TEORI PERILAKU PENUNJANG INTERAKSI SIMBOLIK DAN ANALISIS JURNAL PAPER diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan dan Evaluasi Promosi Kesehatan kelas B Oleh: Kelompok 1 Sub 2 Puput Baryatik 122110101020 Dwi Betari Karlina 122110101065 Atika Nurul Hidayah 122110101135 Jodi Wirlan 122110101177 Adila Rokhmaniar Irlyna 122110101189 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS JEMBER 2015 TEORI PERILAKU PENUNJANG A. Definisi Interaksi Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamsi yang menyangkut hubungan antara orang dengan perorangan, anatara kelompok dengan kelompok manusia, maupun antara perorangan dan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, berbincang-bincang bahkan berselisih. Apabila seseorang yang bertemu namun tidak saling berbicara atau tidak saling melakukan ekspresi dengan bahasa tubuh, interaksi sosial telah terjadi. Masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun saraf orang-orang yang bersangkutan. Contohnya bau keringat, bunyi langkah, minyak wangi dan sebagainya yang akan menimbulkan kesan didalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya. B. Macam-Macam Teori Perilaku Penunjang 1) Teori SLT (Social Learning Theory) a) Pencetus Teori Penelitian yang dilakukan oleh Albert Bandura bersama Richad Walters pada tahun 1918-1967 menghasilkan suatu teori yang menekankan pada peran sentral pembelajaran observasional, teori Social Learning (Naisaban, 2004). Albert Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Northem Alberta, Canada. Sarjana psikologi didapatkan dari menempuh pendidikan pada University of British Colombia pada tahun 1949. Selanjutnya ia menempuh pendidikan doktoral di University of Lowa. Karir bandura antara lain sebagai tenaga pengajar, sebagai President of American Psycologist Association tahun1949, serta menerima penghargaan tertinggi atas konstribusinya pada tahun 1980. (Mandala, Tanpa Tahun) Tokoh lain pencetus Teori Social Learning adalah N.E. Miller dan J.Dollard. John Dollard dilahirkan di Menasha, Wisconsin, pada tanggal 29 Agustus 1900. Ia menerima gelar A.B. dari Universitas Wisconsin pada tahun 1922 dan berturut-turut meraih M.A. (1930) dan Ph.D.-nya (1931) dalam bidang sosiologi di Universitas Chicago. Dari tahun 1926 sampai dengan 1929 ia menjadi salah seorang pembantu rektor Universitas Chicago. b) Penjelasan Teori Untuk melangsungkan kehidupannya, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada dua macam belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olahraga, mengendarai mobil, dan sebagainya dan belajar psikis. Dalam belajar psikis ini termasuk juga belajar sosial (sosial learning) yakni, seseorang mempelajari peranannya dan peran-peran orang lain dalam kontak sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan peran sosial yang telah dipelajarinya. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-respons adalah tingkah laku tiruan (imitation)(Notoatmodjo, 2007). Social Learning Theory yang ditampilkan oleh Albert Bandura ini mengkaji proses belajar melalui media massa sebagai tandingan terhadap proses belajar secara tradisional. Teori belajar secara tradisional menyatakan bahwa belajar terjadi dengan cara menunjukkan tanggapan (respons) dan mengalami efek-efek yang timbul. Penentu utama dalam belajar adalah peneguhan (reinforcement), diamana tanggapan akan diulang (dipelajari) jika organisme mendapat ganjaran (reward). Tanggapan tidak akan diulang kalau organisme mendapat hukuman (punishment) atau bila tanggapan tidak memimpinnya ke tujuan yang dikehendaki. Jadi, perilaku diatur secara eksternal oleh kondisi stimulus yang ditimbulkan oleh kondisikondisi peneguhan. Contoh teori tradisional: Penguatan Positif Perilaku lama Konsekuensi Perilaku Selanjutnya Seorang anak rajin Dia mendapat pujian dari Anak tersebut makin gosok gigi Ibunya dan temannya teman - giat gosok gigi karena kebersihannya Penguatan Negatif Perilaku Lama Mahasiswa gosok gigi Konsekuensi Perilaku Selanjutnya malas Mahasiswa tersebut dijauhi Mahasiswa teman-temannya mejadi dan rajin gosok gigi sering sakit gigi Punishment Perilaku Lama Konsekuensi Mahasiswa bergurau Dosen di kelas Perilaku Selanjutnya menyuruh Mahasiswa tidak lagi mahasiswa keluar kelas bergurau di kelas Namun, dalam teori belajar secara tradisional yang dikemukakan oleh Skinner dan Hull ini berasumsi tidak menerima proses kognitif manusia. Agaknya masalah utama untuk mendapatkan perilaku dari manusia supaya dapat dikuatkan . Menurut kedudukan tradisional, penguatan “menguatkan” perilaku, membantu perilaku lebih terjadi seterusnya. Hal utama dari pendekatan tradisional ini, untuk terjadinya belajar, manusia harus melakukan performa/tampilan utama dan kemudian diberi hadiah. Slavin (dalam Abimanyu,Tanpa Tahun), mengemukakan bahwa teori Social Learning merupakan cabang dari teori belajar tingkah