi
bertani. Akibat perubahan tersebut, memberikan dampak berkurangnya hasil tangkapan
ikan karena kerusakan ekologis di perairan Segara Anakan.
Perkembangan tanah timbul yang semakin luas ternyata tidak memberikan solusi
yang baik untuk kehidupan mereka. karena kebanyakan dari penduduk setempat adalah
nelayan dan petani. Sementara tanah timbul bisa menjadi alternatif utama peralihan
sumber pendapatan dengan mengolahnya. Terdapat beberapa peralihan atau pergeseran
setelah terbentuknya tanah timbul tersebut. Peralihan atau pergeseran kekuasaan baik itu
kapital maupun sosial masih terus berlanjut dan berganti. Selain itu, sekarang muncul
kesadaran baru dari warga untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam pendidikan,
agar bisa meningkatkan kesejahteraannya. Proses pengelolaan tanah timbul digunakan
untuk pemukiman dan perumahan, untuk pertanian yang memungkinkan adalah padi
sawah tadah hujan, pekarangan, budidaya udang dan kepiting, dan pembangunan pasar.
Seiring dengan perubahan alih fungsi lahan non pertanian menjadi pertanian,
diikuti dengan perubahan lainnya, yaitu perubahan land tenure system, dimana
perubahan kepemilikan menjadi permanen atas tanah timbul dengan pengakuan formal
atas sebidang tanah. Land tenancy system pada warga Kampung Laut terdiri dari
penguasaan tanah berbasis jasa dengan proses trukah atau dibabat. Sistem kepemilikan
areanya berlaku hukum bahwa seluruh dari Segara Anakan adalah hak warga Kampung
Laut.
9
Analisis
:
Dari tulisan ini, dapat dianalisis bahawa munculnya tanah timbul, menjadikan
pergesaran perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi bertani. Akibat perubahan
tersebut, memberikan dampak berkurangnya hasil tangkapan ikan karena kerusakan
ekologis di perairan Segara Anakan. Terdapat beberapa peralihan atau pergeseran
setelah terbentuknya tanah timbul yakni peralihan atau pergeseran kekuasaan baik itu
kapital maupun sosial masih terus berlanjut dan berganti. Tanah timbul juga
memunculkan sistem land tenancy dan land teure.
***
5
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan
Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten
Semarang
2011
Jurnal
Elektronik
Puji Hardati
Universitas Negeri Semarang
Jurnal Geografi
Vol. 8, No. 2 Juli 2011: 10 halaman
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view
/1661/1868
23 Oktober 2014
:
Kajian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk
membawa konsekuensi pada meningkatnya penggunaan ruang baik untuk keperluan
pribadi maupun umum, yang ditunjukkan dengan semakin cepat terjadinya proses alih
fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Perhatian utama kajian ini adalah faktor
yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban dimana penulis melakukan
kajian dengan menggunakan data sekunder. Penulis mengartikan transformasi wilayah
sebagai representasi dari perkembangan wilayah yang digambarkan sebagai suatu
proses perubahan dan pergeseran karakteristik dari komponen wilayah dalam kurun
waktu tertentu sebagai akibat dari hubungan timbal balik antarkomponen wilayah
tersebut, dengan demikian transformasi wilayah meliputi variabel-variabel yang bersifat
multidimensional. Selain itu, penulis juga menyebutkan bahwa transformasi struktur
wilayah sebagai proses kotadesasi, yakni perubahan struktur wilayah agraria ke arah
struktur non-agraris.
Di Kabupaten Semarang, selama kurun waktu yang lama dari tahun 1976 sampai
dengan tahun 2010, terjadi spread effect dari perkembangan Kota Semarang yang
merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah dan menjadi pusat kegiatan Pemerintahan
dan industri. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perkembangan industri dan
kegiatan non-pertanian di Kota Semarang yang memacu laju pertumbuhan penduduk di
wilayah sekitarnya, salah satunya adalah di Kabupaten Semarang. Faktor penentu
transformasi wilayah peri urban, selain jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk,
10
juga mata pencaharian penduduk. Ditinjau dari pengaruh keberadaan daerah kekotaan
secara fisikal, terlihat bahwa makin dekat kearah kota makin banyak pula penduduk
yang bekerja di sektor non-pertanian dan makin sedikit penduduk yang berkegiatan di
bidang pertanian dan sebaliknya. Selain itu faktor lainnya adalah luas lahan terbangun
yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non-pertanian atau didominasi oleh
penggunaan lahan terbangun dan lingkungan binaan lainnya.
Analisis:
Transformasi wilayah disebabkan oleh variabel variabel yang bersifat
multidimensional yang meliputi : perubahan struktur wilayah agraria ke arah struktur
non-agraris, jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk, mata pencaharian
penduduk dan juga luas lahan yang tersedia.
***
6
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
:
:
:
:
:
:
:
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan
Dampak
Perubahan
Lingkungan
Terhadap
Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan
Masyarakat Pesisir Di Kawasan Segara Anakan.
2012
Jurnal
Elektronik
Andrian Ramadhan dan Rani Hafsaridewi
Jakarta, Balai Besar Peneliian Sosial Ekonomi
Kelautam dan Perikanan
Jurrnal Sosek KP
7(1):33-53
http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_2
012_v7_no1_%283%29_full.pdf
24 Oktober 2014
:
Masyarakat nelayan memiliki ketergantungan yang kuat terhadap lingkungan
pesisir. Baik buruknya lingkungan pesisir akan berdampak secara langsung terhadap
kehidupan mereka. Penelitian ini dilakukan di desa Ujung Alang dan desa Klaces.
Kedua desa ini sebagian besar penduduknya merupakan penduduk asli yang bertahan
menjalankan profesinya sebagai nelayan meski terekam pula proses adaptasi masyarakat
menjadi petani yang ditandai dengan proses pembukaan lahan lahan pertaian pada zona
tanah timbul yng ditumbuhi oleh semak dan mangrove.
Seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi, manusia memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tujuan dari adaptasi
tersebut pada dasarnya adalah menghilangkan ketidaknyamanan dari perubahan yang
terjadi. Besar atau sedikitnya kemampuan seseorang dalam melakukan kontrol inilah
yang akhirnya akan menentukan kesuksesan seseorang dalam melakukan adaptasi.
Salah satu cara agar seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol adalah dengan
cara memiliki privasi atas situasi tersebut. Sedangkan privasi sendiri memiliki tiga
dimensi yang terdiri dari pengontrolan terhadap batas (boundary), upaya mendapatkan
kondisi optimal dan proses multi mekanisme.
11
Perubahan lingkungan membuat pendapatan yang diperoleh semakin menurun
meski secara nominal mengalami kenaikan. Namun kenaikan nilai pendapatan nominal
tidak dapat menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Analisis
kesejahteraan dengan pendekatan karakteristik rumah tangga menunjukkan bahwa
faktor pendapatan saja tidak dapat menggambarkan secara utuh kondisi kesejahteraan
rumah tangga. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum masih kurang sejahtera
meski tidak ditemukan rumah tangga yang miskin sebagaimana kriteria yang ditetapkan
BPS. Secara lebih spesifik juga diketahui bahwa sumberdaya perikanan di Kawasan
Segara Anakan masih memberi pengaruh penting terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat. Hal ini terbukti dari tingkat kesejahteraan masyarakat berdasarkan mata
pencaharian dimana masyarakat nelayan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif
lebih baik.
Analisis
:
Dari tulisan ini dapat dianalisis bahwa perubahan lingkungan mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir yang menggantungkan
kehidupannya pada sumberdaya alam. Perubahan Alam megharuskan masyarakat untuk
dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada. Adaptasi pada lingkungan alam juga disebut
sebagai kontrol terhadap alam. Kontrol sendiri terdiri dari pengontrolan terhadap batas
(boundary), upaya mendapatkan kondisi optimal dan proses multi mekanisme.
***
7
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Ringkasan
Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara
Anakan
2012
Disertasi
Cetak
Siti Hajar Suryawati
Bogor, IPB Press
-
:
Segara Anakan merupakan kawasan laguna atau estuari yang terbentuk dari
beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat, yang mempunyai potensi ekonomis
besar yang dimungkinkan oleh keberadaan ekosistem mangrove di wilayah ini, yang
mendukung siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung
dan aneka reptil. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya ancaman yang semakin
besar terhadap laguna ini, yaitu prediksi akan hilangnya laguna yang kaya manfaat
tersebut, karena degradasi lingkungan yang terjadi di Laguna Segara Anakan.
Perkembangan baru sebagaimana tesebut di atas membawa akibat pada
tumbuhnya luasan lahan timbul, yang kemudian mendorong penduduk setempat untuk
mengembangkan pencaharian pertanian yang bertumpu pada keberadaan lanan-lahan
12
timbul tersebut. Tidak hanya penduduk setempat, pengembangan pencaharian berbasis
lahan timbul ini juga dilakukan oleh para pendatang dari wilayah daratan Pulau Jawa,
yang kemudian bermukim tetap di Segara Anakan. Perkembangan lain yang menyusul
kemunculan bentuk pencaharian baru tersebut adalah terjadinya perambahan hutan
bakau karena berbagai alasan.
Menurut hasil-hasil kajian yang telah dilakukan, permasalahan dan berbagai
penyebabnya saling terkait, mencakup aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi
masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang dikenal sebagai SocialEcologicalSystems (SES). Laguna Segara Anakan merupakan sebuah SES dimana aspek
sosial dan aspek ekologi terkait sangat erat dan saling berintegrasi. Kedua aspek ini
memiliki kompleksitas dan terus berubah secara dinamis. Dalam konteks peningkatan
ketahanan SES ini, satu kata kunci yang sering terabaikan dalam penerapan berbagai
kebijakan adalah ’kerentanan’. Tanpa memperhatikan aspek kerentanan, kebijakankebijakan yang dilaksanakan tidak dapat tepat sasaran.
Hasil analisis SES menunjukkan bahwa berbagai kegiatan sosial maupun
ekonomi masyarakat di wilayah Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan
laguna, baik badan air maupun bagian daratannya. Sebaliknya, kondisi dan dinamika
laguna sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan masyarakat tersebut. Sementara itu
sumberdaya perairan menurun kualitasnya karena penggunaan jenis alat yang tidak
ramah lingkungan, frekuensi dan kapasitas perikanan dimiliki oleh nelayan yang
semakin besar, dsb. Dinamika interaksi yang terjadi di antara aspek ekologis dan aspek
sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif pada
masing-masing dan membuat kondisi yang semakin memburuk pada keduanya.
Dampak negatif yang terjadi akibat interaksi saling merugikan tersebut di atas sejauh ini
terkurangi oleh keberadaan prasarana tertentu yang dibangun atau dipasok oleh berbagai
penyedia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun kemunculan berbagai bentuk prasarana tersebut bersifat kontraproduktif.
Karena memberikan dorongan yang lebih besar terhadap masyarakat untuk merubah
perilaku ekonomi, dari yang lebih bertumpu pada penghidupan berbasis air ke pekerjaan
pekerjaan darat. Hal ini menciptakan kebutuhan yang lebih besar di antara masyarakat
akan berbagai prasarana yang dianggap dapat memfasilitasi masyarakat Segara Anakan
mendekat kearah gaya hidup di luar wilayah yang menumbuhkan preferensi masyarakat
Segara Anakan kepada budaya daratan, berpotensi mengikis kepedulian pada
kelestarian laguna. Berbagai faktor kerentanan yang teridentifikasi pada masyarakat
Segara Anakan adalah merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan yang terkait
dimensi ekologis dimensi ekonomi, sosial dan fisik.
