pengaruh harapan dan coping stres terhadapresiliensi

advertisement
PENGARUH HARAPAN DAN COPING STRES
TERHADAPRESILIENSI CAREGIVERKANKER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh :
TirtaArthaWardani
NIM: 207070000725
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
ABSTRAK
(A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
FakuItas Psikologi DIN SyarifHidayatuHah Jakarta
September 2014
Tirta Artha Wardani
PengaruhHarapan dan Coping Stres Terhadap Resiliensi Caregiver
Kanker
xiv + 114 + lampiran
Resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau
ketidakberuntungan, dengan kata lain resiliensi ialah kemampuan untuk
bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk, maka dari itu
diperlukannya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaat
menghadapi stres yang dirasakannya dal~m merawat pasien kanker. Caregiver
dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari waktu ke waktu, dengan
adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme dalam menghadapi
kondisi negatif ataupun positif. Oleh karenanya, dibutuhkan resiliensi yang
baik pada caregiver dalam merawat pasien kanker.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh harapan dan coping stres
terhadap resiliensi caregiver kanker. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan melibatkan 165 caregiver. Caregiver adalah anggota
keluarga yang secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di
rumah atau mendampingi di rumah sakit, teknik sampliilg yang digunakan
adalah non-probability sampling, yaitu dengan teknik accidental sampling.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala baku yang
dimodifikasi, skala baku tersebut ialah Resilience Scale (RS) untuk mengukur
resiliensi, Herth Hope Index (HHI) untuk mengukur harapan, dan Ways of
Coping Scale (WaC) untuk mengukur coping stres. Pengukuran validitas
skala penelitian ini menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), dan
analisis statistik dalam penelitian ini menggunakan multiple regression
dengan bantuan software SPSS 18.
HasH atau kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini, menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang disignifikan harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 atau P:S0,5.
Adapun nilai R Square (R2) dari semua variabel yang diujikan adalah sebesar
0,315 artinya dari enam variabel memberikan kontribusi sebesar 31,5%
terhadap resiliensi caregiver kanker sedangkan sisanya 68,5% dipengaruhi
variabel lain diluar penelitian.
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bagian pertama ini menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi peneliti dalam
melakukan penelitian tentang resiliensi caregiverkanker. Selain itu, peneliti juga
akan memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Tidak lupa peneliti
memberikan pembatasan masalah agar pembahasan tidak melebar bahkan
berseberangan dari tujuan. Sistematika penulisan juga disertakan untuk memberi
tuntunan dalam menyusun laporan hasil penelitian.
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan suatu proses pertumbuhan dan penyebaran yang tidak
terkontrol dari sel yang abnormal, yang mempunyai kecenderungan menyebar
pada bagian tubuh yang lain. Sel kanker ini bertindak sebagai penghambat dan
perusak bagi organ-organ tubuh dimana ia berkembang, terutama jika sel tersebut
tumbuh pada organ vital seperti otak, hati dan paru-paru, yang pada akhirnya
sering kali menyebabkan kematian pada penderitanya (Sarafino, 1998). Penyakit
kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu sangat diperlukan
perhatian yang sangat serius, karena penyakit kanker yang sudah pada tahap
stadium tinggi biasanya berujung kepada kematian. Menurut Gumawan (dalam
Kompas, 2001) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia
berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal
karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO
menyebutkan setiap menit di dunia terdapat penambahan 6,25 juta penderita
2
kanker baru dan dua pertiga penderita kanker di dunia berada di negara
berkembang (Organisasi Kesehatan Dunia, 2001). Di Indonesia, masalah penyakit
kanker menunjukkan lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun,
terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian, naik dari peringkat
dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu
penderita baru dan seperlimanya akan meninggal akibat penyakit ini (Mediasehat,
2005).
Kanker menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang, hal ini
karena angka kematian akibat kanker yang sangat tinggi. Angka harapan hidup
penderita kanker hanya 60% dibandingkan dengan bukan penderita (Mediasehat,
2005). Kanker bisa menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Ada beberapa
jenis yang sifatnya lebih spesifik dan lebih sering menyerang pria seperti kanker
prostat dan kanker paru (Mediasehat, 2004). Berdasarkan laporan tengah tahunan
catatan medik RS Dr. Soetomo kurun waktu Juni sampai dengan Desember 1984,
didapatkan bahwa kanker paru telah menduduki urutan ketiga sebagai penyebab
kematian bagi kaum laki-laki di Indonesia (Gatra, 2001). Lebih dari 1,3 juta kasus
baru kanker paru di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.
Di Indonesia, kanker paru menjadi penyebab kematian utama kaum pria dan lebih
dari 70% kasus kanker itu baru terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium III atau
IV) sehingga hanya 5% penderita yang bisa bertahan hidup (Mediasehat,
2004).Pada wanita tahun 2005 ditemukan sebanyak 3.884 kasus (36,83%) kanker
leher
rahim.
Sedangkan
kanker
payudara
sebanyak
749
kasus
atau
19,62%.Walaupun demikian, apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal,
3
maka kurang lebih dari separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat
disembuhkan (KBI Gemari, 2003). Sayangnya hasil diagnosis kanker menyatakan
bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut, yakni stadium 3 dan
4 (Kompas, 2001). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di
dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih, dan
berkemungkinan langsung tidak akan sembuh. Keadaan di atas menjadi salah satu
penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia.
Hileman, Lackey, dan Hassanein(dalam Duci, 2011) menjelaskan bahwa
secara klinis seorang yang didiagnosis kanker ditandai dengan berangsur-angsur
menghilangnya kemampuan intelektual yang mempengaruhi kognitif, dan
perilaku, yang pada akhirnya seorang kanker menjadi tergantung pada orang lain,
dan membutuhkan perawatan tetap oleh anggota keluarga.
Peters(dalam Serfelova, 2012)menjelaskan bahwa penyakit kronis seperti
kanker, telah lama dikenal sebagai penyakit yang berdampak serius, tidak hanya
terhadap diri penderita namun juga berdampak pada orang lain, terutama keluarga.
Keluarga, selain juga mengalami dampak emosional dari diagnosis tersebut, juga
terbebani tanggung jawab baru karena hampir semua pasien kanker membutuhkan
pengobatan jangka panjang yang berproses. Ini menuntut anggota keluarga untuk
ikut terlibat dalam kepedulian merawat pasien kanker tersebut.
Keluarga mereka yang menjadi perawat bagi pasien biasa disebut sebagai
caregiver. Mereka tidak hanya terlibat pada awal masa pengobatan, tetapi juga
dalam kepedulian termasuk kekambuhan, perkembangan kesehatan pasien, dan
sampai berakhirnya masa perawatan.
4
Menurut Barbara A. Given (2012), caregiver adalah sumber utama
dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan
pada pasien. Tanpa dukungan dari caregiver, pasien sulit untuk mempertahankan
diri dalam menjalani penyakit yang diderita. Caregiver diperlukan untuk merawat
dan mendorong pasien serta menjadi sumber dukungan bagi pasien dalam
menggurangi kekhawatiran yang timbul di dalam dirinya. Wong (dalam Menz,
2012) mengemukakan bahwa ketika pasien merasa perlu mengkomunikasikan
kebutuhan mereka, caregiver adalah tujuan mereka, karena pelayanan kesehatan
dan dokter lebih fokus pada kebutuhan medis pasien. Caregiver juga harus ulet
untuk menangani pasien dan menumbuhkan hal-hal yang tidak disediakan oleh
tenaga medis seperti rasa kasih sayang, harapan, dorongan pemahaman dan
penghargaan dari usahanya bertahan demi memelihara semangat hidupnya
(resilience).
Miller(dalam Chakraborty, 2007) mengemukakan bahwa faktor penting
untuk kesembuhan pasien juga dilihat dari kedekatan hubungan antara caregiver
dan pasiennya. Hal ini sangat berpengaruh bagi efektifitas perawatan yang
diberikan caregiver terhadap pasien.
Given, Hudson, dan Moody(dalam Barbara 2012) menjelaskan bahwa
caregiver diharapkan menjadi penyedia utama layanan kesehatan bagi pasien di
rumah. Berbagai macam tanggung jawab caregiver pada saat merawat pasien
kanker mempengaruhi masa depan perkembangan penyembuhan pasien tersebut.
Segala bentuk tuntutan pasien, baik secara eksternal maupun internal
membutuhkan respon yang baik. Besarnya tanggung jawab dan tekanan yang
5
diterima caregiver ini dapat berakibat buruk karena stres yang dialami caregiver
dapat menjadi penghambat besar dalam masa perawatan sehari-hari pasien.
Perasaan cemas, khawatir, kelelahan baik secara fisik maupun psikologis,
kejenuhan, bingung, dan perasaan lainnya yang menimbulkan stres dalam
merawat pasien seringkali muncul dalam masa pelayanan mereka terhadap pasien.
Connor dan Richardson(dalam Rosenberg, 2013)mengemukakan bahwa
berkaitan dengan beban yang ditanggungnya, dibutuhkan adanya bantuan dari
penyedia layanan kesehatan untuk mempertahankan kesejahteraan caregiver dan
untuk mempertahankan peran mereka sebagai caregiver keluarga. Hasil studi
terhadap caregiver kanker menemukan bahwa ketahanan (resiliensi) caregiver
mempengaruhi semua kondisi pasien kanker termasuk kondisi fisik, psikologis,
sosial, keuangan, dan spiritual. Oleh sebab itu untuk membuat keadaan caregiver
jadi lebih baik dibutuhkan cara untuk mengurangi stres pada caregiver yang
sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Unggar (dalam Bennett 2012)
menekankan perlunya resiliensi untuk meningkatkan ketahanan caregiver disaaat
menghadapi stres yang dirasakannya dalam masa perawatan yang tinggi.
Resiliensi adalah ketahanan atau kerentanan caregiver dalam menghadapi segala
tuntutan.
Davidson (dalam Pinke 2009) memandang resiliensi sebagai kualitas
personal yang baik dan ketahanan mereka terhadap stres yang mendorong
individu untuk dapat berkembang meskipun berada dalam kesulitan. Sanggeta
bhatia(dalam Grotberg, 2004) menjelaskan tentangtanggung jawab dalam
merawat anggota keluarga yang menderita kanker serta penyesuaian diri terhadap
6
segala perubahan, bukanlah suatu tuntutan hidup yang mudah. Oleh karenanya,
dibutuhkan resiliensi yang baik dalam merawat pasien. Resiliensi dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mengelola stres caregiver terkait dengan masalah
klinis kejiwaan, anak, kesehatan masyarakat, pengaturan seluruh jangka hidup
dengan penyakit kronis.
Resiliensi tidak hanya dilihat dari kemampuan individu untuk dapat
beradaptasi dengan baik pada situasi sulit yang dialami, tetapi juga kemampuan
individu untuk tetap mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan dengan baik
dan melakukan proses adaptasi dengan cara-cara yang tidak merusak (Siebert,
2005). Dengan kata lain, caregiver yang memiliki resiliensi yang baik akan
mampu mengatasi stres yang dialaminya dengan cara yang baik.
Kemampuan caregiver untuk menyediakan perawatan pada pasien dapat
dikatakan tergantung pada kemampuannya mempertahankan resiliensi. Pada
umumnya bahwa caregiver menjadi stres karena hasil kesehatan dirinya yang
memburuk, karena caregiver tidak mampu menjaga kesehatan, disebabkan
banyakwaktu yang tersita untuk merawat pasien. Luthar (dalam Lin Fang-Yi,
2013) menyatakan bahwa stressor yang dirasakan oleh caregiver merupakan
tantangan bagi keluarga untuk mengkondisikan kekuatan yang ada pada diri
caregiver melalui resiliensi.
Kekuatan
resiliensi
memungkinkan
caregiver
untuk
mencapai
keseimbangan, keyakinan, dan kekuatan pribadi. Caregiver tidak bisa menghindar
dari tugasnya merawat pasein, sehingga ia harus bisa menangani sebaik mungkin
tekanan yang diterimanya agar dapat menjadi pelindung pada pasien kanker.
7
Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan
untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain,
resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah
jatuh dan terpuruk.
Dengan resiliensi, membuat caregiver dapat mengendalikan perasaannya
dengan sehat. Caregiver membiarkan dirinya sendiri untuk merasakan
kemarahan,kehilangan, dan keraguan, namun ia tidak membiarkan perasaan
tersebut menjadi keadaan yang permanen dalam dirinya. Aspinwall dan Clark
(dalam Rowland, 2005) menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah sekedar suatu ciri
sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu, namun lebih sebagai bagian
dari proses perkembangan kesehatan untuk dapatberadaptasi dan meningkatkan
kesejahteraan di sepanjang rentang waktu kehidupan. Dari berbagai jenis kanker
dan stadium yang diderita pasien, caregiver harus bisa menyesuaikan
kebutuhannya untuk memberikan dukungan kepada pasien dan mengatur
emosionalnya.
Setiap orang yang didiagnosis dengan kanker membutuhkan caregiver
terlibat dalam perawatannya, untuk mempertahankan kondisi normal sehari-hari
dan memelihara harapan pasien dalam menghadapi kanker. Menurut Gazini,
(dalam Rabkin, 2000) caregiver dapat mengubah kondisi psikologis pasien dari
waktu ke waktu, dengan adanya resiliensi dalam bentuk harapan dan optimisme
dalam menghadapi kondisi negatif ataupun positif. Harapan dan optimisme yang
berhubungan dengan kondisi negatif berkaitan dengan penanganan terhadap
kesusahan yang diderita, sedangkan yang berhubungan dengan kondisi positif
8
dapat berupa penyesuaian psikologis yang baik, agar pasien dapat memelihara
semangatnya untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik.
Resiliensi dianggap berfungsi pada caregiver dalam menghadapi stres
yang berdampak pada semua aspek fungsi keluarga, yang paling erat kaitannya
dengan fungsi pemecahan masalah dalam membangun kognitif caregiver dalam
kemampuan menggunakan coping. Menurut Bruhn dan Felder(dalam Moseley,
2011) menjelaskan bahwa resiliensi caregiver menyiratkan kemampuan caregiver
untuk bertahan dari stres dalam merawat pasien kanker, resiliensi juga telah
dikaitkan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih efektif, dengan
menggunakan coping.
Kemampuan coping padacaregiver kanker merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh caregiver untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang
berasal dari sumber stres selama merawat pasien kanker untuk dapat mencapai
resilien. Pakenham (dalam Bennett, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan
coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang
digunakan
individu
untuk
menguasai,
mentoleransi,
mengurangi,
atau
meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Lazarus(dalam
Moseley, 2011) menjelaskan bahwa kematangan individu terhadap kemampuan
coping menunjukkan bahwa individu memiliki kematangan dalam coping yang
tinggi sehingga lebih cenderung pada problem focused coping saat ia bermasalah.
Sebaliknya, kematangan coping yang relatif rendah akan lebih cenderung
mengarah pada emotional focused coping dalam penyelesaian masalahnya.
Dikaitkan dengan resiliensi yang berhubungan dengan faktor internal dan
9
eksternal pada caregiver yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam
coping. Menurut Norton (dalam Pinke, 2009) resiliensi memegang peranan
penting untuk membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis
meskipun
mengalami
masalah,
sehingga
mampu
mengembangkan
kemampuannya melaksanakan tugas-tugas pada perkembangan dan mampu untuk
terus menghasilkan coping yang baik terhadap permasalahaan yang dihadapinya.
Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dari itu peneliti tertarik
melakukan penelitian skripsi mengenai “Pengaruh Harapan dan Coping stres
terhadap Resiliensi Caregiver Kanker”.
1.2Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Untuk membatasi meluasnya permasalahan penelitian, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada pengaruh harapan dancoping stresterhadap
resiliensicaregiverkanker.
Adapun konsep-konsep yang berkaitan dengan obyek penelitian dibatasi sebagai
berikut:
1. Harapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan meningkatkan
ketahanan caregiver kanker untuk mengembangkan bagaimanakeberanian
menjumpai hambatan dan motivasiuntuk menggunakan cara atau jalur tersebut
agar mencapai tujuan(Snyder, 2000).Berdasarkan dari dimensi harapan (hope)
yaitu, untuk merencanakan menuju tujuan (goal)denganadanya motivasi
(agency), meskipun menjumpai hambatan (pathway).
10
2. Coping Stres yang dimaksud dalam penelitian ini menurut pengertian
Pakenham (dalam Bennett, 2012) kemampuan coping sebagai upaya-upaya
khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan individu untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian
yang menimbulkan stres. Berdasarkan dari dimensi coping stres yaitu,
memecahkan masalah (planful problem solving), menghadapi masalah
(confrontive coping), mencari dukungan sosial (seeking social support),
menerima
tanggungjawab
(accepting
responsibility),
menjaga
jarak
(distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif
(reappraisal positive).
3. Resiliensi (resilience) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberhasilan
untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata
lain, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan
setelah jatuh dan terpuruk (Wagnild, & Young, 1993).Menekankan bahwa
semua individu sangat membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan
dengan melalui lima komponen resiliensi yaitu ketenangan hati (equnimity),
ketekunan(perseverance), kebermaknaan (meaningfulness),kemandirian (self
reliance), daneksistensial kesendirian(exixtential aloneness).
4. Caregiver dalam penelitian ini yang dimaksud caregiver adalah sumber utama
dukungan bagi individu penderita kanker dan dapat mempengaruhi perubahan
pada pasien (Barbara A. Given, 2012). Caregiver adalahanggota keluargayang
secara langsung terlibat dalam perawatan pasien kanker baik di rumah atau
mendampingi di rumah sakit.
11
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkanpembatasan masalah diatas, maka penelitimerumuskan masalah
penelitian sebagaiberikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi harapandan dimensi
coping stres terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
2. Diantara variabel yang ada, variabel manakah yang paling berpengaruh
terhadap resiliensi pada caregiverkanker?
3. Seberapa besar proporsi harapan dancoping stresbeserta dimensi-dimensinya
dalam memberikan pengaruh terhadap resiliensicaregiverkanker?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Memiliki latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan
sebagai berikut:
a. Menguji adanya pengaruh harapan terhadap resiliensicaregiver kanker.
b. Menguji adanya pengaruh coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan
manfaat dalam pengembangan bidangmengenai bagaimana pengaruh
harapandan coping stres terhadap resiliensi caregiver kanker, serta
menambah khazanah keilmuan psikologi, khususnya yang berkaitan dengan
12
cabang psikologi klinis dan psikologi kesehatan.
b. Secara lebih terperinci, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk
mengembangkan pemahaman mengenai resiliensi pada caregiver dalam
merawat pasien kanker.
2. Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya:
a. Peneliti
Meningkatkan kemampuan diri untuk dapat bangkit kembali dari kesulitan
yang mungkin dialami. Dengan kata lain, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberi pemahaman dan motivasi pada diri peneliti sendiri untuk
dapat menjadi individu yang resilien. Kemampuan ini dapat terpenuhi
melalui harapan yang ada dalam diri dan coping stres untuk dapat
memecahkan masalah sendiri.
b. Yayasan atau praktisi kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam
menentukan intervensi yang bertujuan meningkatkan resiliensi pada
caregiver.
c. Caregiver
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantucaregiveruntuk
membentuk dirinya sebagai pribadi yang resilien, melalui adanya
pengharapan pada diri sendiri dan dapat menurunkan dampak negatif baik
fisik ataupun psikis dalam merawat pasien kanker.
13
d. Komunitas kanker
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pemeliharaan dan
perhatian komunitas untuk ikut berperan dalam memberikan harapan dan
memberikan pemecahan masalah (coping) yang tepat kepada caregiver
dalam merawat pasien kanker agar dapat bertahan.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada “Panduan Penulisan Skripsi
dengan Pendekatan Kuantitatif Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta”. Adapun sistematikanya terinci sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan
skripsi.
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka yang dikemukakan dalam penelitian ini
meliputi pengertian resiliensi, dimensi resiliensi, faktor yang mempengaruhi
resiliensi dan pengukuran resiliensi; pengertian harapan, dimensi harapan,
karakteristik individu tingkat harapan tinggi, dan pengukuran harapan; pengertian
coping stres, dimensi coping stres, dan pengukuran coping stres; dan pengertian
caregiver, jenis caregiver, fungsi caregiver, tugas caregiver.Kerangka berpikir,
serta hipotesis penelitian.
14
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang metode penelitian, jenis-jenis penelitian, tempat dan waktu
penelitian, populasi, sampel dan sampling, variabel dan definsi operasional
masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas
konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur penelitian yang
digunakan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil
penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi
penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel,
grafik, gambar, dan diagram.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, diskusi, dan saran-saran. Kesimpulan
berisi tentang uraian hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang
dirumuskan sebelumnya. Diskusi merupakan pembahasan hasil penelitian yang
berisi analisis hasil penelitian dan membandingkannya dengan teori dan hasilhasil penelitian sebelumnya. Sedangkan saran memuat saran teoritis yang
berkaitan dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian dan
keterbatasan yang dialami. Selain itu, dijelaskan pula saran praktis yang dapat
diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
15
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab kedua dari penelitian ini akan memaparkan tentang teori yang digunakan
dalam penelitian ini, pengukuran nya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Resiliensi
2.1.1 Definisi Resiliensi
Rutter (dalam Wagnild & Young, 1993) mendefinisikan resiliensi sebagai faktor
penyangga yang melindungi individu dari gangguan psikotik. Menurut Grotberg
(2000, 2004) resiliensi adalah seluruh kapasitas yang memungkinkan individu,
kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalisir atau mengatasi
pengaruh merugikan atas kesengsaraan atau kesulitan. Tekanan ini bersifat terus
menerus sehingga individu yang resilien adalah yang mampu melakukan adaptasi
terhadap tantangan yang bersifat terus menerus (Garmezy, Werner, Luthar, &
Masten, dalam Basim, 2010).
Norman (dalam Cathy, 2010) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas dan
mekanisme protektif yang meningkatkan adaptasi pada kehadiran faktor yang
beresiko tinggi terhadap jalannya perkembangan. Kemudian Miller dan Lawton
(dalam Chakraborty, 2007) menyebutkan definisi yang serupa. Ia mengemukakan
bahwa resiliensi adalah adaptasi positif terhadap kemalangan. Resiliensi juga
memungkinkan adanya perkembangan kompetensi saat menghadapi tekanan berat
(Luthar, Cichetti & Becker, dalam Thomas, 2010) dan merupakan kapasitas untuk
bangkit kembali dari kekecewaan, jalan mundur, dan rintangan (Nash, & Bowen,
dalam Thomas, 2010).
16
Pada akhirnya, resiliensi tidak hanya berkisar pada adaptasi positif terhadap
resiko tinggi atau melambung dari jalan mundur melainkan juga memberi
kemampuan pada individu untuk berespon dengan fleksibel dibawah tekanan yang
terjadi tiap hari dalam kehidupan (Rutter & Greene, 2000). Sedangkan menurut
Luthar, dan Rutter(dalam Betancourt, 2008) resiliensi mengacu pada suatu
fenomena atau proses yang secara relatif mencerminkan adaptasi positif saat
mengalami ancaman atau trauma yang signifikan.
Beberapa definisi tentang resiliensi menjadi 3 kategori menurut Haase
(dalam Basim, 2010) yaitu, a) untuk ketahanan diri sendiri, b) dukungan keluarga
dan, c) dukungan luar lainnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka
resilliensi diartikan sebagai suatu kemampuan atau kapasitas yang dimiliki
individu di mana dengan kapasitas tersebut, individu mampu bertahan serta
mampu berkembang secara sehat dan menjalani hidup secara positif dalam situasi
yang kurang menguntungkan atau dalam kondisi yang penuh tekanan.
Resiliensi bukanlah suatu hal yang menetap, melainkan suatu hal yang
dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia, serta di pengaruhi oleh
faktor lingkungan. Wagnild dan Young (1990, 1993) sebelumnya juga
menemukan bahwa resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu
kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi
kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya.
Ditambahkan oleh Wagnild (2010), hampir semua manusia mengalami
kesulitan dan jatuh dalam perjalanan hidup, namun mereka memiliki ketahanan
untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya. Kemampua untuk bangkit dan terus
17
melanjutkan hidup ini disebut resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan
bahwa resiliensi dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi,
kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya
sehingga memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin
muncul. Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang
berorientasi pada tujuan, di mana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu
bangkit dan terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan
yang dimiliki dirinya, serta sadar bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri
(Wagnild, 2011). Untuk itu, Wagnild menekankan bahwa semua individu sangat
membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima komponen
resiliensi yaitu meaningfulness, perseverance, equnimity, self reliance, dan
exixtential aloneness.
Definisi yang dikemukakan Wgnild dan Young (1990, 1993) seperti yang
didapatkan di atas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis
dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan juga
memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen yang
mendasari resiliensi itu sendiri. Selain itu, definisi tersebut merupakan salah satu
dasar pencetus dan berkembangnya studi tentang resiliensi serta menjadi acuen
dalam berbagai penelitian lanjutan. Untuk itu, pada penelitian ini peneliti
akanmmenggunakan definisi resiliensi dari Wagnild dan Young (1990; 1993).
18
2.1.2 Dimensi Resiliensi
Dimensi resiliensi merupakan suatu cara yang diwujudkan untuk membuat
pertahanan dalam merawat pasien dalam penyakit kronis. Wagnild & Young
(1993; 2010) membagi resiliensi kedalam lima bentuk yaitu:
a. Ketenangan hati
Ketenangan hati yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai
hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang
dianggap merugikan. Wagnild(2010), namun demikian individu harus mampu
untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga ia dapat melihat hal-hal
yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang
dialami. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu
individu resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapi,
melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal
negatif yang terdapat didalamnya.
b. Ketekunan
Ketekunan yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi
suatu situasi sulit. Perseverance juga berarti keinginan seseorang untuk terus
berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Wagnild(2010), dalam
karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika
berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya.
c. Kemandirian
Kemandirian adalah keyakinan pada diri sendiri dengan memahami
kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri. Wagnild (2010),
19
individu yang resilien sadar kekuatan yang ia miliki dan mempergunakannya
dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang ia lakukan.
Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami seharihari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya
sendiri. Individu yang resilien mampu belajar dari pengalaman hidup yang
didapatnya setiap hari dan mampu mengembangkan berbagai pemecahan
masalah yang dihadapinya.
d. Kebermaknaan
Kebermaknaan merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki
tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010)
menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang
paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena
menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena tidak memiliki arah
dan tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu
dalam hidup tak terkecuali ketika ia mengalami kesulitan, tujuanlah yang
membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.
e. Eksistensial kesendirian
Eksistensial Kesendirian menggambarkan kesadaran bahwa setiap individu
unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang
harus dihadapi sendiri. Individu resilien belajar untuk hidup dengan
keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang
lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga
individu
menjadi
lebih
menghargai
kemampuan
yang
dimilikinya.
20
Wagnild(2010), karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak
menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan orang lain,
melainkan menerima diri sendiri apa adanya.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Rutter, Luthar, dan Richardson(dalam Zauszniewski, 2010) menjelaskan bahwa
perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan
manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi
antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang
timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko,
kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif. Selanjutnya,
keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor resiko dan faktor
protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi,
durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya.
1. Faktor Risiko
Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang
menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang
sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh
yang dapat
meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan
yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang
meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana
lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko.
Hubungan antar beberapa variabel resiko yang berbeda akan membentuk suatu
rantai risiko (Rutter, dalam Zauszniewski, 2010).
21
2. Faktor Protektif
Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari keluarga,
sekolah, ataupun komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam
menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Menurut Rutter (dalam
Zauszniewski, 2010) menyatakan interaksi antaraproses sosial dan intrapsikis
dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala
kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Menjelaskan resiliensi sebagai
proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana
seseorang dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya.
Ditambahkan juga bahwa faktor protektif merupakan setiap traits, kondisi
situasi yang muncul untuk membalikkan kemungkinan dari masalah yang
diprediksi akan muncul pada individu yang mengalami masalah. Menyatakan
faktor protektif merupakan prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal
yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk
berespon dalam situasi sulit.
2.1.4 Pengukuran Resiliensi
Meskipun penelitian mengenai resiliensi ini tergolong baru, namun telah banyak
peneliti yang mengembangkan alat ukut atau skala untuk menilai kemampuan
seseorang dalam menghadapi bentuk-betuk situasi yang menekan.
a. The Brief Resilience Scale
Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya sebagai
pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih
dari stress (Windle, Bennet & Noyes, 2011). BRS yang terdiri dari enam item
22
ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat dinilai sebagai
kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan sumber-sumber
resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan (Smith, dalam
Kusuma 2014).
b. The Connor-Davidson resilience Scale
Connor-Davidson
resilience
Scale
(CD-RISC)
dikembangkan
sebagai
penilaian singkat mengenai self-rated untuk membantu mengukur resiliensi
sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor &
Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya
dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal, kepercayaan
penguatan stress, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan yang aman,
kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Kusuma 2014).
c. Resilience Scale
Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young(1990). Tujuan
pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu tangguh atau
mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam merawat, terdiri dari
25 item.
Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang telah
dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih Resilience Scale
(RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu mewakili tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi dari faktor protektif
yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,
perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki
23
potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul untuk ketahanan
caregiver dalam merawat pasien kanker.
2.2 Harapan
2.2.1 Definisi harapan
Synder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang
dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan,
bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut.
Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Synder, Irving,
dan Anderson (dalam Synder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan
termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency
(energi
yang
mengarah
pada
tujuan)
dan
pathway
(rencana
untuk
mencapaitujuan).
Dufault dan Martocchia(dalam Moseley, 2011), harapan memungkinkan
seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan (stressful) dengan
mengharapkan hasil yang positif. Karena hasil positif yang diharapkan maka
seseorang termotivasi untuk bertindak dalam menghadapi ketidakpastian.Menurut
Herth dan Snyder(dalam Moseley, 2011) harapan adalah suatu proses terhadap
pencapaian tujuan di masa depan yang ditentukan oleh pentingnya tujuan tersebut
bagi seseorang dan motivasi dalam bertindak untuk meraih tujuan.
Pemahaman terhadap konsep harapan berkembang menurut Farran,
Herth, dan Popovitch, Snyder(dalam Drach-Zahavy, 2002) melakukan metaanalisis terhadap beberapa definisi yang ada dan mengemukakan bahwa harapan
merupakan suatu pengalaman dalam kehidupan manusia. Harapan berfungsi
24
sebagai cara merasakan, cara berpikir, cara bertindak dan cara berhubungan
dengan dirinya maupun dengan dunianya. Harapan ada ketika suatu objek atau
hasil yang didambakan belum terwujud.
Sebagai suatu cara merasakan (afektif), harapan digambarkan sesuatu
yang melampaui emosi dan berfungsi sebagai suatu kekuatan pendorong. Harapan
menggerakan seseorang utnuk maju ketika merasakan sesuatu cara berpikir
(kongnitif), harapan dilakukan dengan keberanian, keteguhan dalam menghadapi
masalah yang sulit atau mengalami begitu banyak rintangan(a sense of fortitude).
Harapan merupakan suatu sikap positif secara kongnitif, emosi, dan motivasi
terkait dengan masa depan (Kanfer & Ackerman, dalam Drach-Zahavy, 2002).
Synder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua
komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut.
Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan
konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan
adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai,
bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga
komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun juika
individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak
memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa
maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan
negati merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki
tujuan.
25
2.2.2 Dimensi Harapan
Menurut Snyder (2000), dimensi yang terkandungmerupakan suatu harapan yang
diwujudkan dalam goal, agency, dan pathway, yaitu:
1. Goal/ Tujuan
Goal atau tujuan adalah sasaran dari harapan tindakan mental yang
menghasilkan
komponen
kongnitif.
Tujuan
merupakan
suatu
objek,
pengalaman, atau hasil titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan
dapat berupa harapan menjadi sesuatu yang bernilai untuk mengaktifkan
pemikiran yang disadari dalam hidup seseorang (Snyder, Cheavers &
Sympson, 2000). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan
untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk
dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanan dan usaha yang
lebih keras.
2. Agency Thinking/Willpower
Agency Thinking atauWillpower merupakan kapasitas kekuatan untuk
menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency
mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya
melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan
penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi
hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi
menggunakan self-talk sepert “saya dapat melakukan ini” dan “saya tidak akan
berhenti sampai disini”.
26
Agency berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan
untuk membantu menggerakan seseorang untuk maju kearah pencapaian tujuan
yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Agency memunculkan persepsi
seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju
pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam
kehidupan. Agencydapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat
memahami dan mepresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan
yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh
karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuan maka ia cenderung
dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri
menuju pencapaian tujuan. Agency juga memunculkan keyankinan dalam diri
seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian
tujuan (Snyder, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan agency didasarkan pada
pengalaman sebeumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan
tubuh kita untuk mengejar tujuan Penting untuk digarisbawahi bahwa agency
tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah
dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki
agency adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan
sebelumnya dalam hidup (Snyder, 2000).
3. Pathway Thinking/Waypower
Pathway Thinking atauWaypower mereleksikan rencana atau peta jalur secara
mental yang menuntun pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking).
27
Pathway adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu
atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, Lapointe, crowson,
&Ear, 2000). Pathway adalah suatu persepsi bahwa seseorang dapat terlibat
dalam pemikiran yang penuh perencanaan. Secara khusus, kemampuan
pathway seseorang dapat diterapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu
sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan
secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atatu
dioperasionalkan dengan baik. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang lebih
cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena
seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu
untuk berpikir tentang bagaiman meraih tujuan yang lebih penting dan
cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih
penting tersebut (Irving, Snyder, & Crowson, Snyder, Harris, 2000).
Kemampuan seseorang untuk menciptakan pathway didasarkan pada
pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian, ingatan
seseorang diatur atau diorganisasikan kedalam tujuan dan rencana. Dengan
perkataan lain, seseorang menyimpan informasi secara mental berdasarkan
tujuan dan cara yang diasosiasikan dengan tujuan tersebut (Snyder, Irving, &
Anderson, 2000).
28
Gambar 2.1
Visualisasi Harapan
PATHWAYS
TOUGHTS:
Develop
mental
Lessons of
Correlation/
Causality
EMOTIONS
PATHWAYS
TOUGHTS
OUTCOME
VALUE
AGENCY
TOUGHTS
AGENCY
TOUGHTS:
Develop mental
Lessons of Self
as Author of
Casual Chains
of Event
Learning History
GOAL
BEHAVIOR:
attainment/
nonattainment
EMOTIONS
Pre-Event
Event Sequence
2.2.3 Karakteristik Individu Dengan Tingkat Harapan Tinggi
Menurut Synder (2000), orang dewasa dengan tingkat harapan tinggi memiliki
profil tertentu. Mereka telah mengalami berbagai kemunduran atau “pukulan”
sama seperti orang lain dalam kehidupan mereka namun mereka telah
mengembangkan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan penyesuaian
terhadap tantangan yang ada dan mengatasi kesulitan yang terjadi. Mereka juga
mempertahankan dialog dalam dirinya yang positif, seperti mengatakan pada
dirinya pernyataan berikut: “saya pasti bisa atau saya tidak akan menyerah”.
Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan. Pada saat menghadapi
rintangan dalam pencapaian tujuan yang didambakan, mereka mengalami emosi
negatif yang sedikit dan kurang intens. Hal ini terjadi karena mereka secara kreatif
mampu mengembangkan jalur atau cara lain untuk meraih tujuan atau memilih
29
tujuan lainnya yang dapat dicapai. Ketika menghadapi permasalahan dalam
hidupnya, seseorang dengan tingkat harapan tinggi cenderung mampu
memecahkan masalah yang tampak besar dan tidak jelas menjadi masalahmasalah yang lebih kecil dan dapat didefinisikan secara lebih jelas sehingga dapat
dikelola. Sedangkan seseorang dengan tingkat harapan yang rendah, ketika
menghadapi rintangan yang berat akan mengalami perubahan emosi dengan siklus
sebagai berikut: dari berharap menjadi marah, kemudian dari marah menjadi putus
asa dan pada akhirnya putus asa menjadi apatis. Mengemukakan karakteristik
psikologis yang dimiliki seseorang dengan tingkat harapan tinggi berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukannya. Karakteristik tersebut yaitu:
1. Optimis
Seseorang dengan harapan yang tinggi pasti optimis namun tidak sebaliknya.