laku, dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori Belajar Sosial ini umumnya menerima sebagian besar prinsip-prinsip teori belajar tingkah laku, namun teori ini lebih memusatkan pada pengaruh signal (cues) pada tingkah laku dan pada proses mental internal, menekankan pengaruh pikiran pada tindakan dan pengaruh tindakan terhadap pikiran. Teori ini menyatakan bahwa lingkungan memang membentuk perilaku, namun perilaku juga mempengaruhi perilaku. Konsep ini disebut determinisme resirokal, yaitu dunia perilaku seseorang saling mempengaruhi. Selain itu, teori ini juga menyatakan bahwa kepribadian merupakan hasil dari interaksi antara tiga hal, yaitu lingkungan, perilaku, dan proses psikologis seseorang (Boeree, 2006). Teori ini menyatakan bahwa perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri (Purnomo, 2011). Teori ini menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui proses peniruan, bahkan tanpa ada penguat yang diterima hanya melalui pengamatan dan akibat yang ditimbulkan model. Proses belajar ini disebut Observational Learning. (Mandala, Tanpa Tahun) Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Dalam hal peniruan, Bandura membedakannya menjadi imitation dan idenification. Imitation mencakup peniruan benar-benar dari tingkah laku orang lain, sedangkan identification mencakup usaha untuk sepenuhnya mirip dengan orang lain sebisa mungkin. (Naisaban, 2004) Gambar 1.1 Teori Belajar Bandura c) Prinsip-prinsip yang mendasari Teori Belajar Sosial 1) Faktor-faktor yang saling menentukan Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya. Berikut ini dijelaskan interaksi berbagai faktor pembentuk sistem diri (self sistem) pada sebuah bagan (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Interaksi Berbagai Faktor Pembentuk Sistem Diri Keterangan: P = Personal atau Kepribadian seseorang B = Behaviour atau Perilaku seseorang E = Environment atau Lingkungan Dalam skema diatas dapat kita lihat,bahwa antara behavioral, environment, dan perception sangatlah memberikan andil dalam proses pembelajaran sosial kita. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi perilaku kita dan perilaku pribadi kita akan menimbulkan reaksi dari orang lain. Begitu pula dengan lingkungan, keadaan lingkungan sekitar kita akan mempengaruhi perilaku kita. Keadaan lingkungan akan menimbulkan reaksi – reaksi tersendiri dari individu tersebut.Yang dapat memberikan stimulus terhadap individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat, cermati, dalam lingkungan tersebut. Kemudian reaksi – reaksi yang ditunjukkan oleh individu tersebut akan memberikan penilaian tersendiri terhadap dirinya sendiri, dan karakteristik dari individu tersebut akan memberikan penilaian tersendiri dari orang lain. Dari keadaan lingkungan sekitar yang kita lihat dan reaksi – reaksi dari individu akan memberikan pengaruh terhadap persepsi dan aksi kita akan stimulus yang diperlihatkan di dalam lingkungan tersebut. Persepsi timbul karena ada stimulus dari orang lain maupun dari lingkungan sekitar kita. Jadi antara behavioral, environment, dan perception sangatlah bergantung satu sama lain,ketiga komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Namun antar ketiga komponen itu saling memberikan pengaruh atau saling memberikan perannnya dalam terlaksananya teori pembelajaran sosial. 2) Kemampuan membuat atau memahami simbol, tanda, atau lambang Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilakuperilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbol atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu. 3) Kemampuan berfikir ke depan Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan. 4) Kemampuan seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain. 5) Kemampuan mengatur diri sendiri Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri. 6) Kemampuan untuk merefleksi Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses. d) Pembelajaran dari Proses Pengamatan Model (Observational Learning) Menurut Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:281), mengamati model dan mengulangi perilaku yang dilakukan oleh model bukanlah sekedar imitasi sederhana; pembelajaran observasi juga melibatkan proses kognitif aktif yang meliputi 4 komponen yaitu: atensi, retensi, reproduksi dan motivasi. Lebih jauh lagi, analisis Bandura (dalam Slavin, 2008:204) tentang pembelajaran pengamatan (observational learning) menjelaskan mengenai keterlibatan empat fase dalam pembelajaran ini, yaitu: 1) Proses Perhatian (attentional process) Individu belajar dari sebuah model hanya ketika mereka mengenali dan mencurahkan perhatian terhadap fitur-fitur pentingya. Kita cenderung sangat terpengaruh oleh model-model yang menarik, tersedia secara berulang-ulang dan mencerna hal-hal penting yang dicakupnya. Contoh: Setiap malam sebelum tidur, seorang anak melihat ibunya di kamar mandi sikat gigi. 2) Proses Retensi (retention process) Pengaruh sebuah model akan bergantug pada seberapa baik individu mengingat tindakan model setelah model tersebut tidak lagi tersedia. Contoh: Anak tersebut mengingat bagaimana sang Ibu menggosok gigi setiap malam sebelum tidur. 