PENGARUH HARAPAN DAN COPING STRES TERHADAPRESILIENSI CAREGIVERKANKER Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Oleh : TirtaArthaWardani NIM: 207070000725 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M ABSTRAK (A) (B) (C) (D) (E) (F) FakuItas Psikologi DIN SyarifHidayatuHah Jakarta September 2014 Tirta Artha Wardani PengaruhHarapan dan Coping Stres Terhadap Resiliensi Caregiver Kanker xiv + 114 + lampiran Resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan, dengan kata lain resiliensi ialah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk, maka dari itu diperlukannya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaat menghadapi stres yang dirasakannya dal~m merawat pasien kanker. Caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang baik pada caregiver dalam merawat pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melibatkan 165 caregiver. Caregiver adalah anggota keluarga yang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau mendampingi di rumah sakit, teknik sampliilg yang digunakan adalah non-probability sampling, yaitu dengan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala baku yang dimodifikasi, skala baku tersebut ialah Resilience Scale (RS) untuk mengukur resiliensi, Herth Hope Index (HHI) untuk mengukur harapan, dan Ways of Coping Scale (WaC) untuk mengukur coping stres. Pengukuran validitas skala penelitian ini menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), dan analisis statistik dalam penelitian ini menggunakan multiple regression dengan bantuan software SPSS 18. HasH atau kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang disignifikan harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 atau P:S0,5. Adapun nilai R Square (R2) dari semua variabel yang diujikan adalah sebesar 0,315 artinya dari enam variabel memberikan kontribusi sebesar 31,5% terhadap resiliensi caregiver kanker sedangkan sisanya 68,5% dipengaruhi variabel lain diluar penelitian. vi 1 BAB I PENDAHULUAN Bagian pertama ini menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi peneliti dalam melakukan penelitian tentang resiliensi caregiverkanker. Selain itu, peneliti juga akan memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tidak lupa peneliti memberikan pembatasan masalah agar pembahasan tidak melebar bahkan berseberangan dari tujuan. Sistematika penulisan juga disertakan untuk memberi tuntunan dalam menyusun laporan hasil penelitian. 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak terkontrol dari sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut tumbuh pada organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya (Sarafino, 1998). Penyakit kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Menurut Gumawan (dalam Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO menyebutkan setiap menit di dunia terdapat penambahan 6,25 juta penderita 2 kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara berkembang (Organisasi Kesehatan Dunia, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun, terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat, 2005). Kanker menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang, hal ini karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat, 2005). Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker prostat dan kanker paru (Mediasehat, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984, didapatkan bahwa kanker paru telah menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001). Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya. Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih dari 70% kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium III atau IV) sehingga hanya 5% penderita yang bisa bertahan hidup (Mediasehat, 2004).Pada wanita tahun 2005 ditemukan sebanyak 3.884 kasus (36,83%) kanker leher rahim. Sedangkan kanker payudara sebanyak 749 kasus atau 19,62%.Walaupun demikian, apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal, 3 maka kurang lebih dari separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat disembuhkan (KBI Gemari, 2003). Sayangnya hasil diagnosis kanker menyatakan bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut, yakni stadium 3 dan 4 (Kompas, 2001). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih, dan berkemungkinan langsung tidak akan sembuh. Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia. Hileman, Lackey, dan Hassanein(dalam Duci, 2011) menjelaskan bahwa secara klinis seorang yang didiagnosis kanker ditandai dengan berangsur-angsur menghilangnya kemampuan intelektual yang mempengaruhi kognitif, dan perilaku, yang pada akhirnya seorang kanker menjadi tergantung pada orang lain, dan membutuhkan perawatan tetap oleh anggota keluarga. Peters(dalam Serfelova, 2012)menjelaskan bahwa penyakit kronis seperti kanker, telah lama dikenal sebagai penyakit yang berdampak serius, tidak hanya terhadap diri penderita namun juga berdampak pada orang lain, terutama keluarga. Keluarga, selain juga mengalami dampak emosional dari diagnosis tersebut, juga terbebani tanggung jawab baru karena hampir semua pasien kanker membutuhkan pengobatan jangka panjang yang berproses. Ini menuntut anggota keluarga untuk ikut terlibat dalam kepedulian merawat pasien kanker tersebut. Keluarga mereka yang menjadi perawat bagi pasien biasa disebut sebagai caregiver. Mereka tidak hanya terlibat pada awal masa pengobatan, tetapi juga dalam kepedulian termasuk kekambuhan, perkembangan kesehatan pasien, dan sampai berakhirnya masa perawatan. 4 Menurut Barbara A. Given (2012), caregiver adalah sumber utama dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan pada pasien. Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan diri dalam menjalani penyakit yang diderita. Caregiver diperlukan untuk merawat dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam menggurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Wong (dalam Menz, 2012) mengemukakan bahwa ketika pasien merasa perlu mengkomunikasikan kebutuhan mereka, caregiver adalah tujuan mereka, karena pelayanan kesehatan dan dokter lebih fokus pada kebutuhan medis pasien. Caregiver juga harus ulet untuk menangani pasien dan menumbuhkan hal-hal yang tidak disediakan oleh tenaga medis seperti rasa kasih sayang, harapan, dorongan pemahaman dan penghargaan dari usahanya bertahan demi memelihara semangat hidupnya (resilience). Miller(dalam Chakraborty, 2007) mengemukakan bahwa faktor penting untuk kesembuhan pasien juga dilihat dari kedekatan hubungan antara caregiver dan pasiennya. Hal ini sangat berpengaruh bagi efektifitas perawatan yang diberikan caregiver terhadap pasien. Given, Hudson, dan Moody(dalam Barbara 2012) menjelaskan bahwa caregiver diharapkan menjadi penyedia utama layanan kesehatan bagi pasien di rumah. Berbagai macam tanggung jawab caregiver pada saat merawat pasien kanker mempengaruhi masa depan perkembangan penyembuhan pasien tersebut. Segala bentuk tuntutan pasien, baik secara eksternal maupun internal membutuhkan respon yang baik. Besarnya tanggung jawab dan tekanan yang 5 diterima caregiver ini dapat berakibat buruk karena stres yang dialami caregiver dapat menjadi penghambat besar dalam masa perawatan sehari-hari pasien. Perasaan cemas, khawatir, kelelahan baik secara fisik maupun psikologis, kejenuhan, bingung, dan perasaan lainnya yang menimbulkan stres dalam merawat pasien seringkali muncul dalam masa pelayanan mereka terhadap pasien. Connor dan Richardson(dalam Rosenberg, 2013)mengemukakan bahwa berkaitan dengan beban yang ditanggungnya, dibutuhkan adanya bantuan dari penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan kesejahteraan caregiver dan untuk mempertahankan peran mereka sebagai caregiver keluarga. Hasil studi terhadap caregiver kanker menemukan bahwa ketahanan (resiliensi) caregiver mempengaruhi semua kondisi pasien kanker termasuk kondisi fisik, psikologis, sosial, keuangan, dan spiritual. Oleh sebab itu untuk membuat keadaan caregiver jadi lebih baik dibutuhkan cara untuk mengurangi stres pada caregiver yang sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Unggar (dalam Bennett 2012) menekankan perlunya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaaat menghadapi stres yang dirasakannya dalam masa perawatan yang tinggi. Resiliensi adalah ketahanan atau kerentanan caregiver dalam menghadapi segala tuntutan. Davidson (dalam Pinke 2009) memandang resiliensi sebagai kualitas personal yang baik dan ketahanan mereka terhadap stres yang mendorong individu untuk dapat berkembang meskipun berada dalam kesulitan. Sanggeta bhatia(dalam Grotberg, 2004) menjelaskan tentangtanggung jawab dalam merawat anggota keluarga yang menderita kanker serta penyesuaian diri terhadap 6 segala perubahan, bukanlah suatu tuntutan hidup yang mudah. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang baik dalam merawat pasien. Resiliensi dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengelola stres caregiver terkait dengan masalah klinis kejiwaan, anak, kesehatan masyarakat, pengaturan seluruh jangka hidup dengan penyakit kronis. Resiliensi tidak hanya dilihat dari kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik pada situasi sulit yang dialami, tetapi juga kemampuan individu untuk tetap mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan dengan baik dan melakukan proses adaptasi dengan cara-cara yang tidak merusak (Siebert, 2005). Dengan kata lain, caregiver yang memiliki resiliensi yang baik akan mampu mengatasi stres yang dialaminya dengan cara yang baik. Kemampuan caregiver untuk menyediakan perawatan pada pasien dapat dikatakan tergantung pada kemampuannya mempertahankan resiliensi. Pada umumnya bahwa caregiver menjadi stres karena hasil kesehatan dirinya yang memburuk, karena caregiver tidak mampu menjaga kesehatan, disebabkan banyakwaktu yang tersita untuk merawat pasien. Luthar (dalam Lin Fang-Yi, 2013) menyatakan bahwa stressor yang dirasakan oleh caregiver merupakan tantangan bagi keluarga untuk mengkondisikan kekuatan yang ada pada diri caregiver melalui resiliensi. Kekuatan resiliensi memungkinkan caregiver untuk mencapai keseimbangan, keyakinan, dan kekuatan pribadi. Caregiver tidak bisa menghindar dari tugasnya merawat pasein, sehingga ia harus bisa menangani sebaik mungkin tekanan yang diterimanya agar dapat menjadi pelindung pada pasien kanker. 7 Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk. Dengan resiliensi, membuat caregiver dapat mengendalikan perasaannya dengan sehat. Caregiver membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan kemarahan,kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan perasaan tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Aspinwall dan Clark (dalam Rowland, 2005) menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah sekedar suatu ciri sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu, namun lebih sebagai bagian dari proses perkembangan kesehatan untuk dapatberadaptasi dan meningkatkan kesejahteraan di sepanjang rentang waktu kehidupan. Dari berbagai jenis kanker dan stadium yang diderita pasien, caregiver harus bisa menyesuaikan kebutuhannya untuk memberikan dukungan kepada pasien dan mengatur emosionalnya. Setiap orang yang didiagnosis dengan kanker membutuhkan caregiver terlibat dalam perawatannya, untuk mempertahankan kondisi normal sehari-hari dan memelihara harapan pasien dalam menghadapi kanker. Menurut Gazini, (dalam Rabkin, 2000) caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Harapan dan optimisme yang berhubungan dengan kondisi negatif berkaitan dengan penanganan terhadap kesusahan yang diderita, sedangkan yang berhubungan dengan kondisi positif 8 dapat berupa penyesuaian psikologis yang baik, agar pasien dapat memelihara semangatnya untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik. Resiliensi dianggap berfungsi pada caregiver dalam menghadapi stres yang berdampak pada semua aspek fungsi keluarga, yang paling erat kaitannya dengan fungsi pemecahan masalah dalam membangun kognitif caregiver dalam kemampuan menggunakan coping. Menurut Bruhn dan Felder(dalam Moseley, 2011) menjelaskan bahwa resiliensi caregiver menyiratkan kemampuan caregiver untuk bertahan dari stres dalam merawat pasien kanker, resiliensi juga telah dikaitkan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih efektif, dengan menggunakan coping. Kemampuan coping padacaregiver kanker merupakan kemampuan yang dimiliki oleh caregiver untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang berasal dari sumber stres selama merawat pasien kanker untuk dapat mencapai resilien. Pakenham (dalam Bennett, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lazarus(dalam Moseley, 2011) menjelaskan bahwa kematangan individu terhadap kemampuan coping menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan dalam coping yang tinggi sehingga lebih cenderung pada problem focused coping saat ia bermasalah. Sebaliknya, kematangan coping yang relatif rendah akan lebih cenderung mengarah pada emotional focused coping dalam penyelesaian masalahnya. Dikaitkan dengan resiliensi yang berhubungan dengan faktor internal dan 9 eksternal pada caregiver yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam coping. Menurut Norton (dalam Pinke, 2009) resiliensi memegang peranan penting untuk membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis meskipun mengalami masalah, sehingga mampu mengembangkan kemampuannya melaksanakan tugas-tugas pada perkembangan dan mampu untuk terus menghasilkan coping yang baik terhadap permasalahaan yang dihadapinya. Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dari itu peneliti tertarik melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengaruh Harapan dan Coping stres terhadap Resiliensi Caregiver Kanker”. 1.2Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Untuk membatasi meluasnya permasalahan penelitian, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada pengaruh harapan dancoping stresterhadap resiliensicaregiverkanker. Adapun konsep-konsep yang berkaitan dengan obyek penelitian dibatasi sebagai berikut: 1. Harapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan meningkatkan ketahanan caregiver kanker untuk mengembangkan bagaimanakeberanian menjumpai hambatan dan motivasiuntuk menggunakan cara atau jalur tersebut agar mencapai tujuan(Snyder, 2000).Berdasarkan dari dimensi harapan (hope) yaitu, untuk merencanakan menuju tujuan (goal)denganadanya motivasi (agency), meskipun menjumpai hambatan (pathway). 10 2. Coping Stres yang dimaksud dalam penelitian ini menurut pengertian Pakenham (dalam Bennett, 2012) kemampuan coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Berdasarkan dari dimensi coping stres yaitu, memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah (confrontive coping), mencari dukungan sosial (seeking social support), menerima tanggungjawab (accepting responsibility), menjaga jarak (distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif (reappraisal positive). 3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk (Wagnild, & Young, 1993).Menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan dengan melalui lima komponen resiliensi yaitu ketenangan hati (equnimity), ketekunan(perseverance), kebermaknaan (meaningfulness),kemandirian (self reliance), daneksistensial kesendirian(exixtential aloneness). 4. Caregiver dalam penelitian ini yang dimaksud caregiver adalah sumber utama dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan pada pasien (Barbara A. Given, 2012). Caregiver adalahanggota keluargayang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau mendampingi di rumah sakit. 11 1.2.2 Perumusan Masalah Berdasarkanpembatasan masalah diatas, maka penelitimerumuskan masalah penelitian sebagaiberikut : 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi harapandan dimensi coping stres terhadap resiliensi pada caregiverkanker? 2. Diantara variabel yang ada, variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap resiliensi pada caregiverkanker? 3. Seberapa besar proporsi harapan dancoping stresbeserta dimensi-dimensinya dalam memberikan pengaruh terhadap resiliensicaregiverkanker? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Memiliki latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut: a. Menguji adanya pengaruh harapan terhadap resiliensicaregiver kanker. b. Menguji adanya pengaruh coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker. 1.3.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat dalam pengembangan bidangmengenai bagaimana pengaruh harapandan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker, serta menambah khazanah keilmuan psikologi, khususnya yang berkaitan dengan 12 cabang psikologi klinis dan psikologi kesehatan. b. Secara lebih terperinci, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada caregiver dalam merawat pasien kanker. 2. Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya: a. Peneliti Meningkatkan kemampuan diri untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan yang mungkin dialami. Dengan kata lain, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan motivasi pada diri peneliti sendiri untuk dapat menjadi individu yang resilien. Kemampuan ini dapat terpenuhi melalui harapan yang ada dalam diri dan coping stres untuk dapat memecahkan masalah sendiri. b. Yayasan atau praktisi kesehatan Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam menentukan intervensi yang bertujuan meningkatkan resiliensi pada caregiver. c. Caregiver Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantucaregiveruntuk membentuk dirinya sebagai pribadi yang resilien, melalui adanya pengharapan pada diri sendiri dan dapat menurunkan dampak negatif baik fisik ataupun psikis dalam merawat pasien kanker. 