Optimis tampak berkaitan erat dengan willpower namun tidak dengan
waypower. Mereka yang optimis memiliki suatu energi mental terkait dengan
pencapaian tujuannya namun mereka tidal selalu memiliki pemikiran terkait
dengan cara pencapaian tujuan (waypower).
2. Memiliki cara pencapaian tujuan terhadap kehidupannya
Seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung memiliki keyakinan
bahwa dirinya sendiri memiliki kendali terhadap hidupnya dan dirinya sendiri
menentukan nasib hidupnya.
3. Harga diri (self esteem) tinggi
Seseorang yang terbiasa mengembangkan willpower dan waypower terkait
dengan tujuannya akan memiliki harga diri yang positif dalam berbagai situasi.
30
Mereka berpikir positif dengan diri sendiri karena mereka mengetahui bahwa
mereka telah meraih tujuan mereka dimasa lalu dan melakukan hal yang sama
untuk tujuan dimasa yang akan datang. Harga diri orang dengan tingkat
harapan yang tinggi tampil dalam ruang privat terkait dengan perasaan bangga
terhadap diri sendiri.
4. Memiliki persepsi tentang kemampuannya dalam pemecahan masalah
Kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah berkaitan dengan pemikiran
seseorang terkait dengan cara pencapaian tujuan. Pada saat mengalami situasi
sulit dalam melakukan cara yang biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan,
mereka menjadi sangat berorientasi pada tugas dan menjalankan cara alternatif
untuk mencapai tujuan. Mereka cenderung telah mengantisipasi permasalahan
dengan mengembangkan perencanaan dengan sistem back-up (cadangan) untuk
mengatasi kemungkinan mengalami suatu kesulitan.
2.2.4 Pengukuran Harapan
Ada beberapa skala harapan untuk melihat kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam mencapai sebuah harapan.
1. TheMillerHopeScale(MHS)
TheMillerHopeScale(MHS)dikembangkan olehMiller(1988), yangterdiri dari40
item.
Skordari40
sampai
tinggitingkatharapan.
1)kepuasandengan
200,
semakin
tinggi
Dapatdikelompokkandalam
diri,
orang
lain,
skor,
semakin
tigakomponen:
danhidup,2)penghindaranpada
ancamanharapan,dan3)antisipasipada masa depan. MHStelah digunakandalam
31
berbagai penelitiandanpengaturan yang berbeda, khususnya harapandalam
kelompokpasien dengansakitdiri, dukungan sosialdanpendidikan.
2. TheHerthHopeScale(HHS)
TheHerthHopeScale(HHS)dibuat olehHerth(1991), ada30item, di manauntuk
menggambarkansebagai"tidak pernah berlaku untuk saya" dansebagai "sering
berlaku untuk saya". Skor dari30 sampai 120, semakin tinggi skor, semakin
tinggitingkatharapan. Koefisien reliabilitassampai dengan0.94, melaluitigasub
skala: masa depan, kesiapan, harapan, dan keterkaitan.
3. TheHerthHopeIndex(HHI)
TheHerthHopeIndex(HHI)dibaut
oleh
singkatdariHHS,
subskaladariHHSasli.
termasuktiga
Synder
(2000)adalah
The
versi
HHIterdiri
dari12item, diatur denganskordari 1 sampai 4, di mana1adalah'sangat tidak
setuju' dan4 adalah'sangat setuju'. Skordari12 sampai48,semakin tinggi skor,
semakin tinggi tingkatharapan.
Tetapi dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Herth Hope Index
(HHI)Snyder (2000) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan yang dirasakan
untuk memperoleh jalur ke tujuan (goal) yang diinginkan, dan memotivasi diri
melalui lembaga berpikir (agency) untuk menggunakan jalur (pathway) tersebut.
2.3 Coping Stres
2.3.1 Definisi Stres
Stres seringkali dianggap sebagai keadaan dimana individu merasa tertekan untuk
memenuhi tuntutan dari ligkungan di sekitarnya. Tiap individu merespon tekanan
yang sama dengan cara yang berbada-beda, hal ini menunjukkan bahwa
32
pengalaman tiap individu terhadap stres bergantung pada reaksinya terhadap
tekanan dari luar. Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) mengindikasikan suatu
konsep yang sistematis untuk memahami fenomena dalam lingkup yang luas
mengenai pentingnya adaptasi manusia dan juga hewan.
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan
tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang
menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Menurut Lazarus dan Folkman
(1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik
dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial
membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun
psikologis (Rodrigue & Hoffman, dalam Duci, 2011). Stres juga diterangkan
sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk
mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme
yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang
batas kekuatan adaptifnya (Taylor, dalam Duci, 2011).
Menurut Lazarus dan Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga
bentuk yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang
muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang
muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing,
33
serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah
tersinggung.
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara
aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi
maupun afeksi. Mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus
lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Mengemukakan bahwa
stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan
fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan
reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, bahwa stres merupakan suatu
keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks
dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun
perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat
individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang
lain.
2.3.2 Penyebab Stres atau Stressor
Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan
terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari
kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja,
dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor
diperkenalkan pertama kali oleh Panter-Brick (dalam Skoudal, 2009). Menurut
Lazarus dan Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti
polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi
34
sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu
ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
2.3.3Definisi Coping
Individu dari semua umur mengalami stres dan mencoba untuk mengatasinya.
Karena ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan
ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk
mengurangi stres. Hal-hal yang dilakukan bagian dari coping Garmezy, Rutter dan
Lazarus (dalam Skoudal, 2009) coping adalah proses dimana seseorang mencoba
untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang
dinilai dalam suatu keadaan yang stressful.Menurut Lazarus dan Folkman (1986)
mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang
merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang
dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang. Menurut Garrity
dan Marx (dalam, Sarafino 2006) menambahkan bahwa coping adalah proses
dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang
dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan
(resources) yang dinilai sebagai penyebab munculnya situasi stres. Menurut
Theorell dan Rahe (dalam Sarafino 2006) usaha coping sangat bervariasi dan
tidak selalu dapat membawa pada solusi dari suatu masalah yang menimbulkan
situasi stres. Individu melakukan proses coping terhadap stres melalui proses
transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan kognitif.
35
Suatu tindakan dalam menghadapi stres biasanya disebut dengan coping.
Lazarus dan Folkman (1984, hal. 19) mendefinisikan coping sebagai berikut:
“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific
estenal and internal demands that are apprasaid as taxing or exceeding the
resources of person.”
Berdasarkan penjelasan di atsa, dapat disimpulkan bahwa coping
merupakan cara pandang dan tingkah laku yang secara konstan berubah untuk
mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani atau melebihi
sumber daya dari seseorang. Tindakan ini bisa bersifat action-oriented maupun
intrapsikis, keduanya berusaha untuk mengatur, menguasai, menoleransi, ataupun
mengurangi muatan dari lingkungan yang mengakibatkan stres.
Definisi yang disebutkan menurut Lazarus dan Folkman (1984) juga
memberikan batasan mengenai coping, yaitu yang pertama bahwa coping dilihat
bukan sebagi trait, melainkan sebuah proses. Hal ini terlihat dari pernyataan
“constantly changing and specific demands”. Kemudian ditekankan juga adanya
perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan
membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi
sumber daya seseorang. Maka, segala bentuk tingkah laku maupun pemikiran
yang tidak membutuhkan usaha tidak dapat digolongkan sebagai coping.
Selanjutnya pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk mengatur” juga
memperjelas bahwa segala tindakan dan pemikiran seseorang dalam menghadapi
situasi yang dinilai melebihi sumber dayanya merupakan coping, sebaik atau
seburuk apapun hasilnya. Terakhir, dengan menggunakan kata ”manage”,
36
copingjuga dapat mengandung, mengurangi, menghindari, menoleransi dan
menerima kondisi yang mengakibatkan stres serta menguasai lingkungan.
Dengan kata lain coping adalah usaha individu baik secara kognitif
maupun tingkah laku mengelola tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai
melebihi kapasitas kemampuan individu dari situasi yang menekan. Coping
merupakan pencarian cara untuk memperkecil dampak dari tekanan-tekanan yang
dialami oleh individu.
2.3.4 Fungsi Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (1987) proses coping terhadap stres memiliki 2
fungsi utama yang terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :
1. Emotional-Focused Coping
Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional
terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral
maupun kognitif. Mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan
Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor
yang ada tidak dapat diubah atau diatasi.
2. Problem-Focused Coping
Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau
memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. mengemukakan
bahwa individu cenderung menggunakan Problem Focused Coping ketika
individu memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah.
37
2.3.5 Dimensi Coping Stress
Menurut Lazarus dan Folkman (1986) mengidentifikasikan berbagai jenis coping
stres,baik secara problem-focused maupun emotion-focused, yaitu:
1. Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, danmenggunakan
usaha untuk memecahkan masalah.
2. Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah
situasi,mencari penyebabnya dan mengalami resiko.
3. Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber
dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.
4. Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam
masalah.
5. Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian
lebih kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.
6. Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari.
7. Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan
diri sendiri.
8. Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal
positif dengan memusatkan pada diri sendiri dan juga menyangkut religiusitas.
2.3.6 Pengukuran Coping Stres
Ada beberapa macam skala copinguntuk melihat cara individu dalam mengatasi
masalah.
38
1. The brief COPE
The brief COPE yang dikembangkan oleh Carver(1997). Alat ukur yang
merupakan adaptasi dari alat ukur COPE yang dibuat oleh Cerver, Scheier, dan
Weintraub (1989) ini digunakan untuk melihat cara individu dalam mengatasi
masalah, mengukur respon coping yang penting dan potensial dengan cepat.
The brief COPE terdiri dari 28 itemyang mengukur 14 konsep reaksi coping
yang berbeda.
2. Coping Strategi Indicator (CSI)
Coping Strategi Indicator (CSI)di buat oleh Amirkhan(1990). Terdiri dari 33
item,dengan tiga sub skala masing-masing berisi 11 item, skor yang lebih
tinggi menunjukkan lebih besar menggunakan coping.
3. Ways of Coping Scale (WOC)
Ways of Coping Scale (WOC) skala baku milik Folkman dan Lazarus (1986)
memakai perbedaanProblem-Focused Coping danEmotional Focused Coping.
Terdiri dari 66 item mengandung berbagai pikiran dan tindakakanseseorang
untuk dengan tuntutan internal dan eksternal stres. Biasanya untuk pertemuan
tertentu, seperti pengobatan medis atau pemeriksaan akademis, dipilih oleh
peneliti sebagai fokus kuesioner.
Dimana peneliti menggunakan pengukuran Ways of Coping Scale (WOC) karena
Problem Focused Coping dan Emotional Focused Coping mengandung berbagai
pikiran dan tindakakanseseorang untuk dengan mengelolafaktor internal dan
eksternal dalam diri caregiver disaat menghadapi stres.
39
2.4Caregiver
2.4.1 Definisi Caregiver
Caregiveradalah individu yang memberikan perawatan kepada orang lain yang
sakit atau orang tidak mampu (Oyebade, 2003). Seorang caregiver bisa berasal
dari anggota keluarga, teman, ataupun tenaga profesional yang mendapatkan
bayaran (Nadya, 2009). Caregiver keluarga di definisikan sebagai individu yang
memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara
bersungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi
anggota keluarganya yang menderita penyakit kronis (Tantono, 2006). Caregiver
adalah seseorang yang memberikan bantuana kepada orang yang mengalami
ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya
(Sukmarini, 2009).
2.4.2 Jenis Caregiver
Caregiver di bagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver
informal adalah seseorang individu (anggota kelurga, teman, atau tetangga) yang
membeikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal
bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal
adalah caregiver yang merupakan bagian system pelayanan, baik di bayar maupun
sukarelawan (Sukmarini, 2009).
2.4.3 Fungsi Caregiver
Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke dokter,
dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian (Tantono,
2006). Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien kanker sendiri adalah gangguan
40
dimana faktor psikis juga ikut berperan. Faktor psikis tersebut sudah menjadi
beban mental kepada pasien (Adikusumo, 1999).
Caregiver juga membantu pasien mengambil keputusan atau pada
stadium akhir penyakitnya, justru caregiver ini yang membuat keputusan untuk
pasiennya. Keluarga caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan di
perlukan oleh pasien (Tantono, 2006).
2.4.4 Tugas Caregiver
Caregiver berperan penting dalam perawatan di dalam rumah dan sering
melakukan tugas perawatan yang kompleks termasuk penilaian dan pengelolaan
gejala, perawatan kebersihan, dan pengadministrasian obat.Caregiver tidak hanya
membantu dalam hal perawatan bersama penyedia jasa perawatan, tetapi juga
menyediakan sebagian besar dukungan dalam rumah (Hoskins, Coleman, & Mc
Neely, dalam Denise, 2010).Tugas caregiver digolongkan ke dalam dua
kelompok, yaitu (Lubis, 2004):
1. Berdasarkan bentuk gangguan yang dialami pasien
Setiap caregiver memberikan bantuan yang berbeda-beda kepada pasiennya
dikarenakan masing-masing pasien memiliki bentuk gangguan yang berbedabeda. Contohnya, individu yang mengalami gangguan pada fungsi fisik,
mengetahui apa yang hendak ia lakukan, namun tidak mampu mengerjakannya
tanpa bantuan caregiver. Bebeda dengan individu yang mengalami gangguan
pada fungsi kongnitif. Ia mengalami kesulitan dalam menentukan cara untuk
menyelesaikan pekerjaannya, sehingga membutuhkan seorang caregiver.
41
2. Berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan caregiver
Seorang caregiver
menyediakan
materi
dapat
yang
melakukan beberapa tindakan, antara
dapat
memberikan
pertolongan
lain
langsung,
memberikan informasi atau saran tentang situasi dan kondisi pasien,
memberikan rasa nyaman dan dihargai serta diperlukan, menghargai sikap
positif individu dan memberikan semnagat dengan memberikan penilaian
positif kepada pasien, serta membuat pasien merasa menjadi anggota dari suatu
kelompok yang saling membutuhkan.
2.5 Kerangka Berpikir
Penyakit kanker merupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan, hal inilah
yang menjadikan seorangcaregiver bukanlah hal yang mudah, di tambah dengan
adanya tanggung jawab baru dalam keluarga, yaitu menjaga dan merawat pasien.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan caregiver untuk dapat bertahan dalam
menghadapi situasi sulit yang dihubungkan dengan resiliensi, menurut Siebert
(2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk dapat
bangkit kembali dalam menghadapi situasi yang dirasa sulit. Individu yang
memiliki resiliensi yang tinggi tidak membutuhkan orang lain untuk
membantunya dalam menghadapi situasi stres dan dengan memiliki resiliensi
yang tinggicaregiver mempunyai harapan dalam merawat pasien.
Kanfer dan Ackerman (dalam Drach-Zahavy, 2002) menjelaskan bahwa
adapun faktor yang mempengaruhi resiliensi caregiver adalah rasa ingin
melindungi pasien yang terkena kanker (faktor protektif), atas dasar keinginan
untuk melindungi inilah dapat dikaitkan dengan teori harapan merupakan suatu
42
sikap positif, yang mempengaruhi kognitif, emosi, dan motivasi yang
berhubungan dengan masa depan.
Dalam proses mengembangkan kapasistas bertahanuntuk menghadapi
tantangan fisik, sosial, dan emosional saat merawat pasien kanker,caregiver
membutuhkan harapan dalam dirinya untuk melindungi pasien dari penyakit yang
di derita. Sehingga harapan (hope)sangat berperan penting dalam diri caregiver
saat memutuskan dirinya untuk menjadi seorang caregiver pasein kanker, seperti
yang dikatakan Duflaut dan Martocchia(dalam Moseley, 2011)menjelaskan bahwa
harapan(hope)memungkinkan seseorang untuk mengatasi situasi yang penuh
tekanan (stressful) dengan mengharapkan hasil yang positif, karena dengan
mengharapkan hasil yang positif maka seseorang akan termotivasi untuk
bertindak saat berada di situasi yang tidak pasti.
Diharapkan dengan memiliki tujuan atau goal, caregiver dapat
meningkatkan resiliensi dalam merawat pasienbahwa dengan memiliki tujuan
untuk kesembuhan pasien, dan dengan adanya agency atau motivasi pada
caregiver dapat memiliki komitmen untuk mencapai tujuan, serta pathway atau
bagaimana
seseorang
menemukan
cara
untuk
mencapai
tujuan
yang
diinginkandengan baik.
Biasanya caregiver memiliki banyak harapan, namun ia sadar ia tidak
mempunyai waktu dan tenaga yang cukup untuk memaksimalkan harapanharapan tersebut. Jika stres tidak diselesaikan dan berlarut-larut maka akan
terjadinya kelelahan atau depresi, dalam hal ini depresi pada caregiver
43
mengesampingkan kebutuhan dan harapan pada dirinya sendiri dalam merawat
pasien kanker.
Pada penelitian ini sendiri, peneliti menempatkan diri pada pandangan
yang melihat bahwa pemilihan coping yang tepat untuk dapat bertahan (resilien)
yang dilakukan oleh caregiver dalam merawat pasien kanker. Hal ini disebabkan
karena resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993), merupakan kekuatan dari
dalam diri individu yang menggambarkan keberanian dam kemampuan untuk
beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya,
sementara coping didefinisikan sebagai cara pandang dan tingkah laku yang
dilakukan untuk mengatur tuntutan eksternal dan internal yang dinilai membebani
atau melebihi sumber daya dari seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Oleh
karena itu, peneliti mengambil kesimpulan bahwa coping merupakan usaha
ataupun tingkah laku yang diwujudkan untuk mengatasi tuntutan yang dirasa
melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang, sementara resiliensi merupakan
sesuatu yang lebih bersumber dari dalam diri seseorang.