Analisis
:
Dalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa sistem ekologi sangat berkaitan dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ekonomi sosial masyarakat sangat bergantung pada
keberadaan laguna yang kini keberadaannya semakin kritis akibat aktifitas manusia
sndiri yang tidak ramah lingkungan dan aktifitas produksi yang negatif, becana alam
dan bahkan disebabkan oleh munculnya sarana prasarana yang tidak pro lingkungan
pesisir. Munculnya tanah timbul disegara anakan yang disebabka oleh pengrusakkan
hutan mangrove, pemanfaatan sda yang negatif, peningkatan jumlah penduduk dan
bencana alam menyeabkan masyarakat mengembangkan mata pecaharian yang
bertumpu pada lahan yang kemudian memicu konflik akibat munculnya pula pendatang
yang sama sama memperebutkan sumberdaya lahan yang ada. Masyarakat segara
13
anakan sangatlah rentan akan perubahan sehigga dalam penerapan kebijakkan
dibutuhkan kebijakkan yang berlandaskan kepada kerentanan masyarakat.
***
8
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan
Marine Dependent Livelihoods And Resilience To
Environmental Change: A Case Study Of Anguilla
2014
Jurnal
Elektronik
J. Forster, I.R.Lake, A.R.Watkinson, J.A.Gill
Marine Policy
45:201-212
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308
597X1300242X
23 Oktober 2014
:
Ketergantungan terhadap sumber daya alam menggambarkan hubungan
langsung antara mata pencaharian individu, sektor atau komunitas, dan sumber daya
alam dan ekonomi lokal mereka. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya laut
menjadikan sumber daya laut tersebut semakin rapuh. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi masyarakat yang mata bergantung pada laut. Selain itu, perubahan
lingkungan seperti adanya perubahan iklim dapat mempengaruhi proses kehidupan di
laut. Perubahan atau gangguan dalam aspek sosial, politik, atau lingkungan pada sistem
penghidupan ini akan memunculkan suatu strategi penghidupan dan ketahanan dari para
nelayan yang menjadikan sumber daya laut sebagai sumber penghidupannya.
Pada saat terjadi badai Luis pada tahun 1995, nelayan di Pulau Karibia tidak bisa
melaut selama dua bulan. Akibat dari badai ini adalah kerusakan pada perlengkapan
melaut dan kapal-kapal nelayan sehingga mengurangi kemampuan nelayan untuk
menangkap ikan. Selain itu, permintaan makanan laut dari restoran dan hotel juga
berkurang secara signifikan sehingga nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapan
mereka. Masalah lingkungan kronis yang disebutoleh over eksploitasi sumberdaya
Kelautan dan pemutihan karang juga menjadi masalah bagi nelayan dan operator wisata.
Namun, dengan perbandingan terhadap dampak ekonomi dan lingkungan berkelanjutan
setelah angin topan, over eksploitasi dan pemutihan karang mungkin memiliki efek
yang lebih kecil dan lebih inkremental terhadap mata pencaharian bergantung pada laut
ini.
Terdapat kohesi sosial yang kuat dalam beberapa nelayan menjadikan keluarga
dan masyarakat juga sebagai penyangga individu terhadap ketidakpastian atau fluktuasi
sumber daya. Para nelayan juga berbagi fitur yang berpotensi membatasi kapasitas
mereka untuk mengembangkan ketahanan. Status keluarga dan pendidikan dapat
menjadi langkah penting bagaimana pengguna sumber daya bergantung pada sumber
dayanya dan karena itu bagaimana tangguh mereka dalam menghadapi ketidakpastian.
Nelayan dapat kembali, merekonstruksi ketergantungan mereka terhadap sumber
daya laut. Dengan segala faktor-faktor yang mebatasi para nelayan dalam beradaptasi
14
setelah terjadinya badai, namun terdapat “etika nelayan” yang memberikan keinginan
yang kuat dalam diri nelayan untuk kembali ke laut, walaupun nelayan tersebut
menderita kerugian yang besar karena rusaknya peralatan memancing dan permintaan
pasar yang telah menurun secara substansial. Profesi nelayan sudah menjadi atribut
dalam karakteristik psikologi-kultural dan menangkap ikan di laut bukan hanya sebagai
pilihan pekerjaan, namun sebagai inti dari identitas diri nelayan.
Perbandingan ketahanan antara nelayan dengan operator wisata sebagai akibat
dari perubahan lingkungan ini ternyata lebih tahan operator wisata. Hal ini dikarenakan
mereka lebih memiliki berbagai strategi nafkah, level pendidikan yang tinggi, dan
keterampilan lain untuk bekerja di sektor lain. Namun, secara umum ada sedikit variasi
antara nelayan dan operator wisata dengan strategi penghidupan mereka, mereka
memiliki ketergantungan yang kuat pada lingkungan laut, dan kerentanan mereka
terhadap dampak lingkungan dari badai dan degradasi terumbu karang. Ketergantungan
yang kuat oleh semua pengguna sumberdaya laut di Anguilla pada industri pariwisata
pada akhirnya dapat merusak kapasitas mereka untuk mengembangkan ketahanan sosial
untuk perubahan lingkungan masa depan.
Analisis
:
Didalam tulisan ini dapat diketahui bahwa, strategi nafkah, level pendidikan
yang tinggi, dan keterampilan lain untuk bekerja di sektor lain mempengaruhi
ketahanan suatu individu dan atau kelompok. Nelayan sangat memiliki kerentanan
terhadap dampak lingkungan dan degradasi terumbu karang. Ketergantungan yang kuat
oleh semua pengguna sumberdaya laut pada akhirnya dapat merusak kapasitas mereka
untuk mengembangkan ketahanan sosial untuk perubahan lingkungan masa depan. Pada
dasarnya ada strategi nafkah yang dilakukan oleh nelayan utuk bertahan hidup yakni
melaut tidak hanya memangkap spesies tertentu namun spesies campuran.