13 d. Komunitas kanker Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pemeliharaan dan perhatian komunitas untuk ikut berperan dalam memberikan harapan dan memberikan pemecahan masalah (coping) yang tepat kepada caregiver dalam merawat pasien kanker agar dapat bertahan. 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada “Panduan Penulisan Skripsi dengan Pendekatan Kuantitatif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”. Adapun sistematikanya terinci sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan skripsi. BAB II KAJIAN TEORI Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dikemukakan dalam penelitian ini meliputi pengertian resiliensi, dimensi resiliensi, faktor yang mempengaruhi resiliensi dan pengukuran resiliensi; pengertian harapan, dimensi harapan, karakteristik individu tingkat harapan tinggi, dan pengukuran harapan; pengertian coping stres, dimensi coping stres, dan pengukuran coping stres; dan pengertian caregiver, jenis caregiver, fungsi caregiver, tugas caregiver.Kerangka berpikir, serta hipotesis penelitian. 14 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang metode penelitian, jenis-jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi, sampel dan sampling, variabel dan definsi operasional masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang digunakan. BAB IV HASIL PENELITIAN Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel, grafik, gambar, dan diagram. BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, diskusi, dan saran-saran. Kesimpulan berisi tentang uraian hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang dirumuskan sebelumnya. Diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang berisi analisis hasil penelitian dan membandingkannya dengan teori dan hasilhasil penelitian sebelumnya. Sedangkan saran memuat saran teoritis yang berkaitan dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan yang dialami. Selain itu, dijelaskan pula saran praktis yang dapat diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 15 BAB II KAJIAN TEORI Bab kedua dari penelitian ini akan memaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, pengukuran nya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. 2.1 Resiliensi 2.1.1 Definisi Resiliensi Rutter (dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik. Menurut Grotberg (2000, 2004) resiliensi adalah seluruh kapasitas yang memungkinkan individu, kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan. Tekanan ini bersifat terus menerus sehingga individu yang resilien adalah yang mampu melakukan adaptasi terhadap tantangan yang bersifat terus menerus (Garmezy, Werner, Luthar, & Masten, dalam Basim, 2010). Norman (dalam Cathy, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas dan mekanisme protektif yang meningkatkan adaptasi pada kehadiran faktor yang beresiko tinggi terhadap jalannya perkembangan. Kemudian Miller dan Lawton (dalam Chakraborty, 2007) menyebutkan definisi yang serupa. Ia mengemukakan bahwa resiliensi adalah adaptasi positif terhadap kemalangan. Resiliensi juga memungkinkan adanya perkembangan kompetensi saat menghadapi tekanan berat (Luthar, Cichetti & Becker, dalam Thomas, 2010) dan merupakan kapasitas untuk bangkit kembali dari kekecewaan, jalan mundur, dan rintangan (Nash, & Bowen, dalam Thomas, 2010). 16 Pada akhirnya, resiliensi tidak hanya berkisar pada adaptasi positif terhadap resiko tinggi atau melambung dari jalan mundur melainkan juga memberi kemampuan pada individu untuk berespon dengan fleksibel dibawah tekanan yang terjadi tiap hari dalam kehidupan (Rutter & Greene, 2000). Sedangkan menurut Luthar, dan Rutter(dalam Betancourt, 2008) resiliensi mengacu pada suatu fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat mengalami ancaman atau trauma yang signifikan. Beberapa definisi tentang resiliensi menjadi 3 kategori menurut Haase (dalam Basim, 2010) yaitu, a) untuk ketahanan diri sendiri, b) dukungan keluarga dan, c) dukungan luar lainnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka resilliensi diartikan sebagai suatu kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu di mana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan serta mampu berkembang secara sehat dan menjalani hidup secara positif dalam situasi yang kurang menguntungkan atau dalam kondisi yang penuh tekanan. Resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta di pengaruhi oleh faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya. Ditambahkan oleh Wagnild (2010), hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampua untuk bangkit dan terus 17 melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi pada tujuan, di mana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan yang dimiliki dirinya, serta sadar bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri (Wagnild, 2011). Untuk itu, Wagnild menekankan bahwa semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen resiliensi yaitu meaningfulness, perseverance, equnimity, self reliance, dan exixtential aloneness. Definisi yang dikemukakan Wgnild dan Young (1990, 1993) seperti yang didapatkan di atas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang mendasari resiliensi itu sendiri. Selain itu, definisi tersebut merupakan salah satu dasar pencetus dan berkembangnya studi tentang resiliensi serta menjadi acuen dalam berbagai penelitian lanjutan. Untuk itu, pada penelitian ini peneliti akanmmenggunakan definisi resiliensi dari Wagnild dan Young (1990; 1993). 18 2.1.2 Dimensi Resiliensi Dimensi resiliensi merupakan suatu cara yang diwujudkan untuk membuat pertahanan dalam merawat pasien dalam penyakit kronis. Wagnild & Young (1993; 2010) membagi resiliensi kedalam lima bentuk yaitu: a. Ketenangan hati Ketenangan hati yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang dianggap merugikan. Wagnild(2010), namun demikian individu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu individu resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat didalamnya. b. Ketekunan Ketekunan yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi suatu situasi sulit. Perseverance juga berarti keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Wagnild(2010), dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya. c. Kemandirian Kemandirian adalah keyakinan pada diri sendiri dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri. Wagnild (2010), 19 individu yang resilien sadar kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan. Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami seharihari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya. d. Kebermaknaan Kebermaknaan merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut. e. Eksistensial kesendirian Eksistensial Kesendirian menggambarkan kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus dihadapi sendiri. Individu resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga individu menjadi lebih menghargai kemampuan yang dimilikinya. 20 Wagnild(2010), karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya. 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Rutter, Luthar, dan Richardson(dalam Zauszniewski, 2010) menjelaskan bahwa perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko, kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi, durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya. 1. Faktor Risiko Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu rantai risiko (Rutter, dalam Zauszniewski, 2010). 21 2. Faktor Protektif Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga, sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Menurut Rutter (dalam Zauszniewski, 2010) menyatakan interaksi antaraproses sosial dan intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Menjelaskan resiliensi sebagai proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya. Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah. Menyatakan faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk berespon dalam situasi sulit. 2.1.4 Pengukuran Resiliensi Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah banyak peneliti yang mengembangkan alat ukut atau skala untuk menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-betuk situasi yang menekan. a. The Brief Resilience Scale Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih dari stress (Windle, Bennet & Noyes, 2011). BRS yang terdiri dari enam item 22 ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith, dalam Kusuma 2014). b. The Connor-Davidson resilience Scale Connor-Davidson resilience Scale (CD-RISC) dikembangkan sebagai penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor & Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman, kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Kusuma 2014). c. Resilience Scale Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young(1990). Tujuan pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari 25 item. Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale (RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki 23 potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul untuk ketahanan caregiver dalam merawat pasien kanker. 2.2 Harapan 2.2.1 Definisi harapan Synder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Synder, Irving, dan Anderson (dalam Synder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapaitujuan). Dufault dan Martocchia(dalam Moseley, 2011), harapan memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan mengharapkan hasil yang positif. Karena hasil positif yang diharapkan maka seseorang termotivasi untuk bertindak dalam menghadapi ketidakpastian.Menurut Herth dan Snyder(dalam Moseley, 2011) harapan adalah suatu proses terhadap pencapaian tujuan di masa depan yang ditentukan oleh pentingnya tujuan tersebut bagi seseorang dan motivasi dalam bertindak untuk meraih tujuan. Pemahaman terhadap konsep harapan berkembang menurut Farran, Herth, dan Popovitch, Snyder(dalam Drach-Zahavy, 2002) melakukan metaanalisis terhadap beberapa definisi yang ada dan mengemukakan bahwa harapan merupakan suatu pengalaman dalam kehidupan manusia. Harapan berfungsi 24 sebagai cara merasakan, cara berpikir, cara bertindak dan cara berhubungan dengan dirinya maupun dengan dunianya. Harapan ada ketika suatu objek atau hasil yang didambakan belum terwujud. Sebagai suatu cara merasakan (afektif), harapan digambarkan sesuatu yang melampaui emosi dan berfungsi sebagai suatu kekuatan pendorong. Harapan menggerakan seseorang utnuk maju ketika merasakan sesuatu cara berpikir (kongnitif), harapan dilakukan dengan keberanian, keteguhan dalam menghadapi masalah yang sulit atau mengalami begitu banyak rintangan(a sense of fortitude). Harapan merupakan suatu sikap positif secara kongnitif, emosi, dan motivasi terkait dengan masa depan (Kanfer & Ackerman, dalam Drach-Zahavy, 2002). Synder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun juika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negati merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki tujuan. 25 2.2.2 Dimensi Harapan Menurut Snyder (2000), dimensi yang terkandungmerupakan suatu harapan yang diwujudkan dalam goal, agency, dan pathway, yaitu: 1. Goal/ Tujuan Goal atau tujuan adalah sasaran dari harapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kongnitif. Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman, atau hasil titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan dapat berupa harapan menjadi sesuatu yang bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari dalam hidup seseorang (Snyder, Cheavers & Sympson, 2000). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanan dan usaha yang lebih keras. 2. Agency Thinking/Willpower Agency Thinking atauWillpower merupakan kapasitas kekuatan untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk sepert “saya dapat melakukan ini” dan “saya tidak akan berhenti sampai disini”. 26 Agency berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakan seseorang untuk maju kearah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Agency memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan. Agencydapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mepresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuan maka ia cenderung dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Agency juga memunculkan keyankinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan (Snyder, 2000). Kemampuan seseorang untuk menciptakan agency didasarkan pada pengalaman sebeumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan Penting untuk digarisbawahi bahwa agency tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki agency adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan sebelumnya dalam hidup (Snyder, 2000). 3. Pathway Thinking/Waypower Pathway Thinking atauWaypower mereleksikan rencana atau peta jalur secara mental yang menuntun pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking). 27 Pathway adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, Lapointe, crowson, &Ear, 2000). Pathway adalah suatu persepsi bahwa seseorang dapat terlibat dalam pemikiran yang penuh perencanaan. Secara khusus, kemampuan pathway seseorang dapat diterapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atatu dioperasionalkan dengan baik. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang lebih cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaiman meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih penting tersebut (Irving, Snyder, & Crowson, Snyder, Harris, 2000). Kemampuan seseorang untuk menciptakan pathway didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian, ingatan seseorang diatur atau diorganisasikan kedalam tujuan dan rencana. Dengan perkataan lain, seseorang menyimpan informasi secara mental berdasarkan tujuan dan cara yang diasosiasikan dengan tujuan tersebut (Snyder, Irving, & Anderson, 2000). 28 Gambar 2.1 Visualisasi Harapan PATHWAYS TOUGHTS: Develop mental Lessons of Correlation/ Causality EMOTIONS PATHWAYS TOUGHTS OUTCOME VALUE AGENCY TOUGHTS AGENCY TOUGHTS: Develop mental Lessons of Self as Author of Casual Chains of Event Learning History GOAL BEHAVIOR: attainment/ nonattainment EMOTIONS Pre-Event Event Sequence 2.2.3 Karakteristik Individu Dengan Tingkat Harapan Tinggi Menurut Synder (2000), orang dewasa dengan tingkat harapan tinggi memiliki profil tertentu. Mereka telah mengalami berbagai kemunduran atau “pukulan” sama seperti orang lain dalam kehidupan mereka namun mereka telah mengembangkan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap tantangan yang ada dan mengatasi kesulitan yang terjadi. Mereka juga mempertahankan dialog dalam dirinya yang positif, seperti mengatakan pada dirinya pernyataan berikut: “saya pasti bisa atau saya tidak akan menyerah”. Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan. Pada saat menghadapi rintangan dalam pencapaian tujuan yang didambakan, mereka mengalami emosi negatif yang sedikit dan kurang intens. Hal ini terjadi karena mereka secara kreatif mampu mengembangkan jalur atau cara lain untuk meraih tujuan atau memilih 29 tujuan lainnya yang dapat dicapai. Ketika menghadapi permasalahan dalam hidupnya, seseorang dengan tingkat harapan tinggi cenderung mampu memecahkan masalah yang tampak besar dan tidak jelas menjadi masalahmasalah yang lebih kecil dan dapat didefinisikan secara lebih jelas sehingga dapat dikelola. Sedangkan seseorang dengan tingkat harapan yang rendah, ketika menghadapi rintangan yang berat akan mengalami perubahan emosi dengan siklus sebagai berikut: dari berharap menjadi marah, kemudian dari marah menjadi putus asa dan pada akhirnya putus asa menjadi apatis. Mengemukakan karakteristik psikologis yang dimiliki seseorang dengan tingkat harapan tinggi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya. Karakteristik tersebut yaitu: 1. Optimis Seseorang dengan harapan yang tinggi pasti optimis namun tidak sebaliknya. Optimis tampak berkaitan erat dengan willpower namun tidak dengan waypower. Mereka yang optimis memiliki suatu energi mental terkait dengan pencapaian tujuannya namun mereka tidal selalu memiliki pemikiran terkait dengan cara pencapaian tujuan (waypower). 2. Memiliki cara pencapaian tujuan terhadap kehidupannya Seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung memiliki keyakinan bahwa dirinya sendiri memiliki kendali terhadap hidupnya dan dirinya sendiri menentukan nasib hidupnya. 3. Harga diri (self esteem) tinggi Seseorang yang terbiasa mengembangkan willpower dan waypower terkait dengan tujuannya akan memiliki harga diri yang positif dalam berbagai situasi. 30 Mereka berpikir positif dengan diri sendiri karena mereka mengetahui bahwa mereka telah meraih tujuan mereka dimasa lalu dan melakukan hal yang sama untuk tujuan dimasa yang akan datang. Harga diri orang dengan tingkat harapan yang tinggi tampil dalam ruang privat terkait dengan perasaan bangga terhadap diri sendiri. 4. Memiliki persepsi tentang kemampuannya dalam pemecahan masalah Kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pemikiran seseorang terkait dengan cara pencapaian tujuan. Pada saat mengalami situasi sulit dalam melakukan cara yang biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan, mereka menjadi sangat berorientasi pada tugas dan menjalankan cara alternatif untuk mencapai tujuan. Mereka cenderung telah mengantisipasi permasalahan dengan mengembangkan perencanaan dengan sistem back-up (cadangan) untuk mengatasi kemungkinan mengalami suatu kesulitan. 