Secara umum, Grafton, Gillespie, dan Henderson (2010), menyatakan
bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang
melakukan coping secara positif, bangkit dan berkembang setelah mengalami
kesulitan dalam hidup. Resiliensi itu sendiri dilihat Taylor (2012) sebagai salah
satu sumber coping internal yang dimiliki individu. Oleh karena itu menurut
Taylor, resiliensi dapat merefleksikan perbedaan individual dalam melakukan
coping terhadap situasi yang menimbulkan stres. Contohnya, terdapat pada
individu caregiver pada merespon stresdengan cara yang berbeda-beda, dan
44
dengan menggunakan coping stres yang tepat akan menjadikan solusi untuk
meminimalkan stres pada caregiver. Dalam menghadapi masalah yang sulit
biasanya caregiver memilih untuk menggunakan dua jenis coping, yaitu problem
focus coping,dan emotional focus coping.
Dari delapan dimensi coping stress yang telah diungkapkan oleh Lazarus
dan Folkman (1986) akan terlihat dampaknya terhadap resiliensi caregiver.
Adapun caregiver menggunakan confrontative coping akan memiliki sifat agresif
dan berani dalam mengambil resiko, dan dalam penggunaan distancing pada
caregiver cenderung lebih berusaha untuk tidak larut dalam masalah yang
dihadapinya, serta menganggap masalah tidak seberat yang dibayangkan. Selain
itu self-controlling yang ada pada diri caregiver akan menunjukan bahwa individu
berusaha menguasai dan mengendalikan diri khususnya dalam menjaga perasaan
dan tindakan, pada sekking sosial support juga caregiver berusaha mencari
dukungan dari orang lain dengan tujuan untuk dapat meringgankan beban,
accepting responsibility berarti caregiver bisa menerima tanggung jawab dalam
merawat pasien kanker. Selanjutnya escape avoidance bahwa caregiver tidak
akan lari dari kenyataan, planful problem solving dengan adanya usaha caregiver
dalam merencanakan pemecahan masalah pada stress yang dialaminya, dan
reaprasial positive dimana caregiver mengambil pelajaran dari stress yang di
hadapinya.Dengan penggunaan coping yang tepat dapat meminimalisir stres pada
caregiver, maka akan berpengaruh terhadap ketahanan (resilience)caregiver
dalam merawat pasien kanker.
45
Gambar 2.2
Kerangka Berpikir
Harapan
Goals
Agency
Pathways
Coping Stres
Resiliensi
Caregiver cancer
Confrontive coping
Distancing
Self-controlling
Seeking social support
Accepting
Escape-Avoidance
Planful problem-solving
Positive reapprasial
2.6 Hipotesis Penelitian
2.6.1 Hipotesis mayor
H1 :Ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan antara harapan dan coping stres terhadap
resiliensi caregiver kanker.
46
2.6.2 Hipotesis minor
1. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan yang
berasal darigoal terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan
yang berasal darigoal terhadap resiliensi caregiver kanker.
2. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan yang
berasal dariagency terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber
harapanyang berasal dariagencyterhadap resiliensicaregiver kanker.
3. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan
berasal daripathwayterhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 : Tidak pengaruh yang signifikan variabel dimensi sumber harapan
berasal daripathway terhadap resiliensi caregiver kanker.
4. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres berasal
dari confrontative coping terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
berasal dari confrontative coping terhadap resiliensi caregiver kanker.
5. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
distancing terhadap resiliensicaregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
distancing terhadap resiliensi caregiver kanker.
6. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresself
controllingterhadap resiliensicaregiver kanker.
47
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres self
controllingterhadap resiliensicaregiver kanker.
7. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresseeking
social support terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 :Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
seeking social supportterhadap resiliensicaregiver kanker.
8. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres accepting
responsibility terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
accepting responsibility terhadap resiliensi caregiver kanker.
9. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres escape
avoidance terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
escape avoidance terhadap resiliensi caregiver kanker.
10. H1 :Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stresplanful
problem solving terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
planful problem solving terhadap resiliensi caregiver kanker.
11. H1 : Ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
reappraisal positive terhadap resiliensi caregiver kanker.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan variabel dimensi coping stres
reappraisal positiveterhadap resiliensicaregiver kanker.
48
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang populasi, sampel dan teknik penelitian, variabel dan definsi
operasional masing-masing variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji
validitas konstruk, teknik analisis data, metode analisis data, dan prosedur
penelitian yang digunakan.
3.1 Populasi dan sampel
Dalam penelitian ini yang merupakan populasi adalahcaregiveryang membantu
merawatpasien kanker, caregiver itu sendiri adalah anggota keluarga yang
merawat pasien kanker dirumah, dan dimana pasien dirawat diRumah Sakit
Jakarta dan Yayasan Kanker Indonesia.
Dari populasi yang ada peneliti mengambil 165 sampel. Dalam penelitian
ini, teknik yang akan digunakan adalah teknik non-probability sampling, di mana
tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk
menjadi sampel penelitian (Kumar, 2005). Teknik non-probability sampling, yang
digunakan dalam penelitian ini adalah accidental, yaitu peneliti memilih sampel
berdasarkan ketersediaan dan kesediaan dari responden untuk mengisi kuesioner.
3.2 Variabel Penelitian
Penelitian ini akan menguji pengaruh antara variabel bebas (independent variabel)
terhadap variabel terikat (dependent variabel), dimana masing-masing variabel
bebas dan terikat sebagai berikut :
49
1. Dependent variabel : Resiliensi
Definisi operasional : Secara operasional definisi resiliensi adalah keberhasilan
untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata
lain resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan
setelah jatuh dan terpuruk, yang diukur dengan Resilience Scale (RS)
dirancang Wagnild dan Young (1990), untuk mengukur ketahanan pada
keperawatan, ada lima dimensi: ketenangan hati, ketekunan, kemandirian,
kebermaknaan, dan eksistensial kesendirian.
2. Independent variabel: Harapan
Definisi Operasional : Harapanmenurut Synder(2000), adalah kemampuan
untuk merencanakan suatu cara atau jalur menuju tujuan (goal), dengan adanya
motivasi untuk menggunakan cara atau jalur tersebut (agency), yang
diharapkan meskipun menjumpai halangan atau rintangan (pathway)dapat
mencapai tujuan. Hasil pengukuran dengan skala dimensi harapan pada
caregiver kanker, yang diukur dengan skala goal,agency,dan pathway.
3. Independent variabel: Coping stres
Definisi operasional : Coping stres adalah ketegangan fisik dan emosional yang
menyertai stres menimbulkan ketidaknyaman, seseorang menjadi termotivasi
untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres, hasil pengukuran dengan
skala dimensi coping stres pada caregiverkanker, yang di ukur dengan skala
Lazarus & Folkman (1986) yang meliputi kemampuan memecahkan masalah
(planful problem solving), menghadapi masalah (confrontive coping),
mengendalikan diri (self controlling),mencari dukungan sosial (seeking social
50
support), menerima tanggungjawab (accepting responsibility), menjaga jarak
(distancing), melarikan diri-menghindari (escape-avoidance), penilaian positif
(positive reappraisal).
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini yaitu:
1. Isian biodata subjek penelitian, yang berisi pertanyaan mengenai biodata
responden, yaitu jenis kelamin caregiver, usia caregiver, jenis kanker yang
diderita pasien, stadium pasien kanker, hubungan caregiver dengan pasien
kanker, pendidikan terakhir caregiver, dan penghasilan caregiver perbulan.
2. Menggunakan skala. Penggunaan skala pada pengumpulan data didasarkan
bahwa untuk mengungkapkan data seperti mengenai sikap terhadap sesuatu.
Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dengan empat
alternatif jawaban.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan skala model Likert dengan
menggunakan 4 pilihan jawaban yakni sebagai berikut:
ï‚· Sangat Setuju (SS)
ï‚· Setuju (S)
ï‚· Tidak Setuju (TS)
ï‚· Sangat Tidak Setuju (STS)
Adapun perolehan skor dari item-item berdasarkan dari jawaban yang dipilih
sesuai dengan jenis pernyataan yakni favorable atau unfavorable. Jika
digambarkan dalam bentuk tabel, maka hasilnya sebagai berikut:
51
Tabel 3.1
Bobot Nilai
Kategori Respon
Favorabel
Unfavorebel
SS
4
1
S
3
2
TS
2
3
STS
1
4
3.3.2. Instrumen penelitian
Pada penelitian ini digunakan modifikasiinstrument pengambilan data berupa (1)
skala resiliensi,Resilience Scale (RS), (2) skala harapan, Herth Hope Index (HHI),
(3) skala coping stres, Ways of Coping Scale (WOC). Skala yang digunakan
adalah model Likert. Instrumen penelitian ini terdiri dari tiga skala, yaitu:
a. Skala Resiliensi
Table 3.2
Blue Print Skala Resiliensi
No Aspek
Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
Ketenangan
hati
Ketekunan
Mampu melihat
hal-hal positif
Mampu
menghadapi
situasi sulit.
Kemandirian
Yakin pada diri
sendiri
Kebermaknaan Mampu
memiliki tujuan
Eksistensial
Dapat
kesendirian
menghargai
kemampuan
yang dimilikinya
Jumlah
Item
Favorebel Unfavorebel
4, 19
3, 15, 22
Jumlah
5
7, 9, 23
8, 18
5
5, 12, 14
11, 20
5
1, 6,
2, 16, 25
5
10, 17, 24
13, 21
5
13
12
25
52
b. Skala harapan
Table 3.3
Blue Print Skala Harapan
No. Aspek
Indikator
1.
2.
3.
Goals
Mampu memiliki
tujuan
Agency
Mampu menghadapi
situasi sulit
Pathway Yakin pada diri
sendiri
Jumlah
Item
Favorebel Unfavorebel
2, 12,
3, 11
Jumlah
4
4, 6,
5, 8,
4
1, 10
7, 9
4
6
6
12
c. Skala coping stres
Tabel 3.4
Blue Print Skala Coping Stres
No. Aspek
Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Confrontative
coping
Distancing
Self
controlling
Seeking social
support
Accepting
responsibility
Escapeavoidance
Planful
problem
solving
Reappraisal
positive
Mampu mengubah situasi
Item
Favorebel Unfavorebel
46, 7, 17,
28, 34, 6
Mampu menciptakan
pandangan positif
Mampu mengatur tindakan
44, 13, 41,
21, 15, 12
14, 43, 10,
35, 54, 63, 64
Mampu mencari dukungan
8, 31, 42,
45, 18, 22
Adanya peran diri sendiri
9, 29, 51,
25
Mampu menghindar dari
masalah
Dapat memecahkan
masalah
58, 11, 59,
49, 26, 1,
33, 40, 50, 47,
16
39, 48, 52
Dapat menciptakan hal-hal
positif
23, 30, 36,
38, 60, 56, 20
3.4 Uji Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, peneliti terlebih dahulu melakukan pengujian
terhadap validitas konstruk yang digunakan. Untuk menguji validitas konstruk
digunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) atau analisis faktor konfirmatori,
53
untuk melihat validitas konstruk setiap item serta menguji struktur faktor yang
diturunkan secara teoritis. Uji validitasnya dengan menggunakan bantuan
software Lisrel 8.8.
Adapun logika dari CFA menurut Umar (2012) adalah sebagi berikut:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap
faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap
subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes
bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional.
Matriks korelasi ini disebut sigma, kemudian dibandingkan dengan matriks
dari data empris, yang disebut dengan matriks S.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian di uji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan (p>0,05), maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat
diterima bahwa item ataupun subtes instrument hanya mengukur satu faktor
saja. Sedangkan, jika nilai chi square signifikan (p>0,05), artinya bahwa item
tersebut mengukur lebih dari satu faktor bersifat multidimensional. Maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap model pengukuran.
54
5. Adapun dalam memodifikasi model pengukuran dilakukan dengan cara
membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran. Hal ini terjadi
ketika suatu item mengukur selain faktor yang hendak diukur. Setelah beberapa
kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi, maka akan
diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang akan digunakan
pada langkah selanjutnya.
6. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-test. Jika
hasil t-test tidak signifikan (t<1,96) maka item tersebut tidak signifikan dalam
mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di-drop dan
sebaliknya.
7. Selain itu, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut juga harus di-drop. Sebab hal ini tidak
sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorabel).
8. Kemudian, apabila terdapat korelasi partial atau kesalahan pengukuran item
terlalu banyak berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item yang lainnya,
maka item tersebut akan di-drop. Sebab, item yang demikian selain mengukur
apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain (multidimensi). Adapun
asumsi di-drop atau tidaknya item adalah jika terdapat lebih dari tiga korelasi
partial atau kesalahan pengukuran yang berkorelasi dengan item lainnya.
9. Terakhir, setelah dilakukan langkah-langkah seperti telah disebutkan diatas.
Serta mendapatkan item dengan muatan faktor signifikan (t<1,96) dan positif.
55
Maka, selanjutnya item-item yang signifikan (t<1,96) dan positif tersebut akan
diolah untuk nantinya didapatkan faktor skornya.
Adapun hasil uji validitas konstruk dapat dilaporkan sebagai berikut:
3.4.1
Uji validitas Alat Ukur Resiliensi
1. Dimensi Ketenangan Hati
Peneliti menguji apakah 5 item ketenangan hati bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur ketenangan hati. Hasil analisis CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 45.82, df = 5, Pvalue = 0.00000 , RMSEA = 0.223. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square =
6.90, df = 3, P-value = 0.07517, RMSEA = 0.089. Nilai Chi-Square menghasilkan
P-Value>0.05
(signifikan),
yang
artinya
model
dengan
satu
faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja
yaitu ketenangan hati.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.1 dibawah ini:
Gambar 3.1Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Ketenangan Hati
56
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.5.
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Ketenangan Hati
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.41
0.08
2.
Item2
1.15
0.10
3.
Item3
0.68
0.08
4.
5.
Item4
Item5
0.90
-0.22
0.10
0.08
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96)
Nilai t
5.28
11.77
8.14
Signifikansi
V
V
V
9.11
-2.54
V
X
X = tidak signifikan
Dari tabel 3.5, hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang
tidak signifikan karena nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan
koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
2. Dimensi Ketekunan
Peneliti menguji apakah 5 item ketekunan bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur ketekunan. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 70.79, df = 5, P-value =
0.00000, RMSEA = 0.283. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 1.51, df = 2, Pvalue = 0.47108, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value >
0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu ketekunan.Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
57
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 3.2 dibawah ini:
Gambar 3.2 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Ketekunan
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6 berikut.
Tabel 3.6 Muatan Faktor ItemKetekunan
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.76
0.11
2.
3.
4.
5.
Item2
Item3
Item4
Item5
1.00
1.25
1.00
0.79
0.12
0.22
0.12
0.12
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96)
Nilai t
6.66
Signifikansi
V
8.09
5.59
8.05
6.82
V
V
V
V
X = tidak signifikan
Dari tabel 3.6 nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item
signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang
bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya
negatif.
58
3. Dimensi Kemandirian
Peneliti menguji apakah dari 5 item kemandirian bersifat unidimensional, artinya
hanya mengukur kemandirian. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 29.74, df = 5, P-value =
0.00002, RMSEA = 0.174. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 7.33, df = 4, Pvalue = 0.11922, RMSEA = 0.071. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value >
0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu kemandirian.Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 3.3 dibawah ini:
Gambar 3.3Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Kemandirian
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut.
59
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Kemandirian
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.66
0.07
2.
Item2
0.82
0.07
3.
4.
5.
Item3
Item4
Item5
0.87
0.56
0.14
0.07
0.08
0.08
Nilai t
8.78
12.00
Signifikansi
V
V
13.05
7.13
1.70
V
V
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel 3.7hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang
tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item
lainnya signifikan.
4. Dimensi Kebermaknaan
Peneliti menguji apakah dari 5 item kebermaknaan bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur kebermaknaan. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
32.47, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.183. Oleh sebab itu, penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model
fit, dengan Chi-Square = 7.51, df = 4, P-value = 0.11128, RMSEA = 0.073. Nilai
Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu kebermaknaan.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.4
dibawah ini:
60
Gambar 3.4 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Kebermaknaan
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Kebermaknaan
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.53
0.08
2.
3.
4.
5.
Item2
Item3
Item4
Item5
1.19
0.54
0.48
0.04
0.10
0.08
0.08
0.06
Nilai t
6.48
Signifikansi
V
12.19
6.68
6.21
0.65
V
V
V
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel 3.8hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 5 yang
tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item
lainnya signifikan.
5. Dimensi Eksistensial kesendirian
Peneliti menguji apakah dari 5 item eksistensial kesendirian bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur eksistensial kesendirian. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan
Chi-Square = 86.24, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.315. Oleh sebab itu,
61
penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit, dengan Chi-Square = 2.70, df = 2, P-value = 0.25871, RMSEA = 0.046.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu eksistensial kesendirian.Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
seperti pada gambar 3.5 dibawah ini:
Gambar 3.5 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Eksistensial Kesendirian
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9 berikut.
Tabel 3.9 Muatan Faktor ItemEksistensial Kesendirian
No.
Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
1.
Item1
0.49
0.08
6.48
Signifikansi
V
2.
3.
Item2
Item3
0.98
0.87
0.06
0.07
15.83
13.22
V
V
4.
5.
Item4
Item5
0.43
0.57
0.08
0.07
5.61
7.80
V
V
62
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel 3.9 nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item
signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang
bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya
negatif.
3.4.2
Uji Validitas Alat Ukur Harapan
1. Dimensi Goals
Peneliti menguji apakah dari 4 item goal bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur goal. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu
faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 11.25, df = 2, P-value = 0.00361,
RMSEA = 0.168. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 0.98, df = 1, Pvalue = 0.32175, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value >
0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu goal.Oleh sebab itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit seperti pada gambar 3.6 dibawah ini:
63
Gambar 3.6 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Goals
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10 berikut.
Tabel 3. 10 Muatan Faktor Item Goal
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.71
0.07
Nilai t
10.03
Signifikansi
V
2.
Item2
1.10
0.06
18.40
3.
Item3
0.71
0.07
10.11
4.
Item4
-0.04
0.10
-0.42
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
V
V
X
Dari tabel 3.10, hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 4 yang
tidak signifikan karena koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan
koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
2. DimensiAgency
Peneliti menguji apakah dari 4 item agency bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur agency. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model
satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 4.69, df = 2, P-value =
0.09588, RMSEA = 0.091. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05
(signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
64
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu agency.Oleh sebab
itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit seperti pada gambar 3.7 dibawah ini:
Gambar 3.7Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Agency
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11 berikut.