***
9
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Resilience Thinking Meets Social Theory: Situating
Social Change In Socio-Ecological Systems (SES)
Research
2012
Jurnal
Elektronik
Muriel Cote dan Andrea J. Nightingale
University of Edinburgh, UK
Progress in Human Gheography
36(4)
sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav
23 Oktober 2014
Rangkuman :
Perubahan yang terjadi pada lingkungan memberikan konsekuensi dalam sistem
sosial-lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan ketahanan
manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya yaitu konsep resiliensi.
15
Konsep resiliensi sosial diperkenalkan oleh Jansen (2007) sebagai kemampuan
kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai
akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan. Ketergantungan pada prinsipprinsip ekologi untuk menganalisis dinamika sosial telah menyebabkan jenis analisis
sosial yang menyembunyikan kemungkinan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
penting tentang peran kekuasaan dan budaya dalam kapasitas adaptif, atau untuk
membongkar pertanyaan normatif seperti “ketahanan apa?” dan “untuk siapa?” bila
diterapkan dalam bidang sosial.
Permasalahan dalam mendefinisikan konsep resiliensi dalam sistem sosiallingkungan adalah keterbatasan menganalisis trade-off dan keputusan manajemen aspek
tata kelola dalam bingkai sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Oleh karena itu,
untuk memahami resiliensi pendekatan yang digunakan dengan menjawab pertanyaanpertanyaan normatif untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang
melibatkan stakeholder pada berbagai skala, dengan beberapa pendekatan untuk
penilaian sumber daya dan kepemimpinan yang berbeda, dan hubungan jaringan sosial
heterogen yang mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk
resiliensi tersebut.
Ketahanan sosial berfokus pada fungsi institusi dan menganggap isu-isu
normatif sebagai hasil desain kelembagaan atau struktur. Dengan demikian, konsep ini
mengadopsi pendekatan konservatif dalam memahami dinamika perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa isu-isu normatif
termasuk hubungan kekuasaan dan nilai-nilai budaya, merupakan bagian integral untuk
perubahan sosial dan dinamika kelembagaan yang memediasi hubungan manusia
lingkungan
Peletakan analisis ketahanan dalam operasi hubungan kekuasaan atau
pengetahuan dalam dinamika kelembagaan membuka isu-isu seputar nilai-nilai, tetapi
juga tentang kesetaraan dan keadilan, yang memungkinkan kita untuk merumuskan
pertanyaan tentang hasil ketahanan yang diinginkan. Dalam analisis ketahanan sosial,
hubungan sosial dibedakan menjadi kekuasaan antara kelompok dan representasi
budaya. Kedua konsep ini membantu individu atau kelompok mengerti posisi mereka
dalam kaitannya dengan perubahan sosial-lingkungan. Adaptasi manusia untuk
menghadapi perubahan muncul dari proses heterogen yang harus dipahami melalui
rekursif hubungan antara pengetahuan, agenda konteks seperti yang diperantarai oleh
kekuasaan, budaya dan sejarah.
Analisis
:
Dalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa untuk memahami resiliensi pendekatan
yang digunakan adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif untuk
menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan stakeholder pada
berbagai skala, penilaian sumber daya dan kepemimpinan dan hubungan jaringan sosial
heterogen yang mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk
resiliensi. Tulisan ini mengangkat urgensi analisis ketahan sosial dalam pendekatan
sistem sosial-lingkungan. Konsep resiliensi sendiri merupakan hal yang penting yang
dilakukan oleh individu atau kelompok orang alam menghadap perubahan lingkungan
sosial, politik, dan ekologi. Bentuk resiliensi yang dilakukan akan bervariasi sesuai
dengan konteks dan sistem budaya setempat.
***
16
10
Judul
:
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume(edisi):hal
Alamat URL/doi
:
:
:
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
Ringkasan
Social-Ecological Indicators Of Resilience In Agrarian
And Natural Landscapes
2011
Jurnal
Elektronik
Frederik J.W. Van Oudenhoven, Dunja Mijatovic,
Pablo B. Eyzaguirre
Emerald Group, Publishing Limited
Management of Environmental Quality
22(2):154-173
http://www.emeraldinsight.com/doi/pdfplus/10.1108/1
4777831111113356
23 Oktober 2014
:
Makalah ini membahas yang pertama yaitu kerangka konseptual pada
pendekatan berbeda untuk konservasi alam. Kedua, menjelaskan fungsi sistem socialecological dalam konteks konservasi dan menguraikan berbagai praktik dan kondisi
dimana adat dan masyarakat pedesaan dapat memiliki dampak positif pada integritas
dan ketahanan dari ekosistem dan lanskap. Ketiga, mengusulkan indikator dari
ketahanan dimensi sosial dan budaya yang berfungsi untuk pengawasan integritas dan
ketahanan dari sistem social-ecological oleh masyarakat daerah, dan sebagai alat untuk
membantu pelaksanaan konservasi dan evaluasi.
Wacana konservasi yang terjadi selama ini mengabaikan aspek sejarah sehingga
gagal untuk menginternalisasi gagasan bahwa sistem manusia dan alam sering bersama
berkembang. Selain itu, wacana konservasi juga bersifat depolitized yaitu megabaikan
hak masyarakat adat untuk wilayah mereka dan sumber-sumber penghidupan. Adaptasi
yang dilakukan manusia sesuai dengan kondisi lingkungannya Untuk
mempertimbangkan masyarakat manusia sebagai elemen dasar dari ekosistem dan
lanskap dan menghargai kontribusi mereka untuk adaptasi dan Konservasi, kawasan
lindung harus dipahami dan dikelola sebagai sistem ekologi sosial, di mana perubahan
dan kompleksitas adalah ciri-ciri yang mendasar.