2.2.4 Pengukuran Harapan Ada beberapa skala harapan untuk melihat kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mencapai sebuah harapan. 1. TheMillerHopeScale(MHS) TheMillerHopeScale(MHS)dikembangkan olehMiller(1988), yangterdiri dari40 item. Skordari40 sampai tinggitingkatharapan. 1)kepuasandengan 200, semakin tinggi Dapatdikelompokkandalam diri, orang lain, skor, semakin tigakomponen: danhidup,2)penghindaranpada ancamanharapan,dan3)antisipasipada masa depan. MHStelah digunakandalam 31 berbagai penelitiandanpengaturan yang berbeda, khususnya harapandalam kelompokpasien dengansakitdiri, dukungan sosialdanpendidikan. 2. TheHerthHopeScale(HHS) TheHerthHopeScale(HHS)dibuat olehHerth(1991), ada30item, di manauntuk menggambarkansebagai"tidak pernah berlaku untuk saya" dansebagai "sering berlaku untuk saya". Skor dari30 sampai 120, semakin tinggi skor, semakin tinggitingkatharapan. Koefisien reliabilitassampai dengan0.94, melaluitigasub skala: masa depan, kesiapan, harapan, dan keterkaitan. 3. TheHerthHopeIndex(HHI) TheHerthHopeIndex(HHI)dibaut oleh singkatdariHHS, subskaladariHHSasli. termasuktiga Synder (2000)adalah The versi HHIterdiri dari12item, diatur denganskordari 1 sampai 4, di mana1adalah'sangat tidak setuju' dan4 adalah'sangat setuju'. Skordari12 sampai48,semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkatharapan. Tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Herth Hope Index (HHI)Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan yang dirasakan untuk memperoleh jalur ke tujuan (goal) yang diinginkan, dan memotivasi diri melalui lembaga berpikir (agency) untuk menggunakan jalur (pathway) tersebut. 2.3 Coping Stres 2.3.1 Definisi Stres Stres seringkali dianggap sebagai keadaan dimana individu merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan dari ligkungan di sekitarnya. Tiap individu merespon tekanan yang sama dengan cara yang berbada-beda, hal ini menunjukkan bahwa 32 pengalaman tiap individu terhadap stres bergantung pada reaksinya terhadap tekanan dari luar. Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) mengindikasikan suatu konsep yang sistematis untuk memahami fenomena dalam lingkup yang luas mengenai pentingnya adaptasi manusia dan juga hewan. Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Rodrigue & Hoffman, dalam Duci, 2011). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Taylor, dalam Duci, 2011). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu: 1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor. 2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, 33 serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung. 3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi. Mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. 2.3.2 Penyebab Stres atau Stressor Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Panter-Brick (dalam Skoudal, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi 34 sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor. 2.3.3Definisi Coping Individu dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya. Karena ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres. Hal-hal yang dilakukan bagian dari coping Garmezy, Rutter dan Lazarus (dalam Skoudal, 2009) coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Menurut Garrity dan Marx (dalam, Sarafino 2006) menambahkan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources) yang dinilai sebagai penyebab munculnya situasi stres. Menurut Theorell dan Rahe (dalam Sarafino 2006) usaha coping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan situasi stres. Individu melakukan proses coping terhadap stres melalui proses transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan kognitif. 35 Suatu tindakan dalam menghadapi stres biasanya disebut dengan coping. Lazarus dan Folkman (1984, hal. 19) mendefinisikan coping sebagai berikut: “constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific estenal and internal demands that are apprasaid as taxing or exceeding the resources of person.” Berdasarkan penjelasan di atsa, dapat disimpulkan bahwa coping merupakan cara pandang dan tingkah laku yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari seseorang. Tindakan ini bisa bersifat action-oriented maupun intrapsikis, keduanya berusaha untuk mengatur, menguasai, menoleransi, ataupun mengurangi muatan dari lingkungan yang mengakibatkan stres. Definisi yang disebutkan menurut Lazarus dan Folkman (1984) juga memberikan batasan mengenai coping, yaitu yang pertama bahwa coping dilihat bukan sebagi trait, melainkan sebuah proses. Hal ini terlihat dari pernyataan “constantly changing and specific demands”. Kemudian ditekankan juga adanya perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang. Maka, segala bentuk tingkah laku maupun pemikiran yang tidak membutuhkan usaha tidak dapat digolongkan sebagai coping. Selanjutnya pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk mengatur” juga memperjelas bahwa segala tindakan dan pemikiran seseorang dalam menghadapi situasi yang dinilai melebihi sumber dayanya merupakan coping, sebaik atau seburuk apapun hasilnya. Terakhir, dengan menggunakan kata ”manage”, 36 copingjuga dapat mengandung, mengurangi, menghindari, menoleransi dan menerima kondisi yang mengakibatkan stres serta menguasai lingkungan. Dengan kata lain coping adalah usaha individu baik secara kognitif maupun tingkah laku mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai melebihi kapasitas kemampuan individu dari situasi yang menekan. Coping merupakan pencarian cara untuk memperkecil dampak dari tekanan-tekanan yang dialami oleh individu. 2.3.4 Fungsi Coping Menurut Lazarus dan Folkman (1987) proses coping terhadap stres memiliki 2 fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu : 1. Emotional-Focused Coping Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. 2. Problem-Focused Coping Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Problem Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah. 37 2.3.5 Dimensi Coping Stress Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis coping stres,baik secara problem-focused maupun emotion-focused, yaitu: 1. Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, danmenggunakan usaha untuk memecahkan masalah. 2. Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi,mencari penyebabnya dan mengalami resiko. 3. Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional. 4. Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah. 5. Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif. 6. Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari. 7. Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri. 8. Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal positif dengan memusatkan pada diri sendiri dan juga menyangkut religiusitas. 2.3.6 Pengukuran Coping Stres Ada beberapa macam skala copinguntuk melihat cara individu dalam mengatasi masalah. 38 1. The brief COPE The brief COPE yang dikembangkan oleh Carver(1997). Alat ukur yang merupakan adaptasi dari alat ukur COPE yang dibuat oleh Cerver, Scheier, dan Weintraub (1989) ini digunakan untuk melihat cara individu dalam mengatasi masalah, mengukur respon coping yang penting dan potensial dengan cepat. The brief COPE terdiri dari 28 itemyang mengukur 14 konsep reaksi coping yang berbeda. 2. Coping Strategi Indicator (CSI) Coping Strategi Indicator (CSI)di buat oleh Amirkhan(1990). Terdiri dari 33 item,dengan tiga sub skala masing-masing berisi 11 item, skor yang lebih tinggi menunjukkan lebih besar menggunakan coping. 3. Ways of Coping Scale (WOC) Ways of Coping Scale (WOC) skala baku milik Folkman dan Lazarus (1986) memakai perbedaanProblem-Focused Coping danEmotional Focused Coping. Terdiri dari 66 item mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan tuntutan internal dan eksternal stres. Biasanya untuk pertemuan tertentu, seperti pengobatan medis atau pemeriksaan akademis, dipilih oleh peneliti sebagai fokus kuesioner. Dimana peneliti menggunakan pengukuran Ways of Coping Scale (WOC) karena Problem Focused Coping dan Emotional Focused Coping mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan mengelolafaktor internal dan eksternal dalam diri caregiver disaat menghadapi stres. 39 2.4Caregiver 2.4.1 Definisi Caregiver Caregiveradalah individu yang memberikan perawatan kepada orang lain yang sakit atau orang tidak mampu (Oyebade, 2003). Seorang caregiver bisa berasal dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan bayaran (Nadya, 2009). Caregiver keluarga di definisikan sebagai individu yang memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara bersungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Tantono, 2006). Caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuana kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009). 2.4.2 Jenis Caregiver Caregiver di bagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota kelurga, teman, atau tetangga) yang membeikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal adalah caregiver yang merupakan bagian system pelayanan, baik di bayar maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009). 2.4.3 Fungsi Caregiver Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono, 2006). Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien kanker sendiri adalah gangguan 40 dimana faktor psikis juga ikut berperan. Faktor psikis tersebut sudah menjadi beban mental kepada pasien (Adikusumo, 1999). Caregiver juga membantu pasien mengambil keputusan atau pada stadium akhir penyakitnya, justru caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya. Keluarga caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan di perlukan oleh pasien (Tantono, 2006). 2.4.4 Tugas Caregiver Caregiver berperan penting dalam perawatan di dalam rumah dan sering melakukan tugas perawatan yang kompleks termasuk penilaian dan pengelolaan gejala, perawatan kebersihan, dan pengadministrasian obat.Caregiver tidak hanya membantu dalam hal perawatan bersama penyedia jasa perawatan, tetapi juga menyediakan sebagian besar dukungan dalam rumah (Hoskins, Coleman, & Mc Neely, dalam Denise, 2010).Tugas caregiver digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu (Lubis, 2004): 1. Berdasarkan bentuk gangguan yang dialami pasien Setiap caregiver memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada pasiennya dikarenakan masing-masing pasien memiliki bentuk gangguan yang berbedabeda. Contohnya, individu yang mengalami gangguan pada fungsi fisik, mengetahui apa yang hendak ia lakukan, namun tidak mampu mengerjakannya tanpa bantuan caregiver. Bebeda dengan individu yang mengalami gangguan pada fungsi kongnitif. Ia mengalami kesulitan dalam menentukan cara untuk menyelesaikan pekerjaannya, sehingga membutuhkan seorang caregiver. 41 2. Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan caregiver Seorang caregiver menyediakan materi dapat yang melakukan beberapa tindakan, antara dapat memberikan pertolongan lain langsung, memberikan informasi atau saran tentang situasi dan kondisi pasien, memberikan rasa nyaman dan dihargai serta diperlukan, menghargai sikap positif individu dan memberikan semnagat dengan memberikan penilaian positif kepada pasien, serta membuat pasien merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang saling membutuhkan. 2.5 Kerangka Berpikir Penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan, hal inilah yang menjadikan seorangcaregiver bukanlah hal yang mudah, di tambah dengan adanya tanggung jawab baru dalam keluarga, yaitu menjaga dan merawat pasien. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan caregiver untuk dapat bertahan dalam menghadapi situasi sulit yang dihubungkan dengan resiliensi, menurut Siebert (2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk dapat bangkit kembali dalam menghadapi situasi yang dirasa sulit. Individu yang memiliki resiliensi yang tinggi tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya dalam menghadapi situasi stres dan dengan memiliki resiliensi yang tinggicaregiver mempunyai harapan dalam merawat pasien. Kanfer dan Ackerman (dalam Drach-Zahavy, 2002) menjelaskan bahwa adapun faktor yang mempengaruhi resiliensi caregiver adalah rasa ingin melindungi pasien yang terkena kanker (faktor protektif), atas dasar keinginan untuk melindungi inilah dapat dikaitkan dengan teori harapan merupakan suatu 42 sikap positif, yang mempengaruhi kognitif, emosi, dan motivasi yang berhubungan dengan masa depan. Dalam proses mengembangkan kapasistas bertahanuntuk menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional saat merawat pasien kanker,caregiver membutuhkan harapan dalam dirinya untuk melindungi pasien dari penyakit yang di derita. Sehingga harapan (hope)sangat berperan penting dalam diri caregiver saat memutuskan dirinya untuk menjadi seorang caregiver pasein kanker, seperti yang dikatakan Duflaut dan Martocchia(dalam Moseley, 2011)menjelaskan bahwa harapan(hope)memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan mengharapkan hasil yang positif, karena dengan mengharapkan hasil yang positif maka seseorang akan termotivasi untuk bertindak saat berada di situasi yang tidak pasti. Diharapkan dengan memiliki tujuan atau goal, caregiver dapat meningkatkan resiliensi dalam merawat pasienbahwa dengan memiliki tujuan untuk kesembuhan pasien, dan dengan adanya agency atau motivasi pada caregiver dapat memiliki komitmen untuk mencapai tujuan, serta pathway atau bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkandengan baik. Biasanya caregiver memiliki banyak harapan, namun ia sadar ia tidak mempunyai waktu dan tenaga yang cukup untuk memaksimalkan harapanharapan tersebut. Jika stres tidak diselesaikan dan berlarut-larut maka akan terjadinya kelelahan atau depresi, dalam hal ini depresi pada caregiver 43 mengesampingkan kebutuhan dan harapan pada dirinya sendiri dalam merawat pasien kanker. Pada penelitian ini sendiri, peneliti menempatkan diri pada pandangan yang melihat bahwa pemilihan coping yang tepat untuk dapat bertahan (resilien) yang dilakukan oleh caregiver dalam merawat pasien kanker. Hal ini disebabkan karena resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993), merupakan kekuatan dari dalam diri individu yang menggambarkan keberanian dam kemampuan untuk beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya, sementara coping didefinisikan sebagai cara pandang dan tingkah laku yang dilakukan untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Oleh karena itu, peneliti mengambil kesimpulan bahwa coping merupakan usaha ataupun tingkah laku yang diwujudkan untuk mengatasi tuntutan yang dirasa melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang, sementara resiliensi merupakan sesuatu yang lebih bersumber dari dalam diri seseorang. Secara umum, Grafton, Gillespie, dan Henderson (2010), menyatakan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang melakukan coping secara positif, bangkit dan berkembang setelah mengalami kesulitan dalam hidup. Resiliensi itu sendiri dilihat Taylor (2012) sebagai salah satu sumber coping internal yang dimiliki individu. Oleh karena itu menurut Taylor, resiliensi dapat merefleksikan perbedaan individual dalam melakukan coping terhadap situasi yang menimbulkan stres. Contohnya, terdapat pada individu caregiver pada merespon stresdengan cara yang berbeda-beda, dan 44 dengan menggunakan coping stres yang tepat akan menjadikan solusi untuk meminimalkan stres pada caregiver. Dalam menghadapi masalah yang sulit biasanya caregiver memilih untuk menggunakan dua jenis coping, yaitu problem focus coping,dan emotional focus coping. Dari delapan dimensi coping stress yang telah diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1986) akan terlihat dampaknya terhadap resiliensi caregiver. Adapun caregiver menggunakan confrontative coping akan memiliki sifat agresif dan berani dalam mengambil resiko, dan dalam penggunaan distancing pada caregiver cenderung lebih berusaha untuk tidak larut dalam masalah yang dihadapinya, serta menganggap masalah tidak seberat yang dibayangkan. Selain itu self-controlling yang ada pada diri caregiver akan menunjukan bahwa individu berusaha menguasai dan mengendalikan diri khususnya dalam menjaga perasaan dan tindakan, pada sekking sosial support juga caregiver berusaha mencari dukungan dari orang lain dengan tujuan untuk dapat meringgankan beban, accepting responsibility berarti caregiver bisa menerima tanggung jawab dalam merawat pasien kanker. Selanjutnya escape avoidance bahwa caregiver tidak akan lari dari kenyataan, planful problem solving dengan adanya usaha caregiver dalam merencanakan pemecahan masalah pada stress yang dialaminya, dan reaprasial positive dimana caregiver mengambil pelajaran dari stress yang di hadapinya.Dengan penggunaan coping yang tepat dapat meminimalisir stres pada caregiver, maka akan berpengaruh terhadap ketahanan (resilience)caregiver dalam merawat pasien kanker. 45 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Harapan Goals Agency Pathways Coping Stres Resiliensi Caregiver cancer Confrontive coping Distancing Self-controlling Seeking social support Accepting Escape-Avoidance Planful problem-solving Positive reapprasial 2.6 Hipotesis Penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor H1 :Ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker. 46 2.6.2 Hipotesis minor 1. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan yang berasal darigoal terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan yang berasal darigoal terhadap resiliensi caregiver kanker. 2. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan yang berasal dariagency terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapanyang berasal dariagencyterhadap resiliensicaregiver kanker. 3. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan berasal daripathwayterhadap resiliensi caregiver kanker. H0 : Tidak pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan berasal daripathway terhadap resiliensi caregiver kanker. 4. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres berasal dari confrontative coping terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres berasal dari confrontative coping terhadap resiliensi caregiver kanker. 5. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres distancing terhadap resiliensicaregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres distancing terhadap resiliensi caregiver kanker. 6. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresself controllingterhadap resiliensicaregiver kanker. 47 H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres self controllingterhadap resiliensicaregiver kanker. 7. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresseeking social support terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres seeking social supportterhadap resiliensicaregiver kanker. 8. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres accepting responsibility terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres accepting responsibility terhadap resiliensi caregiver kanker. 9. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres escape avoidance terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres escape avoidance terhadap resiliensi caregiver kanker. 10. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresplanful problem solving terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres planful problem solving terhadap resiliensi caregiver kanker. 11. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres reappraisal positive terhadap resiliensi caregiver kanker. H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres reappraisal positiveterhadap resiliensicaregiver kanker. 48 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang populasi, sampel dan teknik penelitian, variabel dan definsi operasional masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang digunakan. 3.1 Populasi dan sampel Dalam penelitian ini yang merupakan populasi adalahcaregiveryang membantu merawatpasien kanker, caregiver itu sendiri adalah anggota keluarga yang merawat pasien kanker dirumah, dan dimana pasien dirawat diRumah Sakit Jakarta dan Yayasan Kanker Indonesia. Dari populasi yang ada peneliti mengambil 165 sampel. Dalam penelitian ini, teknik yang akan digunakan adalah teknik non-probability sampling, di mana tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian (Kumar, 2005). Teknik non-probability sampling, yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental, yaitu peneliti memilih sampel berdasarkan ketersediaan dan kesediaan dari responden untuk mengisi kuesioner. 3.2 Variabel Penelitian Penelitian ini akan menguji pengaruh antara variabel bebas (independent variabel) terhadap variabel terikat (dependent variabel), dimana masing-masing variabel bebas dan terikat sebagai berikut : 49 1. Dependent variabel : Resiliensi Definisi operasional : Secara operasional definisi resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk, yang diukur dengan Resilience Scale (RS) dirancang Wagnild dan Young (1990), untuk mengukur ketahanan pada keperawatan, ada lima dimensi: ketenangan hati, ketekunan, kemandirian, kebermaknaan, dan eksistensial kesendirian. 2. Independent variabel: Harapan Definisi Operasional : Harapanmenurut Synder(2000), adalah kemampuan untuk merencanakan suatu cara atau jalur menuju tujuan (goal), dengan adanya motivasi untuk menggunakan cara atau jalur tersebut (agency), yang diharapkan meskipun menjumpai halangan atau rintangan (pathway)dapat mencapai tujuan. Hasil pengukuran dengan skala dimensi harapan pada caregiver kanker, yang diukur dengan skala goal,agency,dan pathway. 3. Independent variabel: Coping stres Definisi operasional : Coping stres adalah ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres, hasil pengukuran dengan skala dimensi coping stres pada caregiverkanker, yang di ukur dengan skala Lazarus & Folkman (1986) yang meliputi kemampuan memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah (confrontive coping), mengendalikan diri (self controlling),mencari dukungan sosial (seeking social 50 support), menerima tanggungjawab (accepting responsibility), menjaga jarak (distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif (positive reappraisal). 3.3 Instrumen Pengumpulan Data 3.3.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini yaitu: 1. Isian biodata subjek penelitian, yang berisi pertanyaan mengenai biodata responden, yaitu jenis kelamin caregiver, usia caregiver, jenis kanker yang diderita pasien, stadium pasien kanker, hubungan caregiver dengan pasien kanker, pendidikan terakhir caregiver, dan penghasilan caregiver perbulan. 2. Menggunakan skala. Penggunaan skala pada pengumpulan data didasarkan bahwa untuk mengungkapkan data seperti mengenai sikap terhadap sesuatu. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dengan empat alternatif jawaban. Pada penelitian ini peneliti menggunakan skala model Likert dengan menggunakan 4 pilihan jawaban yakni sebagai berikut: ï‚· Sangat Setuju (SS) ï‚· Setuju (S) ï‚· Tidak Setuju (TS) ï‚· Sangat Tidak Setuju (STS) Adapun perolehan skor dari item-item berdasarkan dari jawaban yang dipilih sesuai dengan jenis pernyataan yakni favorable atau unfavorable. Jika digambarkan dalam bentuk tabel, maka hasilnya sebagai berikut: 51 Tabel 3.1 Bobot Nilai Kategori Respon Favorabel Unfavorebel SS 4 1 S 3 2 TS 2 3 STS 1 4 3.3.2. Instrumen penelitian Pada penelitian ini digunakan modifikasiinstrument pengambilan data berupa (1) skala resiliensi,Resilience Scale (RS), (2) skala harapan, Herth Hope Index (HHI), (3) skala coping stres, Ways of Coping Scale (WOC). Skala yang digunakan adalah model Likert. Instrumen penelitian ini terdiri dari tiga skala, yaitu: a. Skala Resiliensi Table 3.2 Blue Print Skala Resiliensi No Aspek Indikator 1. 2. 3. 4. 5. Ketenangan hati Ketekunan Mampu melihat hal-hal positif Mampu menghadapi situasi sulit. Kemandirian Yakin pada diri sendiri Kebermaknaan Mampu memiliki tujuan Eksistensial Dapat kesendirian menghargai kemampuan yang dimilikinya Jumlah Item Favorebel Unfavorebel 4, 19 3, 15, 22 Jumlah 5 7, 9, 23 8, 18 5 5, 12, 14 11, 20 5 1, 6, 2, 16, 25 5 10, 17, 24 13, 21 5 13 12 25 52 b. Skala harapan Table 3.3 Blue Print Skala Harapan No. Aspek Indikator 1. 2. 3. Goals Mampu memiliki tujuan Agency Mampu menghadapi situasi sulit Pathway Yakin pada diri sendiri Jumlah Item Favorebel Unfavorebel 2, 12, 3, 11 Jumlah 4 4, 6, 5, 8, 4 1, 10 7, 9 4 6 6 12 c. Skala coping stres Tabel 3.4 Blue Print Skala Coping Stres No. Aspek Indikator 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Confrontative coping Distancing Self controlling Seeking social support Accepting responsibility Escapeavoidance Planful problem solving Reappraisal positive Mampu mengubah situasi Item Favorebel Unfavorebel 46, 7, 17, 28, 34, 6 Mampu menciptakan pandangan positif Mampu mengatur tindakan 44, 13, 41, 21, 15, 12 14, 43, 10, 35, 54, 63, 64 Mampu mencari dukungan 8, 31, 42, 45, 18, 22 Adanya peran diri sendiri 9, 29, 51, 25 Mampu menghindar dari masalah Dapat memecahkan masalah 58, 11, 59, 49, 26, 1, 33, 40, 50, 47, 16 39, 48, 52 Dapat menciptakan hal-hal positif 23, 30, 36, 38, 60, 56, 20 3.4 Uji Validitas Konstruk Sebelum melakukan analisis data, peneliti terlebih dahulu melakukan pengujian terhadap validitas konstruk yang digunakan. Untuk menguji validitas konstruk digunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) atau analisis faktor konfirmatori, 53 untuk melihat validitas konstruk setiap item serta menguji struktur faktor yang diturunkan secara teoritis. Uji validitasnya dengan menggunakan bantuan software Lisrel 8.8. Adapun logika dari CFA menurut Umar (2012) adalah sebagi berikut: 1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya. 2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat unidimensional. 3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma, kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empris, yang disebut dengan matriks S. 4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian di uji dengan chi square. Jika hasil chi square tidak signifikan (p>0,05), maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa item ataupun subtes instrument hanya mengukur satu faktor saja. Sedangkan, jika nilai chi square signifikan (p>0,05), artinya bahwa item tersebut mengukur lebih dari satu faktor bersifat multidimensional. Maka perlu dilakukan modifikasi terhadap model pengukuran. 54 5. Adapun dalam memodifikasi model pengukuran dilakukan dengan cara membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran. Hal ini terjadi ketika suatu item mengukur selain faktor yang hendak diukur. Setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi, maka akan diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya. 6. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-test. Jika hasil t-test tidak signifikan (t<1,96) maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di-drop dan sebaliknya. 7. Selain itu, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya negatif, maka item tersebut juga harus di-drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorabel). 8. Kemudian, apabila terdapat korelasi partial atau kesalahan pengukuran item terlalu banyak berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item yang lainnya, maka item tersebut akan di-drop. Sebab, item yang demikian selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain (multidimensi). Adapun asumsi di-drop atau tidaknya item adalah jika terdapat lebih dari tiga korelasi partial atau kesalahan pengukuran yang berkorelasi dengan item lainnya. 9. Terakhir, setelah dilakukan langkah-langkah seperti telah disebutkan diatas. Serta mendapatkan item dengan muatan faktor signifikan (t<1,96) dan positif. 55 Maka, selanjutnya item-item yang signifikan (t<1,96) dan positif tersebut akan diolah untuk nantinya didapatkan faktor skornya. Adapun hasil uji validitas konstruk dapat dilaporkan sebagai berikut: 3.4.1 Uji validitas Alat Ukur Resiliensi 1. Dimensi Ketenangan Hati Peneliti menguji apakah 5 item ketenangan hati bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur ketenangan hati. Hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 45.82, df = 5, Pvalue = 0.00000 , RMSEA = 0.223. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 6.90, df = 3, P-value = 0.07517, RMSEA = 0.089. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value>0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu ketenangan hati.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.1 dibawah ini: Gambar 3.1Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Ketenangan Hati 56 Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.5. Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Ketenangan Hati No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.41 0.08 2. Item2 1.15 0.10 3. Item3 0.68 0.08 4. 5. Item4 Item5 0.90 -0.22 0.10 0.08 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) Nilai t 5.28 11.77 8.14 Signifikansi V V V 9.11 -2.54 V X X = tidak signifikan Dari tabel 3.5, hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang tidak signifikan karena nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 2. Dimensi Ketekunan Peneliti menguji apakah 5 item ketekunan bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur ketekunan. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 70.79, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.283. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 1.51, df = 2, Pvalue = 0.47108, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu ketekunan.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan 57 pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.2 dibawah ini: Gambar 3.2 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Ketekunan Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6 berikut. Tabel 3.6 Muatan Faktor ItemKetekunan No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.76 0.11 2. 3. 4. 5. Item2 Item3 Item4 Item5 1.00 1.25 1.00 0.79 0.12 0.22 0.12 0.12 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) Nilai t 6.66 Signifikansi V 8.09 5.59 8.05 6.82 V V V V X = tidak signifikan Dari tabel 3.6 nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya negatif. 58 3. Dimensi Kemandirian Peneliti menguji apakah dari 5 item kemandirian bersifat unidimensional, artinya hanya mengukur kemandirian. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 29.74, df = 5, P-value = 0.00002, RMSEA = 0.174. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 7.33, df = 4, Pvalue = 0.11922, RMSEA = 0.071. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kemandirian.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.3 dibawah ini: Gambar 3.3Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Kemandirian Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut. 59 Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Kemandirian No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.66 0.07 2. Item2 0.82 0.07 3. 4. 5. Item3 Item4 Item5 0.87 0.56 0.14 0.07 0.08 0.08 Nilai t 8.78 12.00 Signifikansi V V 13.05 7.13 1.70 V V X Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.7hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 4. Dimensi Kebermaknaan Peneliti menguji apakah dari 5 item kebermaknaan bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kebermaknaan. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 32.47, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.183. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 7.51, df = 4, P-value = 0.11128, RMSEA = 0.073. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kebermaknaan.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.4 dibawah ini: 60 Gambar 3.4 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Kebermaknaan Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8 berikut. Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Kebermaknaan No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.53 0.08 2. 3. 4. 5. Item2 Item3 Item4 Item5 1.19 0.54 0.48 0.04 0.10 0.08 0.08 0.06 Nilai t 6.48 Signifikansi V 12.19 6.68 6.21 0.65 V V V X Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.8hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 5. Dimensi Eksistensial kesendirian Peneliti menguji apakah dari 5 item eksistensial kesendirian bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur eksistensial kesendirian. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 86.24, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.315. Oleh sebab itu, 61 penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 2.70, df = 2, P-value = 0.25871, RMSEA = 0.046. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu eksistensial kesendirian.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.5 dibawah ini: Gambar 3.5 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Eksistensial Kesendirian Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9 berikut. Tabel 3.9 Muatan Faktor ItemEksistensial Kesendirian No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1. Item1 0.49 0.08 6.48 Signifikansi V 2. 3. Item2 Item3 0.98 0.87 0.06 0.07 15.83 13.22 V V 4. 5. Item4 Item5 0.43 0.57 0.08 0.07 5.61 7.80 V V 62 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.9 nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya negatif. 3.4.2 Uji Validitas Alat Ukur Harapan 1. Dimensi Goals Peneliti menguji apakah dari 4 item goal bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur goal. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 11.25, df = 2, P-value = 0.00361, RMSEA = 0.168. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 0.98, df = 1, Pvalue = 0.32175, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu goal.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.6 dibawah ini: 63 Gambar 3.6 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Goals Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10 berikut. Tabel 3. 10 Muatan Faktor Item Goal No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.71 0.07 Nilai t 10.03 Signifikansi V 2. Item2 1.10 0.06 18.40 3. Item3 0.71 0.07 10.11 4. Item4 -0.04 0.10 -0.42 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan V V X Dari tabel 3.10, hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 4 yang tidak signifikan karena koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 2. DimensiAgency Peneliti menguji apakah dari 4 item agency bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur agency. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 4.69, df = 2, P-value = 0.09588, RMSEA = 0.091. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat 64 diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu agency.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.7 dibawah ini: Gambar 3.7Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Agency Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11 berikut. Tabel 3. 