Tabel 3. 11 Muatan Faktor Item Agency
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.19
0.07
2.
Item2
-0.30
0.09
Nilai t
2.79
-3.41
3.
Item3
0.45
0.11
4.18
4.
Item4
1.49
0.26
5.71
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
X
V
V
Dari tabel 3.11hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 yang
tidak signifikan karena koefisiennya negatif dan nilai t > 1,96, sedangkan
koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
65
3. Dimensi Pathway
Peneliti menguji apakah dari 4 item pathway bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur pathway. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 6.36, df = 2, P-value =
0.04150, RMSEA = 0.115. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 0.09, df = 1, Pvalue = 0.76025, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value >
0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu pathway.Oleh sebab
itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit seperti pada gambar 3.8 dibawah ini:
Gambar 3.8 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Pathway
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12 berikut.
66
Tabel 3.12Muatan Faktor Item Pathway
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.40
0.14
2.
Item2
0.28
0.13
Nilai t
2.80
2.20
3.
Item3
0.67
0.22
3.13
4.
Item4
0.33
0.12
2.62
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
V
V
V
Dari tabel 3.12, nilai t bagi koefisien muatan faktor dari keseluruhan item
signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, apakah ada yang
bermuatan negatif, maka diketahui tidak terdapat item yang bermuatan faktornya
negatif.
3.4.3
Uji Validitas Alat Ukur Coping Stres
1. Dimensi Confrontative coping
Peneliti menguji apakah dari 6 item confrontative coping bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur confrontative coping. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
14.27, df = 9, P-value = 0.11300, RMSEA = 0.060. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja
yaitu confrontative coping.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.9 dibawah ini:
67
Gambar 3.9 AnalisisKonfirmatorik Dari Faktor Variabel Confrontative Coping
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13 berikut.
Tabel 3.13Muatan Faktor Item Confrontative Coping
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.33
0.12
2.
Item2
0.15
0.12
3.
Item3
0.11
0.11
Nilai t
2.67
1.29
0.95
4.
Item4
0.41
0.14
3.03
5.
Item5
0.58
0.17
3.41
6.
Item6
0.13
0.12
1.13
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
X
X
V
V
X
Dari tabel 3.13hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2, 3 dan
6 yang tidak signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor
item lainnya signifikan.
2. Dimensi Distancing
Peneliti menguji apakah dari 6 item distancing bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur distancing. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square = 18.70, df = 9, P-value =
68
0.02787, RMSEA = 0.081. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 12.05, df = 8,
P-value = 0.14900, RMSEA = 0.056. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value >
0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu distancing.Oleh
sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit seperti pada gambar 3.10 dibawah ini:
Gambar 3.10 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Distancing
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.14 berikut.
69
Tabel 3.14Muatan Faktor Item Distancing
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
1.18
0.32
2.
Item2
0.07
0.07
Nilai t
3.67
1.04
3.
Item3
0.18
0.09
2.10
4.
Item4
0.45
0.14
3.16
5.
Item5
-0.14
0.08
-1.74
6.
Item6
-0.12
0.07
-1.56
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
X
V
V
X
X
Dari tabel 3.14hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 tidak
signifikan karena nilai t > 1.96, item nomor 5 dan 6 yang tidak signifikan karena
koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item
lainnya signifikan.
3. Dimensi Self controlling
Peneliti menguji apakah dari 7 item self controlling bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur self controlling. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
260.99, df = 14, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.328. Oleh sebab itu, penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model
fit, dengan Chi-Square = 3.84, df = 5, P-value = 0.57195, RMSEA = 0.000. Nilai
Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu self controlling. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
70
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.11
dibawah ini:
Gambar 3.11 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelSelf Controlling
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.15 berikut.
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Self Controlling
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
1.01
0.06
Nilai t
16.54
Signifikansi
V
2.
Item2
0.95
0.06
14.79
3.
Item3
0.17
0.09
1.86
4.
Item4
0.30
0.09
3.31
5.
Item5
-0.42
0.08
-5.71
6.
Item6
0.90
0.07
13.56
7.
Item7
0.86
0.07
12.89
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
V
X
V
X
V
V
Dari tabel 3.15 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 2 tidak
signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 5 nilai koefisiennya negatif dan
nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
71
4. Dimensi Seeking social support
Peneliti menguji apakah dari 6 item seeking social support bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur seeking social support. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan
Chi-Square = 39.80, df = 9, P-value = 0.00001, RMSEA = 0.144. Oleh sebab itu,
penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit, dengan Chi-Square = 8.72, df = 7, P-value = 0.27345, RMSEA = 0.039.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu seeking social support.Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
seperti pada gambar 3.12 dibawah ini:
Gambar 3.12 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelSeeking Social Support
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
72
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.16 berikut.
Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Seeking Social Support
No.
Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
1.
Item1
0.70
0.15
4.67
2.
Item2
1.43
0.23
6.11
3.
Item3
0.05
0.11
0.50
4.
Item4
0.54
0.13
3.99
5.
Item5
-0.15
0.11
-1.35
6.
Item6
-0.05
0.11
-0.45
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
V
X
V
X
X
Dari tabel 3.16 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 3 tidak
signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 5 dan 6 nilai koefisiennya negatif
dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
5. Dimensi Accepting responsibility
Peneliti menguji apakah dari 4 item accepting responsibility bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur accepting responsibility. Dari
hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 5.35, df = 2, P-value = 0.06906, RMSEA = 0.101. Nilai ChiSquare menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor
saja yaitu accepting responsibility.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.13
dibawah ini:
73
Gambar 3.13 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelAccepting Responsibility
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.17 berikut.
Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Accepting Responsibility
No.
Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
1.
Item1
0.58
0.10
6.01
2.
Item2
1.34
0.15
8.85
3.
Item3
0.01
0.05
0.19
4.
Item4
0.38
0.38
4.44
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
V
X
V
Dari tabel 3.17 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 3 tidak
signifikan karena nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya
signifikan.
6. Dimensi Escape-avoidance
Peneliti menguji apakah dari 8 item escape-avoidance bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur escape-avoidance. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
81.41, df = 20, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.137. Oleh sebab itu, penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
74
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model
fit, dengan Chi-Square = 17.79, df = 5, P-value = 0.27390, RMSEA = 0.034. Nilai
Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu escape-avoidance.Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar 3.14
dibawah ini:
Gambar 3.14 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariabelEscape-Avoidance
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.18 berikut.
75
Tabel 3.18 Muatan Faktor Item Escape Avoidance
No.
Item
Koefisien
Standar Error
1.
Item1
0.22
0.11
2.
Item2
-0.03
0.08
Nilai t
1.91
-0.45
3.
Item3
0.26
0.07
3.53
4.
Item4
0.40
0.08
5.19
5.
Item5
-0.17
0.11
-1.48
6.
Item6
0.38
0.08
4.83
7.
Item7
0.99
0.11
8.69
8.
Item8
0.58
0.09
6.72
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
X
X
V
V
X
V
V
V
Dari tabel 3.18hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 1 yang
tidak signifikan karena nilai t > 1.96, dan item nomor 2 dan 5 nilai koefisiennya
negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya
signifikan.sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
7. Dimensi Planful problem solving
Peneliti menguji apakah dari 6 item planful problem solving bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur planful problem solving. Dari
hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit,
dengan Chi-Square = 43.51, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.153. Oleh
sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit, dengan Chi-Square = 5.01, df = 4, P-value = 0.28650,
RMSEA = 0.039. Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0.05 (signifikan),
yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu planful problem solving.Oleh sebab
itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran
76
pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh
model fit seperti pada gambar 3.15 dibawah ini:
Gambar 3.15 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor VariablePlanful Problem Solving
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.19 berikut.
Tabel 3.19 Muatan Faktor Item Planful Problem Solving
No.
Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
1.
Item1
0.42
0.09
4.49
2.
Item2
1.49
0.21
6.97
3.
4.
5.
6.
Item3
Item4
Item5
Item6
0.37
0.10
-0.16
-0.11
0.09
0.05
0.06
0.06
4.19
2.11
-2.81
-2.04
Signifikansi
V
V
V
V
X
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel 3.19hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor item
nomor 5 dan 6 nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96, sedangkan koefisien
muatan faktor item lainnya signifikan.sedangkan koefisien muatan faktor item
lainnya signifikan.
77
8. Dimensi Reappraisal positive
Peneliti menguji apakah dari 7 item reappraisal positive bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur reappraisal positive. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-Square =
96.40, df = 14, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.189. Oleh sebab itu, penulis
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model
fit, dengan Chi-Square = 15.69, df = 11, P-value = 0.15318, RMSEA = 0.051.
Nilai Chi-Square menghasilkan P-Value > 0,05 (signifikan), yang artinya model
dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item
mengukur satu faktor saja yaitu reappraisal positive.Oleh sebab itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit
seperti pada gambar 3.16 dibawah ini:
Gambar 3.16 Analisis Konfirmatorik Dari Faktor Variabel Reappraisal Positive
Selanjutnya, melihat apakah signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur.Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
78
koefisien muatan faktor item.Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.20 berikut.
Tabel 3.20 Muatan Faktor Item Reappraisal Positive
No.
Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
1.
Item1
0.62
0.12
5.00
2.
Item2
0.98
0.14
6.77
3.
Item3
0.83
0.14
6.02
4.
Item4
-0.12
0.12
-0.99
5.
Item5
-0.12
0.19
-0.61
6.
Item6
0.57
0.12
4.64
7.
Item7
-0.27
0.12
-2.22
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Signifikansi
V
V
V
X
X
V
X
Dari tabel 3.21 hanya nilai t bagi koefisien muatan faktor dari item nomor 4, 5 dan
7 yang tidak signifikan karena nilai koefisiennya negatif dan nilai t > 1.96,
sedangkan koefisien muatan faktor item lainnya signifikan.
3.5 Metode analisis data
Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai pengaruh harapan dan coping stres
dengan resiliensi pada caregiver kanker, maka penulis menggunakan teknik
Multiple Regression Analysis (analisis regresi berganda). Analisis regresi adalah
Y’ = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + b11X11
suatu analisis yang mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel terkait.
Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan sistem perhitungan SPSS versi
18.
79
Dengan penjelasan sebagai berikut:
Y = Resiliensi
a = Intercept (konstan)
b = koefisien regresi
X1 = goals
X2 = agency
X3 = pathway
X4 = confrontative coping
X5 = escape-avoidance
X6 = reappraisal positive
X7 = accepting responsibility
X8 = seeking social support
X9 = self controlling
X10 = distancing
X11 = planful problem solving
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien
korelasi berganda antara resiliensi (DV) terhadap goals, agency, pathway,
confrontative coping, escape-avoidance,
reappraisal positive,
accepting
responsibility, seeking social supportself controlling, distancing, planful problem
solving(IV). Besarnya resiliensi yang disebabkan faktor-faktor yang telah
disebutkan ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R². R²
menunjukkan variasi atau perubahan variabel terikat (Y) disebabkan variabel
bebas (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas
(X) terhadap variabel terikat (Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians yang
dijelaskan oleh goals, agency, pathway, confrontative coping, escape-avoidance,
reappraisal positive, accepting responsibility, seeking social support, self
controlling, distancing , planful problem solving. Selanjutnya R² dapat diuji
80
signifikasinya seperti uji signifikansi pada F test biasa. Selain itu juga, uji
signifikansi bisa juga dilakukan dengan tujuan melihat apakah pengaruh IV
terhadap DV signifikan atau tidak. Pembagi disini adalah R² itu sendiri dengan dfnya yaitu sejumlah IV yang dianalisis sedangkan penyebutan (I-R²) dibagi dengan
df-nya (N-k-1) di mana N adalah total sampel. Untuk df dari pembagi sebagai
numerator sedangkan df penyebut sebagai denumator.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Tahap Penelitian
Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam pengumpulan data yaitu
sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
Tahap ini diawali dengan memilih problematika dan judul penelitian.
Selanjutnya menyusun proposal penelitian, termasuk di dalamnya menentukan
rumusan dan batasan masalah, menentukan variabel yang terdiri dari dependent
variable yaitu resiliensi dan independent variable yaitu harapan dan coping
stres. Kemudian penulis melakukan kajian teori mengenai gambaran, dan
penjelasan yang tepat mengenai variabel yang akan diteliti, merumuskan
hipotesis penelitian, menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang
akan digunakan, yaitu skala resiliensi (RS), skala harapan (HHI), skala coping
stres (WOC).
2. Tahap pengambilan data
Pada tahap ini penulis menentukan sampel penelitian, dimana sampel dalam
penelitian ini adalah keluarga pasien kanker yang merawat pasien secara
81
berkesinambungan baik di rumah ataupun mendampingi di rumah sakit.
Dengan memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta
responden untuk mengisi skala penelitian, kemudian penulis melakukan
pengambilan data dengan memberikan alat ukur yang telah disiapkan baik
secara langsung kepada responden atau lewat internet. Adapun responden yang
terkumpul sebanyak 165 responden dari 170 responden yang diberikan angket
sedangkan lima responden lainnya tidak kembali pada penulis yaitu 3,1% dari
jumlah responden yang diharapkan.
3. Tahap pengolahan data
Setelah data terkumpul, penulis melakukan pengolahan data dari hasil
instrumen penelitian yang telah diisi oleh responden.Kemudian penulis
melakukan penilaian dari hasil jawaban responden pada skala resiliensi, skala
harapan, skala coping stres. Selanjutnya, penulis melakukan analisa data
dengan menggunakan Lisrel dan SPSS untuk menguji hipotesis dan regresi
antar variabel penelitian.
82
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Bab ini peneliti menguraikan gambaran subyek penelitian,deskripsi hasil
penelitian, pelaksanaan penelitian, statistik diskriptif, gambaran kondisi lokasi
penelitian, analisis data, dan hasilnya. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel,
grafik, gambar, dan diagram.
4.1 Gambaran Subyek Penelitian
Responden dalam penelitian ini yaitu caregiver keluarga pasien kanker.
Selanjutnya akan dijelaskan gambaran berdasarkan demografi yaitu, jenis
kelamin, usia, jenis kanker, stadium, hubungan caregiver dengan pasien kanker,
pendidikan terakhir caregiver, dan penghasilan perbulan caregiver:
Tabel 4.1 DistribusiResponden Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Usia
Gambaran subjek
Frekuensi
Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
68
41.2%
Perempuan
97
58.8%
Total
165
100%
Usia
Remaja (10-18)
39
23.6%
Dewasa Awal (19-31)
54
32.7%
Dewasa (32-45)
72
43.7%
Total
165
100%
Berdasarkan
tabel 4.1 diatas, terlihat bahwa lebih dari separuh responden
penelitian berjenis kelamin laki-laki sebanyak 68 orang (41.2%) dan responden
berjenis kelamin perempuan sebanyak 97 orang (58.8%).Dari usia caregiver
terlihat bahwa remaja sebanyak 39 orang (23.6%), dewasa awal sebanyak 54
orang (32.7%), dewasa sebanyak 72 orang (43.7%).
83
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kanker Dan Stadium Kanker
Gambaran subjek
Jenis kanker
Getah bening
Hati
Kulit
Pangkreas
Payudara
Sel darah putih
Servics
Tulang
Total
Stadium pasien kanker
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
Total
Frekuensi
Persentase (%)
38
3
9
27
52
6
14
16
165
23.0%
1.8%
5.5%
16.4%
31.5%
3.6%
8.5%
9.7%
100%
21
32
63
49
165
12.7%
19.4%
38.2%
29.7%
100%
Dari tabel 4.2 jenis kanker, terlihat caregiver memiliki pasien kanker payudaralah
yang terbanyak yaitu52 orang (31.5%). Disusul oleh kanker getah bening 38
orang (23.0%), kanker pangkreas 27 orang (16.4%), kanker tulang 16 orang
(9.7%), kanker servics 14 orang (8.5%), kanker kulit 9 orang (5.5%), kanker sel
darah putih 6 orang (3.6%), dan kanker hati3 orang (1.8%).
Dari segi stadium pasien kanker, terlihat bahwa pasien yang tertinggi adalah
stadium III sebanyak 63 orang (38.2%), stadium IV sebanyak 49 orang (29.7%),
dan stadium II sebanyak 32 orang (19.4%), stadium I sebanyak 21 orang (12.7%).
84
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Dengan Pasien,
Pendidikan Akhir Caregiver Dan Penghasilan Careiver Perbulan
Gambaran subjek
Frekuensi
Persentase (%)
Hubungan dengan pasien kanker
Orang Tua
48
29.1%
Pasangan
56
33.9%
Saudara
34
20.6%
Keluarga Lain
27
16.4%
Total
165
100%
Pendidikan akhir caregiver
Sekolah Dasar (SD)
27
16.4%
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
58
35.1%
Sekolah Menengah Atas (SMA)
49
29.7%
Strata 1 (S1)
31
18.8%
Total
165
100%
Penghasilan caregiver perbulan
>Rp. 1.000.000,46
27.9%
Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,63
38.2%
Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,32
19.4%
<Rp. 2.000.000
24
14.5%
Total
165
100%
Dari tabel 4.3 segi hubungan antara caregiver dan pasien kanker, terlihat bahwa
hubungan caregiver dan pasien yang tertinggi adalah sebagai pasangan 56 orang
(33.9%), selanjutnya adalah sebagai orang tua 48 orang (29.1%), sebagai saudara
34 orang (20.6%), sebagai keluarga lain 27 orang (16.4%).
Dari segi pendidikan, terlihat bahwa pendidikan caregiver yang paling
tinggi adalah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 58 orang (35.2%), Sekolah
Mengengah Atas (SMA) sebanyak 49 orang (29.7%), Strata 1 (S1) dan sebanyak
31 orang (18.8%), dan Sekolah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 27 orang (16.4%).
Dari segi penghasilan terlihat bahwa penghasilan caregiver yang paling
tinggi adalah Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,- sebanyak 63 orang (38.2%),
selanjutnya adalah > Rp. 1.000.000,- sebanyak 46 orang (27.9%), sedangkan Rp.
85
1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,- sebanyak 32 orang (19.4%), dan < Rp. 2.000.000
sebanyak 24 orang (14.5%).