Pengetahuan ekologi tradisional, nilai-nilai budaya, kelembagaan sosial, dan
manajemen praktek pertaniandapat dilihat sebagai memori dinamika manusialingkungan di lanskap. Semakin dalam memori ini, semakin akurat Tradisional ekologi
yang diharapkan untuk mencerminkan kompleksitas dinamika dan memfasilitasi
adaptasi masyarakat terhadap perubahan. Nilai-nilai budaya merujuk pada hubungan
sosial, etis, dan spiritual memiliki landasan ekologi; dan manifestasi praktis dari nilainilai budaya, pada gilirannya, memiliki konsekuensi bagi ekosistem. Kelembagaan
sosial merupakan seperangkat nilai-nilai budaya, pengetahuan tradisional dan peran
sosial tertentu dalam struktur sosial, yang memfasilitasi tindakan kolektif dan mengatur
aktivitas manusia terkait dengan penggunaan sumber daya alam dan lanskap.
Manajemen praktek pertanian tradisional membantu mempertahankan fungsi ekosistem
dan berkontribusi, melalui berbagai praktek, untuk konservasi keanekaragaman hayati
baik yang liar maupun yang ditanam.
Masyarakat beradaptasi dengan lingkungan mereka dan proses dalam mengubah
lingkungan. Praktek dapat dilihat sebagai contoh dari organisasi diri yang berkontribusi
17
bagi struktur dan fungsi dari lanskap sebagai sistem. Ketahanan sistem ini, tergantung
pada praktik-praktik hubungan antara manusia dan komponen ekologi, seperti halnya
pada karakteristik ekologis (keanekaragaman hayati, habitat, Jasa ekosistem) dan sosial
yang (lembaga, Jaringan, pendidikan).
Memantau sejauh mana praktik ini digunakan dan disesuaikan dengan
perubahan kondisi dapat menawarkan indikasi ketahanan sistem ekologi sosial. Namun
mengukur ketahanan sosial-ekologi dapat menantang, terutama karena untuk
memperjelas fitur yang berkontribusi, proses kelembagaan dan organisasi harus
dipahami dengan hati-hati sebagai pertimbangan ekologi.
Analisis
:
Didalam tulisan ini dapat dianalisis bahwa adaptasi yang dilakukan manusia
selalu sesuai dengan kondisi lingkungannya. Masyarakat sebagai elemen dasar dari
ekosistem dan lanskap yang akan beradaptasi dan melakukan Konservasi. Pengetahuan
ekologi tradisional, nilai-nilai budaya, kelembagaan sosial, dan manajemen praktek
pertanian dapat dilihat sebagai memori dinamika manusia-lingkungan di lanskap.
***
18
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Perubahan Bentang Alam dan Tanah Timbul
Bentang alam atau kenampakan di atas permukaan bumi merupakkan komponen
penyusun hasil kegiatan dan pengaruh manusia yang mencakup elemen fisik, elemen
biotik dan elemen dari hasil budidaya manusia. Suryawati (2012) menuliskan bahwa,
”perubahan bentang alam yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi”. Manusia dan lingkungan memiliki
konektifitas yang tinggi karena manusia menggantungkan kehidupannya pada
sumberdaya alam dan sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
sumberdaya alam memberikan pengaruh terhadap keberadaan sumberdaya alam, begitu
pula sebaliknya alam memberikan kehidupan dan memenuhi kebutuhan manusia,
kondisi suatu sumberdaya alam mempengaruhi keadaan manusianya. Berbagai cara
yang dilakukan manusia terhadap alam memiliki resiko tersendiri. Ramadhan (2012)
menulis, “selain disebabkan oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi secara
alamiah yakni disebabkan oleh alam yang memiliki karakteristik yang unik dan berbeda
beda dan selalu berubah”. Perubahan bentang alam disebabkan pula oleh variabel
variabel yang bersifat multidimensional yang meliputi : perubahan struktur, jumlah,
pertumbuhan, dan kepadatan penduduk, mata pencaharian penduduk dan juga luasan
lahan yang tersedia.
Perubahan lingkungan di Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul
sebagai akibat dari proses laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini
terjadi karena beberapa hal salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak
berkesinambungan (unsustainabe land use). “Perubahan bentang alam yang terjadi di
Segara Anakan tidak hanya terkait dimensi ekologis namun juga terkait oleh dimensi
manusia, sosial dan fisik” (Ramadhan 2012). Kegiatan sosial maupun ekonomi
masyarakat di wilayah Laguna Segara Anakan sangat tergantung pada keberadaan
laguna, baik perairan maupun daratannya. Aktivitas masyarakat ini berdampak pada
kondisi dan dinamika laguna. Dinamika interaksi yang terjadi antara aspek ekologis dan
aspek sosial di Segara Anakan sejauh ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif
dan membuat kondisi yang semakin memburuk. Perubahan bentang alam yang terjadi
tidak hanya terjadi secara alamiah namun juga dapat terjadi karena aktivitas manusia.
Struktur Agraria
Agraria mempunyai arti yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau
“pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami
(fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya (Shohibudin dan
Soetarto 2010). Lingkup agraria itu sendiri terdiri atas dua unsur, yaitu obyek agraria
atau sering disebut sebagai sumber-sumber dan subyek agraria. Unsur yang pertama,
yaitu sumber-sumber agraria yang terdiri atas 1) tanah atau “permukaan bumi” 2)
perairan, 3) hutan, 4) bahan tambang, dan 5) udara, sangat erat kaitannya dengan ruang
19
fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu,
sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi
dan sosial). Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Subyek agraria memiliki ikatan
dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan
(tenure institution).