11 Muatan Faktor Item Agency No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.19 0.07 2. Item2 -0.30 0.09 Nilai t 2.79 -3.41 3. Item3 0.45 0.11 4.18 4. Item4 1.49 0.26 5.71 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V X V V Dari tabel 3.11hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 yang tidak signifikan karena koefisiennya negatif dan nilai t > 1,96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 65 3. Dimensi Pathway Peneliti menguji apakah dari 4 item pathway bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur pathway. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 6.36, df = 2, P-value = 0.04150, RMSEA = 0.115. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 0.09, df = 1, Pvalue = 0.76025, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu pathway.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.8 dibawah ini: Gambar 3.8 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Pathway Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12 berikut. 66 Tabel 3.12Muatan Faktor Item Pathway No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.40 0.14 2. Item2 0.28 0.13 Nilai t 2.80 2.20 3. Item3 0.67 0.22 3.13 4. Item4 0.33 0.12 2.62 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V V V V Dari tabel 3.12, nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya negatif. 3.4.3 Uji Validitas Alat Ukur Coping Stres 1. Dimensi Confrontative coping Peneliti menguji apakah dari 6 item confrontative coping bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur confrontative coping. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 14.27, df = 9, P-value = 0.11300, RMSEA = 0.060. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu confrontative coping.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.9 dibawah ini: 67 Gambar 3.9 AnalisisKonfirmatorik Dari Faktor Variabel Confrontative Coping Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13 berikut. Tabel 3.13Muatan Faktor Item Confrontative Coping No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.33 0.12 2. Item2 0.15 0.12 3. Item3 0.11 0.11 Nilai t 2.67 1.29 0.95 4. Item4 0.41 0.14 3.03 5. Item5 0.58 0.17 3.41 6. Item6 0.13 0.12 1.13 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V X X V V X Dari tabel 3.13hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2, 3 dan 6 yang tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 2. Dimensi Distancing Peneliti menguji apakah dari 6 item distancing bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur distancing. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 18.70, df = 9, P-value = 68 0.02787, RMSEA = 0.081. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 12.05, df = 8, P-value = 0.14900, RMSEA = 0.056. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu distancing.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.10 dibawah ini: Gambar 3.10 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Distancing Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.14 berikut. 69 Tabel 3.14Muatan Faktor Item Distancing No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 1.18 0.32 2. Item2 0.07 0.07 Nilai t 3.67 1.04 3. Item3 0.18 0.09 2.10 4. Item4 0.45 0.14 3.16 5. Item5 -0.14 0.08 -1.74 6. Item6 -0.12 0.07 -1.56 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V X V V X X Dari tabel 3.14hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 tidak signifikan karena nilai t > 1.96, item nomor 5 dan 6 yang tidak signifikan karena koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 3. Dimensi Self controlling Peneliti menguji apakah dari 7 item self controlling bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur self controlling. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 260.99, df = 14, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.328. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 3.84, df = 5, P-value = 0.57195, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu self controlling. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan 70 berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.11 dibawah ini: Gambar 3.11 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelSelf Controlling Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.15 berikut. Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Self Controlling No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 1.01 0.06 Nilai t 16.54 Signifikansi V 2. Item2 0.95 0.06 14.79 3. Item3 0.17 0.09 1.86 4. Item4 0.30 0.09 3.31 5. Item5 -0.42 0.08 -5.71 6. Item6 0.90 0.07 13.56 7. Item7 0.86 0.07 12.89 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan V X V X V V Dari tabel 3.15 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 tidak signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 5 nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 71 4. Dimensi Seeking social support Peneliti menguji apakah dari 6 item seeking social support bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur seeking social support. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 39.80, df = 9, P-value = 0.00001, RMSEA = 0.144. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 8.72, df = 7, P-value = 0.27345, RMSEA = 0.039. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu seeking social support.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.12 dibawah ini: Gambar 3.12 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelSeeking Social Support Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang 72 koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.16 berikut. Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Seeking Social Support No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1. Item1 0.70 0.15 4.67 2. Item2 1.43 0.23 6.11 3. Item3 0.05 0.11 0.50 4. Item4 0.54 0.13 3.99 5. Item5 -0.15 0.11 -1.35 6. Item6 -0.05 0.11 -0.45 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V V X V X X Dari tabel 3.16 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 3 tidak signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 5 dan 6 nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 5. Dimensi Accepting responsibility Peneliti menguji apakah dari 4 item accepting responsibility bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur accepting responsibility. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 5.35, df = 2, P-value = 0.06906, RMSEA = 0.101. Nilai ChiSquare menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu accepting responsibility.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.13 dibawah ini: 73 Gambar 3.13 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelAccepting Responsibility Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.17 berikut. Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Accepting Responsibility No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1. Item1 0.58 0.10 6.01 2. Item2 1.34 0.15 8.85 3. Item3 0.01 0.05 0.19 4. Item4 0.38 0.38 4.44 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V V X V Dari tabel 3.17 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 3 tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 6. Dimensi Escape-avoidance Peneliti menguji apakah dari 8 item escape-avoidance bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur escape-avoidance. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 81.41, df = 20, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.137. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada 74 beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 17.79, df = 5, P-value = 0.27390, RMSEA = 0.034. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu escape-avoidance.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.14 dibawah ini: Gambar 3.14 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelEscape-Avoidance Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.18 berikut. 75 Tabel 3.18 Muatan Faktor Item Escape Avoidance No. Item Koefisien Standar Error 1. Item1 0.22 0.11 2. Item2 -0.03 0.08 Nilai t 1.91 -0.45 3. Item3 0.26 0.07 3.53 4. Item4 0.40 0.08 5.19 5. Item5 -0.17 0.11 -1.48 6. Item6 0.38 0.08 4.83 7. Item7 0.99 0.11 8.69 8. Item8 0.58 0.09 6.72 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi X X V V X V V V Dari tabel 3.18hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 1 yang tidak signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 2 dan 5 nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 7. Dimensi Planful problem solving Peneliti menguji apakah dari 6 item planful problem solving bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur planful problem solving. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 43.51, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.153. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 5.01, df = 4, P-value = 0.28650, RMSEA = 0.039. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu planful problem solving.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran 76 pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.15 dibawah ini: Gambar 3.15 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariablePlanful Problem Solving Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.19 berikut. Tabel 3.19 Muatan Faktor Item Planful Problem Solving No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1. Item1 0.42 0.09 4.49 2. Item2 1.49 0.21 6.97 3. 4. 5. 6. Item3 Item4 Item5 Item6 0.37 0.10 -0.16 -0.11 0.09 0.05 0.06 0.06 4.19 2.11 -2.81 -2.04 Signifikansi V V V V X X Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.19hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor item nomor 5 dan 6 nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 77 8. Dimensi Reappraisal positive Peneliti menguji apakah dari 7 item reappraisal positive bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur reappraisal positive. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 96.40, df = 14, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.189. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 15.69, df = 11, P-value = 0.15318, RMSEA = 0.051. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu reappraisal positive.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.16 dibawah ini: Gambar 3.16 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Reappraisal Positive Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang 78 koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.20 berikut. Tabel 3.20 Muatan Faktor Item Reappraisal Positive No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1. Item1 0.62 0.12 5.00 2. Item2 0.98 0.14 6.77 3. Item3 0.83 0.14 6.02 4. Item4 -0.12 0.12 -0.99 5. Item5 -0.12 0.19 -0.61 6. Item6 0.57 0.12 4.64 7. Item7 -0.27 0.12 -2.22 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Signifikansi V V V X X V X Dari tabel 3.21 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 4, 5 dan 7 yang tidak signifikan karena nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan. 3.5 Metode analisis data Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai pengaruh harapan dan coping stres dengan resiliensi pada caregiver kanker, maka penulis menggunakan teknik Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Analisis regresi adalah Y’ = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + b11X11 suatu analisis yang mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel terkait. Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan sistem perhitungan SPSS versi 18. 79 Dengan penjelasan sebagai berikut: Y = Resiliensi a = Intercept (konstan) b = koefisien regresi X1 = goals X2 = agency X3 = pathway X4 = confrontative coping X5 = escape-avoidance X6 = reappraisal positive X7 = accepting responsibility X8 = seeking social support X9 = self controlling X10 = distancing X11 = planful problem solving Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi berganda antara resiliensi (DV) terhadap goals, agency, pathway, confrontative coping, escape-avoidance, reappraisal positive, accepting responsibility, seeking social supportself controlling, distancing, planful problem solving(IV). Besarnya resiliensi yang disebabkan faktor-faktor yang telah disebutkan ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R². R² menunjukkan variasi atau perubahan variabel terikat (Y) disebabkan variabel bebas (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians yang dijelaskan oleh goals, agency, pathway, confrontative coping, escape-avoidance, reappraisal positive, accepting responsibility, seeking social support, self controlling, distancing , planful problem solving. Selanjutnya R² dapat diuji 80 signifikasinya seperti uji signifikansi pada F test biasa. Selain itu juga, uji signifikansi bisa juga dilakukan dengan tujuan melihat apakah pengaruh IV terhadap DV signifikan atau tidak. Pembagi disini adalah R² itu sendiri dengan dfnya yaitu sejumlah IV yang dianalisis sedangkan penyebutan (I-R²) dibagi dengan df-nya (N-k-1) di mana N adalah total sampel. Untuk df dari pembagi sebagai numerator sedangkan df penyebut sebagai denumator. 3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Tahap Penelitian Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam pengumpulan data yaitu sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Tahap ini diawali dengan memilih problematika dan judul penelitian. Selanjutnya menyusun proposal penelitian, termasuk di dalamnya menentukan rumusan dan batasan masalah, menentukan variabel yang terdiri dari dependent variable yaitu resiliensi dan independent variable yaitu harapan dan coping stres. Kemudian penulis melakukan kajian teori mengenai gambaran, dan penjelasan yang tepat mengenai variabel yang akan diteliti, merumuskan hipotesis penelitian, menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan, yaitu skala resiliensi (RS), skala harapan (HHI), skala coping stres (WOC). 2. Tahap pengambilan data Pada tahap ini penulis menentukan sampel penelitian, dimana sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien kanker yang merawat pasien secara 81 berkesinambungan baik di rumah ataupun mendampingi di rumah sakit. Dengan memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta responden untuk mengisi skala penelitian, kemudian penulis melakukan pengambilan data dengan memberikan alat ukur yang telah disiapkan baik secara langsung kepada responden atau lewat internet. Adapun responden yang terkumpul sebanyak 165 responden dari 170 responden yang diberikan angket sedangkan lima responden lainnya tidak kembali pada penulis yaitu 3,1% dari jumlah responden yang diharapkan. 3. Tahap pengolahan data Setelah data terkumpul, penulis melakukan pengolahan data dari hasil instrumen penelitian yang telah diisi oleh responden.Kemudian penulis melakukan penilaian dari hasil jawaban responden pada skala resiliensi, skala harapan, skala coping stres. Selanjutnya, penulis melakukan analisa data dengan menggunakan Lisrel dan SPSS untuk menguji hipotesis dan regresi antar variabel penelitian. 82 BAB IV HASIL PENELITIAN Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel, grafik, gambar, dan diagram. 4.1 Gambaran Subyek Penelitian Responden dalam penelitian ini yaitu caregiver keluarga pasien kanker. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran berdasarkan demografi yaitu, jenis kelamin, usia, jenis kanker, stadium, hubungan caregiver dengan pasien kanker, pendidikan terakhir caregiver, dan penghasilan perbulan caregiver: Tabel 4.1 DistribusiResponden Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Usia Gambaran subjek Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 68 41.2% Perempuan 97 58.8% Total 165 100% Usia Remaja (10-18) 39 23.6% Dewasa Awal (19-31) 54 32.7% Dewasa (32-45) 72 43.7% Total 165 100% Berdasarkan tabel 4.1 diatas, terlihat bahwa lebih dari separuh responden penelitian berjenis kelamin laki-laki sebanyak 68 orang (41.2%) dan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 97 orang (58.8%).Dari usia caregiver terlihat bahwa remaja sebanyak 39 orang (23.6%), dewasa awal sebanyak 54 orang (32.7%), dewasa sebanyak 72 orang (43.7%). 83 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kanker Dan Stadium Kanker Gambaran subjek Jenis kanker Getah bening Hati Kulit Pangkreas Payudara Sel darah putih Servics Tulang Total Stadium pasien kanker Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV Total Frekuensi Persentase (%) 38 3 9 27 52 6 14 16 165 23.0% 1.8% 5.5% 16.4% 31.5% 3.6% 8.5% 9.7% 100% 21 32 63 49 165 12.7% 19.4% 38.2% 29.7% 100% Dari tabel 4.2 jenis kanker, terlihat caregiver memiliki pasien kanker payudaralah yang terbanyak yaitu52 orang (31.5%). Disusul oleh kanker getah bening 38 orang (23.0%), kanker pangkreas 27 orang (16.4%), kanker tulang 16 orang (9.7%), kanker servics 14 orang (8.5%), kanker kulit 9 orang (5.5%), kanker sel darah putih 6 orang (3.6%), dan kanker hati3 orang (1.8%). Dari segi stadium pasien kanker, terlihat bahwa pasien yang tertinggi adalah stadium III sebanyak 63 orang (38.2%), stadium IV sebanyak 49 orang (29.7%), dan stadium II sebanyak 32 orang (19.4%), stadium I sebanyak 21 orang (12.7%). 