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
Peneliti membagi klasifikasi skor resiliensi, penerimaan harapan dan coping stres
pada caregiver, dibagi menjadi dua interval dengan kategorisasi tinggi dan
rendah. Untuk mengkategorisasikannya peneliti terlebih dahulu menghitung
mean, standar deviasi (SD), nilai maksimum dan minimum dari masing-masing
variabel. Nilai tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum
Mean St. Deviation
Resiliensi
165
26,62
80,76 50,0000
10,00000
Goals
165
15,97
81,16 50,0000
8,55127
Agency/willpower
165
15,40
78,61 50,0000
10,00000
Pathways/waypower
165
11,20
88,83 50,0000
10,00000
Confrontative coping
165
13,11
73,67 50,0000
10,00000
Distancing
165
33,47
74,30 50,0000
10,00000
Self controlling
165
29,73
79,05 50,0000
10,00000
Seeking social support
165
11,53
76,50 50,0000
10,00000
Accepting responsibility
165
18,56
87,71 50,0000
10,00000
Escape-avoidance
165
24,23
90,62 50,0000
10,00000
Planful problem solving
165
2,61
100,88 50,0000
10,00000
Reapprasial positive
165
14,23
89,14 50,0000
10,00000
Valid N (listwise)
165
Berdasarkan tabel diatas, data yang didapat dengan sampel berjumlah 165
orang untuk skor terendah skala resiliensi adalah 26.62, skor tertinggi adalah
80.76 dengan skor rata-rata sebesar 50.0000, dan standar deviasi sebesar
10.00000. Skor goals terendah adalah 15.97, skor tertinggi adalah 81.16 dengan
skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 8.55127. Skor agency terendah
adalah 15.40, skor tertinggi adalah 78.61 dengan skor rata-rata 50.0000 dan
standar deviasi sebesar 10.00000. Skor pathways terendah adalah 11.20, skor
86
tertinggi adalah 88.83 dengan skor rata-rata 50.00000, dan standar deviasi sebesar
10.00000.
Skor confrontative terendah adalah 13.11, skor tertinggi adalah 73.67
dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor
distancing terendah adalah 33.47, skor tertinggi adalah 74.30 dengan skor ratarata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor self controlling terendah
adalah 29.73, skor tertinggi adalah 79.05 dengan skor rata-rata 50.0000, dan
standar deviasi sebesar 10.00000. Skor seeking social support terendah adalah
11.53 skor tertinggi adalah 76.50 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar
deviasi sebesar 10.00000.
Skor accepting responsibility terendah adalah 18.56, skor tertinggi adalah
87.71 dengan skor rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor
escape-avoidance terendah adalah 24.23, skor tertinggi adalah 90.62 dengan skor
rata-rata 50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor planful problem
solving terendah adalah 2.61, skor tertinggi adalah 100.88 dengan skor rata-rata
50.0000, dan standar deviasi sebesar 10.00000. Skor reaapraisal positive terendah
adalah 14.23, skor tertinggi adalah 89.14 dengan skor rata-rata 50.0000, dan
standar deviasi sebesar 10.00000.
Nilai rentangan terbesar (nilai maximum-minimum) terdapat pada variabel
planful problem solving, yaitu sebesar 100.88. Hal ini berarti planful problem
solving
merupakan variabel yang paling heterogen diantara variabel-variabel
yang lainnya. Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari norma skor,
maka dapat ditetapkan norma seperti yang tertera pada tabel 4.3.
87
4.2.1 Analisis deskriptif
Pada penelitian ini, peneliti membagi klasifikasi skor resiliensi,goal, agency,
pathway,confrontative coping, distancing, self controlling, seeking social
support,accepting responsibility, escape-avoidance,planful problem solving,
reappraisal positive menjadi dua skor, yaitu skor rendah,dan tinggi. Duaskor
diperoleh dengan menggunakan standart deviasi dan mean dari skala t dengan
persamaan sebagai berikut.
Tabel 4.5 Kategorisasi skor Variabel
Kategori
Norma
Tinggi
X ≥ Mean
Rendah
X < Mean
Setelah kategori tersebut didapatkan, Setelah kategori tersebut didapatkan, maka
akan diperoleh nilai persentase kategorisasi untuk resiliensi, harapan, dan coping
stres sebagai berikut.
4.3 Kategorisasi Deskriptif Variabel
4.3.1 Kategorisasi skor resiliensi
Adapun untuk kategorisasi skor resiliensi pada 165 orang dapat digambarkan pada
table 4.5 berikut.
Tabel 4.6 Distribusi Skor Resiliensi
Kategorisasi
Frekuensi
Tinggi
79
Rendah
86
Total
165
Persentasi
47.9%
52.1%
100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor
resiliensi yang tinggi sebanyak 79 orang (47.9%) dan 86 orang (52.1%) yang
memiliki skor resiliensi yang rendah.
88
4.3.2 Kategorisasi skor sumber harapan
Adapun untuk kategorisasi skor harapan pada 165 orang dapat digambarkan pada
table 4.6
Tabel 4.7 Distribusi Skor Harapan
Kategorisasi
Frekuensi
Persentasi
Tinggi
58
35.2%
Rendah
107
64.8%
Total
165
100%
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor harapan
yang tinggi sebanyak 58 orang (35.2%) dan 107 orang (64.8%) yang memiliki
skor harapan yang rendah.
4.3.3 Kategorisasi skor coping stres
Adapun untuk kategorisasi skor coping stres pada 165 orang dapat digambarkan
pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Distribusi Skor Coping Stres
Variabel
Kategorisasi
Tinggi
confrontative coping
Rendah
Total
Tinggi
Distancing
Rendah
Total
Tinggi
Self controlling
Rendah
Total
Tinggi
Seeking sosial support
Rendah
Total
Tinggi
Accepting responsibility
Rendah
Total
Tinggi
Escape-avoidance
Rendah
Total
Tinggi
Planful problem solving
Rendah
Total
Tinggi
Reappraisal positive
Rendah
Total
Frekuensi
85
80
165
68
97
165
34
131
165
20
145
165
25
140
165
84
81
165
150
15
165
27
138
165
Persentasi
51.5%
48.5%
100%
58.8%
41.2%
100%
20.6%
79.4%
100%
12.1%
87.9%
100%
15.2%
84.4%
100%
50.9%
49.1%
100%
90.9%
9.1%
100%
16.4%
83.6%
100%
89
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki skor planful
problem solving yang tinggi sebanyak 150 orang (90.9%) dan 145 orang (87.9%)
yang memiliki skor seeking sosial support yang rendah.
4.4 Uji Hipotesis Penelitian
4.4.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi
berganda dengan menggunakan software SPSS 18. Seperti yang sudah disebutkan
pada bab 3, dalam regresi ada 3 hal yang dilihat yaitu, melihat apakah IV
berpengaruh signifikan terhadap DV, kedua melihat besaran R-Square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV,
kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masingmasing IV. Langkah pertama, peneliti menganalisis dampak dari seluruh variabel
independen terhadap resiliensi. Untuk R-Square pada tabel tabel 4.9 berikut.
Tabel 4.9
R Square
Model Summary
Model
R
1
,561a
R
Square
,315
Adjusted
R Square
,266
Std. Error of
the Estimate
8,556821
Change Statistics
F Change
6,399
Sig.F
Change
,000
Predictors: (Constant), distancing, confrontative coping, self controlling, escapeavoidance, agency, seeking social support, planful problem solving, pathway,
accepting responsibility, goal, reappraisal positive.
Dari tabel 4.9 diatas dapat kita lihat bahwa perolehan R square sebesar
0.315 atau 31.5%. Artinya proporsi varians dari resiliensi yang dijelaskan oleh
semua variabel independen adalah sebesar 31.5%, sedangkan 68.5% sisanya
90
dipengaruhi variabel lain diluar penelitian ini. Adapun hasil uji F dapat dilihat
pada 4.10.
Tabel 4.10
Tabel Anova
Model
Sum of Squares
1 Regression
5167,632
Residual
Total
11232,368
16400,000
ANOVAb
Df
Mean Square
11
469,785
153
164
F
6,399
Sig.
,000a
73,414
a. Predictors: (Constant),reappraisal positive,confrontative coping,distancing,
escape-avoidance,self controlling, agency,seeking social support, planful
problem solving, pathways, accepting responsibility, goal.
b. Dependent Variable: resiliensi
Jika melihat kolom signifikan (p<0,05), maka hipotesis nihil yang menyatakan
tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh independen variabel terhadap
resiliensi pada caregiver kanker ditolak. Sedangkan yang diterima adalah
hipotesis penelitian. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari goal, pathway,
agency,distancing, confrontative coping, escape-avoidance, self controlling,
planful problem solving, accepting responsibility, seeking social support,
reappraisal positive terhadap resiliensi caregiver kanker. Langkah terakhir adalah
melihat koefisien regresi tiap variabel indepeden pada tabel 4.11.
91
Tabel 4.11
Tabel Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
1 (Constant)
Goals
Agency
Pathways
Confrontative
Distancing
Selfcontrolling
seeking social support
Acceptingresponsibility
Escapeavoidance
Planfulproblemsolving
Reapprasial positive
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
30,070
6,929
-1,886
,378
-1,613
,188
,099
,188
,277
,187
,277
-,110
,069
-,110
,120
,077
,120
,197
,077
,197
-,174
,156
-,174
-,179
,268
-,179
,227
,079
,227
,277
,147
,277
1,461
,331
1,461
T
4,340
-4,991
1,891
1,485
-1,585
1,557
2,546
-1,110
-,667
2,861
1,890
4,414
Sig.
,000
,000*
,060
,140
,115
,122
,012*
,269
,506
,005*
,061
,000*
a. Dependent Variable: Resiliensi
Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 4.10 Tabel koefisien IV dapat
disampaikan bahwa persamaan regresi adalah sebagai berikut:
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan variabel signifikan
Resiliensi
= 30.070 – 1,886goal* + 0.188 agency + 0.277 pathway –
0.110confrontative + 0.120distancing + 0.197self controlling* – 0.174seeking
social support - 0.197accepting responsibility + 0.227escape avoidance* + 0.277
planful problem solving + 1.461reappraisal positive*.
Dari Tabel 4.10 di atas, untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi
yang dihasilkan, cukup melihat pada nilai signifikan pada kolom ke-6. Jika
signifikan <0.05, maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan juga
pengaruhnya terhadap resiliensi, begitu pula sebaliknya. Dari hasil tabel di atas,
terdapat tujuh IV yang signifikan terhadap resiliensi yaitu goal, self controlling,
escape-avoidance, escape avoidance, reappraisal positive. Adapun penjelasan
92
dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing IV adalah sebagai
berikut:
1.
Dimensi Goal: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar – 1.886 dan
signifikan sebesar 0.000, yang berarti bahwa dimensi goalberpengaruh secara
signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker. Artinya, semakin tinggi goal,
maka semakin rendah resiliensi caregiver kanker.
2.
Dimensi Agency: diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.188dan
signifikan sebesar 0.060, yang berarti bahwa dimensi agencytidak
berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
3.
Dimensi Pathway: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.277dan
signifikan sebesar 0.140, yang berarti bahwa dimensi pathwaytidak
berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
4.
Dimensi Confrontative coping: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar –
0.110 dan signifikan sebesar 0.115, yang berarti bahwa dimensi confrontative
copingtidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
resiliensi
caregiverkanker.
5.
Dimensi Distancing: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.120 dan
signifikan sebesar 0.122, yang berarti bahwa dimensi distancing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
6.
Dimensi Self controlling: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.197
dan
signifikan
sebesar
0.012,
yang
berarti
bahwa
dimensi
self
controllingberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
93
Artinya semakin tinggi self controlling, maka semakin tinggi resiliensi
caregiver kanker.
7.
Dimensi Seeking social support: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar –
0.174 dan signifikan sebesar 0.269, yang berarti bahwa dimensi seeking
social supporttidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi
caregiverkanker.
8.
Dimensi Accepting responsibility: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.179 dan signifikan sebesar 0.506, yang berarti bahwa dimensi accepting
responsibilitytidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
resiliensi
caregiverkanker.
9.
Dimensi Escape-avoidance: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar + 0.227
dan signifikan sebesar 0.005,
yang berarti bahwa dimensi escape-
avoidanceberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
Artinya semakin tinggi escape-avoidance, maka semakin tinggi resiliensi
caregiverkanker.
10. Dimensi Planful problem solving: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar +
0.277 dan signifikan sebesar 0.061, yang berarti bahwa dimensi planful
problem solving tidak berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi
caregiverkanker.
11. Dimensi Reappraisal positive: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar +
1.461 dan signifikan sebesar 0.000, yang berarti bahwa dimensi reappraisal
positiveberpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi caregiverkanker.
Artinya semakin tinggi reappraisal positive, maka semakin tinggi resiliensi
caregiverkanker.
94
4.4.2 Proporsi varians masing-masing independent variable
Peneliti ingin mengetahui sumbangan atau kontribusi dari masing-masing
independent variable terhadap dependent variable. Besarnya sumbangan masingmasing IV yaitu goal, agency, pathway,confrontative coping, distancing, self
controlling,
seeking
social
support,
accepting
responsibility,
escape-
avoidance,planful problem solving, reappraisal positive terhadap DV yaitu
resiliensi dapat dilihat pada tabel 4.12.
Tabel 4.12
Proporsi Varians Masing-masing Independent Variabel
Model Summary
Model
R
R square
R square Sumbangan
F
change
change
1
,242a
,059
,059
5.9%
10,175
2
,253b
,064
,005
0.5%
,904
c
3
,271
,074
,010
1.0%
1,665
4
,300d
,090
,016
1.6%
2,871
5
,357e
,127
,037
3.7%
6,815
f
6
,401
,161
,034
3.4%
6,385
7
,402g
,162
,000
0%
,059
h
8
,439
,193
,031
3.1%
5,997
9
,470i
,221
,029
2.9%
5,730
j
10
,477
,228
,007
0.7%
1,309
11
,561k
,315
,087
8.7%
19,480
Sig.change
,002*
,343
,199
,092
,010*
,012*
,809
,015*
,018*
,254
,000*
*signifikan
a. Predictors: (Constant), goal
b. Predictors: (Constant), goal, agency
c. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway
d. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative
e. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing
f. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing, selfcontrolling
g. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing,
selfcontrolling,seeking social support.
h. Predictors: (Constant), goal, agency, pathway, confrontative, distancing, selfcontrolling,
seeking social support, accepting responsibility
i. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency, seeking
social support, pathway, goal, escapeavoidance.
j. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency,seeking
social support, pathway, goal, escapeavoidance, planful problemsolving.
k. Predictors: (Constant), accepting, confrontative, distancing, self controlling, agency, seeking
social support, pathway, goal, escapeavoidance, planful problem solving,reaprasial positive.
95
1.
Variabel goal memberikan sumbangan sebesar 5.9% dalam varians resiliensi
dengan F sig.change = 0.02. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik
(sig < 0.05).
2.
Variabel agency teman memberikan sumbangan sebesar 0.5% dalam varians
resiliensi dengan F sig.change = 3.34. Sumbangan tersebut tidak signifikan
secara statistik (sig < 0.05).
3.
Variabel pathway memberikan sumbangan sebesar 1.0% dalam varians
resiliensi dengan F sig.change = 1.99. Sumbangan tersebut tidak signifikan
secara statistik (sig < 0.05).
4.
Variabel confrontative coping memberikan sumbangan sebesar 1.6% dalam
varians resiliensi dengan F sig.change = 0.92. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik (sig < 0.05).
5.
Variabel distancing memberikan sumbangan sebesar 3.7% dalam varians
resiliensi dengan F sig.change = 0.10. Sumbangan tersebut signifikan secara
statistik (sig < 0.05).
6.
Variabel self controlling memberikan sumbangan sebesar 3.4% dalam
resiliensi dengan F sig.change = 0.12. Sumbangan tersebut signifikan secara
statistik (sig < 0.05).
7.
Variabel seeking social supportmemberikan sumbangan sebesar 0% dalam
varians resiliensi dengan F sig.change = 8.09. Sumbangan tersebut tidak
signifikan secara statistik (sig < 0.05).
96
8.
Variabel accepting responsibility memberikan sumbangan sebesar 3.1%
dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 0.15. Sumbangan tersebut
signifikan secara statistik (sig <0.05).
9.
Variabel escape-avoidance memberikan sumbangan sebesar 2.9% dalam
varians resiliensi dengan F sig.change = 0.18. Sumbangan tersebut signifikan
secara statistik (sig <0.05).
10. Variabel planful problem solving memberikan sumbangan sebesar 0.7%
dalam varians resiliensi dengan F sig.change = 2.54. Sumbangan tersebut
tidak signifikan secara statistik (sig <0.05).
11. Variabel reappraisal positive memberikan sumbangan sebesar 8.7% dalam
varians resiliensi dengan F sig.change = 0.00. Sumbangan tersebut signifikan
secara statistik (sig <0.05).
97
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan tentang uraian hasil penelitian, diskusi merupakan
pembahasan hasil penelitian yang berisi analisis hasil penelitian, dan saran
memuat saran teoritis dan saran praktis.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah:“Ada pengaruh yang signifikan dari harapan dan coping
stres terhadap resiliensicaregiver kanker”. Hal tersebut ditunjukan dari hasil uji F
yang menguji seluruh independent variabel terhadap dependent variabel.
Setelah melakukan uji hipotesis dari masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variabel, maka terdapat enam dimensi yang berpengaruh pada
resiliensicaregiver kanker, variabel tersebut antara lain dari dimensi sumber
harapan yaitu goalsedangkan dari dimensi copingstres yakni distancing, selfcontrolling, accepting responsibility, escape-avoidance, dan reaprasial positive.
5.2 Diskusi
Dari hasil penelitian dan pengujian hipotesis, didapatkan bahwa secara keseluruhan ada pengaruh yang signifikan diantara dimensi-dimensi penerimaan harapan
dan coping stresterhadap resiliensicaregiverkanker. Penulis mendiskusikan hasil
pengujian hipotesis lebih lanjut pada uraian berikut.
Variabel pertama yang penulis uraikan adalah harapan. Collins (2006)
bahwa harapan berpengaruh terhadap resiliensi. Hal tersebut dikarenakan harapan
secara konseptual berkaitan dengan goal dan memiliki hubungan terhadap
98
kepercayaan diri dan kemampuan untuk bergerak mencapai tujuan. Seseorang
yang memiliki harapan yang besar kecenderungan memiliki resiliensi yang tinggi.