Menurut Shohibudin dan Soetatarto (2010), “Tata hubungan antar manusia yang
menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut
sebagai struktur agraria”. Hermasyah et al (2010) megatakan, “dalam masyarakat
agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan
masyarakat secara keseluruhan”. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut
hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial
manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung
atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara
pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan
buruh tani, hubungan kredit dan atau dagang antara pemilik modal dan petani,
hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya. Hubungan
penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi terbentuknya ragam
sosial, sekaligus interaksi sosial di antara ketiga subyek agraria yaitu komunitas,
pemerintah dan swasta. Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber
agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institution).
Kebijakan yang sentralisme yang saat ini diterapkan di Indonesia pada akhirnya
menimbulkan konflik terkait penguasaan dan pengelolaan yang berbeda kepentingan
yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pemeritah menggunakan instrumen
kebijakan dengan menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi/ perlindungan
diamana wilayah konservasi ini merupakan wilayah yang dimanfaatkan masyarakat.
Kondisi tersebut mengakibatkan aturan aturan yang dibuat mengeliminasi hak hak
masyarakat dalam mengeakses dan mengontrol SDP tersebut. Kedua, Konflik
masyarakat dan pemeritah yang melibatkan swasta. Hal ini karena pemerintah
menggunakan otoritasnya untuk memberikan hak pemanfaatan sumberdaya alam
kepada pihak pihak tertentu yang pada akhirnya mengubah hak hak pemanfaatan
masyarakat yang secara langsung mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Perspektif politik-hukum, menguatnya pemerintah dan swasta dalam kontrol atas
SDP dimana secara sistematis masyarakat diperlemah, dan modernisasi pengelolaan
SDP yang memperlemah pengetahuan lokal pada akhirnya memunculkan ortodoksi
lingkungan masyarakat dalam proses termarginalisaisi dengan sejumlah kearifan lokal
dan pengetahuan tradisional yang dimiliki.
Persoalan lain adalah konflik kepentiingan pemanfaatan sumberdaya yang
dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan orientasi pemanfaatan, yaitu orientasi
konservasi berhadapan dengan orientasi ekonomi. Usaha mempertahankan kawasan
sebagai daerah konservasi berhadapan dengan pemanfaatan ekonomi masyarakat,
seperti tambak, lahan pertanian dan pemukiman.
Menurut Nurududja (2010), “untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan
atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah
menentukan karena hal itu merupakan masalah penghidupan dan kemakmuran bangsa”.
Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan
keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya menjadi keharusan tersendiri.
Masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria
menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena aturan
20
hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan
sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak
belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telahturun temurun
berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan,
yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto.
Tipe tipe hak kepemilikan versi Ostrom and Schalager tahun 1990 seperti hak
akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi dan hak pengalihan menentukan
status kepemilikan SDP. Bromley telah menyebutkan paling tidak ada empat rezim
kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private
property) dan masyarakat (communal property). Pendekatan berbasis hak berimplikasi
pada peubahan cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat kususnya
masyarakat miskin. Untuk menunjang pendekatan berbasis hak (right based approach)
ini digunakan Participatory Poverty Assesment (Penilaian kemiskinan Partisipatif)
Dalam hubungan antara subyek subeyek agrari perlu adanya kelembagaan
pengelolaan yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan sustainable development
yakni pemerintah, masyarakat dan perguruan tinggi, untuk mewujudkan pengembangan
masyarakat dengan tatus keberlanjutan yang optimal.
Resiliensi Masyarakat
Perubahan yang terjadi pada lingkungan memberikan konsekuensi dalam sistem
sosial-lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan ketahanan
manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya yaitu konsep resiliensi.
Menurut Cote dan Nightingale 2012, “konsep resiliensi diartikan sebagai kemampuan
kelompok atau masyarakat untuk mengatasi tekanan eksternal dan gangguan sebagai
akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan”. Permasalahan dalam
mendefinisikan konsep resiliensi dalam sistem sosial-lingkungan adalah keterbatasan
menganalisis trade-off dan keputusan manajemen aspek tata kelola dalam bingkai
sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk memahami
resiliensi, pendekatan yang digunakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
normatif untuk menganalisis kapasitas adaptif sistem ekologi sosial yang melibatkan
stakeholder pada berbagai skala, dengan beberapa pendekatan untuk penilaian sumber
daya dan kepemimpinan yang berbeda, dan hubungan jaringan sosial heterogen yang
mendasari dan membentuk praktek manajemen yang membentuk resiliensi tersebut.
Peletakan analisis ketahanan dalam operasi hubungan kekuasaan atau pengetahuan
dalam dinamika kelembagaan membuka isu-isu seputar nilai-nilai, tetapi juga tentang
kesetaraan dan keadilan, yang memungkinkan kita untuk merumuskan pertanyaan
tentang hasil ketahanan yang diinginkan.
Ketahanan ekologi dipahami sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan
sementara tetap mempertahankan populasi dan variabel yang sama. Karakteristik
ekologi (keanekaragaman hayati, habitat, Jasa ekosistem) dan aspek-aspek sosial
(lembaga, jaringan, pendidikan) merupakan indikator sosial-ekologi pada resiliensi
dalam suatu sistem konservasi. Resiliensi memahami tekanan dan guncangan dalam
sistem ekologi sosial, dan secara khusus dinamika mata pencaharian masyarakat
pedesaan yang bergantung pada sumber daya.