84 Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Dengan Pasien, Pendidikan Akhir Caregiver Dan Penghasilan Careiver Perbulan Gambaran subjek Frekuensi Persentase (%) Hubungan dengan pasien kanker Orang Tua 48 29.1% Pasangan 56 33.9% Saudara 34 20.6% Keluarga Lain 27 16.4% Total 165 100% Pendidikan akhir caregiver Sekolah Dasar (SD) 27 16.4% Sekolah Menengah Pertama (SMP) 58 35.1% Sekolah Menengah Atas (SMA) 49 29.7% Strata 1 (S1) 31 18.8% Total 165 100% Penghasilan caregiver perbulan >Rp. 1.000.000,46 27.9% Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,63 38.2% Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,32 19.4% <Rp. 2.000.000 24 14.5% Total 165 100% Dari tabel 4.3 segi hubungan antara caregiver dan pasien kanker, terlihat bahwa hubungan caregiver dan pasien yang tertinggi adalah sebagai pasangan 56 orang (33.9%), selanjutnya adalah sebagai orang tua 48 orang (29.1%), sebagai saudara 34 orang (20.6%), sebagai keluarga lain 27 orang (16.4%). Dari segi pendidikan, terlihat bahwa pendidikan caregiver yang paling tinggi adalah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 58 orang (35.2%), Sekolah Mengengah Atas (SMA) sebanyak 49 orang (29.7%), Strata 1 (S1) dan sebanyak 31 orang (18.8%), dan Sekolah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 27 orang (16.4%). Dari segi penghasilan terlihat bahwa penghasilan caregiver yang paling tinggi adalah Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,- sebanyak 63 orang (38.2%), selanjutnya adalah > Rp. 1.000.000,- sebanyak 46 orang (27.9%), sedangkan Rp. 85 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,- sebanyak 32 orang (19.4%), dan < Rp. 2.000.000 sebanyak 24 orang (14.5%). 4.2 Deskripsi Hasil Penelitian Peneliti membagi klasifikasi skor resiliensi, penerimaan harapan dan coping stres pada caregiver, dibagi menjadi dua interval dengan kategorisasi tinggi dan rendah. Untuk mengkategorisasikannya peneliti terlebih dahulu menghitung mean, standar deviasi (SD), nilai maksimum dan minimum dari masing-masing variabel. Nilai tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.4 berikut: Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean St. Deviation Resiliensi 165 26,62 80,76 50,0000 10,00000 Goals 165 15,97 81,16 50,0000 8,55127 Agency/willpower 165 15,40 78,61 50,0000 10,00000 Pathways/waypower 165 11,20 88,83 50,0000 10,00000 Confrontative coping 165 13,11 73,67 50,0000 10,00000 Distancing 165 33,47 74,30 50,0000 10,00000 Self controlling 165 29,73 79,05 50,0000 10,00000 Seeking social support 165 11,53 76,50 50,0000 10,00000 Accepting responsibility 165 18,56 87,71 50,0000 10,00000 Escape-avoidance 165 24,23 90,62 50,0000 10,00000 Planful problem solving 165 2,61 100,88 50,0000 10,00000 Reapprasial positive 165 14,23 89,14 50,0000 10,00000 Valid N (listwise) 165 Berdasarkan tabel diatas, data yang didapat dengan sampel berjumlah 165 orang untuk skor terendah skala resiliensi adalah 26.62, skor tertinggi adalah 80.76 dengan skor rata-rata sebesar 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor goals terendah adalah 15.97, skor tertinggi adalah 81.16 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 8.55127. Skor agency terendah adalah 15.40, skor tertinggi adalah 78.61 dengan skor rata-rata 50.0000 dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor pathways terendah adalah 11.20, skor 86 tertinggi adalah 88.83 dengan skor rata-rata 50.00000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor confrontative terendah adalah 13.11, skor tertinggi adalah 73.67 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor distancing terendah adalah 33.47, skor tertinggi adalah 74.30 dengan skor ratarata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor self controlling terendah adalah 29.73, skor tertinggi adalah 79.05 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor seeking social support terendah adalah 11.53 skor tertinggi adalah 76.50 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor accepting responsibility terendah adalah 18.56, skor tertinggi adalah 87.71 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor escape-avoidance terendah adalah 24.23, skor tertinggi adalah 90.62 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor planful problem solving terendah adalah 2.61, skor tertinggi adalah 100.88 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor reaapraisal positive terendah adalah 14.23, skor tertinggi adalah 89.14 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Nilai rentangan terbesar (nilai maximum-minimum) terdapat pada variabel planful problem solving, yaitu sebesar 100.88. Hal ini berarti planful problem solving merupakan variabel yang paling heterogen diantara variabel-variabel yang lainnya. Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari norma skor, maka dapat ditetapkan norma seperti yang tertera pada tabel 4.3. 87 4.2.1 Analisis deskriptif Pada penelitian ini, peneliti membagi klasifikasi skor resiliensi,goal, agency, pathway,confrontative coping, distancing, self controlling, seeking social support,accepting responsibility, escape-avoidance,planful problem solving, reappraisal positive menjadi dua skor, yaitu skor rendah,dan tinggi. Duaskor diperoleh dengan menggunakan standart deviasi dan mean dari skala t dengan persamaan sebagai berikut. Tabel 4.5 Kategorisasi skor Variabel Kategori Norma Tinggi X ≥ Mean Rendah X < Mean Setelah kategori tersebut didapatkan, Setelah kategori tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase kategorisasi untuk resiliensi, harapan, dan coping stres sebagai berikut. 4.3 Kategorisasi Deskriptif Variabel 4.3.1 Kategorisasi skor resiliensi Adapun untuk kategorisasi skor resiliensi pada 165 orang dapat digambarkan pada table 4.5 berikut. Tabel 4.6 Distribusi Skor Resiliensi Kategorisasi Frekuensi Tinggi 79 Rendah 86 Total 165 Persentasi 47.9% 52.1% 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor resiliensi yang tinggi sebanyak 79 orang (47.9%) dan 86 orang (52.1%) yang memiliki skor resiliensi yang rendah. 88 4.3.2 Kategorisasi skor sumber harapan Adapun untuk kategorisasi skor harapan pada 165 orang dapat digambarkan pada table 4.6 Tabel 4.7 Distribusi Skor Harapan Kategorisasi Frekuensi Persentasi Tinggi 58 35.2% Rendah 107 64.8% Total 165 100% Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor harapan yang tinggi sebanyak 58 orang (35.2%) dan 107 orang (64.8%) yang memiliki skor harapan yang rendah. 4.3.3 Kategorisasi skor coping stres Adapun untuk kategorisasi skor coping stres pada 165 orang dapat digambarkan pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Distribusi Skor Coping Stres Variabel Kategorisasi Tinggi confrontative coping Rendah Total Tinggi Distancing Rendah Total Tinggi Self controlling Rendah Total Tinggi Seeking sosial support Rendah Total Tinggi Accepting responsibility Rendah Total Tinggi Escape-avoidance Rendah Total Tinggi Planful problem solving Rendah Total Tinggi Reappraisal positive Rendah Total Frekuensi 85 80 165 68 97 165 34 131 165 20 145 165 25 140 165 84 81 165 150 15 165 27 138 165 Persentasi 51.5% 48.5% 100% 58.8% 41.2% 100% 20.6% 79.4% 100% 12.1% 87.9% 100% 15.2% 84.4% 100% 50.9% 49.1% 100% 90.9% 9.1% 100% 16.4% 83.6% 100% 89 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor planful problem solving yang tinggi sebanyak 150 orang (90.9%) dan 145 orang (87.9%) yang memiliki skor seeking sosial support yang rendah. 4.4 Uji Hipotesis Penelitian 4.4.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 18. Seperti yang sudah disebutkan pada bab 3, dalam regresi ada 3 hal yang dilihat yaitu, melihat apakah IV berpengaruh signifikan terhadap DV, kedua melihat besaran R-Square untuk mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masingmasing IV. Langkah pertama, peneliti menganalisis dampak dari seluruh variabel independen terhadap resiliensi. Untuk R-Square pada tabel tabel 4.9 berikut. Tabel 4.9 R Square Model Summary Model R 1 ,561a R Square ,315 Adjusted R Square ,266 Std. Error of the Estimate 8,556821 Change Statistics F Change 6,399 Sig.F Change ,000 Predictors: (Constant), distancing, confrontative coping, self controlling, escapeavoidance, agency, seeking social support, planful problem solving, pathway, accepting responsibility, goal, reappraisal positive. Dari tabel 4.9 diatas dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar 0.315 atau 31.5%. Artinya proporsi varians dari resiliensi yang dijelaskan oleh semua variabel independen adalah sebesar 31.5%, sedangkan 68.5% sisanya 90 dipengaruhi variabel lain diluar penelitian ini. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada 4.10. Tabel 4.10 Tabel Anova Model Sum of Squares 1 Regression 5167,632 Residual Total 11232,368 16400,000 ANOVAb Df Mean Square 11 469,785 153 164 F 6,399 Sig. ,000a 73,414 a. Predictors: (Constant),reappraisal positive,confrontative coping,distancing, escape-avoidance,self controlling, agency,seeking social support, planful problem solving, pathways, accepting responsibility, goal. b. Dependent Variable: resiliensi Jika melihat kolom signifikan (p<0,05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh independen variabel terhadap resiliensi pada caregiver kanker ditolak. Sedangkan yang diterima adalah hipotesis penelitian. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari goal, pathway, agency,distancing, confrontative coping, escape-avoidance, self controlling, planful problem solving, accepting responsibility, seeking social support, reappraisal positive terhadap resiliensi caregiver kanker. Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap variabel indepeden pada tabel 4.11. 91 Tabel 4.11 Tabel Koefisien Regresi Coefficientsa Model 1 (Constant) Goals Agency Pathways Confrontative Distancing Selfcontrolling seeking social support Acceptingresponsibility Escapeavoidance Planfulproblemsolving Reapprasial positive Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 30,070 6,929 -1,886 ,378 -1,613 ,188 ,099 ,188 ,277 ,187 ,277 -,110 ,069 -,110 ,120 ,077 ,120 ,197 ,077 ,197 -,174 ,156 -,174 -,179 ,268 -,179 ,227 ,079 ,227 ,277 ,147 ,277 1,461 ,331 1,461 T 4,340 -4,991 1,891 1,485 -1,585 1,557 2,546 -1,110 -,667 2,861 1,890 4,414 Sig. ,000 ,000* ,060 ,140 ,115 ,122 ,012* ,269 ,506 ,005* ,061 ,000* a. Dependent Variable: Resiliensi Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 4.10 Tabel koefisien IV dapat disampaikan bahwa persamaan regresi adalah sebagai berikut: Keterangan: Tanda (*) menunjukkan variabel signifikan Resiliensi = 30.070 – 1,886goal* + 0.188 agency + 0.277 pathway – 0.110confrontative + 0.120distancing + 0.197self controlling* – 0.174seeking social support - 0.197accepting responsibility + 0.227escape avoidance* + 0.277 planful problem solving + 1.461reappraisal positive*. Dari Tabel 4.10 di atas, untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, cukup melihat pada nilai signifikan pada kolom ke-6. Jika signifikan <0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan juga pengaruhnya terhadap resiliensi, begitu pula sebaliknya. Dari hasil tabel di atas, terdapat tujuh IV yang signifikan terhadap resiliensi yaitu goal, self controlling, escape-avoidance, escape avoidance, reappraisal positive. Adapun penjelasan 92 dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1. Dimensi Goal: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar – 1.886 dan signifikan sebesar 0.000, yang berarti bahwa dimensi goalberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. Artinya, semakin tinggi goal, maka semakin rendah resiliensi caregiver kanker. 2. Dimensi Agency: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.188dan signifikan sebesar 0.060, yang berarti bahwa dimensi agencytidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 3. Dimensi Pathway: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.277dan signifikan sebesar 0.140, yang berarti bahwa dimensi pathwaytidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 4. Dimensi Confrontative coping: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar – 0.110 dan signifikan sebesar 0.115, yang berarti bahwa dimensi confrontative copingtidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 5. Dimensi Distancing: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.120 dan signifikan sebesar 0.122, yang berarti bahwa dimensi distancing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 6. Dimensi Self controlling: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.197 dan signifikan sebesar 0.012, yang berarti bahwa dimensi self controllingberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 93 Artinya semakin tinggi self controlling, maka semakin tinggi resiliensi caregiver kanker. 7. Dimensi Seeking social support: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar – 0.174 dan signifikan sebesar 0.269, yang berarti bahwa dimensi seeking social supporttidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 8. Dimensi Accepting responsibility: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.179 dan signifikan sebesar 0.506, yang berarti bahwa dimensi accepting responsibilitytidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 9. Dimensi Escape-avoidance: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.227 dan signifikan sebesar 0.005, yang berarti bahwa dimensi escape- avoidanceberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. Artinya semakin tinggi escape-avoidance, maka semakin tinggi resiliensi caregiverkanker. 10. Dimensi Planful problem solving: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.277 dan signifikan sebesar 0.061, yang berarti bahwa dimensi planful problem solving tidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. 11. Dimensi Reappraisal positive: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 1.461 dan signifikan sebesar 0.000, yang berarti bahwa dimensi reappraisal positiveberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. Artinya semakin tinggi reappraisal positive, maka semakin tinggi resiliensi caregiverkanker. 94 4.4.2 Proporsi varians masing-masing independent variable Peneliti ingin mengetahui sumbangan atau kontribusi dari masing-masing independent variable terhadap dependent variable. Besarnya sumbangan masingmasing IV yaitu goal, agency, pathway,confrontative coping, distancing, self controlling, seeking social support, accepting responsibility, escape- avoidance,planful problem solving, reappraisal positive terhadap DV yaitu resiliensi dapat dilihat pada tabel 4.12. Tabel 4.12 Proporsi Varians Masing-masing Independent Variabel Model Summary Model R R square R square Sumbangan F change change 1 ,242a ,059 ,059 5.9% 10,175 2 ,253b ,064 ,005 0.5% ,904 c 3 ,271 ,074 ,010 1.0% 1,665 4 ,300d ,090 ,016 1.6% 2,871 5 ,357e ,127 ,037 3.7% 6,815 f 6 ,401 ,161 ,034 3.4% 6,385 7 ,402g ,162 ,000 0% ,059 h 8 ,439 ,193 ,031 3.1% 5,997 9 ,470i ,221 ,029 2.9% 5,730 j 10 ,477 ,228 ,007 0.7% 1,309 11 ,561k ,315 ,087 8.7% 19,480 Sig.change ,002* ,343 ,199 ,092 ,010* ,012* ,809 ,015* ,018* ,254 ,000* *signifikan a. Predictors: (Constant), goal b. Predictors: (Constant), goal, agency c. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway d. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative e. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing f. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing, selfcontrolling g. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing, selfcontrolling,seeking social support. h. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing, selfcontrolling, seeking social support, accepting responsibility i. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency, seeking social support, pathway, goal, escapeavoidance. j. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency,seeking social support, pathway, goal, escapeavoidance, planful problemsolving. k. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency, seeking social support, pathway, goal, escapeavoidance, planful problem solving,reaprasial positive. 95 1. Variabel goal memberikan sumbangan sebesar 5.9% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.02. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig < 0.05). 2. Variabel agency teman memberikan sumbangan sebesar 0.5% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 3.34. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik (sig < 0.05). 3. Variabel pathway memberikan sumbangan sebesar 1.0% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 1.99. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik (sig < 0.05). 4. Variabel confrontative coping memberikan sumbangan sebesar 1.6% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.92. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik (sig < 0.05). 5. Variabel distancing memberikan sumbangan sebesar 3.7% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.10. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig < 0.05). 6. Variabel self controlling memberikan sumbangan sebesar 3.4% dalam resiliensi dengan F sig.change = 0.12. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig < 0.05). 7. Variabel seeking social supportmemberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 8.09. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik (sig < 0.05). 96 8. Variabel accepting responsibility memberikan sumbangan sebesar 3.1% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.15. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig <0.05). 9. Variabel escape-avoidance memberikan sumbangan sebesar 2.9% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.18. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig <0.05). 10. Variabel planful problem solving memberikan sumbangan sebesar 0.7% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 2.54. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik (sig <0.05). 11. Variabel reappraisal positive memberikan sumbangan sebesar 8.7% dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.00. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik (sig <0.05). 