Seperti yang dikatakan oleh (Lopez, Snyder, & Pedrotti, dalam Chakraborty,
2007),denganadanya harapancaregiver dapat menjadi resiliensi dipengaruhi olehpenyesuaian emosional. Harapan ditandai dengan munculnya kepercayaan diri
untuk mencapai masa depan yang baik.
Jika dilihat per dimensi dari sumber harapan, dimensi goal yang kuat
akan memperkuat motivasi dalam diri caregiversendiri untuk mencapai tujuan
dari perawatan pasien sehingga akan berpengaruh secara signifikan pada tingginya
resilien selama masa perawatan. Untuk harapan, dari dimensi agency adalah
semakin besar motivasi yang dimiliki caregiver untuk mencapai tujuan adanya
ketahanan dalam merawat pasien dan pathwayadalah setiap rintangan pasti ada
jalan keluar untuk mencapai tujuan caregiverhasilnya yang mempengaruhi
resiliensi padacaregiver kanker.
Selain hal tersebut, agency dan pathway yang mereka dapatkan dari goal
sudah cukup dapat mempengaruhi resiliensicaregiver kanker. Namun intinya
bahwa ada harapan yang akan cukup berpengaruh terhadap ketahanan
caregiveruntuk kesehatan pasien kanker. Tetapi hal ini sejalan dengan yang
dikatakan peneliti sebelumnya bahwa perlu ada usaha melibatkancaregiverdalam
bentuk kemampuan untuk menghasilkan rencana, mencapai tujuan (goal), tetap
saling berhubungan, dan menjaga pikiran positif dalam merawat pasien (Bryant,
& Cvengros, dalam Chakraborty, 2007). Jadi menurut peneliti seorang caregiver
membuat rencana terlebih dahulu, untuk mendapatkan hasil atau tujuan yang akan
99
dicapai dan selalu berpikir positif. Caregiver yang resilien adalah ketika seseorang caregiver tidak pernah menyesal, tidak pernah kehilangan harapan saat merawat pasien dan menerima kegagalan sebagai bagian dari kesuksesan.
Hasil pengujian hipotesis yang kedua pada uraian berikutnya adalah variabel copingstres. Secara keseluruhan variabel yang ada dapat dikatakan berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi padacaregiver kanker dan hasil penelitian ini sesuai dengan konsep bahwa adanya distancing, confrontative coping, escape-avoidance,
self
controlling,
planful
problem
solving,
accepting
responsibility, seeking social support,positive reappraisal atau copingstresdapat
meningkatkan resiliensi caregiverdalam merawat pasienkanker. Menurut Grafton,
Gillespie, dan Henderson (2010), resiliensi merupakan salah satu faktor yang
memungkinkan seseorang melakukan coping secara efektif, bangkit, dan
berkembang setelah mengalami kesulitan dalam hidup. Resiliensi juga dilihat
Taylor (2012) sebagai salah satu sumber coping internal yang dimiliki individu.
Pada penelitian terhadap caregiver kanker Fuller dan Leppert (2007), menemukan
bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada psikologis
terhadap kualitas hidup, manajemen stres dan coping pada caregiver. Penelitian di
atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara copingdengan resiliensi caregiver kanker.
Variabel coping stres yang pertama adalah dimensi distancing. Distancingberpengaruh secara signifikan karena responden caregivermencoba untuk
membuat
jarak
dari
situasi
adalahsifatmemotivasipertahananyangdidorongdengan
stres.
Distancing
perkembangankognitif.
100
Distancingdipandang sebagaiekstensi yang otomatis dariupayauntuk melakukan
bela diri terhadapancaman. Folkman dan Lazarus (1986) berspekulasi bahwa
distancing adalah upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri dari masalah
caregiver dengan meminimalkan pentingnya situasi dan menciptakan pandangan
positif. Menurut peneliti sendiri kebanyakan dari caregiver mencoba untuk mencari aktivitas lain agar tidak berada dalam situasi stres. Keadaan stres akan mempengaruhi ketahanan mereka, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kualitas perawatan.Selain itu menurut peneliti, proses coping ini ditujukan untuk mengatur
perasaan caregiver, dengan cara pergi seolah-olah tidak ada yang terjadi atau
mencoba untuk melupakan semua masalah yang terjadi, ditandai dengan adanya
dorongan untuk melepaskan diri dari permasalahan seakan-akan tidak terjadi
sesuatu atau berusaha membuat pandangan-pandangan positif seperti menganggap
masalah sebagai lelucon.
Kemudian dimensi yang kedua adalah self controlling. Self controlling
merupakan cara coping padacaregiver untuk mengontrol diri dengan baik yang
akan meningkatkan resiliensi seseorang. Folkman dan Lazarus (1986) mengatakan
self controlling dilakukan untuk mengatur perasaan seseorang, mencoba untuk
menjaga perasaan sendiri dan mencoba untuk tidak bertindak terlalu
cepat.Menurut peneliti caregiver bisa mengendalikan dirinya dengan mengontrol
emosi dalam merawat pasien dengan lebih sabar dan meningkatkan hubungan sosialnya, meminimalisir beban perawatan dan mengetahui cara menanggulangi situasi stres. Ditandai dengan adanya dorongan untuk mengatur perasaan caregiver
dalam merawat pasien kanker.
101
Pengujian terhadap dimensi accepting responsibility juga menunjukkan
hasil yang signifikan dikarenakan sebagian besar caregivermenerima tanggung
jawabnya sebagai perawat dari keluarga yang sakit. Caregiversebagai individu
yang dapat menerima kenyataan akan adanya situasi yang menyebabkan stres dan
dapatmencari informasi tentang menanggung tugas-tugas yang dibutuhkan pasien.
Selain itu, perawatan harus diseimbangkan dengan peran yang sudah menjadi
tanggung jawab-nya. Dapat dikatakan juga bahwa acceptingadalah pengakuan diri
terhadap peranan seseorang dalam suatu masalah dengan tujuan untuk
menempatkan suatu hal secara benar (Folkman & Lazarus, 1986). Menurut
peneliti caregiver dapat menyadari dan menerima kenyataan yang sedang terjadi
pada dirinya atau masalah pada diri sendiri dan langsung dapat meminta maaf atau
bisa mengatasi dengan melakukan sesuatu untuk membuat keadaan lebih baik.
Ditandai dengan menyadari atau caregiver bertanggungjawab atas peran diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya saat merawat pasien kanker dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.
Dimensi copingstres escapeavoidance mempengaruhi resiliensi pada caregiver dengan memberikan gambaran angan-angan dan perilaku untuk melarikan
diri atau menghindari masalah (Folkman & Lazarus, 1986). Dengan caregiver
mempunyai harapan bahwa situasi akan menjadi lebih baik maka akan berakhir
dengan baik. Caregiver mencoba untuk memikirkan masalah dari sudut pandang
yang diinginkan atau berusaha mendorong dirinya untuk menghindar dari situasi
yang menekan.
102
Reappraisal positivememiliki pengaruh signifikan, terlihat dari banyaknya jawaban responden, mengenai adanya hikmah di balik sakitnya si pasien. Tak
jarang mereka memunculkan atau mengingat hal yang positif guna menghadapi
situasi stres. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Folkman dan Lazarus (1986),
bahwa penilaian positif adalah salah satu bentuk copingstres yang penggunaannya
dikaitkan denganmood positif, bersama dengansuasanalatar belakangdepresi
kronis (situasi stress). Reappraisalpositiveuga dipandang sebagai jeniscoping
yang berpusat pada emosi,bertujuan untuk mengelolaemosi dan bukan berhubungan dengan stressor, artinya menafsirkan situasi stres secara positifuntuk pertumbuhan pribadi yang lebih baik. Dengan caregiver berubah atau tumbuh menjadi
seorang yang lebih baik dan mempunyai banyak ide untuk melakukan sesuatu
yang kreatif maka tanggung jawab merawat pasien akan dijalani dengan lebih
efektif. Ditandai dengan dorongan untuk mencari makna positif dari pengalaman
yang dialaminya dengan fokus pada pengembangan diri.
Dari hasil penelitian ini untuk dimensicopingstres yang tidak signifikan
adalah dimensi planfull problem solving. Dimensi inimenggambarkan upaya yang
disengaja terhadap fokus untuk mengubah situasi dalam memecahkan masalah
(Folkman & Lazarus, 1986). Dalam penelitian ini, pengujian terhadap planful
problem solving tidak memiliki hasil signifikan. Ini bisa jadi disebabkan belum
adanya rencana dari caregiver mengenai apa yang akan dilakukan untuk menghadapi stres dan meningkatkan ketahanan mereka. Carver (1997), mendefinisikan
palnful problem solving sebagai tindakan yang memikirkan bagaimana cara
103
menghadapi pemicu stres yang ada. Dengan memikirkan tahap-tahap yang harus
dilewati dan bagaimana cara yang terbaik dalam menghadapi masalah.
Dimensi kedua yang tidak signifikan adalah confrontative. Sebagaimana
dikatakan Folkman dan Lazarus (1986), confrontative adalahmerupakan proses
penggambilan langkah aktif yang ditujukan untuk menghilangkan atau
mengurangi pemicu stres ataupun memperbaiki akibatnya. Pada caregiver kanker,
aktifitas ini melibatkan tindakan langsung,caregiver belum tahu apa yang harus
dikerjakandalam merawat pasien karena sudah menjadi tanggung jawabnya,
dengan meningkatkan usahasehingga dapat menghadapi masalah seperti
mengantarkan pasien pergi ke dokter agar pasien mendapatkan pengobatan medis
baik itu obat-obatan hingga melakukan operasi.
Dimensi ketiga yang tidak signifikan adalah seeking social support
dengan mencari informasi seputar perawatan dan juga untuk menjaga ketahanan
padadiricaregiver.Seeking social support ialah untuk mencari dukungan
informasi, dukungan nyata dan dukungan emosional (Folkman&Lazarus, 1986).
Caregiverdapat berbicara kepada seseorang untuk mengetahui lebih lanjut tentang
situasi yang sedang dihadapinya dan menerima nasihat dari orang lain yang bisa
melakukan sesuatu untuk meringankan masalah yang dihadapinya. Adanya bentuk
simpati dan pengertian dari orang lain bisa membuat caregiver lebih kuat dalam
menghadapi masalah. Seeking social support ditandai dengan adanya dorongan
pada caregiver untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan mencari informasi
pada orang lain yang ada di sekelilingnya.
104
Copingstres seperti planfull problem solving, confrontative dan seeking
social support tidak signifikan dikarenakan kebanyakan responden memilih
menggunakan copingstresyang lain.Adapun subskala coping negatif adalah
sebagai berikut: yakni menolak adanya kondisi yang mengakibatkan stres
terhadap resiliensi caregiver kanker, dengan meluapkan emosi negatif seperti
marah dan kecewa, dan menyerah pada keadaan, karena caregiver tidak
mengarahkan pada penyelesaian masalah ataupun beradaptasi dengan pemicu
stres yang dihadapi yang menyebabkan caregiver tidak dapat bertahan (resiliensi).
Selain itu peneliti akan membahas tentang demografiscaregiver. Yang
pertama, jenis kelamin caregiver, dengan proprosi varian yang tertinggi adalah
perempuan, sama seperti yang dikatakan oleh Berger dan Lahad, (dalam Menz,
2012) dalam penelitiannya tentang resiliensicaregiver, menyatakan bahwa resiliensi dimanfaatkan lebih banyak oleh caregiver perempuandibandingkan oleh
laki-laki dalam merawat pasien kanker. Peneliti berpendapat bahwa ini disebabkan karena perempuan lebih mampu berhati-hati dan penuh kasih sayang dalam
merawat seseorang.
Yang kedua, usia caregiver, dengan proporsi varian yang tertinggi adalah
usia dewasa. Wagnild (2009) mengatakan resiliensi direncanakan oleh seorang
caregiverdewasa dalam merawat pasien kanker. Menurut peneliti, orang dewasa
sudah terbiasa menghadapi masalah pada dirinya sehingga telah memiliki dan
pengetahuan tentang bagaimana merawat seorang pasien kanker. Namun peneliti
juga kurang mengetahui apakah kategori dewasa disini sudah sudah termasuk
status menikah atau belum menikah. Pada umumnya, seseorang yang sudah
105
menikah lebih mengerti bagaimana cara merawat dan memerhatikan sesama.
Berbeda dengan yang belum menikah, biasanya mereka lebih mementingkan
dirinya sendiri daripada harus merawat orang lain, kemungkinan rendahnya
resilien pada caregiver disebabkan oleh banyaknya responden yang belum
menikah atau mementingkan dirinya sendiri.
Yang ketiga, jenis kanker yang dirawat caregiver dengan proporsi varian
yang tertinggi adalah kanker payudara. Penderita kanker payudara tidak mengenal
usia (Wonghongkul, Moore, Musil, Schneider, & Deimling, 2000). Menurut
peneliti pengaruh ketahanan pada caregiver juga disebabkan oleh jenis kanker
yang diderita pasien, karena kanker payudara adalah body image bagi seseorang
yang menderitanya dan dapat menyebabkan pasien berbeda persepsi, ada seorang
pasien dengan kanker payudara dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari
dengan baik sehingga caregiverdapat merawatnya dengan lebih resilien, tetapi
banyak juga pasien yang depresi saat mengetahui penyakit yang dideritanya. Sebagian mereka kehilangan tujuan hidupnya. Pasien yang seperti ini juga dapat
menyebabkan caregiver menjadi patah semangat dan tidak dapat bertahan. Maka
kondisi pasien juga berpengaruh besar bagi caregiveragar ia dapat memahami
kondisi jenis kanker yang diderita pasien sehingga caregiverdapat lebih mampu
bertahan dalam merawat.
Yang keempat adalah stadium kanker yang diderita. Stadium kanker
dengan proporsi varian yang tertinggi adalah stadium III. Tingkat resilien yang
rendah pada caregiver rendah juga disebabkan karena lamanya masa perawatan.
Pasien yang sudah mencapai stadium III menjalani masa perawatan yang cukup
106
lama. Ini dapat menyebabkan malasnya pasien untuk kembali berobat ke rumah
sakit, dan caregiver tidak dapat berbuat apa-apa.
Yang kelima adalah hubungan pasien dengan caregiver, dengan proporsi
varian tertinggi ada pada pasangan. Seperti yang dikatakan oleh Kurtz, (dalam
Barbara, 2012) pasangan cenderung menghabiskan waktu bersama-sama dan berkomunikasi dengan cara yang penuh kasih dalam hal perawatan. Menurut peneliti
pasangan adalah yang paling tepat untuk berkeluh-kesah berbagi suka dan duka.
Tetapi juga bisa menyebabkan resilien rendah pada caregiver, karena caregiver
yang menuntut pasangannya sempurna tidak mendapati pasangannya sebagaimana
diharapkan, sehingga caregiver tidak merawat pasien dengan baik.
Demografis yang keenam adalah pendidikan terakhir caregiver, dengan
proporsi varian yang tertinggi adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Menurut peneliti jenjang pendidikan SMP belum cukup memadai bagi seorang
caregiveruntuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi dalam merawat
pasien, dan menjadikan caregiver tidak resilien.
Demografis ketujuh yaitu penghasilan caregiver perbulan, dengan proporsi varian yang tertinggi adalah Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,-. Tingginya
biaya pengobatan sekaligus dengan penurunan atau hilangnya pendapatan secara
signifikan dapat menghambat keuangan. Keterbatasan waktu, energi, dan uang
dapat mengganggu kegiatan keluarga dan berdampak negatif terhadap ketahanan
hubungan perawatan keluarga (Cohen, 1993). Peneliti menilai, rendahnya
resiliensicaregiver juga disebabkan karena pengobatan jangka panjang yang
dijalankan oleh pasien yang dapat mengeluarkan biaya pengobatan cukup besar,
107
dan kurangnya waktu caregiver dalam mencari pendapatan karena harus merawat
pasien.
Selain dilihat dari segi demografis dan hasil hipotesis kemungkinan
resilien rendah pada caregiver kanker juga bisa disebabkan oleh bedanya skala
ukur yang peneliti gunakan seperti penelitian lain, pada penelitian Pradnya (2012),
dengan menggunakan alat ukur yang berbeda resiliensi menggunakan teori
wagnild and Young (1990) resilience scale (RS-14), dan coping menggunakan
teori Carver (1997) skala BriefCOPE, pada penelitian tersebut signifikan,
sebagian besar responden lebih memilih emotion-focused sebagi bentuk coping
yang digunakan untuk mengatasi stres yang dialaminya agar caregiver dapat
resilien. Dan pada penelitian McClure (2011) resilience and hope, dengan
menggunakan alat ukur yang berbeda resiliensi menggunakan wagnild and Young
(1990) resilience scale (RS-14), dan pada harapan menggunakan teori Herth’s
(1992) Herth Hope Scale (HHS).
5.3 Saran
Berdasarkan penulisan penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan didalamnya.Untuk itu, penulis memberikan beberapa saran
untuk bahan pertimbangan sebagai pengembangan dan penyempurnaan penelitian
selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa. Saran tersebut berupa saran metodologis dan saran praktis.
5.3.1 Saran Teoritis
1. Untuk penelitian selanjutnya, oleh penelitian lain bisa juga dengan
menggunakan skala teori yang lain dalam penggunaan skala seperti
108
copingdengan menggunakan teori Carver (1997) skala BriefCOPE, dan
harapan dengan menggunakan teori Herth’s (1992)skala Herth Hope Scale
(HHS).
2. Pada ketahanan pada caregivertidak hanya dengan harapan dan coping stres,
maka peneliti menyarankan bisa menggunakan variabel seperti sosial
support, dengan dukungan keluarga, dukungan pasangan, information
support, emotional support, affection support, dan coping religius.
3. Pada peneliti ini, peneliti juga tidak mencantumkan gambaran mengenai
berapa lama caregiver dalam merawat pasien, status hubungan caregiver
sudah menikah atau belum menikah, seberapa paham caregiver dengan
keadaan pasien, agama yang dianut dan suku bangsa. Maka dapat dilakukan
beberapa variabel demografis tambahan dimasukkan, tentu akan berbeda
hasil yang akan didapat.