3) Proses Reproduksi Motor (motor reproduction process) Setelah sesorang melihat sebuah perilaku baru dengan mengamati model, pengamatan tersebut harus diubah menjadi tindakan. Proses ini kemudian menunjukkan bahwa individu itu dapat melakukan aktivitas yang dicontohkan oleh model tersebut. Contoh: Anak tersebut meniru tindakan sang Ibu untuk menggosok gigi sebelum tidur. 4) Proses Motivasional (motivational process) Individu akan termotivasi untuk menampilkan perilaku yang ditegaskan secara positif akan mendapat lebih banyak perhatian, dipelajari dengan baik, dan dilakukan lebih sering. Contoh: Akhirnya dengan melihat sang anak mulai meniru kebiasaan menggosok gigi sebelum tidur, maka sang Ibu memberikan sikat gigi dan pasta gigi lucu pada anaknya. Maka sang anak jadi tambah rajin menggosok gigi sebelum tidur. e) Konsep – Konsep Penting Dalam Kepribadian 1) Sistem Diri (Self System) Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:276) mengajukan sebuah konsep yang memiliki peran penting dalam kepribadian, yang ia sebut dengan self-system, satu set proses kognitif yang individu gunakan untuk mempersepsi, mengevaluasi, dan meregulasi prilakunya sendiri agar sesuai dengan lingkungannya dan efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, individu tidak hanya dipengaruhi oleh proses reinforcement eksternal yang disediakan lingkungan, tetapi juga oleh ekspektasi, reinforcement, pikiran, rencana, tujuan atau proses internal dari diri. Aspek kognitif yang aktif dalam diri individu sangat penting dalam pembelajaran. Selain berespon terhadap reinforcement langsung dengan mengubah prilaku di masa depan, orang dapat berpikir dan mengantisipasi pengaruh dari lingkungan. Individu dapat mengantisipasi konsekuensi yang mungkin akan timbul dari perilakunya sehingga mereka memilih tindakan berdasarkan respon yang dihadapkan dari lingkungan dan masyarakat. 2) Efikasi Diri (Self Efficacy) Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation) adalah “Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.“ Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Ekspektasi hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedangefikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Contoh: Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnia obat abtibiotik, sterilisasi dan infeksi, dan sebagainya. 3) Regulasi Diri (Self Regulation) Regulasi diri adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya rewards yang berasal dari lingkungan eksternal. Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam dua cara, yaitu pertama, faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru, serta pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas, anak belajar mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk menilai diri. Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya bekerja sama, dimana ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu maka butuh penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan kembali. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal, yaitu pertama, observasi diri (self observation) dimana individu harus mampu memonitoring performansinya, walau tidak sempurna karena individu cenderung menilai beberapa aspek tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku yang lainnya. Kedua, proses penilaian tingkah laku (judgement process) adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma standar tingkah laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan memberi atribusi performansi. Standar pribadi berasal dari pengalaman - pengalaman mengamati model. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, maka proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi karena ukuran tersebut tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal, bisa berupa norma standar, perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain atau perbandingan kolektif. Serta yang ketiga, yaitu respon diri (self response) dimana pada akhirnya berdasarkan pengamatan dan judgment,individu mengevaluasi diri sendiri dan menghadiahi atau menghukum dirinya sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut teori belajar sosial, bahwa kepribadian seseorang merupakan hasil interakasi dari lingkungan, perilaku, dan proses psikologis seseorang yang ketiganya saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Dapat disimpulkan dalam gambar sebagai berikut: Personal - Motivation Self Efficacy Self Regulation Attention Retention Expectations LEARNING Environment Behaviour - - Response Action Gambar 3.3 Models Reinforcement Punishment f) Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial 1) Kelemahan teori belajar social a. Mengenai peniruan tingkah lakunya itu sendiri, perlu pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. b. Pembentukan tingkah laku didasarkan pada modelling (peniruan). c. Teori belajar sosial hanya membahas aspek kepribadian yang ada di permukaan, hanya lewat tingkah laku yang tampak. 