“Resiliensi didefinisikan pula sebagai kapasitas sistem untuk menyerap
gangguan dan reorganisasi sementara ketika mengalami perubahan sehingga masih
mempertahankan fungsi, struktur, identitas, dan umpan balik, yang pada dasarnya
sama” (Oudenhoven 2011). Oleh karena itu, resiliensi menjadi ciri sistem kemampuan
21
untuk menghadapi perubahan. Adaptasi, sebagai bagian dari ketahanan, adalah
kemampuan untuk menyesuaikan tanggapan terhadap perubahan eksternal driver
(misalnya, globalisasi, kebijakan pemerintah) dan proses internal (misalnya,
peningkatan populasi, migrasi keluar), dan dengan demikian memungkinkan untuk
pengembangan sepanjang lintasan saat ini (stabilitas domain). Transformability,
sebaliknya, adalah kemampuan untuk menyeberangi batas ke lintasan baru
“Konsep resiliensi merupakan konsep yang umum dalam menggambarkan
kapasitas adaptasi masyarakat desa dalam menghadapi setiap guncangan atau perubahan
dalam lingkungan sosial, ekologi, maupun politik” (Suryawati 2011). Namun, yang
perlu diperhatikan adalah bahwa resiliensi tidak hanya dipandang sebagai aspek
ekologi. Aspek-aspek sosial seperti pengetahuan lokal, nilai-nilai budaya, dan
kelembagaan adat juga berpengaruh besar terhadap bentuk resiliensi yang dilakukan
oleh masyarakat pedesaan.
Pilihan adaptasi dan resiliensi masyarakat di pesisir cenderung masih terkait
dengan sumberdaya alam yang tersedia karena ketersediaan sumberdaya di sekitarnya,
sedangkan semakin ke hulu ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas sehingga
mencari pola yang semakin jauh keterkaitannya denga sumberdaya alam.Masyarakat
beradaptasi dengan lingkungan mereka dan proses dalam mengubah lingkungan.
Ketahanan sistem ini, tergantung pada praktik-praktik hubungan antara manusia dan
komponen ekologi, seperti halnya pada karakteristik ekologis (keanekaragaman hayati,
habitat, Jasa ekosistem) dan sosial yang (lembaga, Jaringan, pendidikan).
22
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Bentang alam merupakkan komponen penyusun hasil kegiaan pengaruh manusia
yang mencakup elemen fidik, biotik dan hasil budidaya manusia. Manusia dan alam
memiliki konektifitas yang tinggi sehingga perubahan bentang alam yang disebabkan
aktifitas manusia maupun aktifitas alam itu sendiri memberikan pengaruh terhadap
kehidupan manusia itu sendiri. Perubahan lingkungan yang kemudian memunculkan
sumber sumberdaya baru menimbulkan pula perubahan pada pola pola masyarakat.
Struktur agraria yang diartikan sebagai tat hubungan antar manusia yang
menyangkut pemilikan, penguasan dan peruntukan sumberdaya alampun mengalami
pergeseran akibat perubahan sumberdaya alam yang ada. Perubahan perubahan struktur
agraria ini dapat dilihat melalui perubahan pola hubungan antara penguasa, pemilik dan
pemanfaat yang kemudian berimplikasi pada perubahan ragam sosial dalam masyarakat.
Perubahan struktur agraria ini dapat pula pada permasalahan konflik pemanfaatan atas
sumberdaya alam.
Kebijakan yang sentralisme yang saat ini diterapkan di Indonesia pada akhirnya
memperkuat konflik terkait akan penguasaan dan pemanfaatan atas sumberdaya baru
ini. Perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam sebagai obyek
agraria akibat adanya pemanfaatan yang berbeda oleh ketiga subyek agraria
merupakkan masalah besar bagi negara agraris seperti Indonesia yang menganggap
masalah agraria adalah masalah penghidupan dan kemakmuran. Masalah tenurial yang
mencuat terjadi ketika dominasi relasi relasi agraria yang menyangkut penguasaan
bertolak belakkang dengan praktik praktik sehari hari dalam sebuah masyarakat.
Peubahan perubahan tersebut pada akhirnya memberikan konsekuensi dalam
sistem sosial lingkungan. Salah satu konsep yang digunakan dalam menggambarkan
ketahanan manusia dalam menghadapi perubahan dalam lingkungannya adalah konsep
resiliensi. Konsep resiliensi diartikan sebagai kemampuan kelompok untuk mengatasi
tekanan eksternal dan ganguan akibat perubahan. Resiliensi melihat bagaimana
kapasitas manusia menyerap gangguan, bertahan dan mereorganisasi sementara ketika
mengalami perubahan.
Pertanyaan Penelitian
Dari penelitian penelitian yang telah dikaji dan dianalisis, maka penulis akan
meninjau dan menganalisis perubahan bentang alam dan resiliensi melalui pertanyaan
spesifik dari topik tersebut. Rumusan pertanyaan spesifik yang dapat dibangun adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan bentang alam yang terjadi dalam lingkugan masyarakat?
2. Bagaimana konektifitas adaptasi yang dilakukan masyarakat menghadapi perubahan
bentang alamnya?
3. Bagaimana perubahan bentang alamdapat mempengaruhi tingkat resiliensi
masyarakat?
23
Usulan Kerangka Analisis
Faktor Alamiah
- Karakteristik Alam
- Bencana Alam
Faktor Non Alamiah
- Aktifitas Manusia
- Politik
- Ekonomi
- Sosial
- Teknologi
Perubahan Bentang Alam (Tanah Timbul) dan
Dampaknya
Perubahan Struktur Agraria
Struktur Penguasaan
- Pola Penguasaan
- Pola Kepemilikan
- Tingkat ketergantungan
lahan
- Konflik
- Kelembagaan
Corak Usaha
- Tigkat Pendapatan
- Pola Ketenagakerjaan
pada
Tingkat Resiliensi
Keterangan
:
= Cara Pandan g
= Terdiri Dari
= Fokus Penelitian
=Menyebabkan
= Mempengaruhi
24
Masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alamnya.