4. Berdasarkan hasil yang telah dijelaskan pada bagian diskusi, ada beberapa
faktor yang menjadi terbatas perkembangannya dikarenakan situasi sampel
yang berbeda. Maka dari itu peneliti merasa bahwa jika sampel penelitian
yang diteliti adalahcaregiver kanker yang menggikuti kegiatan komunitas,
untuk caregiver dapat lebih mengetahui informasi yang didapat tentang
keadaan pasien dengan kanker yang diderita, agar caregiver dapat lebih
terlihat ketahanannya.
5.3.2 Saran praktis
1. Berdasarkan hasil kesimpulan ada enam dimensi yang memberikan
sumbangan signifikan, bahwa resiliensi yang didapatpada caregiver adalah
109
caregivermengetahui apa tujuan (goal) agar pasien kanker yang dirawat
dapat pulih kembali, dengan menigkatkandistancing padacaregiver mencoba untuk mencari aktivitas lain agar tidak berada dalam situasi stres, self
controlling padacaregiver bisa mengendalikan diri danmengontrol emosi,
accepting padacaregiver menyadari dan menerima kenyataan yang sedang
terjadi, escape-avoidance pada caregiver dengan mempunyai angan-angan
dan perilaku upaya untuk melarikan diri, reaapraisal positivepada
caregiverdenganberubah atau tumbuh sebagai orang baik dan mempunyai
banyak ide untuk melakukan sesuatu yang kreatif.
2. Ahli medis dan psikolog rumah sakit
a. Kepada dokter atau psikolog dapat memberikan program konseling kepada
caregiver, misalnya dengan melakukan pelatihan untuk meningkatkan
resiliensi, sehingga caregiver dapat melakukan pemilihan coping yang
semakin efektif.
3. Caregiver kanker
a. Bagaimanapun caregiver tidak bisa lepas dari pasien kanker, jika caregiver
memiliki masalah caregiver dapat melakukan bercerita dengan orang lain
tidak memikirkan masalahnya seorang diri tetapi berbagi kepada orang terdekatnya sehingga tidak stres dan tidak berpengaruh negatif terhadap
ketahanan dan perawatannya kepada pasien yang dirawatnya.
b. Caregiverharus aktif terhadap pengumpulan informasi dan dapat beradaptasi
dengan penyakit yang diderita pasien, agar dapat memelihara hubungan kerjasama dengan profesional dalam merawat, dan mengembangkan ketahanan
110
yang ada pada diri caregiver. Dengan kata lain ketahanan caregiver harus
digunakan sebaik mungkin sebagai suatu proses khusus untuk merawat
pasien dalam kondisi kronis.
c. Jika caregiver benar-benar sedang berada dalam situasi dalam tekanan stres,
ada baiknya caregiver dapat melakukan mengontrol stressor dengan cara
menggunakan coping yang tepat serta meluangkan waktu untuk bercerita
dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapinya, melakukan
kegiatan yang disukai atau kegemarannya.
d. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar caregiver menjadi resiliensi
dalam merawat pasien kanker, yaitu dengan mengenali diri sendiri, jangan
menyalahkan diri sendiri atas kemalangan yang terjadi, memiliki keyakinan
yang kuat dan selalu berpikir positif.
111
DAFTAR PUSTAKA
Basim H, & Fatih C (2010). Health sciences: the reliability and validity of the
resilience scale for adults. Turkish version.
Bennett & Gill W. (2012). Caring relationships: how to promote resilience in
challenging times. The social ecology of resilience: ahandbook of theory
and practice, springerscience+businessmedia, LLC 2012,DOI
10.1007/978-1-4614-0586-3_18.
Carver, S & Weintraud. (1997). Assessing coping strategies: atheoreticcal based
approach.Journal of personality and social psychology, Inc.56, (2), 267283.
Cathy B. Scott. (2010). Alzheimer’s disease caregiver burden: does resilience
matter?. Dissertation research & creative exchange.University
ofTennessee
Chakraborty Hamblin B. (2007). Resiliency factors: predictors of quality of life in
family caregivers of patients with amyotrophic lateral sclerosis(PCOM).
A dissertationpsychology.
Cohen, S & Chang, A. (1999). Cancer nursing: stress associated with tasks for
family caregivers ofpatiens with cancer.Journal of cancer. 22,(4) 260265.
Denise kimberly B. (2010). Resilience in african-american and caucasian
caregivers of family members with alzheimer disease or related dementia
(ADRD). A dissertationnursing. University Amerika Washington, DC.
Duci V, & Tahsini. (2011). Perceived socialsupport and coping styles as
moderators for levels of anxiety, depression and quality of life in cancer
caregivers: aliterature review. Journal european scientific.8(11), 2011.
Given A. Barbara., Charles & Paula (2012). Family and caregiver needs over the
course of the cancer trajectory.Journaloncology. 10(2), 2012.
Grotberg E (2004). Children adn caregivers: the role of resilience. Jinan (2004).
China: international council of psychologists (ICP) convention.
Holtslander L, RN, MN. (2007). Searching for new hope: a grounded theory of
the experience of hope for older women who are bereaved palliative
caregivers.A dissertation college of nursing. University of Saskatchewan.
Lazarus, & Folkman, (1986). Apprasial, coping, health status and psychological
symptoms.Journal of personality and social psychology. 50(3), 571-579.
112
Lazarus, & Folkman, (1986). Ways of coping scales. apprasial, coping, and
encounter outcomes. Journal of personality and social psychology, 50,
992-1003.
Lazarus, & Folkman, (1987). Correlates of social support receipt.Journal of
personality and social psychology. 53(1), 71-80.
Lazarus, Folkman, Dunkel-Schetter, Delongis & Gruen. (1986). Dynamic of
stressful encounter: cognitive appraisal ,coping, and encounter outcomes.
Journal of personality and social psychology. 50(5), 992-1003
Lin Fang-Yi, Jiin-Ru Rong, & ztzu-Ying Lee (2013). Resilience among caregivers
of children with chronic conditions: aconcept analysis.Journal of
multidisciplinary healthcare. 6, 323–333.
Luecken. L, & Kathryn S. (2004). Early caregiving and physiological stress
responses. Journal clinical psychology review. 24, 171–191.
McClure John C. (2011). Statistical modeling of caregiver burden and distress
among informal caregivers of individuals with amyotrophic lateral
sclerosis, alzheimer’s disease, and cancer.Dissertation state university
Colorado.
Menz Cassandra. (2012). Discovering resilience in children who witnessed their
caregivers with cancer. Theses social work:aretrospective study.
Moseley.J.V. (2011).New insights on psychosocial adjustment to pediatric cancer
in caregivers.A dissertation the university of british Columbia.
Pinke Judith. (2009).An adlerian framework for encouraging dementia resilience.School graduate counseling and psychotherapy the faculty of the
Adler.
Rabkin Judith R. Glenn J, Wagner, & Maura (2000). Resilience and distress
among amyotrophic lateral sclerosis patients and caregivers.Journal
american psychosomatic medicine. 62, 271–279.
Rosenberg, A. (2013). Promoting resilience among parents and caregivers of
children with cancer.Journal of palliative medicine.16(6), 235-236.
Rowland Julia H. & Frank B. (2005). Introduction: resilience of cancer survivors
across the lifespan.Journal american cancer society.104(11), 263-270.
Sarafino, Edward.(1994). Health psychology: biopsychososial interaction 2nd
edition. Newyork : John will & Sons mc.
113
Scott E. (2004). The relationship between private prayer and resiliency among
alzheimer’s caregivers. A dissertation submitted to the graduate faculty
of the university of Georgia.
Serfelova.R, Katarina.Z. & Lubomira.J. (2012). Family caregiving at the end of
life care.Journal of nursing, social studies, public health and
rehabilitation. 1(2), 62-71.
Siebert, Al. (2005). The resiliency advantange: master change, thrive under
pressure, and bounce back from setbacks. San Fransisco: Berrett-Koehler
publishers, inc.
Synder C.R (2000). The role of hope in cognitive–behavior therapies. Department
of psychology, university of Kansas, researchand cognitive therapy. 24
(6), 747-762.
Synder C.R, Kevin L,& David R (2000). Hope theory:a member of the positive
psychology family. Chapter 19:cognitive-focused approaches.
Taylor,Shelley.(2009). Health psychology 7th edition.Newyork : a division of the
mc graw-hill companies.
Trudi V, & Jan L. (2001). Hope and social support as resilience factors against
psychological distress of mothers who care for children with chronic
physical conditions.Journal rehabilitation psychology. 46(4), 382-399.
Umar, J (2012). Bahan ajar uji validitas konstruk dengan analisis faktor
konfirmatorik. Tidak dipublikasikan.
Wagnild & Young (1993). Development and psychometric evaluation of the
resilience scale. Journal of nursing measurement. 1(2), 102-109.
Wagnild Gail M (2010). Discovering your resilience core. All rights reserved.
WHO. (2001). Whoqol measuring quality of life. Division of mental health and
prevention of substance abuse.
Worgan T, Lechlade, & Gloucester (2013) Hope theory in coaching : How clients
respond to interventions based on Synder’s theory of hope. International
journal of evidence based coaching and mentoring.7.
Zauszniewski.J & Abir K, M. Jane (2010). Resilience in family members of
persons with serious mental illness.Journal nursing clinics of north
America.45(4), 115-121.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya mahasiswi psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
sedang melakukan penelitian untuk skripsi. Oleh karena itu, saya meminta
kesediaan Bapak atau Ibu untuk membantu penelitian ini dengan memilih
pernyataan dengan jawaban yang sejujur-jujurnya. Mengenai pernyataan yang
Bapak atau Ibu berikan akan dijamin kerahasiaanya dan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian. Saya mengharapkan agar Bapak atau Ibu tidak melewati
satu pun pernyataan yang ada. Atas kerja sama dan bantuannya saya ucapkan
terima kasih.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb
Data diri Caregiver
Caregiver jenis kelamin :
Perempuan
Laki-laki
Caregiver umur : _______tahun
Caregiver merawat pasien kanker : ____________ stadium : ________
Hubungan caregiver dengan pasien : _____________
Pendidikan akhir caregiver : ___________
Penghasilan caregiver perbulan :
> Rp. 1000.000,-
Rp. 1000.000,- s/d Rp. 1500.000,-
Rp. 1500.000,- s/d Rp. 2000.000,-
< Rp. 2000.000,-
Petunjuk pengisian
Berikut ini terdapat beberapa pernyataan, baca dan fahami dengan benar setiap
pernyataannya. Saudara diminta untuk mengisi sesuai pendapat saudara dengan
cara memberi tanda silang (X) pada salah satu dari empat pilihan yang tersedia.
Contoh :
No
1.
PERNYATAAN
Saya selalu menjaga kesehatan saya.
SS
S
TS
STS
S
TS
STS
X
SKALA HARAPAN
No.
PERNYATAAN
1.
Saya mempunyai banyak cara untuk keluar dari masalah.
2.
Saya penuh semangat untuk mengejar tujuan saya.
3.
Saya merasa lelah dengan kegiatan rutinitas sehari-hari.
4.
Jika mempunyai masalah, saya bisa mengatasinya.
5.
Saya lemah dalam berargumen atau berpendapat.
6.
Saya bisa memikirkan banyak cara untuk mendapatkan apa
yang saya inginkan hal itu penting bagi hidup saya.
7.
Saya khawatir tentang kesehatan saya.
8.
Bahkan ketika orang lain tidak meyukai saya, saya bisa
menemukan cara sendiri untuk memecahkan masalah.
9.
Pengalaman masa lalu telah mempersiapkan saya dengan baik
untuk masa depan saya.
10.
Saya merasa sudah cukup sukses dalam menjalani kehidupan.
11.
Saya biasanya khawatir tentang sesuatu pada diri saya.
12.
Saya memenuhi tujuan yang saya buat sendiri.
SS
SKALA COPING STRES
No.
Peryataan
1.
Saya hanya memikirkan pada apa yang harus saya lakukan.
2.
Saya melakukan sesuatu pekerjaan tanpa berpikir terlebih
dahulu.
3.
Saya sering meminta pendapat kepada orang lain untuk
mengubah pikiran saya.
4.
Berbicara dengan seseorang membuat saya, mengetahui lebih
lanjut apa yang harus saya lakukan.
5.
Saya tidak suka dikritik.
6.
Agar tidak terluka, saya mencoba untuk terbuka.
7.
Saya berharap keajaiban akan terjadi pada diri saya.
8.
Kadang-kadang saya merasa, hanya saya yang memiliki nasib
buruk.
9.
Jika mempunyai masalah, saya pergi seolah-olah tidak ada
yang terjadi.
10.
Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya sendiri.
11.
Saat berbicara saya hati-hati, untuk kebaikan saya sendiri.
12.
Jika saya mempunyai masalah, saya akan tidur lebih awal dari
biasanya.
13.
Saya mengungkapkan kemarahan kepada seseorang yang
menyebabkan masalah.
14.
Saya dapat merima simpati dan pengertian dari seseorang.
15.
Saya memikirkan untuk melakukan sesuatu yang kreatif.
16.
Saya mencoba untuk melupakan semua masa lalu.
17.
Jika ada masalah, saya mendapatkan bantuan dari seseorang.
18.
Saya tumbuh sebagai pribadi yang baik.
19.
Saya akan meminta maaf untuk membuat keadaan menjadi
lebih baik.
20.
Saya membuat rencana sebelum melakukan sesuatu dan
SS
S
TS
STS
mengikutinya.
21.
Saya suka marah-marah dan saya membiarkannya.
22.
Saya menyadari bahwa saya, membawa masalah pada diri
saya sendiri.
23.
Dengan adanya masalah saya mempunyai pengalaman, maka
jika saya mempunyai masalah, saya akan menghadapinya.
24.
Saya tidak segan meminta bantuan dari orang lain jika saya
ada masalah.
25.
Saya memilih makan, minum, merokok, menggunakan obatobatan , dll, untuk membuat diri saya merasa lebih baik.
26.
Jika ada kesempatan saya akan mengambilnya , tetapi tidak
melakukan sesuatu yang menurut saya berisiko.
27.
Saya mencoba untuk tidak bertindak terlalu cepat atau
mengikuti firasat pertama saya.
28.
Saya menemukan pemahaman baru dari masalah saya.
29.
Kesembuhan adalah yang penting dalam hidup saya.
30.
Saya akan melakukan sesuatu agar menjadi lebih baik.
31.
Jika sedang ada masalah, saya suka menghindar berada
diperkumpulan orang-orang.
32.
Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi, karena saya
tidak mau berpikir terlalu banyak.
33.
Saya bertanya kepada seorang kerabat atau teman saya untuk
meminta saran.
34.
Saya mengetahui bagaimana situasi buruk yang akan terjadi.
35.
Saya menolak untuk terlalu serius jika ada masalah.
36.
Saya akan berbicara dengan seseorang tentang bagaimana
perasaan saya.
37.
Saya akan berjuang untuk apa yang saya inginkan.
38.
Saya suka melampiaskan kekesalan saya pada orang lain.
39.
Saya pernah merasakan berada di situasi keadaan yang sama
sebelumnya.
40.
Saya tahu apa yang harus saya lakukan, jadi saya berupaya
melakukan sesuatu pekerjaan.
41.
Saya menolak untuk percaya bahwa saya sedang mempunyai
masalah.
42.
Saya berjanji pada diri sendiri bahwa keadaan akan berbeda
pada waktu kedepannya.
43.
Saya mempunyai beberapa solusi yang berbeda untuk setiap
masalah.
44.
Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya dari bermacammacam masalah.
45.
Saya mengubah sesuatu tentang diri saya.
46.
Saya berharap bahwa situasi akan pergi, entah harus
bagaimana, yang penting berakhir.
47.
Saya memiliki fantasi atau keinginan tentang bagaimana
keadaan yang mungkin dapat di ubah.
48.
Saya selalu berdoa.
49.
Saya percaya seseorang yang saya kagumi akan memberikan
contoh dan saya akan mengikutinya.
50.
Saya mencoba untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain.
SKALA RESILIENSI
No.
1.
Peryataan
Ketika saya akan membuat rencana, saya
memberitahu orang lain dengan rencana saya, agar
tidak bertentangan.
2.
Saya biasanya membuat rencana dengan apa yang
saya pikirkan.
SS
S
TS
STS
3.
Saya tidak suka mengandalkan orang lain setiap ada
masalah.
4.
Saya menjaga sikap saya, agar orang lain tertarik
pada saya.
5.
Saya lebih suka mengerjakan pekerjaan sendiri
tanpa meminta bantuan orang lain.
6.
Saya merasa bangga bahwa saya telah mecapai apa
yang saya ingikan dalam hidup saya.
7.
Jika ada masalah, saya akan menghadapinya dengan
tenang.
8.
Saya lebih suka menyendiri, daripada di
perkumpulan orang-orang.
9.
Saya merasa bahwa saya bisa menangani banyak
masalah pada saat itu juga.
10.
Saya bertekad dengan apa yang saya ingikan.
11.
Saya jarang bertanya-tanya tentang mengapa semua
masalah itu dapat terjadi.
12.
Saya bisa melakukan semua pekerjaan satu hari
pada saat waktu yang bersamaan.
13.
Saya bisa melewati masa-masa sulit, karena saya
sudah pernah mengalami kesulitan sebelumnya.
14.
Saya adalah seorang yang disiplin diri.
15.
Saya tetap tertarik pada yang tidak menyenangkan
bagi saya.
16.
Saya biasanya tertawa, agar tidak terlalu stress
dalam menghadapi masalah.
17.
Saya yakin pada diri saya sendiri, dapat
menyelesaikan setiap masalah yang datang, agar
melewati masa sulit.
18.
Dalam keadaan darurat, seseorang biasanya dapat
mengandalkan saya.
19.
Saya berbagai macam cara, biasanya saya dapat
melihat situasi apa yang akan terjadi.
20.
Kadang-kadang saya membuat diri saya, melakukan
kegiatan yang tidak saya inginkan.
21.
Saya merasa hidup saya memiliki makna.
22.
Saya tidak memikirkan apa yang tidak bisa saya
perbuat.
23.
Ketika saya sedang dalam situasi yang sulit, saya
bisa biasanya menemukan jalan keluar dari masalah
itu.
24.
Saya memiliki cukup energi untuk melakukan apa
yang selalu saya inginkan.
25.
Tidak apa-apa jika ada orang yang tidak menyukai
saya.
Download