2) Kelebihan teori belajar sosial a. Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. b. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata refleks atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. c. Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasan merespon) dan imitation (peniruan). d. Pendekatan teori belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif. g) Aplikasi Teori Belajar Sosial Aplikasi tentang pemakaian tato oleh narapidana di Lapas Personal - Terbiasa menggunakan tato sebelum masuk lapas (dari keyakinan diri atau self efficacy) - Timbul kesan keren ketika menggunakan tatto (self regulation) - Tidak tahu bahwa bisa resiko HIV - Banyak napi yang memakai tato dan dijauhi kalau tidak memakai tato (motivation and attention) LEARNING Behaviour - Pembuatan tato yang beresiko HIV - Sebagaian napi banyak yang bertato dan bisa membuat tato Environment - Di lingkungan lapas yang kurang ketat dan kontrol - Kurang adanya kegiatan sehingga para napi menggunakan waktu luangnya membuat tato 2) Teori Interaksi Simbolik Istilah interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu. Karakteristik dasar interaksi simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbolsimbol yang mereka ciptakan. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Esensi dari interaksi simbolik yakni adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2003: 59). Paham interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatanpendekatan teoritis lainnya. Paham interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik, mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaimana hal ini dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Asumsi dasar teori interaksionisme simbolik menurut Herbert Mead dalam Suprapto (2002:140) adalah : 1. Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya 2. Asal muasal arti atas benda-benda tersebut muncul dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang, 3. Makna yang demikian ini diperlakukan dan dimodifikasikan melalui proses interprestasi yang digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan bendabenda lain yang diterimanya. Ketiga asumsi tersebut kemudian melahirkan pokok-pokok pemikiran interaksi simbolik yang menjadi ciri-ciri utamanya yaitu ; 1. Interaksi simbolik adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri, 2. Karena hal tersebut, maka ia (interaksi simbolik) membentuk proses terus menerus yaitu proses pengembangan atau penyesuaian tingkah laku, dimana hal ini dilakukan melalui proses dualisme definisi dan interpretasi, 3. Proses pembuatan interpretasi dan definisi dari tindakan satu orang ke orang lain berpusat dalam dalam diri manusia melalui interaksi simbolik yang menjangkau bentuk-bentuk umum dalam hubungan manusia secara luas (Mead dalam Suprapto (2002:163) Dalam terminology George Herbert Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah : a. Mind (pikiran) : kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. b. Self (diri pribadi) : kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. c. Society (masyarakat) : hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Charron (1979) menyebutkan pentingnya pemahaman terhadap simbolsimbol ketika seseorang menggunakan teori interaksionisme simbolis. Simbol adalah objek sosial dalam suatu interaksi. Ia digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang–orang yang menggunakannya. Orangorang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (bendabenda kasat mata), kata-kata (untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan (yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain. Di setiap lingkungan memiliki kontrak khusus yang terbentuk karena budaya masyarakat yang ada mengenai pemahaman interaksi pada suatu simbol. Yang mana pemahaman simbol itu terbentuk karena adanya interaksi sosial dan budaya dari suatu tempat tertentu. Dari mulai rumah, lingkungan sekitar rumah, sekolah, kampus, pada sebuah kota, negara bahkan perspektif interaksi simbolik yang dikomunikasikan pemahamannya diseluruh negara. Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain: 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. b. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif Blumer menyatakan bahwa proses interpretif ini memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks dimana mereka berada. 