97 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan tentang uraian hasil penelitian, diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang berisi analisis hasil penelitian, dan saran memuat saran teoritis dan saran praktis. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:“Ada pengaruh yang signifikan dari harapan dan coping stres terhadap resiliensicaregiver kanker”. Hal tersebut ditunjukan dari hasil uji F yang menguji seluruh independent variabel terhadap dependent variabel. Setelah melakukan uji hipotesis dari masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variabel, maka terdapat enam dimensi yang berpengaruh pada resiliensicaregiver kanker, variabel tersebut antara lain dari dimensi sumber harapan yaitu goalsedangkan dari dimensi copingstres yakni distancing, selfcontrolling, accepting responsibility, escape-avoidance, dan reaprasial positive. 5.2 Diskusi Dari hasil penelitian dan pengujian hipotesis, didapatkan bahwa secara keseluruhan ada pengaruh yang signifikan diantara dimensi-dimensi penerimaan harapan dan coping stresterhadap resiliensicaregiverkanker. Penulis mendiskusikan hasil pengujian hipotesis lebih lanjut pada uraian berikut. Variabel pertama yang penulis uraikan adalah harapan. Collins (2006) bahwa harapan berpengaruh terhadap resiliensi. Hal tersebut dikarenakan harapan secara konseptual berkaitan dengan goal dan memiliki hubungan terhadap 98 kepercayaan diri dan kemampuan untuk bergerak mencapai tujuan. Seseorang yang memiliki harapan yang besar kecenderungan memiliki resiliensi yang tinggi. Seperti yang dikatakan oleh (Lopez, Snyder, & Pedrotti, dalam Chakraborty, 2007),denganadanya harapancaregiver dapat menjadi resiliensi dipengaruhi olehpenyesuaian emosional. Harapan ditandai dengan munculnya kepercayaan diri untuk mencapai masa depan yang baik. Jika dilihat per dimensi dari sumber harapan, dimensi goal yang kuat akan memperkuat motivasi dalam diri caregiversendiri untuk mencapai tujuan dari perawatan pasien sehingga akan berpengaruh secara signifikan pada tingginya resilien selama masa perawatan. Untuk harapan, dari dimensi agency adalah semakin besar motivasi yang dimiliki caregiver untuk mencapai tujuan adanya ketahanan dalam merawat pasien dan pathwayadalah setiap rintangan pasti ada jalan keluar untuk mencapai tujuan caregiverhasilnya yang mempengaruhi resiliensi padacaregiver kanker. Selain hal tersebut, agency dan pathway yang mereka dapatkan dari goal sudah cukup dapat mempengaruhi resiliensicaregiver kanker. Namun intinya bahwa ada harapan yang akan cukup berpengaruh terhadap ketahanan caregiveruntuk kesehatan pasien kanker. Tetapi hal ini sejalan dengan yang dikatakan peneliti sebelumnya bahwa perlu ada usaha melibatkancaregiverdalam bentuk kemampuan untuk menghasilkan rencana, mencapai tujuan (goal), tetap saling berhubungan, dan menjaga pikiran positif dalam merawat pasien (Bryant, & Cvengros, dalam Chakraborty, 2007). Jadi menurut peneliti seorang caregiver membuat rencana terlebih dahulu, untuk mendapatkan hasil atau tujuan yang akan 99 dicapai dan selalu berpikir positif. Caregiver yang resilien adalah ketika seseorang caregiver tidak pernah menyesal, tidak pernah kehilangan harapan saat merawat pasien dan menerima kegagalan sebagai bagian dari kesuksesan. Hasil pengujian hipotesis yang kedua pada uraian berikutnya adalah variabel copingstres. Secara keseluruhan variabel yang ada dapat dikatakan berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi padacaregiver kanker dan hasil penelitian ini sesuai dengan konsep bahwa adanya distancing, confrontative coping, escape-avoidance, self controlling, planful problem solving, accepting responsibility, seeking social support,positive reappraisal atau copingstresdapat meningkatkan resiliensi caregiverdalam merawat pasienkanker. Menurut Grafton, Gillespie, dan Henderson (2010), resiliensi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang melakukan coping secara efektif, bangkit, dan berkembang setelah mengalami kesulitan dalam hidup. Resiliensi juga dilihat Taylor (2012) sebagai salah satu sumber coping internal yang dimiliki individu. Pada penelitian terhadap caregiver kanker Fuller dan Leppert (2007), menemukan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada psikologis terhadap kualitas hidup, manajemen stres dan coping pada caregiver. Penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara copingdengan resiliensi caregiver kanker. Variabel coping stres yang pertama adalah dimensi distancing. Distancingberpengaruh secara signifikan karena responden caregivermencoba untuk membuat jarak dari situasi adalahsifatmemotivasipertahananyangdidorongdengan stres. Distancing perkembangankognitif. 100 Distancingdipandang sebagaiekstensi yang otomatis dariupayauntuk melakukan bela diri terhadapancaman. Folkman dan Lazarus (1986) berspekulasi bahwa distancing adalah upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri dari masalah caregiver dengan meminimalkan pentingnya situasi dan menciptakan pandangan positif. Menurut peneliti sendiri kebanyakan dari caregiver mencoba untuk mencari aktivitas lain agar tidak berada dalam situasi stres. Keadaan stres akan mempengaruhi ketahanan mereka, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kualitas perawatan.Selain itu menurut peneliti, proses coping ini ditujukan untuk mengatur perasaan caregiver, dengan cara pergi seolah-olah tidak ada yang terjadi atau mencoba untuk melupakan semua masalah yang terjadi, ditandai dengan adanya dorongan untuk melepaskan diri dari permasalahan seakan-akan tidak terjadi sesuatu atau berusaha membuat pandangan-pandangan positif seperti menganggap masalah sebagai lelucon. Kemudian dimensi yang kedua adalah self controlling. Self controlling merupakan cara coping padacaregiver untuk mengontrol diri dengan baik yang akan meningkatkan resiliensi seseorang. Folkman dan Lazarus (1986) mengatakan self controlling dilakukan untuk mengatur perasaan seseorang, mencoba untuk menjaga perasaan sendiri dan mencoba untuk tidak bertindak terlalu cepat.Menurut peneliti caregiver bisa mengendalikan dirinya dengan mengontrol emosi dalam merawat pasien dengan lebih sabar dan meningkatkan hubungan sosialnya, meminimalisir beban perawatan dan mengetahui cara menanggulangi situasi stres. Ditandai dengan adanya dorongan untuk mengatur perasaan caregiver dalam merawat pasien kanker. 101 Pengujian terhadap dimensi accepting responsibility juga menunjukkan hasil yang signifikan dikarenakan sebagian besar caregivermenerima tanggung jawabnya sebagai perawat dari keluarga yang sakit. Caregiversebagai individu yang dapat menerima kenyataan akan adanya situasi yang menyebabkan stres dan dapatmencari informasi tentang menanggung tugas-tugas yang dibutuhkan pasien. Selain itu, perawatan harus diseimbangkan dengan peran yang sudah menjadi tanggung jawab-nya. Dapat dikatakan juga bahwa acceptingadalah pengakuan diri terhadap peranan seseorang dalam suatu masalah dengan tujuan untuk menempatkan suatu hal secara benar (Folkman & Lazarus, 1986). Menurut peneliti caregiver dapat menyadari dan menerima kenyataan yang sedang terjadi pada dirinya atau masalah pada diri sendiri dan langsung dapat meminta maaf atau bisa mengatasi dengan melakukan sesuatu untuk membuat keadaan lebih baik. Ditandai dengan menyadari atau caregiver bertanggungjawab atas peran diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya saat merawat pasien kanker dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Dimensi copingstres escapeavoidance mempengaruhi resiliensi pada caregiver dengan memberikan gambaran angan-angan dan perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah (Folkman & Lazarus, 1986). Dengan caregiver mempunyai harapan bahwa situasi akan menjadi lebih baik maka akan berakhir dengan baik. Caregiver mencoba untuk memikirkan masalah dari sudut pandang yang diinginkan atau berusaha mendorong dirinya untuk menghindar dari situasi yang menekan. 102 Reappraisal positivememiliki pengaruh signifikan, terlihat dari banyaknya jawaban responden, mengenai adanya hikmah di balik sakitnya si pasien. Tak jarang mereka memunculkan atau mengingat hal yang positif guna menghadapi situasi stres. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Folkman dan Lazarus (1986), bahwa penilaian positif adalah salah satu bentuk copingstres yang penggunaannya dikaitkan denganmood positif, bersama dengansuasanalatar belakangdepresi kronis (situasi stress). Reappraisalpositiveuga dipandang sebagai jeniscoping yang berpusat pada emosi,bertujuan untuk mengelolaemosi dan bukan berhubungan dengan stressor, artinya menafsirkan situasi stres secara positifuntuk pertumbuhan pribadi yang lebih baik. Dengan caregiver berubah atau tumbuh menjadi seorang yang lebih baik dan mempunyai banyak ide untuk melakukan sesuatu yang kreatif maka tanggung jawab merawat pasien akan dijalani dengan lebih efektif. Ditandai dengan dorongan untuk mencari makna positif dari pengalaman yang dialaminya dengan fokus pada pengembangan diri. Dari hasil penelitian ini untuk dimensicopingstres yang tidak signifikan adalah dimensi planfull problem solving. Dimensi inimenggambarkan upaya yang disengaja terhadap fokus untuk mengubah situasi dalam memecahkan masalah (Folkman & Lazarus, 1986). Dalam penelitian ini, pengujian terhadap planful problem solving tidak memiliki hasil signifikan. Ini bisa jadi disebabkan belum adanya rencana dari caregiver mengenai apa yang akan dilakukan untuk menghadapi stres dan meningkatkan ketahanan mereka. Carver (1997), mendefinisikan palnful problem solving sebagai tindakan yang memikirkan bagaimana cara 103 menghadapi pemicu stres yang ada. Dengan memikirkan tahap-tahap yang harus dilewati dan bagaimana cara yang terbaik dalam menghadapi masalah. Dimensi kedua yang tidak signifikan adalah confrontative. Sebagaimana dikatakan Folkman dan Lazarus (1986), confrontative adalahmerupakan proses penggambilan langkah aktif yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi pemicu stres ataupun memperbaiki akibatnya. Pada caregiver kanker, aktifitas ini melibatkan tindakan langsung,caregiver belum tahu apa yang harus dikerjakandalam merawat pasien karena sudah menjadi tanggung jawabnya, dengan meningkatkan usahasehingga dapat menghadapi masalah seperti mengantarkan pasien pergi ke dokter agar pasien mendapatkan pengobatan medis baik itu obat-obatan hingga melakukan operasi. Dimensi ketiga yang tidak signifikan adalah seeking social support dengan mencari informasi seputar perawatan dan juga untuk menjaga ketahanan padadiricaregiver.Seeking social support ialah untuk mencari dukungan informasi, dukungan nyata dan dukungan emosional (Folkman&Lazarus, 1986). Caregiverdapat berbicara kepada seseorang untuk mengetahui lebih lanjut tentang situasi yang sedang dihadapinya dan menerima nasihat dari orang lain yang bisa melakukan sesuatu untuk meringankan masalah yang dihadapinya. Adanya bentuk simpati dan pengertian dari orang lain bisa membuat caregiver lebih kuat dalam menghadapi masalah. Seeking social support ditandai dengan adanya dorongan pada caregiver untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan mencari informasi pada orang lain yang ada di sekelilingnya. 104 Copingstres seperti planfull problem solving, confrontative dan seeking social support tidak signifikan dikarenakan kebanyakan responden memilih menggunakan copingstresyang lain.Adapun subskala coping negatif adalah sebagai berikut: yakni menolak adanya kondisi yang mengakibatkan stres terhadap resiliensi caregiver kanker, dengan meluapkan emosi negatif seperti marah dan kecewa, dan menyerah pada keadaan, karena caregiver tidak mengarahkan pada penyelesaian masalah ataupun beradaptasi dengan pemicu stres yang dihadapi yang menyebabkan caregiver tidak dapat bertahan (resiliensi). Selain itu peneliti akan membahas tentang demografiscaregiver. Yang pertama, jenis kelamin caregiver, dengan proprosi varian yang tertinggi adalah perempuan, sama seperti yang dikatakan oleh Berger dan Lahad, (dalam Menz, 2012) dalam penelitiannya tentang resiliensicaregiver, menyatakan bahwa resiliensi dimanfaatkan lebih banyak oleh caregiver perempuandibandingkan oleh laki-laki dalam merawat pasien kanker. Peneliti berpendapat bahwa ini disebabkan karena perempuan lebih mampu berhati-hati dan penuh kasih sayang dalam merawat seseorang. Yang kedua, usia caregiver, dengan proporsi varian yang tertinggi adalah usia dewasa. Wagnild (2009) mengatakan resiliensi direncanakan oleh seorang caregiverdewasa dalam merawat pasien kanker. Menurut peneliti, orang dewasa sudah terbiasa menghadapi masalah pada dirinya sehingga telah memiliki dan pengetahuan tentang bagaimana merawat seorang pasien kanker. Namun peneliti juga kurang mengetahui apakah kategori dewasa disini sudah sudah termasuk status menikah atau belum menikah. Pada umumnya, seseorang yang sudah 105 menikah lebih mengerti bagaimana cara merawat dan memerhatikan sesama. Berbeda dengan yang belum menikah, biasanya mereka lebih mementingkan dirinya sendiri daripada harus merawat orang lain, kemungkinan rendahnya resilien pada caregiver disebabkan oleh banyaknya responden yang belum menikah atau mementingkan dirinya sendiri. Yang ketiga, jenis kanker yang dirawat caregiver dengan proporsi varian yang tertinggi adalah kanker payudara. Penderita kanker payudara tidak mengenal usia (Wonghongkul, Moore, Musil, Schneider, & Deimling, 2000). Menurut peneliti pengaruh ketahanan pada caregiver juga disebabkan oleh jenis kanker yang diderita pasien, karena kanker payudara adalah body image bagi seseorang yang menderitanya dan dapat menyebabkan pasien berbeda persepsi, ada seorang pasien dengan kanker payudara dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dengan baik sehingga caregiverdapat merawatnya dengan lebih resilien, tetapi banyak juga pasien yang depresi saat mengetahui penyakit yang dideritanya. Sebagian mereka kehilangan tujuan hidupnya. Pasien yang seperti ini juga dapat menyebabkan caregiver menjadi patah semangat dan tidak dapat bertahan. Maka kondisi pasien juga berpengaruh besar bagi caregiveragar ia dapat memahami kondisi jenis kanker yang diderita pasien sehingga caregiverdapat lebih mampu bertahan dalam merawat. Yang keempat adalah stadium kanker yang diderita. Stadium kanker dengan proporsi varian yang tertinggi adalah stadium III. Tingkat resilien yang rendah pada caregiver rendah juga disebabkan karena lamanya masa perawatan. Pasien yang sudah mencapai stadium III menjalani masa perawatan yang cukup 106 lama. Ini dapat menyebabkan malasnya pasien untuk kembali berobat ke rumah sakit, dan caregiver tidak dapat berbuat apa-apa. Yang kelima adalah hubungan pasien dengan caregiver, dengan proporsi varian tertinggi ada pada pasangan. Seperti yang dikatakan oleh Kurtz, (dalam Barbara, 2012) pasangan cenderung menghabiskan waktu bersama-sama dan berkomunikasi dengan cara yang penuh kasih dalam hal perawatan. Menurut peneliti pasangan adalah yang paling tepat untuk berkeluh-kesah berbagi suka dan duka. Tetapi juga bisa menyebabkan resilien rendah pada caregiver, karena caregiver yang menuntut pasangannya sempurna tidak mendapati pasangannya sebagaimana diharapkan, sehingga caregiver tidak merawat pasien dengan baik. Demografis yang keenam adalah pendidikan terakhir caregiver, dengan proporsi varian yang tertinggi adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut peneliti jenjang pendidikan SMP belum cukup memadai bagi seorang caregiveruntuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi dalam merawat pasien, dan menjadikan caregiver tidak resilien. Demografis ketujuh yaitu penghasilan caregiver perbulan, dengan proporsi varian yang tertinggi adalah Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,-. Tingginya biaya pengobatan sekaligus dengan penurunan atau hilangnya pendapatan secara signifikan dapat menghambat keuangan. Keterbatasan waktu, energi, dan uang dapat mengganggu kegiatan keluarga dan berdampak negatif terhadap ketahanan hubungan perawatan keluarga (Cohen, 1993). Peneliti menilai, rendahnya resiliensicaregiver juga disebabkan karena pengobatan jangka panjang yang dijalankan oleh pasien yang dapat mengeluarkan biaya pengobatan cukup besar, 107 dan kurangnya waktu caregiver dalam mencari pendapatan karena harus merawat pasien. Selain dilihat dari segi demografis dan hasil hipotesis kemungkinan resilien rendah pada caregiver kanker juga bisa disebabkan oleh bedanya skala ukur yang peneliti gunakan seperti penelitian lain, pada penelitian Pradnya (2012), dengan menggunakan alat ukur yang berbeda resiliensi menggunakan teori wagnild and Young (1990) resilience scale (RS-14), dan coping menggunakan teori Carver (1997) skala BriefCOPE, pada penelitian tersebut signifikan, sebagian besar responden lebih memilih emotion-focused sebagi bentuk coping yang digunakan untuk mengatasi stres yang dialaminya agar caregiver dapat resilien. Dan pada penelitian McClure (2011) resilience and hope, dengan menggunakan alat ukur yang berbeda resiliensi menggunakan wagnild and Young (1990) resilience scale (RS-14), dan pada harapan menggunakan teori Herth’s (1992) Herth Hope Scale (HHS). 5.3 Saran Berdasarkan penulisan penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan didalamnya.Untuk itu, penulis memberikan beberapa saran untuk bahan pertimbangan sebagai pengembangan dan penyempurnaan penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa. Saran tersebut berupa saran metodologis dan saran praktis. 