Namun ditengah kekayaan sumberdaya alam yang ada sumberdaya pesisir dan laut
adalah sumberdaya yang paling rentan dengan aktiifitas yang ada. Perubahan bentang
alam dan dampaknya yang ditandai oleh adanya tanah timbul, merupakan penampakkan
alam yang disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor alamiah dan non alamiah. Faktor
alamiah ,meiputi karakteristik alam dan bencana alam sementara faktor non alamiah
menyangkut aktifitas manusia itu sediri yang meliputi aktifitas politik, ekonomi, sosial
dan teknologi.
Manusia dan alam memiliki konektifitas ekologi yang tinggi karena keduanya
saling memberi pengaruh dan saling bergantung. Perubahan bentang alam yang terjadi
kemudian mempengaruh pada struktur agraria yang menyangkut polaa penguasaan,
kepemilikan dan pemanfaatan suatu sumberdaya. Perubahan struktur agraria sendiri
terdiri dari perubahan struktur penguasaan dan corak usaha yang dilakukan masyarakat
untuk dapat bertahan hidup. Perubahan tersebut berpengaruh pula pada tingkat resiliensi
masyarakat.
25
DAFTAR PUSTAKA
Cote M, Nightingale AJ. 2012. Resilience thinking meets social theory: Situating social
change in socio-ecological systems (SES) research. Progress in Human
Gheography. 36(4): 475-489. [Internet]. diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia
pada: http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav.
Foster J, Lake IR, Watkinson AR, Gill JA.2014. Marine dependent livelihoods and
resilience to environmental change: A case study ofAnguilla. Marine Polic. 45:
201-2012. [Internet]. diunduh 2014 Oktober 23]. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308597X1300242X
Hardati P. 2011. Transformasi Wilayah Peri Urban: Kaus di Kabupaten Semarang.
Jurnal Geografi. Volume (edisi): hal : Vol. 8, No. 2 Juli 2011: 10 halaman.
[diunduh
2014
Oktober
23].
Tersedia
pada:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/view/1661/1868
Hermasyah T, Hartanto SD, Mardiana R, et al. 2010. Pola penguasaan tanah dan
keberlanjutan kehidupan masyarakat Kampung Laut, studi kasus di muara
Citanduy, Cilacap. Dalam: Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari
Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta (ID): STPN Press.
Nurududja B, Amiah S, Sukarman. 2007. Penanggulangan Kemiskinan di Komunitas
Nelayan dan Masyarakat Pesisir. Semarang (ID): LBH
Oudenhoven FJW et al. 2011. Social-ecological indicators of resilience in agrarian and
natural landscapes. Management of Environmental Quality. 22(2): 154-173.
[Internet].
diunduh
2014
Oktober
23].
Tersedia
pada:http://www.emeraldinsight.com/doi/pdfplus/10.1108/1477783111111335
6.
Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak perubahan lingkungan terhadap
perkembangan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pesisir di
kawasan Segara Anakan. J Sosek KP. Volume (edisi): hal: 7(1):33-53.
[Internet].
[diunduh
2014
Oktober
23].
Tersedia
pada:
http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_2012_v7_no1_%283%29
_full.pdf.
Satria A. 2009. Penguatan Peran Masyarakat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil. Di dalam:Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB
Press.
Shohibudin M, Soetarto E. 2010. Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan : Menuju
Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan. Di dalam: Sejarah Indonesia :
Perspektif lokal dan Global. Yogyakarta (ID): Ombak
Suryawati SH. 2012. Model Resiliensi Masyarakat di Laguna Segara Anakan.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
26
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan suami istri
Sabar Sriyono dan Umi Maryati yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 bulan
Desember tahun 1994. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SD IT PLUS ASY
SYAAKIRIIN pada tahun 1999 – 2005, SMP NEGERI 51 JAKARTA pada tahun 2005
– 2008, SMA NEGERI 44 JAKARTA pada tahun 2008 – 2011. Kemudian pada tahun
2011, tepatnya pada bulan Juni penulis memasuki gerbang kampus Institut Pertanian
Bogor, pada Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi Pengembangan
Masyarakat yang terdaftar dalam jajaran mahasiswa baru melalui seleksi SNMPN Tulis.
Selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
kegiatan keorganisasian kampus dan berbagai kepanitiaan. Keorganisasian yang diikuti
penulis pada tingkat pertama adalah DPM TPB IPB periode kepengurusan 2011 – 2012
yang memiliki nama “Dewan Imperium Peradaban” dalam keorganisasian ini peulis
menjabat sebagai bendahara umum, yang kemudian memberi bekal pada penulis
mengenai keadministrasian dan pengauditan keunangan. Memasuki tingkat dua penulis
kembali masuk dalam ranah keorganisasian legislatif fakultas yakni DPM FEMA.
Keikut sertaan penulis dalam DPM Fema berlangsung selama dua kepengurusan yakni
kepengurusan “Dewan Kaizen” dan “Dewan Goleon” diamana penulis menajabat
sebagai Sekertaris Komisi 2 pada periode pertama dan Ketua Komisi 1 pada periode ke
dua. Selanjutnya penulis juga aktif dalam MPM KM IPB pada periode 2012 – 2013
sebagai sekertaris Badan Pekerja Kajian Sistem KM IPB. Didalam bidang sosial penulis
aktif dalam komunitas pemberdayaan masyarakat yang dibangun bersama beberapa
sahabat penulis yang diberi nama “Pondok Kreasi Mimpi”, yang dibangun atas dasar
kreatifitas dan mimpi penulis dan para sahabat penulis.
Adapun beberapa kepanitiaan yang penulis ikuti adalah MPMKMB 49, Open
House Mahasiswa Baru 49, Panitia Pemilihan Raya, Masa Perkenalan Fakultas, Masa
Perkenalan Departemen dan Komisi Pemilihan Raya Keluarga Mahasiswa IPB. Selain
itu penulis juga menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam selama tiga
periode.
Download