2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept) Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The particular kind of role thinking–imagining how we look to another person” or ”ability to see ourselves in the reflection of another glass”. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut La Rossan dan Reitzes (1993) a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orangorang tidak lahir dengan konsep diri, mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi. b. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenal diri memengaruhi perilaku adalah prinsip penting pada interaksi simbolik. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Penting juga untuk diingat bahwa Mead melihat diri sebagai sebuah proses, bukan struktur. 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: a. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat memengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri. b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial Asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksi simbolik mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. a) Kelebihan dan Kelemahan Teori Interaksi Simbolik Kelebihan teori interaksi simbolik yaitu model penelitian yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Sedangkan kekurangannya yaitu penelitian interaksi simbolik akan sulit dimaknai jika subjek tersebut tidak sesuai dengan simbol-simbol yang disepakati bersama oleh masyarakat, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. APLIKASI TEORI INTERAKSI SIMBOLIK BERDASARKAN ANALISIS JURNAL “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU HOMOSEKSUAL (GAY) DI KOTA KEDIRI” 1. Pemaknaan Ada bahasa tertentu yang digunakan dalam berkomunikasi di kalangan gay. Bhasa tersebut dikenal dengan istilah bahasa binan. yang artinya bahasa yang unik dan mempunyai kode-kode tertentu. Akika aku, saya Begindang begitu Cucok cocok Endang enak Hamidah hamil dll 2. Konsep diri Ketika seorang memaknai ”Gay” sebagai pilihan hidup, dalam dirinya terjadi proses pengkonsepsian diri melalui : - Saya cantik, suka dandan dan merasa cocok memakai baju perempuan. - Saya tidak menyukai permainan laki-laki - Saya merasa benci dengan perempuan - Frustasi karena sering ditinggal pacar - Saya khawatir apa yang akan terjadi jika orang tua saya mengetahui jika saya adalah gay. 3. Identitas Dalam dunia gay identitas biasanya ditunjukkan dengan berbagai hal agar mereka dapat dikenali oleh komunitas gay. a. Tatapan mata Tatapan mata dalam hal ini adalah gerakan menatap yang penuh arti. seseorang akan mengerling sebagai bahasa isyarat lain yang menggunakan tatapan. Kerlingan mata tersebut seakan merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian. Kerlingan juga memiliki arti sebuah pemberian harapan atau tatapan mengundang atau ingin diperhatikan. b. Posisi tangan dan gerakan Gerakan tangan kaum gay saat berkomunikasi atau saat membawa barang biasanya terlihat feminin. c. Posisi duduk Pria gay memiliki kecenderungan duduk feminin yakni kedua pahanya akan rata sejajar. Pada umumnya, laki-laki akan duduk dengan paha terbuka dan kedua kaki terbuka atau ujung kaki terkunci. d. Gaya bicara Saat berbicara kaum gay tampak lebih expressive dengan bahasa komunikasi dikalangan gay yang disebut bahasa binan. e. Cara berpakaian Gay lebih suka mengenakan pakaian ketat dan tampak lebih modis dan lebih stylish sesuai trend masa kini. 4. Sosialisasi a. Tahap persiapan (Preparatory Stage) : Saat seseorang memasuki komunitas gay simbol/bahasa (sebagai pemula) dia yang sering digunakan akan dalam berusaha dunia mengenal gay seperti sekong=sakit yaitu istilah yang menggambarkan seorang gay. Lekong yang berarti laki-laki normal. Dan letoy yang berarti laki-laki melambai. b. Tahap meniru (Play Stage) : Setelah mengetahui identitas dalam komunitasnya, seorang gay yang baru akan meniru aktivitas orang disekelilingnya, seperti mencari pasangan gaynya. c. Tahap siap bertindak (Game Stage) : Seorang gay akan bergabung dengan komunitas gay, berhubungan seksual dengan sesama. d. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage) : Seorang gay dengan segala latar belakangnya memutuskan diri menjadi ”Kucing” dengan segala konsekuensinya yang sudah dipikirkan menurut interpretasinya. Bagaimana dia harus berperan sebagai mahasiswa dimana dia harus berperan sebagai lelaki panggilan. DAFTAR PUSTAKA https://books.google.co.id/books?id=PPRcrLj7HlgC&pg=PA35&dq=pengertian+i nteraksi&hl=en&sa=X&ei=vnH6VKOwBpHmuQSogoH4BA&redir_esc=y#v=on epage&q=pengertian%20interaksi&f=false [diakses pada hari Sabtu, 8 Maret 2015 pukul 11.00] https://books.google.co.id/books?id=XqlOV2TWy4YC&pg=PT120&dq=asumsi+ interaksi+simbolik&hl=en&sa=X&ei=Ysz7VLf6FIqXuATe74GACQ&redir_esc= y#v=onepage&q=asumsi%20interaksi%20simbolik&f=false [diakses pada hari Sabtu, 8 Maret 2015 pukul 20.00] http://www.academia.edu/6766895/TEORI_INTERAKSI_SIMBOLIK tanggal 7 Maret 2015 pada pukul 10.30] [diakses