5.3.1 Saran Teoritis 1. Untuk penelitian selanjutnya, oleh penelitian lain bisa juga dengan menggunakan skala teori yang lain dalam penggunaan skala seperti 108 copingdengan menggunakan teori Carver (1997) skala BriefCOPE, dan harapan dengan menggunakan teori Herth’s (1992)skala Herth Hope Scale (HHS). 2. Pada ketahanan pada caregivertidak hanya dengan harapan dan coping stres, maka peneliti menyarankan bisa menggunakan variabel seperti sosial support, dengan dukungan keluarga, dukungan pasangan, information support, emotional support, affection support, dan coping religius. 3. Pada peneliti ini, peneliti juga tidak mencantumkan gambaran mengenai berapa lama caregiver dalam merawat pasien, status hubungan caregiver sudah menikah atau belum menikah, seberapa paham caregiver dengan keadaan pasien, agama yang dianut dan suku bangsa. Maka dapat dilakukan beberapa variabel demografis tambahan dimasukkan, tentu akan berbeda hasil yang akan didapat. 4. Berdasarkan hasil yang telah dijelaskan pada bagian diskusi, ada beberapa faktor yang menjadi terbatas perkembangannya dikarenakan situasi sampel yang berbeda. Maka dari itu peneliti merasa bahwa jika sampel penelitian yang diteliti adalahcaregiver kanker yang menggikuti kegiatan komunitas, untuk caregiver dapat lebih mengetahui informasi yang didapat tentang keadaan pasien dengan kanker yang diderita, agar caregiver dapat lebih terlihat ketahanannya. 5.3.2 Saran praktis 1. Berdasarkan hasil kesimpulan ada enam dimensi yang memberikan sumbangan signifikan, bahwa resiliensi yang didapatpada caregiver adalah 109 caregivermengetahui apa tujuan (goal) agar pasien kanker yang dirawat dapat pulih kembali, dengan menigkatkandistancing padacaregiver mencoba untuk mencari aktivitas lain agar tidak berada dalam situasi stres, self controlling padacaregiver bisa mengendalikan diri danmengontrol emosi, accepting padacaregiver menyadari dan menerima kenyataan yang sedang terjadi, escape-avoidance pada caregiver dengan mempunyai angan-angan dan perilaku upaya untuk melarikan diri, reaapraisal positivepada caregiverdenganberubah atau tumbuh sebagai orang baik dan mempunyai banyak ide untuk melakukan sesuatu yang kreatif. 2. Ahli medis dan psikolog rumah sakit a. Kepada dokter atau psikolog dapat memberikan program konseling kepada caregiver, misalnya dengan melakukan pelatihan untuk meningkatkan resiliensi, sehingga caregiver dapat melakukan pemilihan coping yang semakin efektif. 3. Caregiver kanker a. Bagaimanapun caregiver tidak bisa lepas dari pasien kanker, jika caregiver memiliki masalah caregiver dapat melakukan bercerita dengan orang lain tidak memikirkan masalahnya seorang diri tetapi berbagi kepada orang terdekatnya sehingga tidak stres dan tidak berpengaruh negatif terhadap ketahanan dan perawatannya kepada pasien yang dirawatnya. b. Caregiverharus aktif terhadap pengumpulan informasi dan dapat beradaptasi dengan penyakit yang diderita pasien, agar dapat memelihara hubungan kerjasama dengan profesional dalam merawat, dan mengembangkan ketahanan 110 yang ada pada diri caregiver. Dengan kata lain ketahanan caregiver harus digunakan sebaik mungkin sebagai suatu proses khusus untuk merawat pasien dalam kondisi kronis. c. Jika caregiver benar-benar sedang berada dalam situasi dalam tekanan stres, ada baiknya caregiver dapat melakukan mengontrol stressor dengan cara menggunakan coping yang tepat serta meluangkan waktu untuk bercerita dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapinya, melakukan kegiatan yang disukai atau kegemarannya. d. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar caregiver menjadi resiliensi dalam merawat pasien kanker, yaitu dengan mengenali diri sendiri, jangan menyalahkan diri sendiri atas kemalangan yang terjadi, memiliki keyakinan yang kuat dan selalu berpikir positif. 111 DAFTAR PUSTAKA Basim H, & Fatih C (2010). Health sciences: the reliability and validity of the resilience scale for adults. Turkish version. Bennett & Gill W. (2012). Caring relationships: how to promote resilience in challenging times. The social ecology of resilience: ahandbook of theory and practice, springerscience+businessmedia, LLC 2012,DOI 10.1007/978-1-4614-0586-3_18. Carver, S & Weintraud. (1997). Assessing coping strategies: atheoreticcal based approach.Journal of personality and social psychology, Inc.56, (2), 267283. Cathy B. Scott. (2010). Alzheimer’s disease caregiver burden: does resilience matter?. Dissertation research & creative exchange.University ofTennessee Chakraborty Hamblin B. (2007). Resiliency factors: predictors of quality of life in family caregivers of patients with amyotrophic lateral sclerosis(PCOM). A dissertationpsychology. Cohen, S & Chang, A. (1999). Cancer nursing: stress associated with tasks for family caregivers ofpatiens with cancer.Journal of cancer. 22,(4) 260265. Denise kimberly B. (2010). Resilience in african-american and caucasian caregivers of family members with alzheimer disease or related dementia (ADRD). A dissertationnursing. University Amerika Washington, DC. Duci V, & Tahsini. (2011). Perceived socialsupport and coping styles as moderators for levels of anxiety, depression and quality of life in cancer caregivers: aliterature review. Journal european scientific.8(11), 2011. Given A. Barbara., Charles & Paula (2012). Family and caregiver needs over the course of the cancer trajectory.Journaloncology. 10(2), 2012. Grotberg E (2004). Children adn caregivers: the role of resilience. Jinan (2004). China: international council of psychologists (ICP) convention. Holtslander L, RN, MN. (2007). Searching for new hope: a grounded theory of the experience of hope for older women who are bereaved palliative caregivers.A dissertation college of nursing. University of Saskatchewan. Lazarus, & Folkman, (1986). Apprasial, coping, health status and psychological symptoms.Journal of personality and social psychology. 50(3), 571-579. 112 Lazarus, & Folkman, (1986). Ways of coping scales. apprasial, coping, and encounter outcomes. Journal of personality and social psychology, 50, 992-1003. Lazarus, & Folkman, (1987). Correlates of social support receipt.Journal of personality and social psychology. 53(1), 71-80. Lazarus, Folkman, Dunkel-Schetter, Delongis & Gruen. (1986). Dynamic of stressful encounter: cognitive appraisal ,coping, and encounter outcomes. Journal of personality and social psychology. 50(5), 992-1003 Lin Fang-Yi, Jiin-Ru Rong, & ztzu-Ying Lee (2013). Resilience among caregivers of children with chronic conditions: aconcept analysis.Journal of multidisciplinary healthcare. 6, 323–333. Luecken. L, & Kathryn S. (2004). Early caregiving and physiological stress responses. Journal clinical psychology review. 24, 171–191. McClure John C. (2011). Statistical modeling of caregiver burden and distress among informal caregivers of individuals with amyotrophic lateral sclerosis, alzheimer’s disease, and cancer.Dissertation state university Colorado. Menz Cassandra. (2012). Discovering resilience in children who witnessed their caregivers with cancer. Theses social work:aretrospective study. Moseley.J.V. (2011).New insights on psychosocial adjustment to pediatric cancer in caregivers.A dissertation the university of british Columbia. Pinke Judith. (2009).An adlerian framework for encouraging dementia resilience.School graduate counseling and psychotherapy the faculty of the Adler. Rabkin Judith R. Glenn J, Wagner, & Maura (2000). Resilience and distress among amyotrophic lateral sclerosis patients and caregivers.Journal american psychosomatic medicine. 62, 271–279. Rosenberg, A. (2013). Promoting resilience among parents and caregivers of children with cancer.Journal of palliative medicine.16(6), 235-236. Rowland Julia H. & Frank B. (2005). Introduction: resilience of cancer survivors across the lifespan.Journal american cancer society.104(11), 263-270. Sarafino, Edward.(1994). Health psychology: biopsychososial interaction 2nd edition. Newyork : John will & Sons mc. 113 Scott E. (2004). The relationship between private prayer and resiliency among alzheimer’s caregivers. A dissertation submitted to the graduate faculty of the university of Georgia. Serfelova.R, Katarina.Z. & Lubomira.J. (2012). Family caregiving at the end of life care.Journal of nursing, social studies, public health and rehabilitation. 1(2), 62-71. Siebert, Al. (2005). The resiliency advantange: master change, thrive under pressure, and bounce back from setbacks. San Fransisco: Berrett-Koehler publishers, inc. Synder C.R (2000). The role of hope in cognitive–behavior therapies. Department of psychology, university of Kansas, researchand cognitive therapy. 24 (6), 747-762. Synder C.R, Kevin L,& David R (2000). Hope theory:a member of the positive psychology family. Chapter 19:cognitive-focused approaches. Taylor,Shelley.(2009). Health psychology 7th edition.Newyork : a division of the mc graw-hill companies. Trudi V, & Jan L. (2001). Hope and social support as resilience factors against psychological distress of mothers who care for children with chronic physical conditions.Journal rehabilitation psychology. 46(4), 382-399. Umar, J (2012). Bahan ajar uji validitas konstruk dengan analisis faktor konfirmatorik. Tidak dipublikasikan. Wagnild & Young (1993). Development and psychometric evaluation of the resilience scale. Journal of nursing measurement. 1(2), 102-109. Wagnild Gail M (2010). Discovering your resilience core. All rights reserved. WHO. (2001). Whoqol measuring quality of life. Division of mental health and prevention of substance abuse. Worgan T, Lechlade, & Gloucester (2013) Hope theory in coaching : How clients respond to interventions based on Synder’s theory of hope. International journal of evidence based coaching and mentoring.7. Zauszniewski.J & Abir K, M. Jane (2010). Resilience in family members of persons with serious mental illness.Journal nursing clinics of north America.45(4), 115-121. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya mahasiswi psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian untuk skripsi. Oleh karena itu, saya meminta kesediaan Bapak atau Ibu untuk membantu penelitian ini dengan memilih pernyataan dengan jawaban yang sejujur-jujurnya. Mengenai pernyataan yang Bapak atau Ibu berikan akan dijamin kerahasiaanya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Saya mengharapkan agar Bapak atau Ibu tidak melewati satu pun pernyataan yang ada. Atas kerja sama dan bantuannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamua’alaikum Wr. Wb Data diri Caregiver Caregiver jenis kelamin : Perempuan Laki-laki Caregiver umur : _______tahun Caregiver merawat pasien kanker : ____________ stadium : ________ Hubungan caregiver dengan pasien : _____________ Pendidikan akhir caregiver : ___________ Penghasilan caregiver perbulan : > Rp. 1000.000,- Rp. 1000.000,- s/d Rp. 1500.000,- Rp. 1500.000,- s/d Rp. 2000.000,- < Rp. 2000.000,- Petunjuk pengisian Berikut ini terdapat beberapa pernyataan, baca dan fahami dengan benar setiap pernyataannya. Saudara diminta untuk mengisi sesuai pendapat saudara dengan cara memberi tanda silang (X) pada salah satu dari empat pilihan yang tersedia. Contoh : No 1. PERNYATAAN Saya selalu menjaga kesehatan saya. SS S TS STS S TS STS X SKALA HARAPAN No. PERNYATAAN 1. Saya mempunyai banyak cara untuk keluar dari masalah. 2. Saya penuh semangat untuk mengejar tujuan saya. 3. Saya merasa lelah dengan kegiatan rutinitas sehari-hari. 4. Jika mempunyai masalah, saya bisa mengatasinya. 5. Saya lemah dalam berargumen atau berpendapat. 6. Saya bisa memikirkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan hal itu penting bagi hidup saya. 7. Saya khawatir tentang kesehatan saya. 8. Bahkan ketika orang lain tidak meyukai saya, saya bisa menemukan cara sendiri untuk memecahkan masalah. 9. Pengalaman masa lalu telah mempersiapkan saya dengan baik untuk masa depan saya. 10. Saya merasa sudah cukup sukses dalam menjalani kehidupan. 11. Saya biasanya khawatir tentang sesuatu pada diri saya. 12. Saya memenuhi tujuan yang saya buat sendiri. SS SKALA COPING STRES No. Peryataan 1. Saya hanya memikirkan pada apa yang harus saya lakukan. 2. Saya melakukan sesuatu pekerjaan tanpa berpikir terlebih dahulu. 3. Saya sering meminta pendapat kepada orang lain untuk mengubah pikiran saya. 4. Berbicara dengan seseorang membuat saya, mengetahui lebih lanjut apa yang harus saya lakukan. 5. Saya tidak suka dikritik. 6. Agar tidak terluka, saya mencoba untuk terbuka. 7. Saya berharap keajaiban akan terjadi pada diri saya. 8. Kadang-kadang saya merasa, hanya saya yang memiliki nasib buruk. 9. Jika mempunyai masalah, saya pergi seolah-olah tidak ada yang terjadi. 10. Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya sendiri. 11. Saat berbicara saya hati-hati, untuk kebaikan saya sendiri. 12. Jika saya mempunyai masalah, saya akan tidur lebih awal dari biasanya. 13. Saya mengungkapkan kemarahan kepada seseorang yang menyebabkan masalah. 14. Saya dapat merima simpati dan pengertian dari seseorang. 15. Saya memikirkan untuk melakukan sesuatu yang kreatif. 16. Saya mencoba untuk melupakan semua masa lalu. 17. Jika ada masalah, saya mendapatkan bantuan dari seseorang. 18. Saya tumbuh sebagai pribadi yang baik. 19. Saya akan meminta maaf untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. 20. Saya membuat rencana sebelum melakukan sesuatu dan SS S TS STS mengikutinya. 21. Saya suka marah-marah dan saya membiarkannya. 22. Saya menyadari bahwa saya, membawa masalah pada diri saya sendiri. 23. Dengan adanya masalah saya mempunyai pengalaman, maka jika saya mempunyai masalah, saya akan menghadapinya. 24. Saya tidak segan meminta bantuan dari orang lain jika saya ada masalah. 25. Saya memilih makan, minum, merokok, menggunakan obatobatan , dll, untuk membuat diri saya merasa lebih baik. 26. Jika ada kesempatan saya akan mengambilnya , tetapi tidak melakukan sesuatu yang menurut saya berisiko. 27. Saya mencoba untuk tidak bertindak terlalu cepat atau mengikuti firasat pertama saya. 28. Saya menemukan pemahaman baru dari masalah saya. 29. Kesembuhan adalah yang penting dalam hidup saya. 30. Saya akan melakukan sesuatu agar menjadi lebih baik. 31. Jika sedang ada masalah, saya suka menghindar berada diperkumpulan orang-orang. 32. Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi, karena saya tidak mau berpikir terlalu banyak. 33. Saya bertanya kepada seorang kerabat atau teman saya untuk meminta saran. 34. Saya mengetahui bagaimana situasi buruk yang akan terjadi. 35. Saya menolak untuk terlalu serius jika ada masalah. 36. Saya akan berbicara dengan seseorang tentang bagaimana perasaan saya. 37. Saya akan berjuang untuk apa yang saya inginkan. 38. Saya suka melampiaskan kekesalan saya pada orang lain. 39. Saya pernah merasakan berada di situasi keadaan yang sama sebelumnya. 40. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, jadi saya berupaya melakukan sesuatu pekerjaan. 41. Saya menolak untuk percaya bahwa saya sedang mempunyai masalah. 42. Saya berjanji pada diri sendiri bahwa keadaan akan berbeda pada waktu kedepannya. 43. Saya mempunyai beberapa solusi yang berbeda untuk setiap masalah. 44. Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya dari bermacammacam masalah. 45. Saya mengubah sesuatu tentang diri saya. 46. Saya berharap bahwa situasi akan pergi, entah harus bagaimana, yang penting berakhir. 47. Saya memiliki fantasi atau keinginan tentang bagaimana keadaan yang mungkin dapat di ubah. 48. Saya selalu berdoa. 49. Saya percaya seseorang yang saya kagumi akan memberikan contoh dan saya akan mengikutinya. 50. Saya mencoba untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. SKALA RESILIENSI No. 1. Peryataan Ketika saya akan membuat rencana, saya memberitahu orang lain dengan rencana saya, agar tidak bertentangan. 2. Saya biasanya membuat rencana dengan apa yang saya pikirkan. SS S TS STS 3. Saya tidak suka mengandalkan orang lain setiap ada masalah. 4. Saya menjaga sikap saya, agar orang lain tertarik pada saya. 5. Saya lebih suka mengerjakan pekerjaan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. 6. Saya merasa bangga bahwa saya telah mecapai apa yang saya ingikan dalam hidup saya. 7. Jika ada masalah, saya akan menghadapinya dengan tenang. 8. Saya lebih suka menyendiri, daripada di perkumpulan orang-orang. 9. Saya merasa bahwa saya bisa menangani banyak masalah pada saat itu juga. 10. Saya bertekad dengan apa yang saya ingikan. 11. Saya jarang bertanya-tanya tentang mengapa semua masalah itu dapat terjadi. 12. Saya bisa melakukan semua pekerjaan satu hari pada saat waktu yang bersamaan. 13. Saya bisa melewati masa-masa sulit, karena saya sudah pernah mengalami kesulitan sebelumnya. 14. Saya adalah seorang yang disiplin diri. 15. Saya tetap tertarik pada yang tidak menyenangkan bagi saya. 16. Saya biasanya tertawa, agar tidak terlalu stress dalam menghadapi masalah. 17. Saya yakin pada diri saya sendiri, dapat menyelesaikan setiap masalah yang datang, agar melewati masa sulit. 18. Dalam keadaan darurat, seseorang biasanya dapat mengandalkan saya. 19. Saya berbagai macam cara, biasanya saya dapat melihat situasi apa yang akan terjadi. 20. Kadang-kadang saya membuat diri saya, melakukan kegiatan yang tidak saya inginkan. 21. Saya merasa hidup saya memiliki makna. 22. Saya tidak memikirkan apa yang tidak bisa saya perbuat. 23. Ketika saya sedang dalam situasi yang sulit, saya bisa biasanya menemukan jalan keluar dari masalah itu. 24. Saya memiliki cukup energi untuk melakukan apa yang selalu saya inginkan. 25. Tidak apa-apa jika ada orang yang tidak menyukai saya.